RISKI AMALIA ODE
A31113038
selasa, 7 APRIL 2015
ACTIVITY BASED MANAGEMENT (ABM), JIT (JUST IN TIME),
ACTIVITY BASED BUDGETING (ABB)
Activity Based Management (ABM) adalah pengelolan aktivitas untuk meningkatkan nilai (value) yang diterima oleh pelanggan dan untuk meningkatkan laba melalui peningkatan nilai (value) tersebut. Dengan Activity Based Management(ABM), suatu perusahaan dapat melakukan evaluasi biaya dan nilai (value) darn suatu aktivitas proses sehingga akan terjadi perbaikan posisi kompetitif dan meningkatnya efisiensi proses.
Activity Based Management(ABM) ini merupakan pendekatan manajemen yang berfokus untuk dapat :
Meningkatkan nilai yang diterima oleh pelanggan dari setiap aktivitas yang dilakukan.
Menentukan aktivitas perusahaan yang merupakan aktivitas value added dan aktivitas non-value added.
Meningkatkan value added activity dan mengurangi bahkan menghilangkan non-value added activity.
Memperbaiki laba dengan memberikan nilai pelanggan.
Keunggulan Activity Based Management ABM )
Keunggulan utama pendekatan Activity Based Management (ABM) yaitu
ABM mengukur efektivitas proses dan aktivitas bisnis kunci dan mengindentifikasi bagaimana proses dan aktivitas tersebut dapat diperbaiki untuk menurunkan biaya dan meningkatkan nilai (value) bagi pelanggan.
ABM memperbaiki fokus manajemen dengan cara mengalokasikan sumber daya untuk menambah nilai aktivitas kunci, pelanggan kunci, produk kunci, dan metode untuk mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan.
Kegunaan Activity Based Management
Adapun sebuah perusahaan menggunakan Activity Based Management(ABM) ini
dengan maksud untuk:
Mengurangi harga produk dan mengoptimalkan desain produk.
Mengurangi biaya-biaya perusahaan.
Membantu perusahaan dalam mempertimbangkan peluang bisnis baru.
Activity Based Management(ABM) Model Components
Activity Based Management(ABM) merupakan payung bagi perubahan budaya yang diperlukan untuk persaingan global. Komponen-komponen yang mendukung keberhasilan ABM meliputi :
Just In Time (JIT) Merupakan sistem produksi yang komprehensif dan sistem manajemen persediaan dimana bahan baku dan suku cadang dibeli dan diproduksi sebanyak yang dibutuhkan dan pada saat yang tepat pada setiap tahap proses produksi.
Strategic Planning Suatu perencanaan yang menyeluruh dan terpadu yang mengkaitkan keunggulan strategi perusahaan dengan tantangan lingkungan dan dirancang untuk pencapaian tujuan perusahaan melalui pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan.
Activity Accounting Akuntansl yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas di dalam operasi perusahaan.
Life Cycle Management Melibatkan manajemen aktivitas mulai dari tahap pengembangan untuk menjamin agar biaya daur hidup secara total jumlahnya lebih rendah dibandingkan kompetitor.
Performance Management Suatu kegiatan mengelola kinerja yang berorientasi kepada pandangan strategic ke masa depan sehingga kinerja tersebut dapat digunakan sebagai alat komunikasi untuk pihak-pihak yang membutuhkannya.
Investment Management Bagaimana seorang manajer investasi mengelola uang, dimana dalam proses ini dibutuhkan pemahaman terhadap berbagai piranti investasi, dan berbagai strategi yang dapat digunakan untuk menyeleksi piranti tersebut.
Continuous Improvement Teknik manajemen dimana para manajer dan pekerja setuju terhadap program continuous improvement dalam hal kualitas dan factorkeberhasilan kritis.
Benchmarking Proses mengidentifikasikan faktor keberhasilan kritis(critical success factor) yang dicapai perusahaan lain atau unit lain di perusahaan dengan tujuan mengimple mentasikannya sebagai perbaikan dalam proses perusahaan untuk mencapai kinerja yang baik.
Target Costing Menentukan biaya yang diharapkan untuk suatu produk berdasarkan harga yang kompetitif sehingga produk tersebut akan dapat memperoleh laba yang diharapkan.
Customer Value Analysis Suatu analisa yang dilakukan untuk menentukan apakah suatu aktivitas memiliki nilai (value) bagi pelanggan atau tidak dengan cara melihat apa yang diperoleh pelanggan dibandingkan dengan pengorbanan untuk memperoleh suatu produk atau jasa. Komponen-komponen tersebut digunakan untuk mengelola aktivitas-aktivitas agar dapat mengeliminasi pemborosan. Misalnya mengeliminasi pemborosan dengan menekan persediaan (persediaan nol), mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah, mengefisiensikan aktivitas bernilai tambah yang tidak efisien, mengeliminasi kerusakan (kerusakan nol), mengeliminasi pengerjaan kembali (pengerjaan kembali nol), mengurangi setup mesin (menjadi satu), meningkatkan ketrampilan karyawan.
KONSEP JIT
Sistem produksi tepat waktu (Just In Time) adalah sistem produksi/sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaanJepang yang pada prinsipnya hanya memproduksi jenis-jenis barang yang diminta sejumlah yang diperlukan dan pada saat dibutuhkan oleh konsumen.
Konsep just in time adalah suatu konsep di mana bahan baku yang digunakan untuk aktifitas produksi didatangkan dari pemasok atau suplier tepat pada waktu bahan itu dibutuhkan oleh proses produksi, sehingga akan sangat menghemat bahkan meniadakan biaya persediaan barang / penyimpanan barang / stocking cost.
Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In Time didasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan dan mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerja sama dengan komponen-komponen lainnya.
Jus In Time (JIT) adalah filofosi manufakturing untuk menghilangkan pemborosan waktu dalam total prosesnya mulai dari proses pembelian sampai proses distribusi. Fujio Cho dari Toyota mendefinisikan pemborosan (waste) sebagai: Segala sesuatu yang berlebih, di luar kebutuhan minimum atas peralatan, bahan, komponen, tempat, dan waktu kerja yang mutlak diperlukan untuk proses nilai tambah suatu produk. Kemudian diperoleh rumusan yang lebih sederhana pengertian pemborosan: Kalau sesuatu tidak memberi nilai tambah itulah pemborosan
7 (tujuh) jenis pemborosan disebabkan karena : Over produksi, Waktu menunggu, Transportasi, Pemrosesan, Tingkat persediaan barang, Gerak, & Cacat produksi.
Konsep Dasar Just In Time
Konsep dasar JIT adalah sistem produksi Toyota, yaitu suatu metode untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat adanya gangguan dan perubahan permintaan, dengan cara membuat semua proses dapat menghasilkan produk yang diperlukan, pada waktu yang diperlukan dan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
Dalam sistem pengendalian produksi yang biasa, syarat di atas dipenuhi dengan mengeluarkan berbagai jadwal produksi pada semua proses, baik itu pada proses manufaktur suku cadang maupun pada lini rakit akhir. Proses manufaktur suku cadang menghasilkan suku cadang yang sesuai dengan jadwal, dengan menggunakan sistem dorong, artinya proses sebelumnya memasok suku cadang pada proses berikutnya
Terdapat empat konsep pokok yang harus dipenuhi dalam melaksanakan Just In Time (JIT):
Produksi Just In Time (JIT), adalah memproduksi apa yang dibutuhkan hanya pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang diperlukan.
Autonomasi merupakan suatu unit pengendalian cacat secara otomatis yang tidak memungkinkan unit cacat mengalir ke proses berikutnya.
Tenaga kerja fleksibel, maksudnya adalah mengubah-ubah jumlah pekerja sesuai dengan fluktuasi permintaan.
Berpikir kreatif dan menampung saran-saran karyawan
Guna mencapai 4 konsep ini, maka diterapkan sistem dan metode sebagai berikut :
Sistem kanban untuk mempertahankan produksi Just In Time (JIT).
Metode pelancaran produksi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan permintaan.
Penyingkatan waktu penyiapan untuk mengurangi waktu pesanan produksi.
Tata letak proses dan pekerja fungsi ganda untuk konsep tenaga kerja yang fleksibel.
Aktifitas perbaikan lewat kelompok kecil dan sistem saran untuk meningkatkan moril tenaga kerja.
Sistem manajemen fungsional untuk mempromosikan pengendalian mutu ke seluruh bagian perusahaan.
Elemen-elemen Just In Time
Pengurangan waktu set up
Aliran produksi lancar (layout)
Produksi tanpa kerusakan mesin
Produksi tanpa cacat
Peranan operator
Hubungan yang harmonis dengan pemasok
Penjadwalan produksi stabil dan terkendali
Sistem Kanban
Pengurangan Waktu set up dan ukuran lot
Pemilahan kegiatan set up
Kegiatan set up bisa dipilah menjadi:
1) Kegiatan eksternal set up: persiapan cetakan & alat bantu, pemindahan cetakan, dan lain-lain.
2) Kegiatan internal set up: bongkar pasang pada mesin, penyetelan mesin, dan lain-lain.
Langkah mengurangi waktu set up:
Memisahkan pekerjaan set up yang harus diselesaikan selagi mesin berhenti (internal set up) terhadap pekerjaan yang dapat dikerjakan selagi mesin beroperasi (eksternal set up).
Mengurangi internal set up dengan mengerjakan lebih banyak eksternal set up, contohnya: persiapan cetakan, pemindahan cetakan, peralatan, dan lain-lain.
Mengurangi internal set up dengan mengurangi kegiatan penyesuaian (adjustment), menyederhanakan alat bantu dan kegiatan bongkar pasang, menambah personil pembantu, dan lain-lain.
Mengurangi total waktu untuk seluruh pekerjaan set up, baik internal maupun eksternal.
Contoh:
Jika set up mesin lamanya 1 jam (60 menit), bisa disingkat menjadi 6 menit. Andaikata lot yang harus dibuat banyaknya 3000 buah yang setiap unitnya memakan waktu 1 menit, maka waktu produksinya = 1 jam + (3000 x 1 menit) = 3060 menit = 51 jam.
Setelah waktu set up dikurangi menjadi 6 menit, maka waktu produksinya menjadi = 6 menit + (3000 x 1 menit) = 3006 menit.
Namun, dengan waktu yang sama (3060 menit) dapat dibuat lot sebanyak 300 buah dari berbagai jenis, yang diulang sebanyak 10 kali, yaitu: {6 menit + (300 x 1 menit)} x 10 = 3060 menit = 51 jam.
Hal ini berarti sistem produksi lebih tanggap terhadap perubahan.
Aliran produksi lancar (layout)
Pada layout proses ditemukan berbagai pemborosan, yaitu:
Kesulitan koordinasi dan jadwal produksi, Pemborosan transportasi dan material handling, Akumulasi persediaan dalam proses, Penanganan material berganda bahkan beberapa kali, Lead time produksi yang sangat panjang, Kesulitan mengenali penyebab cacat produksi, Arus material dan prosedur kerja sulit dibakukan, Sulitnya perbaikan kerja karena tidak ada standardisasi.
Aliran Produksi
Proses layout. Waktu simpan komponen lama, tingkat persediaan tinggi, dan prioritas kerja sulit ditentukan.
Ketidakseimbangan jalur. Jika proses tidak terkoordinir maka komponen akan terakumulasi sebagai persediaan, dan pengaturan kerja akan sulit dilakukan.
Set up atau penggantian alat yang makan waktu. Persediaan komponen akan menumpuk, sementara proses berikutnya akan tertunda.
Kerusakan dan gangguan mesin. Jalur akan berhenti dan akan terjadi penumpukan barang dalam proses.
Masalah kualitas. Kalau cacat produksi ditemukan, maka proses selanjutnya akan berhenti dan persediaan akan menumpuk.
Absensi. Jika seorang operator ada yang berhalangan kerja dan penggantinya sulit ditemukan, maka jalur produksi akan terhenti.
Produksi tanpa kerusakan mesin
a. Preventive Maintenance
1) Pendekatan untuk mencegah kerusakan dan gangguan mesin dapat dilihat pada gambar 3.
2) Faktor penyebab gangguan mesin dapat dilihat pada gambar 4.
3) Gangguan mesin dan penanggulangannya dapat dilihat pada gambar 5.
b. Total Productive Maintenance
Belajar bagaimana melakukan pemeliharaan rutin mesin, misalnya: pelumasan, pengencangan baut, dan sebagainya. Guna mencegah penurunan daya kerja mesin.
Melaksanakan petunjuk penggunaan mesin secara wajar.
Mengembangkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap tanda-tanda awal penurunan kemampuan mesin, dengan melakukan perawatan yang mudah, pembersihan, penyetelan, dan lain-lain.
Sementara karyawan bagian pemeliharaan, bisa melakukan antara lain :
1) Membantu operator produksi mempelajari kegiatan perawatan yang dapat dilakukan sendiri.
2) Memperbaiki penurunan kemampuan peralatan melalui inspeksi berkala, bongkar pasang, dan penyesuaian atau penyetelan kembali.
3) Menentukan kelemahan dalam rancang bangun mesin, merencanakan dan melakukan tindakan perbaikan, menentukan kondisi wajar operasi mesin.
4) Membantu operator menaikan kemampuan perawatan, dan lain-lain.
Activity Based Budgeting(ABB)
Melalui asumsi bahwa semua pendekatan dalam sistem manajemen strategik telah dilakukan, tulisan ini lebih banyak menyoroti mengenai short-range plan, berupa anggaran. Agar sejalan dengan paradigma baru, semua aktivitas lebih dititikberatkan pada customer value strategy atau pelayanan pelanggan (internal dan eksternal), continuous improvement, dan organizational system dengan aliran komunikasi yang bersifat bottom-up, continuous improvement, process way of thinking, team work, dan employee as a family , maka anggaran yang dianjurkan adalah activity-based budgeting.
Manajemen harus mempunyai alat yang tepat untuk membantunya dalam menghadapi tuntutan perubahan-perubahan lingkungan yang dinamis. Alat tersebut harus tidak hanya membantu untuk mengalokasi secara optimum sumber-sumber untuk mencapai visi, strategi, dan tujuan organisasi pada saat ini, tetapi harus sebagai jalan mencapai tujuan akhir organisasi.
Melalui integrasi aktivitas-aktivitas yang ada terhadap anggaran akan dapat merespon kebutuhan-kebutuhan yang timbul secara dinamis. Anggaran yang dapat memenuhi syarat-syarat dinamika perubahan adalah activity-based budgeting (lihat misalnya, Brimson dan Fraser, 1991; Bunce dan Fraser, 1997; Antos, 1997; Anonymous, 1998; dan Brimson dan Antos, 1999). Activity-based budgeting dikenal sebagai pendekatan baru yang menghasilkan proses manajemen yang berkelanjutan secara efektif. Pendekatan ini dikembangkan oleh konsultan Coopers and Lybrand Deloitte yang mengkombinasikan praktek-praktek manajemen terkenal, diturunkan dari priority base budgeting dan total quality, bersama-sama dengan activity-based cost management concept (Brimson dan Fraser, 1991).
Activity-based budgeting merupakan proses penyusunan anggaran yang berfokus pada improvementterhadap sistem yang digunakan oleh organisasi agar dapat menghasilkan value bagi pelanggan(Brimson dan Antos, 1999) dan berfokus pada proses secara integral terhadap suatu organisasi (McClenahen, 1995), serta merupakan proses perencanaan dan pengendalian aktivitas-aktivitas yang diharapkan oleh organisasi agar mencapai anggaran yang cost-effective dan memenuhi workload sesuai dengan tujuan dan strategi organisasi (Antos,1997).
Activity-based budgeting dapat diaplikasikan pada semua organisasi dan fungsi, termasuk untuk perusahaan jasa, dan fungsi-fungsi overhead, sebaik pada perusahaan manufaktur dimana konsep ini mula-mula diterapkan (lihat misalnya, Newberry dan Bacon, 1994; dan Brinson dan Antos, 1998). Adanya tantangan baru mendorong semua organisasi komersial ataupun non komersial memusatkan perhatiannya pada overall cost.
Activity-based budgeting didesain sebagai proses manajemen, operasi pada level aktivitas untukcontinuous improvement pada kinerja dan biaya (Brimson dan Fraser, 1991). Activity-based budgetingmembangun manajemen yang efektif secara berkesinambungan dan mempererat hubungan antaraplanning dan budgeting dan sebagai dasar untuk more effective control. Mengenai activity -based budgeting perlu dibandingkan lebih dahulu mindset activity-based budgeting dengan mindset traditional budgeting (dikenal sebagai functional-based budgeting) agar dapat diperoleh gambaran yang jelas(disarikan dari Brimson dan Antos, 1999).
Mindset yang melandasi traditional budgeting (functional budgeting). Traditional budgeting dilandasi oleh 2 buah mindset, yaitu :
Controlling mindset. Dalam menjalankan perusahaan, senior manajer bertanggung jawab terhadap strategi dan tujuan perusahaan sedangkan bawahan hanya menjalankan aktivitas utama perusahaan. Bawahan tidak bertanggung jawab terhadap strategi dan tujuan perusahaan, atasan mengendalikan perusahaan sepenuhnya dan memantau para karyawan untuk memenuhi target yang telah ditentukan sebelumnya. Anggaran yang ada hanya digunakan sebagai alat untuk mengkontrol kegiatan para karyawan dalam menjalankan aktivitasnya.
Problem-solving mindset. Penyusun anggaran tidak mempunyai informasi tentang sumber daya yang dikonsumsi untuk setiap aktivitas. Hal ini menyebabkan manajer lebih memfokuskan ke tujuan jangka pendek, lebih bersifat penyelesaian masalah yang ada (result way of thinking) daripada ke penggalian berbagai peluang yang mungkin dicapai oleh perusahaan.
Traditional budget hanya cocok jika lingkungan organisasi yang dihadapi bersifat stabil dan terkendali. Jika asumsi lingkungan tersebut tidak terpenuhi maka peranan traditional budget justru menjadi penghambat laju perusahaan. Proses penyusunan traditional budget memiliki beberapa macam kekurangan, yang meliputi: (1) berfokus pada tujuan fungsional, (2) tidak memotivasi manajer untuk melakukan improvement berkelanjutan, (3) lebih dilandasi oleh problem-solving mindset daripadaopportunity mindset, dan (4) lebih terfokus ke aspek keuangan daripada ke rencana aktivitas (Brimson dan Antos, 1999: 16).
Fokus pada tujuan fungsional menyebabkan pemikiran yang sempit. Fungsi didasarkan hanya atas spesialisasi keahlian personel dalam mengelola bagiannya sehingga diperlukan berbagai personel dari berbagai keahlian dan disiplin untuk memecahkan masalah dan peluang bisnis yang kompleks. Manajer tidak termotivasi untuk melakukan improvement. Improvement hanya dapat dilaksanakan jika manajer bertanggung jawab terhadap proses secara penuh sehingga mendorong adanya continuous improvement.Opportunity mindset tidak dapat dicapai dalam traditional budgeting karena manajer hanya melihat kegiatan dalam jangka pendek. Ketiadaan informasi tentang aktivitas dan sumber daya yang dikonsumsi untuk setiap aktivitas menyebabkan manajer memfokuskan ke tujuan-tujuan yang bersifat jangka pendek, lebih bersifat penyelesaian masalah (problem solving atau result way of thinking) yang ada daripada ke penggalian berbagai peluang yang mungkin dicapai oleh organisasi.
Sistem penyusunan anggaran di dalam manajemen tradisional lebih didominasi oleh aspek perencanaan keuangan, bukan aspek perencanaan aktivitas. Anggaran berbasis fungsi hanya ditujukan untuk mengestimasi berapa target biaya yang harus dikeluarkan oleh fungsi tertentu selama tahun anggaran untuk mencapai target yang direncanakan dalam periode tersebut. Manajer fungsi tidak memiliki gambaran menyeluruh tentang keseluruhan aktivitas yang digunakan oleh organisasi untuk mewujudkan target organisasi.. Perhatian manajer tersebut lalu hanya tertuju ke aspek keuangan yang terjadi di fungsinya, bukan ke rencana aktivitas yang digunakan untuk menghasilkan output bagi pelanggan, baik intern maupun ekstern.
Activity-based budgeting dilandisi oleh 5 buah mindset,YAITU :
Customer value mindset. Dalam penyusunan anggaran, penyusun anggaran (budgetees) yang terdiri dari manajer sistem, ketua tim, manajer fungsi utama, dan manajer fungsi pendukung, merencanakan aktivitas selama tahun anggaran dengan dilandasi semangat untuk memuaskan kebutuhan customer. Fokus perhatian penyusun anggaran harus diletakan pada pengelolaan aktivitas yang terdiri dari: (1) activity elimination, penghilangan aktivitas yang tidak menambah nilai bagi customer, (2) activity reduction, pengurangan aktivitas yang tidak menambah nilai bagi customer, (3) activity sharing, pemanfaatan aktivitas penambah nilai yang belum secara optimum digunakan, dan (4) activity selection, pemilihan aktivitas penambah nilai yang paling efisien.
Continuous improvement mindset. Dalam penyusunan anggaran, manajer sistem memimpin anggota timnya dalam melakukan continuous improvement terhadap sistem yang digunakan untuk melayanicustomer. Manajer fungsi utama dan manajer fungsi pendukung memimpin karyawan fungsinya dalam melakukan improvement kualitas sumber daya manusia dan sumber daya lain (prasarana, sarana, informasi, dan teknologi) yang dimanfaatkan oleh manajer sistem. Continuous improvement mindset juga digunakan untuk memerangi rasa puas personel atas kinerja sumber daya manusia dan kinerja sistem yang sekarang dicapai.
Cross-functional mindset. Organisasi difokuskan untuk memuaskan kebutuhan customer, melalui pembentukan tiga sistem permanen, yaitu: sistem inovasi, sistem operasi, dan sistem layanan purna jual. Setiap sistem dijalankan oleh suatu tim lintas fungsional, yang anggotanya berasal dari berbagai fungsi utama organisasi. Penyusunan anggaran dilandasi oleh cross-fungctional mindset. Mindset ini mampu menghasilkan perencanaan aktivitas yang kompleks, cepat, terintegrasi, dan andal untuk mengasilkanvalue bagi customer.
Employee empowerment mindset. Karyawan berada di garis depan dalam pemberian layanan kepadacustomer. Dalam proses penyusunan anggaran diperlukan pengikutsertaan dan pemberian kesempatan kepada karyawan untuk merencanakan aktivitas yang digunakan untuk melayani customer dalam proses penyusunan anggaran.
Opportunity mindset. Hasil ekonomi (economic result) diperoleh organisasi dari pengeksploitasian peluang, bukan dari pemecahan masalah. Hasil diperoleh organisasi karena produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi memiliki value bagi customer. Customer lah yang memutuskan bahwa suatu hasil mempunyai value baginya. Unggul (distinct) jika hasil ber value dibandingkan dengan hasil yang diproduksi oleh organisasi lain, memiliki keunggulan atau leadership (berani tampil beda). Suatu hasil yang mediocre tidak akan mempunyai value bagi customer sehingga akan diabaikan oleh pelanggannya.
Activity-based budgeting berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan traditional budgeting. Secara ringkas perbedaan traditional budgeting dan activity-based budgeting dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Perbedaan traditional budgeting dan activity-based budgeting
Bidang Perbedaan
Traditional Budgeting
Activity-Based Budgeting
Fokus
Fungsi
Sistem
Penyusun Anggaran
(Budgetees)
Manajer Fungsional
· Manajer sistem
· Ketua tim
· Manajer fungsi utama
· Manajer fungsi pendukung
Tujuan
· Menjalankan bagian dari sistem yang ada
· Memenuhi kebutuhan fungsi
· Melaksanakan pengendalian
· Cost control
· Melakukan improvement terhadap sistem
· Memuaskan kebutuhan customers
· Meraih kesempatan
· Cost reduction
Sumber: Brimson dan Antos (1999), dirangkum
Berdasarkan tabel 1 di atas, perbedaan yang paling besar antara traditional budgeting dan activity based budgeting adalah banyaknya informasi yang dibutuhkan untuk membangun anggaran.
Keunggulan Activity-Based Budgeting
Dibandingkan dengan traditional budgeting, activity-based budgeting memiliki keunggulan sebagai berikut ini (disarikan dari Connally dan Ashworth, 1994; Lukens, 1995; dan Cooper dan Kaplan, 1998)
1. Orientasi personel diarahkan ke pemenuhan kebutuhan customers, proses penyusunan anggaran mengarahkan perhatian seluruh personel organisasi ke pencarian berbagai peluang untuk melakukanimprovement (process way of thinking) terhadap sistem yang digunakan untuk menghasilkan valuebagi customers. Keadaan seperti ini menjanjikan tercapainya efektivitas kegiatan bisnis perusahaan yang pada gilirannya diharapkan akan menghasilkan financial return yang memadai bagi perkembangan organisasi melalui loyalitas pelanggan.
2. Fokus penyusunan anggaran pada perencanaan aktivitas, digunakan untuk menghasilkan value bagicustomers. Penyusunan anggaran akan memperoleh gambaran yang jelas antara penyebab dan akibat. Biaya timbul sebagai akibat dari adanya aktivitas. Jika personel akan mengurangi biaya, cara efektif yang dapat ditempuh dengan mengelola penyebab timbulnya biaya tersebut, yaitu aktivitas. Anggaran merupakan langkah strategik untuk melaksanakan pengurangan biaya (cost reduction) melalui perencanaan aktivitas yang mengkonsumsi biaya. Kejelasan hubungan sebab-akibat menyebabkan personel mempunyai target yang jelas yang harus dicapai selama tahun anggaran. Kejelasan target, seperti target aktivitas, cost reduction target, dan target peningkatan penghasilan (revenue enhancement target), akan meningkatkan kejelasan peran yang disandang oleh personel. Kondisi ini akan membangkitkan semangat dalam diri personel dalam mewujudkan tujuannya (empowerment).
3. Activity-based budgeting mendorong personel untuk mengimplementasikan cara berpikir berbasis sistem (system thinking), keputusan improvement di satu bidang tidak dapat dilepaskan pengaruhnya terhadap bidang lainnya. Keseluruhan lebih penting daripada sekedar bagian-bagiannya. Hal ini berbeda dengan dengan traditional budgeting yang memandang bagian atau fungsi lebih penting daripada keseluruhan.r
Activity-based budgeting menitikberatkan pada level aktivitas dan variabilitas biaya hubungannya terhadap keputusan yang menyebabkan munculnya biaya aktivitas tersebut (Marrow dan Connally, 1991). Secara rinci dapat di jabarkan sebagai berikut di bawah ini:
1. Menitikberatkan pada biaya aktivitas. Biaya dilaporkan secara akurat sesuai dengan aktivitas-aktivitas yang mendasarinya. Proses ini akan mengidentifikasikan sumber-sumber keunggulan organisasi dalam mencapai tujuannya.
2. Alokasi sumber pada level tinggi dan rendah untuk setiap aktivitas tersebut. Dengan mengetahui level setiap aktivitas, prioritas dapat dapat dilakukan.
3. Mendorong munculnya new thinking. Memotivasi timbulnya kreatifitas karena dalam penyusunan semua aktivitas melibatkan semua bagian melalui suggestion system.
4. Memfasilitasi cost cutting. Biaya akan dapat dihemat karena dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing aktivitas.