Seri er i al : Pendekar Mabuk Judul : 01. Bocah Tanpa Tanpa Pusar usar Pengarang engarang : ? Pen enerbit erbit :? E-book -book : pa paulus ulustt j i ng
1 PARA penduduk mulai cemas mendengar suara gemuruh di kej au auha han. n. Mereka seg segera era kelua kel uarr da darr i r umah umah masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di sana bert ber t engger engger puncak gunung gunung t i ngg nggii yang dinamaka di namakan n mereka mer eka Gunung Gunung Cadas Cadas Geni. eni . Warnanya arnanya put i h keabuabuan. Bi asanya asanya puncak gunung gunung i t u t ampak j elas el as dari Desa esa Ki l ang angan. an. Sekarang t ampak ampak bur bur am. Ada kabut kabut hit hi t am menut menut upinya dan dan lan l ang gi t di at atas as puncak puncak berwarna gel gelap ap.. Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi. "Cel "C elak aka! a! K Kii t a akan akan dil di l an anda da musi musi ba bah, h,"" uj uj ar lel l elak akii set eng engah ah umur. "Ki "Ki t a har har us cepat mengung mengungs si . Sebent ar l ag agii desa desa kit ki t a akan dis di sapu lahar l ahar panas. panas. Gunung unung Cadas Cadas Geni mau meletus! Cepat!" teriak tetangganya. "Apa? "Apa?!! Gunu unung ng me mell et us? us? Si apa sur suruh? uh?"" t anya istrinya. "Mana "M ana aku tahu? t ahu?! Aku t i dak pernah pernah menyuruhnya! menyur uhnya! Cepat kemasi kemasi barang. Jang Jangan an banyak banyak t anya!" anya! " "ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang dikemas di kemasii . Apa yang yang bis bi sa dibawa, dibawa di bawanya. nya. Yang t i dak bisa dibawa berusaha dibawanya pula. "Kumpulkan anak kita!" "Ada "Ada berapa ber apa ya?" gumam gumam sang sang i st r i dengan dengan li l i ng ngll ung. Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang j ug uga a pani panik. k. Mereka sali saling ng t eri ak. "Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu akan akan melet us! us! Cepa epatt car car i t empat empat yang yang am aman an!! Hoi, oi , hoi. hoi . . . , j an ang gan bengong bengong saj a kamu! kamu! Cepa epatt pergi dari sini!" Ada j ug uga a suara suara lai l ain n yang yang bers ber seru, er u, "Baj "Baj u hit hi t amku ke mana, Mak?!" "Jang "Jangan an urus ur usii baj u hit hi t am, Tong! Tong! Cepat bantu bant u Emak Emak kemas kemasi barang! barang! "
1 PARA penduduk mulai cemas mendengar suara gemuruh di kej au auha han. n. Mereka seg segera era kelua kel uarr da darr i r umah umah masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di sana bert ber t engger engger puncak gunung gunung t i ngg nggii yang dinamaka di namakan n mereka mer eka Gunung Gunung Cadas Cadas Geni. eni . Warnanya arnanya put i h keabuabuan. Bi asanya asanya puncak gunung gunung i t u t ampak j elas el as dari Desa esa Ki l ang angan. an. Sekarang t ampak ampak bur bur am. Ada kabut kabut hit hi t am menut menut upinya dan dan lan l ang gi t di at atas as puncak puncak berwarna gel gelap ap.. Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi. "Cel "C elak aka! a! K Kii t a akan akan dil di l an anda da musi musi ba bah, h,"" uj uj ar lel l elak akii set eng engah ah umur. "Ki "Ki t a har har us cepat mengung mengungs si . Sebent ar l ag agii desa desa kit ki t a akan dis di sapu lahar l ahar panas. panas. Gunung unung Cadas Cadas Geni mau meletus! Cepat!" teriak tetangganya. "Apa? "Apa?!! Gunu unung ng me mell et us? us? Si apa sur suruh? uh?"" t anya istrinya. "Mana "M ana aku tahu? t ahu?! Aku t i dak pernah pernah menyuruhnya! menyur uhnya! Cepat kemasi kemasi barang. Jang Jangan an banyak banyak t anya!" anya! " "ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang dikemas di kemasii . Apa yang yang bis bi sa dibawa, dibawa di bawanya. nya. Yang t i dak bisa dibawa berusaha dibawanya pula. "Kumpulkan anak kita!" "Ada "Ada berapa ber apa ya?" gumam gumam sang sang i st r i dengan dengan li l i ng ngll ung. Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang j ug uga a pani panik. k. Mereka sali saling ng t eri ak. "Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu akan akan melet us! us! Cepa epatt car car i t empat empat yang yang am aman an!! Hoi, oi , hoi. hoi . . . , j an ang gan bengong bengong saj a kamu! kamu! Cepa epatt pergi dari sini!" Ada j ug uga a suara suara lai l ain n yang yang bers ber seru, er u, "Baj "Baj u hit hi t amku ke mana, Mak?!" "Jang "Jangan an urus ur usii baj u hit hi t am, Tong! Tong! Cepat bantu bant u Emak Emak kemas kemasi barang! barang! "
"Barangku ada di mana, Mak?!" "Hus "H usy! y! Jang Jangan an piki pi kirr barangmu barangmu sendi sendirr i . Ur us j ug uga a barangnya barangnya Emak Emak it u, Tong Tong!! " "Barang Emak kan sudah diurus Bapak!" Sua uarr a kent kent ong ongan an berbunyi. Wakt akt u it i t u, bunyi bunyi gemuruh t erdengar erdengar yang ket i ga kal kal i nya. nya. Tan anah ah berg ber guncang makin maki n j elas el as.. Gayung ayung di di cantel cant elan an sempa sempatt j at atuh. uh. Daun pohon pohon ront r ont ok seba sebag gi an an.. Gent enteng eng di poj okan okan rumah rumah melorot t i ga. Jat uh. Meng engena enaii kepa kepal a ana anak k keci keci l . Anak it i t u menangi menangi s keras ker as-k -ker eras as.. Bapaknya keluar kel uar dengan berang meli mel i hat kepala anaknya anaknya bocor dan berdarah. "Kur "Kurang ang aj ar! Si apa yang yang melempar mel empar kepala anakku sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin perkar perkar a s saj aj a!" Para penduduk menghambur keluar dari rumah. Barang-bar arang-barang ang dir di r akit aki t . Si ap dibawa di bawa perg per gi . Gulung ul ungan an tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu. Gayung sumur, ember t i mbaan, mbaan, nasi nasi j ag agung ung,, si ng ngkong kong r ebus, ebus, dibung di bungkus kus dij di j ad adii kan sat sat u. Kepa epani nikan kan demi demi kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada yang sali al i ng t abrak dan dan sal salii ng caci sendir endi r i . Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak mena menari k anj anj i ng ngnya nya,, t akut disemb disembeli eli h orang. orang. Ada ya yang berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar kambi kambing ng ba bandot ndot.. Gaduh dan dan riuh ri uh desa desa it i t u. Tapi Tapi t oh masi masi h ada yang t i dak menghir menghi r aukan suas suasana ana.. Seorang eor ang bocah duduk di at as punggung punggung kuda. Ia sedang sedang belaj bel aj ar menunggang menunggang kuda. kuda. Bocah ocah it u tert t ert awa awa-t -t awa awa.. Seorang l elak el akii gemuk yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping kuda merah kecoklatan. "Jang "Jangan an kencang-kencang kencang-kencang menar menar i k t ali al i nya, Sut Sut o! o!"" seru er u Paman Paman Dubang Dubang kepada anak di at as kuda. Ia t ampak mpak cema cemas s. Takut j adi t erbal erbal i k, kuda kuda di di at as ana nak k
itu. "Paman...! Bagaimana cara menghent ikannya!" "Kencangkan t alinya!" sambil si paman masih berlari-lari di samping kuda. "Lekas kencangkan talinya!" "Baik, baik. ..! Baik, Paman!" Anak it u agak cemas, Ia buru-buru mengencangkan t ali celananya. Paman Dubang membent ak, "Bukan t ali celanamu, Sut o! Tapi t ali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhent i!" "O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena t arikan t ali kekang, t api karena suara gemuruh dan guncangan t anah t adi. Rupanya kuda j uga takut dengan t andat anda gunung akan melet us. "Paman! Bagaimana ini?!" "Kendorkan talinya!" "Sudah." "Tari k lagi j angan disentak." Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang bernama Sut o it u t ersentak ke belakang. Bluukk...! Ia j atuh. "Aaauuuh...!" t eriaknya kesakit an. Paman Dubang segera menolongnya sambil menggerut u. "Tadi sudah Paman pesan, j angan sampai j at uh. Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo, bangun! Lekas bangun." "Baik, Paman!" "Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai kuda yang menunggang kamu!" "Kudanya nakal, Paman! Cari kuda bet ina saj a." "Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang kuda bet ina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda betina?! Kuda j ant an saj a! Ayo, lekas... naik lagi ke punggung kuda." Sut o t erpacu semangatnya, ia bergegas naik ke
punggung kuda lagi. Paman Dubang bert eri ak, "Hoii...! Jangan lewat ekornya! Lewat samping!" "Bantu aku naik, Paman!" Paman Dubang membant u Sut o. Pant at Sut o didorong naik. Kaki anak it u melangkahi pelana. Pada saat it u, gemuruh dan guncangan t anah yang kedua t erdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menj adi t akut , ia kembali mengangkat kaki depannya sambil meri ngkik. Sut o nyaris j at uh lagi. "Paman, Paman...! Awas...!" "Pegang t ali kekangnya!" sent ak Paman Dubang dengan j engkel. Sut o memegang t ali kekang dengan kaki belum sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan berlari dalam sentakan awal. "Hat i-hat i, Paman!" Sut o segera berseru. "Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseretseret , ia menj adi panik dan gugup. Pelana dipakai gelantungan. Pundaknya mendorong Sut o. Anak it u bisa duduk di pelana. Tapi t angan Paman Dubang t ert indih pant atnya, "Jangan kau duduki t angan Paman, Sut o!" "Habis aku duduk di mana?" "Agak maj u sedikit , biar t angan Paman bebas. Aduh, kaki Paman t erseret -seret . Bagaimana ini?" "Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda. Hentikanlah, Paman!" "Susah, Tolol!" sent ak lelaki gemuk pendek it u. Kuda t et ap berlari dengan liar. Suaranya meringkikringkik bagaikan tawa perawan di malam pengant in. Paman dan Sut o sama-sama t egang. Sama-sama kebingungan. Akhirnya sama-sama t erbawa oleh kuda ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap mengungsi. "Lihat , Sut o...! Gara-gara kamu t ak becus mengendalikan kuda, para penduduk menj adi panik begini!" kat a Paman Dubang.
"Oh, maaf , Paman," bocah it u mat anya j elalat an ke mana-mana. Memandang t iap orang dengan kesibukannya masing-masing. Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi. Seorang nenek yang bingung mencari t usuk kondenya yang j at uh di t anah, dilompat i oleh kuda it u. Sang nenek t erkej ut dan t erkesima dengan mulut melongo. "Burung apa it u t adi?!" gumamnya dengan bingung. Kuda disangka burung. Tapi siapa yang t ahu gumaman sang nenek, kecuali nenek it u sendiri. Paman Dubang masih t erseret -seret . Kuda semakin beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang ket akut an dan bert eriak keras-keras. "Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda ini...!" Tent u saj a orang-orang t ak menghiraukan. Tak ada yang dat ang menolong. Semua panik dengan upaya menyelamatkan diri sendiri-sendiri. Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang lelaki t ua. Dia adalah sesepuh kampung t ersebut. Dia hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di sebuah t empat t inggi dan berseru. "Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!" Suara sesepuh it u didengar ol eh penduduk. Mereka mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan sesepuh it u. Pada saat yang sama, kuda yang dit unggangi Sut o dan Paman Dubang menabrak sebuah kedai yang t elah kosong penghuninya. Bruss...! Braaak...! Semua mata j adi memandang ke arah kedai bernasib malang it u. Salah seorang ada yang berseru. "Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kudakudaan!" Sut o meringis menahan sakit . Tubuhnya t ersangkut di t iang atas kedai. Paman Dubang merint ih kesakit an.
Tubuhnya j at uh di at as mej a bert indih pat ahan t iang atap. Ia berusaha bangkit begit u melihat kaki Sut o bergelantungan di at as. Kemudian ia bergegas menolong bocah it u unt uk t urun dari at ap. Tapi Sut o menolak, kakinya menj ej ak-j ej ak. "Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri." Sut o pun melompat t urun. Huuhp.. .! Braak...! , "Aaauh...!" t eriak Paman Dubang. Sut o j atuh di meja, mejanya pat ah dan menj at uhi kaki Paman Dubang. Tent u saj a Paman Dubang menj erit . Seseorang kembali menyent ak. "Hooi...! Disuruh diam dan t enang kok malah terbahak-bahak!" "Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit !" bant ah Paman Dubang. Sut o hanya cekikikan geli. Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang di depan sesepuh. Kemudian t erdengar suara sesepuh berkat a, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan, kuharap kalian t idak menj adi panik dan j angan salah langkah. Gunung Cadas Geni it u t idak akan melet us. Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Gunung itu tidak akan meletus!" "Tapi kok mengeluarkan semburan api?" "Dan j uga bergemuruh, Pak Tua!" "Bet ul. Sudah t iga kali kami mendengar gemuruhnya." "It u sebuah pert anda akan ada bahaya di desa kit a ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam," j awab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyat nya. "Masa begit u?" "Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa Kilangan ini, gunung it u t idak pernah melet us. Tapi j ika desa ini akan t erserang wabah, misalnya, maka gunung it u memberikan t anda. Menyemburkan api dan asap
hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang mengguncangkan bumi, tiga kali." "Ooo... j adi bukan mau melet us, ya Pak Sepuh?" t anya seseorang. "Tidak. Jangan t akut . Cuma kalian harus waspada. Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baikbaik. Tet aplah bersatu dan got ong-royong j ika t erj adi sesuat u secara t iba-t iba!" Kepala mereka manggut -manggut . Mulut mereka melongo mengeluarkan gumam. Kemudian t erdengar kasak-kusuk sepert i serombongan lebah bergaung. Mereka mulai melangkah menuj u rumah mereka masing-masing. Sedangkan Sut o mendesak Paman Dubang unt uk melangkah mencari kudanya. Toh gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak menyemburkan asap dan api lagi. Tidak t erasa ada guncangan t anah kembali. Gunung it u t enang, hat i masyarakat desa pun j adi lapang. Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh it u dat ang lagi. Orang-orang yang t elah tenang menj adi tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling pandang dalam keheranan. Suara gemuruh it u disimak baik-baik. Mat a mereka menatap ke puncak gunung. Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!" "Ya, sepert inya suara gemuruh kaki kuda." "Bet ul. Makin lama semakin dekat suaranya." Seorang lelaki t ua t erbat uk-bat uk. Lengannya ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...! Kita sedang menyimak suara gemuruh it u. Kamu kok malah bergemuruh sendiri !" "Batuk. Aku bat uk," kat a suaminya yang t ua. "Iya. Bat uk ya bat uk. Tapi nant i saj a, kalau kit a sudah yakin suara apa yang bergemuruh it u!" Lelaki t ua it u bergegas masuk ke rumah sambil menggerut u, "Orang mau bat uk kok disuruh menunda...!"
Gemuruh it u memang kian mendekat . Kemudian mat a mereka memandang ke arah bat as desa. Tampak samar-samar sesuat u yang bergerombol bergerak maj u. Kian lama kian j elas. Mereka kian paham bahwa ada serombongan orang berkuda mendat angi desa mereka. Bert ambah dekat bert ambah j elas. Orang-orang penunggang kuda it u memiliki waj ah garang, buas, menyeramkan dan t ampak kej i-kej i. Jumlah mereka ada t iga belas orang. Semua menunggang kuda. Semua bersenjat a. Sepert inya siap t empur. Salah seorang yang menj adi ket ua mereka mengangkat t angan mengepal. Kuda-kuda it u berhenti. Tapi kudanya sendiri ket erusan. Akhirnya berhent i agak j auh dari rombongan anak buahnya. Mata orang it u menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan mendekat i rombongan. Sambil begit u, orang t ersebut berseru kepada penduduk yang melongok dari pint u rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah dinding papan, atau yang bersembunyi di balik bat ang pohon, t ermasuk kepada anak kecil yang bersembunyi di balik sarung bapaknya. "Mana Ronggo Wiseso...?!" t eriak orang berbadan kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya t ebal melint ang dan kelopak matanya berbelok bagai burung hantu. "Tunj ukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru orang yang berpakaian serba hit am it u. Ia menyandang pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding dengan ukuran lengannya yang besar pula. Karena t ak ada penduduk yang berani buka mulut , selain buka baj u karena kegerahan, maka orang t ersebut segera t urun dari kudanya. Berj alan dengan mat a liar. Mengget arkan hat i t iap manusia yang memandangnya. Seorang pemuda bert ubuh kurus yang bersembunyi di kolong bangku kedai yang rusak dit abrak kudanya
Sut o it u, segera dit ari k keluar. Dij ambak rambutnya, dit engadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus, dan dit empelkan di leher anak muda kurus it u. "Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat t unj ukkan, at au kugorok bat ang lehermu! Lekas...!" bent aknya bagai t ak sabar. "Ad... ada.. . ada di poj ok desa, sebelah barat , Paman!" "Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hit am dengan sebut an Paman, hah?! Panggil aku Tuan!" "Ba... baik.. , baik, Tuan!" "Nah, begit u!" lalu ia menggerut u, "Ket ua Begal Ut ara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia kembali bert anya meyakinkan. "Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di poj ok sana?!" "Benar, Tuan Kombang Hit am." "Bagus. Terima kasih," kat anya sambil melepas rambut pemuda kurus it u. Pedang pun kembali dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah set elah bersalaman dengan pemuda kurus it u sambil mengucapkan kata terima kasih lagi. "Serang rumah it u!" teriak Kombang Hit am kepada anak buahnya. "Bant ai semua penghuninya! Jangan ada yang t ersisa!" Kemudian rombongan it u pun menuj u ke rumah poj ok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan j ut aan debu menyirat ke mana-mana. Kombang Hit am sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada di depan rombongan. '' "Unt ung kamu selamat , Nang...!" kat a seorang perempuan paro baya kepada pemuda kurus t adi. Rupanya pemuda it u anak perempuan t ersebut . "Mak... aku... lemas... aku...." "Lho, lho... Nang? Lho, kenapa waj ahmu pucat ? Lho... Nang? Kok waj ahmu membiru?! Nang...?
Anakku...?!" "Mak...!" suaranya pelan sekali . Matanya meredup. Ia pun t erkulai j atuh dalam pelukan emaknya. Emaknya t ak kuat , akhirnya j atuh ke t anah secara bersamaan. Brukkkk...! "Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris set elah ia t ahu anaknya sudah t idak bernapas lagi. Pemuda it u mat i dalam keadaan sekuj ur t ubuhnya menj adi biru kehit aman. "Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang mangerumun. "Bukan keracunan makanan. Past i gara-gara salaman sama Kombang Hit am it u!" "Benar! Past i wakt u salaman, Ket ua Begal Ut ara it u menyalurkan t enaga dalamnya yang amat beracun dan berbahaya!" "Edan! Jahat sekali orang it u." "Gawat . Past i keluarga Ronggo Wiseso t ak mampu melawannya!" "Apa benar begit u? Ronggo Wiseso kan pej abat kadipat en?!" * **
2 RONGGO Wiseso memang pej abat ist ana kadipat en. Dia menj adi penasihat sang adipat i unt uk urusan hukum. Set iap ada perkara, Ronggo Wiseso yang menyelesaikan secara hukum dan perat uran yang berlaku, lalu sang adipat i yang memut uskan ketet apan hukuman t erakhir. Tapi karena wakt u it u Ronggo Wiseso sering sakit -sakit an, maka ia diizinkan untuk beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat hukum yang bisa menggant ikan Ronggo Wiseso. Tet api penasihat baru it u kurang begit u piawai dalam masalah hukum kadipaten, sehingga masih sering mint a pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipat en sendiri masih menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan t et ap menerima upah perbulannya. Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan t ulang-t ulang waj ah yang keras, sedikit menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya dit erj ang kuda. Suaranya bergemuruh mengaget kan seekor ayam yang sedang bert elur di belakang rumah. Serombongan orang berkuda it u segera mengepung rumah t ersebut sampai di bagian belakang. Bergegas lelaki kurus karena penyakit batukbat uknya it u menuj u serambi depan. Dan ia berpapasan dengan Kepala Begal Ut ara yang t ampak menggeram. Kakinya berdiri t egak merenggang dengan mata menat ap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa heran. "Siapa kau?" "Ronggo Wiseso, kau t ent u ingat Mandra Dayu yang at as usulmu dij atuhi hukuman mat i oleh sang Adipat i, bukan?" "Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia berpikir sej enak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak Mandra Dayu menerima hukuman mat i, karena ia nyaris membunuh sang Adipat i. Kenapa?"
"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menunt ut at as kemat ian adikku it u, Ronggo Wiseso! Satu-satunya saudaraku t elah kau lenyapkan dengan keput usan hukummu yang t idak adil it u, maka sebagai gant inya, keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa merasakan bagaimana hidup t anpa sanak keluarga!" "Tunggu dulu...!" Kombang Hit am sudah t ak sabar. Ia berseru, "Anakanak, bant ai habis mereka!" "Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas anak buah Kombang Hit am mengamuk. Tak ada t et angga yang bisa menolong, t ak ada dari mereka yang berani mendekat . Jerit dan t eri akan bagai suasana di alam neraka. Pada wakt u it u, Paman Dubang dan Sut o sudah berhasil menemukan kudanya. Kuda it u menj adi j inak kembali. Sut o duduk di atas punggung kuda, sement ara Paman Dubang menunt un, dengan memegangi t ali kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun berj alan dengan santainya. Sut o yang masih berusia delapan t ahun it u t ersenyum-senyum. Merasa t enang dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang menj aganya. Kuda pun t idak bisa menj adi liar, melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan Paman Dubang. "Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas menj adi pendekar sakt i berkuda, ya?" "Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok dit unt un? Seharusnya seorang pendekar i t u bisa naik kuda sendiri." "Kalau begit u, lepaskan saj a, biar aku menunggang kuda sendiri." "Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?" "Ya dikej ar. Sambil diancam sepert i t adi, Paman!" "Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia bosan j adi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut .
Tiba-t iba t iga orang penduduk yang dikenal Paman Dubang it u menghadang di depan mereka. Waj ah ket iga orang it u menegang dan napas mereka t ampak t ak teratur. "Dubang, sebaiknya kau bawa si Sut o pergi j auh j auh. Jangan pulang ke rumah!" kat a salah seorang. "Habis mau pulang ke mana kalau t idak ke rumah?" "Ke penginapan saj a!" kat a yang satunya lagi. "Di sini mana ada penginapan?!" sent ak Dubang. "Memangnya kenapa aku t idak boleh pulang, Kang?" t anya Sut o yang merasa heran mendengar larangan it u. "Keluargamu sedang dibant ai habis oleh Begal Utara!" "Apa...?!" Dubang memekik kaget . Sut o segera t urun dari punggung kuda dengan merosot dan j atuh sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga dan bert anya, "Apa yang t erj adi di rumahku, Kang?" "Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang Hit am, kepala rombongan Begal Ut ara! Kakak-kakak perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh. Termasuk kedua pembant u perempuanmu, j uga diperkosa dan dibunuh, dan...." "Tunggu," kat a Sut o dengan bingung, lalu ia bert anya kepada Paman Dubang pengasuhnya it u. "Paman, diperkosa it u diapakan, Paman?" "Jangan bert anya begit u. Kamu masih anak-anak. Sebaiknya...." "Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak momonganmu it u! Lekas, Dubang! Kalau mereka meli hat Sut o, past i Sut o j uga akan dibunuhnya. Mereka merencanakan menghabisi semua keluarga maj ikanmu itu!" "Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku gemetar sekali dan, yaaah... basah j uga akhirnya," sambil Dubang memandang celananya yang basah bagian bawah. It u disebabkan rasa ket akut annya begit u
besar. "Huhh... dasar pengecut . Baru begit u saj a sudah ngompol!" gerut u t et angga yang bersarung merah. Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak ada di ant ara mereka. Salah seorang dari mereka berseru, "Lho, di mana Sut o t adi?!" "Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah rumahnya!" "Celaka! Past i dia menj adi sasaran j uga. Ayo, cepat kit a kej ar dia!" Mereka berempat mengej ar Sut o. Tapi larinya Sut o begit u cepat sambil menyelusup di ant ara pinggiran rumah penduduk, mencari j alan pint as menuj u rumahnya. Rupanya hat i anak it u cemas dan t egang. Ia mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin melihat kebenaran cerita itu. Begit u t iba di depan rumahnya, di balik sebuah pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya t erbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia j uga melihat ayahnya yang rent a it u sedang melawan dua anak buah Kombang Hit am. Sement ara Kombang Hit am sendiri hanya t erkekeh-kekeh sambil berdiri di samping kudanya. "Haj ar t erus si t ua bangka it u! Haj ar j angan sampai mat i!" t eri ak Kombang Hit am dengan memuakkan hat i siapa saj a yang meli hat pert arungan it u. Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua anak buah Kombang Hit am yang dat ang dari arah kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk menangkis pukulan yang dat ang secara bersamaan. Ket ika tangan it u membuka, kaki kedua anak buah Kombang Hit am it u menendang set engah lingkaran dan mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...! "Hegh...?!" t ubuh Ronggo melengkung ke belakang, lalu t erhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari
mulut nya. Warnanya hit am kemerah-merahan. Kedua anak buah Kombang Hit am yang melancarkan j urus kembar it u segera menghentakkan t elapak t angan mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri. Bleg...! Bleg...! "Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik mat anya. Telapak t angan yang dat ang secara serempak it u sepert i sebongkah bat u besar dihant amkan di kedua dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo merasakan ada hawa panas yang membakar rongga dadanya, bahkan seluruh isi t ubuhnya bagai t erbakar api. Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit bungkuk it u masih berusaha bert ahan. Ia balas menyerang dengan sebuah sent akan kaki kanannya ke arah perut lawan yang ada di sebelah kanan. Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya menggunakan ki basan t angan. Just ru Ronggo Wiseso yang menyeringai kesakit an pada pergelangan kakinya, terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya berhasil t et ap berpij ak pada t anah. Hanya saj a, sebelum ia melakukan sesuat u gerakan, t iba-t iba kedua tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri, t ert uj u pada tengkuk kepala Ronggo. Bleg...! Bleg...! "Uhgg...!" kepala Ronggo t ersent ak maj u dan darah hit am kembali menyembur keluar. Pukulan t angan memenggal itu seperti dua batang balok yang dihant amkan kuat -kuat di t engkuknya. Ronggo pun j atuh t ersungkur t ak t ahan lagi. Brukkk...! Saat it u, Sut o menj erit dari balik persembunyiannya. "Ayaaah...!" ia berlari mendekat i ayahnya yang sekarat . "Hai, it u past i anak bungsu Ronggo! Tangkap dan bunuh anak it u sekalian!" seru Kombang Hit am. Ia
menuding ke arah Sut o dengan mata mendelik liar. Mendengar seruan it u, Sut o t idak merasa t akut . Ia j ust ru mendekat i ayahnya. Kedua anak buah Kombang Hit am yang t elah merubuhkan ayahnya it u menghadang langkah Sut o, maka Sut o pun berbali k mengambil batu dan melemparkan. Plak, plet ak! Batu it u mengenai waj ah dan kepala penghadangnya. "Wadow...!" seru mereka serempak. Sut o melari kan diri begit u melihat hidung salah seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah Kombang Hit am pun segera mengej arnya. Anak it u berl ari mencari kesempat an untuk melempar lagi. "Anak it u bisa j adi penyakit kalau hidup!" geram Kombang Hit am. Maka, ia segera naik ke at as kuda dan mengej ar Sut o dengan kudanya it u. Tet api, Sut o membelok ke j alan set apak yang sempit di pinggiran rumah seseorang. Kuda it u t idak bisa mengej ar masuk di j alanan sempit it u. "Jahanam!" geram Kombang Hit am lagi. "Kuremuk habis t ulang-t ulangnya kalau dia t ert angkap!" Kombang Hit am mengarahkan kudanya dengan memut ar j alan. Ia bermaksud menghadang j alan t embus t empat pelarian Sut o. Sedangkan kedua anak buahnya masih t et ap mengej ar melalui j alan yang diambil Sut o. Rupanya di uj ung j alan t embus it u Dubang t elah menghadang. Begit u melihat Sut o berlari t erbirit -birit , Dubang segera menyongsongnya. Sut o baru bisa menjerit. "Pamaaan...!" "Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang menggendong Sut o dan menerabas melalui t anaman j agung milik t et angga it u. "Pegangan yang kuat , ya? Kit a akan lari secepat nya
lewat celah-celah t anaman j agung ini!" kat a Dubang yang menggendong Sut o di belakangnya. Sut o pun segera berpegangan kuat -kuat dengan kedua t angannya. Dubang membawanya lari t ungganglanggang. Ia sempat berkata dengan nada t egang dan tertekan. "Jangan t erlalu kuat , it u namanya mencekik leher Paman!" Lalu ia terbat uk-bat uk, karena kedua lengan Sut o begit u kencangnya memeluk leher sehingga napas Dubang sulit dikendalikan. "Ke mana mereka?!" t eriak Kombang Hit am kepada kedua anak buahnya. "Aku t adi meli hat kelebatan anak it u yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!" "Saya rasa, mereka masuk ke ladang j agung, Ketua!" "Kalau begit u, kej arlah mereka! Kenapa hanya bengong saj a?!" Maka kedua orang t ersebut segera menerabas masuk ke ladang j agung yang rimbun, t inggi t anaman it u sudah menyamai t inggi orang dewasa. Sedangkan Kombang Hit am yang merasa waswas it u segera melarikan kudanya mengikuti t epian ladang j agung. Ia akan mencegat di uj ung ladang sebelah sana. "Wah... baj uku robek, Paman!" "Biarkan saj a!" Dubang t et ap berlari sambil mencari arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di belakangnya, it u pert anda ada yang mengej arnya di dalam ladang j agung it u. Karenanya, ia semakin mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya sudah tidak tentu arah lagi. "Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!" "Kebet ulan!" kat a Dubang, segera menurunkan Sut o. Maka mereka lari berdua. Beberapa wakt u kemudian, mereka berdua berhasil keluar dari ladang j agung. Dubang berhent i sebent ar, mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah j alan
li ar menuj u kaki bukit . "Kit a akan ke mana, Paman?" t anya Sut o dengan ngos-ngosan j uga. "Ke mana saj alah. Ooh... napas Paman sepert i mau putus, Sut o." "Tapi mereka mengej ar kit a di belakang, Paman. Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi, Paman...!" "Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia masih muda. Aku ini yang sudah set engah umur harus lari t anpa berhent i, mana bisa?!" Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang mulai cemas. "It u mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka. Paman selamatkan diri saj a." "Jangan berl agak j ago kamu. Kamu kan masih kecil! Ayo, lari lagi." Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celahcelah batang pohon. Menerabas semak berduri. Kedua anak buah Kombang Hit am muncul, keluar dari ladang j agung. Bert epat an dengan it u, Kombang Hit am pun berpapasan dengan mereka. Ia bert eriak dengan kemarahannya. "Kalian lagi! Huh...!" "Mungkin mereka masih t ert inggal di dalam ladang, Ketua!" "Set an! Kenapa masih mungkin? Harus past i!" Tiba-t iba mat a salah satu anak buahnya it u melihat gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia menuding sambil bert eriak keras. "Itu dia!" "Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam meringkik dan melonj ak kaget karena suara keras tersebut. "Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget !"
"Ket ua, mereka mendaki bukit . Saya lihat j elas!" "Kej ar dia! Kej aaar. ..!" bent ak Kombang Hit am bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera bergegas mengej arnya dengan tet ap menunggang kuda. Suaranya bert eri ak-t eri ak menghela kuda supaya lebih cepat bergerak di kerimbunan semak. Jalanan makin mendaki. Di depan ada j urang. Di belakang ada pengej arnya. Turun sama saj a bahaya. Dua anak buah Kombang Hit am t ampak berkel ebat mengej ar dari arah bawah. Satu-satunya j alan adalah t et ap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang sepert i dibanduli beban bert on-t on berat nya. Napasnya t inggal selit er lagi. Namun, demi menyelamatkan Sut o, bocah asuhannya it u, Dubang memaksakan diri unt uk lari mendaki menj adi penunj uk j alan. Sesekali ia limbung dan t erhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menj adi t egak kembali j ika mendengar suara ringkik kuda. Sut o memandang gemas, ingin melawan mereka t api selalu segera dit arik t angannya oleh Paman Dubang. "Awas, Paman. Hati-hat i... di sebelah kanan kit a j urang yang sangat dalam, Paman." "Diam kamu! Aku t ahu it u j urang!" kat a Dubang dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan kelelahan begitu. Tiba-t iba suara derap kaki kuda kian j elas di belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat Kombang Hit am sedang memacu kudanya unt uk lebih cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat . Namun, sayang sekali kaki it u menyampar akar pohon yang melint ang, sehingga Dubang pun t ersungkur j atuh ke depan. Buukk...! Sut o menabraknya dan ikut t erj at uh. "Ngekk...!" Tubuhnya t ert indih Sut o. Ia mencoba bangun karena Kombang Hit am berseru, "Mampus kalian sekarang, hah...?!" Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!" teriak Sut o t erbawa t angan Dubang. Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon unt uk menahan t ubuhnya yang nyaris merosot ke j urang. Sedangkan t angan kirinya berusaha menahan t ubuh Sut o yang sudah bergeser dari punggungnya. "Naik, Sut o! Naik...! Cepat naik!" Tangan Dubang mendorong-dorong t ubuh Sut o. Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon. Tet api, pada saat it u kuda Kombang Hit am mendekat i. Dubang bert eriak,"Lari! Lekas lari, Sut o...! Lari...!" "Pamaaan...!" Sut o bingung, ia ingin membant u menolong Dubang agar bisa naik. "Cepat lariii...!" t eri ak Dubang dengan gemasnya. "Selamatkan j iwamu unt uk balas dendam nant i!" Maka. Sut o pun melarikan diri menuj u ke at as. Kombang Hit am bert eriak, "Mau lari ke mana kau bocah ingusan.. .! Ha, ha, ha...!" Sut o t et ap lari sambil memikirkan kat a Dubang t adi. Napasnya t erengah-engah. Sement ara it u, Dubang, segera berusaha naik dari t epi j urang. Susah payah ia menarik dirinya dengan berpegangan pada akar pohon yang berj unt ai mirip rambut raksasa it u, namun tiba-t iba kedua anak buah Kombang Hit am t iba dari pengej arannya. Mereka menemukan Dubang dalam keadaan krit is. "Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang satu berkata pula. "Habisi saj a dia!" Dubang cemas dan memohon, "Kang, t olong aku...! Tolonglah. Nanti kuberi t ahu sisa keluarga Ronggo Wiseso. Tolong t arik aku ke at as, Kang...!" "Jangan mau t ert ipu oleh buj ukannya!" kat a yang satu. Yang satunya lagi berkat a, "Tapi dia mau memberi t ahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!" Orang yang diaj ak bicara it u mendengus, lalu
mencabut goloknya. Dubang menj adi t egang. Ingin memohon sesuat u t ak sempat keluar dari mulut nya. Orang yang memegang golok it u segera menebas ke depan. Crasss...! Akar it u dipenggal. Put us. Dan tubuh Dubang pun j at uh melayang ke bawah j urang dengan j erit yang menggema mengerikan. "Aaaa...!" Sut o berhent i dari larinya, ia mendengar j erit an itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan Dubang. Ia berbalik arah ingin ke t epi j urang lagi, t api kuda yang dit unggangi Kombang Hit am muncul dari semak-semak. Sut o menj erit kaget , kemudian hanya bisa berdiri dengan t ubuh gemet ar. Pada saat it u, kedua anak buah Kombang Hit am pun dat ang dengan napas t erengah-engah. Kombang Hit am t ert awa t erbahak-bahak dengan tet ap di atas punggung kuda. Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya. "Penggal kepala bocah it ul Penggal!" * **
3 JANTUNG bocah yang sudah t idak berbaj u lagi it u semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok t aj am terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari kesempat an unt uk mengambil bat u buat dilemparkan. Orang yang memegang golok taj am it u mendekat. "Kalau berani j angan pakai golok!" ucap Sut o dalam kebingungannya. Kaki gemetar dan celana j adi melorot . Melihat anak buahnya melakukan t ugas dengan agak ragu-ragu, Kombang Hit am bert eriak dengan membentak keras. "Penggaaal...!" Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi kanan Sut o, golok it u berkelebat menghant am leher bocah telanjang dada itu. Trangng...! Orang yang menggenggam golok it u mendelik melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang t empat yang pat ah it u. Kini ia hanya memegangi gagang golok saja. Tentunya hal it u membuat t emannya yang satunya t erkej ut j uga, dan Kombang Hit am t erperanj at. Ia masih duduk di atas kudanya sambil matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang t elah memat ahkan golok it u dengan menggunakan sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda. Kombang Hit am t urun dari kuda. Memungut bat u kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati sambil bergumam, "Keparat! Past i ada orang berilmu tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini bisa dipakai memat ahkan golok baj a. Hmmm...! Mana dia...?" mata Kombang Hit am kembali menat ap liar ke sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak ada tempat yang mencurigakan. Kecemasan Sut o mereda. Mat anya memandang golok yang pat ah dan t ak sadar masih digenggam oleh pemiliknya. Kombang Hit am merasa semakin geram
dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya yang masih mempunyai golok di pinggang. "Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat !" Sreet ...! Golok dicabut lagi. Sut o kebingungan. Ia merundukkan kepala sambil berkat a, "Jangan cobacoba menyerangku lagi!" Sut o masih nekat mengancam. Baru saj a golok diangkat ke atas, belum sempat diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring. Trangng...! Kembali golok it u pat ah. Bahkan menj adi t iga bagian. Padahal suara t rang t adi hanya sat u kali. Dan lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu menj adi semakin panas. Mat anya semakin buas memandang sekeliling. "Benar-benar keparat !" geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu digenggam dan hancur berubah menj adi serbuk abuabu. Kecemasan Sut o kembali mereda. Ia merasa lega, bahwa golok yang akan memenggal lehernya it u patah kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh. Kombang Hit am bert eriak keras, "Siapa kamu, hah?! Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?! Keluarkan bat ang hidungmu! Hadapi aku, Kombang Hit am, Ket ua Begal Ut ara! Ayo, keluar dari persembunyianmu! Keluar...!" Sepi. Tak ada j awaban dan suara yang mencurigakan. Bahkan detak j ant ung pun tak t erdengar oleh Kombang Hit am. Biasanya ia bisa mendengar det ak j ant ung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini, ketika ia memej amkan mat anya sesaat , ia t idak mendengar det ak j ant ung, selain j ant ung mil ik mereka dan Sut o. "Aku tak mendengar ada det ak j ant ung selain milik kita," ia berkata kepada anak buahnya. "Jangan-j angan anak it u punya kesaktian
t ersembunyi?" Kombang Hit am menat ap Sut o. Bocah yang dit atap it u mendengus benci, dan memalingkan kepala. Menggumam sesaat dengan mat a t ak berkedip. Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya it u. "Kurasa dia anak yang polos, t anpa ilmu apa pun. Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa menggunakan t enaga peringan t ubuh, t anpa gerakgerak yang mencurigakan." "Lalu, siapa yang t elah memat ahkan senj ata kami, Ket ua?" "Ent ahlah. Sebaiknya segera kalian peri ksa keadaan di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum bocah it u kupenggal sendiri dengan pedangku!" Kombang Hit am segera maj u unt uk meraih Sut o. Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena merasakan ada hawa panas berkekuat an besar sedang mengarah ke dadanya. Begit u ia melompat ke samping dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menj adi sasaran berikut nya. Kuda it u meringkik sambil terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya ada sepuluh t ombak dari t empat sang kuda berdiri. Kuda it u meringkik-ringkik, t ak bisa bangun lagi. Dan hal it u membuat kedua anak buah Kombang Hit am menj adi t ert egun bengong t ak berkedip. "Iblis Laknat !" maki Kombang Hit am. Ia bergegas bangun. Ia j uga memandang kudanya yang pat ah pada keempat kakinya dan kelihat an menyedihkan sekali. Meri ngkik-ringkik bagai orang menderit a sakit yang amat nyeri. Sebagian kulit t ubuh kuda yang put ih it u menj adi memar merah. Terut ama pada bagian perut dan kaki. "Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!" geram Kombang Hit am lagi. "Lekas cari! Periksa. Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak yang ada! Cepaaat ...!"
Kedua anak buah buah it i t u bergeg ber gegas as perg per gi dengan dengan peras per asaan aan t akut akan akan kemarahan Kombang Kombang Hi t am. Sut o j ug uga a bergeg bergegas pergi. Tap apii Kombang ombang Hi Hi t am membent membent ak. ak. "Hai, mau ke mana kamu, hah?" "Membakar semak!" "Yang "Yang kuperi kuper i nt ahkan ahkan anak anak buahku. buahku. Kamu t i dak i kut kuper kuper i nt ah ahka kan n membak membakar ar sema semak! k! Di am d dii si t u kal kal au mas ma si h ing i ngii n sel selam ama at ! " Sut o diam, di am, memandang memandang dengan dengan teng t engii l dan berl ber l ag agak ak t idak idak t akut kut sed edii kit pu pun. n. Di bali bal i k semak semak ri mbun, kedua anak anak buah buah Sut Sut o berkasak-kusuk. "Mana "M ana mungki mungkin n kit ki t a bis bi sa menumbangkan menumbangkan pohon? Golok ol ok pun t ak punya. Bag agai aimana mana ini i ni? ?" "Ent "Ent ahlah. Ki Ki t a j ug uga a t i da dak k memil memilii ki t ena nag ga da dall am sehebat ket ua, mana bis bi sa menumbang menumbangkan kan pohon dengan t angan angan kosong? kosong? Membakar semak t anpa api pun j elas el as t ak bis bi sa. Ki t a t i da dak k bis bi sa mengel mengelua uarr kan ap apii da darr i telapak tangan kita, seperti Ketua." "Lal "L alu, u, apa yang yang harus harus kit ki t a lakukan? l akukan?" "Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala. "Nyawa "N yawa kit a bis bi sa melaya mel ayang ng kalau begi begi ni caranya. Aku yaki yakin, n, ad ada a t okoh sak saktt i yang yang bersembu bersembunyi nyi di si ni. ni . Ent ah di sebelah mana. mana. Salah-salah, alah-salah, beg begii t u kit ki t a menemukan dia, kita mati lebih dulu." "Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu sang angat at sakti akt i . Set i daknya daknya punya punya tenag t enaga a dal dal am yang yang j auh lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua." "Apaka "Apakah. h... . apa apakah kah sebaiknya kit ki t a perg per gi saj a secara diam-diam?" "Per "Pergi gi? ? Oh, sepert eper t i nya it i t u gagas gagasan an yang bag bagus us.. Ayo, l ekas ekas t i ng ngg galkan hut hut an i ni. ni . Aku yakin, yakin, i bli bl i s penung penunggu hut an ini seda edang ng mengi mengi ncar ncar san ang g ket ua ua.. Kalau kit ki t a mencam mencampuri puri urusan urusan mereka, j elas el as t i da dak k sei seimba mbang ng.. Ki t a bisa mati konyol!",
"Aku "Aku t i da dak k mau, mau, ah! Mat atii konyol konyol j arang arang menda mendapa patt sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!" Kedua anak anak buah Kombang Kombang Hi t am berhas ber hasii l menuruni menur uni bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat. Sampai mpai t i ba di sebu ebua ah t empa empat , t ak j auh da dari l ada dang ng j ag agung ung,, mereka t erhent i di san ana. a. Seseorang eseorang yang yang menghent menghent i kan l ang angkah kah t emannya. emannya. "Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada kag kagum. Temannya emannya memanda memandang ng menur menur ut arah t elunj el unj uk. Dan t ernyat a mereka meli mel i ha hatt sesos esosok ok tubuh t ubuh berdir berdi r i di atas at as sebuah ebuah t onj olan ol an ba batt u besar. besar. Tubuh it u bag bagai berada di t empat empat t erang, erang, t an anpa pa deda dedauna unan n pengha penghall an ang g, sehingga ehingga bi bi sa di di l i ha hatt denga dengan j elas el as da darr i t empat empat kedua kedua anak ana k buah Komba Kombang ng Hi t am it i t u. "Menurut "M enurut mu dia di a perempuan at at au l elaki? el aki?"" "Sepert i nya seorang l elak el akii berambut berambut pa panj nj an ang g meri me ria ap. Berdiri erdir i nya nya b beg egii t u t eg ega ar. " Or an ang g yang yang berdir berdi r i di ba batt u it i t u meng mengena enakan kan j uba ubah h ungu. ung u. Kain j uba ubahnya hnya mel mel am amba baii -lam -l amba baii ba bag gaikan menar menar i karena kar ena hembus hembusan angi angi n. Salah al ah sat sat u anak buah Kombang Kombang Hi t am ber ber kata, kat a, "D "Dii a pas past i bukan or or ang sembarangan, embarangan, terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas. Warna pakai pakai annya merah, mer ah, bers ber selubung el ubung j ubah ungu. ungu. Ini menandaka menandakan n keberani keber anianny annya a dalam dal am menent ang bahaya bahaya apa ap a pun pun j ug uga. a."" "Si apa dia? di a? Apakah dia di a yang menyel menyelamat amat kan bocah i t u? Yan ang g memat memat ah ahka kan n senj senj at ata a kit a mema memaka kaii ba batt u keriki keri kill ?" "Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita t adi, r asa-ras asa-rasan anya ya t ak mungkin mungkin oran or ang g berj uba ubah h ung ungu it it u mema me matt ahka hkan s sen enjj at a k kii t a. Terla erl al u j auh j arakny raknya a unt unt uk sebuah ebuah pukulan j arak j au auh. h. Sepert i ad ada a di seberang j urang lebar i t u, kan? kan?" "Memang "M emang.. Tapi Tapi dia di a ber berdi dirr i menghada menghadap p ke t empat empat kit ki t a ber ber ad ada a t ad adii . Jang Jangan an-j -j an ang gan dia di a seda sedang ng memperhat i kan sang ket ua kit ki t a?"
"Apa "Apa i ya beg begii t u, ya.. ya. . . ?! " gumam gumam yang sat atunya unya bing bi ngung ung sendir sendirii . "Suda udah, h, suda udah. h... . kit ki t a j ang nga an t erla erl al u la l ama berhent berhent i di si ni. ni . Ayo, l ekas ekas pergi sebelum ebel um sang sang ket ua meng menget et ahu ahuii kita lari!" Mereka er eka kembal kembal i berg ber geg egas as perg per gi . Namun bar bar u t i ga l ang ngka kah, h, t i ba ba-t -t i ba mereka dikej di kej ut kan kan denga deng an kemunculan ses seseor eorang ang dari dalam lada l adang ng j ag agung ung i t u. Or ang t ers er sebut berada ber ada di arah sampi samping ng mereka, mer eka, j araknya araknya an antt ara ena enam m t ombak. ombak. Or an ang g i t u memanda memandang ng sebent ar ke arah mereka, l alu al u meneruskan meneruskan l ang angkahnya kahnya mendaki t ana anah h perbukit perbuki t an. Kedua ana anak k buah Komba Kombang ng Hi t am t ert er t eg egun un beng bengong ong,, kemudian kemudi an sali al i ng pandang pandang.. "Si apa orang or ang it it u? u?"" "Entah. Dia acuh tak acuh pada kita." "Mema "M emang ng dia di a t i da dak k mempeduli mempeduli kan kan kit ki t a. Tap apii t i dakkah kau kau sada sadarr i pakaiannya? pakai annya?" "O, "O, i ya. ya. . . ?! " orang orang i t u t erkej ut . "D "Dii a me mema maka kaii pakai pakai an s ser erba ba merah dan berj ubah ungu. ungu. Rambut ambut nya panj pa nj an ang g meri meriap ap.. Dan ia i a seorang seorang perempuan perempuan canti cant i k. Apakah pakah dia di a orang or ang yang ada di at atas as.. . . . " Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat batt u menonj ba menonj ol berukuran berukuran bes besar i t u t ela el ah kos kosong ong.. Tad adii , belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat seseor eseorang ang berdi ber dirr i j auh sekali . Deng engan an pakai pakai an dan cir ci r i cir ci r i sama dengan dengan orang yang yang b baru aru saj saj a muncul dari l ada adang ng j ag agung ung dan mel melewat ewat i nya deng dengan an a acuh cuh t ak acuh. acuh. "Apaka "Apakah h or or ang yang baru saj saj a lewat lew at i t u adal adalah ah orang or ang yang ada di at as bat u sana? sana?" "Aneh. "Aneh. Kalau al au benar benar orang or ang i t u adal adal ah orang yang ada di seberang seberang j urang t ad adii , l an antt as kapan kapan dia di a da datt an ang g kemar kemar i ? Jar Jar ak da darr i si ni ke bat bat u it u me membut mbutuhka uhkan n wakt wakt u cukup l ama. ama. Kena enapa pa dia di a t ah ahu-t u-t ahu muncul muncul di l ad adan ang g j ag agung ung da dan. n... . , " orang i t u meneng menengok ke belak bel akan ang g. Ternyat ernyat a pe perr empua empuan n cant cant i k yang yang berj uba ubah h ungu ungu iitt u
sudah tidak kelihatan lagi. "Edan! Dia sudah tidak kelihat an. Ke mana perginya. Mest inya ia masih bisa kit a li hat sedang berj alan mendaki?" "Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini! Lekas t inggalkan t empat ini sebelum kit a j adi sasaran!" Mereka berlari menerabas pepohonan j agung. Mereka t ampak t ergesa-gesa dalam langkahnya yang merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali t erhent i. Orang yang berj alan paling depan terkej ut dan berhent i seket ika, sehingga yang belakang menabraknya dalam sat u sent akan yang membuat mereka nyari s j atuh bersama. Mereka t erhenti karena di depan mereka berdiri sepasang kaki t egar beralaskan kulit t ebal yang diikat sampai bet is. Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang mengenakan pakaian serba hij au dengan j ubahnya berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh. Rambut nya yang put ih sepanj ang pundak diikat memakai kain hit am. Ia menggenggam t ongkat yang t ingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat it u menancap di samping kaki kanannya, t ergenggam erat oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat, bert onj olan, menampakkan kuli t nya yang t elah menipis dan berkeriput. Kumis dan j enggot nya pun memut ih t anpa hit am selembar pun. Jelas kakek it u sudah berusia lewat dari sembilan puluh tahun. "Mengapa kalian ket akut an?" "Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah Kombang Hit am t idak ada yang bisa menj awab, karena gugup dan bingungnya. Kakek it u semakin t erkekehkekeh melihat raut waj ah yang salah t ingkah. "Kalian tak pant as j adi praj urit , karena mempunyai j iwa pengecut dan pengkhianat. Past i lari dari t ugas!" "Ka... kami... kami takut, Kek." "Takut meli hat golok kalian pat ah sendiri?"
"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hit am saling menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih t ebal it u. Sang kakek semakin t erkekeh-kekeh. Kemudian berkat a, "Terserah. It u urusan j iwa kalian, baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat." Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir dengan perasaan t akut . Kakek berj ubah kuning melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka rubuh membuat batang-bat ang pohon jagung rusak ditimpa tubuh mereka berdua. "Kenapa kamu mendorongku?!" sent ak yang belakang. "Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang mendorongnya dengan kuat sekali!" "O, kalau begit u... angin dari kibasan j ubah kakek it u t elah mengeluarkan suat u t enaga yang mampu mendorong tubuhmu." "Masa sekeras it u? Sepert i didorong seekor kerbau rasanya." "Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam yang cukup sempurna. Bahkan menurut ku sangat t inggi sekali!" "Mungkin saj a. Sebab hanya t erkena angin kibasan j ubahnya yang pelan saj a aku bisa t umbang t ak mampu berdiri." "Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak bert indak kurang sopan padanya." "Hei, kau ingat kalimat nya tadi? Kurasa dialah orangnya yang membuat senj ata kit a pat ah." "O, iya! Dia t adi menyebutkannya. Kalau begit u, pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia sedang menuj u ke arah tempat kit a t adi bersama sang
ket ua. Iya, kan?" "Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia bisa t ahu kalau kit a habis kehilangan senj ata karena patah, j ika memang bukan dia pelakunya?" "Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau pengkhianat, biar sajalah...!" Baru saj a mereka mau melangkah, salah seorang menahan tangan t emannya sambil berkat a dengan nada t egang. "Tunggu, coba perhat ikan, apa yang berasap it u?" Mereka memandang ke t anah ladang. "Ast aga! Bekas t elapak kaki kakek it u berasap!" kat a yang sat unya dengan kagum sekali. Benar," gumam yang lain. "Bekas t elapak kaki it u sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat ...! bekas t ongkat nya pun t ampak dalam dan berasap j uga. Ck, ck, ck...l" orang it u geleng-geleng kepala. "Luar biasa sekali kekuat an t enaga dalamnya. Aku j adi kepingin menj adi muridnya." "Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di dekat t elapak kaki it u sepert inya j uga berasap." Temannya memandang dengan dahi semakin berkerut . Kemudian ia memetik j agung muda it u dan membuka kuli t nya. Mata mereka semakin t erbelalak. "Ya, ampuun.. . j agung ini menj adi mat ang. Sepert i j agung yang baru saj a dibakar!" "Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit t angan. Coba kau makan j agung it u sebij i. Apa benar-benar mat ang?! Kemudian orang yang disuruh mencoba it u benarbenar memetik satu butir dari rentetannya. Butir j agung it u dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya sebent ar. Ia menggumam dalam kunyahannya. "Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh, kepalaku j adi menggeliyang begini?"
Ia limbung sedikit . Berusaha berpegangan pundak t emannya. Temannya menj adi heran bercampur t egang. "Hai, kenapa kau? Kenapa?" Tiba-t iba orang yang mencicipi j agung mat ang it u t erbungkuk dan memunt ahkan sesuat u, "Hoooeeek...!" Mata temannya semakin bundar melebar. Ia melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang t eman. Cukup banyak orang it u munt ah-munt ah isi perut nya. Wajahnya menj adi pucat pasi dan melemas. Tentu saj a sebagai t eman ia kebingungan dan segera memapah pergi, ia menyeret kaki t emannya yang lemas sambil sedikit berlari. Tapi t ubuh t emannya menj adi dingin dan kian dingin. "Jagung it u masih mempunyai kekuat an tenaga dalam. Unt ung kau baru memakannya satu butir. Coba kalau kau makan semua, kau past i t idak akan t ert olong lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek berj ubah kuning it u. Bert ahanlah. Bert ahan sebent ar, nanti kumint akan obat pada Sugolo. Dia bisa menawarkan racun dan sudah mulai menguasai pengobat an penyakit dalam. Kau masih kuat unt uk bert ahan, kan? Masih kuat ...? Hei, kau masih kuat ...?" "Masih," j awabnya lemas. Tubuh it u semakin dingin. Semakin pasrah diseret . Dan set elah diperiksa sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat. Agaknya orang it u mabuk berat sehingga saat diaj ak bicara t entang Sugolo t adi, mungkin ia t idak mendengarkan. "Makanya j adi orang j angan rakus, ada makanan sedikit langsung dicaplok saj a," gerut u t emannya. Ia kembali menatap ke belakang sebent ar sambil istirahat. "Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begit u hebat kau punya ilmu, sampai aku j adi ingin t ahu, apa yang kau lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang
ket ua, j ika kau inginkan bocah it u? Dan mungkinkah kau akan bert emu dengan perempuan cant ik berj ubah ungu it u? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek t ua. Tapi mungkin kau mampu dit undukkan dengan melihat kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik berj ubah ungu it u? Apakah... apakah sebaiknya aku kembali ke sana unt uk mengint ai apa yang mereka lakukan t erhadap bocah it u?!" * * *
4 KOMBANG Hit am semakin j engkel set elah memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada j awaban. Cemas j uga hat inya. Ia menyangka anak buahnya t elah mat i oleh serangan t enaga dalam yang tersembunyi. "Rupanya aku perlu unj uk diri biar orang it u t ahu siapa aku! " gumam Kombang Hit am. Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat . Ia memusatkan t enaganya di t angan kiri it u. Tangan yang menggenggam it u dit ekuk naik sampai di batas dada. Lalu, dengan kaki sedikit merendah t angan it u dihentakkan membuka ke arah depan. Huup...! Dueerr...! Sebuah ledakan t erj adi. Tangan it u mengeluarkan cahaya biru kehij auan. Cahaya t ersebut meluncur cepat dan menghant am sebuah pohon besar. Pohon t ersebut meledak, akarnya t erangkat naik. Tumbang dalam keadaan hangus. Napas Kombang Hit am pun dit ari k panjang. Dit ahan dalam dadanya. Kemudian dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang sedikit t ernganga. Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu menut up kedua telinganya sambil merendahkan badan. Ia sangat ket akutan mendengar suara ledakan begit u kerasnya, ia merasa ngeri melihat pohon sebesar gaj ah t umbang bersama akar-akarnya. Kakinya gemet aran bagai tak mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya masih mencuri pandang ke arah Kombang Hit am, karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang berwaj ah sangar it u. Dueer...! Dueer...! Dua pohon besar berj arak j auh kembali t umbang oleh sent akan t enaga dalam Kombang Hit am. Mat anya tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena
hal it u ia lakukan dengan harapan orang yang bersembunyi segera menampakkan diri. Tet api yang ada hanya sepi t anpa bunyi. Bau hangus t ercium. It ulah bau pohon yang t erbakar karena sinar biru kehij auan dari t elapak t angan Kombang Hit am. "Keluar kau, pengecut !" bent ak Kombang Hit am. Sut o pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekat i Kombang Hit am dengan penuh perasaan t akut . Memelas waj ahnya. "Hei, kenapa kau mendekat ? Kenapa berdiri dari j ongkokmu?" "Bukankah kau menyuruhku keluar?" "Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari persembunyiannya!" Sut o t ersenyum sinis bernada mengej ek. "Tet aplah di t empat mu! Kau akan kubunuh set elah penyerang gelap it u kubereskan!" "Coba saj a!" j awab Sut o dengan makin menj engkelkan. Ia kembali ke t empat nya dan berj ongkok sambil siap-siap memegangi kedua telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya. "Anak bodoh!" geram Kombang Hit am lagi sambil mendengus kesal. "Belum-belum sudah t ut up t elinga!" Rupanya Kombang Hit am sengaj a membi arkan suasana hening beberapa j urus. Ia menunggu kemunculan penyerang t ersembunyi. Ia memandangi kudanya yang sekarat. Mati t idak, namun t ak punya kemampuan untuk berdiri lagi. Semakin j engkel hat i Kombang Hit am j ika melihat keadaan kudanya yang menderita. "Tak seberapa t inggi sebenarnya ilmu orang yang bersembunyi it u," pikirnya. "Sayang aku t idak bisa menget ahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun segera memeriksa ke atas, siapa t ahu penyerang geIapnya it u ada di at as pohon. Ternyat a t idak ada apa-
apa di sana. Penasaran sekali hat i Kombang Hit am j adinya. Set elah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman, maka Kombang Hit am pun segera mendekati Sut o. Pandangan matanya penuh selera unt uk membunuh sisa ket urunan Ronggo Wiseso it u. Sut o menj adi sedikit ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas. Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit . Wusss...! Angin berhembus begit u cepat nya. Kombang Hit am t erkesiap sebent ar. Pandangan matanya t erarah ke kanan bagai mengikut i kelebat an angin yang baru saj a melint as di depannya. Ket ika pandangan matanya kembali ke arah Sut o, mat a it u pun t erbelalak lebar. Napasnya bagai t ersent ak berhent i. Bocah t elanj ang dada it u sudah t idak ada. Lenyap. Karuan saj a Kombang Hit am menggeram penuh kemarahan. Matanya menj adi liar memandang sekeliling. "Babi bunt ung! Siapa yang berani mengganggu sasaranku it u!" geramnya dengan langkah mundur berkeliling, mat anya mencari-cari seseorang yang diduganya t elah melenyapkan Sut o. Sikapnya t elah menandakan siap bert arung dengan makhluk j enis apa pun. Tangan keduanya selalu mengencang walau t idak mengepak kuat. Urat-uratnya menegang. Set iap langkah kakinya membent uk kuda-kuda yang t ak mudah dirobohkan sewakt u-waktu. "Hi, hi, hi. .. !" Terdengar suara t awa mengikik bagai suara peri . Suara it u dat angnya dari salah sat u dahan pohon. Maka segeralah kepala Kombang Hit am mendongak ke at as. "Jabang bayi...!" gumamnya penuh geram. Ia menat ap t ak berkedip. Ia t ak menyangka di atas sana ada seorang perempuan berambut panj ang t erurai. Waj ah nya cantik dengan pot ongan t ubuh yang
membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu mengenakan pakaian serba merah dengan j ubah ungu muda. Ia menggendong Sut o yang rupanya dalam keadaan pingsan karena pengaruh t ot okan j alan darahnya. Kombang Hit am segera berseru, "Ooo... rupanya kau yang menggangguku sej ak t adi. Turunlah! Kit a selesaikan apa kemauanmu!" "Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!" Kombang Hit am mundur dua langkah ket ika perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling lurus ke bawah. Jubah dan rambut nya pun mengembang, berput ar mengikut i gerakan t ubuh. Beberapa daun pohon menj adi runt uh. Rupanya kibasan rambut dan j ubahnya mempunyai kekuatan t ersendiri yang mampu merunt uhkan dedaunan, baik daun yang tua maupun yang baru t umbuh. Akibat nya, t ubuh Kombang Hit am banyak dit imbuni dedaunan berukuran kecil-kecil. Kombang Hit am merasa kagum, namun j uga merasa j engkel karena sibuk menghindari dedaunan, menepis-nepis daun yang mengot ori rambut dan bagian tubuh lainnya. Jlig...! Kaki perempuan it u menapak di t anah dengan mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat t erperanjat melihat Sut o t elah sadar dan melompat turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu meraih lengan Sut o dan menahan agar anak it u t idak lari pergi. "Tet aplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari si rakus, Begal Ut ara it u!" Sut o menurut . Ia merasa dapat pelindung walau ia masih belum j elas apa yang baru saj a dialami. Merasa sepert i dirinya sedang t erbang sekej ap. Sement ara it u,
dalam hat i perempuan berj ubah ungu berkata, "Ada yang t elah melepaskan t ot okanku pada Sut o. Hmm... siapa orangnya? Apakah Kombang Hit am it u yang melepaskan t ot okanku dari j arak j auh? Kurasa t ak mungkin. Hmmm... baik. Kut unggu saj a orangnya. Past i nanti akan muncul!" Mata Kombang Hit am t idak bisa berkedip melihat kecant ikan terpapar di depannya. Kemarahannya t ert unda sej enak. Hatinya berdebar-debar i ndah. Senyumnya pun menampakkan senyum ot ak mesum. Tet api, Kombang Hit am t et ap waspada. Ia t ahu perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan. Dari gerakan t urunnya t adi, Kombang Hit am sudah bisa merasakan hembusan tenaga dari dalam gerakan t ersebut. Runt uhnya dedaunan pun bisa dij adikan bukti, dan membuat Kombang Hit am sempat memuj i dalam hati. "Kenapa kau t erbengong saj a, Kombang Hit am?" "Kau tahu namaku, rupanya?" "Aku lebih t ahu namamu daripada rupamu. Kau Ket ua Begal Ut ara yang lebih banyak memperkosa daripada mengeruk hart a. Benar, bukan?" perempuan itu tersenyum. Cantiknya bukan main. Kombang Hit am kian berdebar-debar. Biasanya, ia t idak bisa diam j ika melihat perempuan mulus sedikit . Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan, Kombang Hit am dan anak buahnya langsung menj adikan perempuan it u sebagai sarana pest a cint a. Tapi agaknya kali ini Kombang Hit am t idak boleh gegabah, t idak berani bert indak sembarangan. Bahkan tiap langkah nya pun diperhitungkan. "Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cant ik?" "Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak mengenaliku. Memang baru kali ini kit a bert emu?" "Tepat sekali. Baru sekarang kit a bert emu. Jadi,
sebut kan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai ubun-ubun lagi." Perempuan itu tertawa sinis, "Jangan coba-coba mengancamku, Kombang Hit am. Riwayat mu akan segera habis kalau t idak lekas-lekas memint a maaf padaku." "Mungkin harus kugunakan permint aan maaf dengan ciuman atau pelukan mesra. He he he...!" Kemudian kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit. Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan it u bergerak pelan dengan urat -urat mengencang, bert onj olan dari lengan sampai ke j ari-j arinya. "Aku j adi penasaran mendengar nyalimu sebesar gunung it u, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya sebesar upil!" Perempuan it u t et ap diam dengan kaki sedikit merenggang t egak. Dagunya sedikit t erangkat menampakkan keangkuhannya. Matanya bergerak mengikut i langkah kaki Kombang Hit am yang mencari kesempat an baik unt uk menyerang. Makin l ama gerakan kakinya semakin dekat dengan perempuan it u. Sampai satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh, dan dengan cepat kaki kanannya menj ej ak ke belakang. "Hiaaat...!" Tap...! Tuk...! Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh perempuan berj ubah ungu, lalu t angan kanannya menyent il mat a kaki Kombang Hit am. Seket ika it u Kombang Hit am t erj ungkal sambil bert eri ak keras. "Waddoow...!" Brukkk! Tubuh Kombang Hit am berguling-guling di t anah. Selain t ubuhnya sepert i mendapat serudukan tiga ekor bant eng, j uga kakinya sepert i dihant am dengan bat ang kayu yang amat keras. Sakit nya bukan main. Tetapi Kombang Hit am segera menarik napas unt uk
mengurangi rasa sakit nya. Kalau bukan Kombang Hit am, past i mata kaki it u sudah pecah. Set idaknya akan memar membiru, atau bengkak. "Boleh j uga mainanmu!" geram Kombang Hit am masih penasaran. Ia bersiap menyerang kembali. Kali ini t angannya mengembang lebar dengan satu kaki terlipat ke depan, mirip seekor rajawali hendak menerj ang lawannya. Perempuan it u masih diam t ak bergerak. Namun ket ika Kombang Hit am melancarkan pukulan j arak j auhnya yang t ingkat menengah, t ibat iba tubuhnya sendiri yang t erpental ke belakang dan membent ur bat ang pohon besar. Bukkk...! "Hegghh...!" Matanya mendelik, mulutnya t ernganga. Unt ung saj a pedangnya tidak patah akibat benturan kuat it u. Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak. Itu pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak. Untung saj a Kombang Hit am mempunyai kekuat an yang cukup besar, sehingga tubuhnya t idak lecet dan t ulangnya t idak ada yang pat ah. "Edan! Tenaga dalamku dikembali kan begit u saj a t anpa ada gerakan sedikit pun?!" pikir Kombang Hit am dengan t erheran-heran. Rupanya ia masih penasaran. Ia segera bangkit dan menggeram. Kini sekuj ur t ubuhnya mengeras, hingga semua ot ot t ubuhnya bagai bert onj olan lebih j elas lagi. Tangannya mengembang dengan kedua t elapak t angan mengeraskan j emari, bagai cakar garuda yang kokoh. Wajah bengisnya pun semakin t erl ihat j elas. Amat menyeramkan bagi orang lain. "Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, Jahanam! Hiaaat ...!" Kedua t elapak tangan dengan j ari -j ari yang mengeras it u mulai mengepulkan asap. Uj ung-uj ung j arinya membara bagaikan besi t erpanggang api. Jelas akan hangus j ika benda apa pun yang t ersent uh j emari
'Cakar Kumbang Mesra' it u. Kombang Hit am menggerakkan t angannya dengan cepat dan kuat . Dihant amkan dulu pada bat ang pohon besar. Crak, crak, crak...! Di balik pohon t empat nya bersembunyi, Sut o membelalakkan mata melihat pohon yang terkena cakaran Kombang Hit am it u hangus di beberapa t empat . Membekas hit am dan masih mengepulkan asap. Memang di hat i Sut o ada perasaan ngeri, t api hat inya berkat a, "Hebat sekali ilmunya. Tapi suat u saat aku harus bisa menandingi ilmu seperti itu!" Kombang Hit am menggeram, mat anya t ert uj u pada perempuan tersebut. Lalu katanya, "Lihat pohon itul Tidakkah kau sayang pada t ubuhmu yang mulus j ika sampai t erkena 'Cakar Kumbang Mesra'-ku i ni, hah?!" Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu menj awab, "Gant ilah namanya menj adi j urus 'Cakar Bebek'. Karena pohon it u t idak mengalami perubahan apa-apa." Fuih...! Perempuan it u meniupkan napasnya dengan pelan. Tapi membuat rambut Kombang Hit am t ersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang. Ia segera menat ap ke arah pohon yang t adi habis dicakarnya tiga kali it u. Dan mat anya menj adi t erbelalak kaget , karena bekas hit am yang mengepulkan asap pada bat ang pohon it u sudah tidak ada. Lenyap sama sekali. Tanpa bekas sedikit pun. Keadaan pohon menj adi ut uh sepert i sediakala. Terperanj at lagi Kombang Hit am begit u menget ahui uj ung-uj ung j ari nya yang t adi merah membara it u sekarang dalam keadaan padam. Bahkan mengandung bint ik-bint ik put ih sepert i busa. Setelah diperhat ikan baik-baik, t ernyat a busa-busa salj u. "Gila!" sent ak hat i Kombang Hit am. "Dia bisa memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menj adi dingin
membeku. Set an mana perempuan ini sebenarnya?" Kombang Hit am masih membelalakkan mat a dengan rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan j emarinya ke baj u sambil memandang t aj am pada perempuan berj ubah ungu it u. Hati Kombang Hit am kembali berkata-kata. "Kalau kulanj ut kan, mat ilah aku! Perempuan ini ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku. Pedangku pun t ak akan mampu melawan!" Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar hat inya. Dan ia pun bert anya, "Siapa diri mu sebenarnya?!" "Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan Bidadari Jalang?" Terperanj at wajah Kombang Hit am seket ika it u. Mat anya melebar t egang, dan ia menggumam j elas. "Bidadari Jalang...?!" "It ulah aku!" j awab perempuan berj ubah ungu. Tegas dalam senyum yang angkuh. Waj ah keras dan bengis it u menj adi lunak. Mulai ada keraguan di waj ah it u. Kombang Hit am mundur satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu adalah Bidadari Jalang. Nama it u sangat dikenal di rimba persilatan. Bukan hanya dikenal banyak orang, melainkan menj adi t okoh yang disegani dan dit akuti oleh beberapa kalangan persilatan. "Pant as t enaga dalamnya begit u hebat , dan sentilan j arinya seberat it u," pikir Kombang Hit am saat it u, lalu pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai Muara Tungkai. Ia hanya mendengar kisah it u, di mana Bidadari Jalang mengalahkan pendekar-pendekar dari dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan tanah Jawa. Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal sakti dan berilmu tinggi-tinggi. Jika tiga pendekar Tibet saj a bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi dirinya sendiri?
Berpikir j uga Kombang Hit am ingin menghadapi Bidadari Jalang. Dia tahu, perempuan itu dikenal pula sebagai bidadari yang bisa kej am, bisa romant is. Dan kalau kekej amannya t iba, t ak pernah mengenal kat a ampun dan hidup. Past i lawannya dibuat hancur t anpa bisa dimakamkan j enazahnya. "Kau sudah menj adi pat ung, Kombang Hit am?" sindir Bidadari Jalang. Kombang Hit am segera melepaskan diri dari renungannya. "Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku t idak punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik urusan pribadiku?" "Bukankah kau ingin membunuh anak ini?" "Ya. Karena dia ket urunan Ronggo Wiseso. Aku punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan harus membunuh anak it u!" "Itu berarti kau punya urusan denganku." "Mengapa begit u, Bidadari Jalang?" "Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup," j awabnya dengan kalem. Senyum pun kembali mekar, manis namun angkuh. Bingung j uga Ket ua Begal Ut ara it u. Unt uk merebut Sut o j elas sesuat u yang t ak mungkin. Bisa-bisa nyawanya melayang t anpa arah yang past i. Unt uk membuj uk Bidadari Jalang, agak sulit j uga menurut nya. Tapi ia t et ap mencobanya dengan buj ukan. "Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari Jalang?" "Aku ada di pihakku sendiri." "Lalu, mengapa kau menghendaki anak it u t et ap hidup?" "It u urusanku. Apakah kau ingin merebut nya dari t anganku?" Kombang Hit am menarik napas. Tampak gelisah, ia pun berkat a, "Jangan sampai kit a saling bermusuhan, Bidadari Jalang. Terus t erang saj a, aku adalah salah
sat u pengagum kehebat anmu. Tak mungkin aku melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba persilatan ini. Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku memint a kepadamu agar Sut o kau serahkan padaku. Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso." "Aku keberatan," j awabnya bernada ket us. "Kuharap kau t idak berkat a demikian, Bidadari Jalang." "Aku t idak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa pun. Lupakanlah t ent ang anak ini. Anggap saj a ia tidak lahir dari darah ket urunan Ronggo Wiseso!" "Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh anak it u." "Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?" t ant ang si cantik bermat a indah it u. Hal it u membuat Kombang Hit am menj adi semakin lesu. Waj ah bengisnya benar-benar surut bagaikan pelit a kekurangan minyak. Sinar mat anya yang semula berapi-api penuh nafsu membunuh, sekarang j ust ru penuh ungkapan mengiba, mohon dibelaskasihani. Tet api agaknya Bidadari Jalang tet ap pada pendiriannya, unt uk tidak menyerahkan Sut o kepada Kombang Hit am. "Kurasa aku t ak perl u menghabiskan wakt u t erl alu lama di sini," kat a Bidadari Jalang. "Tunggu sebent ar, " sergah Kombang Hit am ket ika Bidadari Jalang mau pergi membawa Sut o. Ia buru-buru berbalik dan memandang dengan sorot mat a yang tajam. "Mau apa lagi kau? Haruskah aku menghancurkan t ubuhmu yang sepert i badak it u?!" "Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku, tapi...." "Aku t idak punya wakt u lagi." Bidadari Jalang berkat a kepada Sut o yang sej ak t adi berada di bali k pohon, bersembunyi. "Bocah bagus,
kemarilah. Kit a pergi bersama ke rumahku. Mari, kemarilah...." Tiba-t iba t ubuh Sut o terangkat naik. Melayanglayang di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah. Bidadari Jalang terperanj at, demikian pula Kombang Hit am. Mereka t idak menyangka sama sekali kalau Sut o mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu sempurnanya, sehingga bisa melayang t erbang menj auhi Bidadari Jalang dan Kombang Hit am. "Edan! Rupanya bocah it u punya ilmu j uga?!" gumam Kombang Hit am dengan t erheran-heran. "Hiaaat...!" Bidadari Jalang melompat dan bersalto di udara dua kali, lalu rambutnya berkelebat mengikat ke tubuh Suto, menj erat kuat sehingga anak it u t ert arik ke t ubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah it u. Kakinya kembali memij ak t anah dalam keadaan memeluk Sut o. Sement ara it u, waj ah Sut o sendiri t ampak t erperangah dan t erheran-heran dengan apa yang t erj adi saat it u. Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya t iba-t iba t ubuh Sut o meluncur naik, licin bagaikan belut dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalt o tiga kali putaran. "Woaaaw...!" teriak Suto kebingungan karena merasa terbang tak tentu arah. Tappp...! Tubuh bocah it u j at uh dalam pelukan lelaki t ua. Rasa heran Kombang Hit am belum habis saat melihat t ubuh Sut o melayang lepas dari pelukan Bidadari Jalang. Sekarang keheranannya kembali bert ambah begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih dengan j ubah kuning. Mat a Kombang Hit am kian t erbelalak, karena ia t ahu siapa kakek tua bert ongkat kayu hitam itu. "Si Gila Tuak..:?!" sebut Kombang Hit am t ak sadar. Kakek it u t ersenyum t awar. Kombang Hit am melangkah
mundur l agi. Buat Kombang Hit am, kemunculan si Gila Tuak memang mengget arkan hat i, sebab ia tahu siapa Gila Tuak. Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang sudah t uj uh t ahun t idak menampakkan diri di rimba persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri pert arungan Gila Tuak dan Penguasa Tanah Neraka yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa. Pada waktu it u, Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba persilatan di separo t anah Jawa sebelah t imur. Tapi tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di uj ung t ongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa Nyawa it u adalah Ket ua Rampok Wet an, di mana dulu Kombang Hit am pernah menj adi anak buahnya. Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu membuat Bidadari Jalang t erheran-heran sepert i Kombang Hit am. Bidadari Jalang hanya t ersenyum sinis dan berkata, "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan kali ini kau mencampuri urusanku lagi." "Nyai Nawang Tresni," panggil si Gila Tuak menyebut nama asli Bidadari Jalang, "Jangan sangka hanya kamu yang membut uhkan anak ini, t api aku pun membutuhkannya." "O, begit u?" kat a Nyai Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, ia cukup t enang dan kalem. Kombang Hit am semakin waswas. Ket ika si Gila Tuak berkat a, "Rupanya kau punya murid baru, ya?" sambil melirik Kombang Hitam, lelaki yang dilirik itu menjadi semakin berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkat aan. "Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku. Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku mohon diri dari hadapan kalian!" Tanpa mengulang kata-kat anya lagi, Kombang Hit am segera kabur. Melompat ke semak belukar menghilang dengan kecepat an t inggi. Agaknya Kumbang
Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi. Bertemu dengan dua t okoh sakt i it u, sama saj a bert emu dengan liang kubur. Kombang Hit am lebih memilih mengalah, membiarkan bocah ingusan it u menjadi bahan rebutan mereka. Tet api dalam hati Kombang Hit am sempat bert anya-t anya, mengapa kedua t okoh kondang yang banyak ditakuti lawan itu memperebutkan keturunan Ronggo Wiseso? Apa kehebat an Sut o sehingga diperebut kan oleh kedua tokoh ut ama it u? Dan j ika t erj adi pert arungan ant ara Bidadari Jalang dengan si Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat t inggi it u, at au sebaliknya? * **
5 BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai Nawang Tresni it u, hanya berdiri memandang dengan kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang membuat dada mont ok Bidadari Jalang j adi t ert ut up. Ia menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha mencari cara unt uk merebut Sut o dari pelukan si Gila Tuak. "Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing kemarahanku dan memaksa diriku t ega kepadamu." "Jangan menabur bunga di uj ung duri, t aburkan bunga di at as kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan orang lain." Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang pun berkat a, "Aku t ak but uh nasihat mu, Gila Tuak! Aku hanya but uh bocah t anpa pusar it u! Serahkanlah padaku, j angan membuat aku memaksa raga tuamu!" "Aku j uga membut uhkan bocah t anpa pusar ini, Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi kau t ahu sendiri, aku belum punya murid yang menj adi pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan. Set elah it u baru aku akan bisa menut up mat a dengan tenang." "Perset an dengan kepent inganmu it u!" geram Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali. Jluuk...! Wuuss...! Tubuh Sut o mencelat ke atas, melayang ke arah Bidadari Jalang. Bagaikan t ersentak t iba-t iba dari pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam
gendongannya, posisinya t epat sepert i anak duduk digendongan seorang ibu. Napas Sut o t erengah-engah. Ia sendiri kaget dengan peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi ket akut an. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang diperkuat. "Set an bet ina!" umpat Gila Tuak. Baru saj a Gila Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang t elah melesat ke pucuk sebuah t anaman peredu. Kakinya t ak membuat t anaman yang dipij aknya bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting t inggi, t anaman it u hanya bergerak sedikit , sebagai alas unt uk menj ej akkan uj ung j empol kakinya, dan t ubuh yang menggendong Sut o it u sudah berada di at as sebuah pohon berdahan kekar. "Woaaaow...!" Sut o buru-buru memej amkan matanya set elah menyadari berada di sebuah ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu menj adi kecil. "Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak. Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin. Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sement ara Sut o t et ap diaj ak t erbang ke sana sini t anpa t ahu arah tujuannya. Rant ing dan dahan berguncang semuanya. Sebagian daun banyak yang rontok sebelum menua. It u j elas akibat gerakan bert enaga dalam t inggi dari Bidadari Jalang. Sat u pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon lainnya ikut runtuh daunnya. "Wooaaw.. . wooaaw...," t eriak Sut o ngeri-ngeri girang. Suara Sut o bagai berkumandang ke mana-mana. Karena kecepat an gerakan Bidadari Jalang dalam membawanya lari membuat Sut o bagai melayang
dengan suara yang t ert inggal. Suara t eriakan Sut o berada di pohon pert ama, t api sebenarnya ia sudah berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya, dan hal it u dimanf aat kan oleh si Gila Tuak. Ia mengej ar lewat bawah. Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon disekit ar sit u menj adi kering bagai habis t erbakar. Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat . JaIur pelarian Gila Tuak membent uk garis hit am berliku-liku j ika dit eropong dari ket inggian t ert ent u. Pelarian Bidadari Jalang t iba di puncak bukit berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus membuj uk Sut o. Sebab dalam pelariannya tadi, Bidadari Jalang t elah berusaha menot ok j alan darah Sut o agar berhent i bert eriak dan pingsan, sehingga t idak berisik suaranya. Namun, anak it u j ust ru menj erit makin keras j ika t erkena t ot okan j ari Bidadari Jalang. Rupanya anak it u sudah t ak mempan t ot okan lagi. Dan Bidadari Jalang t ahu, semua it u adalah ulah si Gila Tuak, yang t adi waktu ada Kombang Hit am t elah melepaskan t ot okan pada diri Sut o. Kini j ust ru Gila Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada t ubuh dan darah bocah t anpa pusar it u, sehingga kebal t ot okan siapa pun. It ulah sebabnya Bidadari Jalang perlu membuj uk Sut o. Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu sebelahnya t elah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di mulut nya. Tongkatnya t ergenggam di t angan kanan dengan uj ung t ongkat dilet akkan di samping kaki. Sosok tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi mat ahari senj a. Bayangan sosok Gila Tuak membuat hat i Bidadari Jalang sedikit t erperanj at . Tak sangka Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ket imbang dirinya. "Hebat j uga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari
Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!" "Jangan salahkan aku j ika t erpaksa menurunkan t angan keras padamu, Bidadari Jalang!" "Kalau kau mampu, lakukanlah!" t ant ang perempuan it u dengan senyum manis yang menggoda set iap lelaki. Hanya Gila Tuak yang t idak t ergoda oleh senyuman birahi Bidadari Jalang. Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah sat u ilmu yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang unt uk mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman it u mampu membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari naf su membunuhnya, dan j ust ru menj adi kasmaran kepadanya. Lawan, bisa dibuat nya pasrah tak berdaya karena merasa dibuat nikmat dengan memandang senyuman iblis itu. Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang mempunyai pengaruh maut untuk j iwanya, sebab it u ia t elah menut up jiwanya sehingga t idak pernah punya rasa t ert arik dengan senyuman siapa saj a. "Nawang, kenapa kau bersikeras mendapat kan bocah t anpa pusar it u? Apa keperluanmu t erhadapnya?" "Aku but uh obat. Aku but uh mengembalikan beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga Pendekar Tibet dulu. Di dalam t ubuhku sej ak pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi. Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi sedikit j ika aku sedang kasmaran dengan seorang pria. Racun Birahi ini akan menj adi t awar j ika aku sering mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa pusar. Maka ket ika kulihat bocah ini t anpa pusar, aku segera merebut nya dari t angan Kombang Hit am. Bocah inilah sat u-sat unya j alan unt uk membuat kekuat anku
pulih kembali dan racun menj adi t awar. " "Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sent ak Gila Tuak. "Aku akan mendidiknya. Aku akan menj adi gurunya t ermasuk guru cinta. Hi hi hi. ..." "Guru sesat !" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau racuni masa depan anak it u dengan persoalan cint a birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmuilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan t enang, ent ah di t angan siapa saj a!" "Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang bisa membuat umur panj ang? Hi hi hi... rasakan susahnya orang yang jenuh hidup dalam ket uaan! Masih mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak sepeot kamu. Hi hi hi..." "Set an! Kalau kau t idak mempunyai ramuan awet muda dan ilmu kecant ikan abadi, kau j uga akan set ua aku, Bidadari Jalang. Aku t ahu, umurmu sebaya dengan umurku!" "Tent u saj a! Tapi kit a beda guru walau saat diangkat murid kit a sama-sama berusia imbang. Aku mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panj ang dari suaminya, yait u Eyang Purbapati. Dan t ernyata akulah yang lebih unggul. Walau aku bisa mat i kapan saj a, t api kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panj ang kalau raga kit a makin lama semakin keropos, Gila Tuak?" "Sudah. Cukup! Jangan mengingat -ingat masa lalu. Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kit a masingmasing. Persoalan kit a adalah Sut o!" "Rebut lah kalau kau merasa mampu!" "Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil mengarahkan t ongkatnya ke t ubuh Bidadari Jalang.
Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang melayang, Bidadari Jalang pun melompat j auh ke kanan. Sodokan t ongkat it u membent ur bat u yang semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu it u pun segera ret ak t erbagi beberapa bagian, bagaikan dihant am palu godam yang sangat besar. Menyadari kekuatannya telah berkurang sej ak ia terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak dalam keadaan kurang kekuat an. Siapa t ahu si Gila Tuak it u sudah berhasil menemukan j urus-j urus baru dalam padepokannya sej ak ia menghilang dari rimba persilat an selama tuj uh t ahun. Bisa-bisa j urus dan ilmu barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuat an Bidadari Jalang yang tersisa it u. Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari pert arungan dengan Gila Tuak, unt uk saat ini adalah langkah yang t epat . Tapi Gila Tuak sendiri t idak mau melepaskan Bidadari Jalang begit u saj a. Ia pun segera mengej arnya. Mereka menuruni bukit dengan kecepat an t inggi. Suara j erit an Sut o yang dibawa lari secepat it u, membuat j ej ak tersendiri bagi Gila Tuak. "Nawang! Berhent i kau! Hadapi aku!" teriak Gila Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya. Mat anya menyipit memandang kilasan angin merah yang berkelebat di depannya. Sert a-mert a tongkat nya dilemparkan dengan t angan kiri. Sekali pun memakai tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak panah yang t ak dapat dil ihat mat a t elanj ang. Dan t ibat iba t erdengar suara orang memekik. ' "Aaahg...!" Bidadari Jalang yang ada di t empat t inggi, di sebuah dahan pohon, j atuh t erkulai karena punggungnya menjadi sasaran t ongkat si Gila Tuak it u. Tubuh Sut o pun melayang j atuh sambil anak it u menj erit ket akut an.
"Waaaooow...!" Wusssh...! Taaap...! Gila Tuak berkelebat cepat . Tubuh Sut o t ert angkap olehnya. Bocah t anpa pusar it u menghembuskan napas lega. Bidadari Jalang t ak sempat menyent uh t anah. Kakinya menginj ak salah sat u rant ing semak, lalu melent ing naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan kecil yang t ak mungkin bisa dipakai unt uk bert engger burung raj awali. Namun nyat anya bisa dipakai bert engger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang mampu berdiri di sana. Ia sempat nyengir sebent ar sambil memegangi pinggangnya, kemudian menat ap si Gila Tuak yang ada di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya. "Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang. Gila Tuak hanya t ersenyum. Kumis put ihnya sedikit naik. "Kek... j angan bawa aku t erbang, Kek. Aku puyeng, Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" , Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan muntah karena pukulan t enaga dalam. Tapi muntah karena pusing dan mual perut nya. Gila Tuak bert eri ak pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala Sut o. "Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara kau bawa lari sana-sini!" "Perset an! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini. Hiaat...!" Dua j ari disent akkan ke depan oleh Bidadari Jalang. Dari uj ung dua j ari it u melesat sinar patah berwarna kuning. Arahnya ke waj ah si Gila Tuak. Tapi, dengan cepat Gila Tuak melompat t urun ke bawah. Wusss...! Bersamaan dengan it u, sinar kuning t erang membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.
Pohon it u hanya terguncang sedikit . Daunnya ront ok sebagian. Tapi masih berdiri t egak. Sedangkan Gila Tuak sudah sampai di bawah. Sut o semakin munt ah dibawa terjun begitu cepat. "Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek. Puyeng...!" ucap Sut o lemah sekali. Gila Tuak iba melihat anak itu. Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan Sut o. Tapi ia melihat Bidadari Jalang t urun dari atas pohon dengan j ubahnya berkibar bagaikan sayap garuda. Rambutnya pun meri ap terbang dengan membent uk keindahan t ersendiri. Maka, mau t ak mau Gila Tuak segera melarikan Sut o sambil berkata, "Kapan saj a kau mau munt ah, muntahkan saj a. Kakek t idak marah t erkena muntahanmu, Sut o!" "Sabawana!" t eriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun kau lari akan kukej ar dan kubuat cacat seumur hidupmu! Jahanam kau!" Mendengar seruan it u, Gila Tuak tahu bahwa kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekat i puncaknya. Sebab, biasanya j ika perempuan it u marah sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila Tuak, yait u Ki Sabawana. Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan keras sekali. Suara t eriakannya menyerupai sebuah seruling. Dan suara it u membuat hewan-hewan hutan menj adi kalang kabut . Burung bet erbangan sambil mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan semua hewan yang ada di hut an lereng bukit it u menj adi panik dan salah t ingkah. Sabawana mendekap t elinga Sut o sambil t et ap membawanya lari. Kalau saj a t angan Sabawana tidak mendekap t eli nga Sut o, maka dari dalam t eli nga it u akan mengalir darah segar. Gendang t elinga akan pecah. Karena Gila Tuak t ahu bahwa j eri t an lengking
it u adalah il mu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang. Sement ara it u, Gila Tuak t idak perlu menut up telinganya sendiri dengan t angan at au alat apa pun, karena ia t elah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga, melapisinya, hingga t ak akan dit embus kekuatan 'Siulan Peri' tersebut. Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus mengej ar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka t iba di pesisir ut ara. Tanah yang sepi di pinggiran laut itu mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega, karena t anaman kelapa dan sebagainya berada dalam j arak ant ara dua puluh lima t ombak dari t epian laut . Gila Tuak ingin segera membawa Sut o menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bisa berj alan di atas air asalkan ada alasnya. Tet api, langkah it u t erpaksa harus t erhent i. Di sampingnya Sut o munt ah-munt ah lagi sambil merengek. "Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...." Juga karena ia memandang aneh di t engah lautan. Pada saat it u Bidadari Jalang menyusul dengan sent akan suara kemarahannya. "Mau lari ke mana kau, Sabawana!" Mata perempuan it u memandang t aj am. Penuh pij ar-pij ar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya sebent ar sambil dalam posisi set engah j ongkok, karena harus memij it -mij it t engkuk Sut o yang masih muntah tanpa cairan lagi itu. "Nawang, kau lihat perahu yang bergerak it u?! Perhat ikanlah gambar pada layarnya." Bidadari Jalang menat ap ke laut . Ia sedikit terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di layar it u ada gambar t ombak bersilang dengan naga melingkar di tengahnya. "Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang set elah
mengenali simbul pada layar perahu t ersebut. "Aku t ahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis Pulau Bangkai. Agaknya ia dat ang unt uk membalas dendam at as kemat ian gurunya yang t empo hari pernah kau hancur leburkan dengan il mu 'Gunt ur Baja'. Jelas sekarang murid t unggalnya yang bernama Nagadipa sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau t ak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang Tresni. Demi keselamat an anak ini, aku harus menyelamatkannya dan menyembunyikannya." "Tidak bisa!" sent ak Bidadari Jalang. "Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nant i kau boleh mengambilnya kembali. Kau t ak mungkin menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai it u secara bersamaan. Kau past i kesulit an, Nawang Tresni. Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!" Bidadari Jalang diam memat ung. Matanya menat ap laj u perahu yang t ampak semakin cepat mendekat i arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia mempert imbangkan kekuatan lawannya yang akan datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai dalam keadaan belum t erkena Racun Birahi. Tapi sekarang dalam keadaan sepert i ini, mungkinkah dia akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa? Jika menurut perhit ungannya. Ia t idak akan unggul, apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?! * **
6 SALAH sat u hal yang amat dikhawat irkan oleh Bidadari Jalang adalah ket ampanan Nagadipa. Dulu, ket ika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai, hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya. Kelengahan it u disebabkan oleh munculnya Nagadipa, yang pada waktu it u belum menj adi t andingan Bidadari Jalang. Lelaki berhidung mancung dengan mat a indah memancarkan kelembut an it u hanya diam di salah satu sisi, memperhat ikan pert arungan gurunya dengan Bidadari Jalang. Dan pada wakt u it u, Bidadari Jalang sering mencuri pandang ke arah lelaki t egap dan perkasa it u, sehingga hampir saj a pukulan dahsyat Iblis Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya. Pada wakt u pert arungan it u terj adi, Bidadari Jalang berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diaj aknya kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan j ej ak. Tet api desir hat i Bidadari Jalang pada wakt u it u sudah mencipt akan keindahan yang mengesankan, sehingga ket ampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering t erbayang dan mengganggu bat innya. Sebenarnya mudah saj a buat Bidadari Jalang unt uk mengalahkan Nagadipa nant i. Dengan senyumannya ia bisa membuat pria it u t ak berdaya, pasrah dan dimabuk asmara. Tet api repot nya, Bidadari Jalang past i t ergoda j uga birahinya. Padahal set iap birahinya muncul, maka kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama Bidadari Jalang menahan diri agar t idak mudah terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris habis. Memang begit ulah akibat t erkena Racun Birahi. Tet api sekarang ia harus berhadapan dengan
Nagadipa, yang konon ket urunan bangsawan dari t anah seberang. Mampukah ia menahan serangan luar dalam dari murid Iblis Pulau Bangkai it u? Kalau saj a Bidadari Jalang mampu melawan j urus-j urus mautnya Nagadipa, apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari ket ampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari ajakan bercumbu yang t erpancar lewat mat a si t ampan itu? Agaknya kebimbangan hat i Bidadari Jalang t ersadap oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum kapal it u menepi, Gila Tuak sempat mengaj ukan saran. "Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu, Bidadari Jalang!" "Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir aku gent ar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saj a yang pergi, bawa anak it u agar t idak menj adi korban kemarahan Nagadipa." "Menj adi korban? Hmm... apa hubungannya?" Dia akan menyangka Sut o adalah anakku. " "He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin dia menyangka begit u? Sut o dengan kamu t idak punya kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia mengusik Sut o, dia harus bangkit dari kuburnya." Perahu semakin dekat. Semakin j elas bent uk layar, t iang dan atap rumbia di t engahnya. Gila Tuak segera beranj ak mundur dan berkat a kepada Bidadari Jalang, "Aku akan menj adi penont onmu, Bidadari Jalang. Nah, selamat bert arung. Tunj ukkan kehebat anmu di depanku j ika kau punya niat untuk merebut Sut o sebelum anak ini menjadi muridku." Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari Jalang t ert iup dan berkibar sej enak. It ulah angin kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang. Tetapi sebentar kemudian, wuuss..... Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia
lupa membawa Sut o saat pergi t adi. Kini Sut o digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi, Sut o buru-buru berkata, "Jangan aj ak aku t erbang, Kek. Aku sudah sangat puyeng." "He he he... baiklah. Mari kit a j alan saj a, Nak,..," karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu, akhirnya Gila Tuak pun j alan dengan sant ai, menuj u ke sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu t inggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan Bidadari Jalang berdiri bagai t ermangu menunggu kedatangan lawannya. Kini, perahu berlayar t unggal sudah menepi. Tet api anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu it u. Bidadari Jalang sudah mengambil j arak dan bersiap siaga menyambut serangan dari dalam perahu j ika sewaktu-wakt u muncul. Tet api sampai sekian lama ia menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar hat i Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap kakinya di buritan perahu. Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar perahu dan t iang-t iang penyangga at ap rumbia akibat hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun t erpent al ke at as bersama at apnya j uga. Perahu j adi t erbuka, dan t ernyat a t ak ada isinya apa-apa. Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya, semua t erhempas j atuh ke perairan, bagai habis diledakkan oleh suatu kekuat an yang dahsyat . Bidadari Jalang hanya berkerut dahi ket ika menget ahui perahu t anpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan bangkai manusia j uga t ak ada. Lalu, siapa yang mengarahkan perahu ke tepi pant ai? Siapa yang membawa perahu mendekat i Bidadari Jalang? Oh, t ent u, saj a ada yang membawanya. Lalu, ke mana si pembawa perahu it u? Apakah bersembunyi di dalam air,
di bawah perahunya it u? "Nagadipa! Keluarlah!" bent ak Bidadari Jalang. Matanya memandang t aj am tak berkedip di bagian bawah perahu. Bisa saj a sewakt u-waktu muncul serangan dariI bawah sana. "Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku t ahu kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari Jalang. "Aku sudah di sini sej ak t adi," suara it u pelan. Kalem. Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya yang kokoh. Rambutnya panj ang sebatas pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain berbenang emas. Kumisnya t ipis, menambah waj ah it u semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan semakin mempesona dipandang mat a. "Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya. Karena di dalam hat inya ia merasakan desiran yang begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu. Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang berbunga-bunga it u. Karena ia sadar, Racun Birain akan segera bekerj a kembali merongrong kekuat annya "Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkat a begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi, Nagadipa t idak mungkin t ahu-t ahu muncul di belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu bergerak cepat t anpa menimbulkan suara at au gerakan yang t erl ihat , sehingga t ahu-t ahu sudah berada di belakang Bidadari Jalang.
Perempuan it u manggut -manggut sambil memperhat ikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia melangkah pelan, bagai sedang memperhat ikan sebuah benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saj a. Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hat i Bidadari Jalang semakin dicekam keindahan meli hat senyum it u. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar. "Mengapa kau t idak menyerangku, Nagadipa?" ket usnya. "Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari Jalang." "Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa bangganya mendengar ucapan it u. Katanya lagi. "Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau dat ang unt uk menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun yang lalu, bukan?" "Benar." "Nah, sekarang lakukanlah pembalasan it u. Aku sudah siap." Senyum si t ampan it u semakin mekar. Oh, begit u indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang. Waj ahnya t egang, namun hat inya melayang. Ia hanya melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati bagian pant ai yang basah. Nagadipa memandang ke arah cakrawala sambil berkat a, "Bodoh sekali kalau aku membunuhmu sebelum puas aku mengagumi kecant ikanmu, Bidadari Jalang. Waj ah cant ik dan bent uk t ubuh yang menggairahkan sepert i yang kau miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai. Bahkan mungkin di seluruh pelosok t anah Jawa hanya kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi, aku t erpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu demi membalas dendam kemat ian guruku, atau membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?" "Set an buduk! Tak perlu kau bicara begit u, Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat it u
semakin mengguncangkan hat inya, semakin menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya sendiri. Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diket ahui oleh Nagadipa, sehingga lelaki t ampan it u semakin mendayu-dayukan rayuannya. "Kalau aku berniat membunuhmu, it u mudah saj a. Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu, menggapai kemesraanmu, it u bukan hal mudah. Lebih sulit ket imbang harus merunt uhkan sebuah gunung karang...." "Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan mata mendelik. "Kalau aku menut up mulut ku, mana bisa kau menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?" Perempuan it u menggeram j engkel. Kedua t angannya menggenggam kuat , menahan sesuat u yang ingin berontak dari uj ung birahinya. Nagadipa berpaling memandang, mat anya dit atapkan ke mat a Bidadari Jalang dengan penuh kelembut an. Senyumnya mekar tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem, sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hat inya. "Inilah repot nya mempunyai musuh secantik kamu, Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi waj ahmu dengan penuh kelembut an." "Bukan saat nya untuk bermain kemesraan, Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya. "Kemesraan sebent uk perasaan yang t idak mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak muncul kapan saj a dan di mana saj a." Mata Bidadari Jalang bert ambah t aj am menat ap. Nagadipa j adi punya puj ian lain unt uk perempuan it u. "Oh, j angan kau memandangku begit u, Bidadari Jalang. Mat amu semakin membangkit kan naf suku.
Karena j uj ur saj a kukat akan padamu, bahwa semakin tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin besar daya pikat mu. Tak sat u pun lelaki yang sanggup menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak hatiku menerima tatapan matamu yang begitu menggoda hati..." Bidadari Jalang kian t erbang j iwanya, ia menahan gej olak birahi sampai napasnya t erengah-engah. Ia menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan dan puj ian it u. Dadanya yang mont ok naik-t urun karena napasnya t ert ahan berat . "Oh. Bidadari ... j angan bernapas sepert i it u. Aku... aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara it u semakin lemah, waj ah t ampan it u semakin menunduk. Bidadari Jalang kian gusar hat inya. Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke depan dalam keadaan telapak t angan terbuka, ibu j ari terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar t anpa sinar. Seket ika it u pula t angan kiri Nagadipa membuka t elapaknya dan melakukan gerakan bagai menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke kiri. Duubb...! Wuuug...! Kraaak...! Gundukan bat u karang yang berj arak lima belas tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak bagian t engahnya. Bagian uj ungnya pecah berserakan di atas. Rupanya t enaga dalam kiriman Bidadari Jalang itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu berhasil membelokkan pukulan j arak j auh t ersebut ke arah gundukan bat u karang. Akibatnya batu karang it ulah yang menj adi sasaran kedua kekuat an yang beradu it u. Waj ah Nagadipa t erangkat. Kalem. Senyumnya mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu kesempat an baik unt uk menyerang. Sement ara it u,
Nagadipa diam saj a. Hanya memandanginya dengan sorot pandangan mat anya yang lembut . la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?" "Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan t ert awa dalam gumam. "Kudengar kau t erkena Racun Birahi dari Tibet , ya? Apa betul? Apakah karena it u kau menj adi t akut dengan rayuanku?" "Tapi mengapa waj ahmu merah j ambu? Kau menahan malu at au menahan gej olak nafsu, Bidadari Jalang?" "Perset an dengan penilaianmu. Hiaaat ...!" Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya, mengibaskan rambut nya yang panj ang it u. Rambut berput ar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang menyebar, menghantam t ubuh Nagadipa. Wuusss...! Nagadipa menahan dengan kedua t angan disilangkan di depan waj ahnya. Kakinya yang seket ika itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan oleh hempasan t enaga dalam Bidadari Jalang yang disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa t erj engkang ke belakang dan j at uh t erduduk dalam j arak t iga langkah dari t empat nya. Ia buru-buru berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam posisi siap menerima serangan lagi. Bidadari Jalang melent ingkan t ubuh dan bersalt o beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari j ubahnya yang mengeluarkan angin bert enaga dalam. Kaki Bidadari Jalang t idak menj ej ak tubuh Nagadipa, melainkan sengaj a mendarat di depan Nagadipa. Lelaki itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena hempasan t enaga dalam yang disalurkan melalui j ubah itu. Pada saat t ubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki bidadari Jalang segera menendangnya dengan
tendangan miring. "Hiattt...!" Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu t angan dihent akkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai dihantam palu godam. Mata kaki yang t erkena lengan t angkisan Nagadipa it u menj adi sedikit memar membiru. Rupanya t angkisan lengan it u dialiri t enaga dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya Bidadari Jalang, maka kaki it u akan pat ah seketika. "Lumayan j uga tenaga dalammu, Nagadipa," kat a Bidadari Jalang. "Past i kau t elah berhasil mempelaj ari kitab peninggalan gurumu itu!" "Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran membunuh perempuan cant ik yang dikagumi. Jadi. ..." "Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat ibu j arinya. Pukulan it u t erarah ke rahang Nagadipa. Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih dulu menyambar kaki Bidadari Jalang. Prasss...! Bidadari Jalang j at uh terpelant ing, menandakan kekuat annya semakin berkurang sej ak hatinya berdesirdesir mendengar rayuan Nagadipa. Dalam posisi j at uh t erpelant ing it u, Bidadari Jalang segera menj ej akkan kakinya ke at as, dan pada saat it u Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk t ubuh cant ik yang menggiurkan it u. Akibatnya, dada Nagadipa terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak sambil bersuara. "Huugh...!" Tubuh Nagadipa terpent al ke belakang dengan satu lompat an ringan. Padahal j ika bukan Nagadipa, dada it u bisa j ebol t erkena t endangan bert enaga dalam dari kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental
dalam satu lompat an ri ngan, Bidadari Jalang segera berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam hatinya. "Hebat j uga dia. Masih bisa tenang dan t ersenyum." Nagadipa memang berdiri t egak dan t ersenyum. Tet api t iba-t iba ia t erkej ut karena ada sesuat u yang mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap cairan yang mengalir it u, dan memandangnya dengan mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental. Nagadipa mulai t erpancing kemarahannya melihat t ubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, t ak ada orang yang bisa melukai t ubuhnya. Apalagi yang memukulnya hingga mengakibat kan darah kent al keluar dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan. Melihat kening Nagadipa berkerut , Bidadari Jalang tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan balasan dari Nagadipa. Dugaannya memang benar. Nagadipa menj adi gusar melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membent angkan kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit merendah, dan kesatuan t elapak tangan it u disodokkan ke depan, ke arah Bidadari Jalang. Seberkas sinar perak melayang cepat dari uj ung t angan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak it u ke dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekat an Bidadari Jalang mengambil j ubahnya dan merapat kan ke depan tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng kain j ubah ungu. Traap.. .! Traas...! Traas...! Sinar perak it u memercikkan api ketika membent ur j ubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghant am lempengan baj a. Bidadari Jalang hanya t ersenyum. Nagadipa segera menarik kedua t angannya yang saling
katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan keduanya keduanya dal dal am keada keadaan an tel t elapa apaknya knya ter t erbuka buka ke depan. depan. "Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!" Wuung...! Blaamm...! Bola ol a ap apii meles mel esat at kelua kel uarr dari kedua t elap el apak ak t an ang gan Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu mendeka mendekatt i j uba ubah h ungu ungu yang yang dipa di paka kaii peris peri sai oleh ol eh Bi da dada darr i Jalang alang i t u, ma maki kin n t ama menj menj adi sem ema akin besar. besar. Dan meng mengha hant nt am kua kuat j uba ubah h ungu ungu t ersebut ersebut.. Kekuatan ekuat an bola bol a api it i t u cukup besar, besar, sepert i sebongkah ebongkah pot ong ongan an puncak puncak gunung gunung yang yang dilempa dil emparr kan ke arah Bi dadari Jalang Jalang.. Besar esar sekal sekalii kekuat an yang yang ada, sampai ampai akhirnya akhir nya t ubuh Bi dad dadari ari Jal Jal an ang g t erl empar empar ke belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung, dan t eli el i ng nganya anya mengel mengeluarkan uarkan darah. Meli el i hat keadaan keadaan Bi Bi dadar dadar i Jal Jal ang l emah dan dan mengalami mengalami kesul kesulii t an unt unt uk bang bangki kitt , Nag agad adii pa seg segera era menghunus menghunus pedangnya pedangnya yang sej ak t adi ada di samping ampi ng kanan. kanan. Pedang pendek it it u s seg eger era a dibawa mendekat mendekat i Bidadari Jalang sambil ia berteriak. "Sekarang ekar angll ah saa saatt ku membalas membal askan kan kemat i an Gur Guru, u, Hiaaat...!" * **
7 NAGADIP IPA A sangat sangat kaget pada saat saat i a mau menebas menebaskan pedang pedangnya nya ke l eher Bi dadar dadar i Jal Jal ang ang,, t i bat i ba t ubu ubuhny hnya a t erpenta erpent al j au auh h sepu sepull uh l ang ngka kah h ke belaka bel akang ng.. Menurut enur ut nya, Bi dadar dadar i Jal Jal ang masi masi h mempunyai mempunyai kekuat kekuat an pa pada da ma matt anya anya yang bis bi sa memanca memancarr kan kan t ena enag ga begi begi t u hebat hebat nya, nya, hing hi ngg ga membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu keadaan Bidadari Jalang mulai kritis. Sement ara it i t u, Bi dadar dadar i Jal Jal ang memendam memendam rasa rasa heran mel mel i ha hatt l awa awannya nnya t ersent ersent ak ke ke belakang belakang,, ba bag gai mendap mendapat at dorongan dorongan yan yang g am amat at kuat kuat . Kesempa esempatt an it u dipergu di perguna naka kan n ol oleh eh B Bii da dada darr i Jal Jal an ang g unt unt uk mencoba mencoba bang ban gkit ki t dan berdi ber dirr i dengan dengan kekokohan kekokohan kuda-kudanya kuda-kudanya.. Terasa erasa nyer nyer i sekuj ur t ubuh Bi Bi da dada darr i Jal Jal an ang g, na namun mun ia masi masi h sang sangg gup bert ber t aha ahan. n. Dan bil bi l amana amana perlu perl u ia i a masi masi h sang angg gup menj menj auh mening meni ngg galkan al kan pert arungan arungan i t u. "Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram. "Tak "Tak ada wakt u bag bagi kit ki t a unt uk menunda urus ur usan an dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!" "Maj "M aj ulah ul ah kalau kalau kau mas masi h penasar penasaran, an, Nag agadi adipa! pa! Aku suda udah h si si ap menyam menyambut but j urus-j urus-j urusmu! urusmu!"" Bi Bi da dada darr i Jal Jal an ang g t ak mau kal kal ah ses sesumbar umbar.. Sediki edi kitt ag agak ak j au auh h dari dari pert arungan arungan mereka, si Gi l a Tuak Tuak dan Sut o duduk di at atas as t ebing ebi ng karang berpayung ber payungkan kan pet ang dan r embulan. embul an. Sut Sut o ha habi bis s diur di urut ut bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan puyengnya puyengnya mulai berkurang berkur ang.. Dan sat satu u hal yang t ak terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan hawa ding di ngii n yang berg ber guna unt unt uk menut up ras r asa a lapa l aparr dan da n haus haus da dall am dir di r i Sut o, yai yai t u saa saatt i a meng mengurut urut bocah bocah i t u ta t adi. It ulah seb eba abn bnya ya,, Sut o ti t i da dak k menu menunt nt ut maka ma kana nan, n, ha hanya nya menun menuntt ut pulan pul ang g.
"Mengapa "Meng apa kit ki t a masi masi h di si ni, ni , Kek? Mengapa engapa kit ki t a t i dak pulang pul ang? ? Bukankah ukankah pet ang mulai mul ai t i ba?" "Menur "M enurut ut mu, kau ing i ngii n pulang pul ang ke mana? Ke rumah r umah mu?" Sut o mengg menggeleng el eng.. Dalam ing i ngat atan an bocah bocah iitt u t erbaya er bayang ng kekej i an yang dil di l akukan akukan Komban Kombang g Hi t am dan anak ana k buahnya, buahnya, i a j ug uga a ingat ingat saa aatt ayahnya ayahnya r oboh berlumuran berl umuran darah darah da dan n suda sudah h t ent u t ak bernyawa l ag agii . Ia j ug uga a t erbayang erbayang meli mel i ha hatt kepulan api api da dan n asap asap yang yang membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya t i ng ngg gal dia di a sendiri endir i yang yang hidup hi dup da dan n sel selam amat at da darr i kekej i an Kombang Hi Hi t am. Karenanya, Sut o mengg menggeleng el eng ket i ka mendapat mendapat pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada suara memelas. "Aku "Aku harus harus pulang pul ang ke mana, Kek? Aku t i dak t ahu." ahu. " "Pul "Pulang ang ke rumahku r umahku saj a, ya? Kau akan kuang kuangkat kat menj ad adii muri mur i dku. Semua Semua i l mu si l at atku ku akan akan kut urunkan urunkan kepadamu, kepadamu, Sut o. o."" "Nant "N antii aku j adi pendekar pendekar , ya Kek? Kek?" "O, "O, i ya! Kam amu u akan akan menj ad adii pendekar pendekar pembela pembel a kebenaran." "Aku "Aku j ug uga a bis bi sa t erbang er bang sepert i Kakek dan dan Bi Bi bi berj uba ubah h ungu ungu it i t u, ya? ya?" "Bi "Bi sa. Kamu akan akan bis bi sa sepert sepert i i t u. u."" "Wah, "Wah, nda ndak k mau aku, aku, " Sut o mereng mer engut ut . "L "Lama ama-l -lama ama aku bisa sinting lagi!" Gi l a Tua uak k t ert awa t erkekeh-kekeh. Kepa epall a Sut o diusap-us usap-usapnya. apnya. Sut o segera segera berkat ber kat a, "Kal "Kalau au aku aku j adi pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa munt mu nt ah-munt h-munt ah lla agi , Kek. Aku t i da dak k mau mau j ad adii pen pendek dekar ar berg ber gelar el ar Pendekar Pendekar Cepat Cepat Munt ah. ah."" Kakek akek it i t u sema semaki kin n t erkekeh gel gelii da dan n berkata, berkat a, "Kalau "Kalau begi begi t u kamu kamu j ad adii pendeka pendekarr si nt i ng saj a. Nam amam amu u Sut o Si nt i ng ng.. " Sekarang ekarang Sut o yang t ert er t awa deng dengan an menut up
mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela t awanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut oleh suara deburan ombak yang menghant am kaki tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada pert arungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa. Melihat Bidadari Jalang t erkena pukulan Nagadipa, Sut o berkata, "Kasihan Bibi it u, Kek. Dia terkena pukulan." "It u salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada dan tidak melatih gerakan lincah." "Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa menghindari pukulan sepert i it u, ya Kek?" "O, iya! Malah kamu bisa menyerang." Anak it u t ersenyum bangga membayangkan kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik memperhat ikan pert arungan t ersebut. Lama-lama Sut o berkat a, "Kasihan Bibi it u, ya Kek? Dia menolongku dari kej ahatan orang bert ampang seram it u, t api sekarang dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan t erima kasih at as pert olongannya. Tapi belum bisa kusampaikan karena Bibi itu sibuk." "Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali, Sut o. Kit a hidup memang harus selalu mau bert erima kasih kepada siapa saj a, t erut ama kepada Yang Maha Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kit a harus berucap syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik." "Tapi aku suka sama Bibi it u. Biar wanit a, t api pandai memainkan j urus-j urus silat dan dia pemberani, ya Kek?" "Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki j uga harus lebih berani daripada Bibi Nawang." "Nawang it u apa namanya, Kek" "Ya. Namanya Nawang Tresni, j ulukannya Bidadari Jalang." "Jalang it u apa, Kek?" Si Gila Tuak t erdiam. Bingung j uga memberi
j awaban atas pengert ian kata 'j alang' kepada anak seusia Sut o. Namun untuk melegakan hat i anak it u, Gila Tuak hanya bisa menj awab, "Jalang it u... nakal." "Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikat akan sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang bidadari dari kayangan?" "Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh Eyang Guru kami, at as kecant ikan Nawang yang mirip kecant ikan bidadari." "O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi mempunyai guru yang sama?" "Bisa dikat akan begit u, Sut o. Sebab, guruku adalah suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh tarung untuk mengetahui kelemahan kami masingmasing. Jadi, kalau sekarang Nawang bert arung denganku, maka j elas sulit sekali unt uk membedakan mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang j uga mempunyai ilmu yang t inggi warisan dari gurunya sendiri." "Hebat sekali Bibi it u, Kek! Sudah cant ik, punya ilmu t inggi! " "Bahkan sej ak dia masuk dalam golongan hit am, ia mempelaj ari sisa warisan ilmu dari gurunya, yait u ilmu sihir. Dan ia menguasai ilmu it u. Sayang sekali keadaan Bibi Nawang sekarang sedang sakit , sehingga mungkin dia t idak mau menggunakan kekuat an sihirnya unt uk melawan Nagadipa it u, atau.., atau mungkin sudah hil ang akibat racun it u?" kat a-kat a terakhir diucapkan pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya sendiri. Ia t ermenung beberapa saat sambil memandangi pert arungan t ersebut. Sut o sendiri j uga membisu sambil t ermenung memandang kesana. Namun tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila Tuak menj adi heran. "Hei, kenapa kau t ersenyum sendiri?" sambil Gila
Tuak menyenggol pundak anak it u dengan pahanya. "Tidak ada apa-apa kok, Kek." "Ayo Sut o kat akan apa yang sebenarnya. Jangan menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan kebohongan, it u sama saj a ia membodohkan dirinya sendiri. Kat akanlah, kenapa kau tersenyum?" "Mmmm... anu...," Sut o malu-malu. "Bibi Nawang it u.. . t ernyat a benar-benar cant ik, ya Kek?" "Oho ho ho...," kakek berj ubah kuning it u memeluk Sut o dan menepuk-nepuk pundak anak it u. "Masih kecil sudah bisa menilai begit u. Bagaimana kalau kau sudah besar nant i, ya?" "Tapi. .. t api saya bicara sej uj urnya, Kek." "Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi penilaian sepert i it u, asal j angan berkhayal yang bukanbukan? Kau masih t erlalu muda unt uk mengenal lebih dalam t entang perempuan." Sut o menj adi semakin malu. Matanya memandang ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan sekadar t ongkat . Tongkat it u merupakan t abung yang terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu bisa dilepas bagian at asnya, dicabut ke atas, dan t ampaklah rongga t abung t ersebut. Kemudian dengan mendongak sedikit , Gila Tuak menenggak isi t abung yang berupa cairan berbau aneh buat Sut o. Anak it u bert anya, "Apa yang Kakek minum it u?" "Tuak," j awab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan kalau t ak t erlalu banyak." Kemudian Sut o meneguk t uak dalam t abung tongkat it u. Hanya dua t eguk Sut o menelan t uak it u. Ia segera menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya kok sepert i i ni, Kek? Get ir dan kecut ...!" "He he he...," Gila Tuak t ert awa melihat waj ah
Sut o menyeringai lucu set elah minum t uak. Bahkan lidahnya dlj ulur-j ulurkan dan diusap-usap pakai t elapak t angannya. "Cuih, cuih...," Sut o meludah. "Kalau kau sudah t erbiasa, maka tuak ini menj adi minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya dalam waktu-waktu tertentu." "Cuih...!" kembali Sut o meludah. "Kek, kepalaku j adi puyeng lagi, Kek. Aku bisa j adi sint ing nih!" "Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk bocah seusia kamu. Nant i kalau kau pulang ke rumahku, akan kuberi kau t uak yang t idak keras, sehingga enak diminum unt ukmu." "Kek...," kat a Sut o set elah beberapa saat . "Kok apa yang kulihat t erasa berput ar, Kek? Aku melihat Bibi Nawang kok j adi berput ar, Kek?" "Memang bibimu sedang bersalt o di udara, ya berputar." "Jangan-j angan... aku nanti mabuk, Kek?" "Tidak. Kau t idak sampai mabuk. Hanya sedikit puyeng, memang. Belum sint ing. Tapi anggap saj a it u perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila Tuak menepuk dadanya sendiri. "O, j adi Kakek yang berj uluk Gila Tuak." "Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak dalam tongkatku!" "Lalu, besok kalau aku j adi pendekar, aku harus membawa apa, ya Kek?" "Menurut mu, kau ingin membawa apa kalau sudah j adi pendekar?" "Hmmm... membawa... membawa singkong bakar saj a." "Singkong bakar?" Gila Tuak t ert awa. "Eh, j angan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat j ulukan si Singkong Set an!" "Pantasnya j ulukanmu set an singkong saj a, he he
he...!" Gila Tuak t ampak girang sekali mendapatkan bocah t anpa pusar it u. Ia mengaj aknya bergurau t erus. Sampai suatu saat , canda mereka t erhent i karena pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali t erpusat pada pert arungan di sana. Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang ket et er oleh serangan berunt un dari Nagadipa. Kekuatannya semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari Jalang kecolongan. Ia dapat t erpukul dan tersent ak ke sana-sini. "Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia punya ilmu 'Sapt a Tingal', yang bisa mengecoh musuhnya yang merubah diri menj adi t uj uh kembar. Mengapa t idak di gunakan? Apakah 'Sapt a Tingal' sudah ikut hilang digerogot i Racun Birahi?" Sut o merasa diaj ak bicara, sehingga ia berkata, "Birahi it u apa t oh, Kek?" "Belum wakt unya kau menget ahui," j awab si Gila Tuak dengan mat a t et ap t ert uj u pada pert arungan. Sut o bert anya lagi, "Kalau aku nant i bisa menj adi pendekar, apakah aku boleh menget ahui birahi, Kek?" "Boleh. Tapi j angan banyak-banyak." "Mengapa t idak boleh banyak-banyak?" "Karena... karena bisa menyesatkan j iwamu, bisa merapuhkan dirimu, j ika t erlalu banyak birahi. Sepert i bibimu it u, akhirnya j adi rapuh dan sesat ." "Lho, kalau begit u Bibi Nawang it u orang sesat, ya Kek? Apakah Bibi Nawang it u t ermasuk orang j ahat?" t anya Sut o dengan rasa ingin t ahu t erhadap segalagalanya begit u besar. "Ada yang mengatakan, Bibi Nawang it u orang j ahat, karena ia ada di pihak golongan hit am. Tapi ada pula yang bilang, dia it u orang baik. Tergant ung dari sudut mana kit a memandang." "Kenapa begit u?"
"Karena orang j ahat bisa saj a berbuat baik, dan orang baik bisa saj a berbuat j ahat . Karena di dalam j iwa kit a bermukim dua sif at manusia, yait u baik dan j ahat. Sewakt u-wakt u salah satu past i digunakan oleh diri kit a baik sadar maupun t ak sadar." Sut o diam t ermenung. Apakah dia merenungi kat a kata Gila Tuak? Ent ahlah. Yang j elas matanya kembali memandang pert arungan yang bagai disaksikan oleh sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang purnama it ulah maka pant ai it u menj adi t erang dan set iap gerakan bisa dilihat dari t empat Sut o dan si Gila Tuak duduk dengan sant ai. Gila Tuak mengibaskan t angannya. Hanya j ari t elunj uknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada saat it u, t ubuh Nagadipa t ersent ak mundur. Padahal ia punya kesempat an melumpuhkan Bidadari Jalang lewat belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur bat u karang yang t adi ret ak akibat dij adikan sasaran pukulan t enaga dalam mereka berdua. Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari Jalang unt uk mengibaskan rambut nya. Dan sekali ini Nagadipa t erpelant ing j at uh dalam j arak li ma langkah dari tempatnya. Diam-diam Sut o memperhatikan gerakan j ari Gila Tuak yang mengibas dalam sent ilan pelan t adi. Ia menaruh curiga, namun t idak t ahu apa alasannya mencuri gai j arinya Gila Tuak. Yang j elas, kakek berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah pert arungan. Bahkan sekarang Sut o mendengar kakek it u mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya. Sut o buru-buru memandang ke arah pert arungan. Kala it u Nagadipa t ersent ak ke belakang lagi dengan tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari mulut nya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saj a bangkit akibat pukulan j arak j auhnya Nagadipa yang mengempaskan t ubuhnya ke pasir pant ai. Melihat hal
it u, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa memunt ahkan darah? Keheranan it u disembunyikan. Bidadari Jalang segera mengangkat t angannya ke at as, kedua kakinya t egak. Dan sekarang sat u kakinya diangkat dengan terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru, sepert inya uj ung t angan it u berhasil menangkap petir di sela t erangnya purnama. Kemudian, t angan tersebut segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa. Dilakukannya sepert i Bidadari Jalang memercikkan air pada t ubuh Nagadipa. Dari kibasan t angan t ersebut , memerciklah bunga api ke t ubuh Nagadipa. Begit u banyaknya bunga api berwarna biru kemerah-merahan it u, sehingga Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik keras-keras. Ia menj adi kalang kabut karena merasakan hawa panas sedang menyerang t ubuhnya. Karena ia berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya pakaiannya t erbakar menj adi padam. Hampir saj a t ubuhnya hangus t erbakar j ika t idak segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang sedikit kecewa at as serangannya yang t erhit ung gagal it u. Namun ia masih memperlihat kan kesigapannya dalam melawan Nagadipa. "Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuat an t enaga dalamnya gara-gara Racun Birahi it u," gumam Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu memandang lawannya yang t ampan. Kalau tidak t ergoda birahi, t idak mungkin ia banyak melakukan kelengahan." Tiba-t iba Sut o berkat a, "Kek, kepalaku kok masih puyeng saj a?"
"Kalau begit u, sebaiknya kit a segera pulang saj a. Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang." "Apakah kit a perlu pamit pada Bibi Nawang dulu, Kek?" "Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana dulu." Maka, Gila Tuak segera membawa Sut o melangkah mendekat i pert arungan yang t iada habisnya it u. Sut o digandengnya, dan langkah mereka t ampak santai sekali . Sut o sempat bert anya, "Kenapa Kakek t idak membant u Bibi?" "Kalau t idak t erpepet, j angan mencampuri urusan orang lain, sebab t ugas ut ama kit a sebagai manusia adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh kit a mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab, dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita harus sudah siap menanggung akibat buruknya." Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang. Langkah kaki mereka pun t erhent i. Pert arungan Bidadari Jalang j uga ikut t erhent i. Dengan waj ah pucat Bidadari Jalang berkat a ketus kepada si Gila Tuak, "Jangan ikut campur urusanku!" "O, t idak. Aku hanya mau pamit saj a. Aku bosan nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti anak kemarin sore yang baru lulus mencapai j urus-j urus dasar. Sut o ngant uk, ia perlu ist irahat . Jadi aku pulang bersamanya ke padepokanku." Sut o menyahut, "Bibi, t erima kasih at as pert olongan Bibi t adi. Aku j adi selamat dari Kombang Hitam." Hati Bidadari Jalang t ersent uh j uga mendengar ucapan it u. Namun ia t erpaksa harus melompat dan bersalt o ke belakang satu kali, karena ia merasakan ada hawa panas yang dilancarkan dari t angan Nagadipa.
Akibat nya, begit u ia menghindar, t ubuh Sut o menj adi sasaran hawa panas it u. "Awas Sut o...!" t eriak Bidadari Jalang. Dengan cepat , Gila Tuak melint angkan t ongkat nya di depan Sut o, dan hawa panas yang mampu melelehkan baj a dalam wakt u singkat it u menj adi berbalik arah menuj u ke pengirimnya. Nagadipa kaget menget ahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis' it u bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan t ersebut menghant am laut an. Crooos...! Suaranya sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang gempa. Nagadipa hanya bert anya dalam hati. "Siapa kakek t ua it u? Hebat sekali dia? Bisa menahan pukulan 'Gayung Iblis' saj a sudah cukup hebat , apalagi bisa mengembalikan?" * **
8 "GILA Tuak, pergilah secepat nya, aku t ak but uh penont on!" Kata-kat a Bidadari Jalang it ulah yang membuat Nagadipa terperanj at. Matanya sempat t erbelalak seket ika, dan hanya sekej ap. Ia j adi ingat pesan almarhum gurunya ket ika masih hidup. "Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila Tuak! Hindarilah dia, kapan saj a kamu bert emu dengan Gila Tuak. Orang it u bisa menj adi ganas dari orang yang pali ng ganas di bumi ini! Kesaktiannya t ak sebanding denganmu. Aku saj a ada di bawahnya. Karena it u, si Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, sehingga dia dikenal dengan j ulukan Gila Tuak. Kerj anya menj agal siapa saj a yang bikin perkara dengannya...." Nagadipa baru percaya bet ul dengan pesan almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri kehebat an Gila Tuak yang mampu menahan pukulan 'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya j uga. Sebab it u, set elah ia mendengar nama Giia Tuak, nyalinya j adi ciut . Dan pada wakt u Bidadari Jalang berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat menyusuri tepian pantai. "Kakek, lihat orang it u t elah lari!" seru Sut o sambil menarik-nari k j ubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih it u menyunggingkan senyum tipis. Tet api waj ah Bidadari Jalang menj adi cemberut berang. Ia kecewa atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya menjadi ketakutan. "Aku t idak suka dengan caramu, Gila Tuak!" "Apa maksudmu?" Gila Tuak berkat a dengan sant ai, seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang. "Kau banyak ikut campur pert arunganku t adi! Kau
pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan j arak j auhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!" Senyum t ipis kembali mekar. "Kulakukan demi menyelamatkan j iwamu," kat anya dengan kalem. "Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku t idak perl u bantuanmu!" "Kalau kubiarkan saj a dia menyerangmu, kau past i akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku t ahu, kekuat anmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa it u karena Racun Birahi yang bersarang di dalam tubuhmu!" Bidadari Jalang ingin membant ah lagi, namun segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata it u memang benar. Kekuat annya semakin berkurang, ia menj adi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang t ak begit u t inggi bobot t enaganya saja ia bisa dibuat limbung. Kalau saj a t adi si Gila Tuak t idak ikut campur secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di t angan Nagadipa. Menyadari hai it u, Bidadari Jalang bert ambah cemas. Sekalipun ia sembunyi kan kecemasan t ersebut namun Gila Tuak t et ap bisa merasakannya. Maka, Gila Tuak pun berkat a, "Sudahlah, lupakan dulu t ent ang Nagadipa dan dendamnya. Kit a bicara di pondokku saj a. Banyak hal yang perlu kit a bicarakan t ent ang bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu." Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat -kuat . Waj ahnya masih cemberut . Tapi agaknya ia t idak mempunyai pil ihan lain. Kalau saj a ia ngot ot dan t et ap merebut Sut o dari t angan Gila Tuak, j elas ia akan hancur di t angan saudara seperguruannya. Seandainya ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau melayani pert arungannya dengan Gila Tuak, walau ia tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja. "Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata Bidadari Jalang dengan waj ah masih ket us cemberut . Ia
pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah kemudian ia berhent i, memandang Sut o yang diam saj a, yang menat ap aneh padanya. Sementara it u, Gila Tuak sendiri t idak segera bergerak. Gila Tuak diam bagaikan pat ung. Matanya menat ap lurus kepada Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tent u saj a hal itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut. "Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau digendong aku at au digendong kakek t ua it u?" kat a Bidadari Jalang kepada Sut o. Namun bocah it u diam saj a. Kedua tangannya terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan agak ke depan dari Gila Tuak. "Hei, bocah t uli!" sent ak Bidadari Jalang dengan hati dongkol. "Dit anya kok diam saj a? Apa kau bisu, hah?!" Semakin heran Bidadari Jalang melihat Sut o t ersenyum. Sambil t et ap berlipat t angan di dada, bocah it u bergerak lebih menj auhi Gila Tuak. Langkahnya kalem-kalem saj a, seakan acuh tak acuh dengan Gila Tuak maupun Bidadari Jalang. "Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!" "Berangkatlah dulu," j awab si Gila Tuak dengan suara datar. "Tidak bisa. Kau past i akan menipuku kalau kit a t idak berangkat bersama. Kau akan larikan anak it u ke tempat lain." "Berangkat lah dulu dan bawa anak it u." Semakin dat ar suara Gila Tuak, semakin pelan nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang dibuat nya. Mat a perempuan cant ik it u cukup t aj am memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke depan. Pandangan mat a kakek t ua it u bagaikan penuh
beban yang tert ahan. Mau t ak mau Bidadari Jalang mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit ketus. "Aku t idak but uh kelakarmu saat ini, t ahu? Jangan main-main denganku, Gila Tuak!" Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya, "Pergilah, bawa lari anak it u. Lekas." "Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau t idak segera bergerak untuk pergi?" "Jangan banyak t anya. Lekas pergi bersama Sut o Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar t angannya. Terl ihat oleh Bidadari Jalang t ongkat yang dipegang Gila Tuak j uga ikut bergerak-gerak dalam get aran lembut . Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat it u. Bahkan ia pun mendengar dengus napas t ert ahan dari hidung Gila Tuak. "Apa yang terj adi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang berkesan t egang di dalam hat inya. "Seseorang t elah menahan int i ragaku." "Apa...?!" Bidadari Jalang t ersent ak kaget walau t ak harus berucap kata dengan keras. "Aku t ak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkat a dengan suara bisik yang amat pelan. Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia memandang ke kiri dan kanan. Kedua t angan it u pun bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sej engkal pun t ak bisa. Dengus-dengus napas t ert ahan berat it u menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat salah satu kakinya. Namun kakinya t et ap sepert i tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang memegangi dari dalam t anah. Melihat keadaan si Gila Tuak yang t ernyat a tidak main-main it u, Bidadari Jalang semakin t egang dalam keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik t angan Gila Tuak. Namun t ubuh t ua it u t idak mampu bergeser
dari t empat nya berpij ak. Gila Tuak akhirnya menghent akkan kedua t angannya dengan satu kekuat an dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua t angan It u biasanya dipakai unt uk menggeser pint u gua dari batu besar, at au menumbangkan pohon yang berukuran sedang-sedang saj a. Anehnya, t ubuh t ua Gila Tuak t idak mampu t erdorong ke belakang. Hanya meliuk sebentar dan kembali lagi, sepert i sebongkah karet yang t ert ancap kuat di salah sat u dasar lant ai. "Siapa yang mengganggumu begini?" gumam Bidadari Jalang dengan mat a memandang sekeliling, penuh kecurigaan. "Ent ahlah. Aku belum menemukan dari mana asal kekuat an gaib yang menahanku bergerak ini?" "Coba gunakan tenaga dalammu unt uk melompat dari tempat ini." "Sudah kucoba tadi, " j awab si Gila Tuak masih pelan sekali suaranya, "Tapi t ak bisa melawan kekuat an ini. Kepalaku malah t erasa sakit akibat t enaga dalam yang kupakai tertahan kuat-kuat." Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya memandang t aj am ke arah semak pant ai, ke arah bat ang-bat ang kelapa, ke daerah gundukan karang yang tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan ke mana saj a mat a it u menat ap t aj am. Namun ia t idak menemukan bayangan sosok siapa pun di sana. Tiba-t iba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya memut ar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras. "Haiaai..!" Buukk...! "Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena t erkena t endangan put ar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan it u biasanya bisa merubuhkan bat ang pohon. Namun kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser dari t empat nya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis merasakan sakit di dadanya akibat t erkena t endangan
keras. "Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa kau menyerangku, hah?!" "Maaf . Maksudku membuat mu supaya t umbang dan bebas dari kekuat an yang menahan kakimu." "Iya. Tapi dadaku mau j ebol rasanya, Tolol!" Bidadari Jalang menahan t awa geli j adinya. Ia j adi iba melihat Gila Tuak j adi t erengah-engah akibat menahan t endangan t adi. "Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang berkeliling mencari sumber kekuat an yang mengganggu Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata t elanj ang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir pant ai menyebar ke mana-mana, t ermasuk memercik ke waj ah Gila Tuak. Tangan lelaki t ua it u buru-buru meraup waj ahnya beberapa kali, membersihkan j enggot nya yang t erkena percikan pasir, dan akhirnya meludah beberapa kali, karena ada beberapa but ir pasir yang masuk ke mulut nya. "Set an alas!" katanya memaki dengan suara pelan. "Cuih, cuih.. .I" Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip bambu kecil diput ar-put arkan dengan menggunakan tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar semak pantai. Kadang menj auh, kadang melint as di depan Gila Tuak dan menj auh lagi, lalu mendekat kembali. Tiba-t iba perempuan berambut panj ang it u sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan j ubahnya melambai-lambai t ert iup angin. "Tidak ada siapa pun di sekit ar sini, Gila Tuak. Aku sudah memeriksanya," kat a Bidadari Jalang. Gila Tuak menggeram dengan napas t erhempas. Merasa j engkel sekali dengan keadaannya. "Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa
yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?" Lalu, kedua t angannya t erangkat ke at as. Tongkatnya meli nt ang dan dipegangi dengan kedua t angan. Tongkat it u bagaikan sesuatu yang keras dan dipakai unt uk mengangkat t ubuhnya. Ia sepert i orang bergelayutan di salah satu dahan pohon. "Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan t enaganya unt uk mengangkat kedua kaki. Hingga waj ahnya memarah, t ernyat a belum j uga berhasil mengangkat tubuh. "Terus. Kerahkan t erus t enagamu. Kubant u menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang. Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah kekuat an t enaga dalam dilancarkan melalui t angan t ersebut , hawa panas t erasa menggempur kaki Gila Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan. "Waoow...!" Bidadari Jalang berhent i melakukannya. Tangan Gila Tuak t urun kedua-duanya. Tet api t ongkat nya masih t inggal di atas. Bagai t ergant ung pada suat u tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu t et ap diam t ak bergerak, sehingga menimbulkan perasaan heran bagi orang yang belum t ahu kehebatan ilmu Gila Tuak. "Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku. Hant am saj a t anahnya dan aku akan mengangkat t ubuhku!" sent ak Gila Tuak semakin dongkol pada Bidadari Jalang. "Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu dengan kekuat an penuh dan aku akan mendongkel tanahnya." Tongkat yang t et ap diam melint ang di at as kepala Gila Tuak it u kembali digunakan sebagai pegangan kedua t angannya. Lalu, begit u Gila Tuak mengerahkan t enaga unt uk mengangkat t ubuhnya, Bidadari Jalang mengerahkan t enaga j arak j auhnya untuk menghant am
tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu. "Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua t angan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari t elapak t angan it u keluarlah asap t ipis yang menyembur ke arah tanah sekit ar kaki Gila Tuak. Kedua t angan Gila Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke at as. Tet api usaha it u agaknya masih j uga belum berhasil. Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser sedikit pun. Mereka saling menghempas napas dengan mat a beradu pandang. Angin malam masih berhembus mempermainkan j ubah kedua t okoh sakt i it u. Rembulan di langit bagai kian t erang, sehingga apa saj a yang ada di sekit ar mereka dapat t erlihat j elas. Termasuk waj ah Sut o yang sej ak tadi t ersenyum-senyum sinis, j uga kelihat an j elas oleh mata Bidadari Jalang. Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang, "Kularikan saj a si Sut o it u. Ini adalah kesempat an menculik si Sut o. Dengan keadaan sepert i ini, Gila Tuak t ak akan mampu mengej arku. Aku bebas membawa lari Sut o ke mana saj a." Belum sempat Bidadari Jalang melangkah mendekat i Sut o, mulut Gila Tuak sudah menghamburkan kat a. "Bawalah pergi bocah it u, Nawang. Biarkan aku di sini mengalahkan kekuat an gaib ini sendirian. Yang penting, selamatkan dulu bocah it u, j angan sampai ada yang mengganggunya. Bawalah ke t empat mu, atau kemana saj a. Aku past i bisa mencari j ej ak kalian melalui t ongkat ku ini." Tak ada j awaban dari Bidadari Jalang. Tet api hati perempuan yang rambut nya ikut meriap-riap karena hembusan angin itu berkata-kata sendirian. "Wah, percuma saj a kalau bocah it u kulari kan. Gila Tuak bisa mencarinya menggunakan t ongkat nya. Rupanya ia t elah menyedot sebagian kekuatan kecil
pada bocah it u dan menyimpannya pada tongkatnya. Tent u saj a ke mana saj a aku menyembunyikan Sut o, t ongkat it u bisa menunj ukkan di mana raga Sut o berada. Ah, sial! Sepert inya tak ada kesempat an bagiku untuk menculik si Sut o." "Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan t adi. Jangan diam saj a!" "Baiklah...!" Set elah berkat a begit u, Bidadari Jalang mendekat i Sut o. Langkahnya biasa-biasa saj a. Namun, t iba-t iba di luar dugaan t ubuh yang berparas cant ik it u t ersentak ke belakang bagai diseruduk tiga ekor bant eng. Tubuh Bidadari Jalang t erpent al melayang sampai kira-kira t uj uh langkah j auhnya. Tent u,saj a hal it u membuat mata si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia menat ap Sut o dengan mat a sedikit menyipit t aj am. "Tak mungkin bocah it u mampu membuat Bidadari Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan! Kekuat an dari mana yang dimiliki Sut o it u?" pikir Gila Tuak. Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki, "Bocah celeng! Landak bunt ing kau, ya? Kenapa kau menyerangku, hah?!" Perempuan it u melangkah cepat dengan gusarnya. "Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!" Tangan perempuan it u bergerak cepat, menampar waj ah Sut o. Tapi t iba-t iba gerakan t angan it u mampu dit angkis cepat oleh t angan kiri Sut o. Dan tiba-t iba t angan kanan Sut o menyodok ke depan dalam keadaan pangkal t elapak t angannya t erbuka, menghant am ulu hat i Bidadari Jalang. Begg...! "Uhhg...!" Bidadari Jalang t erhempas mundur t iga langkah dengan menggeloyor, nyaris membent ur t ubuh Gila Tuak. Kedua t okoh sakti it u sama-sama semakin membelalakkan mata. Sut o tet ap diam dengan berdiri t egak, bagaikan seorang j agoan yang t idak kenal
mundur set apak pun. Waj ahnya masih menampakkan kesinisan. Sikapnya j elas bermusuhan. Tak ada lagi sikap bocah dan waj ah kanak-kanaknya. "Babi Dungu!" rut uk Bidadari Jalang. "Anak it u harus diberi pelajaran biar tidak ngelunjak." Kemudian t angan kanan Bidadari Jalang dihent akkan ke depan dalam keadaan kedua j ari lurus dan keras. Cepat-cepat t ongkat si Gila Tuak menghantam tangan itu. Plokk...! "Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan. Pergelangan t angannya menj adi sedikit memar akibat pukulan t ongkat it u. Padahal Gila Tuak menghant amkan t ongkat nya t idak begit u keras. Cukup pelan namun cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam dari t ubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur j ika pukulan pelan t adi dihant amkan pada sebongkah batu kali . Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak. Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saj a merasa ngilu, t api j uga sekuj ur t ubuh j adi semut an sesaat . "Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!" "Pukulanmu it u akan memat ikan Sut o. Ingat , dia hanya seorang bocah," kat a Gila Tuak dengan suara rendah. "Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa dianggap ent eng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila Tuak!" "Itu bukan kekuatannya." Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah, namun t ak j adi. Ia segera memandang Sut o yang masih berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan ia siap menunggu serangan lagi. Gila Tuak kembali berkat a dengan suara pelan, "Seseorang t elah mengendalikan dia dari suatu t empat. Jelas orang it u memusuhi aku, karenanya aku dibuat nya t ak bisa bergerak begini. Siapa orang yang t elah
mengendalikan bocah it u sebenarnya?" Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkat a dengan suara pelan j uga. "Bagaimana kalau kupancing dengan serangan, supaya kau bisa menget ahui, j urus-j urusnya siapa yang dipakai oleh Sut o." "Hmmm... boleh saj a. Tapi awas, j angan sampai melukai t ubuh bocah it u. Kau dan aku akan menderit a kerugian besar j ika bocah it u sampai mat i atau sakit karena seranganmu." "Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang. Langkah perempuan cant ik it u menj auhi si Gila Tuak. Seakan ia mencari t empat untuk bert arung dengsn Sut o. Ia mengambil j arak tert ent u dengan sikap siap menyerang atau bert ahan. "Siapa kau sebenarnya, hah?" bent ak Bidadari Jalang. Sut o hanya diam dan t ersenyum sinis. Cukup lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot pandangan mat a seorang lelaki dewasa yang nakal. Bidadari Jalang menj adi gelisah dipandang nakal begit u. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya agar t idak t erpancing oleh pandangan nakal Sut o. "Kat akan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami t ahu, kau bukan Sut o!" * **
9 BOCAH berumur delapan t ahun it u, masih t et ap menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat it u, Gila Tuak sengaj a diam t ak ikut menyerang Sut o, sebab ia ingin menget ahui gerakan j urus yang digunakan Sut o nant i. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti datang dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila Tuak menggerut u sendiri. "Sial! Ternyat a t idak mudah mendapat kan bocah t anpa pusar i t u. Ada-ada saja perint angnya! Bocah sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri. Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah past i dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan menj adi seorang pendekar t anpa t anding. Karena keberadaannya yang t anpa pusar ali as t idak punya udel itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia t idak mudah lelah, napasnya panj ang dan ot ot -ototnya pun kuat . Sayang sekali kalau sampai ia j atuh di t angan manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang dari golongan hitam!" Saat it u, bocah t anpa pusar mengusap-usap dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi sepert inya ia merasa mempunyai j enggot yang sedikit panj ang. Gerakan mat anya liar dan nakal bersama senyum orang dewasa yang dibawakannya. Pada wakt u Bidadari Jalang melancarkan pukulan j arak j auhnya yang t idak t erlalu berat ukurannya, Sut o melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari posisinya yang sedang bergerak turun it u dia menghent akkan kedua tangannya ke depan, ke arah Bidadari Jalang. Wooos...! Semburan api meluncur dari kedua t elapak t angan Sut o. Hampir saj a semburan it u mengenai rambut Bidadari Jalang. Unt ung saj a perempuan it u segera
melompat ke belakang dalam gerakan salt o j uga. Gila Tuak terperanjat. Hatinya seketika itu berkat a, "Edan! It u j urus Tapak Bromo?!" Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari Jalang dari t empat nya berdiri. "Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku, Nawang!" Mendengar nada suara Gila Tuak yang t egang, f irasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang it u, mengat akan bahwa dirinya dalam ancaman yang membahayakan. Agaknya si Gila Tuak benar-benar mempunyai keput usan yang harus dipatuhi. Maka dengan gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus menendang ke samping ke arah kepala Sut o, yang saat it u j uga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari Jalang berusaha t iba di dekat Gila Tuak. Tendangan samping yang terbang it u meleset pada sasarannya, karena tubuh Sut o berhasil merunduk. Pada saat t ubuh Bidadari Jalang t erbang di atas kepalanya, t angan kiri Sut o menghentak ke atas, dan t epat mengenai paha Bidadari Jalang. Plokk...! "Uuh...!" Bidadari Jalang t idak merasakan sakit , namun merasa kaget dan geli. Ia sepert i mendapat godaan dari t angan iseng seorang lelaki dewasa. Hatinya j adi berdesir dan deg-degan. "Dia kurang aj ar padaku, Gila Tuak!" "Dia bukan Sut o. Aku mengenal j urus 'Tapak Bromo' tadi." "Dia mau memancing gairahku." "Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa." "Hah...?!" Bidadari Jalang t erkej ut . "Bukankah Malaikat Tanpa Nyawa it u sudah kau bunuh?" "Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa it u masih penasaran ingin membalas dendam at as kemat ian gurunya padaku. Sat u-sat unya murid dari Malaikat
Tanpa Nyawa adalah Cadaspat i. Ia menguasai ilmu 'Tapak Bromo' dan 'Int i Neraka'. Ilmu 'Int i Neraka' bisa disusupkan ke t ubuh seseorang dari j arak j auh, dan orang it u j adi mewakili dirinya. Sut o j adi sasaran unt uk melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul korban lain." Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari Jalang membenarkan kat a-kat a Gila Tuak it u di dalam hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu berkat a, "Pant as bocah it u mampu membuat ku t erpent al sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang mengendalikan Sut o dari j auh. Tapi di mana ia bersembunyi? Sej ak t adi t ak kulihat orang bersembunyi di sekit ar sini, Licik. Ia sengaj a menggunakan raga bocah t anpa pusar it u, karena ia t ahu bahwa aku dan Gila Tuak t idak berani melukai atau membunuh Sut o. Dalam keadaan sepert i it u, maka Cadaspati merasa punya perisai sendiri dalam melakukan penyerangannya kepada Gila Tuak!" Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada saat ia bert emu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan Cadaspat i di lereng Gunung Layon. Pert emuan para tokoh terjadi di lereng gunung itu. Dari partai pengemis, diwakil i oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari part ai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh Resi Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh Nyai Ganj en Pemikat , dari part ai banci keramat diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai perampok diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu didampingi Cadaspat i, sert a t okoh-t okoh lainnya pun hadir t ermasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak. Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan Tiga Pendekar Tibet it ulah, Bidadari Jalang bert emu dengan Cadaspat i. Bert ubuh kurus kering, rambut nya
panj ang acak-acakan, mat anya cekung, j enggot nya abu-abu, bersenj ata cambuk t iga lidah. Gerakannya begit u gesit , sehingga Bidadari Jalang merasa maklum j ika kali ini bocah t anpa pusar it u mampu bergerak segesit belut putih. Tak heran j uga j ika Sut o sebentarsebent ar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspat i yang senang mengusap-usap j enggot kelabunya. Bahkan Bidadari Jalang t idak merasa heran lagi melihat Sut o kembali melancarkan pukulan j arak j auhnya ke arah Gila Tuak. Dan pukulan t anpa bentuk, t anpa wuj ud sert a t anpa hawa it u berhasil dit angkis oleh Gila Tuak dengan memut arkan t ongkat nya di bagian depan. Pukulan it u t erbuang ke samping, menghant am batang pohon kelapa, membuat pohon kelapa itu kering seketika tanpa membuat buahbuahnya j atuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada yang berguguran ke t anah. Bent uran tenaga dalam yang sempurna dengan bat ang kelapa it u hanya menimbulkan bunyi sepert i sarung dikibaskan di udara. Wuuugh...! Dengan t anpa menggerakkan kaki, Gila Tuak gant i menghent akkan uj ung t ongkatnya ke arah gundukan batu karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar merah membara, meluncur menghantam gundukan bat u karang, lalu memant ul balik dalam bent uk sinar putih perak dan menghant am tubuh Sut o dari belakang. Wesss...! "Uhhg...!" Sut o tersent ak ke depan. Mest inya j atuh t ersungkur, namun ia begit u lincah, hingga dapat berguling di t anah dan dalam wakt u dekat sudah berhasil berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Jleg...! Kedua kaki bocah itu menapak mant ap bagaikan kedua kaki orang dewasa yang kekar.
"He he he he...," kali ini Sut o t ert awa. Dan suara t awa yang mengekeh it u semakin membuat Gila Tuak sert a Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa it u ada lah milik murid t erkasih Malaikat Tanpa Nyawa. "Pandai j uga kau memukulku t anpa harus melukai, Gila Tuak," kat anya dengan suara besar sedikit serak. Jelas bukan suara Sut o. "Kalau kau memang masih menyimpan dendam padaku, hadapilah aku t anpa harus menggunakan raga bocah itu." "Ho ho ho... j ust ru aku menggunakan raga bocah ini supaya aku t erlindung dan aku bisa membuat mu hancur berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mat i di t angan bocah tanpa pusar? Ho ho ho ho.... Sekarang saat nya aku membalas dendam at as kemat ian guruku!'' Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati t elah salah duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mat i di t angan bocah tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada bocah t anpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senj ata apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalahpahaman it ulah yang membuat Cadaspati begit u semangatnya membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga Sut o. Tiba-t iba t angan Sut o bergerak memut ar-mut ar keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia sepert i bocah kesurupan. Suara geram yang t imbul dari mulut nya sepert i suara seekor singa t erj epit pohon. Pada wakt u it u, Gila Tuak menggenggam erat uj ung t ongkat nya. Uj ung t ongkat bagian bawah menancap di tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak berpegangan pada kepala t ongkat yang merapat di ulu hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala Gila Tuak agak t ert unduk dan memej amkan mat a. Hawa dingin mulai t erasa meresap sampai ke
t ulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang hadir saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan dari gerakan t angan Sut o yang memancarkan t enaga dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun segera memusat kan konsent rasinya dengan merapat kan t angan kanannya ke pert engahan dada dalam posisi telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun sedikit memej amkan mat anya unt uk mengeluarkan hawa panas dari set iap pori-pori t ubuhnya. Angin berhembus kencang pada saat Sut o berhent i bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke atas dengan telapak t angan t engadah. Kedua tangan bocah it u bergetar, mulut nya bagai meraungkan lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam udara dingin it u. Angin kencang dan gunt ur menggelegar di angkasa dengan sesekali kilat an cahaya petirnya menyambar-nyambar. Anehnya, rembulan tetap ada dan tetap menerangi bumi. Kilatan cahaya petir bagai berj alan mengelilingi bagian at as si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Sepert inya kilatan cahaya petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak, namun ada sesuatu zat yang melindungi t ubuh si t ua bangka t ersebut . Dan t iba-t iba kedua t angan Sut o t urun dengan gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan keduanya ke depan, t erdengar seruan dari Sut o. "'Gunt ur Colok Sukma'! Hiaaat...!" Kedua t elapak t angannya didorongkan ke depan, dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan, bahkan j ut aan, j arum bernyala membara. Jarum-j arum yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak it u membuka t elapak t angannya di depan dada. Dari t elapak t angan Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hij au muda yang memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hij au it u
membent ur masing-masing gerombolan j arum-j arum membara. Akibat nya, j arum-j arum berwarna merah menyala it u bagai t ert ahan di udara, t ak bisa menembus maj u. Bahkan makin lama makin t erdesak mundur. Bias cahaya hij au it u begit u kuat menekan gumpalan cahaya membara dari t angan Sut o. Tubuh bocah it u t ampak berget ar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin membalik ke dirinya. Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai berkeringat . Tangan kanannya yang memancarkan dua bias cahaya hij au it u gemet ar, dan mat anya j adi merah. Bidadari Jalang melihat hal it u dengan t egang. Sesekali ia memandang ke langit di mana pet ir-pet ir masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan memant ul balik dengan suaranya yang menggelegar. Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di t engah samudera menuj u ke t epian. Bidadari Jalang menj adi cemas melihat j ut aan j arum membara semakin dekat dengan t elapak t angan Sut o. It u pert anda j arum-j arum membara kian terdesak. "Jika sampai t enaga it u masuk kembali ke dalam t elapak t angan Sut o," pikir Bidadari Jalang. "Maka cahaya hij aunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga', yang t ent unya akan membuat hancur t ubuh Sut o kalau tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu. Gawat ...! Aku harus segera bert indak unt uk menyelamat kan raga Sut o it u!" Semakin t ipis sisa cahaya merah membara dari t elapak t angan bocah t anpa baj u it u. Semakin mengucur peluh yang keluar dari t ubuh Gila Tuak. Maka, segera Bidadari Jalang melent ing ke at as dan bersalt o beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan
Sut o. Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...! Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang Sut o. Kemudian ia mengibaskan j ubahnya ke depan dan terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintikbintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta. Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera membungkus t ubuh Sut o t epat pada saat sinar merah dari t angan Sut o melesak ke dalam t elapak t angan, dan sinar hij au dari Gila Tuak t erdesak masuk dalam sat u hent akan yang cukup kuat . "Aaakh...!" Bukan t ubuh Sut o yang t erpent al ke belakang, melainkan t ubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah menj adi sasaran hent akan sinar hij aunya Gila Tuak. Tubuh perempuan it u berguling-guling, sesekali t erpent al t erbang bagaikan kapas t erhembus angin. Begit u j auh ia t erpent al, hingga suara t eriakannya menj adi kecil. Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih menaungi bagian belakang Sut o. Anak it u bagai t erperangkap j ala. Ia t ak bisa bergerak ke sana-sini. Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama kabut it u semakin mutlak membungkus t ubuhnya, hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung yang amat t ransparan. "Jahanam!" t eriak bocah it u. Masih t erdengar j elas kemarahan suaranya. Ia ingin menghant amkan kekuat annya kembali ke arah Gila Tuak, namun sepert inya semua kekuat annya t eredam oleh kabut aneh tersebut. "Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku, hah? Kuhancurkan j uga t ubuh j alangmu it u, Biadab!" Sut o memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah, namun t ak mampu melangkah keluar dari gumpalan
kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip serpihan mut iara it u membuat suasana di sekit ar Sut o menj adi t erang. Sut o kelabakan mencari j alan keluar. Kesempat an it u digunakan oleh Gila Tuak yang belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di t angan kiri , sement ara tangan kanannya merapat t egak di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin j elas mengepulkan asap. But iran pasir yang put ih it u menj adi merah sedikit demi sedikit . Merah membara bak serpihan logam panas. Kemudian, si Gila Tuak bert eri ak keras dari panj ang. "Hiaaah...!" Broolll...! Tubuh Gila Tuak berhasil j ebol dari t anah. Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke belakang satu kali, dan segera mendarat di t anah dengan t egak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak t erhempas lega. Ia memandang bekas t empat nya berdiri masih t ampak merah membara, sebagian ada yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas t empat nya berdiri. "Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari penj aramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut ini. Singkirkan! At au kuhancurkan t ubuhmu dari sini, Set an!" Gila Tuak t ersenyum tipis. Memandang j auh ke sana, di mana Bidadari Jalang t ampak kecil dan sedang berusaha unt uk bangkit . Gila Tuak pun segera mendekat i Sut o yang bernasib sial, yait u menj adi wakil kehadiran Cadaspati. Mata Sut o memandang t aj am pada Gila Tuak, mulut nya menggeram penuh nafsu unt uk membunuh. "Siapa pun t ak bisa lepas dari Selubung Kemat ian ini," kat a Gila Tuak. "Selubung Kemat ian ini akan membuat t ubuhmu menj adi kering dan mat i t anpa
t ulang lagi. Ini j urus simpanan Bidadari Jalang yang j arang-j arang digunakan kalau t idak dalam keadaan terpepet." "He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh menggunakan mulut Sut o. "Kalian t idak mungkin membiarkan raga bocah yang kupakai ini menj adi kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat, kalian past i akan segera membebaskan aku." Peluh menet es dari kening kakek t ua it u. Namun napasnya mulai reda. Ia t et ap kelihat an t enang dan berkat a, "Aku sudah terbebas dari j urus 'Paku Jagat'-mu tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk mengendalikan raga bocah it u lebih lama lama. Aku akan menyimpan kekuat an 'Int i Neraka'-mu di dalam tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni bocah t anpa pusar ini, sehingga kekuat an ilmu it u akan menj adi miliknya." "Gggrrr...!" Cadaspat i menggeram antara j engkel dan ketakutan. Matanya membelalak tajam, ingin melancarkan pukulan dahsyat nya, namun t idak kuasa berbuat it u. Dari j auh, t ampak Bidadari Jalang berj alan dengan oleng, sepert i orang mabuk. Makin lama makin dekat , makin j elas ada darah sedikit meleleh di sudut bibirnya. Kalau saj a bukan Bidadari Jalang yang menahan pukulan sinar hij aunya Gila Tuak, sudah past i t ubuh orang t ersebut akan hancur seket ika. Ia j uga mempunyai pukulan j enis 'Pecah Raga', yang bernama 'Lebur Jiwa', namun sekarang t ak bisa digunakan karena rongrongan Racun Birahi dalam t ubuhnya it u. "Bagaimana keadaanmu, Nawang?" "Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"? Apakah kau t idak menyadari bahwa ilmu it u bisa menghancur leburkan tubuh Sut o?" "Aku sadar. Dan aku pun t ahu bahwa kau t idak akan
tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun kau mest inya j uga t ahu, bahwa aku t ak punya pilihan lain untuk menghadapi serangan berbahaya it u. Aku yakin, kau akan segera bert indak menyelamatkan t ubuh bocah itu." "Benar-benar t ua rongsok kamu ini!" omel Bidadari Jalang. ''Kau memancingku unt uk menj adi umpan, ya?" "Maaf kan aku. Lupakan soal it u. Sekarang, bukalah Selubung Kemat ianmu it u. Akan kucungkil ilmu 'Int i Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat it u dari raga Sut o. Aku sudah bebas bergerak." "Biadab!" geram Sut o. "Nama guruku Malaikat Tanpa Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat !" "He he he.... Rasa-rasanya j ulukan gurumu memang harus sedikit dirubah begit u. Karena sebent ar lagi kau tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!" "Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang pant as kau berj uluk muri d t erkasih Malaikat Tanpa Sunat . Hi hi hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa pada kedongkolannya. Waj ah Sut o yang mewakili waj ah murid Malaikat Tanpa Nyawa it u kelihatan semakin gusar. Ada perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama membuat nya kian t erengah-engah. "Nawang, lekas buka Selubung Kemat ian it u sebelum membahayakan raga Sut o. Aku akan bersiap mencungkil ilmu it u unt uk Sut o kelak!" "Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka Selubung Kemat ian, cepat cungkil ilmu it u dari raga Sut o." "Tunggu dulu," sergah Sut o dengan suara mirip Cadaspat i. "Aku mempunyai suat u gagasan yang baik." "Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis. "Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal kalian membebaskan aku dari Selubung Kemat ian ini.
Aku rela j adi abdi kalian, dan menurut dengan peri nt ah kalian." "Hmm.. .," Gila Tuak j uga mencibir. Lalu kat anya lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana ada hat i durj ana mengenal perdamaian?! Tipu muslihat mu sudah t ak laku, Cadaspat i. Sekali j ahat , t ak mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian t anpa sesaj ian. Aku dan adik seperguruanku ini t idak punya pili han lain." "Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui keunggulan ilmu kalian," buj uk Cadaspat i. "Terima kasih at as pengakuanmu," kat a Gila Tuak. "Sayang pengakuan it u terlambat datangnya, karena aku sudah punya keput usan yang t ak bisa diganggu gugat lagi." Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Wakt u it u, Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkat a, "Lakukan, Nawang...!" "Tunggu... j angan dulu... j angan...!" Sut o memekik keras-keras. It u pert anda Cadaspati sangat ket akutan. Si Gila Tuak segera membuka penut up t ongkat nya, ia menenggak habis sisa t uak yang ada di dalam t ongkat it u. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di dalam mulut , hingga kedua pipinya melembung. Lalu, ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun mengibaskan j ubahnya ke depan, dan kabut berbint ikbint ik berkeli p it u pun t erhisap masuk ke dalam j ubah ungunya. Bert epat an dengan it u, Gila Tuak menyemburkan t uak yang ada di dalam mulut nya ke arah Sut o. Brusss...! "Haaagh...!" kepala Sut o t erdongak, t ubuh pun t egak. Keras seluruh urat nya. Menyeringai waj ah bocah
itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan agak put ih. Cahaya it u melesat t erbang, dan dengan hent akkan kaki pelan, t ubuh Gila Tuak pun melesat ke atas. Bersalt o di udara sambil menggerakkan t ongkat yang t erbuka t utupnya it u. Tiba-t iba cahaya kuning yang t iga kali lebih besar dari kunang-kunang it u tersedot ke dalam tabung tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi, tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu kuat . Maka, cahaya kuning t ipis it u t ersedot masuk, dan Gila Tuak segera menutupnya. Treep...! Kekuat an ilmu 'Int i Neraka' yang sukar didapat it u t erperangkap masuk di dalam t abung t ongkat . Kini keadaan Sut o kembali normal, menj adi dirinya, sebagai bocah berusia delapan t ahun yang t idak memiliki pusar. Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar. Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama lubang itu menciut. Makin besar makin tertutup kulit dari daging t ubuhnya. Hingga dalam usia delapan tahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang tali pusar. "Apakah kau akan mencari t empat persembunyian Cadaspat i?" t anya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak menj awab, "Nant i saj a. Yang pent ing kit a harus menyelamat kan anak ini dulu ke t empat yang aman." Sut o segera bert anya, "Bibi, apakah aku t adi habis t ert idur?" t anyanya kepada Bidadari Jalang. Perempuan it u hanya mengangguk dengan senyum ceria. "Ya, kau lelah dan tidur cukup lama." Gila Tuak berkat a kepada Sut o, sambil t ersenyumsenyum dan mengusap-usap kepala Sut o yang dit umbuhi rambut hitam yang cukup lebat. "Sekarang sudah wakt unya kau mempersiapkan diri unt uk menj adi seorang pendekar t anpa t anding, Sut o." "Pendekar t anpa t anding?" Sut o berkerut dahi.
"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya lawan. Lant as, untuk apa aku j adi pendekar kalau t idak punya t andingannya?" Giia Tuak dan Bidadari Jalang t erkekeh geli mendengar kebodohan yang polos dari anak it u. Maka, Bidadari Jalang pun berkat a, "Bagaimana kalau kau menj adi pendekar cint a saj a?" "Husy! Jangan bicara sepert i it u pada anak kecil, Nawang!" sent ak Gila Tuak. Tet api pada saat it u t ernyat a Sut o menyahut , "Aku mau. Aku mau j adi pendekar cinta, Bi. Aku mau...!" "Hei, kenapa kau mau?!" sent ak Gila Tuak lagi. "Biar kekasihku banyak, hi hi hi. ..!" Sut o t ert awa cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun tertawa geli, sedangkan Gila Tuak bersungut -sungut dalam gerutunya, "Dasar bocah sint ing!" Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua t okoh sakti di rimba persilatan yang namanya cukup mengget arkan j iwa set iap orang it u kini siap mengembleng Sut o. Apakah yang akan terj adi kelak pada bocah it u?
SELESAI
Ikut i kisah pet ualangan Sut o Sint ing selanj ut nya!!!!! Serial Pendekar Mabuk Dalam episode: PUSAKA TUAK SETAN
E-book b y : p a u lu s tjin g Em a il: p a u lu s tjin g@y a h oo.com