KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN ANALISIS UNDANG-UNDANG KEPARIWISATAAN ; BPPI BAGAIKAN BUAH SIMALAKAMA
Disusun oleh : Rismunandar Tyas Marina Makna Fathana Sabila Deasy Fitria
P052140721 P052140471 P052140491 P052140
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan keindahan alamnya yang ada. Keindahan alam menjadi salah satu keunggulan Indonesia karena lokasi geografi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa. Keindahan alam Indonesia yang seperti ini secara tidak langsung menjadi salah satu aspek yang menarik dan wajib untuk dikunjungi baik bagi wisatawan domestik ataupun mancanegara. Sehingga hal seperti ini menjadi salah satu daya tarik wisata yang bisa dinikmati di Indonesia. Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan social dan ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah menjadi bagian dari hak azazi manusia, sebagaimana dinyatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “w here once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right. Hal ini terjadi tidak hanya di negara maju tetapi mulai dirasakan pula di negara berkembang termasuk pula Indonesia. Dalam hubungan ini, berbagai negara termasuk Indonesia pun turut menikmati dampak dari peningkatan pariwisata dunia terutama pada periode 1990 – 1996. Badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak akhir tahun 1997, merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi masyarakat pariwisata Indonesia untuk melakukan re-positioning sekaligus re-vitalization kegiatan pariwisata Indonesia. Disamping itu berdasarkan Undangundang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Nasional pariwisata mendapatkan penugasan baru untuk turut mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan memulihkan citra Indonesia di dunia internasional. Pariwisata adalah melakukan perjalanan menuju suatu tempat dengan tujuan memuaskan diri dengan melihat budaya, teknologi, kehidupan sosial masyarakat, keindahan alam maupun buatan (Sutomo, 2003). Konsep pariwisata secara umum lebih bersifat menyuguhkan nilai atractive dengan model kunjungan yang lebih bersifat bersama-sama (rombongan). Pariwisata dikatakan maju apabila jumlah wisatawan (pengunjung/penikmat objek wisata) merasa puas dengan objek wisata yang di suguhkan. Pada dasarnya, pariwisata dapat dibagi menjadi beberapa bagian sebagai bagian atas terlaksananya sebuah wisata seperti lokasi wisata, pengunjung (wisatawan), dan tujuan wisata. Dalam rangka memajukan sektor pariwisata, maka perlu di lakukan promosi terhadap lokasi wisata yang ada di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Bali misalnya. Salah satu daerah yang diberi julukan sebagai “Pulau Dewata” itu menjadi ikon Indonesia di mata dunia sebagai negara yang indah. Di Indonesia juga terdapat satu dari sembilan keajaiban dunia, Candi Borobudur di Jogjakarta. Ringkasnya, Indonesia memiliki wisata keindahan alam yang masih asli dan wisata sejarah yang sangat kaya untuk di nikmati. Menghadapi tantangan dan peluang ini, telah dilakukan pula perubahan peran Pemerintah dibidang kebudayaan dan pariwisata yang pada masa lalu berperan sebagai pelaksana pembangunan, saat ini lebih difokuskan hanya kepada tugas-tugas pemerintahan terutama sebagai fasilitator agar kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh swasta dapat berkembang lebih pesat. Peran fasilitator disini dapat diartikan sebagai menciptakan iklim yang nyaman agar para pelaku kegiatan kebudayaan dan pariwisata dapat berkembang secara efisien dan efektif.
Selain itu sub sektor pariwisata pun diharapkan dapat menggerakan ekonomi rakyat, karena dianggap sektor yang paling siap dari segi fasilitas, sarana dan prasarana dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Harapan ini dikembangkan dalam suatu strategi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan pariwisata yang berbasis kerakyatan atau community-based tourism development BAB II MASALAH DAN PEMBAHASAN Di era kekinian, berwisata adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Ditengah kesibukan dalam bekerja dan beraktifitas, berwisata menjadi salah satu cara untu melepas penat di setiap weekend bersama keluarga dan kerabat. Indonesia sebagai sebuah negara yang berada di daerah tropis dan dilintasi oleh garis khatulistiwa adalah sebuah kelebihan tersendiri dibanding negara lain yang ada di dunia dalam hal keanekaragaman hayati sserta keindahan alamnya. Sektor pariwisata menyumbangkan produk domestik bruto mencapai Rp 347 triliun. Bila dibandingkan, angka itu mencapai 23 persen dari dengan total pendapatan negara yang tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013, yakni Rp 1.502 triliun, Sektor pariwisata juga menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa negara tahun 2013. Dalam daftar peringkat daya saing pariwisata di ASEAN yang dilansir oleh World Economic Forum (2013), posisi Indonesia terus merangkak naik setiap tahunnya. Kini, peringkat daya saing Indonesia berada di urutan ke 70. Pada 2012 ada diurutan 74. Peringkat ini di atas peringkat Brunei (72), Vietnam (80), Filipina (82), serta Kamboja (106). Dari beberapa hal tersebut diatas, maka promosi pariwisata sebenarnya menjadi salah satu cara yang sangat penting dilakukan dalam memajukan pariwisata Indonesia. Maka dari tiu kemudian dibentuklah sebuah badan yang memang ditugaskan untuk mempromosikan pariwisata Indonesia buat seluruh masyarkat Indonesia maupun dunia. Badan tersebut kemudian diberi nama BPPI akronim dari Badan Promosi Pariwisata Indonesia. Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) sesuai dengan Bab X UU Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan bertujuan untuk meningkatkan kepariwisataan indonesia dalam hal citra, kunjungan wisatawan, pendanaan, pengembangan riset dan usaha bisnis pariwisata. Adapaun penjabaran dari isi Undang Undang Nomro 10 tahun 2009 tentang Pariwisata dalam hal pembentukan BPPI, maka Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Kepres. No. 22 Tahun 2011 tentang regulasi kerja BPPI dalam mempromosikan pariwisata Indonesia. Jika kita melihat lebih jauh tentang pariwisata Indonesia, maka kita akan menemukan berbagai masalah yang sebenarnya sangat klasik. Ada empat masalah besar dalam promosi pariwisata di indonesia, adalah 1) regulasi; 2) infrastruktur; 3) destinasi; dan 4) marketing yang kemudian di jelaskan sebagai berikut : a. Regulasi Regulasi pada sektor pariwisata,contohnya seperti tumpang tindih kebijakan serta pengeloaan wisata antara pemerintah dan daerah. Salah satu fenomena yang sarat dalam pengelolaan potensi alam adalah kurangnya integrasi stakeholder yang terlibat. Urgensi perbaikan integrasi stakeholder karena praktik yang selama ini terjadi di bebagai kementrian dan lembaga terkait mempunyai program-program tersendiri, sehingga mengakibatkan tumpang tindih, disharmoni, dan mencuatnya ego sektoral. Terjadinya disharmoni dan ego
sektoral inilah yang kemudian disinyalir sebagai wujud nyata stakeholder gagal dalam mengelola potensi alam yang ada dan salah satu penyebab mengapa pemerintah daerah menjadi tidak optimal dalam melaksanakan otonomi daerah. b. Infrasturuktur Dapat kita ketahui, bahwa infrastruktur kepariwisataan indonesia belum mampu memenuhi kepuasan para wisatawan yang mengunjungi objek wisata. Selain itu transportasi yang digunakan para wisatawan masih belum memadai untuk menunjungi lokasi wisata itu sendiri. c. Destinasi Destinasi yang dimaksut disini adalah masalah teritorial antara pusat dan daerah. Sekuat apapun pemerintah pusat gencar mempromosikan objek wisata yang ada di Indonesia ,jika tidak ada dukungan yang mumpuni dari daerah tetap tidak akan maksimal d. Marketing BPPI mendapatkan dana/anggaran untuk mempromosikan objek wisata, berasal dari APBN dan APBD yang sifatnya dana hibah untuk dipergunakan sebagai dana promosi objek wisata. Kegiatan promosi dalam dunia pariwisata saat ini, di Indonesia sangat mendukung pembangunan pariwisata yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pemerataan kesempatan berusaha, mendorong pemerataan pembangunan nasional, dan memberikan kontribusi dalam penerimaan devisa negara yang dihasilkan dari jumlah kunjungan pariwisata mancanegara, serta berperan dalam pengentaskan kemiskinan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. BPPI berkedudukan di ibukota negara dan merupakan lembaga swasta yang bersifat mandiri menyebabkan tidak maksimalnya promosi pariwisata di daerah. Walaupun dalam UU mengatur bahwa di daerah juga memiliki kewenangan dalam pembentukan BPPI, tapi tidak semua daerah membentuk badan ini dikarenakan ketidakmampuan daerah dalam memberikan anggaran untuk mempromosikan objek wisata di daerah tersebut. Sumber dana pariwisata di Indonesia selain berasal dari APBD dan APBN juga diberikan ruang pada investor, baik lokal maupun asing untuk berinvestasi pada sektor pariwisata di indonesia. BPPI dibentuk sesuai amanat UU No. 10 tahun 2009 yang kemudian dijelaskan dalam kepres no 20 tahun 2011 dan kemudian untuk tugas wewenang dan tanggung jawap dari BPPI diatur dalam keputusan mentri kebudayaan dan pariwisata nomor 69 tahun 2010. Mengenai BPPI, undang-undang mengatur bahwa badan ini akan menyelenggarakan kegiatan promosi pariwisata termasuk riset. Badan ini akan dijalankan oleh 9 orang yang diwakili oleh asosiasi pariwisata (4 orang), asosiasi profesi (2 orang), asosiasi penerbangan (1 orang), dan akademisi/pakar (2 orang). Nama-nama itu diusungkan oleh menteri pariwisata kepada presiden, dan dibuatkan keppres. Artinya adalah menteri pariwisata diberikan hak luar biasa untuk mengatur badan ini tapi sebaliknya kementerian pariwisata tidak punya tanggung jawap yang tertulis tegas untuk memberikan bantuan pendanaan. Pertanyaan pertama adalah jika ini lembaga swasta dan tidak dibiayai oleh anggaran pemerintah secara langsung, lalu untuk apa menteri pariwisata kemudian diberikan “kertas kosong” untuk mengisi orang-orang disana dan tidak diberi apa-apa untuk menghidupi badan itu.
Adanya ketentuan semacam ini, justru telah berlawanan dengan kesetaraan pembangunan pariwisata. Dimana pemerintah merupakan mitra yang sama kedudukanya dengan pihak industri dan masyarakat yang sering disebut sebagai “tiga pilar pariwisata”. Adalah sangat keliru pemerintah menjadikan industri sebagai subordinat mereka. Itulah yang menjadi biang masalah tidak majunya pariwisata Indonesia dalam satu dekade belakangan ini. Saat satu pihak tak rela dan terus menerus terjebak pada prejudice, maka pariwisata akan terus jalan ditempat. Kita sebut ini berkaca pada kasus sebelumnya, misalnya saat pembentukan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata era Gus Dur, yang sebelumnya juga dipolakan akan melibatkan industri tapi kenyataannya industri digusur di sana. Pernyataan Menbudpar usai pengesahan RUU ini di DPR. Menurut Menbudpar, departemen yang dipimpinnya akan tetap melakukan kegiatan promosi dua tahun lagi, setelah itu BPPI akan mengambil-alih. Betulkah? Bagi kita, pernyataan itu adalah mimpi karena tidak ada aturan dalam UU yang baru yang menyatakan dana promosi APBN diberikan untuk BPPI, dan bahwa Budpar tetap mengelola anggaran promosi sampai kapanpun meski ada BPPI, kecuali nanti dalam pemerintahan baru status pariwisata bukan lagi departemen. Kedua adalah bagaimana menteri harus memilih dan mengusulkan sembilan nama untuk menjadi anggota BPPI? Ada kekuatiran bahwa menteri akan terjebak pada subjektivitas bukan objektivitas dalam menetapkan sembilan orang wakil asosiasi dan pakar di BPPI dengan memanfaatkan fakta bahwa banyaknya asosiasi yang ada di Indonesia saat ini. Jika subjektivitas itu boleh-boleh saja, tapi yang tak boleh dilupakan oleh menteri adalah adanya proporsi yang benar tentang siapa yang berhak mewakili siapa berdasarkan kinerja dan kekuatan asosiasi yang ada itu, bukan jadi-jadian. Lalu bagaimana pula menteri akan menetapkan dua wakil dari akademisi/pakar? Siapa yang berhak mewakili dan institusi mana? Jalan tercepat, tentu saja, memilih "kawan dekat". Tapi sekadar "kawan dekat" tanpa melihat rekam jejak kepakaran orang itu dalam bidang pariwisata juga akan masalah. Yang menjadi menarik kemudian adalah jika dalam Pasal 38 ayat (3) UU ini ditetapkan bahwa unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Indonesia dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dibantu seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota, pertanyaannya adalah wakil dari mana yang selayaknya diajukan menjadi ketua? Kekuatiran kita jika ketua badan ini misalnya dari akademisi/pakar, dirasakan kurang tepat karena melihat tugas dan fungsi badan yang sangat teknis sifatnya. Ini adalah badan promosi, bukan badan riset misalnya. Jika dikaitkan dengan 6 nilai fundamental kemanusiaan (kemerdakaan, keadilan, kemanan, kedamaian, kesejahteraan dan konservasi lingkungan), maka keberadaan BPPI ada pengaruh positif dan negatifnya bagi masyarakat yang ada di lokasi wisata maupun bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal positif yang disebabkan oleh BPPI misalnya adalah semakin dikenalnya objek wisata yang ada di Indonesia sehingga mampu menarik wisatawan asing ataupun domestik yang kemudia akan menjadi salah satu anggaran pendapatan daerah atau negara sehingga menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi. Apabila lokasi wisata tersebut menarik wisatawan asing, akan menambah devisa negara dari hasil kunjungan itu. Akan tetapi, bukan hanya hal positif yang dihasilkan oleh kemajuan pariwisata Indonesia, hal negatifnya lebih besar dibanding apa yang dirasakan. Promosi wisata yang dilakukan oleh BPPI hampir semua tidak menjamin “keaslian” daerah lokasi wisata terjaga. Sehingga masalah seperti keamanan masyarakat yang ada di lokasi wisata tersebut yang
biasanya tenteram menjadi terusik oleh oknum-oknum wisatawan serta semakin tingginya kasus kriminal yang terjadi. Yang paling nyata terlihat adalah semakin rusaknya lingkungan yang ada karena ulah para investor maupun para wisatawan yang tidak peduli terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan fasilitas pariwisata yang ada tidak pernah melihat dan menghitung efek negatif yang ditimbulkan ke lingkungan.
BAB III SOLUSI PERMASALAHAN Pertama-tama kita perlu mengingatkan bahwa kunci penting bagi suksesnya BPPI adalah apabila menteri berpikir lurus, dan berdasarkan kondisi alami, bukan politiking. Kedua, soal anggaran, menteri harus bisa menjamin ketersediaan anggaran badan ini pada tahap awal dan duduk bersama badan untuk membuka kesempatan bagi upaya-upaya menggali sumber pendanaan lain yang sah dan tidak melanggar aturan perundang-undangan. Aturan dan besaran hibah dari pemerintah harus bisa diatur dengan baik dan di sini suka atau tidak suka menteri harus bertanggung jawab sebab dialah yang memilih dan mengusulkan anggota badan itu. Ketiga, menteri dalam menetapkan anggota BPPI sedapat mungkin harus bisa melepaskan diri dari konflik kepentingan, dan sebaiknya tetap mengacu kepada fakta yang ada di lapangan. Jangan sampai memilih wakil dari asosiasi yang sama sekali tidak relevan dalam industri. Apalagi dalam proses pembuatan UU ini asosiasi-asosiasi itu dilibatkan juga di sana. Keempat, lebih dari apapun, semua pihak harus menempatkan badan ini dengan tepat, yakni sebagai badan yang sangat teknis sifatnya. Badan ini diatur dalam UU karena kita butuh institusi yang fokus dan kreatif dalam mendorong datangnya wisatawan ke Indonesia. Dari sisi pandang itu, industrilah yang lebih tepat memimpinnya, dan melalui hal itu kita bisa melihat antara industri dan pemerintah bisa berjalan bersama untuk memajukan pariwisata kita.
BAB IV KESIMPULAN Kemajuan pariwisata di Indonesia bergantung pada promosi yang dilakukan oleh sejauh mana promosi tersebut dilakukan, akan tetapi pariwisata yang merupakan sektor penyumbang pendapatan terbesar ke empat dalam APBN namun dalam pembahasan anggaran DPR selalu menjadi pembahasan yang paling akhir, hal itu secara tidak langsung menempatkan skala prioritas tentang pentingnya anggaran yang di poskan pada sektor pariwisata. Kalau dilihat seksama, sudah tak bisa dipungkiri Indonesia memiliki potensi yang pada dasarnya dapat menarik para pengunjung pariwisata baik lokal maupun mancanegara untuk menunjungi obyek wisata yang ada di Indonesia. Sehingga harus ada penegasan untuk menjadikan BPPI sebagai sebuah lembaga yang semi otonom di lingkup Kemeneterian Pariwisata Indonesia. Maka dari itu posisi BPPI sebagai salah satu Badan bentukan Kementerian yang jelas kuat diatur dalam UU No. 10 tahun 2009, harus jelas penggunaan anggaran yang didapat oleh badan ini. Sehingga perlu adanya kewenangan dari badan ini untuk menggunakan anggaran langsung dari APBN/APBD sehingga lembaga ini memiliki tanggung jawab yang lebih dalam kemajuan dan kerusakan sektor pariwisata Indonesia.