BAHAN AJAR DISEMINASI DAN SOSIALISASI KETEKNIKAN BIDANG PLP SEKTOR PERSAMPAHAN
MODUL 09 TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH
KEMENTERI
AN
PEKERJAAN
UMUM
DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTOR AT PENGEMBANG AN PENYEHAT AN
LINGKUNGAN
PER MUKIMAN
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................................. i DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ........................................................................................................ iii 1. PENGOLAHAN SAMPAH .......................................................................... 617 2. SKALA PENGOLAHAN SAMPAH............................................................ 619 3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH .................................................. 621 3.1. Teknologi Pemilahan............................................................................. 622 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. 3.7. 3.8. 3.9. 3.10. 3.11.
Anaerobik Digester ............................................................................... 628 Composting (pengomposan):................................................................. 631 Insinerasi (Pembakaran) ........................................................................ 639 Pirolisis dan Gasifikasi .......................................................................... 641 Daur Ulang Sampah .............................................................................. 646 Stasiun Peralihan Antara (SPA) ............................................................ 649 Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)/IPST ............................. 660 Intermediate Treatment Facility (ITF) .................................................. 674 Teknologi Pengolahan Plastik ........................................................... 675 Pengolahan Sampah Kertas ............................................................... 678
i
DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Pengolahan skala individu ................................................................................... 619 Gambar 2. 2Proses pengolahan skala kawasan ......................................................................... 620 Gambar 2. 3 Proses pengolahan sampah kota........................................................................... 620 Gambar 3. 1 Contoh pemilahan sampah di German pada tahun 1893 ...................................... 622 Gambar 3. 2 Pemilahan sampah secara manual ........................................................................ 623 Gambar 3. 3 Magnetic Separation dan Mechanical Shredding, contoh teknologi pemilahan sampah secara mekanis ............................................................................................................. 623 Gambar 3. 4 Skema pengolahan mekanis dengan MBT ........................................................... 624 Gambar 3. 5 Skema pengolahan biologis dalam MBT ............................................................. 625 Gambar 3. 6 Skema integrasi pengolahan mekanis dan biologis dalam MBT .......................... 626 Gambar 3. 7 Tahap pengolahan mekanis dalam MBT .............................................................. 627 Gambar 3. 8 Tahap aerated heaps pada MBT ........................................................................... 627 Gambar 3. 9 Sampah yang dapat dikomposkan........................................................................ 632 Gambar 3. 10 Aerobic composting ............................................................................................ 633 Gambar 3. 11 Pengayakan kompos ........................................................................................... 637 Gambar 3. 12Unit-unit pada insinerator skala kota................................................................... 641 Gambar 3. 13Skema perbedaan pirolisis, gasifikasi, dan pembakaran ..................................... 642 Gambar 3. 14Berbagai jenis gasifier ......................................................................................... 645 Gambar 3. 15 Hirarki pengelolaan sampah ............................................................................... 646 Gambar 3. 16 Analisis kelayakan pembangunan SPA skala kawasan ...................................... 651 Gambar 3. 17 Contoh denah SPA skala kawasan ..................................................................... 655 Gambar 3. 18 Contoh tampak samping SPA skala kawasan ..................................................... 655 Gambar 3. 19 Mekanisme penanganan sampah di SPA skala kawasan .................................... 656 Gambar 3. 20 Contoh salah satu model pengolahan sampah di TPST...................................... 662
ii
DAFTAR TABEL Tabel 3. 1 Kelebihan dan kelemahan alternatif sistem pengolahan sampah ............................ 621 Tabel 3. 2 Perbandingan pengomposan aerob dan anaerob ...................................................... 634 Tabel 3. 3 Standar kualitas kompos .......................................................................................... 638 Tabel 3. 4 Cakupan pelayanan SPA skala kawasan .................................................................. 651 Tabel 3. 5 Kebutuhan luas lahan SPA ....................................................................................... 652 Tabel 3. 6 Alternatif model pengolahan lindi di SPA skala kawasan ....................................... 653 Tabel 3. 7 Kebutuhan tenaga kerja SPA skala kawasan ............................................................ 658 Tabel 3. 8 Rekapitulasi pedoman teknis pembangunan SPA skala kawasan ............................ 659 Tabel 3. 9 Contoh bahan, operasi, serta kebutuhan peralatan dalam TPST .............................. 662 Tabel 3. 10 Luas TPS dan volume kontainer yang digunakan .................................................. 669 Tabel 3. 11 Luas lahan untuk kontainer .................................................................................... 669 Tabel 3. 12 Dimensi bak penimbunan ....................................................................................... 670 Tabel 3. 13 Kebutuhan composting dengan aerobic windrow composting untuk 1m3 sampah imput/jam .................................................................................................................................. 673 Tabel 3. 14 Kebutuhan lahan fasilitas daur ulang dan composting dengan anaerobic facultative 3 untuk 1m sampah input/jam ..................................................................................................... 674 Tabel 3. 15 Jenis, sumber dan produk daur ulang sampah kertas.............................................. 678
iii
iv
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH 1. PENGOLAHAN SAMPAH Pengolahan sampah merupakan bagian dari penanganan sampah dan menurut UU Nomor 81 Tahun 2008 didefinisikan sebagai proses perubahan bentuk sampah dengan mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah. Pengolahan sampah merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sampah, disamping memanfaatkan nilai yang masih terkandung dalam sampah itu sendiri, baik berupa bahan daur ulang, produk lain, maupun energi. Pengolahan sampah yang pada umumnya dilakukan dapat berupa pengomposan, recycling/daur ulang, pembakaran (insinersi), dan lain-lain. Menurut PP Nomor 81 Tahun 2012 Pasal 16, pengolahan sampah meliputi beberapa hal sebagai berikut. a. Pemadatan b.
Pengomposan
c. d.
Daur ulang material dan/atau Daur ulang energi
Teknologi pengolahan sampah yang saat ini berkembang dan sangat dianjurkan bertujuan bukan hanya untuk memusnahkan sampah tetapi juga untuk me- recovery bahan dan/atau enersi yang terkandung di dalamnya. Pemanfaatan enersi merupakan salah satu teknologi yang paling banyak dikembangkan dan diterapkan, khususnya dalam bentuk teknologi waste-to-energy, yang menghasilkan enersi panas atau gas-bio yang berhasil dikeluarkan untuk kebutuhan enersi terbarukan (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). Pengolahan secara umum merupakan proses transformasi sampah baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Masing masing definisi dari proses transformasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Transformasi Fisik Perubahan sampah secara fisik melalui beberapa metoda atau cara yaitu : - Pemisahan komponen sampah: dilakukan secara manual atau mekanis. Sampa yang bersifat heterogen dipisahkan menjadi komponen- komponennya, sehingga bersifat lebih homogen.
-
Langkah ini dilakukan untuk keperluan daur ulang. Demikian pula sampah yang bersifat berbahaya dan beracun (misalnya sampah laboratorium berupa sisa-sisa zat kimia) sedapat mungkin dipisahkan dari jenis sampah lainnya, untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan khusus. Mengurangi volume sampah dengan pemadatan atau kompaksi. Dilakukan dengan tekanan/kompaksi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menekan kebutuhan ruang sehingga mempermudah penyimpanan, pengangkutan, dan pembuangan. Reduksi volume
617
-
juga bermanfaat untuk mengurangi biaya pengangkutan dan pembuangan. Jenis sampah yang membutuhkan reduksi volume antara lain kertas, karton, plastik, dan kaleng. Mereduksi ukuran dari sampah dengan proses pencacahan. Tujuan hampir sama dengan proses kompaksi dan juga bertujuan memperluas permukaan kontak dari komponen sampah.
b. Transformasi Kimia Perubahan bentuk sampah secara kimiawi dengan menggunakan prinsip proses pembakaran atau insenerasi. Proses pembakaran sampah dapat didefinisikan sebagai pengubahan bentuk sampah padat menjadi fasa gas, cair, dan produk padat yang terkonversi, dengan pelepasan energi panas. Proses pembakaran ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan komposisi sampah yaitu : 1. Nilai kalor dari sampah, dimana semakin tinggi nilai kalor sampah maka akan semakin mudah proses pembakaran berlangsung. Persyaratan nilai kalor adalah 4500 kJ/kg sampah agar dapat terbakar. 2. Kadar air sampah, semakin kecil dari kadar air maka proses pembakaran akan berlangsung lebih mudah. 3. Ukuran partikel, semakin luas permukaan kontak dari partikel sampah maka semakin mudah sampah terbakar. Jenis pembakaran dapat dibedakan atas : 1. Pembakaran stoikhiometrik, yaitu pembakaran yang dilakukan dengan suplai udara/oksigen yang sesuai dengan kebutuhan untuk pembakaran sempurna. 2. Pembakaran dengan udara berlebih, yaitu pembakaran yang dilakukan dengan suplai udara yang melebihi kebutuhan untuk berlangsungnya pembakaran sempurna. 3. Gasifikasi, yaitu proses pembakaran parsial pada kondisi substoikhiometrik, di mana produknya adalah gas-gas CO, H2, dan hidrokarbon. 4. Pirolisis, yaitu proses yang berlangsung tanpa kehadiran oksigen sama sekali, menggunakan enersi dari luar untuk menggerakkan reaksi pirolisa yang bersifat endotermis (Damanhuri&Tri Padmi, 2010). c. Transformasi Biologi Perubahan bentuk sampah dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi sampah menjadi bahan stabil yaitu kompos. Teknik biotransformasi yang umum dikenal adalah: 1. Komposting secara aerobik (produk berupa kompos). 2. Penguraian secara anaerobik (produk berupa gas metana, CO2 dan gas- gas lain, humus
618
atau lumpur). Humus/lumpur/kompos yang dihasilkan sebaiknya distabilisasi terlebih dahulu secara aerobik sebelum digunakan sebagai kondisioner tanah. Tujuan akhir pengolahan sampah secara mekanikal-biologis 1. Penurunan volume sampah yang akan ditimbun di landfill
-
2.
Untuk mengurangi kebutuhan kapasitas landfill dan untuk memperpanjang usia pakai landfill Penurunan aktivitas biologis
3.
Pengurangan fraksi limbah biologis dapat meminimalkan produksi gas yang tidak terkontrol.
4. 5. 6.
Pengurangan substansi yang berbahaya - Mengantisipasi adanya substansi berbahaya yang dapat mencemari air tanah bila lindi tidak terkumpul atau terkelola dengan baik. Mengurangi kandungan air yang masuk ke dalam landfill Mengurangi pengendapan yang dapat terjadi di landfill Recovery material dan energi
7. 8.
- Pengolahan sampah sebisa mungkin menghasilkan energi contohnya biogas Pengurangan biaya operasional dan post-operation landfill Meningkatkan kestabilan landfill -
Tidak diperlukan sistem pengumpul gas dan mengurangi potensi pencmaran lingkungan akibat lindi
2. SKALA PENGOLAHAN SAMPAH Berdasarkan metoda pengolahan dan tanggung jawab pengelolaan maka skala pengolahan dapat dibedakan atas beberapa skala yaitu : •
Skala individu; yaitu pengolahan yang dilakukan oleh penghasil sampah secara langsung di sumbernya (rumah tangga/kantor). Contoh pengolahan pada skala individu ini adalah pemilahan sampah atau komposting skala individu.
Pemilahan sampah
Proses komposting
Gambar 2. 1 Pengolahan skala individu
619
•
Skala kawasan: yaitu pengolahan yang dilakukan untuk melayani suatu lingkungan/ kawasan (perumahan, perkantoran, pasar,dll). Lokasi pengolahan skala kawasan dilakukan di TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu). Proses yang dilakukan pada TPST umumnya berupa : pemilahan, pencacahan sampah organik, pengomposan, penyaringan kompos, pengepakan kompos, dan pencacahan plastik untuk daur ulang.
Pemilahan sampah
Proses komposting
Gambar 2. 2 Proses pengolahan skala kawasan •
Skala kota; yaitu pengolahan yang dilakukan untuk melayani sebagian atau seluruh wilayah kota dan dikelola oleh pengelola kebersihan kota. Lokasi pengolahan dilakukan di Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) yang umumnya menggunakan bantuan peralatan mekanis.
Lokasi MRF skala kota
Proses komposting skala kota
Gambar 2. 3 Proses pengolahan sampah kota
620
3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH Terdapat beberapa teknologi pengolahan yang dapat diterapkan. Berdasarkan SNI 19-2454-2002 tentang Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan, teknik pengolahan sampah, terdapat beberapa teknik pengolahan sampah, antara lain: 1. Pengomposan a. Berdasarkan kapasitas (individual, komunal, skala lingkungan) b. Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan mikro organisme tambahan) 2. Insinerasi yang berwawasan lingkungan 3. Daur ulang a. Sampah an organic disesuaikan dengan jenis sampah b. Menggunakan kembali sampah organic sebagai makanan ternak 4. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan 5. Biogasifikasi (pemanfataan energi hasil pengolahan sampah) Damanhuri & Tri Padmi (2010) menyebutkan kelebihan dan kelemahan beberapa tekonologi pengolahan sampah, seperti yang tertera pada Tabel 3.1. Tabel 3. 1 Kelebihan dan kelemahan alternatif sistem pengolahan sampah (Damanhuri & Tri Padmi, 2010) Jenis pengolahan Composting (pengomposan): High rate (modern)
Kelebihan
- Proses pengomposan lebih cepat
- Volume sampah yang terbuang berkurang
Windrow composting (sederhana)
memerlukan - Tidak banyak peralatan - Sesuai untuk sampah
Pemadatan
Kelemahan
- Memerlukan
-
yang banyak mengandung unsur organik Volume sampah yang terbuang berkurang Biaya investasi lebih murah Volume sampah yang terbuang dapat dikurangi Praktis/efisien dalam pengangkutan ke TPA
-
peralatan lebih banyak dan kompleks Biaya investasi mahal
perawatan yang - Perlu baik dan kontinu - Proses pengomposan
-
Catatan
- Harga kompos yang dihasilkan lebih mahal daripada pupuk kimia Biaya operasi lebih - tinggi dari harga jual
lebih lama Memerlukan tenaga lebih banyak
- Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan realtif mahal
- Dianjurkan bila jarak ke pemrosesan akhir lebih dari 25 km.
621
Jenis pengolahan Insinerasi (Pembakaran)
Kelebihan
- Untuk kapasitas besar
-
Recycling (Daur Ulang)
-
-
hasil sampingan dari pembakaran dapat dimanfaatkan antara lain untuk pembangkitan tenaga listrik Volume sampah menjadi sangat berkurang Hygienis Pemanfaatan kembali bahan-bahan (anorganik) yang sudah terpakai Merupakan lapangan kerja bagi pemulung sampah (informal) Volume sampah yang terbuang berkurang, menghemat lahan pembuangan akhir.
Kelemahan
- Biaya investasi dan operasi mahal
- Dapat menimbulkan polusi udara
- Tidak semua jenis -
-
sampah bisa di daur ulang Memerlukan peralatan yang relatif lebih mahal bila dilaksanakan secara mekanis Kurang sehat bagi pemulung sampah (informal)
Catatan Ada 2 (dua) tipe: - Sistem pembakaran berkesinambungan untuk kapasitas besar (>100 ton/hari) - Sistem pembakaran terputus untuk kapasitas kecil (<100 ton/hari).
- Dianjurkan pemisahan mulai dari sumber sampahnya.
3.1. Teknologi Pemilahan Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan timbulan sampah di TPA adalah pemilahan sampah sejak di sumber. Pengumpulan sampah secara terpisah sudah mulai diterapkan di Negara German pada tahun 1893, yaitu dengan memisahkan wadah sampah kering, debu atau butiran, dan sampah organik.
Gambar 3. 1 Contoh pemilahan sampah di German pada tahun 1893
622
Seiring perkembangan jaman, proses pemilahan sampah tidak lagi dilakukan secara manual, tetapi menggunakan mesin atau dilakukan secara mekanik.
Gambar 3. 2 Pemilahan sampah secara manual
Gambar 3. 3 Magnetic Separation dan Mechanical Shredding, contoh teknologi pemilahan sampah secara mekanis Pada perkembangannya, pemilahan sampah secara mekanis dilakukan secara terintegrasi dalam suatu unit pemilahan mekanis. Tidak jarang, pengolahan secara mekanis tersebut berlanjut dengan pengolahan biologis. Integrasi pengolahan mekanis dan biologis ini dikenal dengan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT). Mechanical Biological Treatment (MBT). MBT merupakan integrasi dari proses pengolahan biologis dan mekanis. Berikut disajikan skema pengolahan mekanis, skema pengolahan biologis dan integrasi dari kedua pengolahan tersebut.
623
Gambar 3. 4 Skema pengolahan mekanis dengan MBT
624
Gambar 3. 5 Skema pengolahan biologis dalam MBT
625
Gambar 3. 6 Skema integrasi pengolahan mekanis dan biologis dalam MBT Prinsip kerja dari MBT adalah pemilahan material dengan beberapa tujuan, yaitu: •
Memisahkan material untuk recovery energi
•
Memisahkan material untuk recovery material Memisahkan material untuk mempermudah proses pengolahan biologis
•
Setelah mengalami pemisahan, material-material tersebut akan mengalami dua proses dasar pengolahan yaitu stabilisasi dan pengeringan sampah untuk recovery energi dan pengolahan sampah untuk mengurangi emisi yang akan ditimbulkan landfill. MBT menerapkan system pengolahan yang berbeda untuk setiap tipe material sampah. Sampah dengan kandungan air yang tinggi akan mengalami proses pengolahan biologis dengan tahapan aerated windrow heap composting. Sedangkan pada tahap mekanik, tipe material ini akan melalui proses shredder, sieving drum, magnetic separator, dan sorting. Material dengan kandungan air yang rendah akan mengalami tahap mekanis terlebih dahulu sebelum menjalani proses pengolahan secara biologis. Proses mekanis yang dilalui berupa sieving drum, magnetic separator, sorting cabin. Sedangkan proses biologisnya tetap menggunakan aerated windrow heap composting.
626
Gambar 3. 7 Tahap pengolahan mekanis dalam MBT
Gambar 3. 8 Tahap aerated heaps pada MBT Sebagai teknologi pra-treatment sampah, MBT menawarkan beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut. 1. Menurunkan besar timbulan sampah lebih dari 50% 2. Meningkatkan usia pakai landfill hingga 3-4 kali 3. Menurunkan aktivitas biolgis hingga lebih dari 90% 4. Mengurangi potensi emisi landfill hingga lebih dari 90% (gas dan lindi yang dihasilkan oleh landfill menurun) 5. Mengurangi kandungan air 6. Mengurangi aktivitas pengendapan 7. Recovery material dan energy
627
8. Mengurangi biaya operasional dan post-operasional 9. Mempermudah operasional landfill 10.Memiliki proses operasional dan control yang sederhana 11.Meningkatkan kestabilan landfill 3.2. Anaerobik Digester Proses anaerob adalah proses pengolahan secara biologi yang terjadi tanpa kehadiran oksigen. Pengolahan secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme fakultatif dan obligat anaerob, dimana tanpa kehadiran oksigen akan mengubah senyawa organic menjadi gas sebagai hasil akhir semacam karbondioksida dan metana. Pada proses anaerob yang menjadi akseptor electron adalah senyawa organic dari perubahan organic menjadi CH 4. Fermentasi anaerob membutuhkan organisme lain dalam mendegradasi senyawa organic menjadi metan karena terbatasnya jumlah substratyang dikatabolisme oleh bakteri metanogen (Sawatdeenarunat, 2006). Anaerobic digestion (AD) serupa dengan pengomposan tetapi dalam kondisi tanpa oksigen. Terdapat berbagai variasi anaerobic digestion yang meliputi (Juniper, 2005): •
Proses kering (penambahan air minimal) dan basah (suspense atau slurry)
•
Proses mesofilik (35o) dan termofilik (55oC)
•
Proses satu tahap dan dua tahap
•
Perkolasi, hidrolisis dan fermentasi dari fasa yang mengandung air
•
Proses interval (aerobic-anaerobik-aerobik)
Digestion dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan airnya, yaitu fermentasi kering dengan kadar padatan terlarut > 25% dan fermentasi basah dengan kadar padatan terlarut <15%. Anaerobi digestion pada umumnya dikombinasikan dengan tahap dari proses pengomposan karena tidak semua substansi organic dapat didegradasi dalam kondisi anaerob. Anaerobic digestion wet (basah) membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi dibanding dengan anaerobic digestion dry (kering). Pada system basah, proses degradasi menghasilkan lebih banyak residu berupa air sehingga operasional anaerobic digestion juga harus dilengkapi dengan sarana pengolahan efluen tersebut. Keuntungan dari system kering adalah permasalahan seperti settling, foaming, dan flotasi yang sering muncul pada system basah dapat dihindari. Namun anaerobic digestion kering sangat ditentukan oleh material input, sehingga proses ini sangat bergantung pada pengadukan eksternal dari input sampah untuk homogenitas.
628
Untuk melakukan pengolahan sampah dengan metode anaerobic digestion, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, antara lain ketersediaan oksigen, kadar air, ukuran dan densitas, temperature, pH dan alkalinitas, rasion C/N, kelembaban, toksisitas, dan logam berat. Ketersediaan Oksigen Bakteri metanogen adalah bakteri strict anaerob, makan kehadiran O2 akan mengganggu proses dan merupakan inhibitor. Kadar Air Kadar air sangat berpengaruh dalam proses dekomposisi secara biologi. Selain itu juga dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri dan proses metanogenesis. Kurva yang terbentuk akan cenderung naik pada tahap hidrolisis kemudian menurun dan stabil. Kadar air yang rendah akan menghambat proses degradasi karena mikroorganisme yang ada di dalam reactor akan lebih banyak tertutup oleh air dibandingkan udara sehingga akan menciptakan suasana anaerob. Ukuran dan Densitas Kecepatan dekomposisi tergantung dari rasio luas permukaan terhadap volume. Semakin besar rasio, berarti ukuran semakin kecil, maka dekomposisi semakin cepat. Jika dekomposisi berlangsung cepat, maka pembentukan gas CH4 akan semakin cepat pula. Temperatur Temperatur merupakan parameter proses yang sangat penting. Bakteri anaerob bertahan hidup dari temperature beku hingga 70oC, tetapi berkembang dengan baik pada kondisi mesofilik (25oC – 40oC, optimum pada 35 oC) atau dalam kondisi termofilik (50 oC-65oC, optimum pada < o o o 55 C). Bakteri metan tumbuh baik pada temperature mesofilik (30 C-40 C) maupun termofilik o
o
(45 C-55 C). Kecepatan reaksi mikroorganisme menurun pada range diantara kedua temperature optimum tersebut. Sebagian besar digester anaerob dioperasikan pada temperature mesofilik, tapi proses metanogenesis juga dapat terjadi pada temperature terendah, 4 oC. Menjaga temperature agar konstan lebih penting daripada menjaga temperature yang memberikan laju maksimum dalam proses metanogenesis karena penyesuaian bakteri matanogen terhadap perubahan kondisi lebih lambat dari pada bakteri asidogen. Hal tersebut menyebabkan akumulasi produk asam-asam organic. Akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan yang dapat menjurus pada kegagalan proses. pH dan Alkalinitas pH merupakan variable utama yang harus diatur dan dijaga. pH digester yang diperbolehkan sekitar 5,5-8,5. Namun, bakteri metanogen hanya dapat hidup pada pH 6,7-7,4 (Buekens, 2005). Komposisi maupun kecepatan produksi dipengaruhi oleh perubahan dalam pH digester.
629
Sebagian besar mikroorganisme tumbuh di bawah pH netral karena nilai pH yang lain berakibat tidak baik pada metabolism dengan merubah kesetimbangan kimia dari reaksi enzimatik atau dengan merusak enzim mikroorganisme kelompok metanogen yang paling sensitive terhadap pH. Pada dasarnya alkalinitas menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh basa yang ditambahkan ke dalam system. Jika konsentrasi asam volatile naik, pH dibuffer oleh alkalinitas bikarbonat. Dengan demiian nilai alkalinitas yang rendah dalam reactor anaerob bukan merupakan factor yang aman bila terjadi peningkatan konsentrasi asam volatile. Untuk mengontrol alkalinitas dan pH dilakukan penambahan bahan-bahan alkali seperti kapur, Na 2CO3 atau NaOH ke dalam reaktor. Rasio C/N Rasio C/N yang optimum untuk proses anaerob adalah 30. Range rasio C/N optimum untuk pembentukan metan 20-35%, sedangkan rasio C/P ideal hanya 150 (Oktaviani, 2008). Jika kandungan substrat diukur sebagai COD, maka seringkali dinyatakan bahwa rasio COD:N:P pada air limbah yang akan diolah harus mendekati 250:5:1 untuk pengolahan anaerobic (Metcalf and Eddy, 1991). Kelembaban Disamping merupakan kebutuhan mikroorganisme, kelembaban juga dibutuhkan untuk mengencerkan cairan nutrisi dan mendistribusikan nutrisi dalam timbunan sampah. Disamping itu, laju produksi gasbio akan bertambah dengan bertambahnya kelembaban. Peningkatan laju produksi gasbio sangat berarti pada kandungan kelembaban sekitar 60-70% dan cenderung menurun pada level yang lebih tinggi. Toksisitas Proses digesti dihambat oeh tingkat toksik dari berbagai zat. Indikator paling sensitif dari toksisitas adalah produksi metan, selain peningkatan asam volatil. Senyawa yang dapat mengganggu berlangsungnya proses anaerob itu antara lain adalah asam volatile, ammonia, hydrogen sulfide, logam berat, dan salinitas (Grady & Lin, 1990) Logam berat Kehadiran logam, terutama logam berat dalam tanah dan air tanah patut mendapatkan perhatian yang serius paling tidak karena hal-hal berikut. •
Sifat racun logam dan potensial karsinogeniknya
•
Mobilitas dalam tanah bisa dengan cepat berubah, dari yang tadinya immobile atau dalam bentuk logamnya menjadi bentuk terlarut dalam spesies yang dengan mudah dapat berubah.
630
•
Logam mempunyai sifat konservatif dan cenderung kumulatif dalam tubuh manusia.
3.3. Composting (pengomposan): Kompos didefinisikan sejenis pupuk organik, dimana kandungan unsur N, P dan K yang tidak terlalu tinggi , hal ini membedakan kompos dengan pupuk buatan. Kompos sangat banyak mengandung unsur hara mikro yang berfungsi membantu memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan porositas tanah sehingga tanah menjadi gembur dan lebih mampu menyimpan air (Tchobanoglous et al.,1993). Adapun manfaat dari kompos adalah : Memperbaiki struktur tanah;
Sebagai bahan baku pupuk organik; - Sebagai media remediasi tanah yang tercemar (pemulih tanah akibat pencemaran bahan kimia yang toxic terhadap mikroba tanah);
- Meningkatkan oksigen dalam tanah; - Menjaga kesuburan tanah; - Mengurangi kebutuhan pupuk inorganik. Cara atau metoda untuk membuat kompos adalah proses komposting. Proses komposting ini merupakan proses dengan memanfaatkan proses biologis yaitu pengembangan massa mikroba yang dapat tumbuh selama proses terjadi. Metoda ini adalah proses biologi yang mendekomposisi sampah (terutama sampah organic yang basah) menjadi kompos karena adanya interaksi kompleks dari organisme yang terdapat secara alami. Berdasarkan prinsip proses biologis ini, maka karakteristik dari mikroba menjadi penting untuk diperhatikan. Jenis mikroba yang dimaksud adalah jenis mikroba yang diklasifikasikan dari cara hidupnya, yaitu : -
-
Mikroba anarobik (yaitu mikroba yang hidup tanpa oksigen); jenis mikroba ini juga dibagi dalam 2 jenis, yaitu: mesofilik (hidup pada temperature 20-40 oC), dan thermophilic (hidup pada temperature 45-70oC) Mikroba aerobic adalah mikroba yang hanya dapat hidup dengan adanya oksigen. Sama dengan mikroba anaerobic berdasarkan fluktuasi kondisi suhu di dalam tumpukan kompos dapat dibedakan menjadi mesophilic dan thermophilic.
Proses komposting merupakan suatu proses yang paling relatif mudah dan murah, serta menimbulkan dampak lingkungan yang paling rendah. Proses ini hampir sama dengan pembusukan secara lamiah, dimana berbagai jenis mikroorganisme berperan secara serentak dalam habitatnya masing-masing. Makanan untuk mikorooganisme adalah sampah, sedangkan suplai udara dan air diatur dalam proses komposting ini.
631
Jenis sampah sangat mempengaruhi proses composting ini. Sampah yang dapat dikomposkan adalah sampah organik atau sering disebut sampah basah adalah jenis sampah yang berasal dari jasad hidup sehingga mudah membusuk dan dapat hancur secara alami. Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, ampas perasan kelapa, dan potongan rumput /daun/ ranting dari kebun.
Gambar 3. 9 Sampah yang dapat dikomposkan (ESP, USAID) Berdasarkan teknologi proses, pengolahan kompos dapat dibedakan menjadi komposting aerobik dan anaerobik. a. Komposting aerobik Komposting aerobik, adalah komposting yang menggunakan oksigen dan memanfaatkan respiratory metabolism, dimana mikroorganisme yang menghasilkan energi karena adanya aktivitas enzim yang membantu transport elektron dari elektron donor menuju external electron acceptor adalah oksigen. Reaksi yang terjadi : ℎ + + → + + + + + +
Ada beberapa metoda atau teknologi proses komposting secara aerobik, yaitu:
632
1.
2.
Windrow composting didefinisikan sebagai sistem terbuka, pemberian oksigen secara alamiah, dengan pengadukan/pembalikan, dibutuhkan penyiraman air untuk menjaga kelembabannya. Aerated static pile composting memiliki pengertian sistem composting dengan menggunakan pipa berlubang yang berfungsi untuk mengalirkan udara. Proses composting diatur melalui pengaliran oksigen. Bila temperature terlalu tinggi, aliran oksigen dihentikan, sementara bila temperature turun aliran oksigen ditambah
Gambar 3. 10 Aerobic composting Windrow composting Aerated static pile Keuntungan : - Biaya relatif murah untuk windrow komposting - Proses lebih sederhana dan cepat (khususnya yang menggunakan aerasi mekanis) - Dapat dibuat dalam skala kecil dan mobile (in-vessel composting) Sehingga dapat dibuat dalam bentuk modul-modul) Kerugian : - Masih menimbulkan dampak negatif berupa bau, lalat, cacing dan rodent, serta air -
leachate Operasional kontrol temperatur dan kelembaban sulit, karena kontak langsung dengan udara bebas, sering tidak mencapai kondisi optimal Membutuhkan lahan yang luas untuk sistem windrow composting, karena proses pengomposan sampai pematangan membutuhkan waktu minimal 60 hari.
b. Komposting anaerobik Proses komposting tanpa menggunakan oksigen. Bakteri yang berperan adalah bakteri obligate anaerobik. Proses berlangsung dengan reaksi sebagai berikut :
ℎ + + → + + + + + +
633
Dalam proses ini terdapat potensi hasil sampingan yang cukup mempunyai arti secara ekonomis yaitu gas bio, yang merupakan sumber energi alternatif yang sangat potensial. Berdasarkan pendekatan waste to energy (WTE) diketahui bahwa 1 ton sampah organik dapat menghasilkan 403 Kwh listrik. Keuntungan : - Tidak membutuhkan energi, tetapi justru menghasilkan energi
- Dalam tangki tertutup sehingga tedak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan Kerugian : - Untuk pemanfaatan biogas dibutuhkan kapasitas yang besar karena factor skala ekonomis sehingga kurang cocok diterapkan pada suatu kawasan kecil.
- Biaya lebih mahal, karena harus dalam reaktor yang tertutup. Pengomposan aerobik lebih banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan lebih cepat, temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur cacing, sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis. Dalam produk akhir, materi organik belumlah dapat dikatakan stabil, namun dapat disebut stabil secara biologis. Adapun perbedaan antara pengomposan secara aerob dan anerob ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). Tabel 3. 2 Perbandingan pengomposan aerob dan anaerob No.
Karakteristik
Aerob
Anaerob
1.
Reaksi pembentukannya
Eksotermis, butuh enersi luar, dihasilkan panas
Endotermis, tidak butuh enersi luar, dihasilkan gas bio sumber enersi
2. 3. 4.
Produk akhir Reduksi volume Waktu proses
Humus, CO2, H2O Lebih dari 50% 20-30 hari
Lumpur, CO2, CH4 Lebih dari 50% 20-40 hari
5. 6. 7.
Tujuan utama Tujuan sampingan Estetika
Reduksi volume Produksi kompos Tidak menimbulkan bau
Produksi enersi Stabilisasi buangan Menimbulkan bau
Untuk menunjang keberhasilan dalam proses komposting ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan sangat mempengaruhi berjalannya proses ini yaitu : 1. Kadar air, untuk menjaga aktivitas mikroorganisme. Kadar air berkisar antara 50-60%, optimum 55%. 2. Rasio C/N, dimana karbon (C) merupakan sumber energi bagi mikrooganisme, sedangkan
634
nitrogen (N) berfungsi untuk membangun sel-sel tubuh mikroorganisme. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan Berat kering), sedang C/N di akhir proses adalah 12 – 15. Pada rasio yang lebih rendah, ammonia akan dihasilkan dan aktivitas biologi akan terhambat, sedang pada ratio yang lebih tinggi, nitrogen akan menjadi variabel pembatas (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). 3. Temperatur, merupakan faktor penting dalam kehidupan mikroorganisme agar dapat hidup dengan baik. Suhu pada hari-hari pertama pengomposan harus dipertahankan berkisar antara 50-55oC, sedangkan pada hari-hari berikutnya 55-60oC. 4. pH, juga sebagai indikator kehidupan mikroorganisme. Rentang pH dipertahankan berkisar antara 7 sampai 7,5. 5. Ukuran partikel, berhubungan dengan peningkatan rata-rata reaksi dalam proses. Ukuran partikel berkisar antara 25-75 mm. Bila ukuran sampah makin kecil, akan makin luas permukaan, sehingga makin baik kontak antara bakteri dan materi organik, akibatnya akan makin cepat proses pembusukan. Namun bila diameter terlalu kecil, kondisi bisa menjadi anaerob karena ruang untuk udara mengecil (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). 6. Blending dan Seeding , pencampuran ini dipengaruhi oleh rasio C/N dan kadar air. Lumpur tinja sering ditambahkan pada kompsting sampah untuk meningkatkan rasio C/N. 7. Suplai oksigen, sangat penting dalam proses pengomposan secara aerobic. Suplai oksigen secara teoritis biasanya ditentukan berdasarkan komposisi sampah yang dikomposkan. Pada proses konvensional, suplai oksigen dilakukan dengan pembalikan tumpukan sampah. Pembalikan menyebabkan distribusi sampah dan mikroorganisme akan lebih merata. Secara praktis, pembalikan biasanya dilakukan setiap 5 hari sekali. Pada pengomposan tradisional, tersedianya oksigen akan dipengaruhi tinggi tumpukan. Tinggi tumpukan sebaiknya 1,25 - 2 m. Pada proses mekanis, suplai oksigen dilakukan secara mekanis, biasanya dengan menarik udara yang berada dalam kompos, sehingga udara dari luar yang kaya oksigen menggantikan udara yang ditarik keluar yang kaya CO2. Untuk hasil yang optimum, diperlukan udara yang mengandung lebih dari 50% oksigen (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). 8. Pengadukan, berfungsi untuk menjaga kadar air, menyeragamkan nutrient dan mikroorganisme. 9. Kontrol pathogen, dilakukan dengan pengontrolan suhu, dimana pathogen biasanya akan mati pada suhu 60-700C selama 24 jam. Operasional Proses Komposting Operasional proses komposting secara umum sangat tergantung dari teknologi yang digunakan dan tergantung dari alat komposter dan lokasi dimana proses komposting dilaksanakan.
635
a. Pemilahan Pada pengomposan, sampah dipilah dan bahan organik biodegradabel diproses menjadi kompos. Ada beberapa metode pemilahan yaitu : • Secara manual; dimana sampah dibongkar dan dipilah sepenuhnya dengan tenaga manusia. • Secara semi mekanis yaitu dengan bantuan ban berjalan yang dibantu oleh petugas pemilah; • Secara mekanis : - Sampah berjalan diatas conveyor selanjutnya akan mengalami beberapa tahapan proses yaitu - Pemisahan logam besi dengan menggunakan magnet - Pemisahan sampah ringan dengan air separator - Pemisahan organik dengan saringan putar (rotary screen) atau saringan getar b. Pencacahan Pencacahan ini berfungsi untuk memperbesar luas permukaan kontak dari sampah sehingga mempercepat proses komposting. Pencacahan pada skala kawasan
- Motor penggerak mesin cacah dihidupkan hingga stationer - Sampah organik dituangkan ke dalam hopper hingga tercacah dan keluar dalam bentuk serpihan dan ditampung untuk proses berikutnya Pencacahan pada skala kota
-
Sampah dituangkan ke lubang penerimaan (hopper) Dengan menggunakan conveyor, sampah dimasukkan kedalam mesin cacah (chrusher) Pencacahan dalam mesin dengan menggunakan penghancur (hammer) Sampah yang telah hancur berjalan melalui conveyor menuju proses selanjutnya.
c. Proses Komposting Windrow composting : - Sampah organik ditumpuk diatas lorong udara sampai ketinggian 1,5 m membentuk lajur-lajur (row) dengan panjang sesuai rencana
- Aliran udara dari lorong akan menyediakan udara/oksigen bagi proses - dekomposisi yg berlangsung - Tumpukan sampah dibalik untuk menjaga agar kelembaban atau suhu selalu berada dalam batas yang diijinkan
- Kompos akan terbentuk sekitar 5-6 minggu - Proses pematangan kompos perlu waktu 1-2 minggu Static pile composting :
- Sampah organik ditumpuk diatas lahan yang telah dilengkapi dengan sistem perpipaan porous untuk penghawaan
- Aliran udara diberikan melalui perpipaan dengan bantuan blower
636
- Kompos akan terbentuk sekitar 3-4 minggu - Proses pematangan kompos perlu waktu 1-2 minggu d. Proses Pematangan Hal lain yang perlu diperhatikan dalam composting adalah fase kematangan kompos. Kematangan kompos didefinisikan sebagai keadaan antara bahan organic mentah dengan busuk sempurna atau mati. Indikator yang biasanya digunakan sebagai indikasi kematangan kompos adalah :
- Suhu, setelah beberapa lama dalam keadaan termofilik suhu akan menurun mendekati suhu ruangan. Jika proses pengadukan tidak menyebabkan suhu meningkat kembali dan suhu sudah stabil, maka dapat dianggap kompos mencapai kematangan.
- Rasio C/N, selama proses berlangsung rasio C/N akan mengalami penurunan. Standard pengukuran kematangan kompos adalah rasio C/N ≤ 20.
- Bentuk fisik, secara sederhana untuk mengetahui kompos sudah matang atau tidak adalah dari bentuk fisik yang menyerupai tanah.
- Bau, jika kompos diambil dalam dua genggaman tangan, dimasukkan dalam kantong plastik dan diamkan selama 2 x 24 jam. Bila kantong palstik menggelembung dan panas atau waktu kantong dibuka menimbulkan bau yang menyengat, maka kompos belum matang. e. Pengayakan Berfungsi untuk memisahkan sampah halus dan sampah kasar, serta berfungsi untuk memisahkan antara sampah yang belum menjadi kompos dengan produk kompos.
Gambar 3. 11 Pengayakan kompos
637
Standar Kompos Pengendalian mutu dari kompos sangat penting diperhatikan karena akan mempengaruhi kondisi tanah dan tanaman yang akan menyerap unsur-unsur yang disediakan oleh kompos. Selain itu kompos dibuat dari bahan seperti sampah dengan campuran lumpur dan kotoran sehingga diharuskan ada quality control untuk mencegah adanya kontaminasi dari bahan berbahaya yang terkandung dalam bahan baku pembuat kompos. Tabel 3. 3 Standar kualitas kompos No Parameter 1 Kadar Air
Satuan %
Minim ºC
2 Temperatur
Warna 3
Maks 50
No 17
Parameter Cobal (Co)
Satuan mg/kg
Minim *
Maks 34
Suhu air tanah
18
Chromium (Cr)
mg/kg
*
210
mg/kg
*
100
Kehitaman
19
Tembaga (Cu)
4 Bau 5 Ukuran Partikel 6 Kemampuan Ikat Air 7 pH 8 Bahan Asing Unsur Makro
Berbau tanah
20
Mercuri (Hg)
mg/kg
0,8
mm %
0,55 58
25
21 22
Nikel (Ni) Timbal (Pb)
mg/kg mg/kg
* *
62 150
%
6,80 *
7,49 1,5
23 24
Selenium (Se) Seng (Zn) Unsur Lain
mg/kg mg/kg
* *
2 500
9 Bahan Organik 10 Nitrogen
% %
27 0,40
58
25 26
Calsium Magnesium
% %
* *
25,50 0,60
11 12
Karbon Phosfor (P205)
% %
9,80 0,10
32
27 28
% %
*
2,00 2,20
13 14
10 0,20
20 *
29
%
15
C/N-rasio Kalium (K20) Unsur Mikro Arsen
mg/kg
*
13
Besi (Fe) Aluminium (Al) Mangan (Mn) Bakteri Fecal Coli Salmonella sp.
16
Cadmium (Cd)
mg/kg
*
3
(Mg)
30 31
%
0,10
MPN/gr MPN/4 gr
1000 3
Keterangan : * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
638
3.4. Insinerasi (Pembakaran) Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif penanganan sampah adalah insinerator. Teknologi insinerasi merupakan teknologi yang mengkonversi materi padat (dalam hal ini sampah) menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan debu (fly ash). Salah satu kelebihan yang dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah pemanfaatan enersi, sehingga nama insinerator cenderung berubah seperti waste-to-energy, thermal converter (Vesiling & Rimer dalam Damanhuri & Tri Padmi, 2010). Meskipun teknologi ini mampu melakukan reduksi volume sampah hingga 70%, namun teknologi insinerasi membutuhkan biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang cukup tinggi. Insinerasi merupakan proses pengolahan buangan dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi (>800ºC) untuk mereduksi sampah yang tergolong mudah terbakar (combustible), yang sudah tidak dapat didaurulang lagi. Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume buangan, membunuh bakteri dan virus dan meredukdi materi kimia toksik, serta memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi volume buangan padat domestik sampai 85-95 % dan pengurangan berat sampai 70-80 %. Khusus untuk sampah kota, sebuah insinerator akan dianggap layak bila selama pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar. Jadi sampah tersebut harus terbakar dengan sendirinya. Sejenis sampah akan disebut layak untuk insinerator, bila mempunyai nilai kalor sebesar paling tidak 1200 kcal/kg-kering. Untuk sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan ambang tertinggi. Disamping itu, sampah kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 60 %), sehingga akan mempersulit untuk terbakar sendiri. Hambatan utama penggunaan insinerator adalah kekhawatiran akan pencemaran udara (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). Terdapat 3 parameter utama dalam operasi insinerator yang harus diperhatikan, yaitu 3-T (Temperature,Time, dan Turbulence) [Wilson, 1977]:
−
Temperature (Suhu): Berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara yang dipasok akan menaikkan temperature karena proses oksidasi materi organik bersifat eksotermis. Temperatur ideal untuk sampah kota tidak kurang dari 800 oC.
−
Time (waktu): Berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan panas yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga terjadi pembakaran sempurna.
−
Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Insinerator besar diatur dengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang insinerator kecil (modular) tungkunya adalah statis.
639
Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu (Damanhuri & Tri Padmi, 2010): a. Mengurangi massa / volume: proses insinerasi adalah proses oksidasi (dengan oksigen atau udara) limbah combustible pada temperatur tinggi. Akan dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran dan abu, dan diperoleh pula enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah sedikit limbah tersisa dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari pembakaran limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar yang dipasok. Insinerator yang bekerja terus menerus akan menghemat bahan bakar. b. Mendestruksi komponen berbahaya: insinerator tidak hanya untuk membakar sampah kota. Sudah diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan medis (untuk limbah infectious). Insinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi. Teknologi ini merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari rumah sakit. Sasaran utamanya adalah mendestruksi patogen yang berbahaya seperti kuman penyakit menular. Syarat utamanya adalah panas yang tinggi (dioperasikan di atas 800o C). Dalam hal ini limbah tidak harus combustible, sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar c. Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan enersi secara kontinu agar suplai enersi tidak terputus. Skema insinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri atas bagian-bagian berikut ini.
− −
Unit Penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai sampah. Sistem Feeding/Penyuplai: agar instalasi terus bekerja secara kontinu tanpa tenaga manusia.
− −
Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah.
− −
Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah
− −
Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.
Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar. Pasokan udara dari bawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna. Pembubuhan air: mendinginkan residu/abu dan gas yang akan keluar stack agar tidak mencemari lingkungan. APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul, khususnya: •
640
Debu atau partikulat
•
Air asam
•
Gas yang belum sempurna terbakar: CO
•
Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx , SOx,
•
Dioxin
•
Panas
Setiap jenis pencemar, membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian unit-unit APC yang sesuai. Pada insinerator modular yang sering digunakan di kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC, paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar. − Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah sekitarnya, tetapi tidak berarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.
−
Dinding insinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar.
Gambar 3. 12Unit-unit pada insinerator skala kota 3.5. Pirolisis dan Gasifikasi a. Pirolisis Pirolisis adalah degradasi limbah organic secara thermal dalam kondisi tanpa oksigen untuk menghasilkan arang karbon, minyak dan gas yang dapat dibakar. Besarnya produk yang akan dihasilkan dipengaruhi kondisi proses, terutama temperature dan laju pemanasan. Perbedaan utama antara pirolisis, gasifikasi, dan insinerasi terdapat pada jumlah oksigen yang disuplai ke reactor thermal. Pirolisis berjalan tanpa kehadiran oksigen dan gasifikasi menggunakan suplai
641
oksigen yang terbatas. Melalui kedua proses tersebut pembakaran sempurna tidak terbentuk, sehingga selain gas yang dapat dibakar, karbon monoksida dan hydrogen juga akan dihasilkan. Oksigen untuk gasifikasi disuplai dalam bentuk udara, panas, atau oksigen murni. Insinerasi melibatkan oksidasi sempurna dari limbah dalam kondisi suplai oksigen berlebih untuk menghasilkan karbon dioksida, air dan abu, ditambah beberapa produk seperti logam, trace hidrokarbon, gas asam, dan lain-lain.
Gambar 3. 13Skema perbedaan pirolisis, gasifikasi, dan pembakaran
Materi limbah terdiri dari senyawa kimia yang kompleks, misal limbah domestik yang terdiri dari kertas dan karbon yang tersusun dari polimer kompleks rantai panjang, rantai molekul organic seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Demikian pula dengan limbah biomassa yang lain. Plastik tersusun dari rantai polimer panjang. Proses degradasi thermal atau pirolisis terhadap material tersebut, dalam kondisi tanpa oksigen, menghasilkan pemutusan rantai panjang polimer dan menghasilkan molekul yang lebih pendek dalam bentuk minyak dan gas. Pirolisis berjalan pada temperature yang relative rendah, yaitu dalam rentang 400-800 oC. Kondisi proses yang bervariasi mengakibatkan perbedaan produk arang, gas, atau minyak yang dihasilkan. Panas disuplai melalui pemanasan tidak langsung, seperti pembakaran dari gas atau minyak, atau pemanasan langsung menggunakan transfet gas panas. Pirolisis memiliki kelebihan dalam menghasilkan gas atau produk minyak dari limbah yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses pirolisis itu sendiri. Produk arang padat dari karbonisasi atau pirolisis lambat terhadap kayu telah digunakan selama berabad-abad sebagai proses menghasilkan arang kayu untuk pemanfaatan sebagai bahan bakar dan hasil produk kayu bakar biasanya antara 30-40%. Pirolisis dari bahan limbah juga menghasilkan produk arang dimana persen produksinya tergantung pada kondisi proses. Pirolisis dari limbah domestic (sampah kota) mengahsilkan 35% produk arang dengan kadar abu
642
hingga 37%, dan pirolisis dengan laju pemanasan yang lambat terhadap limbah ban akan menghasilkan arang hingga 50% dengan kadar abu sekitar 10%. Arang dapat saja digunakan langsung sebagai bahan bakar, dipadatkan menjadi briket bahan bakar, digunakan sebagai bahan adsorpsi seperti karbon aktif, dihancurkan dan dicampur dengan produk minyak pirolisis menghasilkan lumpur (slurry) untuk pembakaran. Nilai kalori dari arang relative tinggi, missal arang dari sampah kota memiliki nilai kalori sekitar 19MJ/kg, arang dari ban sekitar 29KJ/kg dan limbah kayu menghasilkan arang dengan nilai kalori sekitar 22MJ/kg. Nilai kalori ini sangat kompetitif bila dibandingkan dengan batu bara yang memiliki nilai kalor 20 MJ/kg. Dengan besaran nilai kalor tersebut, arang dari limbah dapat digunakan sebagai bahan bakar kelas menengah. Produk minyak dari pirolisis limbah memiliki keuntungan dapat digunakan dalam system pembangkitan listrik secara konvensional, seperti mesin diesel atau turbin gas. Akan tetapi, karakteristik dari bahan bakar proses pirolisis dapat tidak sesuai dengan spesifikasi bahan bakar minyak alam dan ada kemungkinan memerlukan modifikasi sebagai pembangkit tenaga atau peningkatan kualitas bahan bakar. Minyak dari pirolisis memiliki nilai kalor yang bervariasi mulai dari 25 MJ/kg untuk minyak dari limbah domestic (sampah) sampai dengan 42 MJ/kg untuk minyak dari limbah ban. Minyak bahan bakar petroleum memiliki nilai kalor 46 MJ/kg. Bila dibandingkan dengan minyak diesel atau bahan olahan petroleum, minyak dari limbah mempunyai beberapa kemiripan. Akan tetapi, penggunaan langsung minyak dari limbah dalam system pembakaran yang didesain untuk minyak petroleum akan menghadapi beberapa kendala, antara lain: minyak dari biomassa dan sampah bersifat viskos, tingkat asam tinggi, karena kehadiran asam organic dalam minyak dan dapat segera terpolimerisasi. Minyak hasil pirolisis kemungkinan mengandung partikel solid karena proses pengangkutan dari reactor pirolisis. Sebagai konsekuensinya, penggunaan minyak piroisis dalam system liquid spray atau otomatisasi pembakaran seperti mesin diesel, furnace dan boiler, bisa mengakibatkan system menjadi terhambat dan/ atau karatan. Gas yang dihasilkan dari proses pirolisis terhadap sampah atau biomassa didominasi oleh karbon dioksida, karbon mono oksida, hydrogen, methan, dan sebagian kecil gas hidrokarbon lainnya. Tingginya konsentrasi gas karbon dioksida dan karbon mono oksida berasal dari struktur oksigen yang ada dalam bahan aslinya, antara lain sellulosa, hemisellulosa, dan lignin. Pirolisis dari limbah ban dan campuran plastic akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk gas hydrogen, methan, dan gas hidrokarbon lainnya karena materi limbah mempunyai senyawa karbon dan hydrogen yang tinggi, sedangkan senyawa oksigennya lebih kecil. Gas hasil pirolisis memiliki nilai kalor yang signifikan, sebagai contoh, gas pirolisis konvensional
643
dari sampah mempunyai nilai kalor sekitar 18MJ/m3 dan limbah kayu menghasilkan nilai kalor sebesar 16MJ/m3. b. Gasifikasi Gasifikasi adalah suatu teknologi proses yang mengubah bahan padat menjadi gas. Bahan padat yang dimaksud adalah bahan bakar padat, termasuk diantaranya biomassam batubara, dan arang. Gas yang dimaksud adalah gas-gas yang keluar dari proses gasifikasi dan umumnya berbentuk CO, CO2, H 2, dan CH4. Proses gasifikasi dati limbah terjadi pada temperature yang lebih tinggi dari pirolisis dan dengan penambahan oksigen yang terkontrol. Produk berupa campuran hgas CO dan H2 dikenal sebagai syngas dan bisa digunakan sebagai substitusi gas alami. Reaksi dasar gasifikasi adalah sebagai berikut. CnHm + 0,55n O2 -> nCO + 0,5m H2 Proses gasifikasi pada hakikatnya mengoksidasi suplai hidrokarbon pada lingkungan yang terkontrol untuk memproduksi gas sintetis yang memiliki nilai komersial yang signifikan. Gasifikasi adalah suatu alternative yang menarik karena proses ini mencegah pembentukan dioksin dan senyawa aromatic. Proses gasifikasi juga menghasilkan reduksi utama pada volume input limbah rata-rata sekitar 75%. Gasifikasi berbeda denagn pirolisis dan pembakaran. Ketiganya dibedakan berdasrkan kebutuhan udara yang diperlukan selama proses. Jika jumlah udara: bahan bakar (AFR, Air Fuel Ratio) sama dengan 0, maka proses disebut pirolisis. Jika AFR yang diperlukan selama proses kurang dari 1,5, maka proses disebut gasifikasi. Jika AFR yang diperlukan lebih dari 1,5, maka proses disebut proses pembakaran. Berdasarkan medium gasifikasik, reaktor gasifikasi (gasifier) dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. Aliran udaram dimana udara sebagai medium gasifikasinya 2. Aliran oksigen, dimana oksigen murni sebagai medium gasifikasinya Gasifikasi udara menghasilkan gas dengan nilai panas yang rendah (5000-6000 kJ/kg atau 3-6 MJ/m3, LHV), yang terdiri dari sekitar 50% nitrogen dan dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin dan furnace.Oksigen yang dialirkan bebas dari pencampur seperti nitrogen akan menghasilkan LHV yang lebih tinggi (15000kJ/kg atau 10-12MH/m3). Sebagai informasi, gas alam mempunyai LHV sekitar 50000 KJ/kg atau 40 MJ/m3. Berdasarkan metode kontak antara gas dan bahan bakar, gasifier dapat dibagi menjadi 4 jenis, sebagai berikut.
644
1. 2. 3. 4.
Entrained bed Fluiduzed bed (Bubbling atau Circulating) Spouted bed (metode semburan) Fixed atau moving bed
Gambar 3. 14Berbagai jenis gasifier Sistem entrained flow merubah partikel tersuspensi dalam aliran oksigen (atau udara) dan panas menjadi gas. Abu bara yang meleleh pada pengoperasian temperature tinggi dari gasifier disisihkan sebagai liquid slag. Beberapa perusahaan menawarkan teknologi ini secara komersial dalam aplikasi skala besar, seperti Texaco, Shell, dan Koppers-Totzek. Gasifier tipe ini beroperasi pada tekanan hingga 35 bar dan menggunakan oksigen sebagai gasifier mediumnya. Gasifier system entrained ini tersedia dalam kapasitas yang lebih besar dibadingkan gasifier lain(>100Mwe), tetapi kebanyakan digunakan untuk bahan bakar fosil seperti batu bara, limbah pemurnian (refinery waste), dll. Penggunaan untuk gasifikasi biomassa masih terbatas karena system ini memerlukan partikel bahan bakar yang sangat halus (sekitar 80-100 mikron). Untuk fluidized bed gasifier, bahan bakar digasifikasi dalam suatu unggun (bed) partikel kecil yang terfluidisasi dengan medium gasifikasi yang sesuai seperti udara atau uap panas ( steam). Gasifier unggun terfluidisasi dibagi menjadi 2 jenis utama, yaitu Bubbling fluidized bed gasifier dan Circulating fluidized bed gasifiers. Dalam system gasifier fluidized bed, udara dan bahan
645
bakar bercampur dalam suatu lapisan oanas dari granular padar seperti pasir. Karena intensitas pengadukan gas dan padatan, zona yang berbeda-pengeringan, pirolisis, oksidasi, reduksi –tidak dibedakan secara nyata, tetapi temperature menjadi seragam di seluruh lapisan. Berbeda dengan gasifier ficxed bed, rasio udara:bahan bakar dapat berubah sehingga temperature lapisan dapat dikontrol dengan mudah. Salah satu kelebihan yang dimiliki gasifier fluidized bed disbanding tipe lain adalah abu yang dihasilkan tidak mudah leleh sehingga penyisihannya menjadi relative lebih sederhana. Dalam spouted bed, medium gasifikasi menembus lapisan dengan partikel yang relative kasar dengan kecepatan tinggi yang membawa padatan ke lapisan permukaan dimana akan dijatuhkan seperti kran. Padatan ini turun ke bawah bersama dengan medium seperti lapisan yang bergerak untuk dimasukkan kembali ke lapisan. Dalam fixed bed atau moving bed gasifier, medium gasifikasi dialirkan secara menerus dan mencapai kontak dengan lapisan tetap dari partikel bahan bakar padatan. Berdasarkan arah aliran dari medium gasifikasi sepanjang lapisan bahan bakar, tipe gasifier ini dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Updraft (medium mengalir ke atas), Downdraft (medium mengalir kebawah), Sidedraft (bahan bakar dimasukkan dari atas dan gas mengalir dari samping melewatinya). Suatu gasifier tipe fixed atau moving bed akan terbagi menjadi 2 zona, yaitu pembakaran dan gasifikasi pencampuran gas-solid. 3.6. Daur Ulang Sampah Daur ulang didefinisikan suatu proses mengumpulkan, memisahkan, melakukan proses, menjual material yang dapat dimanfaatkan kembali atau mengubah menjadi material baru. Dalam pengelolaan sampah terpadu daur ulang merupakan salah satu bagian penting yang ditunjukkan dengan hirarki sebagai berikut.
Gambar 3. 15 Hirarki pengelolaan sampah
646
Daur ulang adalah salah satu komponen dalam hirarki pengelolaan sampah. Konsep daur-ulang (recycle) mengandung pengertian pemanfaatan semaksimal mungkin residu melalui proses, baik sebagai bahan baku untuk produk sejenis seperti asalnya, atau sebagai bahan baku untuk produk yang berbeda, atau memanfaatkan enersi yang dihasilkan dari proses recycling tersebut (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). Mengubah bentuk dan sifat sampah melalui proses bio-fisikkimiawi menjadi produk baru (sampah basah diolah menjadi kompos, sampah plastik diolah menjadi pellet. Dalam sistem pengelolaan persampahan, upaya daur-ulang memang cukup menonjol, dan umumnya melibatkan sektor informal. Beberapa alasan mengapa daur-ulang mendapat perhatian [Damanhuri & Tri Padmi, 2010]: a. Alasan ketersediaan sumber daya alam: beberapa sumber daya alam bersifat dapat terbarukan dengan siklus yang sistematis, seperti siklus air. Yang lain termasuk dalam katagori tidak terbarukan, sehingga ketersediaannya di alam menjadi kendala utama. Berdasarkan hal itu, maka salah satu alasan daur-ulang adalah ketersediaan sumber-daya alam b. Alasan nilai ekonomi: limbah yang dihasilkan dari suatu kegiatan ternyata dapat bernilai ekonomi bila dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan tersebut dapat dalam bentuk pemanfaatan enersi, atau pemanfaatan bahan, baik sebagai bahan utama ataupun sebagai bahan pembantu c. Alasan lingkungan: alasan lain yang paling mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap lingkungan. Komponen limbah yang dibuang ke lingkungan dalam banyak hal mendatangkan dampak negatif pada lingkungan dengan pencemarannya. Pengolahan limbah akan menjadi kewajiban. Namun bila dalam upaya tersebut dapat pula dimanfaatkan nilai ekonomisnya, maka hal tersebut akan menjadi pilihan yang cukup menarik.
Keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan daur ulang dalam pengelolaan sampah antara lain: •
Menghemat penggunaan sumber daya alam, karena dengan adanya daur ulang secara langsung akan menghemat bahan baku dalam proses produksi.
•
Menghemat lahan TPA, karena akan mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA sehingga dapat memperpanjang masa pakai TPA.
•
Menghemat energi, karena dapat mempersingkat alur dalam proses produksi.
•
Menciptakan lapangan kerja, baik dalam proses pemilahan, pembuatan produk mapun penjualan.
•
Mengurangi biaya pengelolaan sampah, merupakan dampak langsung dari berkurangnya sampah yang diangkut ke TPA.
•
Meningkatkan kualitas lingkungan, karena dengan adanya daur ulang volume sampah semakin sedikit.
647
Program daur ulang dalam perencanaan dan pelaksanaan memerlukan beberapa tahap: a. Pengembangan rencana daur ulang. b. Penentuan kuantitas dan kualitas sampah yang dapat di daur ulang dan menentukan jenis bahan yang dapat di daur ulang. c. Rencana pelayanan ke berbagai sumber timbulan (perumahan, komersil dll). d. Merencanakan dan mempersiapkan fasilitas proses yang diperlukan. e. Mengembangkan pasar dari produk-produk daur ulang. Jenis sampah yang dapat di daur ulang sangat banyak dan dengan berbagai proses akan menjadi bahan baku untuk proses produksi, antara lain: Penggunaan langsung: kayu, drum, meubel, dsb Bahan baku untuk remanufakturing: logam aluminium, besi, kertas, karton, gelas, plastik, karet, dsb. Setiap bahan memerlukan spesifikasi yang ditentukan pembeli, seperti: tingkat kemurnian, densitas, model pengemasan Bahan baku untuk konversi biologik dan kimiawi: sampah organik untuk produksi kompos dan gas Bahan bakar: recovery energi panas menjadi listrik melalui proses pembakaran, melalui konversi sampah menjadi minyak, gas, pelet dsb. Reklamasi lahan: sampah konstruksi bangunan, kompos • •
•
•
•
Berdasarkan jenis sampah di atas dapat ditentukan secara spesifik proses pengolahan lanjutan yang akan dilakukan, seperti: a. Penggunaan langsung: masih dapat digunakan kembali, tingkat kebersihan (contoh: sepeda, meubel bekas) b. Bahan baku untuk remanufakturing: - Aluminium: ukuran partikel, tingkat kebersihan, kelembaban, densitas, jumlah, cara pengiriman, pembeli - Kertas & karton: sumber, grade, tidak ada majalah, tidak ada perekat, kelembaban, jumlah, cara penyimpanan, pembeli - Gelas: warna, tidak ada label, logam, & keramik, tingkat kebersihan, jumlah, cara penyimpanan, pembeli - Logam besi: sumber, densitas, tingkat kebersihan, tingkat kontaminasi dengan kaleng, aluminium, timbal, jumlah, cara pengiriman, pembeli - Logam non-besi: bervariasi menurut kebutuhan dan pasar - Tekstil: jenis bahan, tingkat kebersihan c. Bahan baku untuk biokonversi: •
648
Sampah kebun: komposisi, ukuran partikel, distribusi ukuran, tingkat kontaminasi
•
Sampah organik: komposisi, tingkat kontaminasi d. Bahan baku untuk bahan bakar:
•
Sampah kebun: komposisi, ukuran partikel, kadar air
•
Sampah organik: komposisi, nilai kalori, kelembaban, keterbatasan penyimpanan, jumlah, pemasaran dan distribusi produk energi
• Kayu: komposisi, tingkat kontaminasi. d. Reklamasi: •
3.7.
Sampah konstruksi: komposisi, tingkat kontaminasi, peraturan reklamasi yang berlaku, tata guna lahan Stasiun Peralihan Antara (SPA)
Didalam sistem penanganan sampah, SPA Skala Kawasan merupakan bagian dari kegiatan pengolahan antara dengan tujuan mereduksi volume sampah sebelum diangkut ke TPA dan atau TPST, dan atau pengguna akhir olahan sampah. Fungsi SPA antara lain sebagai tempat untuk proses reduksi volume, sebelum diangkut ke TPA dan atau TPST dan atau pengguna akhir olahan sampah. Selain itu SPA berfungsi untuk tempat pemindahan sampah dari kendaraan pengumpul kecil ke kendaraan pengangkut besar dan sebagai tempat pemindahan tanggung jawab penanganan sampah, dari pengumpul sampah ke penanggung jawab penanganan sampah. Terdapat beberapa manfaat yan g dapat diambil dari penggunaan SPA, antara lain mengurangi jumlah dan atau volume sampah terangkut ke TPA melalui proses pemadatan, salah satu upaya mengurangi biaya pengangkutan sampah ke TPA dengan adanya reduksi kebutuhan ritasi kendaraan angkut ke TPS dan atau TPST, atau ke lokasi pemrosesan akhir lainnya, memperpanjang Umur TPA dengan pola pemrosesan penimbunan (landfiling), sebagai solusi bagi Pemerintah Kota dan atau Kabupaten dalam menangani permasalahan kesulitasn lahan TPA di dalam kota, dan tingginya beban pengangkutan. Pengelola SPA Skala Kawasan dilakukan oleh Dinas atau Lembaga pengelola sampah lainnya di lingkungan pemerintahan Kota/Kabupaten.Dasar kebijakan pedoman pembangunan SPA Skala Kawasan diantaranya: 1. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 2. Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 3. Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 4. Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 5. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 6. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan 7. Undang-undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
649
8. Peraturan pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal 9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 200t tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kota/Kabupaten 10. Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur 11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2006, tentang kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan 12. SNI T-13-1990-F tentang tata cara pengelolaan teknik sampah perkotaan 13. SNI M-36-1991-03 tentang metoda pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah perkotaan 14. SNI S-04-1991-03 tentang spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang di Indonesia 15. SNI 03-3242-1994 tentang tata cara pengelolaan sampah di permukiman a. Persyaratan Umum Pe rencanaan Kabupaten/kota dapat merencanakan pembangunan SPA skala kawasan dengan syarat melakukan analisis kelayakan yang dapat membuktikan bahwa keberadaan SPA skala kawasan akan berdampak terhadap penurunan biaya pengangkutan ke TPA. Hasil analisis kelayakan ini akan menjadi dasar pertimbangan dalam pengembangan rencana detail. Syarat yang harus dipenuhi dalam analisis kelayakan adalah sebagai berikut : 1. Beban pelayanan di suatu kawasan telah mencapai 20 ton/hari. 2. Ritasi kendaraan angkut ke TPA, rata-rata hanya 1 rit per hari (disebabkan waktu operasi pengangkutan yang lama) 3. Jarak TPA dari pusat pelayanan ≥ 25 km 4. SPA skala kawasan harus dibangun pada lahan milik pemerintah 5. Biaya pengoperasian dan pemeliharaan SPA skala kawasan disyaratkan lebih kecil dari penyisihan biaya transportasi yang terjadi dikarenakan adanya SPA skala kawasan. Analisis kelayakan pembangunan SPA skala kawasan dapat digambarkan sebagai berikut :
650
Gambar 3. 16 Analisis kelayakan pembangunan SPA skala kawasan b. Skala Pelayanan SPA skala kawasan memiliki kriteria sebagai berikut : 1. Kapasitas 20 – 30 ton/hari 2. Cakupan pelayanan untuk 40.000 - 60.000 jiwa, atau 4 – 6 Kelurahan Tabel 3. 4 Cakupan pelayanan SPA skala kawasan No
Parameter Pelayanan
1
Kapasitas SPA Skala kawasan
2
Penduduk Terlayani
3
Rumah Terlayani
4
RT Terlayani
5
RW Terlayani
6
Kelurahan Terlayani
7
Radius Pelayanan
Satuan
Besaran Pelayanan
ton/hari
20-30
Jiwa
40.000-60.000
Rumah
8.000-12.000
RT
400-600
RW
40-60
Kelurahan
4-6
Km
1,1-1,4
Catatan : 1 Rumah = 5 Orang, 1 RT = 20 Rumah, 1 RW = 10 RT, 1 Kelurahan = 10 RW
651
c. Jenis Sampah yang Dilayani Sampah yang dapat ditangani di SPA skala kawasan adalah sampah sejenis sampah rumah tangga, diperbolehkan dalam kondisi tercampur dan atau residu olahan, sedangkan untuk sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) rumah tangga harus ditangani secara khusus. d. Kebutuhan Lahan Kebutuhan lahan SPA skala kawasan ditentukan berdasarkan : 1) Beban sampah tertangani di SPA 2) Proses penanganan sampah yang akan dioperasikan di SPA 3) Jenis/moda kendaraan pengumpul sampah yang masuk ke SPA 4) Jenis/moda kendaraan pengangkut sampah ke TPA 5) Sarana Prasarana yang ada di dalamnya Tabel 3. 5 Kebutuhan luas lahan SPA No
Uraian
1
Kapasitas
2
Minimal Kebutuhan Lahan
Satuan
Kriteria
ton/hari 2 m Ha
20-30 560 0,056
Catatan: - Lay out SPA skala kawasan dapat dilihat di Lampiran II - SPA Skala kawasan skala kawasan minimal 560 m2 (dengan panjang minimal 28 m) e. Pembangunan Sarana dan prasarana SPA skala kawasan terdiri dari : 1) Fasilitas Utama 2) Fasilitas Perlindungan Lingkungan 3) Fasilitas Pendukung f. Fasilitas Utama Fasilitas Utama terdiri atas : 1. Area transfer sampah masuk dan keluar dapat berupa ramp; 2. Unit pemilahan sampah; dan 3. Unit pereduksi volume sampah.
g. Fasilitas Perlindungan Lingkungan Terdiri atas : 1. Area Drainase
652
2. Area Penghijauan 3. Unit penanganan lindi Penanganan lindi di SPA skala kawasan, minimal dengan menyediakan bak penampung lindi. Volume bak disesuaikan dengan kapasitas pelayanan SPA skala kawasan atau jumlah lindi yang dihasilkan, selanjutnya lindi tersebut harus ditangani secara berkala melalui penyedotan dan dibawa/disiramkan ke sel penimbunan sampah di area TPA atau ke Instalasi Pengolahan Lindi (IPL). Jika luas lahan memungkinkan, dapat dibangun Instalasi Pengolahan Lindi di dalam area SPA skala kawasan dengan kriteria pengolahan lindi dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3. 6 Alternatif model pengolahan lindi di SPA skala kawasan No
Komponen
Alternatif 1
Alternatif 2
Alternatif 3
1
Sistem Pengolahan Air Lindi
Sederhana
Moderat
Lengkap
2
Laju Air Lindi
3
Beban Organik
5
Efisiensi penyisihan dan COD
Unit Proses
500-600 Lt/hari
•
Bawah permukaan • Bawah permukaan • Bawah permukaan : : Min 5 x 3 :Min 6,5 x 3 m Min 7,5 x 3 m Sebagai BOD : 2000 – 4000 mg/L Sebagai COD : 3000 – 8000 mg/L
BOD
•
80-85 %
Atas permukaan : Min 7 x 3 m
500-600 Lt/hari
Atas permukaan : Min 6,5 x 3 m
Kebutuhan Lahan
4
6
500-600 Lt/hari •
•
85-95 %
•
Bak penampungan/ pengendap awal
•
Bak penampungan/ pengendap awal
•
Biofilter Anaerob
•
•
Biofilter Aerob
•
Bak pengendapan akhir
Netralisasi dan penambahan nutrisi
•
Biofilter Anaerob
•
Biofilter Aerob
•
Bak pengendapan akhir
•
Filtrasi pasir/karbon aktif
Atas permukaan : Min 8,5 x 3 m
90-98 % •
Bak penampungan/ pengendap awal
•
Netralisasi dan penambahan nutrisi
•
Biofilter Anaerob
•
Biofilter Aerob
•
Bak pengendapan 1
•
Koagulasi-flokulasisedimentasi
•
Filtrasi pasir/karbon aktif
Sumber : Perencanaan Teknologi Pengolahan Lindi Skala Kecil, PT Prakarindo Buana, 2012
653
h. Fasilitas Pendukung Fasilitas pendukung dalam SPA terdiri atas : 1. Unit pencatatan data sampah masuk dan keluar 2. Pos jaga 3. Kantor pengelola 4. Area parkir 5. Rambu-rambu keselamatan 6. Pintu masuk 7. Pagar keliling 8. Papan nama 9. Instalasi air bersih 10.Toilet 11.Truk pengangkut sampah hasil pemadatan (disyaratkan berupa truk tertutup) 12.Gudang B3 rumah tangga Ukuran dan atau dimensi fasilitas pendukung dapat dilihat sebagai berikut : Kebutuhan Lahan SPA Skala Kawasan Untuk Kapasitas 20 – 30 Ton/Hari 1 Pos jaga = 2 Kantor Pengelola = 3 Toilet = 4 Ruang Pemadat = 5 Ruang Pemilahan = 6 Ruang Genset = 7 Gudang B3 =
4 m2 9 m2 3 m2 70 m2 21 m2 20 m2 2 7m 2
8 Bak Penampung Lindi 9 Area Parkir 10 Ramp untuk sampah masuk 11 Ramp untuk sampah keluar 12 Drainase 13 Area hijau dan lainnya Total Luas
654
= = = = = = =
10 m 117.5 m2 50 m2 8.5 m2 48 m2 192 m2 560 m2
Gambar 3. 17 Contoh denah SPA skala kawasan
Gambar 3. 18 Contoh tampak samping SPA skala kawasan i. Mekanisme Penanganan Sampah di SPA Tenaga Kerja Mekanisme penanganan sampah di SPA terdiri atas 5 (lima) tahapan proses: 1) Pencatatan 2) Transfer sampah masuk SPA 3) Proses reduksi volume 4) Proses transfer sampah keluar 5) Pemrosesan akhir
655
Mekanisme penanganan sampah dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3. 19 Mekanisme penanganan sampah di SPA skala kawasan
1) Pencatatan Jenis Pencatatan data meliputi pencatatan harian dan bulanan. a. Pencatatan Harian, meliputi pencatatan data sampah masuk dan keluar SPA. Pencatatan data sampah masuk ke SPA meliputi : - Jenis kendaraan pengumpul, - Nomor Kendaraan, - Sumber sampah, - Berat atau volume sampah masuk (ton atau m3). Pencatatan data sampah keluar dari SPA meliputi : - Berat atau volume sampah terangkut (ton atau m3), - Ritasi pengangkutan b. Pencatatan Bulanan, meliputi :
656
Pencatat harian harus dilaporkan menjadi pencatatan bulanan dengan item pencatatan sebagai berikut : 3 Berat atau volume sampah masuk SPA per bulan (ton atau m ) Rekapitulasi bulanan jumlah kendaraan pengumpul per jenis 3 Sampah terangkut perbulan (ton atau m ) Rekapitulasi bulanan jumlah kendaraan pengangkut (per jenis). 2) Transfer sampah masuk SPA Sampah masuk ke dalam SPA skala kawasan dengan kriteria sebagai berikut : Kendaraan pengumpul berupa : - Gerobak
- Motor sampah - Becak sampah - Mobil pick-up
Sistem transfer sampah masuk dilengkapi dengan ramp
3) Proses Reduksi Volume Proses reduksi volume di SPA skala kawasan dilakukan dengan metoda pemadatan. Sebelum proses pemadatan, disyaratkan dilakukan proses pemilahan sampah potensi daur ulang. a. Pemilahan Pemilahan sampah di SPA skala kawasan bertujuan melakukan pengambilan kembali sampah potensi daur ulang dari sampah yang masuk. Teknik pemilahan di SPA skala kawasan dapat dilakukan dengan 2 cara : pemilahan dilakukan tanpa bantuan peralatan mekanik. Disyaratkan harus Manual, disediakan area pembongkaran sampah dan area pemilahan yang ditempatkan sebelum pemadatan. dengan kriteria sebagai Mekanis, pemilahan dilakukan dengan bantuan conveyor belt, berikut: - Kapasitas conveyor belt (15-25) m3/jam - Penggerak : Motor Listrik/ Diesel, dengan daya 5-10 Hp. - Kecepatan minimal conveyor belt 0,3-0,4 km/jam - Lebar efektif conveyor belt minimal 60 cm - Tinggi conveyor belt (70-80) cm, dari lantai (kerja pemulung berdiri) - Tinggi sampah diatas conveyor belt 10 cm - Panjang conveyor belt minimal 6-10 m, dengan jumlah pemulung di setiap sisi minimal 5 orang - Diperlukan Unit input sampah ke conveyor, yang dapat berupa bak yang ditempatkan sebelum conveyor.
657
Pada proses pemilahan, pemisahan sampah B3 RT harus dilakukan dengan seksama, sehingga tidak ada lagi sampah B3 RT yang masuk ke dalam Unit Pemadatan. Sampah B3 RT, dipisahkan dan disimpan secara terpisah dalam sebuah kontainer khusus sampah B3 RT dan disimpan sementara dalam gudang B3 RT. Selanjutnya pemusnahan sampah B3 RT dilakukan bekerjasama dengan lembaga pengelola sampah B3 yang telah ditunjuk. b. Pemadatan Pemadatan sampah di SPA skala kawasan bertujuan meningkatkan densitas sampah dengan cara memberikan tekanan tertentu terhadap suatu besaran volume sampah sehingga volume sampah berkurang. Kriteria teknis pemadatan adalah sebagai berikut : Rasio pemadatan 4 : 1 Metoda pemadatan vertikal satu arah 4) Transfer sampah keluar Setelah dipadatkan sampah dipindahkan ke dalam kendaraan pengangkut. Kriteria kendaraan pengangkut adalah sebagai berikut : Kapasitas minimal 5 ton Kontainer tertutup 5) Pemrosesan akhir Pemrosesan akhir sampah terpadatkan dari SPA dapat dilakukan dengan cara : Penimbunan di TPA dengan syarat tidak dilakukan pembongkaran kembali terhadap sampah terpadatkan.
Pemrosesan lebih lanjut di TPST.
j. Tenaga Kerja 1) Kebutuhan Tenaga kerja Tenaga kerja SPA skala kawasan minimal dioperasikan oleh 3 orang operator (1 orang sebagai penanggung jawab pengaturan pemadatan, 2 orang sebagai operator pengoperasian pereduksi volume dan IPL).
Tabel 3. 7 Kebutuhan tenaga kerja SPA skala kawasan No 1 2
658
Posisi Kepala SPA skala kawasan Operator pengoperasian Total
Satuan Orang Orang Orang
Jumlah 1 2 3
2) Tugas dan Tanggung Jawab •
Kepala SPA : Bertanggung jawab atas kinerja SPA skala kawasan beserta seluruh sarana prasarana yang ada serta merekapitulasi dan menyimpan data pelayanan SPA skala kawasan
•
Operator pengoperasian : mengoperasikan seluruh sarana utama dan IPL yang ada di SPA skala kawasan serta pemeliharaannya setiap hari (termasuk penanganan lindi di SPA skala kawasan)
3) Kriteria Tenaga Kerja Penanggung jawab dan operator SPA skala kawasan adalah tenaga kerja terlatih dan bersertifikasi training pengoprasian dan pemeliharaan mesin. k. Waktu Operasi 1. SPA skala kawasan dioperasikan 7-8 Jam (pagi hingga sore hari) 2. Sampah organik tidak boleh berada di SPA skala kawasan lebih dari 24 jam
l. Rekapitulasi Pedoman Teknis Pembangunan SPA Skala Kawasan
Tabel 3. 8 Rekapitulasi pedoman teknis pembangunan SPA skala kawasan No
Fasilitas
1 2
Kapasitas Jenis Tertangani
3 4
Kebutuhan Lahan Mekanisme Penanganan Sampah di SPA
Sampah
Kebutuhan 20-30 ton/hari sampah sejenis sampah rumah tangga kondisi tercampur sampah sejenis sampah rumah tangga berupa residu olahan B3 Rumah Tangga harus ditangani secara khusus. 560 m2 Pencatatan - Pencatatan harian - Pencatatan bulanan Transfer sampah masuk - Kendaraan Pengumpul : Gerobak Motor sampah Becak sampah Mobil pick-up - Transfer masuk dilengkapi RAMP Proses Reduksi Volume - Pemilahan : Manual Mekanis : Conveyor Belt
659
No
Fasilitas
Kebutuhan
5 6
Kebutuhan Tenaga Kerja Fasilitas Utama
Fasilitas Perlindungan Lingkungan
8
Fasilitas Pendukung
Pemadatan Transfer sampah keluar - Kendaraan pengangkut Kapasitas minimal 5 ton Kontainer tertutup Pemrosesan akhir
3 Orang
7
-
Area transfer sampah masuk dan keluar (dapat berupa Ramp) Unit pemilahan sampah Unit pereduksi volume sampah Drainase Area SPA Skala kawasan Penghijauan Unit penanganan lindi Unit pencatatan data sampah masuk dan keluar Pos Jaga Kantor Pengelola Area parkir Rambu-rambu keselamatan Pintu masuk Pagar keliling Papan nama Instalasi air bersih Toilet Truk pengangkut sampah hasil pemadatan (disyaratkan berupa truk tertutup)
9 10
Biaya Investasi Biaya OP per ton
Kontainer B3 rumah tangga Rp 2,000,000,000.00 – 3,000,000,000.00 Rp 18,638.97
3.8. Tempat Pengolahan Sampah Ter padu (TPST)/IPST a. Definisi dan Pertimbangan Teknis TPST atau Material Recovery Facility (MRF) didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pemisahan dan pengolahan sampah secara terpusat. Kegiatan pokok di TPST adalah: 1. pengolahan lebih lanjut sampah yang telah dipilah di sumbernya 2. pemisahan & pengolahan langsung komponen sampah kota 3. peningkatan mutu produk recovery/recycling
660
Sehingga fungsi TPST adalah sebagai tempat berlangsungnya pemisahan, pencucian/pembersihan, pengemasan, dan pengiriman produk daur ulang sampah. Pertimbangan teknis adanya TPST adalah : 1. Penetapan definisi dan fungsi TPST. 2. Penentuan komponen sampah yang akan diolah untuk saat sekarang dan masa mendatang. 3. Identifikasi spesifikasi produk. 4. Pengembangan diagram alir proses pengolahan. 5. Penentuan laju beban pengolahan. 6. Penentuan lay-out dan disain. 7. Penentuan peralatan yang digunakan. 8. Penentuan upaya pengendalian kualitas lingkungan. 9. Penentuan pertimbangan-pertimbangan estetika. 10.Penentuan adaptabilitas peralatan terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi.
b. Rancangan TPST TPST sebagai tempat daur ulang sampah, memerlukan fasilitas berdasarkan komponen sampah yang masuk dan yang akan dikelola. Secara umum dibedakan atas: 1. Fasilitas pre-processing, merupakan tahap awal pemisahan sampah, mengetahui jenis sampah yang masuk, meliputi proses-proses sebagai berikut: 1) Penimbangan, mengetahui jumlah sampah yang masuk 2) Penerimaan dan penyimpanan, menentukan area untuk mengantisipasi jika sampah yang terolah tidak secepat sampah yang datang ke lokasi. 2. Fasilitas pemilahan, bisa secara manual maupun mekanis. Secara manual akan membutuhkan area dan tenaga kerja untuk melakukan pemilahan dengan cepat, sedangkan secara mekanis akan mempermudah proses pemilahan dan menghemat waktu. Peralatan mekanis yang digunakan antara lain: 1) Alat untuk memisahkan berdasarkan ukuran: reciprocating screen, trommel screen, disc screen. 2) Alat untuk memisahkan berdasarkan berat jenis : air classifier, pemisahan inersi, dan flotation. 3. Fasilitas pengolahan sampah secara fisik, setelah dipilah sampah akan ditangani menurut jenis dan ukuran material tersebut. Peralatan yang digunakan antara lain : hammer mill dan shear shredder. 4. Fasilitas pengolahan yang lain seperti komposting, ataupun RDF.
661
Gambar 3. 20 ontoh salah satu model pengolahan sampah di TPST Faktor-faktor yang menentuk n fungsi dari TPST adalah : 1. Peranan TPST dalam pen elolaan sampah. 2. Jenis komponen yang diolah. 3. Bentuk sampah yang diser ahkan ke TPST. 4. Pengemasan dan penyimp nan produk. Pada tabel berikut dapat dilih at contoh bahan yang dapat di daur ulang di TP T, proses operasi dan kebutuhan peralatan. Tabel 3. 9 Conto bahan, operasi, serta kebutuhan peralatan dalam TPST Bahan Kertas dan Karton
Plastik campuran
Gelas campuran
662
Operasi
Kebutu an Peralatan
Pemisah secara manual kertas yang berkualitas tinggi dan karton, baling Pemisahan manual PETE & HDPE, baling, penyimpanan
Front end oader, conveyor, baler, forkli t
Pemisah manual gelas warna hijau, bening, dan warna lain penyimpanan
Area peneri maan, conveyor, kontainer un tuk penyimpanan, baler, forklift Area peneri maan, conveyor, penghancur gelas, kontaoner untuk pen impanan, baler, forklift
c. Proses Pengolahan Sampah Pengolahan sampah ditujukan untuk mengurangi volume sampah dan/atau mengurangi daya cemar sampah. Proses pengolahan sampah dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Proses pengolahan sampah secara fisik Umumnya ditujukan sebagai proses pendahuluan dari sebuah rangkaian proses pengolahan sampah. Berbagai jenis proses untuk pengolahan sampah secara fisik adalah: •
Proses pencacahan. Proses ini ditujukan untuk memperkecil ukuran partikel sampah dan memperluas bidang permukaan sentuh sampah. Proses pencacahan dapat mereduksi volume hingga mencapai 3 kali lipat atau densitas sampah akan meningkat 3 kali lipat melalui proses ini. Kebutuhan energi untuk proses ini mencapai 3 MJ/ton sampah. Proses ini dapat dikatakan menjadi proses wajib sebelum sampah diolah lebih lanjut dengan proses kimia-termal atau biologi, karena reduksi ukuran partikel akan selalu meningkatkan kinerja proses lanjut yang akan dipilih.
•
Proses pemilahan berdasarkan nilai massa jenis/densitas (secara gravitasi). Merupakan proses yang bertujuan untuk memilah berbagai jenis sampah berdasarkan densitasnya, yang umumnya dilakukan untuk sampah plastik. Proses ini dapat dilakukan melalui proses peniupan (dengan menggunakan semburan udara pada laju alir tertentu) atau menggunakan proses sentrifugasi (dengan mengalirkan sampah plastik pada aliran berbentuk heliks, sehingga sampah plastik dengan densitas tertentu dapat terpisahkan).
•
Proses pemilahan berdasarkan nilai magnetik. Umumnya dilakukan untuk pemilahan sampah logam, dengan mengikat logam pada magnet berukuran besar, yang dapat berupa magnet permanen atau magnet tidak permanen (elektromagnetik). Dengan proses ini, maka sampah logam yang bersifat ferromagnetik dan non-ferromagnetik dapat dipisahkan.
•
Proses pemilahan berdasarkan nilai adsorbansi/transmitansi (secara optik). Merupakan proses yang bertujuan untuk memilah sampah gelas, berdasarkan perbedaan nilai transmitansi gelombang cahaya yang diarahkan. Sebuah hamparan cahaya dengan panjang gelombang tertentu diemisikan kepada sampah gelas yang akan dipilah. Gelombang cahaya tersebut akan direfleksikan kembali oleh sampah gelas dan ditangkap oleh sebuah sensor. Sensor akan menentukan tingkat refleksi gelombang yang dihasilkan dan diterjemahkan oleh suatu program komputasi untuk penentuan jenis sampah gelas, yang akan dilanjutkan dengan proses pemilahan sesuai dengan yang diprogramkan.
663
2. Proses pengolahan sampah secara biologi Proses ini banyak dipilih karena dianggap lebih berwawasan lingkungan dan menimbulkan dampak lingkungan yang relatif lebih kecil. Sebagai suatu proses yang memanfaatkan mikroorganisme/bioproses, maka proses ini bercirikan kepada sistem kontrol yang lebih rumit dan waktu detensi yang panjang. Proses pengolahan secara biologis terdiri dari: a. Proses anaerobik. Merupakan proses oksidasi parsial untuk mereduksi volume dan daya cemar sampah dengan bantuan mikroorganisme anaerobik dalam kondisi ketiadaan oksigen (udara). Proses oksidasi parsial ini akan mengunci nilai kalor pada senyawa produk dari proses tersebut, di antaranya gas hidrogen (H2), gas metana (CH4), etanol (C2H5OH), isopropanol (C3H7OH), dan butanol (C4H9OH). Hingga saat ini, aplikasi untuk proses anaerobik lebih banyak ditujukan untuk menghasilkan gas metana, karena ketersediaan mikroorganisme penghasil gas metana, Methanogens, yang lebih berlimpah di alam, dapat bersimbiosis dengan mikroorganisme lain (tidak membutuhkan kultur murni), dan relatif tahan terhadap perubahan kondisi reaktor. Proses pembentukan gas metana diawali dengan proses hidrolisis (konversi senyawa polisakarida menjadi senyawa monosakarida), asidogenesis (konversi senyawa monosakarida menjadi senyawa asam lemak volatil dan gas hidrogen), dan metanogenesis (konversi senyawa asam lemak volatil dan gas hidrogen menjadi gas metana dan gas karbon dioksida). Proses ini cukup banyak diterapkan, khususnya untuk sampah yang memiliki nilai Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi. Nilai COD yang sudah tereduksi dalam proses ini, masih dapat direduksi dengan lebih cepat lagi dengan proses aerobik. 1 kilogram (berat kering) sampah organik dapat menghasilkan hingga 130 liter gas metana atau sekitar 260 liter gas bio, dengan kadar volume gas metana sebesar 50-60 %. Nilai kalor (netto) yang dapat dibangkitkan dari gas bio adalah 1,25 kWh/m 3 gas bio. Proses dapat dilakukan dengan menggunakan reaktor yang dioperasikan secara manual (tenaga manusia) maupun secara mekanik (alat berat). Selain menghasilkan gas bio, proses ini juga akan menghasilkan kompos padat dan kompos cair, dengan waktu detensi 3-10 minggu dan reduksi volume mencapai 30-50 %. Modifikasi dari proses ini di antaranya adalah dengan proses tunggal (dimana proses hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis terjadi dalam satu tangki) dan proses ganda (dimana proses hidrolisis dan asidogenesis terjadi dalam satu tangki, sementara proses metanogenesis terjadi pada tangki terpisah). Untuk meningkatkan kinerja proses, kadar air sampah juga dapat dijaga/ditingkatkan dengan meresirkulasi air lindi yang telah terbentuk ke dalam sampah organik yang diolah.
664
b.
Proses aerobik. Merupakan proses oksidasi parsial untuk mereduksi volume dan daya cemar sampah dengan bantuan mikroorganisme aerobik dalam kondisi keberadaan oksigen (udara). Proses oksidasi parsial ini memiliki nilai oksidasi yang lebih tinggi ketimbang proses anaerobik, meskipun masih akan dihasilkan kompos padat dan kompos cair (tanpa produksi gas bio). Rangkaian proses ini diawali dengan proses hidrolisis (konversi senyawa polisakarida menjadi senyawa monosakarida) dan dilanjutkan dengan proses konversi senyawa monosakarida menjadi gas karbon dioksida. Proses aerobik ini akan mengubah sampah organik menjadi kompos padat, kompos cair, dan gas karbon dioksida, dengan menggunakan oksigen sebagai oksidatornya, serta waktu detensi 3-8 minggu. Reduksi volume yang dapat dihasilkan dalam proses ini mencapai 40-60 %. Proses dapat dilakukan dengan aerasi alami ( windrow composting) maupun aerasi dipaksakan ( forced aeration).
3. Proses pengolahan sampah secara kimia-termal Proses pengolahan ini bertujuan untuk mereduksi volume sampah dan daya cemar sampah, dengan tingkat oksidasi yang lebih tinggi ketimbang proses fisika dan proses biologi. Umumnya dilakukan dengan eskalasi temperatur, sehingga kandungan air pada sampah akan berkurang (menguap) dan akhirnya mengalami proses pembakaran. Berdasarkan tingkat oksidasinya, pengolahan secara termal terdiri dari: •
Proses pengeringan. Proses ini ditujukan untuk mereduksi volume dan daya cemar sampah melalui penguapan air yang terkandung dalam sampah. Umumnya diawali dengan proses pencacahan untuk meningkatkan kinerja penguapan, dengan temperatur kerja 105-120 o C dan waktu tinggal 1-2 jam. Proses ini akan menghasilkan sampah dengan volume yang tereduksi (hingga mencapai 20 % volume sebagai residu padat akhir). Sampah yang telah mengalami reduksi volume tersebut, juga akan mengalami reduksi kadar air dan peningkatan nilai kalor sampah, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif berbentuk padat. Untuk penyeragaman bentuk dan ukuran, seringkali residu tersebut dibuat menjadi briket (Refuse Derived Fuel/RDF).
•
Proses pirolisis. Proses ini ditujukan untuk mereduksi volume (hingga mencapai 30 % volume sebagai residu padat akhir) dan daya cemar sampah melalui penguapan air dan senyawa volatil yang terkandung dalam sampah, tanpa kehadiran oksigen sebagai oksidator. Umumnya diawali dengan proses pencacahan untuk meningkatkan kinerja penguapan air dan o senyawa volatil, dengan temperatur kerja 200-550 C dan waktu tinggal 0,5-2 jam.
665
Sebagai suatu proses oksidasi parsial, proses ini akan menghasilkan senyawa yang memiliki nilai kalor dalam wujud padat/ char, wujud cair/tar, dan wujud gas/syngas (karbon dioksida, karbon monoksida, hidrogen, dan hidrokarbon ringan). •
Proses gasifikasi. Proses ini ditujukan untuk mereduksi volume (hingga mencapai 20 % volume sebagai residu padat akhir) dan daya cemar sampah melalui penguapan air dan senyawa volatil yang terkandung dalam sampah, dengan kehadiran oksigen terbatas (substoikiometrik) sebagai oksidator. Umumnya diawali dengan proses pencacahan untuk meningkatkan kinerja penguapan air dan senyawa volatil, dengan temperatur kerja 700-1.000 oC dan waktu tinggal 0,5-1 jam. Sebagai suatu proses oksidasi parsial (namun memiliki tingkat oksidasi lebih tinggi ketimbang proses pirolisis), maka proses ini akan menghasilkan senyawa berwujud gas yang memiliki nilai kalor/ syngas (karbon dioksida, karbon monoksida, dan hidrogen).
•
Proses insinerasi. Proses ini ditujukan untuk mereduksi volume (hingga mencapai 10 % volume sebagai residu padat akhir) dan daya cemar sampah melalui penguapan air dan senyawa volatil yang terkandung dalam sampah, dengan kehadiran oksigen berlebih (superstoikiometrik) sebagai oksidator. Umumnya diawali dengan proses pencacahan untuk meningkatkan kinerja penguapan air dan senyawa volatil, dengan temperatur kerja 700-1.200 oC dan waktu tinggal 0,5-1 jam. Sebagai suatu proses oksidasi yang relatif sempurna, maka akan dihasilkan gas yang tidak memiliki nilai kalor, berupa gas karbon dioksida, belerang di/tri oksida, nitrogen mono/di oksida, serta abu yang relatif bersifat stabil/ inert.
•
Proses plasma-gasifikasi. Proses ini ditujukan untuk mereduksi volume (hingga mencapai 5 % volume sebagai residu padat akhir) sampah melalui penguapan air dan senyawa volatil yang terkandung dalam sampah, dengan kehadiran oksigen terbatas (substoikiometrik) sebagai oksidator, serta disempurnakan dengan tekanan udara tinggi (dimampatkan) dan tegangan listik/voltase tinggi. Proses ini akan menghasilkan plasma yang berwarna kebiruunguan. Umumnya diawali dengan proses pencacahan untuk meningkatkan kinerja penguapan air dan senyawa volatil, dengan temperatur kerja 2.000-14.000 oC dan waktu tinggal 0,5-1 jam. Sebagai suatu proses oksidasi parsial (namun memiliki tingkat oksidasi lebih tinggi ketimbang proses pirolisis, gasifikasi, dan insinerasi), maka proses ini akan menghasilkan senyawa berwujud gas yang memiliki nilai kalor/syngas (karbon dioksida, karbon monoksida, dan hidrogen) dengan kemurnian sangat tinggi dan abu yang sangat stabil.
666
Selain keuntungan ada beberapa masalah yang harus diperhatikan dalam penerapan TPST yaitu: 1. Lokasi TPST Lokasi sebaiknya jauh dari permukiman penduduk dan industri, dengan pertimbangan TPST akan mendapatkan daerah penyangga yang baik dan mampu melindungi fasilitas yang ada. Tetapi tidak menutup kemungkinan lokasi dekat dengan permukiman atau industri, hanya saja dibutuhkan pengawasan terhadap pengoperasian TPST sehingga dapat diterima dilingkungan. 2. Emisi ke lingkungan TPST yang akan dioperasikan harus melihat kemampuan lingkungan dalam menerima dampak yang ditimbulkan dari adanya fasilitas TPST, misalnya : kebisingan, bau, pencemaran udara, estetika yang buruk dan lain-lain. Pendekatan desain yang terbaik adalah merencanakan dengan baik penentuan lokasi TPST, menerapkan sistem bersih lokasi dan pengoperasian yang ramah lingkungan. 3. Kesehatan dan kemanan masyarakat Kesehatan dan keamanan masyarakat secara umum sangat terkait denganproses yang ada di dalam TPST. Jika proses di TPST direncanakan dandilaksanakan dengan baik, maka dampak negatif yang akan ditimbulkan pada masyarakat dapat diminimalkan. 4. Kesehatan dan keselamatan pekerja Pengoperasian TPST juga menimbulkan resiko terhadap para pekerja, seperti kemungkinan adanya paparan dari bahan-bahan toksik yang masuk ke lokasi TPST, sehingga pekerja harus dilengkapi peralatan safety pribadi. Contoh peralatan tersebut pakaian yang aman, sepatu boot, sarung tangan, masker dan lain-lain. d. Perancangan TPST Langkah- langkah untuk merencanakan TPST. yaitu: 1. Analisis Keseimbangan Material (material balance analysis) mengetahui jumlah sampah yang masuk kelokasi pengolahan termasuk komposisi dan karakteristik sampah. Langkah ini bertujuan untuk membuat material balance guna mengetahui proses pengolahan yang akan dilakukan serta berapa produk yang di hasilkan dan residu yang dihasilkan. Langkah ini juga merupakan langkah awal untuk menentukan prakiraan luas lahan serta kebutuhan peralatan bagi sitem di TPST. 2. Identifiksi seluruh kemungkinan pemanfaatan material mengetahui karakteristik sampah dan pemanfaatannya untuk bisa mengembangkan diagram alir proses pemanfaatan material balance. 3. Perhitungan akumulasi sampah Menentukan dan menghitung jumlah akumulasi dari sampah, berapa sampah yang akan di tangani TPST dan laju akumulasi dengan penetapan waktu pengoperasian dari TPST. 4. Perhitungan material loading rate perhitungan jumlah pekerja dan alat yang akan dibutuhkan serta jam kerja dan waktu
667
pengoperasian dari peralatan yang digunakan di dalam TPST 5. Layout dan desain Tata letak di dalam lokasi TPST agar mempermudah pelaksanaan pekerjaan. Beberapa parameter yang harus dipertimbangkan dalam menentukan luas TPST, antara lain adalah : 1. Kapasitas pengolahan, dihitung berdasarkan kebutuhan luas lahan yang diperlukan untuk sorting dan kebutuhan luas penimbunan setiap 1 m3 bahan terpilah dengan memperhitungkan maksimum waktu penyimpanan 2. Ruang Pengkomposan Sampah organik yang diterima depo daur ulang sampah kemudian mengalami proses pemilahan oleh petugas sebelum di komposkan, dicacah kemudian ditumpuk untuk proses pengomposan. Luasan untuk pengkomposan tergantung pada metode pengkomposan yang digunakan, apakah dengan proses aerobik atau proses anaerobik/fakultatif. 3. Bangunan Pelengkap Untuk penyimpanan material daur ulang yang telah terpilah disediakan gudang penyimpanan dengan ukuran 3x3 m. Sedangkan rumah jaga untuk petugas pengoperasian TPST adalah 4x6 m. Contoh rancangan TPST : Fasilitas daur ulang sampah direncanakan pada lokasi depo yang memiliki luas • < 400 m2, sedangkan depo dengan luas > 400 m2 digunakan untuk fasilitas komposting. Pemilihan lokasi juga memperhatikan jumlah depo masing-masing kelurahan. •
•
•
TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu: tempat kontainer, tempat pemilahan dan tempat penyimpanan. Kontainer hanya digunakan untuk pengumpulan residu yang akan dibuang ke TPA. Satu TPS dirancang hanya membutuhkan satu kontainer. Jenis kontainer untuk masing-masing TPS direncanakan seperti yang tercantum dalam Tabel 3.10. Luas lahan yang diperlukan untuk meletakkan kontainer dapat dilihat pada Tabel 3.11. Kapasitas pengolahan dihitung berdasarkan kebutuhan lahan yang diperlukan untuk sorting (pemilahan) dan penimbunan tiap 1 m3 sampah.
668
Tabel 3. 10 Luas TPS dan volume kontainer yang digunakan Luas Lahan TPS 2 (m ) 50 100
Dimensi Lahan (m x m) 5 x 10 10 x 10
Volume Kontainer yang Digunakan 3 (m ) 8 8
200 300
10 x 20 10 x 30
14 14
400 500
15 x 27 15 x 34
14 14
1000
15 x 67
14
Tabel 3. 11 Luas lahan untuk kontainer
2
Luas Lahan TPS (m ) 50 100 200 300 400 500 1000
Dimensi/Ukuran Kontainer (m x m) 4 x5 4 x 10 8 x 10 8 x 10 8 x 15 8 x 15 8 x 15
3
Luas Lahan untuk Kontainer (m ) 20 40 80 80 120 120 120
Perhitungan Luas Tempat Sorting (Pemilahan) Tinggi maksimum timbulan sampah pada bak pemilah = 0.3 m Lebar bak pemilah = 2 m; Untuk mempermudah pemisahan sampah oleh pekerja. Pekerja bekerja pada kedua sisi meja sorting (pemilahan). 3 Dalam 1 m sampah daur ulang diperlukan luas tempat sorting (pemilahan): Lebar =2m Tinggi = 0.3 m Panjang = 1.7 m Luas area = luas tempat sorting (pemilahan) + luas jarak antara = 3.4 + 9.18 = 12.58 m2
669
Apabila diperkirakan waktu yang diperlukan untuk memilah sampah dengan volume 1 m3 dengan 2 orang pekerja selama 30 menit, maka untuk 7 jam kerja dapat dipilah sampah sebesar 14 m3 sampah. Perhitungan Luas Penimbunan Bahan Terpilah Volume bahan terpilah tiap 1 m3 sampah input, didapat : Kertas = 0.29071 m3 Logam = 0.00616 m3 3 Plastik = 0.17425 m 3 Kaca = 0.00089 m 3 Residu ke TPA = 0.52858 m Dari neraca massa di atas, dihitung luas lahan yang diperlukan untuk tiap komponen terpilah. Dengan waktu penyimpanan maksimum 1 hari atau 7 jam kerja, maka volume bak penimbunan yang dibutuhkan : Tabel 3. 12 Dimensi bak penimbunan
Material
Volume 3 (m )
Dimensi bak (m)
Kertas Logam Plastik
4.06994 0.086 2.439
1.5x0.8x0.5 1.5x0.5x0.5 1.5x0.8x0.5
Frek. Pengambilan (kali/hari) 8 1 4
Kaca Residu ke TPA
0.0124 7.4
0.2x0.5x0.5 1.5x0.8x0.5
1 12
Bangunan Pelengkap Untuk penyimpanan material daur ulang yang telah terpilah disediakan gudang penyimpanan dengan ukuran 3 meter x 3 meter. Sedangkan rumah jaga untuk petugas pengoperasian TPST dengan ukuran 4 meter x 6 meter. Pengomposan Sampah organik yang diterima oleh Depo Daur Ulang Sampah kemudian mengalami proses pemilahan oleh petugas sebelum dikomposkan. Sampah yang mudah dikomposkan, dicacah, kemudian ditumpuk untuk proses pengomposan. Ada beberapa alternatif pengomposan yang dapat dilakukan, yaitu : a. Proses Aerobik
670
− Sampah ditumpuk di atas para-para. Sampah perlu dibalik pada perioda waktu tertentu, untuk memastikan pemberian oksigen pada sampah cukup merata. Lama pengomposan sampah dengan cara ini ± 60 hari. Cara ini telah dilakukan di UPDK Bratang. − Untuk mempercepat waktu pengomposan, mengingat keterbatasan lahan, maka pemberian oksigen dapat dilakukan dengan cara memberi oksigen ke dalam tumpukan sampah. Tetapi sebagai konsekwensinya, perlu energi tambahan untuk proses pemberian (suplay) oksigen. − Sampah dimasukkan ke dalam tong berlubang yang dapat diputar. Kapasitas tong tidak lebih 3 dari 1 m , karena jika terlalu besar, sampah tidak dapat tercampur pada saat diputar. b. Proses Anaerobik/Fakultatif Sampah yang telah dicacah dimasukkan ke dalam bak sampah tertutup. Sampah dicampur dengan biofermentor. Lindi yang diperoleh dari hasil pengomposan juga sudah mengandung mikroba, sehingga dapat dimanfaatkan kembali pada proses pengomposan selanjutnya. Jika lama pengomposan yang diperlukan ± 30 hari, maka diperlukan 30 unit bak-bak dengan volume bak sampah sesuai dengan kapasitas pengolahan setiap hari. Atau bak dapat dirancang untuk menerima sampah selama 5 hari, maka jumlah bak sampah yang diperlukan menjadi 6 unit. Penggunaan cara ini, dapat mengurangi kebutuhan luas lahan, karena bak dapat dibangun ke atas. Contoh Soal : Daur Ulang di TPS Model Desain Fasilitas Komposting, rencana desainnya adalah : 1. TPS dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu tempat kontainer, tempat proses awal dan lahan pematangan. 2. Kontainer hanya digunakan untuk pengumpulan residu yang akan dibuang ke TPA. 3. Dilakukan pemilahan awal secara manual untuk bahan yang tidak dapat dikomposkan. 4. Dilakukan pencacahan bahan hingga mencapai ukuran 2 cm. 5.
Sistem komposting terpilih adalah:
Alternatif 1 : Secara anaerobik fakultatif, dengan penambahan inokulum EM 4. Waktu proses komposting selama 30 hari. Alternatif 2 : Secara aerobic, windrow komposting terbuka, dengan penambahan inokulum EM 4. Waktu proses komposting selama 30 hari. Alternatif 1 Perhitungan luas lahan komposting : Luas lahan komposting dihitung dengan kebutuhan lahan yang diperlukan untuk sorting (pemilahan), alat pencacah dan areal pematangan tiap 1 m3 sampah.
671
Lahan sorting (pemilahan) awal •
Volume sampah input : 1 m 3
•
Sorting dilakukan dengan garpu penggaruk manual, kedalaman timbulan pada
•
bak sorting : 0.5 m.
•
Luas bak sorting = 1 / 0.5 = 2 m 2
•
Maka : panjang = 2 m, lebar = 1 m
•
Luas total = Luas bak sorting (pemilahan) + luas jarak antara = 2 m 2 + 10 m2 = 12 m2.
•
Apabila diperkirakan waktu yang diperlukan untuk memilah sampah dengan volume 1 m 3 dengan 2 orang pekerja selama 30 menit, maka untuk 7 jam kerja dapat dipilah sampah sebesar 14 m3 sampah.
Pencacahan •
Volume bahan yang dicacah = (0.8 x 14) m 3/hari = 11.2 m3/hari (80% yang akan dimanfaatkan) 3
•
Kapasitas alat pencacah mekanis : 2 m /jam
•
Dimensi alat : p x l x t = 1 x 2 x 1 m
•
Dengan jam pengoperasian alat selama 7 jam maka alat dapat mencacah sampah sebanyak 14 m3/hari.
•
Kebutuhan luas penampung hasil cacahan :
•
Tinggi = 1 m, Panjang = 1 m, Lebar = 1,5 m
Luas total = luas penampung + luas alat + luas jarak antara = 1.5 + 2 + 13 = 16.5 m 2. Luas areal pematangan •
•
Volume hasil pencacahan = 11.2 m3/hari
•
Desain waktu pengomposan : 30 hari pada anaerobic fakultatif composting dengan penambahan inokulum EM 4.
• •
Perhitungan luas area composting: V= 11.2 m3/hari x 30 hari = 336 m3
•
Bila dimensi bak komposting :
•
Tinggi = 1.2 m, Lebar = 1.5 m, Panjang bak = 186 m
•
Luas area = Luas bak + luas jarak antara = 279 + 375 = 654 m 2
Alternatif 2 Luas areal pematangan 3
•
Volume hasil pencacahan = 11.2 m /hari
•
Disain waktu pengomposan : 30 hari secara aerobic windrow composting terbuka dengan penambahan inokulum EM 4.
•
Perhitungan luas area composting: V= 11.2 m3/hari x 30 hari = 336 m3
•
Luas penampang timbunan (UPDK, 1992)
672
L1 = 0.6 m T2 = 0.6 m L2 = 1.75 m P = 10 m T1 = 1.5 m •
Luas penampang = {(1.75 + 1)/2}*1.5 = 2.0625 m2 = 2 m2
•
Kebutuhan panjang tumpukan = 336 m3 / 2 m3 = 168 m
Luas area timbunan = 168 x 1.75 = 294 m 2 Kebutuhan luas lahan untuk composting secara aerobik dapat dilihat pada table berikut ini. •
3 Tabel 3. 13 Kebutuhan composting dengan aerobic windrow composting untuk 1m sampah imput/jam
Sampah input Jumlah Pekerja Sampah Hasil Sorting (pemilahan) Bak Sorting
Pencacah
Areal Pematangan
Gudang / unit Rumah jaga / unit Kontainer Total Luas Area Komposting
Komposting dengan Aerobik Windrow 3 1m / 30 menit 3 (14 m /hari) 2 orang / m3 / 30 menit 0,8m3/30 menit (11,2 m3/30 menit) Panjang = 2m Lebar = 1 m Timbulan = 0,5 m 2 Luas Total = 12m Kapasitas = 2m3/jam Dimensi = 1x2x1 m Penampung : Tinggi = 1 m Panjang = 1 m Lebar = 1,5 m Luas Total = 16,5 m2 Tinggi = 1,2 m Volume Timbulan Windrow = 336 m3 Luas Penampang Windrow = 2m 2 Lebar Tumpukan = 1,75m Area Tumpukan = 294m2 3 x 3m (9m2) 4 x 6 m (24m2) Lihat tabel 3 dan tabel 4 2 2 355,5 m = 400 m
673
Tabel 3. 14 Kebutuhan lahan fasilitas daur ulang dan composting dengan anaerobic facultative untuk 1m3 sampah input/jam Komposting 1m3/30 menit (14m3/hari)
Daur Ulang 1m3/30 menit (14m3/hari)
2 orang / m3/30 menit 0,8 m3/ 30 menit (11,2 m3/hari) Panjang = 2m Lebar = 1m Timbulan = 0,5m
2 orang / m3/30 menit 0,472m3/30 menit (6,608 m3/hari) Lebar = 2m Panjang = 1,7m Timbulan = 0,3m Luas Area= 12,5m2
Gudang / Unit Rumah Jaga/ Unit
Luas Total = 12m2 Kapasitas = 2m3/jam Dimensi = 1x2x1m Penampung Tinggi = 1m Panjang = 1m Lebar =1,5m Luas Total = 16,5 m2 Panjang = 186 m 2 Luas Area = 654 m 2 3 x 3m (9m ) 4 x 6m (24m2)
Luas Area Fasilitas
715,5 m2
Sampah Input Jumlah Pekerja Sampah Hasil (pemilahan) Bak Sorting
Pencacah
Areal Pematangan
Sorting
2
3 x 3m (9m ) 4 x 6m (24m2) 45,5 m
2
3.9. Intermediate Treatment Facility (ITF) Intermediate treatment facility merupakan suatu system pengolahan sampah terpadu yang ditujukan untuk melakukan pengolahan berbagai jenis material limbah. Sebuah ITF dapat terdiri dari beberapa komponen yaitu fasilitas manajemen, fasilitas sorting, fasilitas daur ulang material kayu, fasilitas konversi plastic menjadi bahan bakar, fasilitas daur ulang papan gypsum, tempat penampungan limbah. Fasilitas manajemen dalam ITF bertujuan sebagai pusat pendataan aktivitas yang berlangsung di ITF. Dalam fasilitas ini pengelola ITF mendata manifestasi berupa kendaraan. Bila kendaraan dinyatakan tidak cacat, dibuatlah suatu dokumen kontrak. Limbah secara terpisah disalurkan ke fasilitas sorting. Setelah melalui proses screening secara manual atau mekanis, setiap jenis limbah akan disalurkan ke fasilitas pengolahan. Fasilitas sorting ini dapat mengurangi timbulan sampah yang masuk ke landfill dan meningkatkan potensi daur ulang. Material limbah yang
674
dapat ditangani oleh fasilitas sorting ini meliputi limbah plastic, scrap metal, limbah kertas, limbah kayu, limbah tekstil, scrap rubber, limbah karet, limbah kaca, limbah besi dan baja, serta limbah gerabah.Pemilahan yang terjadi dalam fasilitas ini dapat menggolongkan limbah ke dalam 30 jenis atau lebih. Residu dari proses pemilahan ini akan menjalani screening ulang untuk kemudian didaur ulang. Limbah berupa material kayu masuk ke dalam fasilitas daur ulang kayu dan dipisahkan kembali untuk dua keperluan, yaitu fuel chip dan chip material. Material kayu yang sudahh terpilah masuk ke dalam mesin penghancur. Fuel chip digunakan dalam boiler sedangkan chip material didaur ulang menjadi serbuk kayu yang nantinya akan digunakan untuk beberapa kerpeluan seperti pupuk untuk lahan pertanian. Substansi pengotor yang tertempel pada serbuk kayu disisihkan secara dengan penyisihan magnetic dan metal detector sehingga dihasilkan chip berkualitas baik yang tidak mengandung allortio. Limbah plastic dalam ITF dikelola berdasarkan jenisnya. ITF dapat menghasilkan bahan bakar padat dengan mengkombinasikan limbah plastic (non-chlorine soft) dengan campuran kertas. Industri manufaktur kertas menggunakan bahan bakar padat ini sebagai alternative bahan bakar boiler. Crush hard plastic (non-chlorinated) dan pipa PVC merupakan material yang dapat didaur ulang. Jenis plastic yang tidak cocok untuk didaur ulang akan digunakan kembali sebagai bahan bakar boiler. Fasilitas konversi limbah plasti ke bentuk bahan bakar ini dapat menangani material plastic, kertas, dan tekstil. Gipsum adalah salah satu limbah yang tidak boleh ditimbun dalam landfill. Hamper semua gypsum disalurkan ke industry untuk diolah kembali. Untuk fasilitas pengolahan gypsum ini, dapat digunakan rotary dryer system dan gypsum separator yang memisahkan plaster dan kertas yang terdapat dalam gypsum. Hemi hydrate digunakan untuk penyubur tanah sekaligus bahan baku semen. Material kertas hasil sorting juga dapat digunakan sebagai bahan baku RPF. Proses daur ulang yang terjadi dalam fasilitas ini mencapai 100%. Komponen terakhir dalam ITF adalah area penampungan limbah. Area ini adalah tempat penampungan sementara bagi limbah yang akan menjalani proses pemilahan di fasilitas sorting. Limbah-limbah yang akan diolah dalam ITF masuk terlebih dahulu ke dalam area penampungan sementara ini. 3.10. Teknologi Pengolahan Plastik Plastik merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk pembuatan peralatan rumah tangga, otomotif dan sebagainya. Penggunaan bahan plastik semakin lama semakin meluas karena sifatnya kuat dan tidak mudah rusak oleh pelapukkan. Namun demikian plastik memiliki dampak buruk terhadap lingkungan karena sifatnya yang tidak lapuk ketika
675
dibuang sehingga mengurangi efisiensi pembuangan sampah. Di kota Jakarta, misalnya, jumlah sampah plastik yang ditimbun diperkirakan mencapai sekitar 400 ton. Jenis plastik yang ditemui dalam sampah perkotaan antara lain Low Density Poly Ethylcne (LDPE), Poly Propylene (PP), High Density Poly Ethylene (HDPE), Poly Vinyl Chloride (PVC), Poly Ethylene Terephtalate (PET) Styrofoam, dll. Sampah plastik dari jenis PP dan HDPE paling banyak ditemui. HDPE banyak digunakan untuk produk plastik yang memerlukan kekuatan dan tahan bahan kimia seperti ember, jerigen dan botol plastik, sedangkan PP digunakan untuk produk plastik yang mempunyai daya regang yang tinggi seperti kantung plastik, blister (bungkus snack), dll. Beberapa dari jenis plastik tersebut mempunyai nilai pasar akan tetapi kebanyakan plastik yang terdiri dari bungkus snack tidak mempunyai nilai pasar. Teknologi pengolahan sampah plastik yang saat ini banyak digunakan adalah teknologi perajangan plastik, pelelehan plastik dan pencetakkan plastik. Kebanyakan pelaku daur ulang hanya sampai dalam pemilahan dan pencucian sampah plastik. Hanya beberapa pengusaha daur ulang yang melakukan perajangan plastik. Hasil dari perajangan tersebut berbentuk plastik serpih atau flakes. Sangat jarang pelaku daur ulang yang melelehkan plastik untuk memproduksi bijih plastik sebagai bahan baku pabrik plastik. Sampah plastik sebelum dimasukkan kedalam mesin perajang telah dipisah sesuai dengan jenisnya seperti Low density Poly Ethylene (LDPE), High Density Poly Ethylene (HDPE), Poly Eihylene Terephthalote (PET), Poly vinyl Chloride (PVC), Polypropylene (PP), Polystyrene (PS), dll. Para perajang biasanya mempunyai beberapa pekerja yang profesional di bidangnya. Untuk memilahkan segala jenis barang bekas dari plastik, belum ada alat yang dapat memilahkan secara otomatis, hampir semua pemilahan dilakukan secara manual dengan visual dan rabaan tangan ahli mereka. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh 2-5 orang pemilah sesuai dengan besarnya pabrik tersebut. Setelah terpisah sesuai kategorinya, kemudian dilakukan perajangan di mesin perajang yang biasanya mempunyai kapasita 350 kg sampai 500 kg per jam. Mesin perjang ini digerakkan oleh motor listrik kekuatan besar atau langsung di kopel dengan mesin diesel. Keluar dari mesin perajang, barang bekas plastik tersebut hancur menjadi serpihan dengan ukuran sekitar 1 cm2 dan langsung masuk ke bak pencuci. Setelah melalui proses pencucian, plastik diangin-anginkan diudara terbuka yang langsung terkena sinar matahari. Setelah kering, serpihan plastik ini siap untuk diproses untuk
676
dilelehkan dalam mesin ekstruder untuk pada suhu antara 150°C sampai dengan 250°C. Plastik leleh berupa pasta akan terdorong melalui lubang-lubang dengan ukuran tertentu di ujung mesin ekstruder dan masuk kedalam bak panjang yang berisi air. Dari sini, plastik pasta yang sudah dingin masuk ke alat pemotong untuk dipotong sesuai ukuran bijih plastik. Mesin perajang yang digunakan terdiri dari tromol utama yang terdiri dari pisau pencacah yang dapat dilepas dan diganti, rumah gilingan, saringan dan roda gila (flywheel). Untuk menggerakkan mesin perajang dengan diameter tromol 20 inchi diperlukan motor listrik 30.000 kVA, culcup besar untuk industri kecil menengah. Biasanya, mesin perajang ini dikopel langsung dengan mesin diesel 140 HP atau lebih kecil. Mesin diesel bekas truk tidak dapat digunakan langsung akan tetapi perlu ada modifikasi untuk sistem kopelnya, diperlukan kompling khusus yang dapat dioperasikan dengan tangan. Pada saat operasi mesin perajang ini akan mengeluarkan getaran cukup besar sehingga dudukan mesin harus terbuat dari beton cor yang baik supaya tidak retak. Pada dudukan mesin dipasang baut tanam minimal 4 pada setiap sudut sehingga tidak mudah bergerak. Perlu diperhatikan, bahwa saat proses perajangan benturan antara plastik dengan pisau perajang mengeluarkan suara yang cukup keras dan ribut sehingga dapat mengganggu penghuni sekitarnya. Untuk memudahkan pengumpanan sampah plastik ke dalam mesin perajang dengan corong pengumpannya sekitar 1,5 m dari lantai, perlu dibuat panggung dari kayu yang cukup kuat untuk dua orang dan beberapa ratus kilogram sampah plastik. Seorang petugas khusus mengumpan plastik ke dalam corong dari atas dan seorang lagi mengambil hasil rajangan dari bawah. Ke dalam mesin perajang dimasukkan air dengan sabun sehingga plastik sambil digiling juga dicuci sehingga banyak yang menyebut mesin perajang plastik dengan istilah "cuci-rajang". Begitu keluar dari mesin perajang, plastik yang sudah hancur langsung masuk ke bak pencucian dan dicuci beberapa kali pada bak berlaitian. Setelah proses ini plastik serpih dikeringkan dengan bantuan matahari sehingga kering dan siap di distribusikan ke pabrik yang memerlukan atau masuk ke mesin peleleh (mesin ekstrusi). Mesin peleleh sampah plastik jenis ekstruder terdiri dari rumah ulir, ulir, rumah roda gigi dan mesin penggerak. Pada rumah ulir dipasang elemen-elemen pemanas listrik. Elemen pemanas dipasang sepanjang rumah ulir. Elemen pemanas listrik ini dilengkapi dengan alat pengatr suhu yang dapat mengatur suhu antara 150°C sampai 300°C. Plastik yang sudah dihancurkan masuk melalui corong. Ulir akan berputar lambat yang digerakkan oleh sebuah motor listrik. Plastik yang ada didalam mesin
677
peleleh akan dipanasi sesuai suhu leleh dan didorong keluar mesin secara perlahan. Plastik akan keluar dalam bentuk pasta yang kemudian dapat diproses lebih lanjut, baik untuk dijadikan pellet (bijih plastik) maupun dicetak untuk produk plastik. 3.11. Pengolahan Sampah Kertas Sampah kertas jenisnya bermacam-macam, misalnya kertas HVS (kertas komputer dan kertas tulis), kertas kraft, karton, kertas berlapis plastik, dsb. Biasanya aktivitas yang berbeda menghasilkan jenis-jenis sampah kertas yang berbeda pula. Masing-masing jenis kertas juga memiliki karakteristik tersendiri sehingga kemampuannya untuk didaurulang dan produknya juga berbeda-beda. Sementara itu sebagian besar kertas pembungkus makanan tidak di daur ulang, begitu juga dengan kertas tissue. Kertas pembungkus makanan sulit di daur ulang karena adanya lapisan plastik, sedangkan kertas tissue karena sifatnya yang mudah hancur. Agar sampah kertas dapat dimanfaatkan secara optimal, proses pemilahan sampah kertas sebaiknya dilakukan langsung di sumbernya. Tanpa terpilah terlebih dahulu sampah kertas akan bercampur dengan sampah jenis lainnya sehingga akan mudah terdekomposisi atau hancur. Akibatnya sampah kertas tersebut tidak dapat dimanfaatkan atau didaur ulang lagi. Dari seluruh kertas yang dikonsumsi oleh masyarakat kita hanya sekitar 25 - 30% yang kembali ke pabrik untuk diolah menjadi kertas baru, tetapi diperkirakan angka tersebut akan meningkat. Disekitar Jakarta terdapat sembila industri pengolah kertas bekas. Enam diantaranya termasuk klasifikasi besar sedangkan yang 3 termasuk klasifikasi sedang. Sedangkan produk daur ulangnya berupa kertas tulis dan karton box. Tabel 3. 15 Jenis, sumber dan produk daur ulang sampah kertas Jenis Sampah Kertas
678
Sumber
Produk Daur Ulang
Kertas Komputer dan Kertas Tulis
Perkantoran Percetakan Sekolah
Kertas computer kertas tulis Art paper
Kantong kraft
Pabrik Pasar Pertokoan
Karton, art paper
Karton dan box
Pabrik Pasar Pertokoan
Karton, art paper
dan
Jenis Sampah Kertas
Sumber
Produk Daur Ulang
Koran, majalah dan buku
Perkantoran Pasar Rumah tangga
Kerta koran, art paper
Kertas bekas campuran
Rumah tangga Perkantoran TPS/TPA Pertokoan
Kertas tissue, kertas tulis kualitas rendah, art paper
Kertas pembungkus makanan
Pertokoan Rumah tangga Perkantoran
Tidak dapat didaur ulang
Kertas tissue
Rumah tangga Kertas tissue (tetapi Perkantoran Rumah sangat jarang yang didaur makari Pertokoan ulang kembali)
Disamping pemanfaatan kertas bekas seperti di atas, kertas bekas dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lain misalnya sebagai bahan penyekat telor dan buah-buahan, kertas seni, cindera mata, tempat pensil, dll. Kertas seni dibuat melalui proses manual dimana campuran bubur kertas dan lem disaring dan ditaburkan dengan sedikit penekanan. Setelah melalui conditioning, dihasilkan lembaranlembaran kertas yang artistik. Kegiatan ini cocok dilakukan pada skala home industry dan tidak memerlukan peralatan yang mahal dan rumit. Sampah kertas juga dapat dibuat sebagai partikel board atau papan kertas. Proses pembuatannya tergolong sederhana dimana pada prinsipnya kertas yang rusak dan kotor dicuci lalu dilumatkan hingga menjadi bubur kertas. Kemudian dicampur dengan bahan lain dan dicetak dengan cara memberikan tekanan secukupnya.
679
680