0
PERBANDINGAN SISTEM PERADILAN INDONESIA DAN PERANCIS
Diajukan sebagai Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Perbandingan Sistem Hukum
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Philipus M. Hadjon
Disusun oleh:
ABY MAULANA
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI TAHUN 2016
1
BAB I SISTEM PERADILAN INDONESIA
A. Pendahuluan Pelaksanaan penyelesaian masalah hukum yang diatur dalam hukum material, secara formal dilakukan oleh Hakim dengan berpedoman pada proses dan prosedur Hukum Acara di pengadilan. Dalam hal ini, hukum menjamin kekuasaan Kehakiman yang memiliki kekuasaan yang bebas dan merdeka, artinya tidak ada lembaga negara lainnya yang dapat ikut campur tangan dan atau mempengaruhinya. Kekuasaan kehakiman tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 menyatakan bahwa “Kekuasaan “Ke kuasaan Kahakiman
adalah
kekuasaan
negara
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia”. Indonesia”. Dari ketentuan ini dalam penjelasan resminya dikemukakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari kekuasaan direktiva dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-undang. Kemerdekaan
dalam
pelaksanaan
wewenang judiciil
boleh
dikatakan sebagai kemerdekaan yang terukur, bukan kemerdekaan tanpa batas sama sekali (mutlak), karena Hakim dalam melaksanakan tugasnya tetap harus berpedoman pada legal standar baik peraturan perundangundangan
(legal (legal
rules),
asas-asas
hukum
(legal (legal
principles)
dan
kebijaksanaan hukum yang besumber pada Pancasila yang denganya dapat ditemukan nilai-nilai keadilan, efektifitas dan kebermanfaatnya. Dilihat dari ketentuan Pasal 1 dan penjelasan resminya ini dan merupakan asas umum Hukum Acara Indonesia, maka secara terarah dan ajeg
1
BAB I SISTEM PERADILAN INDONESIA
A. Pendahuluan Pelaksanaan penyelesaian masalah hukum yang diatur dalam hukum material, secara formal dilakukan oleh Hakim dengan berpedoman pada proses dan prosedur Hukum Acara di pengadilan. Dalam hal ini, hukum menjamin kekuasaan Kehakiman yang memiliki kekuasaan yang bebas dan merdeka, artinya tidak ada lembaga negara lainnya yang dapat ikut campur tangan dan atau mempengaruhinya. Kekuasaan kehakiman tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 menyatakan bahwa “Kekuasaan “Ke kuasaan Kahakiman
adalah
kekuasaan
negara
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia”. Indonesia”. Dari ketentuan ini dalam penjelasan resminya dikemukakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari kekuasaan direktiva dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-undang. Kemerdekaan
dalam
pelaksanaan
wewenang judiciil
boleh
dikatakan sebagai kemerdekaan yang terukur, bukan kemerdekaan tanpa batas sama sekali (mutlak), karena Hakim dalam melaksanakan tugasnya tetap harus berpedoman pada legal standar baik peraturan perundangundangan
(legal (legal
rules),
asas-asas
hukum
(legal (legal
principles)
dan
kebijaksanaan hukum yang besumber pada Pancasila yang denganya dapat ditemukan nilai-nilai keadilan, efektifitas dan kebermanfaatnya. Dilihat dari ketentuan Pasal 1 dan penjelasan resminya ini dan merupakan asas umum Hukum Acara Indonesia, maka secara terarah dan ajeg
2
kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya tidak berarti dapat sewenang-wenang dan absolut menyelenggarakan tugasnya melainkan wajib memperhatikan secara benar “Perasaan adil bangsa dan rakyat Indonesia”. Dalam menyelesaikan setiap masalah yang berupa mengadili suatu perkara, maka Hakim yang memiliki kebebasan dan dijamin oleh Undangundang itu tidak boleh subyektif. Artinya kebebasan Hakim dalam mengadili
suatu
perkara
wajib
mencerminkan
perasaan
keadilan
masyarakat dan bukan perasaan keadilan Hakim itu sendiri. Dengan berpegang kepada obyektivitas diri dari samping memperhatikan secara wajar adanya pemilikan persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara, maka hakim dan penegak hukum lainnya akan dapat memberikan perasaan adil dan kebenaran dalam menyelesaikan setiap perkara. Dengan berpegangan kepada obyektivitasnya obyektivitasnya itu pula setiap perkara yang diajukan wajib diperiksa dan diadilinya dengan baik. Tidak seorang hakim pun yang dapat menolak perkara dengan alasan tidak tahu atau kurang jelas. Kalau suatu perkara kurang jelas, maka kewajiban Hakim memperjelas dengan menciptakan hukum baru yang seadil-adilnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui putusannya. Sistem peradilan di Indonesia memiliki catatan berdasarkan lintas sejarah yang khas, yang dimana tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem hukum di Indonesia yang merupakan warisan dari sistem hukum Belanda yang menganut sistem eropa kontinetal. Pada prinsipnya, Sistem Hukum Eropa Kontinental memfokuskan hukum positif yaitu pada peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi dan berlaku saat ini dengan orientasi kepastian hukum. sehingga peradilan yang dibentuk harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan tidak mengenal ada juri serta juriseprudensi (putusan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) bukan merupakan sumber hukum yang utama.
3
Pengertian dari sistem peradilan tidak hanya dilihat dari struktur dan bentuk peradilan yang ada tetapi juga dapat dilihat dari beberapa unsur yang turut serta dalam melakukan perbuatan dalam sistem peradilan tersebut seperti: Hakim, Polisi, Jaksa, dan Advokat. Hubungan antara para penegak hukum dan bentuk sistem peradilan tersebut inilah yang akan mempengaruhi bentuk hubungan dari Sistem Peradilan (Integrated justice system). Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi saat ini adalah banyak peradilan-peradilan khusus yang dibentuk dari peradilan umum yang memiliki ciri dan bentuk sendiri-sendiri, hal ini sangat membingungkan para pencari keadilan karena tidak semua peradilan memiliki hukum acara yang sama dan ketentuan yang sama dalam praktek beracara. Hal inilah yang perlu dijelaskan dalam tulisan ini dalam pembagian dan hubungan antar peradilan-peradilan dan struktur peradilan yang dibagi dalam 3 bagian yaitu sistem peradilan berdasarkan pembentukannya dalam UUD NRI Tahun 1945, sistem peradilan dalam suatu organisasi dan sistem peradilan dilihat dari berjalannya/proses peradilan. Sistem Peradilan di Indonesia didasarkan pada UUD NRI Tahun 1945 yang telah diamandemen, Pasal 24 ayat (1): "kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan". Kemudian, pada Pasal 24 ayat (2): "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konsitusi" Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 45 tersebut yang dapat melakukan fungsi peradilan di Indonesia hanya 2 yaitu : Mahkamah Agung (Pasal 24 A) dan Mahkamah Konstitusi.(Pasal 24 C). Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi. menguji peraturan perundang-undangan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
4
dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang sedangkan Mahkamah Konsitutisi memiliki kewenangan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu dan wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Pr esiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konsitusi merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir dengan demikian susunan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi hanya satu yaitu yang ada di Ibukota Negara Republik Indonesia, lain halnya dengan Mahkamah Agung yang memiliki Tingkatan dalam struktur peradilan di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2), bahwa: "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara..." Kedudukan kehakiman/peradilan merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam kedudukannya ini tindakan peradilan tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun dan dalam bentuk apapun dengan demikian independensi pengadilan merupakan hal yang mutlak. Pengaturan kedudukan, Independensi dan kekuasaan kehakiman ini merupakan perwujudan dari bentuk negara Republik Indonesia sebagai negara hukum. (Pasal 1 ayat 3 UUD 45). Melihat kembali sejarah sistem Peradilan di Indonesia pada Masa RO "Regie merit of De Regterlijke Organisatie en Het Beleid der Justitie " (Peraturan (Peraturan tentang susunan Kehakiman dan Kebijaksanan mengadili), diatur beberapa badan- badan peradilan antara lain :
5
1. Districtgerecht , adalah badan-badan pengadilan yang diselenggarakan kawedanan untuk orang-orang pribumi, obyek perkaranya adalah sengketa perdata yang obyeknya berharga tidak lebih dari 20 gulden, atau pelanggaran pidana yang acaman hukumannya denda maksimal 3 gulden. 2. Regentschaapsgerechts, diselenggarakan
di
badan-
badan
kabupaten-kabupaten
peradilan
untuk
orang
yang pribumi.
Hakimnya adalah bupati. Obyek perkaranya adalah sengketa perdata antara yang obyeknya berharga 20 sampai 50 gulden, atau pelanggaran pidana yang ancaman hukumannya penjara maksimal 6 hari, atau denda maksimal 10 gulden. 3. Landraad , Pengadilan orang pribumi di Jawa dan Madura, mengadili sengketa perdata yang obyek berharga sekurang- kurangnya 50 gulden atau yang kurang dari itu, tapi penggugatnya termasuk golongan penduduk eropa. Putusan Landraad hanya dapat dimintakan banding (ke Raad van Justitie) atau kasasi (ke Hooggerechtshofs), bila perkara perdata melibatkan obyek yang berharga lebih dari 500 gulden. 4. Residentiegerecht, pengadilan tingkat pertama untuk orang-orang eropa atau yang dipersamakan dengan mereka yang berada di Karisedanan atau Kabupaten untuk perkara pidana dan perdata yang berkategori ringan atau sederhana. 5. Raad van Justitie, Pengadilan tingkat banding bagi putusan Landraad. 6. Hoogerechtshof, Pengadilan Tinggi dalam hirarki pengadilan kolonial dan sebagai pengadilan kasasi untuk semua putusan Landraad dalam perkara perdata, dan pengadilan banding untuk putusan tingkat pertama yang dibuat oleh Raad van Justitie. Hoogerechtshof bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama, hanya dalam perkara gugatan perdata terhadap pemerintah atau terhadap Gubemur Jendral. Kemudian pelaksanaan
kekuasaan kehakiman oleh UUDN RI
Tahun 1945 ditentukan dua puncak kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dibawah Mahkamah Agung
6
sesuai dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan badan yang terdiri dari tempat dilingkungan peradilan, yaitu : 1. Peradilan Umum. 2. Peradilan Agama. 3. Peradilan Militer. 4. Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan disusun berjenjang-jenjang dan bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama dan tingkat kedua, pada dasarnya fakta-fakta yang terungkap di pengadilan tersebut diperiksa, diadili dan diputus. Kesemua jenjang ditingkat pengadilan tersebut bermuara ke Mahkamah Agung. Pada dasarnya, Mahkamah Agung adalah pengadilan negara yang tertinggi. Tingkat pada Peradilan Umum ada Pengadilan Negeri, yang biasanya dibentuk di kebupaten/kota. Pada tingkat kedua (banding) di peradilan umum dibentuk Pengadilan Tinggi, yang yurisdiksinya, meliputi wilayah propinsi. Begitu pula peradilan Agama, pada tingkat pertama, kekuasaannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Pada tingkat banding, yang menjadi kompetensi absolut peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi Agama. Hingga saat ini baru beberapa pengadilan Tata Usaha Negara yang dibentuk, menggugat perkara mengenai hal yang berkenaan dengan tindak pejabat administrasi negara relatif tidak cukup banyak. Namun demikian prinsipnya, produk tata usaha negara juga mengenal jenjang pengadilan tata usaha negara di pengadilan tinggi tata usaha negara. Agak berbeda dengan peradilan yang lain, lingkungan peradilan militer dibentuk
berjenjang-jenjang
dan
bertingkat-tingkat
sesuai
dengan
kepangkatan militer. Peradilan umum kompetensinya mengadili perkara pidana dan perdata (bukan militer). Peradilan Agama kompetensinya mengadili perkara perdata tertentu yang dihadapi oleh orang-orang Islam dan Ekonomi Syariah. Peradilan Militer tugasnya mengadili perkara yang
7
dilakukan oleh prajurit Indonesia, khususnya dalam tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana Militer. Peradilan Tata Usaha Negara tugasnya
mengadili
perkara
atas
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtmatige overheidsdaad ) oleh pejabat tata usaha negara.
B. Bagan Sistem Peradilan Indonesia
C. Tugas dan Fungsi Pengadilan
Dalam Sistem
Peradilan di
Indonesia I. Pengadilan Pidana dan Perdata pada Peradilan Umum a. Peradilan Pidana Peradilan pidana atau Hukum Acara Pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah
yang
berkuasa,
yaitu
kepolisian,
kejaksaan,
dan
8
pengadilan harus betindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana. Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum acara materiil, sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain. Diberi definisi dalam Pasal 1 KUHAP. Tujuan hukum acara pidana sangat erat berhubungan dengan tujuan hukum pidana, yaitu menciptakan ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Hukum pidana memuat tentang rincian perbuatanperbuatan yang termasuk perbuatan pidana yang dapat dihukum, macam-macam hukum yang dapat dijatuhkan kepada pelanggaran hukum pidana. Sedangkan hukum acara pidana mengatur bagaimana proses yang harus dilalui oleh aparat penegak hukum dalam rangka mempertahankan hukum pidana material terhadap pelanggarnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedua hukum tersebut saling melengkapi, karena tanpa hukum pidana hukum acara pidana hukum pidana tidak dapat dijalankan (tidak berfungsi sesuai dengan tujuannya). Apabila kembali melihat tugas dari hukum acara pidana, dapatlah disimpulkan bahwa fungsi dari hukum acara pidana adalah mendapatkan kebenaran material, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan
hakim.
Tujuan
hukum
acara
pidana
sebagaimana
dikemukakan diatas adalah merupakan tujuan akhir, sebelum itu ada
9
tujuan sementaranya yaitu mencari kebenaran material dari suatu perkara pidana.
b. Peradilan Perdata Hukum acara perdata adalah perturan hukum yang mengatur bagaimana menjamin ditaatinya hukum perdata material
dengan
perantara hakim. Dapat pula dikatakan bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih tegas dikatakan bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya mengajukan serta melaksanakan putusan tersebut. Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tindakan tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju ke penentuan atau pelaksanaan. Pada tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan sekaligus pembuktian serta keputusannya. Tahap pelaksanaan adalah tahap diadakannya pelaksanaan dari putusan. Hukum
acara
perdata
bertujuan
untuk
melindungi
hak
seseorang. Perlindungan terhadap hak seseorang diberikan oleh hukum acara perdata melalui peradilan perdata. Dalam peradilan perdata hakim akan menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar setelah pemeriksaan dan pembuktian selesai. Dengan peradilan tersebut sudah barang tentu seseorang dengan melawan hukum akan diputuskan sebagai pihak yang salah, oleh karenanya dia diwajibkan menyerahkan kembali apa yang telah dikuasai itu kepada pemegang hak yang sah menurut hukum. Dengan demikian apa yang termuat dalam huku perdata material dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
10
II. Pengadilan Khusus dan Kamar Khusus pada Peradilan Umum Dalam Peradilan umum dikenal adanya pengadilan khusus dan kamar-kamar khusus berdasarkan perkara-perkara tertentu yang dimungkinkan untuk diselesaikannya secara khusus.
a. Pengadilan Niaga Pengadilan Niaga adalah kamar khusus yang berkedudukan pada Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan
memutus
permohonan
pernyataan
pailit
dan
Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut.
b. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004, Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Batasan
pengertian
perselisihan
hubungan
industrial
11
berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Nomor 2 Tahun 2004, adalah perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
c. Pengadilan Anak Sekalipun disebut pengadilan anak pada dasarnya merupakan kamar khusus, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang. Dalam pengadilan anak Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.
d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan
Tindak
Pidana
Korupsi
pengadilan
khusus,
merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Yang
12
dimaksud dengan ”satu-satunya pengadilan” adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang penuntutannya diajukan oleh penuntut umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 tahun 2002 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
e. Pengadilan HAM Berat Pengadilan HAM Berat adalah pengadilan khusus untuk perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hakasasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM Kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf meliputi adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
13
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, Membunuh anggota ras, kelompok etnis, kelompok agama. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat kelompok; Menciptakan kondisi kehidupan terhadap anggota-anggota kelompokkelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah atau sebagiannya;
Memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelahiran di dalam kelompok; kelompok tertentu ke kelompok lain.
f. Pengadilan Perikanan Pengadilan perikanan berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Dengan UndangUndang
ini
dibentuk
pengadilan
perikanan
yang
berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum.
III. Peradilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Pajak a.
Pengadilan TUN Di negara-negara yang telah maju, konsep tentang Welfare State
dan perkembangan sosial telah sedemikian rupa sehingga mendesak pemikiran-pemikiran kembali mengenai Peradilan Tata Usaha Negara. Masalahnya adalah, peranan pemerintah yang bertambah besar dalam penciptaan Welfare State memerfukan kelincahan yang lebih besar daripada dalam suatu negara dimana pemerintah hanya bersikap sebagai polisi dan hanya bertindak atas permintaan perorangan atau apabila ada kepentingan yang dilanggar. Akan tetapi di lain pihak, terhadap
14
kebebasan bertindak dan mengatur yang bertambah besar dalam negara negara ini, perlu dipikirkan cara-cara tepat agar dapat dipelihara keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan warga negara. Campur
langan
yang
lebih
besar
dalam
kegiatan-kegiatan
kehidupan masyarakat sebenarnya merupakan masalah di negara-negara berkembang, di mana wewenang untuk mengatur dirasa sangat diperlukan untuk dapat menyelenggarakan pembangunah di segala bidang dalam rangka pembangunan nasional. Namun di negara-negara berkembang yang rnenunjang tinggi paham negara hukum, dirasakan perlunya mencari cara yang di satu pihak dapat menjamin wewenang bertindak dan mengatur dari pemerintah, dan di lain pihak dapat menjamin
bahwa
wewenang
bertindak
dan
mengatur
yang kian
bertambah itu tidak sampai melanggar hak-hak asasi warga negara. Di negara Republik Indonesia kecendrungan akan pemeliharaan keseimbangan tersebut sudah diletakkan dasar-dasarnya dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 10 ayat 1 UU tersebut menentukan, bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, d. Peradilan Tata Usaha Negara, Sedangkan yang menjadi dasar hukum peradilan di Negara Republik Indonesia tercantum dalam pasal 24 UUD 1945 yaitu: 1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan Kehakiman menurut Undang-Undang. 2. Susunan dan kekuasaan badan- badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang. Selain itu pula keinginan untuk mewujudkan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat dijumpai dalam Ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/1978 lenatng Garis-garis Besar Haluan Negara pada bagian dasar dan arah pembangunan serta pembinaan hukum, dengan kata-kata: "Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara."
15
Sesungguhnya niat untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara telah ada sejak Negara Republik Indonesia baru merdeka, yaitu terbukti dengan dicantumkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1945 mengenai Peraturan tentang Susunan dan kekuasaan Badan-Badan Kehakiman, yang dalam pasal 6 ayat 1 disebut dengan istilah Peradilan Tata Usaha Pemerintahan. Selanjutnya Ketetapan MPRS Nomor D/MPRS/I960 menetapkan diadakannya Peradilan Adrainistratif. Kemudian ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam tahun 1964 dengan diundangkannya UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Namun akhirnya UU No.19 Tahun 1948 dan UU No. 19 tahun 1964 tidak diberlakukannya lagi karena alasan politis. Peraturan lainnya yang memiliki arti penting dalam pembentukan PTUN adalah Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie ( R O ) atau Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebi jaksanaan Kehakiman, yaitu suatu peraturan produk kolonial yang belum pernah dicabut, jadi masih berlaku sampai sekarang berdasarkan Peraturan Peralihan pasal II UUD 1945. Keinginan membentuk Peradilan Tata Usaha Negara pernah dirumuskan juga dalam bentuk Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang sekarang bernama BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional ), pada tanggal 10 Januari 1966, Pada tahun 1975, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung melakukan penelitian mengenai aspek pengaturan Peradilan Administrasi Negara dalam Undang-Undang, dari pandangan-pandangan ahii di bidang Hukum Administrasi Negara dari masa ke masa, terutama pendapat ahli-ahli Indonesia. Kegunaan praktis penelitian adalah agar dapat terwujud Peradilan Administrasi yang memiliki wewenang konkrit dan tegas, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, serta bahanbahan dan data- data yang diperoleh tersebut diharapkan dijadikan
16
pedoman pengukuran yang akan memberikan manfaat kepada usaha penyempumaan perundang-undangan di Indonesia, khususnya mengenai bentuk dan isi administrasi negara be serta pembentukan UndangUndangnya. Keinginan untuk segera membentuk Peradilan Tata Usaha Negara ini dipertegas lagi dalam Pidato Kenegaraan Presiden R1 Soeharto di hadapan Sidang Pleno DPR pada tanggal 16 Agustus. Pidato ini direalisasikan ke dalam Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1978 tentang GBHN. Final Draft RUU tentang PTUN pada tahun 1982 berada dalam penggodokan dan telah dibahas dalam forum DPR, namun karena keterbatasan waktu dan beratnya mated akhirnya DPR tidak dapat menyelesaikan pembentukan Undang- Undang PTUN. Adanya keterlambatan dan kegagalan meng- adakan suatu PTUN di Indonesia meriurut Sunaryati Hartono bersumber pada pendapat dan kekhawatiran kaiau-kalau (seperti lialnya dengan perkembangan di Perancis, Belanda, Jerman dan negara-negara lain yang memiliki PTUN) pengadilan it u akan: 1. Merupakan manifeslasi dari falsafah individuaIisme, sehingga bertentangan dengan Pancasila. 2. Merupakan
pengawasan
yang
terlalu
ketat
terhadap
kebijaksanaan lembaga-lembaga pemerintah sehingga akan sangat menghambat jalannya pemerintahan yang efektif dan efisien. 3. Menyulitkan pelaksanaan politik pemerintah, khususnya dalam ha! pengambilan keputusan. Kekhawatiran ini sebenarnya tidak beralasan, karena pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia tidak akan mencontoh belaka pada sistem Peradilan Tata Usaha Negara di negara lain, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan situasi disesuaikan dengan kebutuhan siluasi dan kondisi serin perkembangan di Indonesia, bahkan akan diciptakan sistem sendiri yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di Indonesia yang berfaisafah Pancasila.
17
Akhirnya
pada
bulan
April
1986
pemerintah
sekali
lagi
menyampaikan Rancangan Undang- Undang tentang PTUN yang telah disempurnakan kepada DPR masa bakti 1982-1987, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR menyetujui RUU tersebut menjadi Undang- Undang, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri baru terbentuk pada tahun 1991, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang dilakukan oleh hakim-hakim yang khusus diangkat untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh orang atau Badan Hukum Perdata terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara mengadakan penilaian (hukum) terhadapa tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu, yang tindakan hukumnya berupa Keputusan Tata Usaha Negara. (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya Peradilan Tata Usaha Negara adalah bertujuan, untuk mengatur hubungan antara pejabat pemerintah dengan warga negara, atau tepatnya adalah untuk melindungi warga negara dari perbuatan pemerintah/penguasa yang memiliki kecendrungan menyalahkan kekuasaannya (onrechtmatige overheids daad; detournement de pouvoir). Perlindungan warga negara (individu) dari penguasa ini dilandasi sejarah masa lalu, tepatnya pada saat kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang raja, ratu, kaisar dan sebagainya, yakni negara yang membentuk monarki (absolut). Dalam UU No 5 Tahun 1986 untuk membentuk PTUN dengan Keputusan Presiden (Keppres). Di Indonesia sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990 tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung
18
Pandang. Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak, Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu, Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum PTUN Dili, setelah Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik Indonesia. Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004). Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004. Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142.
b. Pengadilan Pajak Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan
kepada
Pengadilan
pajak.
Itu
termasuk
gugatan
atas
19
pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat paksa. Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak . Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak. Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tetang Pengadilan pajak, pembinaan serta pengawasan umum terhadap hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan
pembinaan
organisasi,
administrasi,
dan
keuangan
ditanggulangi oleh Kementrian Keuangan.
IV. Peradilan Agama Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan Umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah,
wakaf
dan
shadaqah.
Peradilan
agama
hendak
menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam. Perubahan signifikan di bidang ketatanegaraan dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (one roof system) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan dimasukkannya Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amandemen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU Nomor 4 Tahun 2005 tentang kekuasan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
20
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Konsekuensi dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian
dari
perwujudan
reformasi
hukum
untuk
menciptakan
kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan Agama bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
V. Peradilan Militer Kompetensi absolut peradilan militer dijelaskan Pasal 9 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pada
pokoknya menyatakan : a. Mengadili Tindak Pidana Militer Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang pada waktu melakukan adalah: a. Prajurit ; b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit; c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan
atau
dianggap
sebagai
prajurit
berdasarkan undang-undang ; d. Seseorang yang tidak termasuk prajurit atau yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit atau anggota suatu
golongan
atau
jawatan
atau
badan
atau
yang
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit ber-dasarkan
21
undang-undang; tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. b. Tata Usaha Militer. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Wewenang ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding. Peradilan militer juga memiliki kompetensi absolut untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana bersangkutan atas permintaan dari pihak dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan. Kompetensi relatif merupakan kewenangan pengadilan sejenis untuk memeriksa suatu perkara. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer : Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang : a. Tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau b. Terdakwanya
termasuk
suatu
kesatuan
yang
berada
di
daerah hukumnya.
VI. Mahkamah Konstitusi Dalam praktik kenegaraan di Indonesia diakui tiga cabang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan judikatif. Cabang kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden dan wakil presiden. Pada cabang kekuasaan legislatif, terdapat dua lembaga yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan cabang kekuasaan judikatif
atau
lebih
tepatnya
kekuasaan kehakiman berada
pada
pemerintahan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
22
martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : 1. kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan
peradilan
umum,
peradilan
dibawahnya
lingkungan
peradilan
dalam
lingkungan
agama,
lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 3. badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Sebagai sebuah lembaga negara Mahkamah konstitusi diberikan kewenangan oleh konstitusi. Kewenangan tersebut antara lain: 1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. memutus pembubaran partai politik; 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; 5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23
BAB II SISTEM PERADILAN PERANCIS
A. Pendahuluan Perancis memiliki sistem hukum yang berasal dari Romawi hukum dan berdasarkan hukum dikodifikasi. KUH Perdata dirancang pada 1804 di bawah Napoleon I. Namun demikian hakim memiliki tugas untuk menafsirkan hukum dan keputusan pengadilan yang lebih tinggi memiliki pengaruh tertentu pada pengadilan rendah bahkan jika mereka tidak terikat dengan keputusan pengadilan yang lebih tinggi ini. Yang terakhir waktu hukuman mati dikeluarkan di Perancis adalah di tahun 1978. Saat itu secara resmi dilarang pada bulan Oktober 1981 . Parlemen, baik Majelis Nasional dan Senat, memutuskan pada bulan Februari 2007, untuk mengubah Konstitusi Perancis dalam rangka untuk memasukkan larangan eksplisit dari hukuman mati. Pernyataan konstitusional bahwa "Tidak ada yang harus dijatuhi hukuman mati ", membuat Prancis negara ke-17 di seluruh dunia untuk memasukkan larangan hukuman mati dalam Konstitusinya. Sistem Peradilan Perancis memiliki jenjang dari tingkat pengadilan tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi. Dalam hal ini, bagian tertinggi sistem peradilan Prancis adalah Pengadilan Kasasi (Cour de cassation). Seperti tersirat dari namanya, pengadilan ini berfungsi sesuai prinsip kasasi, yaitu, dapat menganulir keputusan pengadilan di bawahnya, namun normalnya tidak boleh mengganti keputusan itu dengan keputusan finalnya sendiri dalam perkara tersebut. Karenanya, permohonan banding kepada Pengadilan Kasasi dianggap sebagai sarana hukum luar biasa dan tidak disebut "appel," melainkan "pourvoi en cassation." Bila putusan pengadilan di bawahnya dianulir, biasanya perkara akan kembali ke pengadilan tersebut untuk memperoleh keputusan baru. Namun, di Prancis, perkara tidak diserahkan kembali kepada pengadilan yang putusannya sudah dianulir itu (biasanya salah
24
satu Court of Appeal), melainkan ke pengadilan lain yang berada pada tingkat yang sama. Pengadilan ini secara formal tidak diwajibkan mengikuti
sikap
Pengadilan
Kasasi
untuk point
of
law yang
dipermasalahkan. Namun, bila putusan kedua ini dimintakan banding dan dianulir oleh Pengadilan Kasasi (yang dalam kasus ini akan terjadi lewat keputusan Pengadilan yang dihadiri seluruh anggota), maka Court of Appeal ketiga yang dirujuk untuk perkara tersebut akan terikat untuk mengikuti pandangan Pengadilan Kasasi terhadap persoalan hukum tersebut. Pengadilan Kasasi Prancis hanya menangani persoalanpersoalan hukum (questions of law) dan dianggap terikat oleh temuantemuan fakta yang mendasari putusan yang dimintakan banding (putusan yang menyangkut "appreciation souveraine des juges defait"), yang artinya, antara lain, bahwa penafsiran kontrak hanya bisa diperiksa kembali dalam kasus-kasus yang sangat istimewa. Harus diperhatikan bahwa banding langsung ke Pengadilan Kasasi dapat saja terjadi, meski untuk kasus-kasus sangat kecil yang telah diputuskan dalam pengadilan tingkat pertama dan tidak dapat dimintakan banding ke Court of Appeal. Berkebalikan dengan pengadilan- pengadilan tertinggi di banyak negara, Pengadilan Kasasi sejak 1958 tidak bisa mengatur beban kerjanya sendiri dengan menyetujui atau menolak izin untuk mengajukan banding. Akibatnya, terjadilah penundaan yang panjang karena pengadilan terpaksa memutuskan ribuan kasus per tahun, termasuk banyak kasus kecil yang secara prinsip tidak penting. Pengadilan Kasasi dibagi menjadi enam divisi (chambers), lima di antaranya menangani kasus sipil dan satu menangani kasus kriminal. Di bawah Pengadilan Kasasi ada tiga puluh Court of Appeal. Pengadilan-pengadilan ini dijumpai di kota-kota besar dan memutuskan banding keputusan yang dikeluarkan berbagai pengadilan tingkat pertama. Court of Appeal disebut dengan nama kota, misalnya, Cour d'appel de Bourdeaux. Sitat pada suatu keputusan Court of Appeal ditulis dalam ben- tuk singkat dengan hanya menyebutkan nama kota dan
25
tanggalnya; misalnya, Paris, 15 Mei 1979 berarti bahwa putusan itu dikeluarkan oleh Court of Appeal di Paris pada 15 Mei 1979. Setiap kasus yang dihadapkan ke Court of Appeal diperiksa oleh tiga orang hakim profesional. Pemeriksaan pengadilan untuk kasus-kasus sipil yang lebih penting kira-kira berjumlah 180 tribunaux de grande instance (tribunaux adalah bentuk jamak dari tribunal), yang sama dengan Court of Appeal, terdiri dari tiga orang hakim profesional. Dalam kasus-kasus kriminal, pengadilan yang setara kedudukannya ialah tribunaux correctionnels. Kasus- kasus kecil (small claims cases) diperiksa oleh satu dari 470 tribunaux d'instance, sedangkan kasus-kasus kriminal kecil oleh tribunaux de police. Dalam pengadilan-pengadilan ini kasus diputuskan oleh hakim tunggal profesional. Ada sejumlah pengadilan khusus, termasuk kira-kira 230 pengadilan dagang (tribunaux de commerce), yang ditangani hakimhakim kalangan awam (lay judges) yang dipilih dari kalangan pengusaha sendiri, dan conseils de prud'hommes, yang menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum ketenagakerjaan dan mencakup wakilwakil para pekerja dan pemberi kerja. Kasus-kasus yang berhubungan dengan sewa tanah pertanian diperiksa oleh satu dari 40 tribunaux paritaires des baux ruraux, yang anggota-anggotanya juga mewakili kepentingan tertentu. Keputusan dari semua pengadilan ini biasanya dapat dimintakan banding ke salah satu Court of Appeal dan selanjutnya ke Pengadilan Kasasi. Namun, perkara-perkara kriminal yang sangat berat terlebih dahulu diperiksa di depan juri di salah satu cours d'assises non-permanen, yang keputusannya bisa langsung dimintakan banding ke Pengadilan Kasasi. Pembagian kompetensi di antara pengadilan yurisdiksi umum dan pengadilan dagang sangat penting. Bila yang merupakan usaha bisnis (commerqant ) hanya tergugat, sering-seringnya penggugat bisa memilih di antara dua tipe pengadilan itu, sementara commerqant hanya dapat meng- gugat orang pribadi ( private person) di pengadilan yurisdiksi umum.
26
Bila kedua pihak sama-sama commerqant, biasanya pengadilan dagang memegang yurisdiksi eksklusif. Prancis juga memiliki sejumlah pengadilan administratif. Keputusan yang dikeluarkan oleh satu dari 33 tribunaux administratifs itu dapat dimintakan banding ke satu dari lima cours administratives d'appel. Tingkat tertinggi dari pengadilan administratif itu ialah tingkat kasasi, Conseil d'Etat. Conseil d'Etat sekaligus berfungsi sebagai badan konsultasi yang menyediakan opini ahli tentang usulan legislasi. Dalam kasus-kasus yang amat jarang terjadi ketika muncul konflik yurisdiksi antara pengadilan yurisdiksi umum dengan pengadilan administratif, Tribunal des conflits akan memutuskan cara proses hukum yang tepat. Pengadilan yang bersifat khusus ialah Dewan Konstitusi ( Conseil constituionnel), terdiri dari semua mantan presiden Prancis dan sembilan anggota tambahan. Contohnya, Dewan Konstitusi dapat menyatakan bahwa suatu usulan undang-undang bertentangan dengan Konstitusi, namun Dewan hanya boleh mempertimbangkan perkara itu atas permintaan Presiden Republik, Perdana Menteri, ketua salah satu dari dua majelis dalam parlemen Prancis (Senat dan Majelis Nasional), atau suatu kelompok yang terdiri dari sekurang- kurangnya 60 anggota dari tiap-tiap majelis tersebut. Pemeriksaan pengadilan khas Prancis untuk suatu kasus sipil dimulai dengan pelayangan perintah pemanggilan yang disebut assignation kepada tergugat (le defendeur). Sesudah itu dimulailah pengajuan sejumlah dokumen yang menjadi dasar perkara (communication des pieces) bagi penggugat (le demandeur). Tergugat menjawab panggilan pengadilan dan mengajukan dokumen-dokumennya dengan cara conclusions. Dalam pemeriksaan pengadilan itu sendiri, argumen (plaidories) dan presentasi lisan pengacara sangat penting; argumen dan presentasi lisan dianggap menjadi esensi dari profesi pengacara itu sendiri. Saksisaksi sangat jarang ada dalam kasus sipil. Pemeriksaan tanya-jawab kepada saksi dilakukan oleh pengadilan, bukan oleh para pihak atau
27
pengacara mereka. Namun, para pihak atau pengacara mereka boleh meminta pengadilari untuk mengajukan pertanyaan tertentu kepada saksi. Dalam situasi ketika fakta sangat tidak jelas, pengadilan Prancis dapat mempergunakan
jasa
seorang "pakar" yang
diharapkari
mampu
mengusut dan menyajikan fakta-fakta perkara secara tidak memihak. Pakar ini tidak harus seorang pakar dalam pengertian biasa kata tersebut, yaitu, orang yang memiliki pengetahuan khusus atau kualifikasi khusus dalam bidang tertentu.
B. Bagan Sistem Peradilan Perancis
28
C. Tugas dan Fungsi Pengadilan Dalam Sistem Peradilan di Perancis I.
Peradilan Umum (Perdata dan Pidana) Terbagi menjadi 3 tingkatan: 1. Pengadilan Tingkat pertama 2. The Cour d'appel (Pengadilan Banding) 3. The Cour de cassasi (Pengadilan Kasasi)
1. Pengadilan Tingkat Pertama Peradilan terbagi ke dalam dua kategori pengadilan: (1) pengadilan sipil (perdata) dan (2) pengadilan pidana. Pengadilan sipil menangani sengketa
(antara
pemilik
dan
penyewa,
menceraikan
pasangan,
konsumen dan produsen, tentang warisan, dll) tapi tidak memberikan hukuman. Pengadilan pidana menghukum mereka yang merugikan orang lain, yang merusak barang orang lain atau yang merugikan masyarakat pada umumnya.
(1) Pengadilan sipil (Perdata) a.
The tribunal de grande instance Ini berkaitan dengan sengketa perdata antara orang pribadi (perorangan atau badan hukum) yang tidak dialokasikan untuk pengadilan sipil lainnya (seperti pengadilan d'misalnya) dan sengketa perdata yang melibatkan klaim lebih dari € 10.000. Ini memiliki yurisdiksi eksklusif dalam banyak kasus, terlepas dari jumlah klaim. Hal ini berlaku dalam kasus-kasus yang menyangkut keturunan, harta, adopsi, warisan, kepemilikan real properti dan hukum merek dagang. Secara umum aturan sebagai "kuliah", dengan tiga hakim profesional (magistrats du Siège atau Hakim Agung), dibantu oleh registrar. Dalam hal spesialis tertentu, seperti perselisihan keluarga, atau dalam kasus pidana yang melibatkan pelanggaran kecil, penghakiman akan, bagaimanapun, akan diberikan oleh hakim tunggal.
29
b.
The tribunal The
d’instance
tribunal d’instance adalah
pengadilan setempat, yang mudah
untuk mengakses. Ini berkaitan dengan semua kasus perdata yang melibatkan klaim tidak melebihi € 10.000, seperti sengketa yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas jalan, sewa yang belum dibayar, pengerjaan miskin, klaim untuk kerusakan, dll juga memiliki yurisdiksi untuk menangani perwalian. Tribunaux d'instance juga memiliki yurisdiksi untuk menangani deklarasi akuisisi kebangsaan Perancis dan menerbitkan sertifikat kewarganegaraan Perancis. Kasus selalu didengar oleh hakim tunggal yang memimpin sidang. Ia mencapai keputusan sendiri, dibantu oleh registrar pengadilan. Berperkara tidak perlu dibantu oleh pengacara.
c.
The tribunal de commerce The tribunal de commerce berkaitan dengan sengketa antara orang
pribadi
dan
pedagang
atau
antara
pedagang
dan
perusahaan komersial. Ini juga mengadili sengketa yang berkaitan dengan transaksi komersial antara perusahaan dan antara individu. Akhirnya,
ia
memiliki
yurisdiksi
untuk
memerintah
pada
konsekuensi dari kesulitan ekonomi perusahaan komersial dan pengrajin dengan mengambil tindakan pencegahan atau memesan proses kolektif. Pengadilan de perdagangan terdiri dari hakim nonprofesional. hakim ini adalah pedagang yang menyediakan layanan mereka secara sukarela dan yang terpilih selama dua atau empat tahun oleh pedagang lainnya. bangku harus terdiri dari setidaknya tiga hakim terpilih.
d.
Conseil des prud'hommes Conseil des prud'hommes mengadili perselisihan pribadi antara karyawan atau magang dan pengusaha, yang timbul sehubungan dengan kontrak kerja atau magang. conseil tidak menangani
30
perselisihan kolektif, seperti tentang hak mogok. Ketika suatu hal disebut tubuh ini, itu pasti akan berusaha untuk mendamaikan pihak-pihak yang menentang. Jika konsiliasi tidak mungkin, maka menjadikan penghakiman. Seperti perdagangan tribunaux de, yang conseils des prud'hommes terdiri dari terpilih hakim non-profesional yang dikenal sebagai "Conseillers prud'homaux". Mereka mewakili pengusaha dan karyawan, dengan masing-masing kelompok memiliki perwakilan yang sama.
(2) Pengadilan pidana
a. The tribunal de police The tribunal de police, misalnya, mencoba pelanggaran kecil, seperti pelanggaran perdamaian di malam hari, pelanggaran tertentu dari Kode Highway, atau serangan kecil. Pengadilan aturan pada contoh terakhir, yaitu tanpa kemungkinan banding, untuk pelanggaran paling serius. pengadilan selalu hanya terdiri dari satu hakim. Ini biasanya seorang hakim dari pengadilan d'misalnya, yang dibantu oleh registrar.
b. The tribunal correctionnel The tribunal correctionnel merupakan bagian dari pengadilan de grande
misalnya,
penipuan,
mencoba
penyalahgunaan,
pelanggaran serangan
ringan
serius,
(pencurian,
dll).
Ini
bisa
memaksakan hukuman penjara hingga sepuluh tahun (dua puluh tahun dalam hal pelanggaran kedua) atau alternatif penjara, seperti pelayanan masyarakat, hukuman percobaan atau masa percobaan. Hal ini juga dapat mengenakan denda, atau hukuman tambahan seperti larangan berolahraga kegiatan profesional, atau suspensi izin mengemudi individu. Secara umum aturan sebagai "kuliah", dengan tiga hakim profesional dari pengadilan de grande misalnya, termasuk hakim ketua. Tertentu pelanggaran kurang serius
31
mungkin, bagaimanapun, akan diadili oleh correctionnel pengadilan duduk dengan hakim tunggal.
c. The
Cour d’assises
The cour d'assises mencoba mereka yang dituduh melakukan kejahatan (pembunuhan, pemerkosaan, perampokan bersenjata, dll), kejahatan berusaha, dan mereka yang dituduh sebagai aksesoris. The cour d'assises bukan pengadilan permanen, biasanya pertemuan setiap tiga bulan selama sekitar dua minggu. Jenis pengadilan ditemukan di setiap departemen. Komposisi dan modus operandi yang biasa, karena merupakan satu-satunya pengadilan yang terdiri dari hakim profesional (tiga) dan juri (sembilan warga dipilih oleh banyak gambar). kejahatan tertentu diadili oleh cour d'khusus assises tanpa juri, seperti aksi teroris tertentu atau tindakan yang berhubungan dengan narkoba. Penilaian dari cour d'assises dapat mengajukan banding. The cour d'assises d'appel terdiri dari tiga hakim profesional dan juri dari 12 yang memeriksa kembali seluruh kasus. Keputusan cour d'assises d'appel mungkin sendiri akan mengajukan banding di Cour de kasasi.
2.
The Cour d'appel (Pengadilan Banding) Terdiri semata-mata hakim profesional, cour d'appel ulang meneliti penilaian diberikan di sipil, komersial, pekerjaan atau masalah kriminal. Ini kembali mengkaji dasar hukum dari penilaian, memeriksa bahwa tidak ada kesalahan yang telah dibuat dalam hukum, dan terlihat lagi fakta-fakta dari kasus tersebut. Ini mungkin baik untuk mengkonfirmasi putusan
pengadilan
yang
lebih
rendah,
atau
sisihkan
(yaitu
membatalkan atau merevisi itu) secara keseluruhan atau sebagian. Dalam kasus terakhir, mencapai keputusan baru pada substansi kasus.
32
Keputusan cours d'appel dapat mengajukan banding ke Cour de kasasi.
3. The Cour de kasasi (Pengadilan Kasasi) Cour de kasasi adalah pengadilan tertinggi di Perancis. Itu duduk di Paris dan memiliki yurisdiksi di seluruh wilayah Prancis. Peradilan di antaranya itu terdiri untuk memeriksa bahwa keputusan pengadilan yang lebih rendah konsisten dengan hukum, tetapi mereka tidak mengucapkan pada fakta-fakta kasus yang dirujuk kepada mereka. Kasus dirujuk ke Cour de kasasi banding. Proses ini dikenal sebagai "pourvoi en kasasi" (banding atas poin hukum). Jenis banding dapat diajukan oleh setiap orang yang telah menjadi subyek dari keputusan pengadilan atau oleh otoritas penuntutan (Procureur général près la Cour d'appel - Jaksa Penuntut Umum Kepala Sekolah di Cour d'appel). Ketika Cour de kasasi menganggap bahwa keputusan menantang tidak konsisten dengan hukum, keputusan rusak ( "cassée"). Kasus ini kemudian dikirim kembali ke pengadilan yang lebih rendah untuk dipertimbangkan kembali. Jika tidak, jika Cour de kasasi menemukan bahwa keputusan menantang konsisten dengan hukum, banding ditolak, yang berjumlah mengkonfirmasikan keputusan. Kewenangan penuntutan diwakili oleh général Procureur dan Avocats Generaux (JPU pokok dan menuntut pengacara).
II.
Pengadilan Administratif Pada waktu kerajaan di bawah kekuasaan Raja Hugo Capet
(kurang lebih tahun 967 AC), dibentuk lembaga Curia Regis sebagai Dewan Raja. Peranan Curia Regis lebih nampak sewaktu Louis le Saint (12261270) memerintah, yaitu Curia Regis berperan sebagai pembantu Raja yang diberi wewenang: 1. Memberikan
nasihat
kepada
raja,
kebijaksanaan berlakunya jenis mata uang.
ketika
menetapkan
33
2. Bertindak sebagai Mahkamah Banding terhadap pulusan-putusan Hakim di daerah para feodal kecil. Pada masa mnnarki absolut, Curia Regis itu berubah menjadi Conseil du Roi sebagai badan penasihat Raja dalam masalah- masalah pemerinlah,
administrasi,
dan
keuangan.
Pada
saat
Louis
XIV
memerintah, ke dalam Conseil du Roi dimasukkan beberapa orang ahli yang menjalankan fungsi yang berbeda- beda dalam beberapa formasi. Salah salu formasi itu disebut Le Conseil d'Etatprive oudesparties, yang diberi tugas yurisdiksional. Pada tahun 1789 pecahlah Revolusi Perancis yang menentang kesewenang-wenangan raja. Rakyat menunlut persamaan hak dengan tidak melihat kedudukan atau keturunan, sehingga limbul semboyan liberie,
egalite
dan
fraternite (kebebasan,
persamaan
hak,
dan
persaudaraan), Setelah Revolusi Perancis, pada saat kekuasaan dipegang oleh Napoleon Bonaparte, yang terkenal dengan kodifikasinya yang disebut Code Napoleon, bangsa Perancis merasa sebagai bangsa yang paling maju di bidang hukunt, hak dan keadilan. Kemajuan tersebut meliputi bidang peradilan, karena sistern dan pola peradilan Perancis banyak diterapkan di berbagai negara Eropa, bahkan sampai Yunani dan negara-negara Francophone di benua Afrika. Selanjutnya untuk menghin- darkan kesewenang-wenangan raja terulang kembali, Napoleon Bonaparte pada taliun 1799 mengubah lembaga Conseil dn Roi (Dewan Penasihai Raja) menjadi Conseil d'Etat (Dewan Penasihat Negara), yang bertugas utama memberikan nasihat kepada pimpinan negara, agar kesewenang- wenangan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan (administrasi negara) tidak terulang kembali. Selanjutnya melalui berbagai perkembangan, antara lain perkembangan yang semula berfungsi tunggal sebagai penasihat pimpinan negara, kemudian berfungsi ganda sebagai penasihat dan berfungsi
34
yudikatif. Akhirnya Conseil d'Etat berfungsi sebagai puncak dari lembaga peradilan administratif/tribunal administratif. Perkembangan Conseil d'Etat menjadi puncak dari badan-badan peradilan administrasi yang muncul sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan menjalankan
suatu
pemerintahan
yang
baik,
merupakan
suatu
konsekuensi logis dari ketentuan hukum dasar yang berlaku di Perancis sejak Revolusi yang menjadi pemisah mutlak antar kekuasaan eksekulif administrasi
dengan
kekuasaan
yudikatif
(Trias
Politika
dari
Montesquieu ). Untuk menampung pengaduan-pengaduan terhadap pelaksanaan tugas administrasi, maka di lingkungan Conseil d'Etat dibentuk suatu Comite de Contentiex (Panitia Perselisihan) yang kemudian berfungsi dalam bitlang yudikatif. Comite de Contentiex merupakan cikal bakal lembaga yudikatif dalam bidang administrasi yang bertujuan untuk menampung
pengaduan-pengaduan
yang
menyangkut
bidang
administrasi dan mengusulkan benluk penyelesaiannya. Lembaga inilah yang mendasari keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia yang dibentuk untuk menyelesaikan dengan seadiLadilnya dan secepatcepatnya, berdasarkan hukum yang berlaku sebagaimana sewajarnya dalam negara hukum, Sengketa antara pemerintah dengan anggota masyarakat yang kemungkinan timbul dalam rangka usaha pemerintah menata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jadi
di
Perancis,
lembaga
peradilan
administrasi
banyak
mememgang peranan dalam kehidupan ketatanegaraan sehari-hari. Fungsi peradilan administrasi ialah menangani persoalan (hukum) yang terjadi antara pemerintah di satu pihak dengan warganyadi pihak lain, Hal ini juga merupakan fenomena yang biasa terjadi di beberapa negara Eropa Barat, bahkan di benua Afrika seperti mi salnya Aljazair dan Maroko Pengadilan administratif terpisah dari "peradilan" pengadilan (yaitu perdata dan pidana) dan independen dari layanan sipil. Ada tiga tingkat yurisdiksi:
35
a. Pengadilan Administratf (administratifs tribunaux), b. Cours administratives d'appel (Banding) c. Conseil d'Etat.(Kasasi)
1. Pengadilan Administratif (Tingkat Pertama) Pengadilan administratif mengadili semua kasus terhadap tindakan dan keputusan dari berbagai cabang negara, kecuali untuk kasus-kasus yang secara khusus dialokasikan oleh hukum untuk pengadilan administratif lainnya, seperti Conseil d'Etat. Lebih khusus lagi, mengadili kasus terhadap tindakan negara, dewan daerah, departemen, kota (keputusan kotamadya atau tindakan individu yang melibatkan pegawai negeri, dll), tindakan untuk kerusakan terhadap pelayanan publik administrasi dan perselisihan yang berkaitan dengan kontrak dengan negara (seperti sebagai pekerjaan umum kontrak). Ini juga memiliki yurisdiksi dalam perselisihan tentang pajak langsung dan pemilihan kota dan kewilayahan, perselisihan kerja dalam pelayanan publik dan perselisihan mengenai orang asing yang tinggal di Perancis mengenai hak tinggal, dll. Kompetensi Tribunaux Administratifs pada prinsipnya adalah memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa akibat keputusan pemerintah
dan
merugikan
warga
semua
kebijakan
masyarakat.
pemerintahan
Pada
intinya
(publik)
objek
yang
sengketa
mempersoalkan tentang benar tidaknya, atau sah tidaknya tindakan di bidang urusan pemerintahan yang didasarkan pada ketentuan hukum publik. Dalam hal Gugatan menyangkut pembatalan keputusan pemerintah karena melanggar undang-undang, dan dikabulkan oleh pengadilan maka pemerintah harus mengambil keputusan baru yang sesuai dengan undang-undang. Petitum gugatan dapat berupa tuntutan pembatalan keputusan dipisahkan dengan tuntutan ganti rugi, atau digabungkan. Dalam hal keputusan dinyatakan illegal dan dibatalkan, Penggugat atas dasar itu
36
menuntut ganti rugi yang diakibatkan oleh keputusan yang illegal tersebut. Dalam hal ini Penggugat harus membuktikan fakta-fakta adanya kerugian yang diderita oleh sebab illegalitas keputusan tersebut. Dalam
pertimbangan
hukum
putusan,
pertama-tama
dipertimbangkan tentang kesalahan pemerintah di dalam menerbitkan keputusan. Jika unsur kesalahan di dalam penerbitan keputusan tidak terbukti, Hakim tidak akan mempertimbangkan hal kerugian. Putusanputusan yang terdahulu (yurisprudensi) tidak mengikat secara mutlak. Hakim administrasi di Perancis dapat memutus berbeda (tidak mengacu pada yurisprudensi sebelumnya) antara lain dipengaruhi oleh sebab kondisi atau keadaan yang telah berubah di masyarakat, atau putusan Counseil d'Etat maupun putusan Cour d'Appel, putusan Uni Eropa, putusan pengadilan HAM di Strassburg, konvensi internasional maupun ketentuan hukum Uni Eropa (khususnya di bidang ekonomi dan sosial) yang kesemuanya mengubah atau berbeda dengan putusan (yurisprudensi) yang ada sebelumnya. Bahwa dikenal mediasi dalam kasus tertentu dan ada peraturan untuk itu, misalnya akan dibuat jalur Kereta Api, pemilik took akan turun omzetnya karena susah masuk toko, maka mereka akan menuntut kerugian dari adanya proyek tersebut di Pengadilan Administrasi. Untuk kasus tersebut dibentuk suatu komisi yang diketuai Hakim Pengadilan Administrasi, wakil dari Pemerintah dan wakil dari kuasa dagang. Komisi itu yang menentukan berapa jumlah yang harus dibayar. Apabila warga tidak menerima putusan komisi, warga dapat menuntut di Pengadilan Administrasi. Kemudian
misalnya
kasus
pembebasan
tanah
yang
menyebabkan tergusurnya sebuah toko. Pemilik toko tentu akan menderita
kerugian
akibat
pembebasan
tanah
tersebut
dan
mengajukan persoalannya ke pengadilan administrasi. Terhadap
37
kasus tersebut dibentuk komisi dengan susunan Ketua Tribunaux Administratifs, Wakil Pemerintah dan wakil dari kamar dagang dan industri. Komisi menentukan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pemerintah kepada pemilik toko. Jika pemilik toko belum puas dengan yang ditetapkan oleh pemerintah, baru mengajukan gugatan ke pengadilan administrasi. Pada
prinsipnya semua
tindakan
pemerintahan yang
didasarkan pada ketentuan hukum publik untuk kepentingan umum yang merugikan warga masyarakat dapat digugat ke pengadilan administrasi di Perancis (jadi objek sengketanya adalah menyangkut tindakan pemerintahan). Terhadap
putusan
pengadilan
administrasi
yang
tidak
dilaksanakan oleh pemerintah tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, dapat dikenakan sanksi pembayaran uang paksa (astrainte). Mekanismenya dibebankan kepada anggaran pemerintah (Departemen yang bersangkutan) melalui budget (APBN), dalam hal ini menjadi tanggung jawab jabatan. Dalam sistim hukum acara peradilan administrasi di Perancis tidak mengenai Gugatan dengan mengatasnamakan masyarakat (actio popularis) sehingga gugatan class action dalam praktek peradilan administrasi tidak dikenal. Pada peradilan administrasi Perancis tidak dikenakan biaya perkara (prinsip proses beracara secara cuma-cuma). Di pengadilan tingkat
pertama
tidak
diwajibkan
gugatan
diwakilkan
kepada
Pengacara, tetapi sebaiknya memakai Pengacara. Pengadilan dalam kasus-kasus
tertentu
dapat
memerintahkan
menyediakan Pengacara terhadap
agar
Penggugat
pemerintah
dengan
biaya
pemerintah. Semua Hakim pengadilan administrasi di Perancis adalah pejabat negara. Rekruitmen bagi calon Hakim di Conseil d'Etat
38
diambil
dari
sepuluh
lulusan
terbaik LENA (Ecole
Nationale
d'Administration), yaitu pendidikan tinggi pasca sarjana atau sekolah tinggi ilmu administrasi tingkat nasional. Namun dibuka rekruitmen khusus di luar Ecole Nationale d'Administration, yaitu dengan cara mengambil ahli adminstrasi pemerintahan yang sudah sangat berpengalaman bekeija pada departemen-departemen pemerintahan. Semua hakim administrasi di Perancis ada di bawah Dewan Negara dan hakim administrasi terpisah dari eksekutif (pemerintah). Tidak dikenal pola mutasi dan promosi yang berlaku di indonesia, karena hakim administrasi Perancis tidak bisa dipindahkan kecuali hakim yang bersangkutan yang meminta untuk dipindahkan. Panitera Pengganti pada pengadilan administrasi di Perancis secara organisatoris ada di bawah Dewan Negara dan Departemen dalam negeri. Jumlah perkara yang masuk di Tribunaux Administratifs Paris rata-rata 20.000 (dua puluh ribu) pertahun. Di seluruh wilayah Perancis ada 42 Tribunaux Administratifs (pengadilan administrasi tingkat pertama).
2. The Cour administrasi d'appel Dibuat
pada
tahun
1987,
Cour
administrasi
d'appel
menganggap banding terhadap penilaian dari administratifs tribunaux. Namun, itu tidak memiliki yurisdiksi untuk mempertimbangkan banding yang melibatkan penilaian terhadap legalitas pemilihan kota dan kewilayahan maupun untuk mempertimbangkan banding terhadap peraturan
dengan
alasan
bahwa
otoritas
telah
melampaui
kewenangannya (ultra vires). Hanya terhadap perkara biasa yang di tangani oleh majelis hakim (3 orang hakim) dapat diajukan banding. Terhadap perkara tertentu yang bersifat ringan dan ditangani oleh hakim tunggal tidak dapat diajukan banding. Namun adapula perkara-perkara tertentu
39
yang langsung diajukan kasasi. Tentang hal ini diatur dalam ketentuan hukum acara (undang-undang yang menetapkan yuridiksi materil pengadilan). Berbeda
dengan
Conseil
d'Etat,
pemeriksaan
terhadap
perkaranya oleh Cour d'Appel dilakukan secara judex factie. Dalam hal ini hakim pengadilan administrasi tingkat banding memeriksa dan memutus perkaranya berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan. Ada delapan pengadilan administrasi tingkat banding di seluruh wilayah Perancis. Pada pengadilan administrasi tingkat banding mengenal sistem kamar, dan pada tiap-tiap kamar mengenal spesialisasi bidang. Setiap kamar ada lima orang hakim dengan ketua kamar. Gugatan dan prosedur persidangan dilakukan secara tertulis. Penggugat harus diwakili oleh penasehat hukum (tidak mengenal prosedur beracara dengan pihak Penggugat prinsipal di persidangan meskipun yang bersangkutan dapat menghadiri sidang tetapi bukan dalam kapasitas sebagai pihak)
3. The Conseil d'Etat Dibuat pada tahun 1799, Conseil d'Etat mengadili banding terhadap beberapa penilaian dari administratifs tribunaux, termasuk sengketa yang berkaitan dengan pemilihan kota dan kewilayahan. Ini bertindak sebagai "cour de kasasi", terutama untuk banding terhadap keputusan
dari
cours
administratives
d'appel
dan
pengadilan
administratif. keputusannya tidak tunduk pada banding. Ini juga memiliki yurisdiksi langsung dalam kasus luar biasa atau penting, terutama petisi mencari pembatalan keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Republik atau Perdana Menteri, atau terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri. Sebagai pengadilan administratif tertinggi, Conseil d'Etat juga menyarankan pemerintah dengan
40
mengkaji dan mengungkapkan pendapat tentang rancangan undangundang dan rancangan keputusan yang paling penting. Kompetensi absolut peradilan administrasi Perancis meliputi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa antara warga negara dengan pemerintah oleh akibat pelaksanaan wewenang pemerintahan yang didasarkan pada ketentuan hukum publik. Jadi semua sengketa administrasi dalam bidang hukum publik antara warga negara dengan pemerintah dapat digugat oleh warga negara ke peradilan administrasi di Perancis. Peradilan administrasi Perancis berpuncak di Conseil d'Etat. Di Perancis pada saat ini, terdapat 42 pengadilan administrasi tingkat pertama (Tribunaux Administratifs) yang semula hanya ada 33 pengadilan dan 8 pengadilan administrasi tingkat banding (Cour d'Appel) yang semula hanya ada 6 pengadilan. Pada
prinsipnya
pemeriksaan
terhadap
sengketanya
dilakukan oleh majelis hakim (terdiri 3 orang hakim). Terhadap kasuskasus yang urgent (memerlukan penanganan cepat karena keadaan mendesak atau kasus- kasus tidak berat), diperiksa oleh hakim tunggal. Misalnya, untuk kasus ringan yaitu yang menyangkut SIM. Untuk kasus yang memerlukan penanganan mendesak karena dalam waktu 48 jam harus diambil keputusan, yaitu kasus yang menyangkut deportasi. Conseil d'Etat merupakan badan/organ negara yang mempunyai dua fungsi: a. Sebagai badan/organ negara yang melaksanakan fungsi Penasehat terhadap Pemerintah (Dewan Negara). b. Sebagai badan/organ yang melaksanakan fungsi peradilan administrasi tertinggi (Badan Peradilan).
Sebagai Badan Penasehat Pemerintah (Dewan Negara) Conseil d'Etat memberi pendapat tentang legalitas suatu Undang- undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, dekrit-
41
dekrit negara dan dekrit-dekrit pemerintah. Dalam hal ini misalnya apakah peraturan perundang-undangan daya berlakunya legal atau illegal. Pendapat Conseil d'Etat tidak mengikat pemerintah, jadi pemerintah dapat mengikuti pendapatnya atau mengabaikannya. Namun demikian jika suatu rancangan undang-undang akan diloloskan oleh parlemen namun dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi akan meloloskan RUU tersebut menjadi undangundang jika ada persetujuan atau pendapat tidak berkeberatan dari Conseil d'Etat. Apabila Conseil d'Etat berkeberatan, maka Mahkamah Konstitusi akan membatalkan RUU tersebut. Bahwa pada tahun 2008 ada revisi konstitusi, "Parlemen bisa meminta pendapatnya Dewan Negara mengenai RUU yang diajukan oleh Parlemen, baik itu senat maupun Majelis Nasional. Bahwa sebagai Hakim Dewan Negara tidak berwenang menilai suatu Undang Undang itu Konstitusional atau tidak. Pengujian terhadap Undang undang bukan merupakan kewenangan Dewan Negara, tetapi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tanggal 1 Maret 2010 ada sebuah reformasi konstitusi yang akan berlaku karena warga Negara bisa meminta pengujian ke Mahkamah Konstitusi, sebelumnya warga Negara tidak bias mengjukan hak uji Undang Undang ke Mahkamah Konstitusi. Atas dasar itu Conseil d'Etat akan melihat apakah ketentuan perundang-undangan Perancis yang dipakai sebagai dasar untuk
menetapkan
deportasi
bertentangan
atau
tidak
dengan
ketentuan Uni Eropa atau ketentuan yang termuat dalam konvensikonvensi hukum internasional yang harus dihormati. Warga negara yang bersangkutan dapat menunjukkan pasal-pasal tertentu di ketentuan Uni Eropa atau konvensi hukum internasional yang dilanggar dalam penetapan deportasi yang bersangkutan.
42
Sebagai Badan Peradilan Administrasi Tertinggi Conseil d'Etat memeriksa mengadili, dan memutus semua sengketa administrasi publik tingkat terakhir dari segi penerapan hukum (judex iuris). Putusan Conseil d'Etat bersifat erga omnes (berlaku dan mengikat secara umum terhadap siapapun). Untuk kasus-kasus biasa Conseil d'Etat memutus dengan tiga orang hakim (Majelis Hakim). Untuk kasus-kasus berat, Majelis hakim yang memutus sengketanya terdiri dari 13 (tiga belas orang), bahkan terhadap kasus-kasus tertentu yang sangat berat dan sangat kompleks persoalan hukumnya diputuskan dengan melibatkan keseluruhan seksi sengketa yang ada (9 seksi) yang kurang lebih berjumlah 15 (lima belas) hakim. Terhadap kasus- kasus yang bersifat mendesak yang memerlukan penyelesaian segera di tangani oleh hakim tunggal. Terhadap sengketa yang diputus oleh Conseil d'Etat dimungkinkan diajukan catatan oleh pihak yang bersengketa dan dapat diajukan untuk diproses ulang. Prosedur beracara di Conseil d'Etat dilakukan secara
tertulis.
Penggugat
harus
memberikan
kuasa
kepada
Pengacara dan kuasa hukum Penggugat tersebut yang berurusan dengan Hakim dalam persidangan. Apabila pengadilan administrasi tingkat banding (Cour d'Appel) menghadapi kasus-kasus tertentu yang berat dan di dalamnya ada persoalan hukum baru serta ada kesulitan yang luar biasa untuk memutusnya, pengadilan tersebut dapat minta pendapat hukum kepada Conseil d'Etat. Conseil d'Etat dapat memberi pendapat hukum dalam tenggang waktu tiga bulan sejak diajukan. Kelebihan prosedur ini adalah terhadap perkaranya dapat segera diputus oleh pengadilan banding dengan tidak perlu berlama-lama sampai di tingkat kasasi dan ada kesamaan hukum terhadap kasus yang sama. Dalam sistem peradilan di Perancis menganal "duality of jurisdiction", yaitu ada dua organisasi
kekuasaan
kehakiman,
dengan
sistem
peradilan
administrasi yang terpisah dari struktur organisasi peradilan umum.
43
Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai yurisdiksi dan kompetensinya sendiri. Untuk lingkungan peradilan umum di Perancis berpuncak pada cour de cassation (Mahkamah Agung), dan untuk lingkungan peradilan administrasi di Perancis berpuncak pada Conseil d'Etat. Apabila terjadi sengketa yurisdiksi atau kompetensi mengadili antara dua lingkungan peradilan tersebut di Perancis ada badan peradilan yang diberi kewenangan memeriksa dan memutus. Badan peradilan tersebut dinamakan "Tribunal des Conflits". Badan peradilan ini bersifat kolegial yang anggotanya berjumlah enam orang hakim yang berasal dari tiga hakim Cour de Casation dan tiga hakim Conseil d'Etat, ditambah dua orang Panitera Pengganti yang diambil dari Cour de Casation dan Conseil d'Etat. Yurisdiksi atau kompetensi mengadili peradilan administrasi. Di Perancis
semua
yurisdiksi/kompetensi
sengketa peradilan
administrasi administrasi,
berada
di
termasuk
bawah sengketa
administrasi di lingkungan militer (Tata Usaha Militer) di Perancis diperiksa oleh pengadilan administrasi. Hal ini berbeda dalam sistem peradilan di indonesia, dimana untuk sengketa Tata Usaha Militer menjadi kompetensi peradilan militer.
44
BAB III PERBANDINGAN SISTEM PERADILAN INDONESIA DAN PERANCIS
No.
Variabel
Indonesia
Perancis
1.
Sistem Hukum
Civil Law (Eropa Kontinental)
2.
Pembagian
Eksekutif,
Kekuasaan
Yudikatif
Yudikatif
Bentuk Peradilan
1. Mahkamah Agung:
a. Peradilan Pidana
3.
Legislatif
Civil Law (Eropa Kontinental)
dan Eksekutif,
Legislatif
dan
a. Peradilan Umum (Pidana b. Peradilan Perdata (Sipil) dan Perdata)
c.
b. Pengadilan
Peradilan
Administratif,
Khusus termasuk Conseil d'Etat
(Anak,
Perikanan,
Hubungan
Industrial,
Pajak, HAM) c. Peradilan Agama d. Peradilan
Tata
Usaha
Negara e. Peradilan Militer 2. Mahkamah Konstitusi 4.
Tingkatan
a. Mahkamah Agung
Pengadilan
b. Pengadilan Tinggi
a.Cour
de’Cassation
(Pengadilan Kasasi)
c. Pengadilan Negeri
b. The
Cour
d'appel
(Pengadilan Banding) c. Pengadilan Negeri (Tingkat Pertama) 5.
Jumlah
Hakim Pengadilan
Menggunakan Hakim Tunggal,
yang memeriksa Umum/TUN/Agama/Mliter: perkara
Acara
Biasa Menggunakan
Hakim Majelis, Cepat/Tipiring dan
Praperadilan
dengan
kecuali perkara luar biasa.
45
Hakim Tunggal. Mahkamah
Konstitusi:
Menggunakan Majelis Hakim (5-9 Hakim Konstitusi) 6.
Model
Sistem Mixed
Peradilan Pidana
Model
type
(Due
Process Due Process Model
dan
Crime
Control
Model) 7.
Penanganan Perkara
Polisi
menjalankan
fungsi Polisi
bertugas
Pidana penyelidikan dan penyidikan, penyidikan,
tingkat
serta
tidak
Kepolisian
penyelesaian
melakukan
dan
dapat
mengenal melakukan perdamaian, serta di
luar didampingi Hakim Pengawas.
persidangan secara damai. 8.
Jenis Penyidikan
Aquisatoir
(Penyidik
Tersangka
dan Inquisatoir (Tersangka adalah
berkedudukan objek
seimbang)
penyidikan,
memungkinkan
dan
diperolehnya
pengakuan “plead of guilty” ) 9.
Penangaan Perkara
Jaksa melakukan penuntutan Penuntut
Pidana sesuai
dengan
Tingkat
penyidikan
Penuntutan
dikoordinasikan
(Kejaksaan)
Penyidik
Umum
hasil melakukan penyidikan (sebagai yang supervisor), dengan Penuntutan,
Polisi,
bertugas
melakukan dan
pelaksana
penyidikan eksekusi.
untuk tindak pidana tertentu, dan
bertugas
sebagai
eksekutor putusan. 10.
Lembaga
Kepolisian
Peradilan Pidana
sebagai
dan alat
Kejaksaan Kepolisian, kelengkapan Pengadilan
Kejaksaan
dibawah
negara di bawah Presiden, Kementerian Kehakiman sedangkan Mahkamah Agung dan
Mahkamah
Konstitusi
lembaga setingkat Presiden.
dan
46
11.
Cikal
bakal Keberadaan
lembaga
Peradilan
Administrasi
pembentukan
Peradilan Tata Usaha Negara
Perancis
peradilan TUN
di Indonesia adalah sebagai
akibat
tuntutan
yang absolut dan kesewenang-
Negara
Kesejahteraan
(Welfare
didirikan
di
dari
sebagai
kekuasaan
wenangan
raja,
raja
sehingga
State) sesuai dengan UUD
menimbulkan
1945,
rakyat terhadap penguasa/raja.
yang
konsekuensi
memiliki
logis
adanya Akhirnya
ketidakpuasan
raja
membentuk
campur tangan pemerintah
lembaga penasihat raja, yang
yang begitu besar terhadap
pada mulanya memiliki tugas
segala
utama sebagai penasihat raja,
kehidupan
masyarakat. Campur tangan
namun
lama
yang besar dari pemerintah
akhirnya
berfungsi
tersebut
seringkali
sebagai
menimbulkan
benturan
raja sekaligus sebagai lembaga
kepentingan
antara
kelamaan
lembaga
ganda penasihat
yudikatif
kepentingan umum dengan kepentingan
warga
sehingga
negara
menimbulkan
sengketa. Sengketa tersebut diatasi
melalui
lembaga
Peradilan Tata Usaha Negara yang memang berkompeten mengenai hal tersebut. 12.
Fungsi Peradilan Melakukan Tata Negara
kontrol
Usaha terhadap
hukum Mencakup kewenangan kontrol tindakan hukum
pemerintahan, kompetensi
akan
semua
tetapi sengketa administrasi antara
mengadili rakyat dan pemerintah yang
Peradilan TUN dibatasi oleh timbul undang- undang yaitu hanya sebatas
terhadap
melakukan
tindakan
sebagai
akibat
pemerintahan
kontrol bidang hukum publik.
dari di
47
hukum
dan
pengujian
keabsahan
terhadap
Keputusan TUN 13.
Fungsi
1. Menguji
undang-undang Menyarankan
Mahkamah
terhadap Undang-Undang dengan
Konstitusi
Dasar
Negara
2. Memutus
tentang
sengketa undang
kewenangan
yang
kewenangannya diberikan Undang-Undang Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945; 3. Memutus
pembubaran
partai politik; 4. Memutus tentang
perselisihan hasil
pemilihan
umum; 5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR
bahwa
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
diduga
telah
melakukan
pelanggaran
hukum
berupa
pengkhianatan negara,
terhadap korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat
rancangan dan
dan
pendapat undangrancangan
lembaga keputusan yang paling penting.
negara
Dasar
mengkaji
Republik mengungkapkan
Indonesia Tahun 1945;
oleh
pemerintah
lainnya,
atau
perbuatan tercela, dan/atau
48
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden
sebagaimana dalam Dasar
dimaksud
Undang-Undang Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945.
49
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku: Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Simposium Sejarah Hukum. (Jakarta: Binacipta, 1998). ---------, Simposium Peradilan Tata Usaha Negara. ( Jakarta: Binacipta, 1977). Baharuddin Lopa & Andi Hamzah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara. ( Jakarta: Sinar Grafika, 1991). Benjamin Mangkoedilaga, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara suatu Orientasi Pengenalan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993). Dahnial Khumarga,, Sejarah Hukum Sipil di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis UPH, 1998). Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Gramata, 2011) Mahkamah Agung RI, Laporan Studi Banding Ke Perancis Tentang Kompetensi Peradilan Administrasi Kerjasama MARI dan Conseil d’etat (Tahun 2009) National Audit Office, Minis try of J us tice: Comparing International Criminal Justice Systems ( Briefing For The House Of Commons Justice Committee, 2012)
Michael Bogdan, Pengantar Perbandiangan Sistem Hukuum (Bandung: Nusa Media, 1994). Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara (Jakarta: Konstitusi Press, 2006). Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah. (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 1986). Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law and Socialist Law (Bandung: Nusa Media, 2016) Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2001) Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer (Jakarta: Fikahati Aneska, 2009)
50
Sjachran Basah. Laporan Penelitian Peradilan Administrasi Negara. ( Jakarta: Binacipta, 1977). ---------------------, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia.( Bandung: Alumni, 1985). Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Jogjakarta: Liberty, 1988) Ministry of Justice, The French Legal System, 2012. The Judicial of French, in The American Law Registers, 1986 The Judiciary in French, From divine origins to a system administered by the state (France: Ministere De La Justice, 2008). Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Kompornen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara (Jogjakarta: Pustaka Yustisia, 2013)
Artikel dan Majalah Internet: Judiciary of France, www.wikipedia.com Comparative law and justice France, www.wikiversity.com French Legal System, www.justice.gouv.fr
Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak