BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Kasus Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering
dijumpai di Unit Gawat Darurat. Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan
ular di Indonesia karena masih banyak yang dibawa ke pengobatan tradisional
bukan ke pelayanan medis. Sebagai perbandingan, antara tahun 1999 sampai
tahun 2001terdapat 19.335 kedatangan ke rumah sakit di Malaysia karena bisa
gigitan binatang. Sebagian besar diantaranuya disebabkan oleh gigitan
ular.1
Gigitan ular biasa terjadi karena berhubungan dengan tempat pekerjaan,
atau dari ular yang masuk ke rumah karena mencari mangsa berupa tikus,
katak, atau kadal. Tulisan ini ditujukan agar dapat mengenali berbagai
jenis ular beracun yang biasa ditemukan dan tata cara penanganan gigitan
ular berbisa berdasarkan ketentuan WHO.
II. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan laporan kasus besar ini adalah untuk
memenuhi tugas kepaniteraan komprehensif di RSU RA Kartini Jepara agar
dokter muda dapat mengetahui cara menegakkan diagnosis, melakukan
pengelolaan terhadap penderita gigitan ular berbisa dan tindakan
pengobatan serta pencegahan yang dianjurkan sesuai dengan kepustakaan
atau prosedur yang ada.
III. MANFAAT
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa
kedokteran untuk belajar menegakkan diagnosis dan memberikan terapi dan
edukasi secara tepat pada pendertia gigitan ular berbisa sesuai dengan
kepustakaan atau prosedur yang ada.
BAB II
PENYAJIAN KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. A B
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 13 tahun
Alamat : Menganti 8/2
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Perkawinan : Belum Kawin
Pendidikan : SD
Pekerjaan : siswa
No. CM : 472782
Masuk Rumah Sakit : 12 Agustus 2012
3 DATA DASAR
Anamnesis
Autoanamnesa dilakukan tanggal 15 Agustus 2012, pukul 10.00 WIB.
Keluhan Utama : Digigit ular
Riwayat Penyakit Sekarang :
+ 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit penderita tergigit ular berwarna
hijau dan bentuk kepala segitiga saat sedang bermain di sekitar rumah,
Telunjuk tangan kanan saat mencoba memegang kepala ular. Mual (-),
muntah (-), perdarahan di tempat gigitan (+) aktif, bengkak (+),
pembesaran nnll ketiak (+), berdebar-debar (-), gringgingen (-), lemah
anggota tubuh (-), kencing berwarna merah atau hitam (-), gusi
berdarah (-), perdarahan konjungtiva (-), kelumpuhan otot-otot mata (-
), kaku otot (-), kemudian os dibawa ke RS Kartini.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya belum pernah tergigit ular seperti ini
Riwayat imunisasi DPT dan TT lengkap.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita adalah siswa SMP yang seluruh pembiayaannya ditanggung
oleh orang tua sendiri.
Kesan : Sosial ekonomi cukup
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2012, pukul
10.00.
Keadaan Umum : Sadar, aktif, tampak kesakitan.
Tanda Vital :
Tensi : 110/50, reguler, tekanan dan isi cukup
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 kali permenit
Suhu : 37 o C
Berat badan : 30 kg
Kulit : Turgor kembali cepat.
Kepala : Mesosefal.
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-)/(-), sklera ikterik
(-)/(-)
Pupil isokor Ө /3 mm, reflek cahaya (+)N/(+)N,
perdarahan konjungtiva (-/-), ptosis (-/-),
oftalmoplegi (-/-),
Hidung : Nafas cuping (-), discharge (-), deviasi septum (-),
luka laserasi (+), nafas cuping hidung (-).
Telinga : Discharge (-)/(-)
Mulut : Bibir pucat (-), bibir sianosis(-).
Leher : Simetris, pembesaran kel. Limfe (-), trakea di
tengah
Dada :
* Paru-paru :
Inspeksi : Simetris, statis, dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Suara tambahan (-)
* Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus teraba di SIC V, linea midklavikularis
kiri
Perkusi : Batas jantung kiri SIC V linea midklavikularis
Auskultasi : Suara jantung murni, Bising (-), Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, Venektasi (-)
Palpasi : Lien tak teraba, hepar tak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Laki-laki.
Ekstremitas : Superior Inferior
Sianosis -/- -/-
Capillary refill >2"/<2" <2"/<2"
Udem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Jejas +/- -/-
Reflek fisiologis +N/+N +N/+N
Reflek patologis - / - - / -
Kekuatan otot 5 /5 5 / 5
Tonus cukup cukup
Pembesaran nnll +/- -/-
Status Lokalis :
Regio manus dextra:
Inspeksi : Tampak pada phallang distal digiti II manus dextra
jejas (+), dua buah bekas insisi berbentuk tanda silang, warna
kehitaman, Jaringan nekrotik (+) warna kuku pucat, tampak edema
sampai pergelangan tangan kanan.
Palpasi : Nyeri (+), Capillary refill >2"
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah
Golongan darah : O rhesus positif
Hb : 12,5 g / dl
Ht : 36,9 %
Leukosit : 5.300 /mm3
Trombosit : 343.000 / mm3
a. Pemeriksaan Kimia Darah
Urea : 18 mg / dl
Kreatinin : 0,6 mg / dl
b. EKG
Kesan:
HR 98x/menit
Normo sinus rithm
Normo axis
Zona transisi V3-V4
P mitral (-) P pulmonal (-)
DAFTAR MASALAH
"No "Masalah Aktif "Tanggal "No "Masalah Pasif "Tanggal "
"1 "Post crossed "15/Agustus/201" " " "
" "incision vulnus "2 " " " "
" "ictum e.c " " " " "
" "gigitan ular " " " " "
" "curiga ular " " " " "
" "berbisa " " " " "
INITIAL PLAN
Post crossed incision vulnus ictum e.c gigitan ular curiga ular
berbisa
Assessment : Mencegah efek bisa ular
Mencegah infeksi
Dx Subjektif : Tanda nekrosis jaringan
Objektif : Pemeriksaan darah rutin, ureum, kreatinin serial,
EKG
Tx : Infus RL 20 tpm
Injeksi Anti bisa ular intra lesi ½ ampul (skin test)
Injeksi Anti bisa ular 2 ampul dalam D5% habis dalam 24
jam
ATS 1 ampul (skin test)
Injeksi Cefotaxim 2 x 750 mg
Injeksi Ranitidin 3 x 25 mg
Asam mefenamat 3 x 250 mg
Edema bekas gigitan ditandai dengan garis
Nekrotomi, debridement luka.
Pasang DC
Tutup luka dengan kasa steril.
Mx : Pengawasan keadaaan umum, tanda vital
Cek darah rutin, balance cairan, tanda-tanda perdarahan,
tanda-tanda nekrosis.
Ex : Menjelaskan tentang penanganan luka pada
keluarga penderita, dan kompilkasi yang mungkin terjadi.
Menjelaskan mungkin dapat terjadi kerusakan jaringan sehingga
memerlukan tindakan amputasi pada jari pasien.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Kasus Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering
dijumpai di Unit Gawat Darurat. Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan
ular di Indonesia. Sebagai perbandingan, antara tahun 1999 sampai tahun
2001terdapat 19.335 kedatangan ke rumah sakit di Malaysia karena bisa
gigitan binatang. Sebagian besar diantaranuya disebabkan oleh gigitan
ular.1
Tidak semua gigitan ular berbisa. Terdapat sekitar 40 spesies dari
ular berbisa yang terbagi dalam dua famili :
1. Elapidae-bertubuh pendek, gigi taring depan yang kuat. Yang termasuk
dalam spesies ini adalah ular kobra, ular karang dan ular laut.
Gambar 1 : Ular Elapidae
2. Viperidae-kepala segitiga dan panjang.
Gambar 2 : Ular viperidae
Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa.
Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa.
Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna,
kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri
ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan
pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.2
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas
taring, (B) Ular berbisa dengan bekas taring.
Bisa ular terdiri dari lebih 20 bahan berbeda terutama protein, termasuk
enzim dan toksin polypeptide. Enzim prokoagulan menyebabkan koagulopati
konsumsi. Haemorrhagin (zinc metalloproteinase) yang merusak lapisan
endotel pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan sistemik. Sitolitik atau
nekrotik toksin yang mengandung hydrolase (proteolitik enzim dan
phospholipase A), toksin polypeptide dan factor lain yang meningkatkan
permeabilitas yang menyebabkan pembengkakan local. Yang juga merusak sel
dan jaringan. Hemolitik dan miolitik phospholipase A2, enzim yang merusak
membrane sel , endotel, otot lurik, saraf dan sel darah merah. Pre sinaptik
neurotoksin (biasanya pada elapidae dan beberapa viperidae) merupakan
phospholipase A2 yang merusak nerve ending yang mempengaruhi pelepasan
asetilkolin. Neurotoksin post sinaptik (terutama pada elapidae) polipeptida
yang berkompetisi dengan asetilkolin pada reseptor asetilkolin di
neuromuscular junction yang menyebabkan paralisis mirip efek curare. 3
III. 1 GAMBARAN KLINIK
1.Elapidae
- Cobra biasanya menyebabkan nyeri dan bengkak pada daerah yang
digigit yang berlanjut menjadi gejala neurologik seperti ptosis,
ophtalmoplegia, disfagi, afasia dan paralisa pernapasan.
Gambar 3 : Nekrosis dari gigitan ular cobra
Gambar 4 : reaksi lambat dari gigitan cobra
Gambar 5 : Ptosis karena gigitan cobra
- Ular laut dapat menyebabkan efek lokal yang minimal gejala
muskuloskeletal
Seperti myalgia, kaku kuduk, dan paresis yang akan berlanjut menjadi
myoglobinuria dan gagal ginjal.
2.Viperidae
Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi penjendalan darah
namun menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell
viper mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade
pembekuan darah. Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah.
Yang kemudian didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga
system fibrinolitik tubuh jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut
atau consumption coagulopathy. Efek racun viper yang lain menyebabkan
efek lokal yang hebat seperti nyeri, bengkak, bula, bengkak, nekrosis
dan kecenderungan perdarahan sistemik.3
Gambar 6 : Bula dan multiple bula haemoraghic karena gigitan ular
viper
Gambar 7 : Bilateral Conjunctival Oedema (chemosis) setelah gigitan
ular viper
Gambar 8 : Perdarahan sulkus ginggiva setelah gigitan ular viper
Gambar 9 : Perdarahan subkonjungtiva karena gigitan ular viper
III.2 Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan
menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem
pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf
dan otak; dan bisa sitotoksik yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi
gigitan.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang
diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan
dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda
gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies
ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban.
Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring
(fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar
getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan
(terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
III.3 TATA LAKSANA
1. PERTOLONGAN PERTAMA
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan
racun (bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih
lanjut. Hal-hal yang harus dilakukan antara lain :
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat
dengan kain (untuk memperlambat penyerapan racun)
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun
yang bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang
menyebabkan nekrosis
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi,
kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di
proksimal lesi)
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3
Gambar 10. Imobilisasi pada gigitan ular.
2. PERAWATAN DI RUMAH SAKIT
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain :
a. Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC
(airway, breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring
tanda vital
b. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
c. Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular
d. Lakukan pemeriksaan fisik :
- Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun
terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
- Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya
kompartemen sindrom)
- Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan)
- Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi,
paralisis bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
- Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
- Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
e. Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes
fungsi ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
f. Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid
jika merupakan indikasi
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang
menggigit adalah jenis ular yang tidak berbisa)
3. TERAPI DENGAN ANTI VENOM
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti
venom. Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik.
Terapi ini dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara
sistemik ada. Untuk efek lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika
diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :
a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b. Neurotoksisitas
c. Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e. Gagal ginjal akut
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih
dari setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom
yang luas, atau bengkak yang membesar dengan cepat
g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis,
peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri3
4. PILIHAN ANTI VENOM
a. Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih
sedikit
b. Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat
digunakan untuk memperkirakan jenis ular :
- Pembengkakan local dengan tanda kelainan neurologis = ular
kobra/elapidae
- Pembengkakan local yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
c. Anti venom polivalen jika belum jelas
5. DOSIS DAN CARA PEMBERIAN
Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari
pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a. Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan
isotonic (5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa
larutkan dalam 500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam
c. Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
d. Jangan lakukan uji sensitivitas
e. Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f. Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan
resusitasi jika terjadi reaksi alergi
6. REAKSI ANTI VENOM
Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin
terjadi :
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
- Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
- Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi
hingga reaksi anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme
dan udema laring
- Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan
adrenalin IM (0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2
mg/kg), dan cairan resusitasi
- Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun
dengan dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
- Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti
venom
- Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
- Tatalaksana seperti pada kasus diatas
- Bila demam dapat diberikan parasetamol
c. Reaksi tipe lambat
- Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
- Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
- Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 5 dosis
- Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari
III. 4 TERAPI SUPORTIF
a. Bersihkan luka dengan antiseptic
b. Analgesic
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
e. Buang jaringan nekrosis
f. Atasi keadaan gagal ginjal akut
III. 5 KESALAHAN DALAM PENATALAKSANAAN
a. Memberikan anti venom pada semua kasus gigitan ular
Tidak semua gigitan ular membutuhkan anti venom, kira-kira 30% dari
gigitan ular kobra, dan 50% karena ular tanah tidak memerlukan anti
venom. Selain mahal, anti venom dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik yang serius pada pasien. Sebaiknya anti venom hanya
diberikan pada pasien dimana manfaatnya lebih besar dari pada
resikonya
b. Menunda memberikan anti venom
Anti bisa ular harus diberikan sesegera mungkin, bahkan pada pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap
c. Pemberian anti venom polivalen pada semua jenis gigitan ular
Anti bisa ular yang polivalen tidak dapat mencakup semua jenis
ular. Selalu perhatikan label dari pabrik saat hendak menggunakan
d. Pemberian dosis yang lebih kecil pada anak-anak
Dosis berdasarkan jumlah racun yang masuk, bukan berdasarkan berat
badan
e. Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa
ular, karena gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan digigit ular + 1 jam sebelum masuk
Rumah Sakit penderita tergigit ular berwarna hijau dan bentuk kepala
segitiga saat sedang bermain di sekitar rumah, Telunjuk tangan kanan
saat mencoba memegang kepala ular. Mual (-), muntah (-), perdarahan di
tempat gigitan (+) aktif, bengkak (+), pembesaran nnll ketiak (+),
berdebar-debar (-), gringgingen (-), lemah anggota tubuh (-), kencing
berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-), perdarahan
konjungtiva (-), kelumpuhan otot-otot mata (-), kaku otot (-),
kemudian os dibawa ke RS Kartini.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status internus dalam batas
normal, kemudian status lokalis Regio manus dextra:
Inspeksi : Tampak pada phallang distal digiti II manus dextra
jejas (+), dua buah bekas insisi berbentuk tanda
silang, warna kehitaman, Jaringan nekrotik (+) warna
kuku pucat, tampak edema sampai pergelangan tangan
kanan.
Palpasi : Nyeri (+), Capillary refill >2"
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pemeriksaan hematologis
dalam batas normal, pemeriksaan fungsi ginjal dalam batas normal,
dan pemeriksaan EKG tidak didapatkan kelainan.
Pada pasien diberikan terapi pemberian cairan maintenance,
pemberian anti bisa ular, intra lesi dan drip, pemberian ATS untuk
mencegah timbulnya tetanus , antibiotik berupa cefotaxim untuk
mencegah terjadi infeksi pada jaringan, Ranitidin untuk mengurangi
stress ulcer, asam mefenamat untuk mengurangi rasa nyeri, edema yang
timbul akibat gigitan ditandai dengan garis agar untuk mengetahui
penyebaran racun tersebut. Pada jaringan yang nekrosis disarankan
untuk amputasi namun keluarga pasien menolak. Pemasangan DC
dilakukan agar dapat memonitoring balance cairan dan mewaspadai
adanya komplikasi pada ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suchai Suteparuk MD. Bites and Stings in Thailand. Divison of
Toxicology Chulalongkorn University
2. Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-
East Asia Region, World Health Organization, 2005.
3. Venomous Snake Bite. University of Florida