TUGAS MATA KULIAH ILMU BEDAH VETERINER (Premedikasi dan Anastesi)
MEKANISME KERJA ANESTESI LOKAL
1509005043 Putu Wahyuni Paramita
LABORATORIUM BEDAH VETERINER FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR TAHUN 2018
RINGKASAN
Anastesi lokal semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relative lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Secara kimiawi obat anastesi lokal dibagi dalam dua golongan besar yaitu golongan ester dan golongan amide. Obat anestesi lokal yang lazim digunakan di dunia veteriner adalah prokain untuk golongan ester, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Mekanisme kerja obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blockade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
SUMMARY
Local anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered, such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the ability to prevent the stress response is more perfect. Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of amide and ester groups. Local anesthetic commonly used in veterinary medicine are procaine for the class of esters, whereas the amide groups are lidocaine and bupivacaine. Mechanism of action of local anesthetic drugs to prevent transmission of nerve impulses (conduction blockade) by inhibiting the delivery of sodium ions through selective sodium ions gates in neuronal membranes. Failure of the sodium ion permeability of the gate to increase the speed of depolarization of the slowdown as a potential threshold was not reached so that action potentials are not propagated. Local anesthetic did not alter the resting potential or transmembrane potential threshold.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan bimbingan-Nya Penulis dapat menyelesaikan tugas Ilmu Bedah Veteriner dengan judul “Mekanisme Kerja Anestesi Lokal”. Harapan penulis semoga paper ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi paper agar menjadi lebih baik lagi. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini baik berupa pikiran, tenaga, bahkan dana. Penulis menyadari bahwa paper ini belum sempurna. Oleh karena itu, Penulis menerima dengan senang hati apabila ada kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kita.
Denpasar, 1 Maret 2018
Penyusun
iii
DAFTAR ISI Cover ........................................................................................................................................ i Ringkasan/Summary .................................................................................................................ii Kata Pengantar ..........................................................................................................................iii Daftar Isi ...................................................................................................................................iv Daftar Gambar ..........................................................................................................................iv Bab I Pendahuluan ...................................................................................................................1 1.1.Latar Belakang ..............................................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................................1 Bab II Tujuan dan Manfaat Tulisan .........................................................................................3 2.1. Tujuan .........................................................................................................................3 2.2. Manfaat .......................................................................................................................4 Bab III TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................11 3.1. Saran ...........................................................................................................................11 Bab IV PEMBAHASAN .........................................................................................................11 4.1. Saran ...........................................................................................................................11 Bab V SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................................11 5.1. Simpulan .....................................................................................................................11 5.2. Saran .......................................................................................................................... Daftar Pustaka ...........................................................................................................................12 Lampiran Jurnal ........................................................................................................................14
1
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis Anestesi Lokal ...................................................................................................10 Tabel 2. Farmakologi klinis agen anestesi lokal pada kucing dan anjing ................................11 Tabel 3. Anestesi lokal: klasifikasi dan karakteristik ..............................................................15 Tabel 4. Sifat fisik, kimia, dan biologis agen anestesi lokal yang tersedia saat ini ..................16
2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kimia dasar molekul anestesi lokal. .......................................................... 8 Gambar 2. Struktur kimia dasar molekul anestesi lokal. .......................................................... 9 Gambar 3. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal ................................................ ...........................12 Gambar 4. Sodium-ion dan kalium-ion fluks melintasi axolemma dan propagasi impuls .......14
3
BAB I PENDAHULUAN
4
1.1 Latar Belakang
Anestesi lokal semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal seperti halnya anestesi umum juga disertai pengetahuan tentan farmakologi obat anestesi lokal. Obat anestesi lokal digunakan secara luas untuk pemberian anestesi dan analgesia baik intra maupun pasca operasi. Memahami farmakologi agen ini sebagai kelompok, serta perbedaan antara obat-obatan tertentu, memungkinkan mahsiswa belajar menggunakannya secara aman untuk efek maksimal. Paper ini berfokus pada struktur dasar dan mekanisme kerja anestesi lokal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme kerja dari obat anestesi lokal ? 2. Bagaimana potensi dan onset dari anastesi lokal ? 3. Berapa lama durasi dari penggunaan obat anestesi lokal ? 4. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat obat anestesi lokal ?
5
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT 2.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini yaitu : 1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme kerja dari obat anestesi lokal. 2. Untuk mengetahui potensi dan onset dari anestesi lokal. 3. Untuk mengetahui durasi obat anestesi lokal. 4. Untuk mengetahui komplikasi obat anestesi lokal.
2.2 Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari penulisan paper ini antara lain sebagai berikut : 1. Melalui paper ini diharapkan untuk mahasiswa Universitas Udayana, khususnya untuk Mahasiswa Kedokteran Hewan memiliki wawasan lebih mengenai mekanisme kerja obat anestesi lokal. 2. Hasil tugas ini dapat menjadi arsip yang dapat membantu untuk mengerjakan tugas yang berhubungan dengan anestesi lokal.
6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Anestesi Lokal
Anestesi lokal dapat didefinisikan sebagai obat yang secara reversibel mencegah transmisi impuls saraf di wilayah tempat penggunaannya, tanpa mempengaruhi kesadaran (Edgcombet et al , 2011). Anestesi lokal adalah kelompok senyawa kimia yang secara reversibel mengikat saluran natrium dan menghalangi konduksi impuls pada serabut saraf (Tranquilli et al, 2007).
3.2 Sejarah Anestesi Lokal
Sejarah 100 tahun penggunaan anestesi lokal pada manusia biasanya melibatkan eksperimen sendiri, diikuti dengan aplikasi yang meluas dengan sedikit pengujian elektrofisiologi dan neurotoksisitas pada hewan dan manusia. Carl Koller (1884), seorang ahli mata telah memperkenalkan untuk yang pertama kali penggunaan kokain secara topikal pada operasi mata. Koller melaporkan penggunaan kokain topikal pertama untuk membuat mata merasa tidak sakit pada Kongres German Society for Ophtalmology. Namun, kokain ternyata sangat beracun dan adiktif. Gaedicke (1885) mendapatkan kokain dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang banyak tumbuh di pegunungan Andes. Kemudian oleh Albert Naiman (1860) dalam bentuk ekstrak. Senyawa tipe ester amino ini diproduksi, sampai pada tahun 1943 lidokain yaitu obat amino amida dikembangkan. Obat anestesi lokal tipe amida lebih disukai untuk durasi tindakan yang lebih lama, dan beberapa senyawa dalam kelompok ini ditemukan pada paruh kedua abad ke-20, termasuk mepivacaine, bupivacaine dan ropivacaine (Lerche et al , 2016). Alfred Einhorn mensintesis procaine, prototipe anestetik lokal amino-ester nontoks pertama, pada tahun 1904 dan pada tahun yang sama digunakan untuk anestesi lokal oleh Heinrich Braun. Penambahan epinefrin untuk memperpanjang aksi anestetik lokal dilakukan pertama kali oleh Heinrich Braun (Morgan et al , 2006). Selanjutnya, anestesi lokal aminoester lainnya, termasuk tetrakain pada tahun 1932 dan 2-kloroprokain pada tahun 1955, disintesis. Tonggak berikutnya dalam sintesis anestesi lokal adalah pada tahun 1943, ketika Lofgren mengembangkan lidocaine, prototipe untuk semua anestesi lokal tipe amida berikutnya. Dalam 60 tahun setelah itu, anestesi lokal amida tambahan diproduksi, termasuk 7
mepivacaine (1956), bupivacaine (1957), prilocaine (1959), etidocaine (1971), articaine (1974), dan ropivacaine (1980). Levobupivacaine adalah anggota terbaru dari kelas amino amida anestesi lokal tahan lama yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1999 (Tranquilli et al , 2016). Ropivakain dan levobupivakain adalah obat baru dengan aksi durasi hampir sama seperti bupivacain tetapi kardio dan neurotoksisitasnya lebih kecil (Samodro et al, 2011).
3.2 Struktur Kimia
Struktur kimia dasar molekul anestesi lokal terdiri dari 3 bagian: 1. Kelompok lipofilik - kelompok aromatik, biasanya cincin benzena tak jenuh. 2.Intermediate bond - rantai penghubung hidrokarbon, baik hubungan ester (-CO-) atau amida (-HNC-). Ikatan perantara menentukan klasifikasi anestesi lokal. 3. Kelompok hidrofilik - amina tersier dan akseptor proton.
Gambar 1. Struktur kimia dasar molekul anestesi lokal.
8
Gambar 2. Struktur kimia dasar molekul anestesi lokal. (Sumber : Wilson et al, 2018).
Rantai menengah/ intermediet chain juga menentukan mekanisme metabolisme dan eliminasi. Ester dihidrolisis dalam plasma dengan pseudokolinesterase, dan kekurangan pseudokolinesterase akan memperpanjang blokade saraf. Jenis substitusi dan lokasi pada cincin aromatik menentukan laju hidrolisis. Akibatnya, procaine dihidrolisis empat kali lebih cepat dari tetrakain. Sebaliknya, amida dimetabolisme oleh hati dalam reaksi dealkalisasi. Fungsi hepatik dan aliran darah menentukan pembersihan amida, dan penurunan ini akan meningkatkan waktu paruh eliminasi (Wilson et al, 2018).
3.4 Penggolongan Obat Anestesi Lokal
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana
golongan
ester
turunan
dari p-amino-benzoic
acid memiliki frekuensi
kecenderungan alergi lebih besar. Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan kloroprokain yang memiliki 9
potensi lemah dengan lama kerja singkat. Group II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain yang memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang.Anestesi lokal juga dibedakan berdasar pada mula kerjanya. Kloroprokain, lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Secara garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis Anestesi Lokal
3.5 Obat Khusus
Obat anestesi lokal tipe amida lebih disukai dalam praktik kedokteran hewan saat ini untuk durasi tindakan yang lebih lama dibandingkan dengan obat tipe ester. Lihat Tabel 2 untuk informasi ringkas.
10
Tabel 2. Farmakologi klinis agen anestesi lokal pada kucing dan anjing. *Dosis beracun tidak terbentuk pada kucing. Disarankan tidak melebihi 2 mg / kg dosis total. (Sumber : Lerche et al, 2016)
Lidocaine
Lidocaine memiliki onset singkat karena rendahnya pK a 7,9. Durasi tindakan pendek, berlangsung hingga 2 jam. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengikatan protein yang relatif rendah (70%), dan fakta bahwa itu adalah vasodilator yang kuat. Lidokain yang diformulasikan dengan epinefrin memiliki durasi tindakan lebih lama karena penyebab epinefrin vasokonstriksi. Lidokain kurang beracun dibandingkan obat tipe amida lainnya jika diberikan secara intravena (IV), dan dapat diberikan IV untuk mengobati rasa sakit secara sistemik, dan juga untuk mengobati disritmia ventrikel. Mepivacaine
Mepivacaine memiliki pKa rendah 7,6, dan karenanya merupakan onset tindakan cepat. Mepivacaine sangat terikat protein (95%), sehingga durasi kerja 6-8 jam. Bupivacaine
Bupivacaine memiliki pKa 8.1 dan terikat protein tinggi (95%), menghasilkan durasi tindakan yang lebih lama (6-8 jam). Margin of safety adalah yang terendah bila dibandingkan dengan lidocaine, mepivacaine, dan ropivacaine. Lidokain dan bupivakain dapat dicampur dalam rasio 1: 1 untuk memanfaatkan onset lidokain lebih pendek dan durasi aksi bupivakain yang lebih lama. Ropivacaine
Ropivacaine memiliki sifat fisikokimia yang mirip dengan bupivakain, dan karenanya memiliki onset dan durasi tindakan yang sama. Anestesi lokal lainnya disintesis sebagai campuran rasemat, sedangkan ropivacaine adalah S-enansiomer margin keamanan yang lebih luas daripada bupivakain.
11
murni, dan memiliki
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Mekanisme Kerja
Anestesi lokal digunakan untuk memblokir konduksi saraf dengan mengikat secara reversibel dengan satu atau lebih subunit α pada saluran natrium dengan tekanan voltase di lokasi intraselular (Gambar 3). Anestesi lokal biasanya diproduksi sebagai garam larut dalam air (biasanya hidroklorida) dalam larutan asam. Obat anestesi lokal harus diubah menjadi bentuk yang tidak terionisasi dan larut dalam lemak agar bisa menyebar melalui membran lipoprotein lipofilik dan masuk ke dalam sel. Proporsi anestesi lokal yang ditransformasikan ke bentuk yang tidak terionisasi berkorelasi dengan pH jaringan dan konstanta pengionisasi obat (pKa). Setelah anestesi lokal bergerak ke dalam ruang intraselular, pH intraselular menurun meregenerasi bentuk terionisasi, yang mengikat subunit α dan menghalangi saluran natrium.
Gambar 3. Anestesi lokal yang disuntikkan ada dalam ionisasi, larut dalam air (LA-H +) bentuk kuartener. Untuk melintasi lipid bilayer, harus berubah menjadi bentuk tersier non-terionisasi, lipofilik (LA). Obat tersebut kemudian berubah kembali menjadi bentuk terionisasi (LA-H +) untuk mengikat saluran natrium bermuatan voltase (Na+) (Sumber : Wilson et al, 2018).
12
Jika saluran natrium cukup terganggu, potensi ambang batas tidak tercapai dan konduksi impuls terhambat. Anestesi lokal terionisasi secara intraseluler juga dapat mengganggu bagian intramembran dari saluran natrium, dan ini mungkin ditambah dengan blokade saluran potassium, saluran kalsium dan reseptor G-protein-coupled. Mekanisme lain dari aksi anestesi lokal ada. Anestesi lokal dapat mengubah konduksi dengan mengganggu muatan membran permukaan. Teori Meyer-Overton mengusulkan bahwa anestesi lokal menghasilkan ekspansi membran sel yang kemudian menghambat konduktansi natrium. Afinitas (daya tarik menarik) anestesi lokal bervariasi dengan keadaan saluran natrium. Afinitas paling tinggi bila saluran natrium dibuka (diaktifkan atau tidak aktif). Afinitas paling sedikit bila saluran ditutup (dinonaktifkan atau beristirahat). Akibatnya, saraf yang istirahat kurang sensitif terhadap anestesi lokal daripada saraf yang sering terstimulasi. Serabut saraf kecil lebih rentan terhadap pemblokadean dibandingkan dengan serat besar, blokade saraf pertama kali diketahui karena sensasi rasa sakit dan suhu yang diikuti oleh sentuhan, tekanan dalam, dan motorik terakhir. Menginterupsi (memutuskan) konduksi lebih cepat pada serat yang lebih kecil karena panjang akson yang lebih pendek. Serat besar (sentuhan, tekanan, dan motor) memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghasilkan blokade yang memadai dibandingkan dengan serabut kecil myelin (nyeri). Namun, anestesi lokal memblokir serat myelin lebih cepat daripada serat yang tidak bermyelin karena kumpulan obat di dekat membran aksonal. Akibatnya, serabut C, yang kecil dan tidak bermyelin, sulit diblok. Sayangnya, serat postganglionik aferen dari sistem saraf otonom membawa informasi tentang rasa sakit, sentuhan, dan kehangatan dan terkait dengan nyeri neuropatik saat rusak.
13
Gambar 4. Sodium-ion dan kalium-ion fluks melintasi axolemma dan propagasi impuls: serat saraf yang tidak bermyelin (A) dan serat saraf mielin (B). (Sumber : Tranquilli et al , 2016).
Terakhir, anestetik lokal berbeda dalam afinitasnya terhadap reseptor. Lidocaine mengikat dan berdisosiasi dengan cepat, sementara bupivacaine terdisosiasi lebih lambat. Hal ini terkait dengan perbedaan kimia antara berbagai anestesi lokal.
4.2 Potensi dan Onset
Potensi anestesi lokal terutama disebabkan oleh kelarutan lipid. Cincin aromatik dan substitusi dan penambahannya ke amina terminal menentukan kelarutan lemak. Secara khusus, amina terminal mungkin ada dalam bentuk kuartener (empat ikatan, muatan positif, larut dalam air) atau bentuk tersier (tiga ikatan, netral, larut dalam lipida). Rasio kelarutan obat dalam larutan nonpolar (n-oktanol) dapat digunakan untuk menggambarkan lipofilisitas. Ini dikenal sebagai koefisien partisi octanol-water, dan peningkatan kelarutan lipid dikaitkan dengan nilai yang lebih besar (Tabel 3).
14
Tabel 3. Anestesi lokal: klasifikasi dan karakteristik (Sumber : Wilson et al, 2018).
Onset anestesi lokal ditentukan oleh konstanta ionisasi obat (pKa). Untuk menstabilkan dasar anestesi lokal dalam larutan, larutan klinis dihasilkan dalam garam hidroklorida (pH 4-6). Ini mengubahnya menjadi keadaan yang mudah larut air (kuartener). Akibatnya, onset ini terkait dengan konversi ke bentuk tersier (larut lemak) pada paparan pH fisiologis (7,4). Konversi ini ditentukan oleh pKa, pH yang menyebabkan molekul anestesi lokal 50% terionisasi dan 50% tidak terionisasi. Karena anestesi lokal adalah basis lemah, pKa obat anestesi lokal lebih besar dari 7,4. Semakin besar pKa obat, semakin besar proporsi dalam bentuk kuartener dan semakin lambat onsetnya. Faktor lain juga dapat mempengaruhi onset. Faktor fisiologis, seperti meningkatnya keasaman jaringan akibat peradangan, dapat meningkatkan ionisasi obat dan selanjutnya menunda kuartener untuk konversi tersier. Inilah salah satu penjelasan untuk kesulitan dalam menganestesi jaringan yang terinfeksi. Tingkat difusi juga dapat dipercepat dengan meningkatnya konsentrasi. Namun, hubungan antara onset dan konsentrasi tidak linier tapi logaritmik. Oleh karena itu, menggandakan konsentrasi hanya mempercepat onset onset; Namun, hal itu akan memberikan blokade yang lebih padat. Hal ini biasa digunakan dengan kloroprokain anestesi lokal ester. Meskipun memiliki pKa tinggi (8,9), ia dapat diberikan dalam konsentrasi tinggi dan dosis tinggi untuk onset anestesi yang cepat. Hal ini diperbolehkan karena metabolisme yang cepat oleh pseudokolinesterase. Anestesi lokal disiapkan dalam kisaran konsentrasi untuk membantu timbulnya obat yang kurang ampuh. Misalnya, bupivakain sangat
15
larut dalam lipid dan oleh karena itu sering digunakan dalam konsentrasi rendah (0,25-0,5%, 2,55 mg / ml) dibandingkan dengan lidokain (1-2%; 10-20 mg / ml) yang kurang larut.
4.3 Durasi
Durasi umumnya digambarkan sebagai pendek, menengah, atau panjang. Durasi anestesi lokal secara klasik dianggap berhubungan langsung dengan pengikatan protein. Faktor-faktor yang menjaga obat di dekat saraf (peningkatan kelarutan lipid, penurunan vaskularitas jaringan, adanya vasokonstriktor) mungkin juga penting dalam memperpanjang durasi tindakan. Durasi tindakan anestesi lokal klinis berkorelasi dengan kelarutan lipid tinggi, yang juga berkaitan dengan peningkatan potensi dan peningkatan pengikatan protein di dalam membran aksonal dan vasoaktifitas obat anestesi lokal. Meningkatkan rantai samping dari molekul anestesi lokal meningkatkan pengikatan protein dan memperpanjang durasi tindakan. Lebih banyak anestesi lokal yang larut dalam lipida relatif tidak larut air dan oleh karena itu, protein terikat tinggi (Tabel 4).
Tabel 4. Sifat fisik, kimia, dan biologis agen anestesi lokal yang tersedia saat ini (Sumber : Tranquilli et al , 2016). Durasi efek anestesi lokal di tempat tindakan berbanding terbalik dengan tingkat penyerapan sistemik. Tingkat penyerapan pembuluh darah bervariasi secara langsung dengan vaskularitas tempat suntikan dan sifat fisikokimia dan farmakologis dan dosis anestesi lokal. Lidokain adalah 16
vasodilator yang lebih baik daripada prilokain, jadi lidokain dikeluarkan dari tempat suntikan lebih cepat. Hal ini membuat lidocaine menjadi anestesi kerja yang lebih pendek daripada prilokain (60 sampai 120 vs 120 sampai 180 menit), meskipun lidokain lebih terikat protein (65% vs 55%). Articaine lebih mampu berdifusi melalui jaringan lunak dan tulang daripada anestesi lokal lainnya, dan ini mengandung kelompok ester, yang dengan cepat dihidrolisis oleh esterase, memperpendek durasi kira-kira 30 sampai 45 menit. Dengan menggunakan articaine dalam anestesi peribulbar untuk operasi katarak, sensasi kornea kembali dengan cepat, sehingga mengurangi kemungkinan kerusakan yang tidak disengaja pada mata yang diberi anestesi. Tonicaine adalah senyawa turunan lidokain yang menghasilkan blokade skiatik dengan onset yang relatif cepat (<10 menit) dan durasi yang lama (12 sampai 16 jam). Tonicaine memerlukan studi toksisitas lokal dan sistemik tambahan sebelum dapat digunakan dengan aman pada hewan dan manusia. Bupivakain, tetrakain, etidokain, dan ropivakain adalah anestetik lokal yang sangat mudah larut dalam lipida yang perlahan-lahan "dicuci" dari saraf yang terisolasi secara in vitro, dan tidak mudah dikeluarkan oleh aliran darah dari selaput saraf, membuat durasi tindakan mereka lama (180 sampai 480 menit) (Tranquilli et al , 2016).
4.4 Komplikasi Obat Anestesi Lokal
4.1 Efek samping lokal Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gan gguan pembekuan darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan dapat membentuk abses Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas. Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.
17
4.2 Pengaruh Pada Sistem Organ Karena blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di seluruh tubuh, sehingga bukan hal yang mengejutkan jika anestesi lokal dapat menyebabkan intoksikasi sistemik. A. Neurologis Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi intoksikasi dari anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring awal dari gejala overdosis pada pasien yang sadar. Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem saraf pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot yang cepat, kecil dan spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur inhibitor. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi menyebabkan kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen anestesi dengan potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah otak dan pemaparan obat, benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang terjadinya kejang karena anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat menghentikan kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang baik harustetap dipertahankan. Lidokain intravena (1,5 mg/kg) menurunkan aliran darah otak dan menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang biasanya timbul pada intubasi pasien dengan penurunan komplians intrakranial. Lidokain dan prokain infus selama ini digunakan sebagai tambahan dalam teknik anestesi umum, karena kemampuannya menurunkan MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%. Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari neurotoksik (sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu melalui keteter bore-kecil pada anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena adannya pooling obat di kauda ekuina, yang sebabkan peningkatan konsentrasi obat dan kerusakan saraf yang permanen. Penelitian pada hewan menunjukkan neurotoksisitas pada pemberian berulang melalui intratekal bahwa lidokain = tetracaine > bupivacaine > ropivacaine. Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri pada ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi spinal dengan berbagai 18
agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan adanya iritasi pada radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1 minggu. Faktor resikonya adalah penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan kondisi pasien.
B. Respirasi Lidokain mendepresi respon hipoksia. Paralisis dari nervus interkostalis dan nervus phrenicus atau depresi dari pusat respirasi dapat mengakibatkan apneu setelah pemaparan langsung anestesi lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot polos bronkhus. Lidokain intravena (1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif untuk memblok refleks bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain diberikan sebagai aerosol dapat sebabkan bronkospasme pada beberapa pasien yang menderita penyakit saluran nafas reaktif.
C. Kardiovaskular Umumnya, semua anestesi lokal mendepresi automatisasi miokard (depolarisasi spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode refraktori. Kontraktilitas miokard dan kecepatan konduksi juga terdepresi dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh ini menyebabkan perubahan membran otot jantung dan inhibisi sistem saraf autonom. Semua anestesi lokal, kecuali cocaine, merelaksasikan otot polos, yang sebabkan vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung, dan hipotensi dapat mengkulminasi terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor biasanya membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang dapat sebabkan kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak disengaja selama anestesi regional mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, blok atrioventrikular, irama idioventrikular, dan aritmia yang dapat mengancam nyawa seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis respiratorik merupakan faktor predisposisi. Ropivacaine memiliki banyak kesamaan dalam psikokimia dengan bupivacaine kecuali bahwa sebagian dari ropivacaine adalah larut-lemak. Waktu onset dan durasi kerja sama, namun ropivacaine memblok motorik lebih rendah, yang sebabkan potensi lebih rendah, ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Yang paling menjadi perhatian, ropivacaine memiliki index terapi yang besar karena 70% lebih sedikit menyebabkan intoksikasi kardia dibandingkan dengan bupivacaine. Ropivacain dikatakan memiliki toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih 19
besar. Keamanan dari ropivacaine ini mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang rendah atau availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang murni, yang bertolak belakang dengan struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine, merupakan isomer S(-) dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan memiliki efek samping terhadap cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur campuran; penelitian mengatakan bahwa efeknya terhadap kardiovaskular hampir menyerupai efek ropivacaine.
D. Imunologi Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal — yang bukan intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang berlebihan — merupakan hal yang jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena adanya derivat ester yaitu asam paminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan komersial multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur kimia mirip dengan PABA. Bahan tambahan ini yang bertanggung jawab terhadap sebagian besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon inflamasi karena pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam lysophosphatidic dalam mengaktivasi neutrofil.
E. Muskuloskeletal Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi), anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkankerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine.
F. Hematologi Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural. 20
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Obat anestesi lokal lidokain memiliki mekanisme kerja yang menghambat transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf sehingga ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan (rasa sakit hilang), anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor Nmethyl-D-aspartat (NMDA). 5.2 Saran
Paper ini dibuat dengan metode pengumpulan data dari beberapa jurnal dan buku yang telah dipublikasikan, maka dari itu perlu untuk dievaluasi lebih lanjut melalui penelitian dan pengembangan yang dianggap penting untuk ilmu bedah anestesi kedepannya khususnya mengenai anestesi lokal.
21
Daftar Pustaka Edgcombe H, Hocking G. 2011. Local Anasthetic Pharmacology. Worl Anesthesia Tutorial of the Week. Heavner, J.E. (2008). Pharmacology of local anesthetics. In D.E. Longnecker et al (eds) Anesthesiology. New York: McGraw-Hill Medical. Joyce, J.A. (2002). A pathway toward safer anesthesia: stereochemical advances. AANA Journal, 70, 63-67. Lerche P, Aarnes T.K, Crump G.C, Taboada F.M. 2016. Handbook of Small Animal Regional Anesthesia and Analgesia Techniques. John Wiley & Sons, Ltd. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Local Anesthetics. In G.E. Morgan et al th
Clinical Anesthesiology, 4 edition. New York: Lange Medical Books. Miller R.D. 2000. Anesthesia. 5th edition . Philadelphia : Churchill & Livingstone. Samodro R, Sutiyono D, Satoto H.H. 2011. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal. Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol.3 No.1. Stoelting, R.K. & Hillier, S.C. (2006). Pharmacology and pharmacodynamics of injected and inhaled drugs. In R.K. Stoelting & S.C. Hillier (eds) Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4
th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. th
Strichartz, G.R. & Berde, C.B. (2005). Local Anesthetics. In R.D. Miller Miller’s Anesthesia, 6 edition. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone.
Tranquilli W.J, Thurmon J.C, Grimm K.A. 2007. Lumb & Jones’ Veterinary Anesthesia and Analgesia. Blackwell. Wilson S.H, Anderson M. 2018. Local Anesthetics and Regional Anesthesia. Springer International Publishing AG.
22
23