AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL Hasbullah UIN Sultan Syarif Kasim Riau
[email protected]
Abstrak: Agama adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Dimensi pluralitas yang dipunyai agama adalah sesuatu yang sifatnya neutral values, artinya ia mempunyai potensi konstruktif sekaligus destruktif dalam kehidupan umat manusia. Mengingat pluralitas agama merupakan keniscayaan sosiologis, maka perlu ditingkatkan kedewasaan dalam menerima perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan, agar perbedaan yang ada bukannya menambah potensi konflik melainkan menjadikan pluralitas sebagai aset budaya dan politik. Kerusuhan dan peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini merupakan suatu fenomena yang amat memilukan dalam konteks hidup beragama dan bernegara. Bukan hanya dari banyaknya korban jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama, pranata sosial yang menjadi amukan massa. Hal ini terlihat jelas dari peristiwa Ambon, Maluku, Ketapang, Aceh, Mataram, dan sederetan peristiwa lainnya yang banyak mengorbankan jiwa manusia. Dalam peristiwa ini telah terjadi dehumanisasi, harga diri dan hak-hak asasi manusia sudah tidak dipandang lagi. Kata kunci: Agama, Konflik Sosial, dan Ekonomi.
Pendahuluan Sebagai sistem kepercayaan dan sistem peribadatan, agama berperan penting dalam menciptakan tatanan kehidupan yang berkeadilan dan beradab bagi seluruh umat manusia di dunia. Dalam perjalanan umat manusia, agama-agama menjadi sumber motivasi dan inspirasi yang tak pernah kering, bahkan ia akan terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Namun, sayangnya agama-agama seringkali dipahami secara sempit dan eksklusif oleh penganutnya, disertai perasaan curiga yang berlebihan terhadap penganut agama lain. Akibatnya, sepanjang sejarah, dunia mencatat terjadinya berbagai macam konflik, khususnya antara kaum muslimin dan kaum kristen, yang bahkan hingga kini terus membayang-bayangi kita. Konflik ini telah mengakibatkan bukan saja
1
2
kehancuran fisik dan kematian dalam jumlah yang sangat besar, tetapi yang lebih berbahaya ialah telah mengancam peradaban umat manusia. Sesungguhnya, semua agama menganjurkan kepada umatnya untuk mengasihi sesama makhluk hidup dan bersikap positif terhadap alam. Harmoni kehidupan di dunia yang satu ini merupakan inti pesan agama-agama, khususnya agama
langit
(samawi).
Semua
umat
beragama
memiliki
kewajiban
mengimplementasikan ajaran dasar agama-agama itu di dalam kehidupan seharihari (Victor I Tanja, 1998: XIX – XX). Berawal dari kerusuhan-kerusuhan sosial yang merebak akhir-akhir ini, dimana nuansa keagamaan cukup mencolok mewarnai rentetan peristiwa tersebut (seperti kasus Ambon, Maluku), menimbulkan pertanyaan sekitar kedudukan agama sebagai potensi masyarakat yang mengemban nilai-nilai kemanusiaan yang tidak destrukrtif. Pertanyaan tersebut semakin mendesak karena untuk konteks masyarakat Indonesia, bisa diasumsikan bahwa agama merupakan sebuah kekuatan dalam kehidupan politik yang tidak bisa diabaikan. Bahkan bisa diasumsikan bahwa agama merupakan kekuatan politik yang amat riil melebihi kekuatan
dari
kelompok-kelompok
suku,
ideologi
maupun
kedaerahan
(Sumartana, 1997: 23). Agama adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Dimensi pluralitas yang dipunyai agama adalah sesuatu yang sifatnya neutral values, artinya ia mempunyai potensi konstruktif sekaligus destruktif dalam kehidupan
umat
manusia. Mengingat pluralitas agama merupakan keniscayaan sosiologis, maka perlu ditingkatkan kedewasaan dalam menerima perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan, agar perbedaan yang ada bukannya menambah potensi konflik melainkan menjadikan pluralitas sebagai aset budaya dan politik (Nurcholish Madjid dalam Ahmad Baso, 1999: 23-24). Dalam pembangunan bidang politik, mestinya tokoh-tokoh agama berdiri paling depan dalam memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, karena mereka paling sadar akan hakikat kemanusiaan dan paling siap menerima perbedaan. Sayangnya,
3
kadangkala
agama,
baik
tokoh
dan
lembaganya,
terperangkap
pada
kecenderungan sikap eksklusif sehingga akhirnya mereka bukannya sebagai problem solver, tetapi sebagai problem maker.
Konflik Sosial Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang berlawanan. Dalam konflik sosial, jatidiri dari orang perorang dalam konflik tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata lain, dalam konflik sosial, yang terjadi bukanlah konflik antara orang perorang dengan jatidiri masing-masing, melainkan antara orang perorang yang mewakili jatidiri dari golongan atau kelompoknya (Suparlan,1999: 14-15). Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antargolongan yang terwakili oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial, tidak lagi ada tindakan memilah-milah dan menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan. Kerusuhan dan peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini merupakan suatu fenomena yang amat memilukan dalam konteks hidup beragama dan bernegara. Bukan hanya dari banyaknya korban jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama, pranata sosial yang menjadi amukan massa. Hal ini terlihat jelas dari peristiwa Ambon, Maluku, Ketapang, Aceh, Mataram, dan sederetan peristiwa lainnya yang banyak mengorbankan jiwa manusia. Dalam peristiwa ini telah terjadi dehumanisasi, harga diri dan hak-hak asasi manusia sudah tidak dipandang lagi. Indonesia mengaku dan diakui sebagai bangsa majemuk, multi ras, etnis, agama dan kebudayaan. Kemajemukan itu ditunjukkan dengan keharmonisan dan
4
sinergi diantara berbagai ragam perbedaan. Sungguhpun perbedaan-perbedaan dalam kehidupan bangsa yang majemuk ini sudah ada sejak dahulu, namun belakangan ini dipakai orang untuk menyulut konflik. Seakan-akan maraknya konflik disebabkan bangsa ini terlalu majemuk. Konflik
dalam
bentuk
kerusuhan
dan
kekerasan
antargolongan
membuktikan bahwa kemajemukan itu terus terabaikan, dan tinggal di bibir saja. Bangsa ini sangat membutuhkan pengertian yang komprehensif mengenai kemajemukan agar bisa menciptakan kelola-kelola konflik yang sesuai dengan setting kemajemukan yang ada. Sayangnya, pemahaman-pemahaman yang sudah ada mengenai hubungan antar sukubangsa, agama dan golongan belum dimanfaatkan untuk menciptakan mekanisme pengatur kehidupan yang harmonis dalam perbedaan (AAI, 1999: 3). Konsep SARA yang digunakan kaum politisi dan birokrasi sungguhpun diangkat dari wujud kemajemukan bangsa Indonesia, akan tetapi sangat mengutamakan pendekatan “kekuasaan” dan “politik”. Akibatnya masalahmasalah kemajemukan cenderung hanya dilihat sebagai penghasil konflik yang dianggap mengancam status quo legitimasi kekuasaan. Para politisi dan birokrat enggan
melihat
kemajemukan dari
segi kebudayaan,
karena dianggap
mengangkat-angkat masalah “perbedaan”, akibatnya “perbedaan” yang memang melekat dalam kehidupan bangsa ini terpendam dan diselimuti dengan doktrinasidoktrinasi “ketunggalan” dan “kemanunggalan”. Lebih bersifat cauvinisme lagi ketika ide-ide persatuan dianggap ideal adalah “sukubangsa tunggal” (Nugroho, 1999: 124-127). Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat manapun di dunia ini – termasuk yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia – dimulai oleh perebutan sumber-sumber daya atau sumber-sumber rezeki. Bila perebutan yang terjadi berjalan sesuai dengan aturan main yang mereka anggap adil, maka tidak akan terjadi konflik sosial di antara mereka. Kerusuhan sosial sebagai konflik antar sukubangsa, agama, yang terwujud dalam saling penghancuran oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, juga terwujud sebagai kegiatan “perang” penaklukan yang
bertujuan menguasai
5
wilayah-wilayah untuk diakui sebagai wilayahnya, yaitu untuk menciptakan kebudayaan dominan dalam wilayah yang dikuasainya. Hal ini terjadi dalam kerusuhan Aceh, Sambas dan Ambon (Suparlan, 1999: 16-20). Dalam kerusuhan Ambon, konflik yang semula terjadi antara orang-orang Bugis, Buton, dan Makasar (BBM) yang beragama Islam disatu pihak, dengan orang-orang Ambon di kota Ambon yang beragama Kristen di pihak lain, telah bergeser menjadi konflik antara sesama orang Ambon, yaitu orang Ambon yang beragama Islam dengan yang beragama Kristen. Akibatnya, kerusuhan yang saat ini terjadi di Ambon adalah kerusuhan sosial antara orang-orang Ambon Kristen lawan Islam (Suparlan, 1998: 17).
Peranan Agama dalam Bidang Sosial Peranan sosial agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial. Faktor yang menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan itu sakral berarti bahwa nilai-nilai keagamaan tidak mudah diubah karena adanya perubahan-perubahan dalam konsepsi-konsepsi kegunaan dan kesenangan duniawi. Melalui kegiatan-kegiatan sosial
yang dilakukan oleh kelompok
keagamaan, juga ditanamkan semacam keterikatan dan solidaritas sosial dan kemasyarakatan yang terpusat pada simbol-simbol utama dan suci dari agama yang dianut (Suparlan dalam Robertson, 1998: XII). Simbol-simbol untuk realitas yang ditawarkan oleh suatu agama sebagai suatu sistem budaya menghasilkan motivasi yang menembus dan bertahan lama sehingga menyebabkan orang untuk bertindak. Simbol-simbol ini tidak hanya memiliki sifat umum dan batasan ideal, tetapi juga bersifat spesifik. Justru disinilah letak signifikansi agama, dalam kapasitas untuk melayani, baik individu atau kelompok, sebagai sumber konsepsi
6
tentang dunia yang umum namun bersifat distinktif. Konsep-konsep agama menyebar di luar konteks itu untuk memberikan suatu kerangka kerja ide-ide umum yang berakaitan dengan berbagai pengalaman – intelektual, emosional, moral – dapat diberi bentuk yang berarti (Geertz, 1973: 123). Meskipun agama mempunyai peranan di dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan, namun ia juga mempunyai fungsi lain. Memang agama mempersatukan kelompok pemeluknya sendiri begitu kuatnya sehingga apabila ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai beraikan, memecah belah dan bahkan mengahancurkan. Di samping itu agama tidak selalu memainkan peranan yang bersifat memelihara dan menstabilkan. Khususnya pada saat terjadi perubahan besar di bidang sosial dan ekonomi, agama sering memainkan peranan yang bersifat kreatif, inovatif dan bahkan bersifat revolusioner (Nottingham, 1992: 42-43). Weber juga melihat bahwa agama potensi untuk menciptakan gerakan dan merubah tatanan sosial (Hargrove, 1979: 137). Para ahli teori fungsional telah menekankan sumbangan yang diberikan oleh agama demi kesinambungan masyarakat, khususnya yang tidak sengaja oleh pelaku manusia yang terlibat. Fungsi laten yang positif hanya menunjukkan salah satu pengaruh agama terhadap masyarakat. Para sarjana lainnya – para ahli sejarah dan filosof sosial – misalnya, menunjukkan bahwa agama sering mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu, isu-isu keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap tidak toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya (O’dea, 1990: 139). Pembagian komunitas manusia ke dalam “in” group dan “out” group bisa membantu perkembangan perasaan berkelompok, agama berfungsi memotivasi tingkah laku terhadap integrasi personal dan masyarakat. Kerjasama, saling membagi, dan mau mengutamakan orang lain, dapat selalu dihubungkan dengan kesadaran beridentitas yang diberikan oleh tradisi-tradisi agama. Pada waktu yang sama, perasaan berkelompok dapat mendorong tingkah laku yang membedakan
7
umat manusia dengan membuat garis pemisah antara kelompok-kelompok itu. Pembedaan antara mereka yang disebut “dalam” dan “luar” merupakan bagian dari pembedaan peran agama dalam kesadaran manusia. Dalam situasi konflik, pembedaan-pembedan seperti itu dipertajam, terkadang muncul saling tuduh antara kelompok yang satu dengan lainnya sebagai “kejam” (Kelsay, 1997: 7-8).
Eksklusivisme Keagamaan dan Konflik Sosial di Ambon Dilihat dari proses sejarah dan struktur masalahnya, konflik sosial di Ambon berakar dari persoalan pertikaian antar etnis. Pertikaian yang dibungkus rapi oleh faktor etnisitas, yaitu perasaan bersama dan senasib sepenanggungan dalam suatu kelompok etnis yang melahirkan kesadaran etnis (ethnic consciousness) dan kesetiakawanan etnis (ethnically based solidarity). Padahal, kesadaran dan kesetiakawanan etnis itu merupakan reaksi spontan terhadap kondisi keterpurukan dan keterpinggiran, atau kemarginalan para anggota kelompok etnis setempat. Hal itu terjadi tidak saja melalui dominasi dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam yang membuat mereka menjadi penonton, tetapi juga melalui penggusuran, pemerasan dan pengambilalihan kepemilikan dan alat-alat produksi dengan cara intimidasi oleh sekumpulan anggota kelompok etnis pendatang (Alqadrie, 1999). Secara antropo-sosiologis, etnis yang proses pembentukannya didasarkan atas persamaan bahasa, agama, wilayah kediaman, kebangsaan, dan bentuk fisik (Horton & Hunt, 1999: 61), mempunyai posisi fundamental dalam kehidupan manusia – baik dalam kapasitasnya sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial – yakni sebagai pembentuk kesadaran primordial dan pembentuk identitas. Oleh karena itu sangat jarang, bahkan mustahil seseorang melakukan pengingkaran terhadap etniknya, meskipun telah melakukan amalgamasi dan asimilasi dengan kelompok etnik lainnya. Sejarah Ambon mencatat bahwa kehadiran kolonialisme Belanda dan Portugis di Maluku, serta perubahan posisi mereka dari pedagang yang ingin membeli rempah-rempah menjadi pemonopoli dan penguasa (tidak saja rempahrempah tetapi juga seluruh komoditi yang ada di Maluku), telah merusak tatanan
8
masyarakat yang sudah ada. Untuk memperlancar proses penguasaan ini, kedua dedengkot kolonialisme itu tidak saja menggunakan kekuatan senjata dan politik adu domba, tetapi juga memasukkan nilai-nilai budaya, termasuk agama (Alqadrie,1999: 42). Sejak itu, masyarakat Maluku (khususnya Ambon) terbagi menjadi dua komunitas, yaitu Islam dan Kristen, walaupun dalam satu kelompok etnis yang sama. Kedua komunitas ini terus bersaing dan bertarung bagi eksistensi masingmasing sejak hampir tiga abad yang lalu. Sejarah pertarungan itu seakan-akan berulang kembali antara komunitas Ambon yang Kristen dengan yang Islam dan anggota kelompok etnis BBM (Bugis, Buton, Makasar) yang hampir seluruhnya beragama Islam. Padahal, pertarungan itu lebih merupakan kelanjutan dari monopoli rempah-rempah, khususnya cengkeh, yang sebelumnya berada di tangan kolonialisme Belanda dan kemudian berganti ke tangan pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970. Alasan yang dikemukakan pemerintah Orde Baru adalah untuk memenuhi kebutuhan permintaan akan cengkeh bagi industri rokok di Jawa. Monopoli semacam ini, berdasarkan pengamatan M. Yusuf kalla yang dikutip oleh Usman Pelly (Republika, 6 Januari 1999). Kondisi di kota Ambon menjadi lebih mencekam, dan kerusuhan etnis memang lebih kompleks. Konflik Ambon, yang merupakan ledakan dari kompetisi antar kelompok kepentingan yang dilestarikan dan dikendalikan oleh Pemerintah Orde baru agar ia tidak sampai timbul di permukaan dan mereka terus dapat dinikmatinya, telah dibungkus dengan sentimen agama. Hal itu dilakukan agar konflik itu memiliki daya pembenar, dengan mudah dapat menggerakkan massa dan dilestarikan. Kekerasan dan kerusuhan antaretnik yang terjadi di Ambon, bukannya semata-mata digerakkan oleh sikap superioritas seperti praktik holocoust yang dilakukan oleh Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Tapi didorang oleh perlawanan sosial dari kelompok etnik yang mengalami proses marginalisasi setelah terjadinya perubahan sosial, yang di samping berjalan cepat dan penetratif, juga berjalan secara timpang, yakni perubahan sosial lebih “berpihak “ kepada orang luar (Republika, 31 Maret 1999).
9
Dalam konteks tindak kekerasan dan kerusuhan di Ambon, yang dimaksud dengan perubahan sosial itu adalah terjadinya perubahan dan transisi dominasi dan hegemoni politik serta pergeseran-pergeseran ekonomi, setelah terjadinya gelombang migrasi yang meningkat begitu cepat dalam dua dasawarsa belakangan ke Ambon. Arus migrasi tersebut menurut analisis Azyumardi Azra (Tempo, 12 Maret 1999), mengakibatkan terjadinya perebutan sumber-sumber ekonomi dan lapangan kerja antara kaum pendatang yang memiliki etos kerja tinggi dengan penduduk asli. Ternyata dengan etos kerja itu, para pendatang mendesak dan memarginalisasikan penduduk asli. Berdasarkan sistem nilai budaya, sebenarnya tragedi Ambon dapat dihindari dan tidak perlu terjadi, karena masyarakat Ambon telah biasa menata kehidupan mereka selama berabad-abad dalam tradisi kemajemukan. Dan dikenalnya idion pela gandong yaitu saudara berdasarkan ikatan sedarah atau saudara kandung bisa menjembatani perbedaan yang ada (Suparlan, 1999: 10). Dengan demikian, konflik sosial di Ambon tidak disebabkan oleh faktor tradisi dan budaya. Hubungan sosial segi tiga antara komunitas itu, yaitu komunitas Ambon yang beragama Islam, yang beragama Kristen dan kelompok etnis BBM. Dalam hubungan segi tiga tersebut, ada batas-batas sosial di antara mereka. Ada batas yang dapat dijembatani, dan ada pula yang tidak. Antara etnis BBM dengan komunitas Ambon yang beragama Kristen, ada batas sosial yang tidak dapat dijembatani. Begitu lebarnya batas sosial ini untuk diseberangi sehingga apapun yang “berbau” BBM, walaupun kebanyakan komunitas Buton telah beberapa generasi hidup di pedesaan, tetap diperlakukan sebagai lawan. Sebaliknya, antara BBM dengan komunitas Ambon Islam, batas-batas sosial itu kelihatan ada, tetapi terbatas pada etnisitas. Batas-batas sosial di antara keduanya masih dapat dijembatani. Besarnya jumlah migrasi yang datang ke Ambon, yang pada umumnya berlatar belakang keagamaan yang berbeda dengan penduduk asli, yaitu kaum muslim yang belakangan disebut-sebut sedang mengalami proses mobilisasi hampir
pada
semua
sektor
kehidupan.
Dengan
situasi
yang
kurang
10
menguntungkan bagi kelompok etnik asli, maka akan muncul suatu sikap dan perilaku ingroup yang berpengaruh destruktif terhadap outgroup. Keterlibatan agama dalam tindak kekerasan dan kerusuhan, dapat diduga karena terjadi distorsi dalam proses interaksionisme simbolik antaretnik di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan dunia simbolik masing-masing etnik seperti agama. Adalah hal yang alami, jika suatu kelompok etnik tetap membawabawa dunia simboliknya meskipun sudah mengalami semacam diaspora. Dalam hal agama misalnya, mereka – atas dorongan mempertahankan dunia simboliknya – membangun suatu komunitas dan lembaga keagamaan seperti tempat ibadah dan organisasi keagamaan. Meskipun hal tersebut secara antopo-sosiologis merupakan hal yang alami, namun tak pelak dapat menjadi ancaman terhadap kelangsungan komunitas keagamaan yang dimiliki oleh etnis asli. Respons dari kelompok yang merasa terancam, pertama-tama masih terkesan laten seperti perasaan curiga. Namun sewaktu-waktu apabila ada pemicu lainnya, seperti isu kesenjangan ekonomi, ditambah lagi adanya provokator, perasaan curiga itu akan berkembang dalam bentuk perlawanan sosial yang bradikal yang didorong oleh sikap willingness to fight and die for ingroup. Apalagi, perlawanan itu kemudian dicarikan legitimasi pada agama, yakni sebagai perjuangan mempertahankan agama dari ancaman kelompok agama lain, maka akan semakin memperuncing, memperdalam dan memperluas pertentangan antar etnik. Berlarut-larutnya pertikaian masa yang bernuansa SARA di Ambon, Maluku yang dampaknya menjalar ke Mataram (NTB) merupakan persoalan sangat serius bagi masyarakat Indonesia. Tidak terkendalinya pertikaian dan kerusuhan massal seperti itu menjadi bukti konflik SARA telah menjadi masalah besar yang dapat mengancam masa depan kehidupan berbangsa. Konflik bernuansa agama ini memang bersifat “laten” yang setiap saat dapat muncul dan meledak di masyarakat. Skenario konflik agama ini biasanya dimunculkan karena kuatnya berbagai kepentingan politik yang sedang berbenturan di tengah masyarakat. Memang setiap kali terjadi konflik antarumat beragama, kita sulit sekali untuk menentukan akar penyebabnya. Biasanya lebih sering berakar bukan
11
pada aspek teologis melainkan aspek non-teologis (Kompas, 18 Januari 2000). Hal ini membenarkan adanya anggapan bahwa konflik sosial yang murni disebabkan oleh agama itu hampir tidak pernah ada (Smith, 1985: 188). Bila mengikuti “teori” tiga lapis agama dari Masdar F. Mas’udi – yang membagi agama pada tiga lapis, yaitu; agama sebagai kesadaran azali yang Ilahiyat, agama sebagai konsep atau doktrin, dan agama sebagai aktualisasi dan pelembagaan – maka konflik selalu terjadi pada lapisan ketiga, baik yang melibatkan antarkelompok dalam suatu komunitas agama maupun dengan pihak luar (Republika, 9 Januari 1999). Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama sebenarnya hanya menjadikan agama sebagai alat legitimasi dan justifikasi terhadap kepentingan tertentu. Dengan menjadikan kekuatan agama sebagai alat justifikasi, diharapkan berbagai ambisi dan kepentingan politik tertentu dapat lebih mudah diwujudkan. Posisi agama dalam konteks ini hanyalah dijadikan “tameng” dan dikorbankan keagungannya demi memenuhi berbagai ambisi kepentingan tertentu yang sebenarnya tidak terkait dengan kepentingan agama. Umat beragama selama ini sering terjebak dan bertindak agresif karena termakan berbagai provokasi yang berusaha membenturkan sentimen antarumat beragama. Skenario dimunculkan konflik agama ini adalah untuk menciptakan konflik bersifat massal dan berdimensi horizontal. Hal ini sangat mungkin mengingat masyarakat Indonesia berkarekter religius yang memiliki kepekaan dan sentimen tinggi terhadap eksintensi agama yang dipeluknya (Suara Pembaharuan, 30 Januari 2000). Menurut Sosiolog Jerman, Max Weber, struktur dan tindakan suatu kelompok sosial berasal dari komitmennya pada sistem kepercayaan tertentu, yang juga menjadi asal tujuan, standar perilaku dan legitimasi kekuasaan. Meski teori ini sampai kini masih menimbulkan pro-kontra, namun tak dapat dibantah bahwa agama merupakan salah satu faktor yang sedikit banyaknya memiliki andil dalam pembentuk hal ini,disamping faktor-faktor lain seperti politik dan ekonomi. Salah satu hal yang merupakan manifestasi dari fungsi ini adalah bahwa agama bisa terafiliasi menjadi faktor integratif bagi pemeluknya, dan sekaligus faktor
12
disintegratif antarpemeluk agama yang berbeda terutama jika agama dipahami secara absolut dan eksklusif (Kompas, 25 Februari 2000). Dari analisis yang berkembang, ada kesan faktor non-agama seperti politik, ekonomi, etnis, dan lain sebagainya, cenderung ditempatkan sebagai sumber pemicu terjadinya konflik realistik antara kelompok agama yang satu dengan kelompok agama yang lain. Sementara agama, dinilai hanya dimanfaatkan untuk kepentingan konflik yang acapkali berkembang secara radikal menjadi zero sum
game
(pertarungan
habis-habisan),
seperti
penghancuran
terhadap
infrastruktur yang dibangun dengan susah payah oleh pemeluk agama. Memang merupakan suatu hal yang ironis, agama yang mengandung ajaran yang begitu luhur itu, menunjukkan kenyataan distorsif dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti yang ditunjukkan dengan adanya konflik antaragama. Selama ini dalam pemikiran common sense, pluralitas agama dianggap sebagai faktor determinan munculnya konflik antaragama. Padahal, kalau dicermati lebih jauh, munculnya konflik antaragama banyak disebabkan oleh faktor non-agama yang dilegitimisir dengan agama (Tobroni, 1994: 26). Contoh yang barangkali masih aktual adalah konflik agama di Ambon yang bermula dari konflik antaretnis. Dalam peristiwa Ambon, telah terjadi pergeseran aktor konflik – yang semula antara kelompok etnis Bugis-Buton-Makasar (BBM) dengan Ambon kristen menjadi antara Ambon Islam dengan Ambon Kristen – tetapi dari segi sosio-historis, peristiwa kerusuhan di Ambon ini seakan menampilkan kembali pertarungan klasik dari dua komunitas agama (Ambon Islam dan Kristen) yang telah dimulai sejak masa kolonial di abad ke-17 sampai18 yang lalu (Pelly, 1999: 29). Ambon mungkin bisa dijadikan contoh yang baik dari apa yang disebut dengan kebangkitan etno-religius, yang kini juga menjadi salah satu mainsteam kebangkitan agama secara global. Kebangkitan etno-religius ini, menurut Hidayat dan Nafis dicirikan oleh pertautan simbiotik antara emosi keagamaan dengan dengan semangat primordialisme kesukuan ataupun lebih luas lagi kebangsaan. Memperhatikan unsur yang menggerakkan kebangkitan agama jenis ini, sangat
13
dimungkinkan munculnya sikap emosional dan eksklusif, yang bisa mengarah pada tindak kekerasan terhadap kelompok yang lain (Republika, 31 Maret 1999). Kasus konflik sosial di Ambon yang kemudian meluas menjadi kasus Maluku merupakan contoh konkret bagi fungsi potensial agama ini. Memang kasus Maluku ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, terutama faktor ekonomi dan politik. Namun jelas, bahwa agama menjadi satu faktor yang cukup dominan juga. Kenyataan ini mendorong kita untuk melihat bagaimana umat beragama memposisikan dan menginterpretasikan ajaran agama mereka masing-masing, terutama dalam konteks kehidupan masyarakat bangsa yang plural. Kesimpulan Berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini yang mengarah kepada disintegrasi bangsa, merupakan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Kerusuhan yang bernuansa etnis dan agama ini muncul karena terjadinya berbagai kesenjangan sosial selama masa pemerintahan Orde Baru. Jika konflik sosial ini tidak ditangani secara serius dan hati-hati oleh pemerintah, dikhawatirkan keutuhan dan ketahanan bangsa ini akan terganggu. Agama juga sering dituduh sebagai penyebab terjadinya berbagai konflik, seperti kasus Situbondo, Tasikmalaya, Rengas dengklok dan akhir-akhir ini kasus Ambon dan Maluku. Hal ini dikarenakan agama pada satu sisi mempunyai fungsi integratif, namun pada sisi lain juga mempunyai fungsi disintegratif. Satu hal yang sering diperdebatkan oleh para ilmuwan sosial, adalah benarkah agama sebagai pemicu utama dalam berbagai konflik atau agama hanya alat legitimasi dan justifikasi agar bisa mengerahkan massa demi kepentingan-kepentingan tertentu. Dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, harus diakui pluralitas agama memang bisa menciptakan konflik. Namun, yang sering ditemukan konflik sosial yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor non-agama, seperti ekonomi dan politik. Agama hanya dijadikan “tameng” untuk mencapai tujuan dan kepentingan golongan tertentu. Karena dengan membangkitkan isu agama, pengerahan massa lebih mudah dilakukan, mengingat bangsa Indonesia yang berkarakter religius dan mempunyai sentimen yang tinggi terhadap agama.
14
Daftar Kepustakaan Alqadrie, Syarif Ibrahim. (1999). Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis. Journal Antropologi Indonesia, 58. Baso, Ahmad. (1999). Civil Society Versus Masyarakat Madani. Bandung: Pustaka Hidayah. Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Book. Hargrove, Barbara. (1979). The Sociology of Religion; Classical and Contemporary Approaches. Illinois: Harlan Davidson. Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. (1999). Sosiologi (terjemahan). Jilid I. Jakarta: Erlangga. Kelsay, John & Sumner B. Twiss. (1997). Religion and Human Rights (Judul terjemahan Agama dan Hak Asasi Manusia). Jakarta: Interfidei Nottingham, Elizabeth K. (1992). Religion and Society (Judul terjemahan Agama dan Masyarakat). Jakarta: Rajawali Press. Nugroho, Heru. (1999). Konstruksi SARA, Kemajemukan dan Demokrasi. Jurnal UNISIA, 40. O’dea, Thomas F. (1990). The Sociology of Religion (Judul terjemahan Sosiologi Agama). Jakarta: Rajawali Press. Pelly, Usman. (1999). Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia. Journal Antropologi Indonesia, 58. Robertson, Roland (ed.). (1988). Sociology of Religion (Judul terjemahan Agama dalam Interpretasi Sosiologis). Jakarta: Rajawali Press. Sumartana, Th.. (1999). Demokrasi dalam Kehidupan Beragama. Jurnal UNISIA, 34. Suparlan, Parsudi. (1999). Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan. Journal Antropologi Indonesia, 58. Suparlan, Parsudi. (1999). Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya. Journal Antropologi Indonesia, 59. Suparlan, Parsudi, dkk., Kerusuhan Ambon dan rekomendasi Penanganannya. Laporan Hasil Penelitian Tim Ahli UI dan PTIK. Jakarta: Polri. 18
15
Smith, Donald Eugene. (1985). Religion and Political Development, An Analytic Study (terjemahan). Jakarta: Rajawali Press. Smith, Bardwell L. (ed.). (1976). Religion and Social Conflict in South Asia. Leiden: E.J. Brill. Tanja, I Victor. (1998). Pluralisme Agama dan Problema Sosial. Jakarta: Cides. Tobroni & Syamsul Arifin. (1994). Islam Pluralisme Yogyakarta: SI. Press.
Budaya dan Politik.
Wilson, Bryan. (1983). Religion in Sociological Perspective. New York: Oxford University Press. Zeitlin, Irving M. (1998). Rethinking Sociology; A Critique of Contemporary Theory (terjemahan). Yoyakarta: Gadjah Mada University Press. Republika, 9 Januari 1999 Republika, 31 Maret 1999 Media Indonesia, 29 Januari 1999 Wacana Antropologi, Vol-2, NO. 4, 1999 Kompas, 18 januari 2000 Kompas, 25 Februari 2000 Suara Pembaharuan, 30 Januari 2000 Suara Pembaharuan, 20 Februari 2000