BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ARDS adalah keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan
langsung
ataupun
tidak
langsung
dengan
kerusakan
paru
(A r ya n t o
Suwondo,2006). ARDS menyebabkan terjadinya gangguan paru yang progrestif dan tiba-tiba di tandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrate yang menyebar pada kedua belah paru ARDS (juga disebut syok paru) akibat cedera paru yang dimana sebelumnya keadaannya sehat, sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahu tahun, n, deng dengan an lajumortalitas ajumortalitas 65% untuk semua pasien yang meng alami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, transfuse darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap, atau kimia, gangguan metabolic toksis, pancreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. Perawatan akut secara khusus menangani pearawatan klinis dengan intubasi dan ventilasi mekanik (Doenges, 1999 hal l217). ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. ARDS terjadi seba sebag gai aki akibat bat cede cederra atau trauma pada membr an alveol ar kapile r yang meng akibat kan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas gas dan dan penga pengali liha han n ekst ekstans ansif if da ra h da la m pa ru -p aru . ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Compliance paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart 616). Oleh karena itu, penanganan ARDS sangat memerlukan tindakan khusus dari percawat untuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan klien. Hal tersebut dikarenakan klien yang mengalami ARDS dalam kondisi gawat yang dapat mengancam jiwa klien.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ARDS? 2. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari system respirasi? 3. Bagaimana patofisologi ARDS? 4. Bagaimana tanda dan gejala terjadinya ARDS?
C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian dari Hernia 2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi Hernia 3. Untuk memahami patofisiologi dan mengetahui gejala yang muncul
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi fisiologi system respirasi
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen serta mnghembuskan udara yang banyak mengandung karbon dioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Organ pernapasan sendiri adalah hidung atau kavum nasal, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus. Secara umum fungsi utama dari saluran napas bagian atas adalah sebagai berikut 1. Air conduction kepada saluran napas bagian bawah untuk pertukaran gas. 2. Protection saluran napas bagian bawah dari benda asing. 3. Warming, filtration, dan humidification dari udara yang diinspirasi. Hidung (Cavum nasal) Hidung dibentuk oleh tulang dan kartilago. Bagian yang kecil dibentuk oleh tulang, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh septum. Rongga hidung mengandung rambut ( fimbriae) yang berfungsi sebagai filter/penyaring kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada mukosa hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet dimana sel tersebut mengelurkan lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. Faring Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (± 13 cm) yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat menelan (digestion) seperti juga pada saat bernapas. Faring
3
berdasarkan letaknya dibagi menjadi tiga, yaitu di belakang hidung(nasofaring), dibelakang mulut (orofaring), dan dibelakang laring (laringofaring). Laring Laring biasa disebut dengan voice box. Dibentuk oleh struktur ephitelium-lined yang berhubungan dengan faring (diatas) dan trakea (dibawah). Loasinya berada di anterior tulang vertebra ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esophagus berada di posterior laring. Fungsi utama dari faring adalah untuk vocalization, selain itu juga berfungsi sebagai proteksi jalan napas bawah dari benda asing dan memfasilitasi batuk. Laring terdiri dari atas bagian-bagian seperti berikut : epiglottis, glottis, tiroid kartilago, krikoid kartilago, aritenoid kartilago, pita suara. Ditinjau dari fungsinya secara umum, saluan pernafasan bagian bawah terbagi menjadi dua komponen, yaitu sebagai berikut. a. Saluran udara konduktif. Sering disebut sebagai percabangan trakeobronkialis, terdiri atas trakea, bronki, dan bronkioli. b. Satuan respiratorius terminal (kadang kala disebut dengan acini). Yaitu saluran udara konduktif, fungsi utamanya sebagai penyalur (konduksi) gas masuk dan keluar dari satuan respiratorius terminal, yang merupakan tempat pertukaran gas yang sesungguhnya. Alveoli merupakan bagian dari satuan respiratorius terminal. Trakea Trakea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang vertebra torakal ke-7 yang mana bercabang menjadi dua bronkus ( primar bronchus). Ujung dari cabang trakea biasa disebut carina. Trakea ini sangat fleksibel dan berotot, panjangnya 12 cm dengan C-shaped cincin kartilago. Pada garis ini mengandung pseudostratified ciliated columnar epithelium yang mengandung banyak sel goblet (sekresi mukus). Bronkus dan bronkiolus
4
Cabang kanan bronkus lebih pendek dan lebih lebar serta cenderung lebih vertical dari pada cabang yang kiri. Oleh karena itu, benda asing lebih mudah masuk kedalam cabang sebelah kanan dari pada cabang bronkus sebelah kiri. Segmen dan subsegmental bronkus bercabang lagi dan ini disusun oleh jaringan alveoli merupakan bagian yang tidak mengandung kartilago. Oleh karena itu, alveoli memiliki kemampuan untuk menagkap udara dan dapat kolaps. Saluran napas dari trakea sampai bronkus terminalis tidak mengalami pertukaran gas dan merupakan anatomical dead space (150 cm). bronkiolus respiratorius merupakan bagian awal dari pertukaran gas. Sekitar alveoli terdapat porus/ lubang kecil antara alveoli (kohn pores) untuk mencegah alveoli kolaps. Alveoli Parenkim paru merupakan area kerja dari jaringan paru, dimana pada daerah tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolar. Alveoli bentuknya sangat kecil. Alveoli merupakan kantong udara pada akhir bronkiolus respiratorius yang memungkinkan terjainya pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Seluruh unit alveolar (zona respirasi) terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan kantong alveoli (alveolar sacs). Diperkirakan terdapat 24 juta alveoli pada bayi baru lahir. Pada saat sseorang menginjak usia 8 tahun, jumlah bertambah seperti orang dewasa, yaitu 300 juta. Setiap unit alveolar menyuplai 9-11 prepulmonari dan pulmonary kapiler. Fungsi utama alveolar adalah pertukaran oksigen dan karbon dioksida diantara kapiler pulmoner dan alveoli. Fisiologi respirasi oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutuhkan oksigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tak dapat diperbaiki dan bisa menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen kurang akan menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis, misalnya orang bekerja pada ruangan yang sempit, tertutup, ruang kapal, ketel uap, dan lain-lain. Bila oksigen tidak mencukupi maka warna darah merahnya hilang berganti kebiru-biruan misalnya yang terjadi pada bibir, telinga, lengan, dan kaki (disebut sianosis). Proses respirasi dapat dibagi dalam tiga proses mekanis utama yaitu sebag ai berikut : 5
a. Ventilasi pulmonal, yaitu keluar masuknya udara a ntara atmosfir dan alveoli paru-paru. b. Difusi oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah. c. Transportasi oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ked an dari selsel. Proses fisiologis respirasi yang memindahkan oksigen dari udara ke dalam jaringan dan karbon dioksida yang dikeluarkan ke udara dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu sebagai berikut. 1. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) serta antara darah sistemik dan sel-sel jaringan. 2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus. 3. Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon diokida dengan darah. Agar pernapasan dapat berlangsung dengan normal, diperlukan beberapa faktor seperti berikut ini : 1. Suplai oksigen yang adekuat 2. Saluran udara yang utuh 3. Fungsi pergerakan dinding dada dan diafragma yang normal 4. Adanya alveoli dan kapiler yang bersama-sama membentuk unit pernafasan terminal dalam jumlah yang cukup 5. Jumlah hemoglobin yang adekuat untuk membawa oksigen pada sel-sel tubuh 6. Suatu system sirkulasi yang utuh dan pompa jantung yang efektif 7. Berfungsi pusat pernapasan.
6
B. Konsep ARDS a. Pengertian
Acute Respiratory Distress syndrome (ARDS) adalah satu bentuk dari respiratory failure. Pada ARDS ini yang dititik-beratkan adalah kurangnya Pa02 didalam darah oleh karena faktor difusi didalam membrane alveoli. Kelaianan difusi ini oleh karena terhadapnya oedema paru. Secara klinik setiap odema paru dihubungkan dengan kegagalan dari ventrikel kiri. Akan tetapi pada ARDS oedema paru ini tidak mempunyai korelasi dengan kegagalan ventrikel kiri oleh karena itu disebut long oedema non cardiogenic. (Tabrani, 1989) Istilah ARDS sering pula disebut denga shock paru oleh karena didapat pada 1/3 penderita shock dengan trauma yang berat. Walaupun difinisi ARDS ini masih bersifat kontrovensil akan tetapi ARDS dapat disimpulkan sebagai kegagalan paru yang dimanefestasikan dengan hypoxemi dimana terdapat oedema paru yang primer. Disampin oedema terjadi pula atelektatis karena paru kehilangan surfactant dan dapat pula terjadi shunting yakni hubungan arteri yang langsung ke venule tanpa melalui alveoli. Dapat pula terjadi fibrosis yang mengikuti oedema paru dan keseluruhannya memperberat hipoxemi yang terjadi. Perubahan pada fungsi paru dapat dilihat sebagai berikut : 1. Perubahan difusi gas pada membrane difusi. Karena affinitas difusi CO2 lebih tinggi dari O 2 maka hipoxemi lebih dominan dari hipercapnoe. 2. Kelainan ventilasi. Oleh karena terjadinya kehilangan surfactant maka diperlukan usaha ventilasi yang lebih besar untuk mencegah ateletatis paru. Dengan sendirinya ventilasi perfusi ratio akan lebih kecil oleh karena terdapatnya bagian-bagian atelektasis atau shunting di dalam paru. Gambaran lain dari ARDS adalah yakni berkurangnya complaince paru yang berarti dibutuhkan ventilasi yang lebih besar untuk mempertahankan faal paru. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya tegangan permukaan disebabkan oleh berkurangnya surfactant. Bila complaince ini makin lama makin berkurang akan terjadi atelektatis.
7
Walaupun sebabnya terjadi ARDS bermacam-macam akan tetapi secara klinik fisiologik dan patologik memberikan gambaran yang sama. Patofisiologi dalam hal ini masih dalam penyelidikan kan tetapi gejal-gejala pada permulaan dapat pula terjadi hipoxemi. Pada fase yang lebih lanjut ditemukan secara patologi anatomi adanya membrane hyaline yang meliputi alveolus. ARDS merupakan suatu bentuk dari gagal napas akut yang ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung dengan infiltrat yang menyebar. Dikenal juga dengan nama noncardiogenic pulmonary edema, shock pulmonary, dan lain-lain. Walaupun awalnya disebut dengan “sindrom gawat napas dewasa (adult)” istilah “akut” sekarang lebih dianjurkan karena keadaan ini tidak terbatas pada orang dewasa. (Irman Somantri, 2009)
b. Etiologi
Sindroma distress respiratori dewasa (adult resoiratory distress syndrome : ARDS) merupakan kejadian medis yang hebat dan tiba-tiba, yang dapat mengenai semua orang yang menderita/terkena:
Shock dengan berbagai sebab.
Trauma, yakni trauma thoracis dan trauma extra thoracis.
Infeksi yang disebabkan oleh berbagai virus.
Aspirasi misalnya tenggelam maupun aspirasi cairan lambung.
Overdosis obat-obatan terutama narkotik dan barbiturate.
Keracunan gas misalnya keracunan oksigen maupun keracunan corrosive.
Kelainan metabolisme misalnya uremia, pancreatitis.
Sebab-sebab yang lain misalnya peninggian tekanan intra cranial, eclampsia, post cardio verasi. 8
Langsung
Tidak Langsung
Infektif (pneumonia, tuberkulosis)
Sepsis
Aspirasi cairan lambung
Luka bakar
Inhalasi asap berlebih
Shock
Inhalasi toksin
Anafilatik
Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu Overdosis obat-obatan (salisiat, barbiturat) lama
c. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis ARDS bervariasi bergantung pada penyebab. Pada permulaan dan beberapa jam setelah cedera, klien mungkin bebas dari berbagai tanda dan gejala gangguan pernapasan. Tanda awal yang sering terlihat adalah peningkatan frekuensi pernapasan yang segera diikuti dengan dispnea. Pengukuran ABGs awal akan memperlihatkan penekanan PO2 meskipun PCO2 menurun, sehingga perbedaan oksigen alveolar-arteri meningkat. Pada stadium dini pemberian oksigen dengan masker atau dengan kanula akan membuat koreksi yang bermakna pada peningkatan PO2 arteri. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan suara napas ronchi basah yang halus saat inspirasi meskipun tidak begitu jelas. (Irman Somantri, 2009) Sindrom dawat pernapasan akut terjadi dalam waktu 24-28 jam setelah kelainan dasar. Mulamula penderita akan merasakan sesak napas, biasanya berupa pernapasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terliat pucat atau biru (sianosis), dan organ lainnya seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik.
Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa menyebabkan komplikasi serius
seperti gagal ginjal. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila pengobatan diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia bacterial dalam perjalanan penyakitnya. 9
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan :
Cemas, merasa ajalnya hampir tiba
Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh kegagalan organ lain)
Penderita sering kali tidak mampu mngeluhkan gejalanya karena tampak sangat sakit.
d. Patofisiologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaringjaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang
jelas akibat
kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan h ipokapnia (Brunner & Suddart 616). Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS : 1. Fase eksudatif. Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut. 2. Fase Proliferatif. Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi fibroblast, sel tipeII, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan
menjadi
jaringan granulasi
seluler/membran hialin.
Fase
proliferatif merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, adaresiko terjadi lung rupture (pneumothorax). 3. Fase Fibrotik/Recovery. Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur-angsur membaik dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat 10
bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya. Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai ARDS (Philip etal, 1995): a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement cascade menjadi aktif yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler. b. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar. c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi- perfusi dan hipoksemia. d. Terjadi
hiperventilasi
kompensasi
dari
alveoli
fungsional,
sehingga
mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis respiratorik. e. Sel-sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan, dengan demikian meningkatkan tekanan pembukaan alveolar. ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat (Yasmin Asih. Hal 125). Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume darah sampai 3 kalinormalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk ke jaringan interstisiel danterjadi edema paru ( Jan Tambayog 2000, hal 109).
11
e. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi masalah yang mengancam kehidupan dan harus segera dilakukan. Penatalaksanaan yang bisa diberikan adalah sebagai berikut. 1. Terapi Oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik penting dan secara potensial mempunyai efek samping toksik. Klien tanpa dasar penyakit paru tampak toleran dengan oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa abnormalitas fisiologis penting. 2. Ventilasi Mekanik
Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanis. Tujuan terapi modalitas ini adalah untuk memberikan dukungan ventilasi sampai integritas membrane alveolar-kapiler kembali balik. Dua tujuan lainnya adalah:
Memelihara ventilasi dan oksigen adekuat selama p eriode kritis hipoksemia berat
Mengembalikan factor etiologi yang mengawali penyebab distress pernapasan.
3. Positi f En d_Expir atory Pressur e (PEEP)
Ventilasi dan oksigenasi adekuat diberikan oleh volume ventilator dengan tekanan tinggi dan kemampuan aliran, dimana PEEP dapat ditambahkan. PEEP dipertahankan dalam alveoli melalui siklus pernapasan. Selain itu untuk mencegah atau mempertahankan alveoli kolaps pada akhir ekspirasi. Komplikasi utama PEEP adalah penurunan curah jantung dan barotrauma. Ini lebih sering terjadi jika klien diventilasi dengan tidal volume diatas 15 ml/kg atau PEEP tingkat tinggi. Peralatan selang dada torakostomi darurat harus siap tersedia. 4. Pemantauan Oksigenasi Arteri Adekuat
Kebanyakan volume oksigen yang ditranspor ke jaringan dalam bentuk yang telah berkaitan dengan hemoglobin. Bila anemia terjadi, kandungan oksigen dalam darah menurun, sebagai 12
akibat efek ventilasi mekanik PEEP. Pengukuran seri hemoglobin perlu dilakukan untuk kalkulasi kandungan oksigen yang akan menentukan kebutuhan untuk tranfusi sel darah merah. 5. Titrasi Cairan
Mekanisme patogenesis peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler mengakibatkan edema interstisial dan alveolar. Pemberian cairan yang berlebihan pada orang normal dapat menyebabkan edema paru dan gagal pernapasan. Tujuan utama terapi cairan adalah untuk mempertahankan parameter fisiologis normal. 6. Terapi Farmakologi
Penggunaan kortikosteroid masih menjadi kontroversi. Sebelumnya terapi antibiotik diberikan untuk profilaksis. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ini tidak mencegah sepsis gram negative yang berbahaya. Antibiotic profilaksis rutin sudah tidak digunakan lagi. 7. Pemeliharaan Jalan Napas
Selang endotrakeal atau selang trakeostomi disediakan tidak hanya sebagai jalan napas tetapi juga sangat berarti dalam melindungi jalan napas (dengan cuff utuh), memberikan dukungan ventilasi kontinu, dan memberikan konsentrasi oksigen terus-menerus. Pemeliharaan jalan napas meliputi pengetahuan mengenai waktu yang tepat untuk mengisap, melakukan pengisapan dengan teknik yang benar, mempertahankan tekanan cuff yang adekuat, pencegahan nefrosis tekanan nasal dan oral untuk membuang sekresi, serta pemantauan kontinu jalan napas bagian atas. 8. Pencegahan Infeksi
Perhatian penting terhadap sekresi saluran pernapasan bagian atas dan bawah serta pencegahan infeksi melalui teknik pengisapan yang telah dilakukan. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan di rumah sakit. 9. Dukungan Nutrisi
Malnutrisi relatif merupakan masalah umum pada klien dengan masalah kritis. Nutrisi parenteral total (hiperalimentasi intravena) atau pemberian makan per selang (nasogastric 13
tube _NGT) dapat memperbaiki malnutrisi dan memungkinkan klien untuk terhindar dari gagal napas sehubungan dengan nutrisi buruk pada otot inspirasi. 10. Monitor Semua Sistem Terhadap Respons Terapi dan Potensial Komplikasi
Rata-rata moralitas 50 -70% dapat menimbulkan gejala sisa saat penyembuhan. Prognosis jangka panjang baik. Abnormalitas fisiologis dari ringan sampai sedang yang telah dilaporkan adalah abnormalitas obstruksi terbatas, defek difusi sedang, dan hipoksemia selama latihan. f. Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen dada (Chest X-Ray): tidak terlihat jelas pada stadium awal atau dapat juga terlihat adanya bayangan infiltrate yang terletak di tengah region perihilar paru. Pada stadium lanjut terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan infiltrat alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruh lobus paru. Tidak terjadi pembesaran pada jantung.
ABGs: hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnea (penurunan nilai CO2 dapat terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap hiperventilasi), hiperkapnea (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan pernapasan. Alkalosis respiratori (pH > 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis dapat juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan dead space dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis metabolik dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai laktat darah, akibat metabolism anaerob.
Tes fungsi paru ( Pulmonary Fuction Test ): Compliance paru dan volume paru menurun, terutama FRC, peningkatan dead space dihasilkan oleh pada area terjadinya vasokonstriksi dan mirkroemboli timbul.
14
C. WOC
Etiologi ARDS
Membran Alveolar Kapiler Rusak
Rusaknya Sel Epitel tipe II
Rusaknya Sel Epitel Tipe I
Produksi Surfaktan
Permeabilitas
Akumulasi Cairan Kaya Protein dari Vaskuler ke Alveoli
Aktivasi Sel Sistem Imun Edema Paru Makrofag
Migrasi Neutrofil
Gas Exchange Terganggu MK : Gangguan Pertukarn Gas
Proses Inflamasi Sepsis
Alveoli Kolaps
Fibrosis Paru
Penurunan Compliance Paru Peningkatan kerja Napas Hipoventilasi Alveolar Hipoksemia
15
B1
B2
B3
B4
B5
B6
Dispneu
Takikardi
Agitasi
GFR
Bising Usus
Sianosis
Orthopneu
kesadaran
MuscleWastin
Takipneu
Ileus Paralitik
Luka Infeksi
Crackles
Kelemahan Oliguri
Hiperkapnia
Hipotensi
Alkalosis
Perfusi tdk kuat
Respiratorik,
MK : Nutrisi < keb. tubuh MK : Gx Pola Eliminasi
Respiratori failure
Urine MK : Ansietas
MK : Intoleransi Aktivitas
MK : Gx Pola Napas
MK : Gx Perfusi Jaringan
16
D. Konsep asuhan keperawatan pada ARDS a. Pengkajian
1. Biodata Sesuai dengan namanya, maka penyakit ini lebih menyerang orang dewasa dibandingkan anak-anak, namun saat ini ditemukan bahwa seluruh usia dapat terkena ARDS. Tidak ditemukan perbedaan antara prevalensi timbulnya pada laki-laki dan perempuan. 2. Riwayat Kesehatan Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang
ARDS dapat terjadi dalam 24-48 jam timbulnya serangan, ditandai dengan napas pendek, takipnea, dan gejala yang berhubungan dengan penyebab utamanya, misalnya syok. Riwayat Kesehatan Dahulu/Faktor Risiko
a). Syok (banyak sebab). b). Trauma (kontusio pulmonal, fraktur multiple, trauma kepala). c). Cedera sistem saraf yang serius. Cedera sistem saraf yang serius seperti trauma. CVA, tumor dan peningkatan (tekanan intracranial-PTIK) dapat menyebabkan terangsangnya saraf simpatis, sehingga terjadi vasokonstriksi sistemik dengan distribusi sejumlah besar volume darah ke dalam aliran pulmonal. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan kemudian akan menyebabkan cedera paru (lung injury). d). Gangguan metabolic (pancreatitis, uremi). e). Emboli lemak dan cairan amnion. f). Infeksi paru difus (bakteri, viral, fungal). g). Inhalasi gas beracun (rokok, oksigen konsentrasi tinggi, gas klorin, NO2, ozon). 17
h). Aspirasi (sekresi gastric, tenggelam, keracunan hidrokarbon). i). Drugs Ingestion dan overdosis, narkotik/non-narkotik (heroin, opioid, aspirin). j). Hemolytic disorder, seperti DIC, multiple blood transfusion, dan cardiopulmonary bypass. k). Major surgery l). Respons imunologik terhadap antigen pejamu (goodpasture syndrome, SLE). B1 : Breating Dyspneu, orthopneu, takipneu, crackles B2 : Blood Takikardi B3 : Brain Agitasi, penurunan kesadaran B4 : Bladder GFR (Glomerular filtration rate) menurun, oliguri B5 : Bowel Bising usus turun, ileus paralitik B6 : Bone Sianosis, muscle wasting, luka, infeksi kelemahan
b. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d hipoventilasi alveolar, perubahan membrane kapiler alveolar. 2. Gangguan pola napas b/d orthopnea, dispnea, takipnea. 3. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan darah secara mekanik. 4. Ansietas b/d kesulitan untuk berkonsentrasi 18
5. Gangguan pola eliminasi urine b/d penurunan produksi urine. 6. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Peningkatan kebutuhan metabolik & gangguan kemampuan mencerna. 7. Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen & melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal. c. Intervensi keperawatan Diagnosa : Gangguan pertukaran gas b/d hipoventilasi alveolar, perubahan membrane kapiler
alveolar. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan Pertukaran gas kembali normal
selama dan sesudah pemasangan ventilator. Kriteria Hasil : Hasil analisa gas darah normal : PH(7,35 – 7,45), PO2( 80 – 100mmHg),
PCO2(35-45 mmHg), BE (-2 - +2), HCO3, tidak sianosis. Intervensi
Rasional
1. Cek analisa gas darah bila dilakukan Evaluasi keefektifan setting ventilator yg perubahan setting ventilator. 2. Monitor
status
pernapasan,
diberikan. catat Takipneu adalah mekanisme kompensasi
peningkatan respirasi atau perubahan pola
u/
napas.
napas.
3. Pertahankan jalan napas bebas dari sekresi. 4. Monitor tanda & gejala hipoksia. 5. Berikan istirahat yang cukup.
hipoksemia
Sekresi
&
peningkatan
usaha
menghambat kelancaran udara
bernapas. Deteksi dini adanya kelainan Menyimpan tenaga klien & mengurangi
penggunaan oksigen. U/
mencegah
bertambah
parahnya
penyakit.
Diagnosa : Gangguan pola napas b/d orthopnea, dispnea, takipnea Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan, keefektifan pola napas kembali normal
19
Kriteria Hasil : kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas, inspaksi dada simertris. Intervensi
1. Obsevasi TTV
Rasional Untuk mengumpulkan dan menganalisis
2. Monitor managemen jalan napas klien
data kardiovaskular, pernapasan dan suhu
3. Lakukan penghisapan jalan napas
tubuh
pasien
untuk
menentukan
dan
mencegah komplikasi. untuk
pengumpulan
dan
analisis
memfasilaitasi kepatenan jalan napas mengeluarkan secret jalan napas dengan
cara
memasukkan
kateter
pengisap
(ventilator) kedalam jalan napas oral
Diagnosa : Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan darah secara mekanik. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, aliran arteri dan vena dapat stabil Kriteria Hasil : menunjukkan keefektifan pompa jantung, perfusi jaringan perifer Intervensi
1. observasi TTV : tekanan darah, sistolik dan diastolic, pH (7,35-7,45) 2. monitor respirasi pada pasien 3. pantau status neurologis
Rasional mencatat
tekanan
darah,
sirkulasi
peningkatan arteri dan vena pada klien pengumpulan
dan
analisis
untuk
memastikan jalan napas serta keadekuatan pertukaran gas untuk mengetahui tingkat GCS
Diagnosa : Ansietas b/d kesulitan untuk berkonsentrasi Tujuan : ansietas berkurang dengan tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang dan
menunjukkan pengendalian diri (koping) Kriteria Hasil : menrencanakan strategi koping untuk situasi penuh tekanan Intervensi
1. ajarkan cara antisipasi ansietas
Rasional mempersiapkan
pasien
menghadapi 20
2. ajarkan tehnik menenangkan diri
kemungkinan
3. bantu pasien dalam peningkatan koping
situasional
krisis
perkembangan
meredahkan kecemasan pada pasien yang
mengalami distress akut membantu
pasien
untuk
beradaptasi
dengan persepsi stressor
Diagnosa : Gangguan pola eliminasi urine b/d penurunan produksi urine. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan pola berkemih pasien akan
kembali normal Kriteria Hasil : mempertahankan pola berkemih yang dapat diduga Intervensi
Rasional
1. berikan pelatihan kandung kemih
meningkatkan fungsi kandung kemih
2. ajarkan managemen eliminasi urine
mempertahankan
eliminasi urine yang
optimum
Diagnosa : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Peningkatan kebutuhan metabolik &
gangguan kemampuan mencerna. Tujuan : Nutrisi klien terpenuhi dalam 5 x 24 jam. Kriteria Hasil : Menunjukkan peningkatan BB,nilai Lab. Albumin Normal intervensi
Rasional
1. Evaluasi kemampuan penyerapan terhadap Untuk mengatahui kemampuan lambung sonde yg diberikan.
menyerap makanan.
2. Berikan diet sonde 8 x 200 cc (susu + extra Meningkatkan telur 3 x 1 butir) & catat distatus. 3. Timbang BB sesuai indikasi 4. Kaji fungsi GI, seperti : Perubahan lingkar
pemasukan
serta
u/
memudahkan pe-mantauan. Kehilangan BB bermakna (7 % - 10 %
BB)
Memberikan
petunjuk
ttg
abdomen,mual/muntah,diare/konstipasi
katabolisme, simpanan glikogen otot &
atau adanya perdarahan.
sensitivitas thd ventilator. 21
5. Berikan Albumin 25 % 100 cc/IV
Fungsi
6. Awasi hasil pemeriksaan Lab.lainnya spt :
GI
penting
u/
penggunaan
makanan enteral. Sacara mekanik klien
Serum,tranferin,BUN/Kreatinin & glukosa
dng
bantuan
mengalami
ventilasi
distensi
berisiko
abdomen
u/
(udara
terjebak dlm ileus & perdarahan gaster U/ meningkatkan albumin hingga kembali
normal. Memberikan
informasi
ttg
dukungan
nutrisi yg adekuat/perlu perubahan.
Diagnosa : Intoleran aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen &
melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal. Tujuan : menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, toleransi aktivitas, ketahanan,
penghematan alergi Kriteria Hasil : frekuensi pernapasan saat beraktivitas, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat,
menyadari keterbatasan energy Intervensi
1. Bantu perawatan diri klien
Rasional Membantu
2. Berikan terapi aktivitas pada klien
untuk
3. Ajarkan promosi latihan fisik
sehari-hari
dan mengarahkan individu
melakukan
Memberikan
aktivitas spiritual
aktivitas
ajuran
fisik,
bantuan
kognitif,
yang
kehidupan
social,
spesifik
dalam dan untuk
meningkatkan rentang, frekuensi, atau durasi aktivitas individu. Memfasilitasi latihan otot, resistif secara
rutin
untuk
mempertahankan
atau
meningkatkan kekuatan otot
22
d. Evaluasi Diagnosa Keperawatan
Catatan
Gangguan pertukaran gas b/d hipoventilasi S : pasien mengatakan jalan napas bebas dan alveolar,
perubahan
membrane
kapiler tidak ada secret
alveolar.
O : Hasil analisa gas darah normal : PH(7,35 – 7,45) PO2( 80 – 100mmHg) PCO2(35-45 mmHg) BE (-2 - +2) HCO3 (21-28), tidak sianosis dan tidak sesak. A : Tujuan tercapai, masalah dapat teratasi P : Intervensi dihentikan
Diagnosa Keperawatan
Catatan
Gangguan pola napas b/d orthopnea, dispnea,
S : pasien mengatakan pola pernapasan
takipnea.
kembali normal O : Nampak perubahan yang lebih baik pada pola pernapasan pasien A : tujuan tercapai, masalah dapat teratasi P : interrvensi dihentikan
Diagnosa Keperawatan
Catatan
Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan S : pasien mengatakan adanya perubahan darah secara mekanik.
sensasi (ekspresi) O : pasien nampak lebih segar dan fress A : tujuan tercapai, masalah dapat teratasi P : intervensi dihentikan 23
Diagnosa Keperawatan
Ansietas b/d kesulitan untuk berkonsentrasi
Catatan
S : pasien mengatakan tidak lagi cemas O : pasien nampak bisa berkonsentrsi kembali A : tujuan tercapai, masalah dapat teratasi P : intervensi dihentikan
Diagnosa Keperawatan
Catatan
Gangguan pola eliminasi urine b/d penurunan S : Pasien mengatakan tidak mengalami produksi urine.
kesulitan untuk berkemih dan mampu berkemih dengan lancar. O : TTV Suhu: 37 derajat C TD: 120/80 mmHg Nadi: 95 kali/menit RR: 17 kali/menit Produksi urine 1,5 liter/24 jam, Urine yang dihasilkan bersih dan jernih, A : Tujuan tercapai, masalah dapat teratasi P : Intervensi dihentikan
Diagnosa Keperawatan
Catatan
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d S : Peningkatan kebutuhan metabolik & gangguan O: diare (-) BB=44,5 kg,TB= 152 cm. kemampuan mencerna.
2 o
Suhu=37
c.
A: tujuan tercapai, masalah dapat teratasi P : intervensi dihentikan
24
Diagnosa Keperawatan
Intoleran antara
aktivitas
suplai
dan
b/d
Catatan
ketidakseimbangan S : pasien mengatakan tidak lagi merasakan
kebutuhan
oksigen
& letih dan lemas
melaporkan keletihan atau kelemahan secara O : antara suplai dan kebutuhan oksigen verbal.
seimbang A : tujuan tercapai, masalah dapat teratasi P : intervensi dihentikan
25
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom gawat napas akut (acute respiratory distress syndrome, ARDS) secera sederhana didefinisikan sebagai “sindrom paru bocor” atau “edema paru tekanan rendah (yaitu, nonkardiogenik)”. Keadaan tersebut meliputi cedera paru inflamatori difus akut, seringkali pada paru yang sebelumnya sehat sebagai respons terhadap berbagai gangguan langsung yaitu terinhalasi atau tidak langsung yaitu melalui darah. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Organ pernapasan sendiri adalah hidung atau kavum nasal, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus.
26
DAFTAR PUSTAKA
Tabrani Rab.(1989). Prinsip Gawat Paru. Jakarta. EGC J.C.E underwood.(1999). Patologi umum dan sistematik. Jakarta. EGC Somantri Irman.(2009). Asuhan Keperawatan pada klien dengan system pernapasafan. Jakarta. Salemba Medika Jeremy, Richard.(2007). At a Glace system respirasi Edisi II. Jakarta. Erlangga Judith M. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9 NANDA NIC NOC . Jakarta. EGC Syaifuddin,(2006). Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta. EGC Widiastuti Rahayu, Eko Bambang.(2012). Kamus Keperawatan. Jakarta. Prestasi Pustaka
27