CASE STUDY REPORT KESESUAIAN PERILAKU ADVOKAT DI DALAM PERSIDANGAN MENURUT KODE ETIK ADVOKAT DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT: PENGAMATAN DI PENGADILAN NEGERI DEPOK & JAKARTA SELATAN
OLEH: Kukuh Bergas 1406535950 Praktek Hukum Acara Acara Pidana - Kelas A
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2017
1. Pendahuluan Profesi Advokat seringkali dipandang sebagai anomali bahkan aksioma di dalam suatu persidangan. Hal ini berarti di satu sisi menandakan bahw a advokat dibutuhkan untuk mempercepat proses pemeriksaan bagi seorang Terdakwa, terlebih khusus bagi mereka yang memiliki akses terbatas terhadap hukum. Sedangkan di sisi yang berlainan justru advokat dianggap sebagai penghambat jalannya proses pemeriksaan, hal ini dikarenakan advokat akan cenderung mempertegas dan membela hak-hak terdakwa (klien). Alasan saya mengangkat tema peran advo kat karena di sistem Peradilan Indonesia dewasa ini, Advokat dianggap sebagai salah satu profesi yang sebelah mata karena tidak lagi membela keadilan melainkan sebagai pencari kesalahan untuk dibenarkan.1 Pengamatan untuk Case Study Report ini dilakuan di Pengadilan Negeri Depok dan Jakarta Selatan. Pengamatan yang saya lakukan di Pengadilan Negeri Depok pada Selasa 14 Februari 2017 sampai dengan Kamis 23 Maret 2017. Pengamatan dilakukan secara berkala dengan durasi per satu hari sidang kurang lebih 45 menit, dikarenakan persidangan digabung dengan beberapa terdakwa lainnya satu ruang persidangan deng an alasan untuk menghemat waktu dan melaksanakan asas cepat. Persidangan dengan Nomor Register Perkara 74/Pid.Sus/2017/PN DPK yang dipimpin oleh Hakim Ketua Hendra Yuristiawan serta Hakim Anggota 1 yaitu I Putu Agus Adi Antara dan Hakim Anggota 2 yaitu Ramon Wahyudi. Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini adalah Enda. S. S.H dan Terdakwa yang bernama Mulyatno bin Muktar Idris alias Konde. Perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Depok pada hari Selasa, 3 Januari 2017. Pada perkara ini Terdakwa Mulyatno didakwa dengan dakwaan alternative, yaitu : a. Kesatu, Bahwa Terdakwa pada hari Kamis tanggal 10 November 2016 sekitar pukul 19.30 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Nopember tahun 2016, bertempat di Halaman Parkir Alfamidi Jl. Raya Muchtar No. 26 Kel. Sawangan Kota Depok Jawa Barat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk Daerah Hukum Pengadilan Negeri Kota Depok, tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
1
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, (Jkt: Genta Sriwijaya, 2003), hlm. 77
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara d alam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
b. Kedua, Bahwa etiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pada intinya terdakwa merupakan seorang yang bekerja sebagai supir angkot yang dalam perkara ini telah menjadi perantara di dal am jual beli Narkotika golongan I. Terdakwa menyatakan dalam kasus posisinya bahwa ia telah memperjualbelikan sabu sebesar 1-5 gram untuk membantu terdakwa menghidupi keluarganya dan juga membayar kontrakan. Dalam hal ini terdakwa mengaku telah menggunakan sendiri dan juga memperjualbelikan sabu tersebut. Dengan menggunakan sabu tersebut Terdakwa menjadi lebih semangat dalam menyetir angkot jurusan Depok Parung. Kasus kedua adalah kasus Narkotika dengan No. Perkara 118/Pid.Sus/2017/PN DPK dengan Terdakwa M. Nuh Jambak alias Manu Bin Zulkifli Jambak Nasution yang didakwakan dengan alternatif. Kesatu pasal 114 ayat (1) UU. No. 35 Tahun 2009, lalu kedua pasal 111 ayat (1). Kedua perkara ini menjadi suatu problematika yang akhirnya saya tuliskan karena terdapat advokat atau pengacara yang membantu dalam proses tersebut tetapi tidak menggunakan surat kuasa, sehingga hakim membiarkan mereka tetap beracara dan ada juga yang dilarang untuk menjadi penasihat hukum pada saat persidangan. 2. Ketentuan Hukum Yang dimaksud dengan advokat menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut.2 Sedangkan menurut Pasal 1 poin (a) Kode Etik Profesi Advokat, yang dikatakan dengan Advokat yaitu mereka yang berpraktek memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan UndangUndang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.3 Secara istilah Advokat diartikan sebagai seorang yang melaksanakan kegiatan advokasi yaitu suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hakhak maupun, kewajiban klien seseorang atau kelompok berdasarkan aturan yang berlaku.4 Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, pengertian penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang memberi bantuan hukum (Pasal 1 Butir 13).5 Di dalam Kuhap disebutkan dalam pasal 54 bahwa:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam jangka waktu dan pada setiap pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam kuhap ini.”
Menurut UU. No. 18 Tahun 2003 pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa “advokat wajib memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Hal ini didapatkan pula di Kuhap pasal 56 ayat ke (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa bila Terdakwa yang tidak mampu didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih dan tidak mempunya penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka dengan Cuma-Cuma.
2
Indonesia, Undang-Undang tentang Advokat , UU No. 18 Tahun 2003, hlm. 2 Indonesia, Kode Etik Profesi Advokat . 4 Ilham Gunawan dan Martinus Sahrani, Kamus Hukum (Cet.I; Jakarta: Restu Agung, 2002). 5 Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 3
3. Hasil Pengamatan Agenda sidang Mulyatno pada hari selasa 14 februari 2017 yang saya amati adalah agenda sidang pertama. Sidang dibuka oleh Hakim Ketua dengan mengetuk palu satu kali. Hakim ketua pada saat menyebutkan nomor perkara kurang terlalu jelas sehingga saya mencari nomor perkara tersebut di website sistem informasi penelusuran perkara pengadilan negeri depok. Lalu disebutkan nama Terdakwa yaitu Mulyatno. Beberapa kali saya mendapatkan adanya suara Hakim yang kurang lantang sehingga pengunjung sidang harus berusaha lebih keras agar mengetahui apa yang hakim sebutkan. Penuntut Umum, Penasihat Hukum dan Terdakwa telah berada di dalam ruang sidang saat Hakim Ketua membuka sidang. Mengenai Terdakwa yang didampingi oleh penasihat hukumnya, hal ini sesuai dengan Pasal 56 KUHAP bahwa apabila seseorang berasal dari golongan tidak mampu, dan hukuman yang didakwakan kepadanya 5 tahun atau lebih, maka negara dapat menyiapkan Penasihat Hukumnya. Namun yang saya garis bawahi adalah pada saat ketika Hakim ketua menanyakan apakah Terdakwa turut membawa penasihat hukum untuk membela hak-hak nya. Dan dalam kedua perkara tersebut didapatkan jawaban yang sama yaitu tidak. Disebabkan tidak mampu namun di persidangan Mulyatno, penasihat hukum dipersilahkan untuk memberikan bantuan hukum. Sudah sepatutnya bantuan hukum diberikan secara CumaCuma oleh advokat. Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah ketika penasihat hukum yang tidak dengan surat kuasa khusus dari pemberi kuasa untuk menemani kuasa di dalam persidangan. Terdapat beberapa kerancuan seperti yang akan saya jabarkan dibawah ini. Pertama, penasihat hukum tidak ada surat kuasa khusus namun diperbolehkan untuk menemani Terdakwa selama pemeriksaan. Memang di dalam pasal 56-57 Kuhap menjelaskan bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat bagi mereka yang didakwakan pidana lebih dari 5 tahun dan tidak mampu dalam hal finansial, namun darimana datangnya otoritas tersebut. Karena disidang lain yang turut saya saksikan yang berlokasi di pengadilan negeri depok dan ketika ada advokat yang tidak mempunyai surat kuasa khusus tidak diperkenankan oleh hakim untuk memberikan bantuan hukum. Hal ini melanggar UU No. 11 tahun 2016 pasal 15 ayat (3) yang menjelaskan secara implisit
bahwa sebelum diberikan bantuan hukum maka tersangka atau terdakwa harus menggunakan surat kuasa agar dapat meminta bantuan kepada advokat. Maka sejatinya apakah surat kuasa khusus diperlukan bagi para terdakwa atau keluarganya? Khususnya terdakwa yang dalam hal ini sesuai dengan konstruksi kasus pasal 56-57 Kuhap Kedua, penasihat hukum yang tidak ada surat kuasa khusus namun tidak diperbolehkan untuk mendampingi dan memberikan bantuan hukum terhadap terdakwa. Konstruksi kasus ini sama dengan yang saya sebutkan di dalam pasal 56-57 Kuhap seperti diatas, namun bedanya Hakim ketua tidak memperbolehkan untuk Pemberi bantuan hukum yang dalam hal ini pengacara lembaga bantuan hukum. D alam perkara ini hakim berpendapat bila pengacara tidak memiliki surat kuasa dari terdakwa atau keluarganya, maka pengacara tersebut tidak dapat menemani atau bertindak sebagai penasihat hukum atas nama terdakwa. Hakim dalam memberikan pertanyaan menurut saya agak menjerat terdakwa, karena menanyakan hal-hal yang direct seperti “sudah berapa kali anda make narkotika?” lalu ketika terdakwa menjawab “ baru sekali pak ” namun hakim membalas dengan mengatkan “ah tidak mungkin kamu baru pake dan jual sekali aja”. Pertanyaan pertanyaan seperti ini yang menurut saya kurang baik diajukan karena terlihat bahwa terdakwa menjadi lebih down lagi ketika hakim bertanya. Seharusnya hakim menghormati asas presumption of innocence. Advokat juga melanggar pasal 4 poin (f) di dalam kode etik profesi advokat yang dinyatakan bahwa setiap advokat di dalam mengurus perkara Cuma-Cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara un tuk mana ia menerima uang jasa. Namun didapatkan pada beberapa persidangan yang saya hadiri, khususnya di pengadilan negeri Jakarta selatan ada advokat yang tidak hadir di dalam persidangan Cuma Cuma tersebut, dengan alasan sedang liburan. Padahal ada surat kuasa dan di persidangan sebelumnya beliau hadir dan menyatakan dapat hadir di persidangan berikutnya untuk memberikan bantuan hukum Cuma Cuma tersebut. Advokat di Indonesia masih saja yang kurang baik menerapkan pasal 4 poin (f) ini, karena dinilai tidak dapat menghasilkan uang dan hanya membuang waktu. Inilah yang menjadi tamparan besar bagi para calon advokat yang akan mendatang.
Di dalam persidangan Mulyatno saat pembacaan putusan, penasihat hukumnya berbeda. Sedangkan menurut pasal 5 huruf (e) Kode etik profesi advokat menyebutkan bahwa Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru han ya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula. Nah pada saat itu Mulyatno tidak mencabut kuasa advokat yang lama, dan telah terjadi pergantian advokat. Hal ini melanggar pasal tersebut. Hakim yang bijak. Saya tertegun dengan kebijaksanaan Hakim Ketua pada persidangan ini, dimana Hakim Ketua benar-benar tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai pencari kebenaran materil semata,6 tetapi juga mencoba memahami kondisi psikologis Terdakwa. Hakim ketua sempat menanyakan kepada Terdakwa apabila diputus bersalah oleh Majelis Hakim, “Apakah saudara punya anak,dan sudah berapa umurnya?”, “Apa pekerjaan istri saudara?”, “apakah saudara menyesal dan tidak mau melakukannya lagi?”. Itu artinya Majelis Hakim mencoba menilai perkara ini dengan objektif, holistik dan komprehensif dengan tidak hanya menilai perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa secara bulat-bulat, tetapi juga menanyakan Terdakwa apabila diputus bersalah, apalagi Terdakwa memiliki anak dan istri. Meskipun jika dilihat dari perspektif yuridis pada dasarnya pertanyaan ini tidak boleh diajukan oleh Hakim Ketua berdasarkan Pasal 158 KUHAP, karena Majelis Hakim menilai kesalahan Terdakwa terlalu prematur, dan harusnya pembuktian salah atau tidaknya Terdakwa hanya dilakukan melalui putusan yang dikeluarkan. 4. Kesimpulan Persidangan sudah berjalan dengan cukup baik, namun diperlukan adanya beberapa perbaikan dalam hal formil. Berdasarkan pemaparan dari observasi diatas maka advokat masih bertindak tidak sesuai dengan UU. No 11 Tahun 2016 dan kode etik profesi advokat, karena ada beberapa poin yang dilanggar oleh pengacara dalam proses persidangan. Mengenai efisiensi waktu dan tidak ada tempat bukan seharusnya menjadi masalah dalam proses pengadilan yang baik, karena banyaknya terdakwa yang
6
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm.36
menyebabkan persidangan harus digabung dengan terdakwa lain malah akan berakibat persidangan yang cepat namun kurangnya waktu untuk berpikir tenang ba gi para hakim dalam memeriksa perkara lebih jauh Mengenai sikap hakim di pengadilan, saya melihat Majelis Hakim telah menegakkan tata tertib persidangan. Hakim bersikap sopan kepada Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Terdakwa, Saksi dan Pengunjung Sidang. Hakim selalu mengingatkan pengunjung sidang untuk tidak boleh menggunakan telepon genggam, minu m, tidak menghormati jalannya persidangan dan lain-lain. Namun, menurut saya diperlukan inisiatif yang lebih dari Hakim Anggota, karena sepanjang persidangan hanya Hakim Ketua yang memberikan pertanyaan dan menyimak dengan seksama pemeriksaan saksi. Dan saya menangkap suara hakim masih terlalu kecil untuk didengar. Tapi saya tertegun karena hakim sangat bijaksana. Jaksa penuntut umum masih bertindak dengan mengesampingkan asas praduga tidak bersalah terhadap terdakwa sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang menjerat. Tidak adanya Petugas atau keamanan di ruang persidangan. Padahal sejatinya petugas memiliki perananan yang sangat penting dalam suatu persidangan, salah satunya adalah menjaga agar sidang tetap kondusif dan berjalan dengan lancar. Tanpa adanya petugas keamanan, dikhawatirkan ada pihak-pihak yang sengaja ingin mengacaukan jalannya persidangan. Adapun yang saya lihat hanyalah seorang polisi yang berjaga di luar ruang persidangan. Mereka malah bersantai-santai.