TUGAS MODUL 5. KB 1 Oleh Uswatun Khasanah (18030181010118)
A. ANALISIS KASUS
Pendekatan konseling berpusat pribadi memiliki pandangan bahwa individu pada dasarnya baik. Rogers menyatakan bahwa manusia memiliki karakteristik positif, berkembang ke arah yang lebih baik (aktualisasi diri), konstruktif, realistik, dan dapat diandalkan (Gladding, 2012). Bahwa hakikat manusia menurut pendekatan berpusat pribadi yaitu 1) setiap manusia memiliki kapasitas dan potensi untuk memahami keadaan yang dialaminya dan mengatur kembali kehidupannya menjadi lebih baik, 2) Manusia memiliki dorongan untuk mengembangkan kapasitasnya yang mengarah kepada perilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, meningkatkan, dan mereproduksi mereproduksi dirinya menuju keutuhan dan pemuasan dari potensinya. 3) Perilaku seseorang dapat diamati dari sudut pandang orang luar atau sudut pandang orang yang berperilaku itu sendiri. 4) Manusia pada dasarnya bermartabat dan berharga serta memiliki nilai-nilai yang yang dijunjung tinggi tinggi sebagai hal hal yang baik baik bagi dirinya. dirinya.
5) Manusia
dipandang sebagai individu yang memiliki tanggung jawab atas perkembangan pribadinya personal responsibility ), ( personal ), bukan hanya merasa bertanggungjawab kepada orang lain. 6)
Kepercayaan pada otoritas dalam dirinya memberikan pengaruh terhadap penerimaan tanggung jawab atas perilakunya. Pendekatan berpusat pribadi dibangun atas dua hipotesis dasar yaitu: (1) setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami keadaan yang menyebabkan ketidakbahagiaan dan mengatur kembali kehidupannya menjadi lebih baik, (2) kemampuan seseorang untuk menghadapi keadaan ini dapat terjadi dan ditingkatkan jika konselor menciptakan kehangatan, penerimaan, dan memahami relasi konseling yang sedang dibangun (Corey, 1986). Dalam pendekatan konseling berpusat pribadi, seseorang dikatakan menjadi pribadi yang bermasalah secara psikologis apabila mengalami kondisi penghargaan bersyarat, inkongruensi (tidak kongruen), memiliki sikap defensif (membela diri) dan disorganisasi. Dalam kasus Raisa dia mengalami kondisi penghargaan bersyarat dalam pengalaman psikologisnya dia merasakan kurangnya perhatian dari orang tua dan selalu dianggap salah terhadap apapun yang dia lakukan, oleh karena untuk mendapatkan sebuah perhatian Raisa
harus melakukan yang disenangi oleh orang tuanya baru akan mendapatkan perhatian dan ketika dia melakukan yang disenangi maka akan mendapatkan penolakan dari ayahnya. Penghargaan bersyarat yang diterima Raisa pada masa kanak-kanaknya mengakibatkan suatu konsep diri yang salah bahwa dia merasa hidup untuk orang orang lain, bukan untuk dirinya sendiri dimana dia memainkan peran sebagai “superwoman” dalam semua aspek kehidupannya, namun tidak jarang melupakan keperluan dan keinginannya sendiri. Raisa selalu berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik yang sesuai dengan harapan keluarga dan dirinya . Walaupun dalam kenyataanya terkadang Raisa merasa tidak menjadi diri sendiri dan selalu khawatir tentang harapan harapan keluarganya. Adanya prilaku disorganisasi disorganisasi yang terjadi pada Raisa yang awalnya sebagai seorang istri yang baik tiba-tiba memilih untuk meninggalkan rumah. Dalam kasus Raisa konselor memilih pendekatan person centered, pemilih pendekatan person centered, karena respon konseli berkonsentrasi pada pemahaman empatik tentang situasi klien. Artinya situasi untuk Raisa, perasaan yang dialami oleh Raisa, dan prilakunya yang muncul dalam diri Raisa. Raisa.
B. Kemungkinan langkah treatmen treatmen atau interveri pada kasus Raisa Tahapan dalam konseling berpusat pribadi dapat dilaksanakan dalam beberapa tahap sebagai berikut: 1) Pembinaan Hubungan Baik Tahap pertama dalam konseling konselor membina hunbungan baik dengan Raisa dengan menerima apa yang disampaikan konseli, tidak menyalahkan apa yang dikatakan oleh konseli dan tidak juga menyetujui apa yang disampaikan konseli, memberikan respon secara verbal maupun non verbal, dan memahami sudut pandang dari konseli.
2) Mendorong penerimaan diri konseli dengan menyediakan kondisi fasilitatif hingga konseli mengungkapkan mengungkapkan ekspresi-ekspresi tertentu meski belum terbuka apa adanya. Setelah menjalin hubungan baik, dan konseli merasa diterima oleh konselor maka konselor membuat situasi kondisi untuk menfasilitas konseli untuk mendorong penerimaan dari diri konseli agar terbuka. Kondisi ini akan membuat konseli
mengungkapkan ekspresi-ekspresi tertentu walaupun mungkin belum terkait topik diri sendiri secara langsung. 3) Membebaskan Membebaskan individu untuk mengekspresikan mengekspresikan apapun yang terkait dengan diri sendiri . Pada tahap ini konselor membebaskan konseli untuk mengekspresikan terutama terkait tentang diri dan masalah konseli.
4)
Mendorong konseli mampu menafsirkan makna akan pengalaman yang telah dilaluinya, menjabarkan perasaan-perasaan yang muncul, komitmen untuk bertanggungjawab terhadap masalahnya. Pada tahap ini rasa takut, enggan, dan ketidakpercayaan masih menyertai konseli dalam berinteraksi dengan konselor. Konseli mampu menafsirkan makna akan pengalaman yang telah dilaluinya, menjabarkan perasaan-perasaan yang muncul, komitmen untuk bertanggung jawab terhadap masalahnya.
5) Membebaskan konseli untuk jauh lebih menyelami pengalamannya dan bebas berekspresi, kendati masih ada sedikit rasa takut dan tidak percaya Dalam tahap ini, konseli jauh lebih menyelami pengalamannya dan bebas berekspresi, kendati masih ada sedikit rasa takut dan tidak percaya. Mereka juga semakin tegas mengungkapkan rasa dan makna, serta tanggung jawab yang diterima. Konseli bergerak menuju kehidupannya sebagai organisme, mengikuti perasaan yang muncul.
6) Membantu konseli menerima keadaan dirinya apa adanya sebagaimana yang dia persepsikan tanpa rasa takut, penolakan atau pengabaian. Pada tahap ini, konseli menjadi lebih cepat menyadari perasaan yang muncul. Pengalaman dan perasaan yang menyertai diterima apa adanya, tanpa rasa takut, penolakan, atau pengabaian. Sebuah pengalaman menjadi hidup, tidak semata (sekedar) dirasakan. Individu sebagai objek mulai tidak tampak. Inkongruensi menjadi kongruen. “Diferensiasi pengalaman semakin tajam dan mendasar. Dalam fase ini, tidak ada lagi „masalah‟, ruang eksternal dan internal. Konseli menjadi menghayati hi dupnya,
subyektif, dan menyelami realitas yang dihadapi. di hadapi.
Keseluruhan hal tersebut bukan lagi objek”. Secara fisiologis, rasa lega yang muncul dalam
diri konseli membuatnya merasa nyaman dan rileks.
7) Mendorong konseli untuk memiliki kesadaran untuk merefleksikan pengalaman, terbuka terhadap pengalaman dan semakin percaya diri untuk mengalami proses hidup walau sesulit apapun Tahap ini, konseli tampak lebih „menikmati‟ proses. Mereka dapat menyerap
pengalaman dan perasaan-perasaan baru yang melimpah dengan cepat serta menggunakannya menggunakannya sebagai pedoman untuk mengenal diri sendiri, apa yang diinginkan, dan bagaimana sikapnya selama ini. Pengalaman akan perasaan yang berubah benar-benar dihayati misalnya kepercayaan muncul sebagai bagian dari hidup menjadi makhluk organis. Individu menjadi lebih subjektif dan memiliki kesadaran untuk merefleksikan pengalaman, semakin percaya diri untuk mengalami proses dibanding hanya sekedar mempersepsikan objek. Pengalaman yang mampu disadari akan mengarahkan individu untuk menentukan pilihan efektif. Tahap ini, meski tidak banyak konseli yang melaluinya, ditandai dengan karakteristik berupa keterbukaan akan pengalaman yang menuntun hidup menjadi bergerak dan berkualitas. Sebagai simpulan, proses tersebut melibatkan: (1) perasaan yang lega; (2) perubahan pada sikap terhadap pengalaman; (3) perubahan dari inkongruensi menjadi kongruen; (4) muncul keinginan dalam diri individu untuk mengkomunikasikan dirinya sendiri dalam suasana tersbuka; (5) peta kognitif konseli menjadi lebih luas; (6) adanya perubahan hubungan antara individu dengan masalah yang dihadapi; serta (7) perubahan sikap individu dalam.
3. Follow up Follow up yang dilakukan adalah dengan terbuka menerima kehadiran Raisa kembali jika membutuhan bantuan konselor atau apapun yang diingikan konseli terkait dengan permasalahan yang dialami saat ini.