NASIB HIU KRITIS
Maraknya perdagangan sirip hiu di dunia saat ini merupakan salah satu isu yang menarik untuk dikaji. Hiu yang merupakan predator nomor satu di lautan itu ternyata saat ini berada dalam kondisi kritis. Bagaimana tidak, penangkapan hiu di dunia dari tahun ta hun ke tahun semakin meningkat tajam. Organisasi Pangan dan Pertanian ( Food Food and Agriculture Organization/FAO) Organization/FAO) yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa 20 negara penangkap hiu (dari yang terbesar) berdasarkan rata-rata data produksi tangkapan FAO 2000-2010 adalah : Indonesia, India, Spanyol, Taiwan, Argentina, Mexico, Amerika Serikat, Pakistan, Malaysia, Jepang, Perancis, Brazil, Thailand, Selandia Baru, Sri Lanka, Portugal, Nigeria, Republik Iran, Republik Korea dan Inggris (United Kingdom). Jumlah hiu yang ditangkap oleh 20 negara penangkap diatas mencapai 80 persen total tangkapan hiu yang dilaporkan ditingkat global. (Sumber: WWF) Lagi-lagi Indonesia berada pada posisi teratas, tapi sayangnya bukan yang teratas dalam hal prestasinya. Berdasarkan data dari Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM-KKP), (BKIPM-KKP), penjualan sirip hiu di nusantara terus meningkat. Tahun 2011, penjualan sirip hiu mencapai 315 ton. Kenapa Hiu Terancam?
Secara umum sirip hiu (atau terkadang bagian tubuh lainnya) didapatkan dengan memotong sirip mereka hidup-hidup atau biasa disebut dengan Shark Finning , lalu hiu tanpa sirip tersebut dibuang ke laut dalam keadaan masih bernyawa untuk kemudian mati secara perlahan. Praktik yang keji tersebut dilakukan terhadap 38 juta hiu setiap seti ap tahunnya ta hunnya (Clarke, 2006) dari sekitar 26-73 juta hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia (Fordham, 2010). Ini berarti sekitar 1-2 individu hiu tertangkap setiap detiknya. Hiu merupakan konsumen tingkat IV dalam urutan rantai makanan di laut. Konsumen tingkat IV ini dapat dikatakan sebagai konsumen yang utama dalam menjaga keberlanjutan rantai makanan. Jika konsumen tingkat IV ini tidak ada, tentu ekosistem laut akan terganggu. Disisi lain, hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat. Reproduksi ikan Hiu berbeda dengan ikanikan lainnya. Periode kelahiran ikan Hiu 1 kali dalam setahun dan angka kelahirannya hanya berjumlah kurang dari 100 anak ikan Hiu. Sehingga hiu rentan terhadap eksploitasi berlebih.
Hiu dan Perjanjian Internasional
Dengan meningkatnya perdagangan sirip hiu tersebut, Indonesia saat ini menjadi sorotan dunia internasional. Sejumlah negara-negara yang tergabung dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ) meminta Indonesia mengurangi penangkapan enam jenis hiu, di antaranya whale shark, dan hammerhead. Indonesia juga diminta tidak lagi menangkap hiu macan. CITES atau yang dalam Bahasa Indonesianya adalah konvensi perdagangan internasional untuk tumbuhan dan satwa liar
yang spesiesnya terancam adalah perjanjian internasional antarnegara yang
disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union atau yang sering disebut juga dengan International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 1963. CITES menjadi satu-satunya perjanjian global yang fokus pada perlindungan satwa dan tumbuhan liar untuk perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin dapat membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Saat ini CITES telah memasukkan 12 jenis hiu dalam daftar Appendix 1, 2, dan 3. Spesies di Appendix 1 secara umum dilarang diperdagangkan karena seda ng terancam punah, sementara Appendix 2 mengatur pengelolaan spesies yang menuju ancaman punah melalui aturan perdagangan yang ketat, sedangkan Appendix 3 mengatur perlindungan spesies setidaknya di satu negara anggota CITES. Jenis-jenis tersebut adalah 6 jenis Pristidae spp (Sawfishes) dalam Appendix 1; Pristidae microdon (sawfish), Cetorhinus maximus (basking shark), Carcharodon carcharias (Great White Shark), dan Rhincodon typus (Whale Shark) dalam Appendix
2; Sphyrna
lewini (Scalloped
Hammerhead)
di
Kosta
Rika,
dan Lamna
nasus (porbeagle) (di beberapa negara Eropa) dalam Appendix 3.
Walaupun telah adanya peringatan oleh dunia internasional terhadap Indonesia berkaitan dengan penangkapan hiu toh sampai saat ini Indonesia masih memperdagangkan sirip hiunya. Buktinya dapat kita lihat dan kita dengar sendiri di beberapa stasiun televisi yang masih menyiarkan berita tentang penangkapan hiu salah satunya dari stasiun TV Net Mediatama dalam program Indonesia Morning Show yang saya dengar beberapa hari yang lau. Berita tersebut mengabarkan bahwa saat ini manusia sangat mengancam populasi hiu, dan berdasarkan laporan dari Comm. Manager for Marine and Fisheries, Dewi Satriani yang dihadirkan di program Indonesia Morning Show tersebut untuk sepuluh tahun terakhir ini populasi hiu menurun hingga tinggal 15% di seluruh dunia. Beliau mengatakan bahwa 50%
hiu dikonsumsi oleh masyarakat China dan Hongkong sementara untuk penangkapannya beliau juga mengiyakan bahwa Indonesia adalah negara penangkap hiu terbesar di dunia.
Analisis Mengenai Aturan Hukum di Indonesia Terkait dengan Hiu
Tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang pelarangan perdagangan sirip hiu juga menyebabkan para pelaku bisnis ini leluasa untuk bertindak bebas. Selain itu, belum adanya perlindungan yang kuat terhadap ikan hiu itu sendiri. Seharusnya melihat kondisi hiu yang sudah semakin kritis ini, pemerintah Indonesia bergegas untuk membuat suatu UU khusus yang mengatur tentang eksploitasi hiu tersebut atau paling tidak memasukkan jenis-jenis hiu yang sudah terancam punah tersebut ke dalam golongan tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 5 PP No 7/1999 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya yang berbunyi: “Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan daerah penyebaran yang terbatas (endemik).” Selanjutnya di dalam PP tersebut disebutkan pula bahwa terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana yang telah disebutkan di atas wajib dilakukan upaya pengawetan. Upaya perlindungan ini sebenarnya merupakan kewajiban memang bagi Indonesia karena Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Kepres No 43 tahun 1978 hanya saja peraturan ini kembali melemah karena tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur jenis eksploitasi hiu berdasarkan ratifikasi tersebut. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat Indonesia, dengan ada atau tidak adanya perhatian pemerintah terkait dengan kasus ini, tetap harus mendukung perlindungan dan kelestarian hiu. Baik itu dilakukan dengan cara sosialisasi, membentuk suatu komunitas yang berkonsentrasi di bidang perlindungan hiu, ataupun untuk hal yang paling kecil saja jika kitanya dulunya adalah penikmat sirip hiu mulai dari sekarang ini berhenti untuk menikmatinya. Berhenti mengkonsumsi hiu berarti membantu menghentikan perdagangan hiu. Menyelamatkan hiu berarti menyelamatkan ekosistem laut yang sehat. Akhir kata, Save Our Sharks !