Sartini Ramidi
11508027 11508028
‘URF
BAB I PENDAHULUAN
'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan. Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan dilakukan selama tiga kali secara berurutan. berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuska memutuskan n perkara perkara perselisisi perselisisihan han antar manusia. BAB II ISI A. Peng Penger erti tian an
'Urf 'Urf ialah ialah sesuat sesuatu u yang yang telah telah dikena dikenall oleh oleh masyar masyaraka akatt dan merupa merupakan kan kebias kebiasaan aan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat di samping telah dikenal oleh masyar masyaraka akat, t, juga juga telah telah biasa biasa dikerj dikerjaka akan n di kalang kalangan an mereka mereka,, seakan seakan-ak -akan an telah telah merupa merupakan kan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya. Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya menyalahinya.. Perbedaanny Perbedaannyaa ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang
lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik. B. Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia. Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya. Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah
’Urf Adat memiliki makna yang lebih sempit Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
’Adah Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk Adat mencakup kebiasaan pribadi Adat juga muncul dari sebab alami Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak C. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf
Di antara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah: a. Artinya:
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
b. Artinya: " Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."
c. Artinya:
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."
1. Dalil Al-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
(QS Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. Juga firman-Nya:
(QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku. 2. Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik” . Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam ( fiqh ). 3.
Qawaid Fiqhiyah yang Berkaitan
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan: “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain: “Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”. Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat ) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka” Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuanketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf ) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.
D. MACAM-MACAM ‘URF
1. Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu: a. ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum. b. ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak. Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung berdua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya. 2. Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu: a. ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum. Misalnya: 1)
Ada seseorang berkata: “Demi Allah, saya hari ini tidak akan makan
daging.” Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya. 2)
Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.”
Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal. b. ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy . Misalnya: 1)
Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan
mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
3. Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu: a. ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Misalnya: Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’. b. ‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’. Misalnya: Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam. E. SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tertentu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum. 2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf , akan tetapi karena dalil tersebut. Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman:
(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. 3. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi. Misalnya: Jika ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah
daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan. 4. Tidak berbenturan dengan tashrih . Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku. Misalnya: Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun
‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur. 5. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila
’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i. F. PERBANDINGAN DENGAN METODE LAIN
’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan (Ibn Abidin). Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid2 bahkan masjid al-haram. Ini tidak bisa di qiyaskan pada korotan ayam. Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma
Tabel 2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf ’Ijma ’Urf Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu Tindakan mayoritas individu baik ’awam hukum syar’i setelah Nabi SAW wafat maupun ulama dan tidak harus dalam bentuk kesepakatan Harus berdasarkan dalil Syara Tidak harus berdasarkan dalil Syara ’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak Relatif sama dengan sejarah Merupakan hujjah yang mesti dilakukan Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih dan ada yang bathil PANDANGAN ULAMA
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab: 1. Fiqh Hanafy a.
Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf .
c.
Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d.
Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e.
Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
2. Fiqh Maliki a.
Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b.
Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan
3. Fiqh Syafi’i a.
Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang waj ib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi c.
Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna 4. Fiqh Hanbali a.
Jual beli mu’thah Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah
terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara
’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan. Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadid nya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah ( qaul
qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir ( qaul jadid ). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf . Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah. Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”. Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat. Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti
‘urf tersebut. G. CONTOH PRAKTEK ‘URF
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf , yaitu 1.
Konsep Aqilah dalam asuransi
2.
Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3.
Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya
menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa. H. Pertentangan Urf dengan dalil Syara’
‘Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadits) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut: 1.
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci. Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus menyebabkan tidak berfungsinya
hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman Jahiliyah dalam mengadopsi anak, di mana anak yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima. 2.
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum. Menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash
yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf itu bisa diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu adalah ‘urf al‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahannya. Menurut ulama Hanafiyyah, apabila ‘urf al-‘amali itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hokum nash yang umum, karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan. Pengkhususan itu, menurut ulama Hanafi, hanya sebatas al-‘urf al-‘amali yang berlaku; di luar itu nash yang bersifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya, dalam sebuah riwayat Rasulullah saw.: Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual beli pesanan (H.R. al- Bukhari dan Abu Daud) Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan dalam larangan ini adalah akad istitsna’ (akad yang berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna’ ini telah menjadi ‘urf dalam masyarakat di berbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh-termasuk Jumhur Ulama-membolehkannya sesuai dengan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi, Imam al-Qarafi berpendapat bahwa ‘urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut. 3.
‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dangan ‘ urf
tersebut. Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf itu bersifat umum,tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum. Apabila ada ‘urf yang datang setelah ada nash umum dan ‘urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu me-naskh-kan (membatalkan) nash; sedangkan ‘urf tidak bisa me-naskh-kan nash. Dalam masalah ini para ulama fiqh mengatakan, “ ‘Urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa dijadikan patokan.” Akan tetapi, apabila ‘illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri, dalam arit turunnya nash didasarkan atas ‘urf al-amali-sekalipun ‘urf itu baru tercipta-maka ketika ‘illat nash itu hilang, hukumnya pum berubah. Dengan demkian, apabila ‘urf yang menjadi ‘illat hukum yang terkandung nash itu berubah, maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam sebuah hadist dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu anak itu diam saja, maka diamnya itu menunjukkan kerelaannya, karena sudah
menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para wanita tidak malu-malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya. Menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa, ‘urf para anak gadis saat ini telah berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan, apabila diminta izinnya lalu ia diam saja, tidak dapat lagi diamnya itu diartikan sebagai persetujuan. Sang ayah harus menunggu keterusterangan dari anak perawannya ketika akan dinikahkan. Dalam hal ini, ‘urf gadis remaja dalam masalah persetujuan yang menyangkut perkawinan mereka telah berubah dari yang tercantum dalam hadist diatas, maka hukumnya pun harus berubah. Perubahan ini disebabkan berubahnya ‘urf. Akan tetapi, Jumhur Ulama tidak sependapat dengan Abu Yusuf. Apabila terdapat pertentangan antara ‘urf dengan hasil ijtihad melalui metode qiyas, istihsan, dan mashlahah al-mursalah, maka dalam kasus seperti ini terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa apabila terjadi pertentangan antara ‘urf dengan qiyas, maka yang diambil adalah ‘urf, karena menganggap “’urf menempati posisi ijima‘ ketika nash tidak ada.” Penguatan ‘urf dari qiyas bagi kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah melalui metode istihsan. Sedangkan mendahulukan ‘urf dari mashlahah al-mursalah, yang tidak didukung oleh nash secara khusus, menurut ulama Malikiyyah juga sangat dipengaruhi oleh ‘urf, karena kemaslahatan itu sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ulama Syafi‘iyyah dan Hanabilah, sebagaimana yang dikemukakan Mushthafa ahmad al-Zarqa, secara prinsip juga mendahulukan ‘urf dari qiyas dan mashlahah almursalah, karena qiyas dan mashlahah al-mursalah bukanlah nash, tetapi dalam penerapannya
terjadi
beberapa
perbedaan
dengan
pendapat
ulama
Hanafiyyah
danMalikiyyah. Perbedaan penerapan ini dapat dilihat dalam kasus menjual buah-buahan yang masih ada di pohonnya, sebagian buah telah muncul, sedangkan sebagian lainnya belum muncul, seperti buah semangka, anggur, dan terong. Sesuai dengan kaidah qiyas jual beli ini tidak dibolehkan, karena objek yang diperjualbelikan (semangka, anggur, dan terong) belum utuh. Akan tetapi, jual beli seperti ini sudah berlangsung di kalangan petani dan telah menjadi ‘urf di kalangan mereka. Oleh karena itu, menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, jual beli seperti ini diperbolehkan, karena jual beli seprti ini telah menjadi ‘urf di kalangan masyarakat petani di zaman mereka. Akan tetapi, ulama Syafi‘iyah dan Hanabilah berpendapat jual beli ini tidak sah; sekalipun secara prinsip mereka lebih mendahulukan ‘urf dari qiyas apabila terdapat pertentangan antara keduanya.
Sedangkan dalam pertentangan ‘urf dengan istihsan, karena ulama Syafi‘iyyah dan Hanabilah tidak menerima kehujjahan istihsan, maka dengan sendirinya mereka lebih mendahulukan ‘urf dari istihsan.Misalnya dalam masalah menjual buah-buahan di pohon sebelum seluruhnya matang, menurut qiyas (kaisah umum) jual beli seperti ini tidak sah karena buah yang dijual tidak jelas jumlahnya, belum matang seluruhnya, dan belum dipetik. Akan tetapi karena jual beli ini telah menjadi ‘urf di masyarakat, maka para ulama madzab sepakat mengatakan jual beli ini boleh. Muhammad Baltaji (guru besar syariat Islam di Universitas Kairo, Mesir) mengatakan bahwa tatkala Imam syafi’i berada di Mesir dan setelah mengamati ‘urf yang berlaku di sana, banyak sekali mengeluarkan fatwa yang bersdasarkan ‘urf, bahkan fatwanya berbeda dengan dengan fatwanya ketika di Hijaz dan Irak. Imam syafi’i juga meningggalkan qiyas dalam masalah kehamilan maksimal seorang wanita. Menurut kaidah qiyas, kehamilan itu adalah Sembilan bulan. hali itu telah menjadi kebiasaan para wanita pada umumnya. Akan tetapi Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa kehamilan maksimal seorang wanita itu selama empat tahun. Fatwanya ini berdasarkan penelitian dan pengalaman pribadinya setelah mengamati ‘urf yang berlaku di daerah-daerah yang dikunjunginya. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila Imam Syafi’i banyak mengubah fatwanya yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jaded ( pendapat lama dan pemdapat baru) Imam Syafi’i. Di kalangan Hanabilah, terdapat banyak ketentuan hokum yang didasarkan kepada ‘urf, bahkan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli ushul fiqh Hanbali) mengatakan bahwa : Suatu fatwa bisa berubah karena perubahan zaman, tempat, lingkungan, niat dan kebiasaan manusia. Dasar dari ungkapan ini adalah ‘urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu menurut Muhammad Baltaji dan Musthafa Ahmad al-Zarqa’, seluruh ulama madzab menjadikan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan hukum ketika nash yang menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan ‘urf dengan metode ijtihad lainnya, para ulama madzab juga menerima ‘urf, sekalipun kuantitas penerimaannnya berbeda. Ulama Hanafiyah dan Malikiyyah menerapkan konsep ‘urf secara luas, tetapi ulama Syafi’iyah dan Hanabilah tidak demikian. Ungkapan ulama bahwa perubahan hukum bisa yterjadi berdasarkan perubahan zaman dan tempat hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan adat istiadat, kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah. Adapun hukum-hukum yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath’i, tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya riba.