ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GAGAL GINJAL
1.
LANDASAN TEORI
1.1
Definisi
1.1. 1.1.1 1
Gaga Gagall ginj ginjal al akut akut : suat suatu u peny penyak akit it diman dimanaa ginj ginjal al secar secaraa tiba tiba – tiba tiba kehilangan kehilangan kemampuan kemampuan untuk mengekskresikan mengekskresikan sisa – sisa metabolisme. metabolisme. (Suriadi dan Rita Y., 2001 : 111).
1.1.2 Gagal ginjal akut : suatu keadaan klinik dimana dimana jumlah urin mendadak berkurang berkurang dibawah dibawah 300 ml / m2 dalam sehari sehari disertai disertai gangguan gangguan fungsi fungsi ginjal ginjal lainnya. lainnya. Sering dipergunakan istilah lain untuk keadaan tersebut seperti nefrosis toksik akut, akut, nakro nakrosi siss tubul tubular ar akut akut,, nefro nefrosi siss nefr nefron on renda rendah h dan dan lain lain sebag sebagain ainya. ya. (Ngastiyah, 1997 : 310) 1.1.3 1.1.3 Gagal Gagal ginjal ginjal akut : penuru penurunan nan atau penghent penghentian ian fungsi fungsi ginjal ginjal secara tiba – tiba tiba sehingga terjadi berbagai gangguan fisiologik dalam homeustasis. (Cecily L. Bets Linda A. Sowden, 2002) 1.2
Etiologi
1.2.1 1.2.1 Faktor Faktor prarenal prarenal Semua faktor yang menyebabkan peredaran darah ke ginjal berkurang dengan terdapatnya hipovolemia, misalnya : a.
Perda erdara raha han n kare karena na trau traum ma ope operasi rasi..
b.
Dehidrasi Dehidrasi atau berkurangnya berkurangnya volume cairan ekstra ekstra seluler seluler (dehidrasi (dehidrasi
pada diare). diare). c.
Berku Berkump mpul ulnya nya cair cairan an inter interst stis isiil iil di di suatu suatu daer daerah ah luka luka ( kombus kombusti tio, o, pasc pasc
bedah yang cairannya berkumpul berkumpul di daerah operasi, operasi, peritonitis peritonitis dan proses proses eksudatif lainnya yang menyebabkan hipovolemia ). Bila faktor prarenal dapat diatasi, faal ginjal akan menjadi normal kembali, tapi jika hipovolemia hipovolemia berlangsung berlangsung lama, maka akan terjadi kerusakan kerusakan pada parenkim ginjal.
1.2.2 Faktor renal Faktor ini merupakan faktor penyebab gagal ginjal akut yang terbanyak. Terjadi kerusakan di glomerulus atau tubulus sehingga faal ginjal langsung terganggu. Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan – lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini adalah : a. Koagulasi
intravaskuler,
seperti
pada
sindrom
hemolitik
uremik,
renjatansepsis dan renjatan hemoragik. b. Glomerulopati ( akut ) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcoc, lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal. c. Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan. d. Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama, nefrotoksin ( kloroform, sublimat, insektisida organik ), hemoglobinuria dan mioglobinuria. e. Pielonefrits akut ( jarang menyebabkan gagal ginjal akut ) tapi umumnya pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif. f. Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif. 1.2.3 Faktor pascarenal Semua faktor pascarenal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih seperti kelainan bawaan, tumor , batu, dsb.
1.3
Patofisiologi
1.3.1 Pada gagal ginjal akut terjadi ketidakmampuan ginjal untuk memfiltrasi sisa buangan, pengaturan cairan, dan mempertahankan keseimbangan kimia. 1.3.2 Tipe prerenal
merupakan hasil dari penurunan perfusi renal yang dapat
disebabkan oleh dehidrasi, asfiksia perinatal, hipotensi, septic syok, syok hemoragik atau obstruksi pada arteri renal, diare atau muntah, syok yang disebabkan oleh pembedahan, luka bakar, hipoperfusi berat ( pada pembedahan jantung ). Hal ini menimbulkan penurunan aliran darah renal dan terjadi iskemik. 1.3.3 Tipe intrarenal merupakan hasil dari kerusakan jaringan ginjal yang mungkin disebabkan oleh nefrotoksin seperti aminoglycosides, glomerulonefritis, dan pyelonefritis. 1.3.4 Tipe postrenal adanya obstruksi pada aliran urine. Obstruksi dapat meningkatkan tekanan dalam ginjal yang mana dapat menurunkan fungsi renal. Penyebabnya dapat obstruksiureteropelvic, obstruksi ureterovesical, neurogenik bladder, posterior urethral valves, tumor atau edema.
Prerenal
Pasca Renal
Renal
Diare, perdarahan Dehidrasi
Kogulasi intravaskuler
Tumor, batu
Vasokontriksi
Vasokontriksi
Obstruksi saluran kemih
Perubahan perfusi jaringan
Isekemia
Merangsang pengeluaran aldosteron
Isekemia
Nekrosis epitel tubulus bag. Bawah
Nekrosis kortikal
Aliran darah ke glomerulus menurun
Hipertensi Nekrosis membran dasar
GFR menurun Beredar dalam darah
Nekrosis tubular menyeluruh Ureum dalam darah meningkat
BUN meningkat Kreatinin serum meningkat
Pencemaran Reabsorbsi sodium dari tubular mual muntah anoreksia
Diaphoresis Keringat bersifat korosif Kerusakan integritas kulit
Stimulasi sistem mekanisme renin
3 fase
Vasokontriksi arteriole afferen Perubahan Nutrisi
Kelebihan volume Edema paru
GFR menurun lebih jauh & mencegah kehilangan sodium yang cairan lebih besar Aliran darah renal Asites
Istirahat tidur Gangguan rasa nyaman - Pola nafas tidak efektif - Bersihan jalan nafas tidak efektif
Anuria
pusing muntah haus kusmaul apatis anemia kejang
Diuretik
Pasca D1uretik
Produksi urin meningkat
poliuri ber >
dehidrasi
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 stadium (stadium I, II, III) :
Stadium I (penurunan cadangan ginjal)
Kreatinin serum dan kadar BUN normal.
Stadium II (Insufiensi ginjal)
> 75% jaringan fungsinya rusak. BUN meningkat diatas normal
Stadium III (Uremia)
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Kreatinin serum dan BUN meningkat sangat menyolok. Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 3 stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium tersebut.. 1.4
Komplikasi
1.4.1 Ketidakseimbangan cairan elektrolit. 1.4.2 Ketidakseimbangan asam – basa. 1.4.3 Gagal ginjal kronik. 1.5
Manifestasi klinis
1.5.1 Oliguria, anuria jarang ditemukan kecuali jika terjadi obstruksi, edema, gelisah, kongesti sirkulasi darah, aritmia jantung karena hiperkalemia, kejang yang disebabkan oleh hiponatremi atau hipokalsemia takhipnea akibat asidosis metabolik. 1.5.2 Letargi. 1.5.3 Pucat. 1.5.4 Kejang. 1.5.5 Muntah. 1.5.6 Tidak mau makan atau anoreksi. 1.5.7 Meningkatnya BUN dan kreatinin. Secara klinis gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
a. Fase oliguri / anuria Jumlah urin berkurang hingga 10 – 30 ml sehari. Pada bayi, anak – anak berlangsung selama 3 – 5 hari. Terdapat gejala – gejala uremia ( pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang ), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik. b. Fase diuretik Pada fase ini urine bertambah setiap hari hingga menjadi poliuri. Hal ini disebabkan karena kadar ureum tinggi dalam darah ( diuresis osmotik ), faal tubulus belum baik, pengeluaran cairan berlebihan. Terjadi hiponatremia karena kehilangan natrium melalui tubulus yang rusak. Lamanya fase ini berlangsung selama 2 minggu. c. Fase penyembuhan atau fase pasca diuretik Pada fase ini poliuria berkurang demikian juga gejala uremia. Fungsi glomerulus dan tubulus berangsur – angsur membaik. 1.6
Penatalaksanaan terapeutik
1.6.1 Pencegahan terhadap situasi yang dapat menimbulkan terjadinya gagal ginjal akut, terapi cairan pada keadaan hipovolemia ( dehidrasi, luka bakar, perdarahan ). 1.6.2 Mengatasi gagal ginjal akut. 1.6.3 Penatalaksanaan komplikasi. 1.6.4 Penatalaksanaan cairan. 1.6.5 Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi oliguria. 1.6.6 Diet tinggi kalori dan lemak, rendah protein, kalium dan garam, jika anak tidak dapat makan melalui mulut maka makanan diberikan melalui intravena dan zat nutrisi yang diberikan mengandung asam amino esensial.
1.6.7 Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin. 1.6.8 Mengatasi hiperkalemia, pemberian kalsium glukonas 0,5 ml / kgbb, diberikan intravena selama 2 – 4
menit disertai dengan monitoring EKG, pemberian
sodium bicarbonat, 2 – 3 mEq / kgbb, diberikan intravena selama 30 – 60 menit untuk meningkatkan pH darah. 1.6.9 Pemberian glukosa 50 % dan insulin, 1 U / kg, diberikan secara intravena, mempercepat pembentukan glikogen menyebabkan glukosa dan kalium masuk dalam sel. 1.6.10 Pemberian resin ion perubah seperti polystyrene sodium sulfonate (kayexalate), 1 / kgbb diberikan secara oral atau rektal yang bertujuan untuk mengikat kalium dan mengeluarkannya dari tubuh. 1.6.11 Dialisis dilakukan jika disertai dengan tanda – tanda asidosis berat yang sudah berlangsung lama, cara – cara lain sudah ditempuh untuk mengurangi kalium, terlihat gejala – gejala uremik, overload sirkulasi, hipertensi, gejala gagal jantung.
2.
KONSEP DASAR ASKEP
2.1
Pengkajian
2.1.1 Biodata 70 % kasus GGA terjadi pada bayi di bawah 1 tahun pada minggu pertama kahidupannya. 2.1.2 Keluhan utama 2.1.3 Riwayat penyakit sekarang Urine klien kurang dari biasanya kemudian wajah klien bengkak dan klien muntah. 2.1.4 Riwayat penyakit dahulu 1) Diare hingga terjadi dehidrasi
2) Glomerulonefritis akut pasca streptokok 3) Penyakit infeksi pada saluran kemih yang penyembuhannya tidak adekuat sehingga menimbulkan obstruksi. 2.1.5 Riwayat penyakit keluarga Tidak ada hubungan secara langsung dalam timbulnya penyakit gagal ginjal. 2.1.6 Activity Daily Lifa 1) Nutrisi
: Nafsu makan menurun (anorexia), muntah
2) Eliminasi
: Jumlah urine berkurang sampai 10 – 30 ml sehari (fase oliguria)
3) Aktivitas
: Klien mengalami kelemahan
4) Istirahat tidur : Kesadaran menurun 2.1.7 Pemeriksaan 1)
Pemeriksaan Umum:
BB meningkat, TD dapat normal, meningkat atau berkurang tergantung penyebab primer gagal ginjal. 2) (2)
Dada
Pemeriksaan Fisik: (1)
Kepala
:
Edema periorbital
:
Takikardi, edema pulmonal, terdengar suara nafas tambahan.
(3)
Abdomen :
Terdapat distensi abdomen karena asites.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang 1)
Tes Darah (1)
Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum – meningkat.
(2)
Natrium dan Kalsium serum – menurun.
(3)
Kalium dan Fosfor serum – meningkat.
(4)
pH dan bikarbonat (HCO3) serum – menurun (asidosis
metabolik). (5)
Haemoglobin, hematokrit, trombosit – menurun (disertai
penurunan fungsi sel darah putih dan trombosit). (6)
Albumin serum – menurun.
(7)
Glukosa serum – menurun (umum terjadi pada bayi)
(8)
Asam urat serum – meningkat.
(9)
Kultur darah – positif (disertai infeksi sistemik).
2)
Tes Urine (1)
Urinalitas – sel darah putih dan silinder.
(2)
Elektrolit urine osmolalitas, dan berat jenis – bervariasi
berdasarkan proses penyakit dan tahap GGA. 3)
Elektrokardiogram (EKG) – perubahan yang terjadi berhubungan
dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung. 4)
Kajian foto toraks dan abdomen – perubahan yang terjadi
berhubungan dengan retensi cairan. 2.2
Diagnosa Keperawatan
2.2.1 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal, menurunnya filtrasi glomerulus, retensi cairan dan sodium. 2.2.2 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema polmonal. 2.2.3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia. 2.2.4 Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan. 2.2.5 Gangguan istirahat tidur berhubungan berhubungan dengan edema paru. 2.2.6 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru. 2.2.7 Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kelebihan volume cairan. 2.2.8 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar ureum dalam darah. 2.2.9 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia iskemik.
2.3
Intervensi
2.3.1 Dx. Kep. I Tujuan
: Tidak memperlihatkan tanda-tanda kelebihan cairan.
Kriteria hasil
: Tidak ada edema.
Intervensi: 1) Monitor intake dan output
R/ Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan, dan penurunan resiko kelebihan cairan. 2) Pertahankan pembatasan cairan R/ Membantu menghindari periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan terbatas dan menurunkan rasa kekurangan dan haus. 3) Monitor berat badan R/ Penimbangan BB harian adalah pengawasan status cairan terbaik. Peningkatan BB 0,5 kg/hari diduga adanya retensi cairan. 4) Monitor TD dan HB R/ Tachycardi dan HT terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urine dan pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/ hipotensi/perubahan fase oliguria gagal ginjal. 5) Kaji edema, turgor kulit, membran mukosa R/ Edema terjadi terutama pada masa jaringan yang tergantung pada tubuh. BB pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum edema pitting terdeteksi. Edema periorbital dapat menunjukkan tanda perpindahan cairan ini, karena jaringan rapuh ini mudah terdistensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal. 2.3.2 Dx. Kep. II Tujuan
: Pola nafas anak menjadi efektif kembali.
Kriteria hasil
: Bunyi nafas bersih.
Intervensi
:
1) Kaji bunyi nafas R/ Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema paru dibuktikan oleh terjadinya bunyi napas tambahan. 2) Bila sesak, posisikan kepala lebih tinggi, pemberian oksigen dan latihan nafas dalam R/ Meningkatkan lapang paru. 2.3.3 Dx. Kep. III
Tujuan
: Anak menunjukkan BB yang sesuai dan ada nafsu makan serta dapat menyelesaikan makanan sesuai diit.
Kriteria hasil
: Klien menghabiskan porsi diitnya.
Intervensi
:
1) Timbang BB tiap hari R/ Px. puasa/katabolik akan secara normal kehilangan 0,2 – 0,5 kg/hari. Perubahan
kelebihan
0,5
kg
dapat
menunjukkan
perpindahan
keseimbangan cairan. 2) Kaji pola makan anak dan pembatasan makanan R/ Memberikan Px. tindakan terkontrol dalam pembatasan diit. 3) Jelaskan tentang diit yang diberikan dan alasannya R/ Pengetahuan Px./keluarganya tentang diit yang diberikan membuat klien/keluarga lebih kooperatif. 2.3.4 Dx. Kep. IV Tujuan
: Anak dan
keluarga
akan memahami proses
penyakit,
prognosis dan pengobatan yang diberikan. Kriteria hasil
: Pengetahuan klien dan keluarga meningkat dan kooperatif terhadap tindakan keperawatan.
Intervensi: 1) Kaji tingkat pamahaman anak dan keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan pengobatan. R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana Px./keluarga dapat membuat pilihan informasi. 2.3.5 Dx. Kep. V Tujuan
: Kebutuhan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil
: Klien dapat beristirahat dengan tenang
Intervensi
:
1) Temani dan bantu bila anak muntah. R/
Dengan ditemani dan dibantu pada saat muntah akan menghilangkan
kegelisahan dan kecemasan anak. 2) Batasi aktivitas fisik dan hindarkan anak dari stress emosional (menangis, sedih, bercanda berlebihan). R/
Pembatasan aktivitas fisik dan stress emosional penting untuk
menghindarkan adanya penyebab serangan batuk. 3) Anjurkan keluarga memberikan lingkungan yang tenang. R/
Lingkungan yang tenang merupakan sebagian dari terapi suportif yang
memberikan rasa aman dan nyaman bagi pasien. 2.3.6 Dx. Kep. VI Tujuan
: Bersihan jalan nafas efektif, pola nafas dan pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil
: Suara nafas vesikuler.
Intervensi
:
1) Lakukan auskultasi suara 2 – 4 jam sekali. R/
Mengetahui obstruksi pada saluran nafas dan menifestasinya pada suara
nafas. 2) Berikan posisi kepala lebih tinggi dari posisi badan dan kaki R/
Penurunan diafragma dapat membantu ekspansi paru maskimal.
3) Ubah posisi klien tiap 2 jam. R/
Posisi klien yang tetap secara terus menerus dapat mengakibatkan
akumulasi sekret dan cairan pada lobus yang berada dibagian bawah. 4) Monitor tanda vital tiap 4 jam. R/
Peningkatan frekwensi nafas mengindikasi tingkat keparahan.
2.3.7 Dx. Kep. VII Tujuan
: Meningkatkan derajat rasa nyaman klien.
Kriteria hasil
: Klien terlihat rileks, dapat tidur dan beristirahat.
Intervensi
:
1) Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di kursi. Tingkatkan istirahat di tempat tidur. R/
Tirah baring mungkin diperlukan sampai perbaikan objektif dan
subjektif didapat. 2) Dorong penggunaan tekhnik manajemen sterss, misalnya relaksasi. R/
Meningkatkan relaksasi, meningkatkan rasa kontrol dan mungkin
meningkatkan kemampuan koping. 3) Libatkan dalam aktivitas atau latihan yang direncanakan sesuai petunjuk. R/
Meningkatkan
relaksasi,
mengurangi
tegangan
otot
/
spasme
memudahkan untuk ikut serta dalam dalam terapi. 2.3.8 Dx. Kep. VIII Tujuan
: Klien tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil
: Mempertahankan kulit utuh / kulit tidak pecah-pecah.
Intervensi
:
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna dan turgor kulit. R/
Menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan yang dapat menimbulkan
decubitus atau infeksi. 2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit. R/
Mendeteksi adanya dehidrasi/hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas pada tingkat seluler. 3) Inspeksi area tergantung terhadap edema. R/
Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
4) Ubah posisi dengan sering, beri bantalan pada tonjolan tulang. R/
Menurunkan tekanan pada edema.
5) Pertahankan linen tetap kering. R/
Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit
6) Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar.
R/
Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab
pada kulit. 2.3.9 Dx. Kep. IX Tujuan
: Perfusi jaringan perifer tetap adekuat.
Kriteria hasil
:
Suhu ekstremitas hangat, tidak lembab, warna merah muda.
Ekstremitas tidak nyeri, tidak ada pembengkakan.
Turgor kembali dalam 1 detik.
Intervensi
:
1) Kaji dan cacat tanda-tanda vital (kualitas dan frekuensi nadi, tensi, capilarry refill). R/
Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui penurunan perfusi
jaringan. 2) Kaji dan catat sirkulasi pada ekstremitas (suhu, kelembaban dan warna). R/
Suhu dingin, warna pucat dan ekstremitas menunjukkan sirkulasi darah
kurang adekuat. 3) Nilai kemungkinan kematian jaringan ekstremitas lebih awal dapat berguna untuk mencegah kematian jaringan. R/
2.4
Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
Pelaksanaan
2.4.1 Mempertahankan keseimbangan cairan 2.4.2 Menjaga fungsi pernapasan 2.4.3 Memberikan stimulus untuk meningkatkan nafsu makan 2.4.4 Menciptakan metode komunikasi yang dapat dipahami oleh klien dan keluarga. 2.4.5 Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal 2.4.6 Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi klien untuk memenuhi kebutuhan istirahat tidurnya.
2.4.7 Mempertahankan keefektifan bersihan jalan nafas 2.4.8 Memberikan suasana dan posisi yang nyaman bagi klien. 2.4.9 Mempertahankan agar tidak terjadi kerusakan integritas kulit. 2.4.10 Memantau terjadinya tanda-tanda perubahan perfungsi jaringan.
2.5
Evaluasi
2.5.1 Suhu tubuh 365 - 372 C °
2.5.2 Adanya minat dan selera makan 2.5.3 Porsi makan sesuai dengan kebutuhan 2.5.4 Klien tidak sesak 2.5.5 Orang tua mengerti tentang penyakit anaknya 2.5.6 Kebutuhan istirahat tidur terpenuhi 2.5.7 Bersihan jalan nafas efektif 2.5.8 Klien menyatakan merasa nyaman 2.5.9 Tidak terjadi kerusakan integritas kulit 2.5.10 Perfusi jaringan adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Cecily L. Bets Linda A. Sowden, 2002, Buku Saku Keperawatan Pediatrik, EGC : Jakarta. Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC: Jakarta. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, 2002, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: Jakarta. Suriadi dan Yuliani, Rita, 2001, Asuhan Keperawatan pada Anak, Edisi I, Fajar Interpratama: Jakarta.