BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayan umum yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk penyediaan barang atau jasa, baik dalam rangka kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Upaya peningkatan kinerja organisasi pemerintah merupakan suatu kewajiban
yang
harus
dilakukan
secara
terus
menerus
dan
berkesinambungan guna dapat mewujudkan kualitas pelayanan publik, yang dimaksudkan untuk melestarikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahnya. Dalam prakteknya, sering terdapat pandangan bahwa birokrasi pemerintah atau setiap berhubungan dengan birokrasi pemerintah untuk mendapatkan suatu pelayanan menunjukkan gejala yang mengecewakan dan tidak memuaskan. Pembenahan pelayanan publik dalam upaya mempercepat dan optimalisasi perwujudan good governance aspek pelayanan publik merupakan
titik
stratejik
untuk
membangun
prinsip-prinsip
merupakan
salah
good
governance. Administrasi
kependudukan
satu
upaya
penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat dalam bidang kependudukan, hal ini seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri agar melaksanakan kebijakan administrasi kependudukan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang tersebut berupa penerapan KTP elektronik atau e-KTP yang diharapkan dapat berlaku secara nasional maupun internasional. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, instansi pelaksana yang memiliki kewenangan sebagai control center pelayanan di bidang administrasi kependudukan adalah Kementrian Dalam Negeri. Penerapan 1
e-government di Indonesia diatur oleh adanya Instruksi Presiden No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional pengembangan egovernment. Untuk
mewujudkan
implementasi
kebijakan
administrasi
kependudukan KTP elektronik tentu dibutuhkan biaya yang besar dan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atas dasar permintaan Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi yang mengubah sumber dana dari pembiayaan asing menjadi APBN. Biaya yang dianggarkan untuk proyek ini mencapai enam triliun rupiah. Tercapainya program pemerintah ini sangat membutuhkan kinerja yang baik dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proyek tersebut. Selain itu dibutuhkan pula pengawasan penggunaan anggaran sehingga anggaran digunakan sesuai dengan peruntukannya tanpa merugikan keuangan negara. Dalam hal ini, Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pelaksanaan mega proyek KTP elektronik tidak terlepas dari praktikpraktik korupsi yang melibatkan anggota DPR, menteri, pejabat daerah, dan elit politik lainnya. Hasil audit BPKP menetapkan bahwa kisaran kerugian negara dalam proyek ini mencapai dua triliun rupiah. Hal ini tetap saja terjadi walaupun KPK sudah memperingati Menteri Dalam Negeri untuk berhati-hati dalam menjalankan mega proyek tersebut. Berdasarkan proses hukum yang sedang berjalan dalam penanganan proyek KTP elektronik yang menyebabkan kerugian keuangan negara kedua setelah BLBI, kelompok kami mengangkat topik ini untuk dibahas dalam makalah ini karena banyak fakta persidangan yang ditemukan seiring dengan bergulirnya proses hukum kasus KTP elektronik.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini antara lain: 1) Bagaimana kronologi kasus KTP elektronik? 2) Siapa saja pihak yang terlibat dalam kasus KTP elektronik?
2
3) Apa saja fakta persidangan yang terungkap dalam kasus KTP elektronik?
3
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Sejarah Akuntansi Forensik Akuntansi forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau mengungkap motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi. Selain
itu
skandal-skandal
keuangan
semacam,
Enron
WorldCom menyebabkan jatuhnya kepercayaan investor atas
dan
profesi
akuntan sehingga memunculkan akuntansi forensik sebagai sebuah metode
untuk
mendeteksi
perkembangannya penggabungan
kemudian
antara
dan
menanggulangi
akuntansi
akuntan
dan
penipuan.
forensik sistem
terbentuk
hukum.
Dalam dari
Pengacara
menggunakan akuntansi forensik untuk menemukan bukti dalam kasus korupsi yang tidak dapat mereka peroleh. Di Amerika, seorang auditor forensik (orang yang berprofesi di bidang akuntansi forensik) atau pemeriksa fraud bersertifikasi (Certified Fraud Examiners/CFE) tergabung dalam Association of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2.2 Pengertian Akuntansi Forensik Forensik, jika kita mendengar istilah ini, maka asumsi awal kita adalah ahli patologi yang memeriksa jenazah untuk menentukan penyebab dan waktu kematian. Tidak salah, karena memang dalam ilmu kedokteran, forensik berarti ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat. Istilah akuntansi forensik merupakan terjemahan dari Forensic Accounting. Akuntansi forensik adalah ilmu yang relatif baru. Bidang akuntansi yang satu ini mungkin jarang sekali kita dengar. Bahkan mahasiswa jurusan akuntansi saja belum tentu mengerti sepenuhnya apa 4
itu akuntansi forensik. Ada beberapa macam pengertian akuntansi forensik, antara lain sebagai berikut: a. Menurut Larry Crumbley secara sederhana dapat dikatakan bahwa akuntansi forensik adalah akuntansi pemeriksaan yang akurat untuk tujuan hukum. b. Menurut Jack Bologna, akuntansi forensik dapat diartikan sebagai akuntansi yang berkenaan dengan pengadilan atau berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah akuntansi pada masalah hukum. c.
Sedangkan menurut Theodorus M Tuanakotta akuntansi forensik adalah penerapan sistem akuntansi dalam bidang hukum terutama pada permasalahan kecurangan atau fraud. Maka
dapat
disimpulkan
bahwa
Akuntansi
forensik
adalah
penggunaan keahlian akuntansi yang dipadukan dengan kemampuan investigatif untuk memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud. Akuntansi forensik pada dasarnya adalah perpaduan antara bidang akuntansi dan bidang hukum. Kedua disiplin ilmu tersebut saling isi mengisi satu sama lain. Oleh karena itulah akuntasi forensik bisa diartikan sebagai
penggunaaan
ilmu
akuntansi
untuk
kepentingan
hukum.
Akuntansi forensik ini bertujuan untuk menerjemahkan transaksi keuangan yang kompleks dari data, angka ke dalam bentuk yang dapat dimengerti secara umum serta memahami apa yang ada di balik laporan keuangan. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar segala sesuatu dapat dilakukan pendeteksian sejak dini sehingga bisa segera diketahui ada yang tidak beres dalam data-data keuangan yang disajikan. Beberapa akuntan forensik menyebut monitor seperti itu sebagai “Red Flags’’ (sinyal kecurangan). Dengan kata lain, Angka-angka tersebut mungkin dapat membuktikan kecurangan tertentu yang disembunyikan atau disamarkan, atau bahkan ditutup-tutupi. Ada beberapa perbedaan antara Akuntansi Umum dan Akuntansi Forensik, yaitu: NO
UNSUR
AKUNTANSI
AKUNTANSI
5
UMUM 1
Waktu
2
Lingkup
3
Tujuan
Memberikan Opini
4
Teknik
Akuntansi
5
Audit
Reguler Laporan Keuangan secara umum
Standar Audit Akuntansi
FORENSIK Non Reguler Spesifik Membuktikan kecurangan Akuntansi & Hukum Standar Audit Akuntansi dan Hukum Positif
2.3 Praktek Akuntansi Forensik di Indonesia Akuntansi Forensik merupakan cabang akuntansi yang relatif baru yang secara umum dapat dipahami sebagai subset disiplin akuntansi dalam pemeriksaan keuangan. Disiplin ini sangat dibutuhkan khususnya terkait dengan tindakan-tindakan fraud bidang keuangan yang dilakukan secara samar dan canggih baik di perusahaan maupun di lembaga keuangan dan perbankan. Istilah “Akuntansi Forensik” pertama sekali diciptakan seorang rekan di firma akunting di New York yang bernama Maurice E. Peloubet Pada tahun 1946. Akuntansi Forensik terbentuk dari banyak kolaborasi antara akuntansi dan sistem hukum. Pengacara menggunakan akuntansi forensik untuk menemukan bukti dalam kasus kerah putih yang tidak dapat mereka peroleh. Bukti ini akan membantu memenangkan banyak kasus. Akuntansi forensik sebenarnya telah dipraktekkan di Indonesia. Praktek ini tumbuh pesat, tak lama setelah terjadi krisis keuangan tahun 1977. Akuntansi forensik dilaksanakan oleh berbagai lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Bank Dunia (untuk proyek-proyek pinjamannya), dan kantor-kantor akuntan publik (KAP) di Indonesia.
6
Istilah akuntansi forensik di Indonesia baru terlihat suksesnya setelah keberhasilan PricewaterhouseCoopers (PwC) dalam membongkar kasus Bank Bali. PwC dengan software khususnya mampu menunjukkan arus dana yang rumit berbentuk seperi diagram cahaya yang mencuat dari matahari (Sunburst). Kemudian PwC meringkasnya menjadi arus dana dari orang-orang tertentu. Metode yang digunakan dalam audit tersebut adalah Follow The Money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank Bali dan In Depth Interview atau interview secara mendalam yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan pengusaha yang terlibat dalam kasus ini tersebut. Masih pada tahun yang sama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mampu memecahkan kasus BNI, yang membuktikan kepada pengadilan bahwa Adrian Waworuntu terlibat dalam penggelapan L/C BNI senilai Rp 1.3 Triliun, dengan menggunakan Metode Follow The Money yang mirip dengan metode PwC yang digunakan dalam kasus Bank Bali. Padahal sebelum keterangan para ahli PPATK, Adrian Waworuntu selalu berhasil meyakinkan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat. Keberhasilan-keberhasilan di atas semakin membuat akuntansi forensik berkembang pesat.
2.3.1 FOSA dan COSA Akuntansi Forensik secara sistem terbagi dua tipe yaitu: a. FOSA atau Fraud Oriented system audit, adalah akuntansi forensik yang menangani masalahmasalah fraud dalam 2 fokus kajian yaitu Pengambilan asset secara illegal berupa Skimming (Penjarahan), Lapping (Pencurian) Kitting (Penggelapan dana), serta Kecurangan laporan keuangan berupa salah saji material dan data keuangan palsu. Dengan demikian untuk mengidentifikasi fraud secara umum, digunakan FOSA. b. COSA atau Corruption Oriented system audit adalah akuntansi forensik yang menangani masalah fraud dalam fokus kajian yaitu korupsi. Jadi COSA digunakan untuk identifikasi fraud secara spesifik yaitu korupsi.
7
2.3.2 Standar Akuntansi Forensik. Adapun standar akuntansi Forensik ada empat macam yaitu : a. Independensi.
Akuntan
forensik
harus
independen
dalam
melaksanakan tugasnya, bertangggung jawab dan objektif atau tidak memihak dalam melaksanakan telaahan akuntansi forensiknya. b. Kemahiran Profesional.
Akuntansi
forensik
harus
dilaksanakan
dengan kemahiran dan kehati-hatian professional. c. Lingkup Penugasan. Akuntan harus memahami tugasnya dengan baik, mengkajinya dengan teliti dan melaporkannya dalam kontrak. d. Pelaksanaan
Tugas
Telaahan.
Akuntan
harus
memahami
permasalahan dengan baik, seperti rumusan masalah, perencanaan dan pengumpulan bukti dan evaluasinya, sampai pada tahap komunikasi hasil penugasan berupa laporan akhir yang berisi fakta dan kesimpulan.
2.3.3 Teknik-Teknik Pemeriksaan fraud dalam Akuntansi Forensik. Secara umum ada sembilan teknik pemeriksaan akuntansi forensik yang biasa digunakan untuk mengungkap adanya tindak kecurangan atau Fraud, yaitu: 1. Penggunaan
teknik-teknik
pemeriksaan
laporan
keuangan.
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan. Ada tujuh langkah pemeriksaan laporan keuangan ini, yaitu: a.
Memeriksa Fisik dan Mengamati. Memeriksa fisik lazimnya diartikan sebagai penghitungan uang tunai, surat berharga, persediaan asset, dan barang berwujud lainnya. Sedangkan mengamati adalah menggunakan alat indera untuk mengetahui atau memahami sesuatu tentang lingkungan keuangan.
b. Meminta Informasi dan Konfirmasi Meminta informasi kepada perusahaan baik secara lisan maupun tertulis. Ini harus diperkuat atau dikolaborasikan dengan informasi dari sumber lain. Tujuannya adalah untuk menegaskan kebenaran
8
atau ketidakbenaran informasi. Ini umumnya untuk memastikan saldo utang-piutang. c. Memeriksa Dokumen. Dokumen harus diperiksa guna memperoleh pemahaman tentang nilai bukti potensial kasus. Dokumen mempunyai definisi yang luas, termasuk informasi keuangan yang diolah dan disimpan secara elektronis (digital). d. Review Analitikal Review analitikal dapat disajikan melalui beberapa teknik, yaitu: 1) Membandingkan anggaran dengan realisasi 2) Analisis vertikal dan horizontal. Ini merupakan teknik analisis laporan keuangan. Analisis vertikal adalah Analisis CommonSize yaitu teknik analisis untuk mengetahui proporsi dari setiap komponen dalam laporan keuangan terhadap besaran totalnya dalam satuan persen. Selain itu ada pula analisis Rasio yang merupakan teknik analisis laporan keuangan yang digambarkan
dalam
bentuk
rasio
keuangan.
Analisis
horizontal adalah teknik analisis Cross-Section. Analisis Cross-Section juga sering disebut dengan analisis komparasi atau analisis perbandingan. Selain analisis Cross-Section, terdapat pula Analisis Sumber dan Penggunaan Dana, yang dapat diartikan sebagai Analisis yang bertujuan untuk melihat aliran kas (cashflow) dan setara kas) pada periode tertentu. 3) Analisis Trend. Merupakan teknik analisis laporan keuangan yang menggambarkan kecendrungan perubahan suatu pos laporan keuangan selama beberapa periode. Analisis trend dapat memberikan informasi tingkat pertumbuhan masingmasing pos laporan keuangan dari tahun ke tahun dan gambaran apakah kinerja bank naik, turun atau konstan. 4) Membandingkan data keuangan atau komparasi. Dalam hal ini teknik yang digunakan adalah membandingkan angka-angka keuangan dengan standar tertentu, yaitu perusahaan atau industri sejenis. Ada beberapa cara mendefinisikan istilah sejenis antara lain, (1) kesamaan jasa dan produk, (2) 9
kesamaan sisi permintaan, serta (3) kesamaan atribut keuangan. 5) Analisis Time Series. Merupakan teknik analisis laporan keuangan
dengan
cara
membandingkan
data
historis
keuangan dalam beberapa periode tertentu. Analisis Time Series mempunyai empat pola pergerakan yaitu, trend, siklus, musiman, dan ketidakteraturan atau random. e. Pemanfaatan digunakan
Teknik
dalam
Perpajakan.
pemeriksaan
Teknik
kejahatan
perpajakan
biasa
terorganisisr
dan
penyeludupan pajak penghasilan. Teknik ini juga dapat diterapkan terhadap data kekayaan pejabat Negara. Ada dua macam teknik pemeriksaan perpajakan yaitu Net Worth Method dan Expenditure Method51 Net Worth Method adalah metode yang digunakan untuk menelusuri penghasilan yang belumdilaporkan oleh wajib pajak. Sedangkan Expenditure Method adalah metode yang digunakan untuk memeriksa wajib pajak yang tidak mengumpulkan harta benda, tapi mempunyai pengeluaran-pengeluaran besar (mewah). f. Penelusuran jejak-jejak arus uang. Penelusuran jejak-jejak arus uang ini lebih dikenal dengan istilah follow the money. Follow the money secara harfiah berarti mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan dalam suatu arus uang atau arus dana. Dana bisa mengalir secara bertahap dan berjenjang, tapi akhirnya akan berhenti di satu atau beberapa tempat. Tempat perhentian terakhir inilah yang menjadi petunjuk kuat yang akan membawa kepada para pelaku Fraud. g. Penerapan teknik analisis hukum. Dalam hal ini akuntan forensik harus mempunyai pemahaman tentang hukum pembuktian sesuai dengan masalah yang dihadapi, seperti tindak pidana umum, tindak pidana khusus, serta pencucian uang. Melalui analisis ini, akuntan forensik akan dapat mengumpulkan bukti dan barang bukti guna mendukung dugaan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan para pelaku Fraud atau kecurangan. h. Pemanfaatan teknik audit investigatif dalam pengadaan barang. Pemeriksaan pengadaan barang ini merupakan suatu upaya untuk
10
memastikan bahwa dana publik dibelanjakan dengan baik guna meningkatkan efektivitas operasional serta sesuai peruntukkannya. i.
Penggunaan computer forensic. Ada dua pokok utama dalam computer forensic. Pertama, segi-segi teknis yang berkenaan dengan teknologi (komputer, internet dan jaringan) dan alat-alat (Windows, Unix, serta Disk drive imaging). Kedua, adalah segi-segi teknis hukum seperti penggeledahan dan penyitaan barang bukti.
j.
Penggunaan teknik interogasi. Teknik interogasi ini dilakukan secara persuasif. Akuntan biasanya menggunakan taktik “membuat penyataan” dan bukan “mengajukan pertanyaan”. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengetahui detil lengkap tentang kejadian yang sebenarnya.
k. Penggunaan
Undercover Operations.
Undercover Operations
adalah suatu kegiatan yang berupaya mengembangkan barang bukti
secara
langsung
dari
pelaku
kecurangan
dengan
menggunakan samaran (disguise) dan tipuan (deceit). l.
Pemanfaatan whistleblower. Whistleblower diterjemahkan secara harfiah dengan istilah peniup peluit. Maknanya adalah orang yang mengetahui adanya bahaya atau ancaman dan berusaha menarik perhatian dengan meniup peluitnya. Meniup peluit di sini digunakan dengan
kiasan
yang
artinya
adalah
membuka
aib
dan
membocorkan rahasia. Atau dalam istilah lain adalah pelapor pelanggaran.
2.3.4 Garis besar proses Pemeriksaan Investigatif Garis besar dalam proses pemeriksaan investigatif memiliki tahap-tahap sebagai berikut: a) Tahap Pra Perencanaan Audit Investigatif. Tujuan untuk meyakini layak tidaknya suatu informasi/pengaduan yang diterima dapat ditindak lanjuti dengan audit investigatif. Pada proses ini pemeriksa melakukan: •
pengumpulan informasi tambahan
•
penyusunan fakta & proses kejadian
•
penetapan dan penghitungan tentative kerugian keuangan 11
•
penetapan tentative penyimpangan
•
penyusunan hipotesa awal
b) Tahap Perencanaan Audit Investigatif. Tujuan untuk meminimalkan tingkat resiko kegagalan dalam melakukan audit investigatif serta memberikan arah agar pelaksanaan audit investigatif efisien dan efektif. Pada proses ini dilakukan: •
pengujian hipotesa awal
•
identifikasi bukti-bukti
•
menentukan tempat/sumber bukti
•
analisa hubungan bukti dengan pihak terkait
•
penyusunan program pemeriksaan investigative
c) Tahap Pelaksanaan Audit Investigatif. Pada tahapan ini dilakukan: •
pengumpulan bukti-bukti
•
pengujian fisik
•
konfirmasi
•
observasi
•
analisa dan pengujian dokumen
•
interview
•
penyempurnaan hipotesa
•
review kertas kerja
d) Tahap Evaluasi Bukti. Pelaksanaan pengumpulan dan evaluasi bukti difokuskan pada upaya pengujian hipotesa untuk mengungkapkan: •
fakta-fakta dan proses kejadian
•
Sebab dan dampak penyimpangan
•
Pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas kergian
keuangan negara •
Bukti-bukti yang mendukung
e) Tahap Pelaporan dan Tindak Lanjut. Fase terakhir, dengan isi laporan hasil pemeriksaan investigatif kurang lebih memuat: •
unsur-unsur melawan hukum
•
fakta dan proses kejadian
•
sebab-sebab terjadinya tindakan melawan hukum
•
bentuk kerja sama pihak-pihak yang terkait dalam penyimpangan
12
BAB III KASUS
3.1 Overview Kasus E-KTP Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP dinilai sebagai kasus yang masif dan sangat terstruktur. Diduga, proyek itu direncanakan untuk dapat dikorupsi. Proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau yang biasa disebut e-KTP dimulai Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana, pada tahun 2011-2012. Anggaran untuk proyek ini mencapai Rp5,9 triliun. Dari nilai proyek Rp5,9 triliun, KPK menyebut dana yang dikorupsi mencapai Rp2,3 triliun. Kasus ini melibatkan 280 orang saksi dan dua orang tersangka. Demi meluluskan jalannya korupsi triliunan ini, aturan seakan tak bernilai lagi bagi mereka. Dari dakwaan dua mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, setidaknya terdapat beberapa pelanggaran aturan yang diduga dilakukan oleh para pelaku korupsi e-KTP. Antara lain pelanggaran etika, pelanggaran prosedur pelelangan proyek, pelanggaran BPK, dan tentunya pelanggaran tindak pidana korupsi yang bertujuan memperkaya diri sendiri. a) Pelanggaran Kode Etik Sejak awal proyek pengadaan e-KTP sudah terasa kental dengan nuansa korupsi. Kasus yang diduga melibatkan banyak nama-nama penting di pemerintahan ini mulai terendus korupsi sejak Februari 2010 silam. Sekitar
awal
bulan
Februari
2010,
setelah
mengikuti
rapat
pembahasan anggaran Kementerian Dalam Negeri, Irman dimintai sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu yang merupakan ketua Komisi II DPR RI agar usulan Kemendagri dapat segera disetujui oleh DPR. Untuk mendanai pemberian uang kepada anggota DPR, Irman dan Burhanudin sepakat bahwa sumber uang berasal dari pengusaha Andi Narogong yang sudah terbiasa menajdi rekanan di Kemendagri. Sekitar
bulan
Juli-Agustus
2010,
Andi
Narogong
membuat
kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan 13
Muhammad Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran proyek e-KTP yang bernilai kurang lebih Rp 5,9 triliun. Pembagian dana proyek tersebut direncanakan akan dibagi menjadi dua, yaitu sebesar 51% akan digunakan untuk pembiayaan proyek. Sedangkan sisanya sebesar 49% akan dibagikan kepada beberapa pejabat di Kemendagri, Anggota Komisi II DPR RI, Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan rekanan bisnis. Pemberian uang tidak hanya diberikan kepada individu saja. Sekitar bulan Februari 2011, untuk memperlancar kepentingan anggaran, Andi Narogong berjanji akan memberikan uang sejumlah Rp 520 miliar kepada Partai golkar, Partai Demokrat, PDI Perjuangan dan beberapa partai lainnya. Semua perencanaan dan pemberian uang ini tentunya sangat tidak sejalan dengan yang telah diatur dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (4) (6) UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam pasal tersebut dikatakan, bahwa semua penyelenggara negara harus didasarkan pada asas keterbukaan, profesionalitas, proporsionalitas dan akuntabilitas. Selain itu, para anggota Dewan yang diduga menerima dan memberikan uang juga sangat berseberangan dengan Pasal 3 ayat 5 di Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Thaun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dikatakan dalam aturan tersebut: “Anggota dilarang meminta dan menerima pemberian atau hadiah selain dari apa yang berhak diterimanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” b) Pelanggaran Penetapan Harga HPS. Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK untuk terdakwa mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur PIAK Kemendagri Sugiharto, pada tanggal 11 Februari 2011, Sugiharto menentapkan Harga Perkiraan Sendiri dan Analisis harga Satuan per Keping e-KTP. Namun pada penetapan tersebut, Sugiharto tidak mendahuluinya dengan data harga pasar setempat yang diperoleh berdasarkan survei menjelang dilaksanakannya pengadaan. HPS versi Sugiharto hanya berdasar pada price list yang 14
disusun oleh FX Garmaya Sabarling, Tri Sampurno, dan Berman Jandry S. Hutasoit yang telah dinaikkan harganya (mark up) dan tidak memperhatikan diskon terhadap barang-barang tertentu. Hal ini diduga sangat bertentangan dengan Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan. Peraturan itu menjelaskan bahwa penyusunan HPS harus didasarkan pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan, dengan mempertimbangkan berbagai informasi. c) Pelanggaran Proses Pelelangan. Jauh hari sebelum terjadinya pelelangan untuk proyek pengadaan eKTP, pelanggaran terhadap proses ini sudah dilakukan. Pada bulan Mei 2010, di ruang kerja Komisi II DPR RI, Sugiharto melakukan pertemuan dengan Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Effendi, Teguh Juwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arif Wibowo, M. Nazaruddin, dan Andi Narogong. Pada kesempatan terebut, Mustoko Weni menyampaikan bahwa Andi Nurogong-lah yang akan mengerjakan proyek e-KTP karena sudah terbiasa mengerjakan proyek di Kemendagri dan sudah “familiar” dengan Komisi II DPR. Selain itu, Weni menjelaskan bahwa Andi berkomitmen akan memberikan sejumlah fee kepada anggota DPR dan beberapa pejabat Kemendagri. Barulah pada tanggal 8 April
2011,
panitia
pengadaan
menerima
delapan
dokumen
penawaran dari Konsorsium Berca Link JST, Konsorsium Lintas Peruri Solusi, Konsorsium PNRI, Konsorsium Mukarabi Sejahtera, Konsorsium Mega Global Jaya Grafica Cipta, Konsorsium PT Telkom, Konsorsium PT Astra Graphia dan Konsorsium Transtel Universal. Sampai dengan batas akhir waktu evaluasi pemasukan penawaran, Konsorsium PNRI dan Astra Graphia tidak dapat melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001. Namun demikian, hal tersebut bukanlah halangan bagi mereka karena panitia pengadaan tetap memasukan nama mereka di delapan konsorsius yang lulus. 15
Untuk memperlancar penetapan pemenang lelang, Andi Narogong akhirnya memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui saudaranya Azmin Aulia sejumlah USD 2,5 juta. Akhirnya pada tanggal 21 Juni 2011 Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang. Atas pengumuman itu, PT Lintas Bumi Lestari dan PT Telkom Indonesia mengajukan sanggahan yang intinya keberatan dengan penetapan pemenang. Kemudian pada 28 Juni 2011, Drajat Wisnu Setyawan mengirimkan surat kepada dua perusahaan tersebut bahwa proses dan penetapan hasil lelang sudah sesuai dengan prosedur. Sebenarnya PT Lintas Bumi Lestari dan PT Telkom Indonesia masih berhak mengajukan sanggahan banding hingga 5 Juli 2011. Namun dengan mengesampingkan itu semua, pada 30 Juni 2011 Sugiharto menunjuk Konsorsium PNRI selaku pelaksana pekerjaan proyek ke-KTP. Berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 82 ayat 4 pada Peraturan Presiden no.54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan, jika terjadi sanggahan banding maka proses pelelangan atau seleksi harus dihentikan. Selain itu, dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintahan harus berdasarkan prinsip keterbukaan, transparan, adil, efisien dan bersaing. d) Pelanggaran Lembaga BPK dan Lembaga Lainnya Sebenarnya kasus korupsi proyek e-KTP dapat dihentikan sedini mungkin andai saja lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan berkontribusi untuk mengusut dan mencegah terjadinya korupsi. Namun, semua itu seakan hanya impian semata kala lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) malah ikut terjerat kasus ini. Pada dasarnya, siapa pun yang sejak awal mengetahui adanya dugaan korupsi seharusnya melapor kepada KPK. Seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara jelas menyebut segala unsur pidana wajib dilaporkan.Selain itu, BPK juga bisa memanfaatkan konsep whistleblower untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 16
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seorang whistleblower bisa melaporkan indikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja dan memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut. Berdasarkan dakwaan untuk Irman dan Sugiharto, selain memberikan uang kepada Komisi II DPR, Sugiharto pun memberikan sejumlah uang kepada staf Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Salah satu penerima uang tersebut adalah Wulung selaku Auditor pada BPK yang memeriksa pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil sejumlah Rp 80 juta. Uang tersebut diberikan agar BPK memberikan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi laporan audit keuangan Ditjen Dukcapil. “Setelah pemberian uang tersebut BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian terhadap pengelolaan keuangan pada Ditjen Dukcapil tahun 2010” demikian isi dakwaan. Tentunya dengan tindakan seperti ini sangat menyalahi peraturan yang berlaku di Indonesia. Khusunya dalam Perarturan Presiden No.24 tahun 2010 Tetang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Pasal 81 dan 82 huruf f. Di situ telah ditegaskan
bahwa
Direktorat
Jenderal
Kependudukan
dan
Pencatatan Sipil mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pendaftaran penduduk, pencatatan
sipil,
kependudukan,
dan
serta
pengelolaan fasilitasi
dan
informasi penyerasian
administrasi kebijakan
perencanaan kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk di daerah. Dalam uraian terjadinya tindak pidana korupsi, JPU menyebutkan sejak
proyek
e-KTP
dalam
tahap
pembahasan
hingga
proses
pengadaan. Dalam hal ini Jaksa KPK membagi dalam tiga tahap: 1. Pada tahapan pembahasan anggaran, sebelum anggaran formal. Kita temukan adanya indikasi-indikasi pertemuan sejumlah pihak untuk membicarakan proyek e-KTP. 2. Praktek ijon. Setelah pembahasan Tim Kecil di tahap awal, pada tahap kedua ini melibatkan banyak pihak, antara lain anggota Komisi II 17
DPR dan
panitia anggaran
dan tentunya
pelaksana
proyek,
kementerian dalam negeri. 3. Tahap terakhir adalah pengadaan. Pada Juni 2011, Kemendagri mengumumkan konsorsium PT PNRI sebagai pemenang tender pengadaan dengan harga Rp5,9 triliun. Konsorsium ini terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri (Persero), PT Quadra Solution. Mereka menang setelah mengalahkan PT Astra Graphia yang menawarkan harga Rp6 triliun. Setidaknya ada beberapa kejanggalan yang terjadi dalam proses pengadaan: 1. Setelah tender ditutup, spesifikasi alat yang akan digunakan dalam proses pembuatan e-KTP, yaitu signature pad, diubah. Tindakan itu jelas melanggar Pasal 79 ayat 2 Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 yang melarang post-bidding—tindakan mengubah, menambah, mengganti, dan/atau mengurangi dokumen pengadaan dan/atau dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran. 2. Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat Menteri Dalam Negeri, menandatangani kontrak pengadaan e-KTP saat proses lelang berada pada masa sanggah sehingga tidak memberi kesempatan kepada dua peserta lelang, Konsorsium Telkom dan Konsorsium Lintas Bumi Lestari.
LKPP
(Lembaga
Kebijakan
Pengadaan
Barang/jasa
Pemerintah) menyarankan penandatanganan kontrak ditunda setelah masa sanggah banding selesai. Sebab, sesuai pasal 82 Peraturan Presiden 54 tahun 2010 sanggahan banding menghentikan proses lelang. Tapi saran LKPP ini tidak diindahkan. 3. Irman, eks Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri (terdakwa I) mengarahkan eks Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi
Kependudukan
(PIAK)
Ditjen
Kependudukan
dan
Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto untuk membuat spesifikasi teknis yang mengarah ke produk tertentu dengan secara langsung menyebut merek. Di antaranya untuk pengadaan AFIS (Automated Fingerprint Indentification System) menggunakan produk merek L-1 Identity Solution sebagaimana yang ditawarkan oleh Johanes Marliem, untuk pengadaan printer menggunakan merek Fargo HDP 5000 dan 18
untuk pengadaan hardware menggunakan produk merek Hewlett Packard (HP) sebagaimana yang ditawarkan oleh Berman Jandry S Hutasoit
dan
untuk
pengadaan software menggunakan
produk database merek Oracle sebagaimana yang ditawarkan oleh Tunggul Baskoro. 4. Konsorsium PNRI tidak memenuhi kontrak. Selain pelaksanaan lelang yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan,
konsorsium PNRI tidak melaksanakan kewajibannya yang telah diatur dalam kontrak. Berdasarkan kontrak, konsorsium PNRI berkewajiban memproduksi,
personalisasi,
dan
distribusi
blangko
KTP
berbasis chip sebanyak 172.015.400 keping dengan perincian tahun 2011 sebanyak 67.015.400 keping dan tahun 2012 sebanyak 105.000.000
keping.
Konsorsium
PNRI
juga
berkewajiban
mengadakan peralatan data center, hardware, sistem AFIS, software, layanan keahlian pendukungan kegiatan, serta bimbingan teknis untuk operator
dan
pendampingan
teknis.
Faktanya,
telah
terjadi
penyimpangan. Jaksa KPK menyebut anggota konsorsium PNRI mensubkontrakkan sebagian pekerjaan tanpa persetujuan tertulis dari Sugiharto sebagaimana yang diatur. Paket pekerjaan pengadaan blangko e-KTP elektronik yang seharusnya dilaksanakan oleh Perum PNRI disubkontrakkan kepada PT PURA Barutama, PT Trisakti Mustika Grafika, PT Ceria Riau Mandiri dan PT Mecosuprin Grafia, PT Sinegri Anugrah Mustrika, serta PT Global Priam Media. Paket pekerjaan
pengadaan
blangko
e-KTP
yang
dilaksanakan
PT
Sandipala Artha Putra disubkontrakkan kepada PT Trisakti Mustika Grafika, PT Pura Barutama, dan PT Betawi Mas Cemerlang. 5. Konsorsium PNRI tidak memenuhi target e-KTP. Sampai akhir masa pelaksanaan pekerjaan e-KTP pada 31 Desember 2013, konsorsium PNRI hanya dapat melakukan pengadaan blangko KTP elektronik sebanyak 122.109.759 keping. Jumlah tersebut masih di bawah target pekerjaan sebagaimana ditentukan dalam kontrak awal, yakni konsorsium PNRI wajib melakukan pengadaan personalisasi dan distribusi blangko e-KTP sebanyak 172.015.400.
19
6. Harga e-KTP membengkak. Konsorsium PNRI menerima pembayaran pengadaan e-KTP sejak 21 Oktober 2011 sampai 30 Desember 2013 sebesar Rp 4.917.780.473.609 setelah dipotong pajak. Adapun harga wajar atau harga riil pelaksanaan proyek penerapan KTP berbasis NIK secara
nasional
(KTP
elektronik)
2011-2013
sejumlah
Rp
2.552.408.324.859. 7. Atas perbuatannya dalam kasus korupsi e-KTP itu, Irman dan Sugiharto melangar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam bentuk garis waktu dapat disimpulkan kasus e-ktp sebagai berikut: Tanggal 28 Januari 2010
29 Januari 2010
Februari 2010
Juni-Desember 2010
Keterangan Kementeriana Dalam Negeri mengajukan anggaran sebesar Rp 6.9 triliun untuk menyelesaikan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) untuk tahun 2010-2011. Proyek SIAK dinilai rawan penyimpangan. KPK dua kali menyurati Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, agar hati-hati dalam melaksanakan proyek. Gedung DPR, Jakarta. Irman dan Burhanudin Napitupulu (anggota DPR) bertemu di ruang kerja Ketua Komisi II DPR membahas pemberian uang oleh Andi Narogong (pengusaha) kepada sejumlah anggota Komisi II. Pemberian itu bertujuan agar DPR menyetujui usulan Kemendagri perihal anggaran proyek eKTP. Hotel Gran Melia, Jakarta. Irman, Sugiharto, Andi Narogong, dan Diah Anggriani (Sekjen Kemendagri) melakukan pertemuan dengan Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar DPR). Pada pertemuan itu, Setya menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR. Ruko Fatmawati Beberapa kali pertemuan digelar di Ruko milik Andi Narogong. Pertemuan Tim Fatmawati ini membahas pembentukan beberapa konsorsium untuk ikut dalam tender proyek e-KTP. Bahkan pada sejumlah pertemuan juga membahas pengaturan untuk memenangkan tender hingga mendaftar penggelembungan harga sejumlah barang yang akan dibeli terkait proyek. Pengaturan ini juga melibatkan pihak panitia lelang yang berasal dari Kemendagri. 20
Gedung DPR, Jakarta. DPR mulai melakukan pembahasan R-APBN Tahun Anggaran 2011 yang di antaranya termasuk anggaran untuk proyek e-KTP. Terkait hal tersebut, Andi Narogong beberapa kali bertemu Setya Novanto, Anas Urbaningrum (Ketua Fraksi Demokrat DPR), dan Muhammad Nazaruddin (Bendum Demokrat), yang dinilai sebagai representasi Partai Golkar dan Partai Demokrat untuk mendorong Komisi II menyetujui anggaran. Akhirnya dicapai kesepakatan anggaran proyek sebesar Rp 5,9 triliun dengan 49 persen di antaranya atau sebesar Rp 2,5 triliun (setelah dipotong pajak) akan dibagi-bagi ke sejumlah orang, termasuk DPR. Gedung DPR, Jakarta. SeptemberOktober 2010 Andi Narogong memberikan uang kepada sejumlah anggota DPR di ruang kerja Mustoko Weni (Golkar). Total uang yang diberikan Andi sebesar 3.450.000 dolar AS kepada sembilan orang anggota DPR, di antaranya Anas Urbaningrum, Ganjar Pranowo (PDIP), Teguh Juwarno (PAN), hingga Agun Gunandjar Sudarsa (Golkar). Gedung DPR, Jakarta. SeptemberOktober 2010 Bagi-bagi uang kembali dilakukan Andi, namun kali ini di ruangan Setya Novanto dan Mustoko Weni. Uang sebesar 3.300.000 dolar AS kepada para pimpinan Banggar, yakni Melchias Marcus Mekeng (Golkar), Mirwan Amir (Demokrat), Olly Dondokambey (PDIP), dan Tamsil Linrung (PKS). Andi pun memberikan uang sebesar 500.000 dolar AS kepada Arif Wibowo untuk dibagikan kepada seluruh anggota Komisi II. Rinciannya, Ketua mendapat 30.000 dolar AS, tiga Wakil Ketua masing-masing mendapat 20.000 dolar AS, sembilan Ketua Kelompok Fraksi masingmasing mendapat 15.000 dolar AS, serta 37 anggota masing-masing mendapat 10.000 dolar AS. Restoran Peacock, Hotel Sultan, Jakarta. Oktober 2010 Pertemuan dilakukan antara Irman, Sugiharto, Diah Anggriani, Andi Narogong, Husni Fahmi (pegawai Kemendagri), Chairuman Harahap (Golkar), dan Johannes Marliem (swasta). Pada pertemuan itu, Chairuman sebagai Ketua Komisi II diminta segera menyetujui anggaran proyek sebesar Rp 5.952.083.009.000 secara multiyears. 22 November 2010 Gedung DPR. Rapat Kerja antara Komisi II dan Kemendagri akhirnya menyepakati anggaran proyek e-KTP untuk tahun 2011 sebesar Rp 2.468.020.000 yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2011. Rumah Dinas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Desember 2010 Negeri. Andi Narogong memberikan uang sejumlah 1.000.000 dolar AS kepada Diah Anggraini sebagai kompensasi telah Juli-Agustus 2010
21
Februari 2011
4 Februari 2011 17 Februari 2011
21 Juni 2011
Juni 2011
Maret 2012
22 April 2012
Agustus 2012
membantu pembahasan anggaran hingga akhirnya disetujui DPR. Kementerian Dalam Negeri. Andi Narogong menemui Sugiharto di ruang kerjanya. Andi mengatakan akan memberikan uang sebesar Rp 520.000.000.000 untuk memperlancar urusan penganggaran proyek. Uang akan diberikan kepada Partai Golkar Rp 150 miliar, Partai Demokrat Rp 150 miliar, PDI Perjuangan Rp 80 miliar, Marzuki Alie (Demokrat) Rp 20 miliar, Chairuman Harahap Rp 20 miliar, serta pada sejumlah partai lain sejumlah Rp 80 miliar. Rincian uang tersebut atas persetujuan Irman. Pengadaan e-KTP dimulai. Direktur Jendral Anggaran mengurumkan surat kepada Kemendagri unruk melaksanakan kontrak tahun jamak penyediaan Jaringan Kominikasi dalam rangka penerbitan NIK dan penerapan KTP-el dengan anggaran Rp 5.9 triliun dengan rincian Rp 2.29 triliun untuk tahun 2011 dan Rp 3.66 triliun untuk tahun 2012. Gamawan Fauzi (Mendagri) menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang tender proyek e-KTP. Pemenangan tender sudah diatur sejak awal. Konsorsium PNRI tetap dimenangkan meskipun sejumlah syarat belum dipenuhi. Penetapan pemenang lelang digugat, namun Sugiharto tetap menunjuk konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang. Konsorsium PNRI belum dapat menyelesaikan pengadaan blangko e-KTP sebanyak 65.340.367 keping dengan nilai Rp 1.045.445.868.749. Namun tidak diberikan teguran maupun sanksi kepada konsorsium, bahkan dibuat laporan seolah-olah pekerjaan sudah sesuai target sebagaimana kontrak. Sehingga pembayaran kepada pihak PNRI tetap bisa dilakukan. Gamawan meminta penambahan anggaran dalam APBNP tahun 2012. Anggota DPR Markus Nari (Golkar) lantas meminta uang Rp 5 miliar kepada Irman guna memperlancar pembahasan anggaran itu. Namun usai diberikan uang Rp 4 miliar, DPR tidak memasukan penambahan anggaran itu. KPK menelusuri dugaan keterlibatan sejumlah anggota DPR dalam kasus e-KTP. Dugaan ini diungkapkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. KPK menetapkan Pejabat pembuat pembuat Komitmen di Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka. Anggaran kemudian masuk ke dalam APBN Tahun Anggaran 2013. Atas hal tersebut, Miryam Haryani (Hanura) meminta uang Rp 5 miliar untuk diberikan kepada pimpinan dan anggota Komisi II, di antaranya Chairuman 22
NovemberDesember 2012
Desember 2012
2013 22 April 2014 24 April 2014 25 April 2014
11 Mei 2016
30 September 2016 9 Maret 2017
Harahap, Ganjar Pranowo, dan Teguh Jurwano. Bagi bagi uang juga dilakukan Andi Narogong kepada staf Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Komisi II DPR, dan Bappenas terkait pengusulan dan pembahasan anggaran proyek e-KTP. DPR menyetujui APBN tahun 2013 yang di dalamnya turut memuat anggaran untuk proyek e-KTP sebesar Rp.1.492.624.798.000. KPK membuka penyelidikan kasus e-KTP. KPK menetapkan kasus ini naik ke tahap penyidikan dengan menetapkan Sugiharto sebagai tersangka. KPK menemukan sejumlah bukti kejanggalan dalam proyek pengadaan paket penerapan e-KTP. Selain dugaan penggelumbungan dana proyek pengadaan paket penerapan e-KTP, KPK juga menemukan dugaan penyelewengan proses tender. BPKP mengeluarkan hasil laporan bahwa kerugian keuangan negara akibat kasus ini sebesar Rp 2.314.904.234.275,39. KPK menetapkan Irman sebagai tersangka. Irman dan Sugiharto mulai menjalani proses persidangan.
3.2 Hak Angket DPR Usulan atas hak angket terhadap KPK bermula ketika dalam rapat kerja Komisi III dengan KPK, KPK menolak permintaan untuk memutar rekaman BAP tersangka pemberi keterangan palsu e-KTP, Miryam S. Haryani. Miryam mengatakan dia mencabut BAP karena ada tekanan dari DPR dan menyebut enam anggota Komisi III menekannya saat dia bersaksi di sidang kasus korupsi e-KTP. Digulirkannya hak angket DPR yang bertujuan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka rekaman pemeriksaan mantan Anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani, dinilai bisa menghambat penuntasan kasus dugaan korupsi yang sedang ditangani KPK. Jika BAP atau rekaman, ke luar duluan (dibanding di pengadilan), maka tersangka bisa kabur, atau saksi yang bisa jadi tersangka kabur, orang yang terancam bisa mengancam saksi, membunuh, bisa terjadi kekacauan dalam proses hukum. KPK menghormati peran pengawasan DPR tapi tetap tidak bersedia memutar rekaman BAP, dan jika bukti-bukti yang kami pegang diminta oleh 23
DPR, baik lewat rapat dengar pendapat atau hak angket atau mekanisme lain, itu berisiko menghambat penanganan perkara. KPK berharap agar hak angket tidak disalahgunakan atau digunakan hanya untuk kepentingan beberapa orang saja, atau kepentingan lain.
3.3 Pembahasan 1. Fakta 1: Dua tersangka yakni Sugiharto dan Irman dijerat oleh KPK dengan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 KUHAP. (Kompas) Kutipan Pasal 3 “Setiap orang … yang DAPAT merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. 2. Fakta 2: Pada April 2015, KPK meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk segera menyelesaikan proses audit jumlah kerugian negara akibat dugaan korupsi proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. (Kompas) Dan kemudian BPKP menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun (Kompas) Untuk memperkuat bukti penyidikan, KPK meminta keterangan enam auditor BPKP pada 23 Januari 2017. (Sumber) 3. Fakta 3: Mahkamah Konstitusi menghilangkan frasa “DAPAT” dalam Pasal 2(1) dan Pasal 3 UU Tipikor melalui putusan MK Nomor 25/PUUXIV/2016 pada 26 Januari2017. (Kompas). Artinya dakwaan atau tuntutan yang menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor harus terpenuhi unsur “kerugian negara” yang nyata agar terpenuhinya delik. Dan rumusan kerugian negara tergantung dari hasil audit pemeriksa keuangan. 4. Fakta 4:
Pada tanggal
9
Desember 2016,
Mahkamah Agung
mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 4 Tahun2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Pada Bagian A, angka 6 pada SEMA 4/2016 disebutkan bahwa instansi yang memiliki kewenangan untuk menyatakan ada tidaknya kerugian negara berada pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional. Badan audit lain, seperti BPKP (Badan
24
Pengawas Keuangan dan Pembangunan) hanya berwenang mengaudit dan memeriksa pengelolaan keuangan negara. Adapun dalam kasus e-KTP, kerugian negara dihitung oleh BPKP dan ditegaskan bahwa ini menyangkut delik formil bukan matriil. Jaksa KPK akan mendakwa Sugiharto dan Irman yang melakukan tindakan melawan hukum hingga timbulnya kerugian negara. Unsur kerugian negara, dibuktikan dengan hasil pemeriksaan keuangan BPKP. Jika majelis hakim berpegang pada SEMA 4/2016, unsur kerugian negara belum terpenuhi karena yang membuktikan bukan BPK sebagai badan yang berwenang. Bila demikian, sidang gugur dan tidak dapat dilanjutkan. Hingga akhirnya, KPK mengajukan perkara ini kembali dengan membawa pembuktian hasil pemeriksaan BPK. Hasil audit korupsi mega proyek e-KTP, yang diaudit oleh BPKP adalah tidak sah
secara
hukum
dan
hasil
audit
itu
tidak
konstitusional
tetapi
inkonstitusional, dikarenakan BPKP tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara akibat korupsi, karena BPKP berbeda dengan BPK. BPKP juga tidak juga memiliki kewenangan melalukan audit sebagaimana BPK. Berdasarkan tinjauan kasus yang berkaitan dengan e-KTP dimana pelaku melibatkan pejabat Kemendagri dan sederatan pejabat penting dan pengusaha dalam negeri, maka jika lihat dari Akuntansi Forensik, BPK sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengaudit keuangan negara. Jadi jelas bahwa akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian di bidang audit dan akuntansi yang dipadu dengan kemampuan investigatif untuk memecahkan suatu masalah sengketa keuangan atau dugaan fraud yang pada akhirnya diputuskan oleh pengadilan.
25
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan E-KTP card atau kartu identitas elektronik adalah dokumen yang berisi demografi sistem keamanan/kontrol baik dari administrasi atau teknologi informasi dengan database berdasarkan populasi nasional. Dimana ini sdah diatur dalam kebijakan pemerintah tentang penerapan KTP berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) telah sesuai dengan pasal 6 Perpres No.26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional Jo Perpres No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas Perpres No. 26 Tahun2009 bertujuan untuk terbangunnya penyimpanan database kependudukan yang akurat ditingkat Kab/Kota, Provinsi dan Pusat dengan menggunakan rekaman elektronik berupa biodata, tanda tangan, pas foto, dan sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan yang dapat berfungsi sebagai identitas jati diri seseorang yang berlaku Nasional sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya serta mencegah terjadinya terorisme di Indonesia. Namun, kebijakan ini masih memiliki kekurangan disisi sampingnya yaitu kurangnya sosialisasi pemerintah kepada daerah-daerah terpencil sehingga menyebabkan tidak meratanya informasi serta terlaksananya kebijakan e-KTP ini. Yang dimana kebijakan ini pula tidak memenuhi target pemerintah jika dilihat dari UU RI No.23 Tahun 2006 dan PERPRES RI No. 26 Tahun 2009 untuk akhir tahun 2011. Oleh karena itu, kebijakan e-KTP ini masih perlu dibenahi dari sistem maupun pelaksanaanya agar masyarakat Indonesia juga dapat menjalankannya dengan baik sertatercapainya tujuan yang telah dibuat pemerintah yaitu tercapainya Indonesia yang suksesmengikuti perkembangan zaman dengan kebijakannya.
4.2 Saran Mulailah mengingatkan diri sendiri dan lingkungan sekitar terlebih dahulu. Kritis dalam menyikapi permasalahan dalam negeri ini, jangan sampai karena kurangnya kritis dari warga negara kita ini khususnya bagi pemuda membuat negara kita semakin krisis. 26
DAFTAR PUSTAKA Tuanakotta, M.Theodorus. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Jakarta: Salemba Empat, 2010. https://seword.com/politik/dakwaan-mega-korupsi-e-ktp-kpk-menang-telakkuasa-hukum-memalukan-begini-penjelasan-hukumnya/ https://diantrilestari.wordpress.com/2010/05/23/audit-investigasi/ http://halimmubaroq.blogspot.co.id/2013/02/audit-investigatif.html http://keuanganlsm.com/audit-investigasi-special-audit/ http://informasijadwalpelatihan.com/tag/konsep-dasar-audit-investigatif/ http://meandmybubble.blogspot.co.id/2015/10/audit-investigatif.html https://kumparan.com/aditiarizkinugraha/bedah-dakwaan-e-ktp-aturan-ditabraketika-dibuang-demi-uang
27