CERITA KERETA Faaqih Irfan Djailani
1 Penerbit Ndok Asin NdokAsin.Co.Cc
CERITA KERETA .............................................................................................................
Faaqih Irfan Djailani
Penerbit Ndok Asin Bintaro, 2011
Cerita Kereta
Cetakan pertama e-book : Februari 2011 Desain sampul : just_hammam Background cover : http://4.bp.blogspot.com/_4vMhBXxamaM/S_8wTd3tvj I/AAAAAAAAAGM/UN7thPco1VY/s1600/Prameks-2.jpg
Lisensi Dokumen: Copyright © 2011-2012 NdokAsin.Co.Cc Seluruh dokumen di NdokAsin.Co.Cc dapat digunakan, dimodifikasi dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam setiap dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin terlebih dahulu dari NdokAsin.Co.Cc
Belum pernah dicetak Bagi yang ingin mencetak sesuai lisensi, dipersilakan
AKU, KAMU, DAN PRAMEKS Tatapan mata itu terus menatap pada Rimba. Tatapan yang tampaknya tidak rela karena harus berpisah. Amanda memang terus memandang pada Rimba, lelaki yang kini berada di dekatnya. Sebuah tatapan memang sama artinya dengan ucapan. “Kenapa sih kamu?” tanya Rimba, “Kan nanti kita juga ketemu lagi,” “Bukan begitu, mas,” kata Amanda, “Aku cuma…,” “Cuma apa?” tanya Rimba heran dan ia langsung tahu maksudnya, “Kamu tenang aja lha. Aku ini bukan lelaki yang kaya begituan,” “Iya, mas,” kata Amanda, “Aku tahu. Cuma berat rasanya pisah dengan kamu,”
1
Mendengar ucapan Amanda seperti itu, spontan Rimba memeluk kekasihnya dan berkata, “Aku juga lho, dik,” ujarnya pelan dan kemudian mencium kening kekasihnya. Pemandangan itu spontan juga mengundang banyak reaksi orang-orang yang berada di sekeliling mereka tepatnya di peron depan stasiun Maguwo yang terlihat sedikit ramai. Kebanyakan orang-orang yang berada di sini adalah baru saja dan akan naik pesawat yang terparkir di bandara Adi Sucipto yang berada di dekat stasiun. Tentunya mereka yang naik pesawat dari stasiun ini adalah mereka yang menggunakan kereta komuter Prambanan Ekspres. Rimba dan Amanda adalah sepasang kekasih yang sudah menjalankan hubungan mereka selama 3 tahun. Pertemuan mereka berdua pun tidak disengaja.
2
Stasiun Yogyakarta di siang hari. Panas terik begitu terasa namun hal tersebut tidak menghalangi niat banyak orang untuk berjalan dan beraktifitas. Rimba adalah salah satunya. Dirinya begitu tergesa-gesa ke dalam stasiun tersebut karena hendak ingin ke Wates dengan naik Prambanan Ekspres atau Prameks. Sekarang sudah sekitar jam setengah dua siang. Begitu yang ia lihat di jam tangannya. Prameks sendiri datangnya sekitar jam 2 kurang 17 menit. Itu berarti hanya tersisa 17 menit dari sekarang. Sudah begitu sekarang adalah siang hari. Pasti penuh keadaannya karena akan banyak yang hendak ke Kutoarjo. Namun, sekarang Rimba tak mau memikirkan hal tersebut. Yang ia pikirkan adalah mendapatkan tiketnya dan segera naik ke dalam kereta. Masalah penuh, desak-desakan, berdiri, dan tempat duduk adalah masalah belakangan. Usai mendapatkan tiket di loket, Rimba segera berlari ke jalur yang sudah pasti ada Prameksnya. Stasiun
3
Yogyakarta pada siang itu begitu ramai dengan banyak keretaapi yang terparkir yang kebanyakan adalah menuju ke Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Namun, Rimba sekali lagi tidak mempedulikan itu. Ia hanya peduli Prameks untuk bisa sampai ke Wates. Menjenguk teman lamanya yang jatuh sakit. Ia harus tepat waktu sampai di Wates sebab setelah dari Wates ia akan kembali ke Yogyakarta untuk belajar karena besoknya ada ujian. Ia sendiri sudah memperhitungkan sesuai jadwal. Kereta Prameks yang akan ditumpanginya akan datang sekitar jam 13.47 dan akan sampai di Wates pukul 14.14. Jadi, perjalanan hanya memakan waktu sekitar setengah jam. Tentu di sana ia tidak sebentar. Paling sekitar sejam saja dan karenanya untuk pulang ia akan naik keretaapi jam setengah 4 dan sampai di Yogyakarta sekitar jam 4 lewat 5 menit. Perhitungan ini benar-benar ia buat matang mengingat juga jarak rumah temannya dengan stasiun Wates hanya sekitar
4
500 meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki alias tidak butuh becak atau ojek serta angkot. Hanya saja perhitungan ini bisa saja berantakan jika ternyata meleset. Itu yang ia takutkan. Namun mau tak mau ia harus siap dengan resikonya. Apa yang ia takutkan ternyata menjadi kenyataan. Prameks-nya terlambat sekitar 5 menit. Mulailah ia kesal. Kekesalannya tambah memuncak kala banyak penumpang juga yang akan naik dan telah menumpuk di peron. Ia sudah harus siap berdesakdesakkan. Lima menit
kemudian Prameks
datang.
Para
penumpang sudah bersiap. Kebanyakan dari mereka adalah para kaum komuter seperti dirinya. Begitu keretaapi berhenti dan membuka pintunya mulailah para penumpang masuk dengan saling berebutan sehingga mengganggu penumpang yang akan turun.
5
“Bentar kasih dulu yang mau turun!” teriak salah satu penumpang dari dalam. Rimba tak mempedulikan itu. Yang penting ia naik. Maka beberapa kepala siap ia hadapi. Tiba-tiba saja langkahnya
berhenti.
Teriakan
dari
salah
seorang
penumpang wanita yang terjatuh membuatnya menoleh dan segera mendekati untuk menolongnya. “Nggak apa-apa kan, mbak?” tanyanya. Wanita berpakaian putih
itu
tampak seperti
merasakan kesakitan, “Aku nggak apa-apa kok, mas,” katanya setelahnya, “Makasih ya,” Sayang, ketika Rimba sudah membantu wanita itu berdiri Prameks pun berangkat. Maka tertinggallah ia bersama dengan wanita itu. Melihat itu dalam hatinya Rimba
6
berubah menjadi kesal kembali. Sudah datang telat, tertinggal lagi, begitu hatinya berkata. Kini ia merasa tidak akan bisa mengunjungi temannya yang sedang sakit. “Maaf, mas,” kata wanita itu kemudian, “Kalau saya membuat mas tertinggal kereta,” Wanita yang ditolong Rimba ini sebenarnya biasa saja dan membuat ia kurang respek. Apalagi ketika ia berkata seperti itu Rimba sebenarnya juga mau biasa saja bahkan agak menyesal kenapa tadi harus menolong wanita itu. Namun, semua berubah tatkala ia memandang wanita yang ternyata mempunyai lesung pipi yang membuatnya menjadi manis. Rimba pun terbius dan ingin menganulir semua rasa kesal dan menyesalnya. “Eh…nggak apa-apa kok, mbak,” ujarnya. “Mas mau kemana?” tanya wanita itu.
7
“Ke Wates, mbak,” jawab Rimba, “Mbak sendiri?” “Saya ke Kutarjo,” jawabnya. Wanita itu lalu mengajaknya berkenalan. Rimba lalu mengetahui bahwa wanita itu bernama Amanda. Statusnya sama seperti dirinya, mahasiswa UGM. Hanya saja beda fakultas dan jurusan. Lagipula di kampusnya Rimba jarang melihat dirinya dan memang wanita itu dua tahun lebih muda dari dirinya. “Teman aku sakit,” kata Rimba setelah perkenalan iu, “Jadi sudah sewajarnya dijenguk. Nggak enak kalau nggak jenguk teman yang sakit,” “Kamu setia kawan sekali sepertinya,” kata Amanda tersenyum dan lesung pipi itu terlihat kembali. Rimba pun terbius lagi. Manis, ujarnya dalam hati.
8
“Setia kawan nggak juga,” kata Rimba, “Hanya saja aku sudah lama tidak bertemu. Kamu sendiri ke Kutoarjo mau ngapain?” “Biasa pulang dulu ke rumah mau minta duit,” Amanda kembali tertawa lalu tersenyum. Kembali lesung itu terlihat. Oh, Tuhan, kok dia manis sekali sih, tanya Rimba sekali lagi. Entah karena terbius atau memang hal lain, tiba-tiba Rimba melontarkan sebuah tanya, “Boleh aku antar kamu ke sana?” “Ke mana?” tanya Amanda. “Ya ke Kutoarjo,” jawab Rimba. “Kamu memang mau ngapain?” tanya Amanda.
9
“Cuma mau tahu rumah kamu,” jawab Rimba seadanya, “Boleh kan?” Amanda hanya tersenyum. Sekali lagi lesung pipi itu muncul. Rimba sudah merasakan dirinya takluk. Amanda mengiyakan keinginannya. Namun untuk kereta yang berikutnya mereka harus menunggu hingga jam 4. Rimba segera membatalkan niatnya menjenguk temannya dengan alasan yang dapat dimengerti. Temannya di sms pun berkata bahwa dia hari ini tidak ada di rumah dan sedang berobat di pengobatan alternatif. Ia sendiri pun lupa bilang. Untung deh, begitu ujar Rimba dalam hati mengetahui hal tesebut. Ternyata jam 4 bukan waktu yang lama jika diselingi dengan banyak bicara ke sana-sini walaupun tidak jelas. Ketika keduanya bosan di peron, maka mereka segera ke tempat lain mencari makan karena keduanya belum makan dan kembali melanjutkan bicara.
10
Ketika
jam
4
datang,
Prameks
dari
arah
Lempuyangan pun datang dan kali ini tidak ramai seperti tadi sehingga tidak perlu buru-buru untuk masuk. Keduanya segera mendapatkan tempat duduk dan kembali berbicara sehingga tidak terasa sudah sampai di Kutoarjo. Mereka hanya sekitar 2 jam di sana dengan pertama-pertama berkenalan dengan orangtua Amanda yang cukup terkejut sepertinya lalu mulai maklum. Sekitar sore mereka kembali ke Yogyakarta dan sampai malam hari. Rimba mengantar Amanda hanya sampai bundaran UGM lalu berpisah. Ia merasa dirinya suka dengan wanita yang manis itu dan ingin bertemu lagi dengannya. Makanya sebelum berpisah ia minta nomor hapenya agar bisa dihubungi. Amanda memberi saja dengan mudahnya. Sejak saat itu keduanya memang sering bertemu. Baik di kampus, di dekat kos-kosan, atau malah di Malioboro 11
sambil jalan-jalan. Akhirnya pada saat-saat seperti itu Rimba mengungkapkan isi hatinya kepada Amanda bahwa kalau ia ingin menjadi kekasih Amanda. Hanya saja untuk sebuah jawaban rasanya cukup lama. Rimba disuruh menunggu hingga 5 hari dan itu yang membuat dirinya ketar-ketir sambil berharap wanita itu menjadi kekasihnya. Lima hari berlalu dan tiba-tiba Amanda mengirim sms padanya. Tentu saja Rimba terkejut karena ia hendak mengirim sms terlebih dahulu. Ia meminta Rimba datang ke sebuah tempat sepi di belakang UGM. Ketika ia sampai terlihat Amanda sendiri, “Kamu kok kayanya ngos-ngosan begitu?” tanya Amanda santai dengan senyum mautnya. “Iya nih,” jawab Rimba, “Habis kejar-kejar kamu susah banget sih,”
12
“Kamu ini ada-ada aja deh,” tanggap Amanda kembali dengan senyum dan oh…Rimba kembali terbius, “Aku bukan uang lho,” “Kamu memang bukan uang,” kata Rimba, “Tetapi kamu adalah wanita yang aku kejar untuk mendapatkan cintanya dan sekarang adalah hari untuk menjawab pernyataan cinta aku 5 hari kemarin,” “Oh, iya iya iya,” kata Amanda, “Aku hampir lupa,” “Aku serius lho,” Mendengar perkataan seperti itu dari Rimba, Amanda mengubah pandangannya. Ia pandangi sekujur tubuh
Rimba
terutama
wajah
polos
yang
sedang
mengharapkan jawaban. Lima menit ia memandang dan akhirnya ia menyatakan “iya”
13
Sontak Rimba langsung girang dan memeluk Amanda. Tentu saja Amanda terkejut tetapi ia biarkan saja. Sejak saat itu mereka berpacaran. Layaknya orang-orang yang pacaran tentulah kisah cinta mereka yang terajut selama 3 tahun juga dipenuhi banyak warna. Seringkali keduanya bertengkar karena masalah ego masing-masing yang
tidak mau
diatur dan
keras
kepala. Bahkan
pertengkaran itu terjadi di dalam Prameks yang hendak mengangkut mereka ke Solo. Penyebabnya cuma masalah sepele. Amanda menilai kekasihnya adalah lelaki tipe pencemburu
berat
yang
cepat
tersinggung
jika
membicarakan Amanda yang begitu akrab dengan teman lekakinya apalagi jika jalan berdua. Rimba memang tidak segan-segan untuk menegor. Kejadian ini sempat membuat Amanda bertanya-tanya pada Rimba, Memang kamu siapa? Cuma pacar aku aja kan? Bukan suami aku.
14
Sedangkan Rimba menilai Amanda adalah tipe wanita yang susah diatur dan semaunya sendiri. Seringkali karena beberapa alasan ia membatalkan janji dengan Rimba dan itu terjadi 5 menit sebelum janji dimulai. Tentu saja Rimba kesal karena ia merasa tidak dihargai. Kalau sudah begini biasanya mereka akan baik kembali sehari setelah kejadian namun terkadang mereka malah diam-diaman selama 2 minggu dan masa bodoh serta sibuk dengan urusan masing-masing. Ada keinginan dari keduanya untuk putus namun hal itu tidak jadi. Keduanya merasa sudah saling menyayangi dan ketika masing-masing sudah mengenal dirinya pertengkaran hanya terjadi sedikit. Ketika 3 tahun sudah berlalu dan menjelang 4 tahun, di suatu malam Amanda berkata kepada Rimba, “Aku sebentar lagi mau pindah ke Singapura, mas,” kata Amanda pelan.
15
“Maksudnya?” Rimba heran dengan tanya itu tetapi tahu. “Aku mau melanjutkan kuliah di sana, mas sambil kerja,” kata Amanda. “Kenapa harus jauh-jauh amat, sih, dik?” tanya Rimba heran, “Memangnya di Jakarta nggak bisa?” “Bapak yang suruh aku, mas,”kata Amanda, “Katanya ia ada kenalan di sana,” Rimba terdiam. “Maafin aku ya, mas,” kata Amanda sambil mengelus pelan tangan Rimba, “Aku tahu kayanya ini bakal susah buat mas,” “Nggak apa-apa kok, dik,” kata Rimba, “Hanya saja mas bingung mas nanti mau ngapain nggak ada kamu dan agak bingung juga buat hubungan jarak jauh,” 16
“Kalo mas rindu,” kata Amanda, “Mas bisa datang kok jenguk aku di sana,” “Aku mana ada duit, dik,” kata Rimba, “Kerja aja belum,” “Makanya kerja dong,” Sejak Amanda mengumumkan dirinya bakal ke Singapura, Rimba jadi selalu memikirkan hal itu. Ia sudah berpikir tentang pentingnya hubungan jarak jauh lewat apa saja baik hape dan facebook. Namun apakah itu cukup? “Kamu kok begitu saja dibuat repot. Jalani saja lha,” ujar Ridho temannya ketika mereka berdua berada di dalam Prameks, kereta yang mempunyai sejuta kenangan antara dirinya dengan Amanda. Prameks yang mereka naiki hendak menuju ke Klaten, “Wong zaman sekarang apa aja gampang,”
17
“Ah, kamu ini sok tahu,” kata Rimba, “Emangnya kamu pernah ngejalani?” “Ya pernah lha,” kata Ridho, “Aku ditinggal pacarku ke Brunei lho selama 5 tahun. Awalnya sih kaya berat gitu lama-lama enak juga. Ya sibuk-sibukin diri aja,” Mendengar ucapan Ridho pandangan kekhawatiran Rimba menjadi berubah. Ia merasa tak perlu lagi memikirkan hal tersebut dengan sangat repot. Yang penting adalah kepercayaan untuk saling menjaga komunikasi. Itulah yang ia terus perlihatkan kepada kekasihnya. Ia antar Amanda dari kosannya menuju stasiun Yogyakarta dengan naik Prameks menuju stasiun Maguwo. “Mas, kayanya Prameks selalu menjadi kenangan kita berdua,” kata Amanda sambil memandang Prameks berwarna kuning di depan mereka, “Aku pasti di sana bakal rindu,”
18
“Oh…terus kamu nggak rindu aku dong?” tanya Rimba bercanda. “Ya rindu juga lha,” kata Amanda, “Kamu ini,” Sekarang sudah jam 5 sore. Jam keberangkatan ke Singapura sekitar jam 6 sore. Masih ada waktu bagi mereka berdua untuk bisa bertatap-tatapan. Sekitar jam setengah 6 keduanya berjalan menuju terowongan bawah tanah yang terhubung dengan bandara. Keadaan bandara memang begitu ramai. “Mas, maaf ya,” kata Amanda setelah itu, “Kayanya sampai di sini aja mas ngantarnya. Nanti kalo aku nyampe di Singapura aku sms mas,” “Tapi, sekarang kan belum jam 6,” kata Rimba yang terus memegang tangan kekasihnya.
19
“Bukan begitu mas,” kata Amanda, “Kan aku harus memproses barangku dari sekarang. Kalau ada apa-apa aku nanti gagal berangkat,” “Ya udah,” kata Rimba, “Aku sayang kamu,” Untuk
kesekian
kalinya
ia
mencium
kening
kekasihnya. Namun kali ini perbuatannya tidak menjadi pusat perhatian orang-orang yang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Selepas itu Amanda perlahan meninggalkan dirinya dan melambaikan tangan. Sayang, maafin aku selama ini ya karena sering bersalah sama kamu, ujar Rimba dalam hati ketika kekasihnya perlahan mulai tidak terlihat dan menghilang, I miss you. Rimba tetap menatap titik tempat kekasihnya hilang. Ia terus berada di situ selama sejam dan akhirnya ia sadar
20
bahwa ada harus yang ia lakukan untuk hari esok dan lebih penting. Dari kejauhan Amanda yang melihat tingkah kekasihnya hanya tersenyum dan mulai masuk menuju pesawat bersama dengan seseorang.
21
ANAK-ANAK BADUNG Sebentar lagi senja menghilang dan kegelapan akan dimulai. Namun, itu bukanlah halangan bagi beberapa orang yang sedang menunggu kereta. di peron stasiun Gambir.
Sebagian
besar
menunggu
kedatangan
dan
keberangkatan kereta dari dan ke luar Jakarta dan sebagian kecil lainnya menunggu kedatangan kereta Pakuan yang hanya untuk Jadebotabek. Tampak beberapa kereta yang akan ke luar Jakarta sudah memarkir dirinya dan sudah dimasuki beberapa penumpang. Hanya tinggal menunggu keberangkatan. Arif dan Ijal, dua anak kecil sedang bermainbermain sebagaimana halnya anak kecil lainnya. Mereka bercanda-canda, berlari-larian tanpa mengindahkan para penumpang lain yang sebagian besar orang-orang dewasa dan lebih memilih diam. Ibunya tak memperhatikan sama sekali. Terlihat cuek. Hanya kakak perempuannya yang coba 22
menghentikan. Dua anak ini berkepala plontos dan juga polos.
Beserta
ibu
dan
penumpang-penumpang
kakak
perempuannya
lainnya mereka
akan
dan segera
menaiki kereta api Gajayana yang menuju ke Malang. Ke Malang pun mereka hendak pulang. Lima belas menit sebelum keberangkatan, Gajayana telah datang lebih dulu dari persinggahan sementaranya di stasiun Jakartakota. Para penumpang kemudian menaiki kereta tersebut dan mencari tempat duduk sesuai dengan yang tertera di tiket kereta masing-masing. Di dalam kereta itu tak ada yang mengetahui siapakah yang hendak pergi ke Malang karena pulang atau sekedar berwisata. Arif dan Ijal duduk berdua berseberangan dengan kakak dan ibunya. Mereka berdua tampak menikmati tempat duduk dan sama sekali tidak bisa diam bahkan ketika kereta hendak berangkat pun mereka tetap seperti itu. Kemudian mereka diam. Lalu munculah suara pengumuman dari 23
masinis kepada penumpang bahwa sebentar lagi Gajayana akan berangkat dan akan berhenti di beberapa stasiun yang menuju ke Malang seperti Madiun, Kediri, Kertosono, Blitar, Kepanjen, dan akhirnya Malang dan sebagai penutup si masinis mengucapkan doa dan semoga para penumpang menikmati perjalanan yang akan memakan waktu 15 jam. Lima jam lebih lama dari kereta jurusan Jakarta-Surabaya. Kereta
pun
berangkat
meninggalkan
Gambir
melewati Manggarai dan Jatinegara lalu mengarah ke Bekasi dan
selanjutnya
Cirebon.
Beberapa
menit
setelah
keberangkatan Arif dan Ijal kembali tidak bisa diam. Mereka mulai bercanda-canda, memain-mainkan bangku. Pada awalnya perilaku mereka masih bisa ditoleransi karena mereka masih anak kecil. Tetapi, kemudian muncul masalah. Salah seorang penumpang kehilangan sumpit untuk makan dan ia sendiri bingung. Seorang ibu di sampingnya memberi tahu bahwa sumpit itu diambil salah seorang anak kecil
24
yang ada di depannya. Ia lantas bereaksi. Rupanya Ijal memegang sumpit itu. “De, itu sumpit saya,” ujarnya pelan. Ijal yang memegang sumpit segera memberi. Orang ini kemudian duduk kembali sambil berkomentar sebelum makan, “Dasar anak-anak badung!” Di tengah perjalanan yang menembus malam pekat dua anak plontos ini terus-terusan tidak bisa diam dan akhirnya membuat keki dan jengkel penumpang lainnya. Seorang bapak pindah duduknya ke seberang bertukar dengan istrinya karenanya. Ibu dari dua anak ini terlihat masa bodoh. Kakak perempuannya hanya sebentar-sebentar menenangkan lalu diam lagi. Arif dan Ijal yang terusterusan seperti itu akhirnya malah berantem dan salah satu di antara mereka menangis dan berteriak. Penumpang pun 25
terkejut. Kembali si ibu diam saja. Tenang. Seolah-olah tidak ada apa-apa. Kakak perempuannya malah jadi ikut-ikutan bercanda sewaktu menenangkan. Mereka kemudian setelah itu tenang. Si bapak yang bertukar duduk dengan istrinya kembali lagi ke asal. Tetapi, beberapa menit kemudian, mereka bertingkah lagi. Bahkan Ijal bertingkah menari-nari di belakang bapak itu. Si bapak pun kesal dan menoleh dengan pandangan tajam. Mereka pun diam. Ketika datang pembagian makan malam si petugas harus sedikit memarahi mereka yang berebutan ketika dibagikan. Benar-benar menjengkelkan perilaku mereka. Malam semakin larut. Selimut pun mulai dibagikan. Mereka pun masih terus seperti itu dan satu jam kemudian tenang. Tak ada lagi keberisikan di kereta. Namun, pada pagi harinya, ketika mereka terbangun kembali mulailah hal itu muncul kembali. Mereka menghalangi orang-orang yang 26
ingin menonton televisi dan pindah tempat duduk ke sana kemari sesuka mereka. Sedikit terusik suasana. Ketika kereta berhenti di tujuan mereka tetap seperti itu. Si ibu juga tetap tak mempedulikan. Hanya kakak perempuannya saja yang mencoba menenangkan.
27
APAKAH KAMU SIAP? Matahari senja memerah di ujung barat. Burungburung beterbangan di depannya melantunkan senandung untuk sang matahari senja. Sedikit lagi sang matahari senja sudah tidak menampakkan wajah kemilaunya lagi di bumi mayapada ini. Malam di belakangnya telah menunggu untuk menjalankan peran dengan bulan sebagai bintangnya. Meski begitu sinar sang mentari senja masih terlihat jelas walau sedikit terkoyak-koyak di permukaan air. Itulah yang sekarang oleh Regi. Begitu tenangnya permukaan air yang sebenarnya agak jauh dari dirinya. Pandangan matanya memang melihat ke sekeliling dirinya yang semuanya adalah laut. Ia kini berada di atas sebuah kapal feri yang hendak membawa dirinya ke Lampung setelah dua jam yang lalu melalui antrian melelahkan berada di Merak.
28
Feri yang ditumpanginya terus menerjang lautan yang sebenarnya sudah tidak membiru lagi. Ikan-ikan perlahan-lahan mulai bermunculan setelah bersembunyi di siang untuk menghindari tangkapan para nelayan. Namun mereka tidak sadar bahwa kemunculan mereka juga telah ditunggu para nelayan yang akan datang ke daerah mereka beberapa jam lagi. Sore itu seperti menjadi sebuah sketsa alam yang begitu indah yang sudah jarang dilihat oleh Regi. Ketika malam datang dan angin mulai berhembus feri yang ditumpanginya sebentar lagi sudah akan memasuki perairan Bakauheni. Malam yang gelap memang tidak bisa memberikan kesempatan bagi Regi untuk bisa menyaksikan semua pemandangan termasuk pemandangan Gunung Krakatau. Setengah jam kemudian feri hampir merapat di Bakauheni, Regi segera bersiap turun ke geladak dan menaiki bis yang sudah ditumpanginya sejak dari Kampung Rambutan.
29
Tujuannya sekarang dengan bis ini adalah stasiun Tanjungkarang. Bis yang ditumpanginya sendiri adalah bis yang tujuannya ke Lampung dengan berhenti di terminal Rajabasa. Ke Lampung ia sebenarnya hanya menjadikannya sebagai sebuah batu loncatan dari tujuan sebenarnya, Palembang. Ia ke stasiun karena hendak menaiki keretaapi Limex Sriwijaya yang melayani rute Palembang-Bandar Lampung. Menurut jadwal yang ia tahu keretaapi itu akan berangkat dari stasiun pukul 9 malam dan akan sampai esok sekitar jam 6. Jadi, perjalanan memakan waktu 9 jam. Sekarang sudah pukul setengah 7. Jadi, masih ada waktu baginya. Setelah sekitar hampir satu setengah jam berkutat dengan jalur dari Bakauheni, sampailah ia di Bandar Lampung yang menyambutnya pada malam yang masih terhitung muda. Keramaian masih terlihat di sana-sini. Namun, ia tak memikirkan hal itu. Yang penting sekarang
30
tujuannya adalah stasiun Tanjungkarang yang berada di timur Bandar Lampung. Pikirannya kemudian melayang. Ia pernah ke sini beberapa tahun yang lalu dengan tujuan yang sama. Pada waktu itu ia bersama dengan temannya. Mereka berdua ke Palembang sebenarnya juga hendak bertemu teman mereka yang kuliah di sana dan untuk ke sana ia dan temannya naik keretaapi dari stasiun yang akan menjadi tujuannya. Kereta yang mereka naiki adalah Rajabasa Ekspres, sebuah kereta ekonomi yang mirip dengan kereta ekonomi di Jawa. Miripnya bukan hanya dari bentuk tetapi juga dari situasi di dalam yang ramai dengan banyak pedagang asongan yang seliweran ke mana-mana hanya untuk menjajakan barang dagangan mereka. Mengenai ini ia bergumam, rupanya baik di Jawa atau Sumatera sama saja. Keretaapi yang mereka tumpangi berangkat sekitar jam 10 pagi. Jam tersebut boleh dikatakan melenceng karena 31
seharusnya keretaapi berangkat jam 9. Keterlambatan tersebut dikarenakan keretaapi yang akan mereka tumpangi harus menunggu giliran dengan keretaapi barang yang sebenarnya merupakan prioritas. Ia sendiri baru sadar beberapa bulan setelah naik keretaapi di sana. Di Sumatera memang berbeda dengan di Jawa. Kalau di Jawa keretaapi terlambat karena harus menunggu giliran dengan keretaapi penumpang lain di jalur langsiran maka di Sumatera harus menunggu dengan keretaapi barang. Sudah begitu jalur keretaapi di Sumatera hanya satu jalur saja beda dengan di Jawa yang dua. Itulah yang ia dan temannya hadapi. Naik keretaapi di Sumatera malah seperti berpetualangan ke dalam rimba karena jalurnya kebanyakan melalui hutan-hutan belantara yang rimbun. Belum lagi keretaapi selalu padat tiap kali berhenti di tiap stasiun. Penumpangnya malah bisa lebih nekat daripada di Jawa. Buktinya ada beberapa yang nekat
32
duduk di depan anjungan depan lokomotif yang sebenarnya menghalangi pandangan masinis dan juga berbahaya bagi mereka jika terjadi kecelakaan. Petualangan mereka pun berakhir ketika mereka sampai di Palembang pada senja menjelang malam. Jelas Regi takkan bisa melupakan hal tersebut apalagi jika pada waktu keretapi yang ditumpanginya malah mendadak berhenti di sebuah langsiran gara-gara ada keretaapi barang hendak lewat. Pemberhentian itu bisa memakan waktu sampai dua jam dan itu terjadi di siang panas yang menyengat. Keringat jelas bercucuran. Sekarang ia ke Palembang bukan untuk menjenguk temannya tetapi kekasihnya yang telah ia pacari selama setahun. Ia berkenalan dengan kekasihnya itu sewaktu di Jakarta dan kekasihnya di Palembang sedang berada di rumah saudaranya. Tentu saja Regi memberitahukan perihal
33
kedatangannya walau kekasihnya kaget karena ia hendak naik keretaapi, “Kamu nggak salah? Kenapa nggak naik pesawat aja atau bus langsung ke Palembang? Kan lebih cepat?” tanya kekasihnya ketika ia menghubunginya lewat hape. “Aku kangen kereta sumatera, sayang,” jawabnya, “Sudah lama aku tak merasakan lagi,” “Ya sudah kalau itu mau kamu,” kekasihnya menyerah dan tak mau ambil pusing. Ketika ia membicarakan ini dengan beberapa temannya, ia malah ditertawakan, “Nggak salah, bro! naek kereta? Lama kali,” ujar salah satu temannya. Tetapi, ia menjawab,
34
“Lho memang kenapa? Kan suka-suka gue mau naik ini atau itu. Yang penting gue selamat,” Angin malam berhembus kencang. Kini Regi sudah mendapati dirinya berada di stasiun Tanjungkarang yang belum sama sekali berubah. Setelah membeli karcis yang ternyata naik dan bukan masalah baginya ia duduk di peron. Mengamati keadaan di stasiun yang terkesan sepi meski banyak petugas keretaapi lalu-lalang dan hilir mudik. Beberapa lokomotif tampak berdiri berjajar di atas rel. Salah satu lokomotif digerakkan dan mencari gerbong untuk dikaitkan. Ia berpikir pasti gerbong yang tak jauh dari pandangan matanya adalah gerbong yang akan dinaikinya dengan lokomotif itu sebagai pemandu. Sekarang sudah jam 8 lewat 15 menit. Masih ada waktu sekitar 50 menit lagi. Namun hatinya telah berkata, apakah kamu siap?
35
CERITA BAPAK TUA Mari-mari sini nak mampir ke rumah Bapak jika Anak capek berjalan dan butuh istirahat. Rumah Bapak cukup sederhana, Nak. Hanya terdiri dari anyaman bambu dan berlantai tanah. Tetapi, Bapak cukup senang bisa menerima tamu seperti Anak yang mau singgah di rumah Bapak. Kalau haus nanti Bapak suruh istri Bapak buatkan segelas air putih. Bapak di sini cuma berdua saja dengan istri. Anakanak Bapak sudah pada di tempat lain bersama keluarga mereka dan mereka jarang datang ke sini. Tapi, bagi Bapak hal tersebut tak usah Bapak pikirkan. Yang penting Bapak bisa hidup berdua dengan tenang dari pekerjaan menyapu di halaman kelurahan. Uangnya pun juga pas untuk makan sehari-hari.
36
Tetapi apakah Anak mau mendengar cerita Bapak? Cerita itulah yang telah mengantarkan Bapak sampai pada kehidupan yang sekarang. Dahulu
Bapak
hidupnya
cukup
senang
dan
sejahtera. Segala kebutuhan untuk sehari-hari selalu tercukupi. Ini tidak lain karena pekerjaan Bapak dulu sebagai salah seorang petugas PPKA di sebuah stasiun. Tepatnya stasiun Rawahijau. Bapak rupanya masih ingat namanya. Stasiun itu letaknya sungguh jauh dari sini. Sekitar ribuan kilometer. Yang jelas stasiun itu letaknya di sebuah kota kecil yang adem dan tenang. Dengan menjadi salah seorang petugas PPKA kehidupan Bapak agak menjadi mudah. Anak-anak bisa Bapak sekolahkan dengan mudah juga. Istri meskipun begitu juga membantu Bapak bekerja dengan menjadi seorang pegawai di sebuah toko baju. Namun, kenikmatan yang Bapak rasakan dari Yang Maha Kuasa juga sebanding 37
dengan pekerjaan Bapak yang menyangkut nyawa orang ketika
menggunakan
keretaapi
sebagai
transportasi
perjalanan mereka. Sebagai salah seorang petugas PPKA tentulah tugas Bapak tidak ringan jika kaitannya dengan nyawa. Mengatur dan mendesain perjalanan keretaapi adalah salah satunya. Sebuah perjalanan keretaapi mestilah diatur dan sebelumnya didesain dengan baik sebelum ia berangkat dan setelah berangkat. Kalau tidak diatur tentu akan terjadi sebuah kecelakaan seperti tabrakan atau terguling. Untuk itulah untuk menduduki posisi di bagian ini tidaklah main-main dan dibutuhkan keahlian khusus dan yang jelas itu adalah ketelitian dan kecermatan. Dalam bertugas Bapak tidak sendirian. Bapak dibantu oleh teman Bapak. Namanya Aswan. Bapak dan Aswan pun mempunyai atasan namanya Pak Razak. Kami bertiga bekerja tidak pada tugas masing-masing tetapi 38
secara berganti-gantian. Misal pada hari ini Bapak yang bertugas mengamati perjalanan keretaapi dari sebuah peta jaringan dan nanti kemudian Bapak akan menyuruh Aswan untuk ke jalur kedatangan dekat emplasemen untuk menyambut kedatangan keretaapi melalui semboyan dengan tongkat atau peluit sedangkan Pak Razak nanti yang akan bergangtian
dengan
Aswan
untuk
memberangkatkan
keretaapi. Bapak yang berada di ruang kendali hanya mengamati dan mengumumkan untuk memberangkatkan dan membatalkan perjalanan karena suatu hal seperti musibah dan sebagainya. Bapak cukup senang juga dengan pekerjaan seperti ini meskipun resikonya cukup besar. Hampir setiap hari Bapak pulang cukup larut. Namun, pagi-pagi sekali Bapak harus ke stasiun lagi untuk bekerja. Akibatnya, Bapak sering tidak sempat bercengkrama dengan anak-anak Bapak yang masih kecil-kecil. Pernah ada keinginan dari diri Bapak
39
untuk sesekali melakukan cuti demi anak-anak. Namun, hal itu ditentang istri Bapak dan ia hanya berkata nanti juga ada waktunya. Ya pekerjaan Bapak yang memang menyangkut nyawa orang ini memang tidak ada liburnya. Hampir setiap hari Bapak bekerja. Membanting tulang untuk keluarga tercinta. Namun, hanya sedikit saja yang mengetahui pekerjaan yang penting ini. Memang, orang tidak akan peduli bagaimana pentingnya pekerjaan Bapak meskipun menyangkut diri mereka. Yang mereka tahu hanya kelancaran saja dari keretaapi yang mereka tumpangi. Kalau tidak lancar mereka akan mulai marah-marah dan mengadu. Memang itu hak mereka meskipun terkadang Bapak merasa ada pengaduan yang dibuat-buat dan disudutkan. Kepala stasiun tempat Bapak bekerja bernama Pak Hasmi. Ia orangnya baik dan perhatian terhadap semua pegawainya. Para pegawainya sering diundangnya makan
40
malam di rumahnya kalau ia sedang ada syukuran. Ia termasuk menghargai profesi Bapak dan teman-teman Bapak dan sering memberikan perhatian lebih sebab resiko nyawa orang. Perhatian
lebih
itu
terkadang
menimbulkan
kecemburuan walaupun itu tidak terlihat. Yang paling terlihat justru dari wakil kepala stasiun. Namanya Pak Arsanto. Ia memang tidak suka dengan kami. Ia malah berkata yang benar-benar membuat Bapak tersinggung suatu hari. Ketika itu Bapak sedang istirahat di depan ruang kerja Bapak. Yang lainnya juga demikian. Pak Razak dan Aswan mereka sedang makan di kantin stasiun. “Sedang tidak ada kerjaan, Pak Jamal?” ujar dirinya yang datang tiba-tiba dan mengejutkan Bapak. Bapak seketika langsung berdiri dan menyapanya,
41
“Eh, Bapak Wakil,” sapa Bapak ketika itu, “Betul Pak. Mumpung belum ada kereta yang lewat lagi dan masih lama sampainya. Bapak sendiri?” “Kamu jangan pakai tanya saya segala ya,” ucapnya yang jelas membuat Bapak kaget, “Saya ini wakil kepala stasiun seharusnya kamu tahu kalau sekarang saya sedang apa,” “Maaf, Pak, saya memang tidak tahu,” jawab Bapak menyalahkan diri. “Eh, kamu sama teman-temanmu sudah diberi perhatian lebih dan digaji dari biasanya masih enak-enakan santai,” Mendengar itu Bapak sekali lagi terkejut dan cukup heran mengapa si wakil kepala stasiun berkata seperti itu,
42
“Maaf, Pak,” kata Bapak membela diri, “Saya dan teman-teman bukannya santai tetapi sedang istirahat. Kami ini juga kan butuh istirahat dan kami bukan robot,” “Alasan!” ujarnya dan tiba-tiba saja ia meninggalkan Bapak. Bapak sendiri heran. Lalu Bapak ceritakan itu kepada teman-teman Bapak. Pendapat mereka, “Saya rasa ia cemburu dengan keadaan kita yang lebih diperhatikan,” kata Aswan. “Kita jangan berprasangka buruk dulu,” kata Pak Razak, “Bisa saja ia cuma mau menegur kita,” “Menegur bagaimana, Pak?” tanya Bapak heran, “Kok menegur dengan nada yang menunjukkan rasa tidak suka. Lagipula kita ini juga butuh istirahat kan masa mereka saja yang butuh. Bukankah itu sudah menjadi hak asasi kita,”
43
Begitulah. Semenjak kejadian itu kami selalu berhati-hati terhadap Pak Arsanto. Jika ia bicara kami iyakan saja walaupun sebenarnya bisa saja kami melawan dan melaporkan ke kepala stasiun. Hanya saja ia wakil dan juga orang kedua berpengaruh di stasiun. Suatu hari keadaan di stasiun Rawahijau begitu sibuk. Banyak kereta dari berbagai arah muncul untuk sekedar lewat, berhenti menurunkan penumpang, dan istirahat. Keadaan ini membuat kami tidak bisa beristirahat dan harus selalu sedia di pos tugas. Saat itu Bapak berada di ruangan bersama Pak Razak sedangkan Aswan di luar mengawasi dan memberikan sinyal untuk berhenti dan berangkat keretaapi. Salah seorang masinis sebuah lokomotif kemudian bertanya kepada Aswan, “Bagaimana Pak?” tanyanya si masinis itu, “Kami sudah diperbolehkan berangkat?”
44
“Memangnya sudah 15 menit Bapak di sini?” tanya Aswan. “Iya,” jawab si masinis. Aswan lalu menoleh pada jam tangannya dan benar waktu sudah menunjukkan 15 menit lokomotif yang berada beberapa meter di depannya. Ia lalu berlari ke ruangan dan mengatakan hal tersebut kepada Bapak dan Pak Razak. Kami berdua mengiyakan dan Aswan segera berlari untuk mulai memberikan semboyan keberangkatan kepada kereta. Kereta pun
berangkat
dengan
diiringi
oleh
pengumuman
keberangkatan dari Pak Razak. Tanpa kami sadari ada sesuatu yang tidak beres ketika kereta itu berangkat. Itulah yang kami dapatkan dari kepala stasiun.
45
“Kenapa kalian memberangkatkan kereta di jalur 4?” tanyanya kepada kami beberapa menit setelah kereta berangkat dan ia ke ruangan kami. “Lho, memangnya kenapa, Pak?” tanya Bapak, “Bukankah sudah saatnya berangkat dan keadaan di depan aman?” “Kalian ini jangan bodoh ya?” kata kepala stasiun mulai naik pitam, “Sekitar 2 kilometer dari stasiun ini ada kereta yang sedang mogok. Pakai otak kalian jangan pakai dengkul!” Tentu saja kami terkejut seperti ditusuk anak panah. Perkataan dari kepala stasiun seolah-olah mengisyaratkan akan terjadi sebuah kecelakaan. Bapak yang mendengar itu langsung bertindak mengambil tongkat dan berlari ke emplasemen
jalur
langsiran
untuk
mengejar
sambil
melambai-lambaikan tongkat. Sayang keretaapi sudah
46
keburu menjauh dan tidak melihat apa yang Bapak lambaikan. Bapak pun pasrah. Beberapa
menit
kemudian
kecelakaan
yang
diramalkan pun terjadi. Lokomotif yang berangkat dari stasiun Rawahijau akhirnya menabrak sebuah kereta diesel yang sedang mogok dari depan. Jelas saja tabrakan itu mengakibatkan banyak korban jiwa dan beritanya pun menjadi santapan media-media. Selepas tabrakan, kami bertiga beserta si masinis dijadikan tersangka karena dosa kami. Padahal kami tidak bermaksud untuk itu karena kami sudah yakin dengan keadaan di depan sebelum pemberangkatan. Lagipula stasiun tempat si lokomotif akan berhenti sudah memberi sinyal aman agar kereta berjalan dan katanya tidak ada hambatan. Tetapi kenyataan berbalik. Kereta mogok itu kami benar-benar tidak tahu. Bapak pun merasa ada dalang di balik semua ini. Namun seperti biasa Pak Razak selalu 47
berkata jangan berprasangka terlebih dahulu. Apa yang terjadi merupakan cobaan yang harus diterima. Akibat kejadian itu, kami bertiga beserta si masinis dijebloskan ke dalam penjara selama 7 tahun setelah melalui 3 proses pengadilan. Mau tidak mau ini harus diterima. Bapak pun berpisah dengan anak-istri begitu juga temanteman Bapak. Bapak juga tidak dengan teman-teman Bapak lagi ketika dipenjara karena mereka berada di penjara yang lain. Selama di penjara banyak perlakuan tidak adil yang Bapak alami. Mulai dari para preman penjara hingga petugas dan kepala penjara. Tetapi Bapak hadapi saja. Bapak juga jarang mendapat kabar dari keluarga dan teman-teman Bapak. Selepas keluar dari penjara, Bapak berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Bapak jadi jatuh miskin karena tidak ada uang jaminan yang bisa Bapak jadikan uang pensiun. Anak-istri 48
Bapak pada kelaparan sedangkan Bapak bingung mau kerja apa lagi. Sampai suatu hari ada yang berniat mengadopsi anak-anak
Bapak
pada
seorang
dermawan
untuk
disekolahkan. Bapak terima saja daripada mereka sengsara bersama Bapak. Sekarang mereka sudah mapan namun lupa sama Bapak dan Ibu mereka. Namun, Bapak ikhlaskan saja. Suatu hari Bapak bertemu Aswan yang sudah Bapak tidak lama temui sejak penjeblosan ke penjara. Dialah yang mengajak Bapak untuk kerja sebagai penyapu kelurahan sampai sekarang. Jikalau sedang berdua bersama Aswan saat istirahat seringkali berbicara mengenai masa lalu kami dan terlihat suka ada nada menyesal meskipun sesal bukan jalan terbaik. Mengenai Pak Razak kami tak pernah tahu lagi kabarnya apalagi si kepala stasiun serta wakilnya yang tidak suka pada kami. Entahlah mereka dimana sekarang. Sekarang yang kami tahu adalah kehidupan kami. 49
Bagaimana, Nak? Anak sekarang sudah tahu kan kenapa Bapak bisa seperti ini? Kalau Anak berpendapat tidak adil silakan karena memang Bapak merasakan ketidakadilan hanya karena dosa Bapak bersama teman-teman Bapak. Bapak ini seharusnya bagaimanapun mendapat perhatian berupa tunjangan pensiun setelah sekian lama mengabdi di dunia keretaapi. Itu juga hak Bapak. Tetapi karena mereka tidak mau mendengar Bapak sudah ikhlaskan. Lagipula Bapak sudah tua. Sudah bau tanah. Tinggal menunggu mati saja. Bapak hanya bisa berpesan supaya kalau nanti Anak bekerja jangan sampai disia-siakan pekerjaan itu meskipun pekerjaan yang Anak hadapi tidak enak atau juga tidak sesuai dengan keinginan Anak. Juga jangan sampai teledor ketika melakukan tugas. Nah, akibatnya seperti Bapak kan. Kalau ada yang tidak suka diamkan saja. Biarkan ia dengan ketidaksukaannya karena lama-lama ia pasti suka. Itu saja
50
dari Bapak, Nak. Bapak merasa sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
51
DI STASIUN AKU MENUNGGUMU LWH van der Brug. Nama itu selalu saja teringat dalam memoriku. Sebuah nama yang menurutku panjang sehingga harus disingkat. Nama itu mengarah kepada seseorang tegap, tinggi, bermuka dan berkulit putih dengan mata biru dan rambut kuning kecoklatan. Gaya bicaranya juga khas dengan ucapan yang mungkin bisa membuat orang
yang
tidak
biasa
mengalami
gangguan
di
tenggorokan. Aku mengingat dia sebagai seorang yang berpakaian putih yang menjalankan tugasnya sebagai seorang kepala stasiun keretaapi di sebuah daerah bernama Jatimerah. Bagiku dia ramah dan tegas. Semua orang menyukai gayanya. Dia tidak pandang bulu pada siapa saja baik itu terhadap kulit putih, kulit berwarna atau kulit hitam.
52
Hampir setiap hari banyak lokomotif mampir di depanku. Mereka semua ada yang dari berbagai jenis. Ada yang lokomotif barang, ada yang penumpang. Mereka kulihat begitu menyukai pemandangan di sekitarku yang berupa gunung-gunung yang hijau membukit. Apalagi ada udara sejuk di sekitarnya. “Kau beruntung sekali berada di daerah ini,” kata si lokomotif barang, “Sungguh indah sekali,” “Terima kasih,” jawabku. “Tak hanya itu kau juga bersih,” sahut si lokomotif penumpang, “Berbeda dengan saudaramu yang lain yang ada di tempat lain terutama di tepi pantai. Kotor. Kepala stasiunmu benar-benar hebat. Aku salut,” “Sekali lagi terima kasih,” jawabku, “Meneer Brug memang seperti itu orangnya. Dia ingin membuat stasiun ini bersih dan nyaman,” 53
Meneer Brug adalah panggilanku terhadap kepala stasiunku
itu.
Namun
orang-orang
biasanya
suka
memanggilnya Tuan Tegas dikarenakan sikapnya. Dia sudah ada saat aku di sini. Ketika itu aku terbangun dari tidur panjangku dan menyaksikan orang-orang pada berkumpul di depanku. Tampak aku melihat seperti akan ada acara peresmian sebuah stasiun baru di Jatimerah. Stasiun yang tidak cukup besar namun nyaman dan bisa dilintasi atau menjadi tempat pemberhentian
sementara
banyak lokomotif.
Upacara
peresmian yang cukup sederhana dengan hanya dihadiri beberapa orang dan pidato seorang direktur berkulit putih yang bersyukur sebuah stasiun bisa diselesaikan. Kemudian aku lihat seorang berkulit putih lagi sedang berpidato dengan suara yang lantang tegas. Aku perhatikan nama yang tertera di seragamnya. LWH van der Brug. Sejak saat itulah aku mengetahui dan mengenal itu adalah Meneer Brug.
54
Mulai detik peresmian, di depanku sudah banyak lokomotif yang sekedar lewat dan berhenti. Jikalau lokomotif akan lewat Meneer Brug akan menyuruh anak buahnya menyuruh semua orang yang sedang melintas di atas rel untuk minggir karena kalau tidak orang-orang itu akan tertabrak dan tewas. Jika ada kereta yang berhenti Meneer Brug
akan
berbicara
lewat
pengeras
suara
untuk
mengucapkan selamat datang dan menikmati kenyamanan stasiun Jatimerah. Ia juga takkan segan untuk mengundang lokomotif ke ruangannya hanya untuk sekedar berbicara sambil makan dan beristirahat sejenak. Para masinis itu memang terkesan dengan sikap Meneer Brug dan mereka amat menyayangkan jika harus sebentar di stasiun Jatimerah hanya karena tugas. Sikap seperti ini tak pernah mereka dapatkan jika harus beristirahat sebentar di stasiun-stasiun lain yang kepala stasiunnya masa bodoh. Bahkan jika ada salah satu lokomotif yang hendak ke stasiun Jatimerah mogok, Meneer Brug segera menyuruh anak buahnya 55
menjemput kereta tersebut dengan kereta derek dan kemudian dipersilahkan dibetulkan. Dalam hal ini juga ia menyuruh anak buahnya untuk membantu dan memberi makan. Kereta yang mogok itu malah diberi tambahan bahan bakar berupa kayu dan batu bara. Hal-hal inilah yang membuat semua pengguna kereta api senang padanya dan selalu akan menganggap stasiun Jatimerah sebagai rumah mereka sendiri. Namun semua berubah. Meneer Brug tiba-tiba harus meninggalkan jabatannya sebagai kepala stasiun dan kembali ke negaranya, Belanda untuk mengisi posisi sebagai direktur. Posisi itu ia dapatkan karena prestasinya yang bagus dalam mengelola stasiun Jatimerah. Awalnya ia menolak ini semua. Ia tampak begitu sedih harus meninggalkan stasiun yang telah ia pimpin dengan cara dia yang disukai semua orang. Ia merasa telah menyatu dengan stasiun ini juga dengan alam sekitarnya yang sejuk dan
56
damai. Namun, ia tidak bisa melawan karena yang harus ia emban ini adalah tugas yang wajib. Keluarganya di Belanda juga sudah memintanya balik. Aku yang melihat itu ikut sedih juga karena merasa kehilangan akan seseorang yang tanggungjawabnya begitu besar. Namun bagaimanapun ia harus dilepas dan berharap penggantinya akan sama seperti dia dan lebih baik. Tetapi apa yang kuharapkan tidaklah menjadi kenyataan. Pengganti Menneer Brug, Johannes der Steen ternyata adalah kebalikan dari dirinya. Ia bersikap tidak ramah kepada semua pengguna keretaapi baik penumpang, pegawai, dan para masinis. Jika ada permasalahan yang menimpa penumpang seperti masalah tiket ia malah masa bodoh. Begitu juga dengan pegawai. Ia tak mau ramah dengan mereka apalagi dengan pegawai kulit berwarna yang selalu ia katai dengan “monyet pembantu”. Gila! Baru kali ini aku mendengar ada seorang kepala stasiun berkata
57
seperti itu. Kepada para masinis pun ia ogah mengundang mereka makan dan membiarkan mereka mencari makan sendiri. Bahkan ia melarang para pegawainya melayani para masinis
dalam
hal
apapun.
Seorang
masinis
pun
menggerutu, “Mengapa sekarang Jatimerah tidak bersahabat lagi?” Pernah ada seorang pegawai yang tidak tega melihat penderitaan masinis lokomotif yang butuh makan dan juga perbaikan mesin karena lokomotifnya mogok. Pegawai itu diam-diam memberi makan dan beberapa peralatan pembantu. Sayang, aksinya ketahuan si kepala stasiun. Ia langsung dipecat tanpa diberi uang pesangon. Lokomotif yang mogok itu hanya mogok beberapa kilometer saja dari stasiun dibiarkan terdiam tanpa ada bantuan sama sekali dari pihak stasiun karena peraturan kaku der Steen. Akhirnya lokomotif itu secara inisiatif didorong oleh para 58
penumpang dan para awaknya sampai ke stasiun. Di stasiun tidak ada penyambutan apa-apa. Seorang penumpang pun kesal, “Stasiun macam apa ini? Kami yang sudah berlamalama di perjalanan hanya dibiarkan seperti ini saja? Biadab!” Tentu saja aku merasa terhenyak mendengar katakata itu. Kata yang menurutku sakit sekali sampai ke hati. Para pegawai itu juga merasa demikian. Tapi mau bagaimana lagi mereka harus menuruti perintah. Selama der Steen berkuasa, tak hanya peraturanperaturan merugikan saja yang ia terapkan tetapi aku saja tidak diperhatikan. Aku yang dahulu terlihat bersih dan elok dalam kesederhanaan dibiarkan kotor dan akhirnya kumuh. Mereka yang memandangku pun merasa jijik. Ini benarbenar bagiku sebuah cobaan. Aku pun berdoa supaya aku bisa keluar dari situasi ini.
59
Suatu hari kudapatkan kabar bahwa der Steen tewas secara mengenaskan di sebuah kamar dengan seorang wanita penghibur. Aku yang mendengar berita itu hanya bisa bergumam, itu balasan dari yang kau perbuat. Semua pegawai
dan
bergembira.
awak Mereka
begitu malah
senang
mendengar
mengusir
dan
orang-orang
kepercayaan der Steen. Aku yang melihat ini langsung juga hanyut dalam suasana dan berharap kejayaan stasiun Jatimerah datang kembali. Namun kejayaan yang kuharapkan ternyata tidak datang kembali juga. Beberapa minggu setelah kematian der Steen pimpinan maskapai keretaapi menyuruh orang-orang menutup diriku dengan alasan untuk menghambat laju pasukan Jepang yang sedang melaju ke pedalaman Pulau Jawa. Awalnya aku tidak mengerti dengan maksud semua ini. Barulah aku sadari bahwa rupanya sedang terjadi sebuah perang.
60
Di depanku kini terlihat begitu banyak kesibukan. Banyak tentara yang datang dari berbagai arah dan membuat barak-barak pertahanan. Tentara-tentara itu dipimpin oleh seseorang bernama kolonel van der Hout. Ia terlihat tegap dan tegas seperti halnya tentara dan itu mengingatkanku pada Meneer Brug. Hanya saja ia tidak bisa peduli padaku karena situasi perang. Aku kembali kotor oleh banyak sampah-sampah dari mereka juga coretan-coretan yang sengaja dibuat untuk menampilkan tanda bagi pemasok bantuan. Jalur-jalur rel di depanku seketika juga berubah menjadi tempat aktifitas para tentara. Ketika perang akhirnya terjadi benar-benar di depanku mulailah suara desingan peluru bertebaran dan mengenai diriku. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Darah muncrat di mana-mana dan mengotori diriku. Teriakan, tangisan sungguh aku berharap semoga keluar dari
sini. Beberapa malam kemudian mereka yang
61
mempertahankan diriku akhirnya menyerah. Sejak saat itu aku mulai dikuasai oleh orang-orang Jepang yang postur tubuhnya sama seperti orang-orang kulit berwarna hanya saja mereka sipit dan berkata dengan nada yang cepat dan tegas. Aku pun berharap ada sesuatu yang baru dari mereka. Nyatanya sama saja. Aku dibiarkan masa bodoh. Cuma dimanfaatkan sebagai barak dan gudang senjata serta makanan. Selebihnya malah sebaliknya. Terkadang aku juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk melihat para tentara Jepang itu memuaskan nafsu seksnya terhadap perempuan pribumi yang sudah setengah ketakutan. Bahkan juga mereka yang dianggap pembangkang dieksekusi di sini dan mayatnya dibuang ke sungai di belakangku. Aku benarbenar sedih. Kenapa aku yang dahulu begitu eloknya harus menjadi sesuatu yang sangat buruk. Ketika Jepang kalah dalam pertempuran seperti yang aku tahu dari ucapan para prajurit Jepang dan mereka tahu 62
lewat
radio,
mereka
yang
masih
tersisa
berupaya
mempertahankan dengan segala cara dan jika kalah akan melakukan hara-kiri. Pertempuran terjadi lagi ketika sekelompok tentara rakyat dari negara yang baru saja merdeka, Indonesia menyerang para tentara Jepang itu. Sekali lagi aku terkena muntahan peluru dan harus menerima sakit yang tak berbekas ini. P ertempuran
itu
terjadi dalam waktu 6 jam ketika tentara rakyat berhasil mengalahkan dan menguasai semuanya. Orang-orang Jepang hanya sedikit saja yang bersedia untuk ditahan. Datangnya menancapkan
tentara
kekuasaan
rakyat
mereka
juga
melalui
sekaligus pengibaran
bendera merah putih di depanku. Mulai detik itu aku milik mereka. Aku sekali lagi berharap pada keputusan mereka memperlakukan aku. Semoga saja baik dan ternyata memang
benar
seperti
yang
kuharapkan.
Mereka
membersihkan aku dan mengecat ulang semua bagianku.
63
Kemudian juga ditunjuk seorang kepala stasiun. Dia bernama Haryono. Sepintas aku teringat akan nama ini dan sosoknya yang kecil serta tegas. Dia adalah anak buah Meneer Brug. Sudah tertanam di dalam dirinya sepertinya untuk mengembalikan aku si stasiun Jatimerah seperti dahulu kala. Maka seperti Meneer Brug juga ia berusaha membuat pelayanan yang membuat mereka suka mampir dan betah di Jatimerah. Namun baru dua tahun setelah aku menikmati masa-masa itu cobaan datang kembali. Sebuah pertempuran terjadi lagi kali antara tentara Indonesia dengan tentara Belanda yang berusaha menguasai negeri ini kembali. Pertempuran itu pada akhirnya dimenangkan pihak Belanda dan Haryono tewas dalam pertempuran itu. Aku yang melihatnya sedih ketika ia harus tersungkur jatuh di depan tembok depan oleh sebutir peluru yang menerjang dadanya. Meskipun begitu orang-orang Belanda ini masih
64
mau menguburkan dirinya di samping diriku dengan hanya sebuah batu besar sebagai penanda. Ketika orang-orang Belanda ini menguasaiku seperti dulu lagi walau tak kutemui sosok Meneer Brug, aku merasa senang karena mereka tetap melanjutkan apa yang sudah dikerjakan
Haryono.
Mereka
benar-benar
total
membersihkanku karena kata mereka mereka akan coba menguasai lagi negeri yang mereka sebut Hindia-Belanda. Jika sudah benar-benar dikuasai aku katanya akan diperbesar dan akan menjadi stasiun megah di atas pegunungan yang indah. Namun, orang-orang Belanda itu pergi lagi ketika tahu bahwa tempat mereka ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah. Ada dari mereka yang sempat kesal, “Mengapa yang di Den Haag itu begitu bodoh? Percuma saja aku ke sini kembali. Sialan!”
65
Tetapi mau bagaimana lagi mereka harus pergi. Kini aku akan benar-benar dikelola oleh mereka yang pernah dijajah. Dalam tahun-tahun pertama hingga akhir 60-an aku benar-benar dijalankan dengan apik dan benar. Mereka yang mampir di stasiun begitu betah dan suka. Apalagi tak jauh dari tempatku dibangun sebuah penginapan. Maka menjadi ramailah aku. Namun menjelang pertengahan 70an tiba-tiba aku ditutup karena katanya pemerintah sudah merasa ogah membiayai jalur kereta yang mengarah padaku. Otomatis penginapan yang d dekatku bangkrut. Aku kembali sedih. Sejak ditutup itu aku merasa sepi. Tak ada sekalipun orang yang melintas di depanku. Hanya satu-dua orang saja. Tempatku malah terkadang dijadikan tempat berpacaran dan esek-esek oleh pasangan muda-mudi di situ pada siang hari karena sepinya. Bahkan ada yang menjadikanku tempat mencari penampakan hantu karena menganggap aku
66
tempat angker. Aku bilang dalam hati, ih apa-apaan nih. Aku akui memang di sini ada penampakan. Tetapi yang melakukan itu adalah setan yang kurang kerjaan dengan menyamar sebagai orang-orang yang pernah meninggal dan berteriak-teriak. Termasuk di dalamnya Haryono yang makamnya malah tertutup semak-semak sehingga tak mudah dikenali lagi. Setan-setan itu malah senang dirinya dicari-cari karena menurut mereka itu adalah pesta. Sekali lagi aku berharap keluar dari situasi ini. Dalam situasi seperti itu aku masih berharap sosok Meneer Brug. Suatu siang kulihat ada banyak rombongan yang datang ke stasiun ini dengan sebuah kereta khusus yang melintasi rel yang sudah jarang dilewati. Rombongan itu berisi para pejabat kereta api serta pemerintahan serta ada seorang bule tinggi dan tegap. Salah seorang pejabat diantaranya berbicara kepadanya,
67
“Seperti inilah stasiun yang pernah dikepalai oleh kakek Anda,” “Kotor sekali,” jawabnya, “Kenapa bisa seperti ini?” “Saya juga kurang tahu,” kata si pejabat, “Tetapi kami hanya tahu bahwa stasiun ini ditutup karena kami merasa biaya membengkak,” “Saya mau bicara pada Pak Menteri sekarang juga,” katanya. Lalu dipanggilah Menteri yang dimaksud, Menteri Perhubungan. “Bapak bisa beri izin kepada saya untuk mengelola stasiun ini lagi,” katanya, “Saya melihatnya tidak pantas,” “Tentu saja bisa,” kata Pak Menteri, “Karena itulah juga maksud kami mengajak Anda ke sini,”
68
“Baiklah,” katanya, “Saya serahkan dana untuk semua perombakan dan perawatan. Nanti orang-orang dari Kereta Api dari negara Anda saja yang bekerja. Yang penting saya ingin dia seperti di foto ini lagi,” Ia lalu menunjukkan sebuah foto hitam-putih bergambar sebuah stasiun yang terlihat begitu sederhana dan cantik dan di depannya ada sebuah lokomotif kecil serta orang-orang yang sedang berjalan. Aku yang melihatnya langsung tersadar bahwa itu adalah aku yang dahulu. “Beres, Pak,” kata Pak Menteri,” Nanti kami akan laksanakan,” Dari pembicaraan itu aku ketahui bahwa aku yang sudah dalam keadaan kotor dan kumuh dengan bentuk bangunan yang setengah hancur dan banyak coretan serta bau air kencing akan dikembalikan seperti dahulu kala yang
69
dahulu bersinar terang di antara gunung-gunung dan yang bukit yang menghijau. “Saya juga minta untuk menghargai stasiun ini sebagai benda bersejarah,” kata si bule tadi, “Bagaimana bangsa Anda mau maju,” Pak Menteri hanya manggut-manggut. Baru kuketahui bahwa si bule itu adalah Christiaan Leonardus van der Brug, seorang keturunan van der Brug. Aku lihat sosoknya yang memang mengingatkanku pada sosok Meneer Brug. Benar-benar tegap dan tegas. Sorotan mata birunya saat memandangku memang benar-benar mensahihkan keyakinanku. Ia akan menjadi penyelamatku. Aku berpikir pasti ia dibisiki oleh Meneer Brug untuk membersihkan aku dan aku merasa Meneer Brug selama di Belanda pasti dalam batinnya merasa sering mendengar keluhanku. Akhirnya apa yang kuharapkan datang juga.
70
“Maafkan kalau kakekku meninggalkanmu, stasiun Jatimerah,” ujar Christiaan di hadapanku sendiri, “Kini biarkan aku membuatmu seperti dulu lagi. Itu pasti,” Sungguh aku terharu mendengarnya.
71
DUNIA MEMANG SEMPIT Jam
menunjukkan
pukul
setengah
7
pagi.
Bersamaan dengan itu datanglah kereta Parahyangan dari arah Gambir dan berhenti di stasiun Jatinegara. Amri yang sedari tadi menunggu di peron langsung menaiki kereta yang menuju ke Bandung tersebut. Suasana di stasiun Jatinegara sudah tampak ramai pada pagi yang masih cerah dan sejuk sebelum nanti jadi panas dan menerik. Ciri khas dari udara Jakarta. Tampak di stasiun itu setelah Amri naik beberapa orang masih menunggu di peron kedatangan kereta-kereta yang lain. Di peron sebelah timur datanglah kereta AC ekonomi dari arah Bekasi menuju ke Jakarta-Kota dan terlihat di dalamnya sudah begitu padat. Beberapa orang kemudian naik. Ada yang buru-buru tetapi ada juga yang perlahan. Begitu semua naik kereta itu lalu berangkat kembali.
72
Amri hanya coba memandang dari tempat duduknya di dekat jendela. Suasana dalam Parahyangan masih sepi dan belum banyak penumpang. Kebetulan ia menaiki kelas eksekutif yang memang jarang dan kebetulan juga ia ke Bandung saat hari kerja dan bukan hari libur di akhir pekan. Di sebelahnya belum ada orang yang datang untuk menduduki tempatnya namun di depan dan belakangnya terlihat sudah ada beberapa orang yang datang dan duduk. Beberapa menit kemudian datang pengumuman dari petugas stasiun bahwa kereta Parahyangan siap berangkat kembali. Setelah pengumuman itu kereta pun berangkat meninggalkan Jatinegara. Tak ada raut khusus dari Amri ketika kereta berangkat. Ia tampak biasa-biasa saja apalagi untuk menyapa pemandangan yang berada di jendela di dekatnya. Pikirannya hanya terfokus pada satu kata: Braga. Ya Braga. Nama sebuah jalan terkenal di Bandung selain Dago dan
73
Dipati Ukur. Jalan ini sudah terkenal sejak Bandung berdiri akhir abad ke-19 oleh Daendels dan merupakan tempat tonggak berkembangnya si kota kembang dan biasanya setiap tahunnya selalu diadakan festival jalan Braga yang dimulai dari Gedung Merdeka hingga Gereja Bethel. Namun apa karena hal itu Amri ke sana? Tentunya tidak. Bukan karena hal tersebut ia ke sana dan lagipula sekarang masih di pertengahan tahun. Festival jalan Braga selalu diadakan di akhir tahun. Lalu karena apa? Apa karena ingin berwisata arsitektur sambil bernostalgia akan masa lalu di Bandung? Jelas tidak. Orang seperti Amri takkan berpikir ke situ. Ia ke Braga hanya untuk menemui teman bisnisnya yang akan menemuinya di Sumber Hidangan, sebuah nama restoran terkenal di kawasan tersebut. Namun, orang-orang lebih senang menyebutnya Het Snoephuis, nama masa lampau restoran ini. Dia terletak di seberang jalan Naripan dan dekat dengan Bank Jabar-Banten di seberangnya tersebut. Sekitar jam 10 pagi ia akan bertemu dengan temannya itu. Toh, 74
waktunya akan tepat waktu karena Amri akan sampai di Bandung sekitar pukul 9 dan lagipula kawasan Braga tidaklah jauh dari stasiun Bandung. Beberapa menit kemudian setelah keberangkatan dari Jatinegara Parahyangan berhenti di Bekasi. Hanya sedikit saja yang naik. Amri lalu menyadari bahwa sekarang di sampingnya ada yang menemani. Seorang lelaki juga. Berwajah putih mulus dan sedikit berkumis. Matanya tampak lebar dan memakai topi hitam serta berkemeja biru yang
dilapisi
jaket
hitam.
Amri
tak
banyak
memperhatikannya. Ia sepertinya malas. Ia kemudian tetap memandang jendela dan tak tahu lelaki itu sedang apa. Kereta kemudian berangkat kembali dan ketika berangkat seorang petugas mondar-mandir membawakan nampan dan di situ ada nasi goreng, mi goreng serta beberapa minuman. Ia membawa sambil berteriak kecil untuk menawarkan. Beberapa ada yang menanggapi dan 75
beberapa tidak. Karena Amri sudah makan sebelumnya ia sudah tak nafsu lagi. Tetapi, orang yang di sampingnya sebaliknya. Ia tampak meminta nasi goreng dan sebotol aqua. Ketika hidangannya sudah ada di meja di tempat duduknya, tiba-tiba ia berbicara kepada Amri, “Makan, pak,” sapanya. Amri sedikit terkejut lalu menjawab, “Silahkan,” Orang itu tampak makan dengan lahapnya. Amri sekali lagi hanya sedikit memperhatikan. Selagi ia makan seorang petugas yang tadi menawarkan datang kembali untuk membawa beberapa kembalian. Ketika selesai makan, orang itu tampak puas dan kenyang. Karena merasa ada sesuatu yang menyangkut di giginya, ia lalu menyapa Amri, “Maaf, pak,” sapanya, “Punya tusuk gigi?”
76
Amri yang merasa punya langsung menjawab, “Iya, saya punya. Sebentar ya,” Ia lalu merogoh-rogoh di balik jaketnya. Tangannya ke sana kemari merogoh. Tetapi, tampaknya nihil. “Wah, maaf tuh, Pak,” katanya, “Saya kira ada tapi malah nggak ada,” “Oh, nggak apa-apa,” kata orang itu, “Nanti deh saya coba tanya ke petugasnya. Ngomong-ngomong bapak mau ke Bandung atau Cimahi?” “Saya ke Bandung,” jawab Amri, “Bapak?” “Saya juga ke Bandung,” kata orang tersebut, “Ngomong-ngomong boleh kita berkenalan?” “Boleh,” Mereka lalu berkenalan sambil berjabat tangan, 77
“Amri,” “Johan,” Johan yang sudah berkenalan dengan Amri lalu bertanya kembali, “Ada apa Pak ke Bandung?” Amri tampak sedikit terganggu dengan pertanyaan itu. Ia menilai Johan orang yang ingin tahu. Tetapi, mau tak mau Amri harus menjawabnya. “Saya ada urusan dengan teman saya di Braga,” “Oh, di Braga,” kata Johan, “Di mana tepatnya?” Sekali lagi Amri merasa sedikit terganggu tetapi ia harus menjawab dan bukan mendiamkan, “Di restoran Sumber Hidangan,”
78
“Oh,” kata Johan, “Kalau saya hendak ke Sukajadi mau ke rumah saudara saya,” Kali ini gantian Amri yang bertanya, “Bapak orang sana?” “Tepatnya begitu,” jawabnya, “Tetapi, sudah lama saya nggak tinggal di sana dan tinggal di Jakarta. Kalau bapak?” “Saya asli Jakarta,” jawab Amri, “Tapi, saya punya istri dari Garut dan dia beberapa tahun pernah tinggal di Bandung untuk sekolah,” “Memang dia sekolah di mana, Pak?” “Seingat saya di SMA 3 Bandung,” “Oh, SMA 3? Itu mah sekolah saya dulunya pak,”
79
“Apa jangan-jangan Bapak malah kenal sama istri saya?” “Memang siapa nama istri Bapak?” “Arika Rohimah,” jawab Amri, “Biasa dipanggil Rika,” “Rika?” tebak Johan, “Maksud Bapak Rika anaknya Pak Burhan?” “Lha itu nama mertua saya,” kata Amri. “Ah, tepat sekali kalau begitu,” kata Johan senang, “Rika itu memang teman saya dan satu angkatan sama saya. Iya dia itu dulu primadona di sekolah. Banyak yang suka sama dia termasuk juga saya,” Johan lalu tertawa-tawa. “Pantas,” kata Amri, “Ia selalu cerita sama saya mengenai kehidupan SMA-nya dulu,”
80
“Gimana kabarnya sekarang, Pak?” “Alhamdulillah,” kata Amri, “Dia sekarang kerja sebagai wakil sekretaris di sebuah perusahaan dan kami sudah punya dua anak dari pernikahan kami,” “Beruntung Bapak bisa dapatin dia,” kata Johan memuji, “Dulu banyak pria yang suka sama dia selalu dia tolak bahkan macan sekolah atau ketua Osis sekalipun,” Amri hanya tersenyum. “Dunia memang sempit ya, Pak?” kata Johan. “Ya, begitulah,” sahut Amri. Mereka berdua terus berbicara dan tanpa disadari mereka telah melewati banyak pemandangan indah tersaji dan akhirnya berhenti juga di Bandung. Ketika keluar dari stasiun Bandung mereka pun berpisah. Amri ke Braga dan ingin berjalan kaki saja tanpa naik angkot, sedangkan Johan 81
ke Sukajadi dengan naik angkot. Udara Bandung yang sejuk pun mengiringi perjalanan Amri menuju Braga yang tampak tenang di kejauhan.
82
GERBONG TAK BERTUAN Setiap hari, setiap jam, setiap detik, dan setiap menit, ia selalu berada di situ. Dipayungi sebuah tempat yang cukup melindungi dari terpaan sinar matahari atau rintikan dan derasnya hujan, ada kesetiaan yang kurasakan dari dirinya. Rel di dalam tempat bernama hangar itu sudah lama menjadi pijakannya. Dari luar kuperhatikan bahwa dirinya seperti menyembul dari dalam kegelapan hanggar meskipun itu di siang hari. Tak ada seorang pun yang mau ke sana kecuali jika diperlukan. Misalnya para petugas keretaapi yang hendak memeriksa keadaan hanggar dan juga keretaapi beserta gerbong-gerbongnya. Namun, dia terkadang hanya dilewati saja. Dilihat sekilas tanpa diperhatikan dan sepertinya ada rasa hati-hati juga dari para petugas keretaapinya.
83
Jika malam tiba hanggar itu tetap gelap. Sebenarnya tidak gelap hanya saja lampu penerang yang terpasang di langit-langitnya tidaklah begitu terang seperti lampu-lampu kebanyakan. Jadi aku dapati suasananya sungguh remangremang. Keadaan itu seperti itu terkadang dalam pandangan orang yang percaya akan mistis akan menilainya sebagai tempat yang mistis dan angker. Rasa itu malah diperkuat dengan sering adanya acara sesajen dan syuting acara-acara yang intinya hanya untuk menunjukkan mereka yang berada di luar dunia manusia berada. Hal-hal
seperti
itu
muncul
karena
adanya
kepercayaan lisan yang turun-temurun. Konon katanya gerbong itu memang angker karena di dalamnya pernah terjadi banyak kejadian pahit. Ada yang bilang di dalam gerbong itu banyak manusia yang mati dipenggal. Ada juga yang bilang manusianya dibiarkan dalam keadaan kelaparan lalu tewas serta kabarnya lagi gerbong itu pernah menjadi
84
tempat bunuh diri sepasang kekasih yang lari dari orangtuanya karena cintanya tak direstui. Karena seperti itu maka sering saja ada yang mendengar suara-suara dan teriakan-teriakan minta ampun dan minta tolong. Bahkan katanya ada yang sempat melihat di tengah malam gerbong itu bergerak sendiri perlahan keluar dari hanggar. Aku sejujurnya tidak begitu percaya dengan semua hal tersebut bahkan aku menilainya mengada-ngada. Kenapa? Ya karena sekarang zaman modern. Zaman yang penuh dengan rasionalitas. Jadi, semua harus mengandalkan akal dan pikiran. Untuk itulah semua-semua yang ada harus dicerna dengan dua unsur tersebut. Bagiku keadaan gerbong yang seperti itu bisa saja dikarenakan keadaan orang-orang yang sedang berhalusinasi atau berfatamorgana. Kalaupun pernah terjadi kejadian yang pahit tentulah seharusnya itu tidak terlalu dibesar-besarkan. 85
Aku sendiri percaya dengan keberadaan makluk dari luar dunia manusia. Mereka juga seperti manusia dan ada dimana-mana namun tak terlihat. Namun dengan cara seperti ini bukannya malah menambah rasa ge-er mereka karena mereka senang kehadirannya yang gaib dipuja-puja bak dewa dan Tuhan. “Sebenarnya sih ini masalah percaya nggak percaya, Ran,” ujar temanku, Anto ketika aku dan dia sedang memandang gerbong itu dari kejauhan pada suatu hari sehabis pulang dari kampus, “Jujur gue sendiri malah mengalami kejadian aneh waktu di situ,” “Apaan memangnya?” tanyaku heran tapi seakanakan bisa menebak apa yang ingin ia jawab, “Teriakanteriakan? Gitu? Gue yakin itu mah suara kucing,” “Ah, ngaco lo!” ujar Anto, “Kucing lha suaranya kaya gitu. Udah tau kucing meong-meong,”
86
Aku pun tertawa, “Becanda, cuy!” kataku, “Ya gue yakin itu suara binatang malam kaya burung hantu atau mungkin juga musang. Kan lo tahu di belakang hanggar itu ada kali,” “Tapi suara binatang malam nggak kaya gitu lagi,” kata Anto, “Masa iya kaya suara manusia yang ajalnya mau habis,” “Bisa aja lha,” kataku, “Udah banyak contohnya. Kaya suara ayam ketawa dikiranya itu setan sedang ketawa,” “Ya kalo ayam ketawa mah gue tahu,” kata Anto, “Sekarang gue mau bilang aja gue pernah ngalamin kejadian aneh aja. Tetapi bukan pas di sana melainkan pas motret,” “Apaan?” tanyaku lagi, “Ada penampakan?”
87
“Bukan. Foto gue masa nggak bisa kecetak. Kosong. Terus pas mau gue pindahin ke komputer. Nggak bisa. Ngadat,” “Komputer lo banyak virus kali?” “Lha kalo banyak virus mah itu sekarang udah pada hilang sama anti-virus gue,” “Tapi bisa aja kan. Bukannya ada virus yang nggak bisa diberantas,” “Itu pasti ada. Tapi kalo misal ini virus tentulah dampaknya tidak terlalu besar. Masih bisa ditangkal. Yang jelas gue heran aja kenapa ada yang menghambat prosesnya,” Begitulah Anto. Ia sepertinya sudah terpengaruh oleh kepercayaan lisan para penduduk sekitar hanggar keretaapi mengenai kemistisan tentang gerbong yang
88
sekarang diam dengan kesetiaannya di dalamnya. Bukan hanya Anto beberapa keluargaku seperti bapak dan adikku malah demikian. Bahkan adikku pernah ditemui sebuah sosok besar ketika ia sedang bermain petak umpet di dekat gerbong itu. Sejak saat itu ia tidak mau lagi main petak umpet. Aku memang benar-benar masih heran kenapa juga harus ada hal-hal seperti ini. Sejujurnya aku memang pernah merasakan kejadian aneh dengan gerbong itu. Pada waktu itu aku sedang iseng-isengnya ingin menyendiri karena sedang merasa malas dengan keadaan di rumah. Kebetulan gerbong ini yang menjadi tujuanku. Maka pergilah aku ke hanggar dan kemudian duduk di dekatnya sambil memandang. Jujur gerbong berwarna merah ini sangat anggun. Jumlah kacanya kira-kira 7 atau 8 di kiri dan kanan dan di bagian badan samping terdapat sebuah tulisan yang aku 89
tidak mengerti bahasanya. Kalau kata temanku sih bahasa Belanda. Aku lalu berpikir kalau ini pasti gerbong buatan Belanda. Aku merasa tenang dengan keadaan hanggar dan gerbong yang sepi. Seperti tidak ada yang mengangguku. Tetapi tiba-tiba saja aku merasa aneh. Beberapa kali ada yang mencolekku dan bahkan tertawa-tawa mengejek. Aku langsung bereaksi dengan berteriak, “Woi, siapa di situ? Kalo lo memang jantan keluar! Jangan kaya banci deh!” Suara itu malah setelahnya tidak ada lagi dan hilang ke seantero hanggar. Aku kemudian malah terus berada di situ sampai sore ketika aku merasa cukup untuk menyendiri. Esoknya aku ceritakan kejadian ini pada keluargaku. Kata mereka aku itu sedang diganggu penghuni gerbong. Tetapi aku tampik,
90
“Mana mungkin paling orang iseng. Buktinya dia nggak berani saat aku berteriak,” “Bisa saja mereka takut kamu,” itu kata ibuku yang juga diamini oleh bapakku, “Kamu tahu kan kejadian adikmu ditemuin,” “Iya, aku tahu,” jawabku, “Paling dia lagi kecapekan karena cari tempat ngumpet,” “Kamu ini kalau dibilangi selalu saja tidak percaya” Memang sekali lagi aku tidak percaya dengan semua hal yang berbau mistis. Bagiku hal tersebut malah membuat manusia menjadi malas untuk maju karena tergantung pada kekuatan di luar nalar. Lalu buat apa guna akal pikiran yang diciptakan Sang Pencipta? Tentu agar manusia itu maju bukan selama dalam koridor yang masih halal. Hal-hal seperti malah seperti menuntun ke arah yang musyrik. Padahal bapak-ibuku sudah pergi haji dan dua-duanya 91
berpendidikan tinggi masih saja percaya dengan yang seperti itu. Meskipun aku pernah mengalami kejadian aneh di gerbong tak bertuan itu apakah harus aku ikut-ikutan percaya? Aku rasa tidak. Aku yakin dia hanya butuh perawatan untuk dibersihkan. Kalau sudah bersih tentu ia akan enak dilihat dan tidak kumuh meskipun ada keanggunan dalam kekumuhannya.
92
IMAGINE A DOUBLE-DECKER Padat. Desak-desakan. Tiada ruang gerak dan hanya bisa terpaku dalam keadaan terpaksa. Itulah yang sekarang dialami oleh Darwin di dalam sebuah gerbong keretaapi Jakarta-Bogor yang sedang ia tumpangi. Padahal yang ia tumpangi adalah keretaapi kelas AC Ekonomi yang sudah tentu lebih mewah dari keretaapi ekonomi biasa yang keadaannya sungguh terbalik dengan AC Ekonomi. Kalau di keretaapi ekonomi biasa akan didapatkan tak hanya penumpang tetapi juga pedagang asongan, pengamen, dan juga pengemis yang mengais rezeki. Keberadaan mereka akan terus walaupun keadaan di kereta sudah sesak dan parah. Namun, bila di Ekonomi AC tak ada hal semacam itu tetapi tetap saja kalau padat memang menyesakkan. Darwin
sebenarnya
sudah
mengetahui
kalau
keretaapi yang ia tumpangi memang akan mempunyai keadaan yang demikian. Pertama ia melihat keadaan di 93
peron. Banyak penumpang menumpuk di situ. Berdiri dan duduk menunggu seperti dirinya. Ada yang terlihat gelisah sambil menengok-nengok ke arah utara tempat keretaapi akan datang dari pemberangkatan awalnya di stasiun Jakartakota yang hendak menuju stasiun Tebet tempat ia dan penumpang lainnya berada. Kedua kereta agak terlambat datangnya dari jadwal semula dikarenakan ada masalah sinyal di stasiun Manggarai. Hal itu juga yang menyebabkan penumpang bertambah dan menumpuk. Ketiga sekarang adalah hari Sabtu, akhir pekan. Tentulah kalau di akhir pekan semua orang yang tinggal di Jakarta ingin ke Bogor untuk ke Kebun Raya atau mungkin ke Depok ke tempat keluarga. Sekarang sudah jam setengah 2 lewat 5 menit. Keretaapi sudah terlambat sepuluh menit. Tentu sepuluh menit bisa jadi waktu yang sebentar dan itu untuk mereka yang sedang menyaksikan atau mendengarkan acara
94
kegemaran mereka di radio dan televisi dan waktu sepuluh menit juga bisa dilewati dengan mendengar 3 buah lagu. Tetapi, sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama untuk menunggu si ular besi yang diharapkan datang. Dalam waktu seperti itu Darwin selalu melirik pada jamtangan yang terbelit di tangannya. Ia merasa dirinya sudah terlambat untuk bisa menghadiri pesta pernikahan temannya di Bogor. Karena ia sendiri kurang tahu tempatnya maka ia minta ditunggui oleh teman-temannya di stasiun Bogor. Ia merasa pasti teman-temannya sudah berada di jalan. Ia lalu sms salah satu temannya, “Lo lagi dimana?” tanyanya dalam sms-nya. Temannya yang bernama Fadli menjawab, “Gue lagi di Pasar Minggu. Lo?” “Gue masih di Tebet,”
95
“Lo pasti tadi ketinggalan kereta ya?” “Mang tadi ada kereta?” “Ada tapi kereta ekonomi,” “Oh, gitu gue naik AC nih,” “Gaya banget lho. Hahaha,” “Setan lo! Tunggu gue ya di Bogor?” “Oke,” Lepas sepuluh menit keretaapi AC Ekonomi yang ditunggu-tunggu akhirnya datang setelah sebelumnya operator di stasiun Tebet memberitahukan kedatangan kereta dari arah Utara. Benar apa yang dipikirkan Darwin. Penuh dan padat. Itu yang terlihat olehnya ketika kereta melintas di depan para penumpang yang hendak naik. Ketika pintu dibuka para penumpang berebut ingin masuk
96
ke dalam. Darwin pun juga terpaksa seperti karena tidak ada pilihan lain. Mulailah ia berdesak-desakan dengan sesama penumpang. Benar-benar seperti terhempit banyak beban. Salah seorang penumpang ada yang menginjak kakinya untungnya ia merasa tidak kesakitan karena memakai sepatu. Di sisi lain ada penumpang yang berteriak-teriak, heh jangan main dorong dong. Ia berkata seperti itu karena merasa didorong oleh penumpang yang hendak naik. Kereta pun berjalan. Di tiap stasiun bukannya berkurang kepadatan makin bertambah seperti layaknya Jakarta yang tiap tahun makin padat. Dalam keadaan seperti ini Darwin hanya bisa terpaku sambil memegang pegangan yang berada di atasnya. Tak ada si pemeriksa karcis kalau sudah seperti ini karena si pemeriksa karcis sudah ogah untuk melanglang buana diantara banyak kepala. Teriakan anak kecil seperti menambah kepadatan yang sudah membahana tersebut.
97
Mendengar itu Darwin kesal di hatinya walaupun ia teringat perkataan
ibunya
bahwa
tangisan
anak
kecil
bisa
menyelamatkan orang dari kecelakaan karena jiwa mereka yang bersih dan dijaga malaikat. Darwin pun berharap semoga kepadatan ini berkurang ketika kereta mencapai stasiun Depok Baru. Di dalam itu ia lalu mengkhayal karenanya. Keadaan keretapi
di
Indonesia
yang
semakin
memadatkan
penggunanya dan bukan menyamankan. Dirinya yang mengkhayal itu lalu menerawang ke seluruh interior kereta AC Ekonomi dan terlihat bahwa keretaapi ini adalah “buangan” dari Jepang. Di negara asalnya pasti tidak sepadat ini. Darwin melihat kepadatan ini seperti dibuat-buat dan akhirnya dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya tidak memiliki tiket AC Ekonomi untuk ikut masuk ke dalam. Ia lalu teringat tentang keretaapi lantai ganda atau double decker. Keretaapi itu seharusnya ada di Indonesia 98
terutama di jalur jabodetabek yang begitu padat menggila penggunanya. Di negara-negara lain yang ada sistem komuternya saja kereta jenis itu ada. Ia yakin kereta itu pasti bisa menjawab kepadatan dalam gerbong ini. Ia lalu membayangkan bentuk kereta itu yang besar dan padat berwarna putih dengan lambang KA yang berwarna merah. Jika satu gerbong kereta normal berjumlah 8 gerbong maka jika ada double-decker akan berjumlah 16. Manusiamanusia di Jabodetabek yang menggunakan keretaapi untuk ke tempat kerja dan ke kampus akan bisa terangkut semuanya dengan tertib dan karenanya tidak boleh lagi ada manusia-manusia konyol yang mencari mati di atap kereta. Keretaapi jenis ini pun juga bisa diaplikasikan untuk lokomotif yang keluar kota apalagi saat mudik. Berita tentang padat tidak teraturnya keretaapi sudah tidak akan terdengar lagi. Kereta sapu jagad karenanya tidak diperlukan lagi.
99
Tetapi dalam hatinya ia meragukan apa bisa negara ini membuatnya? Keretaapi AC Ekonomi yang ia tumpangi terus melaju sampai akhirnya ke stasiun Depok Baru. Benar sesuai dengan pikirannya. Para penumpang memang kebanyakan turun di stasiun ini. Kemudian di stasiun berikutnya dari Depok Lama hingga Cilebut terus terjadi pengurangan penumpang. Darwin pun lega. Jam 3 kurang 10 menit ia akhirnya sampai di stasiun Bogor lalu mencari teman-temannya lewat sms. Ia lalu menemukan mereka di depan loket keluar stasiun dan bergegas ke sana, “Enak bro naik AC?” tanya salah satu temannya Husin. “Enak apaan?” jawabnya, “Penuh,”
100
“Sapa suruh naek AC,” kata Fadli, “Gaya sih lo. Udah tau hari gini penuh banget,” “Ya udahlah,” kata Darwin, “Sekarang kita ke pesta aja langsung,” Mereka bertiga kemudian meninggalkan stasiun Bogor dengan meninggalkan peninggalan berupa tiket kepada petugas di sana dan selanjutnya naik angkot sambil disirami udara yang perlahan-lahan hangat di sore hari.
101
INI KERETA KITA! Lokomotif hitam nan elegan itu bergerak dengan gagahnya. Diiringi deruan uap yang membahana jalur rel di bawahnya sudah begitu rela untuk dilewatinya. Tampak beberapa orang termasuk masinis begitu sibuk di dalam ruang kemudinya. Begitu juga anak buahnya yang terus sibuk menaruh kayu bakar dan batu bara ke dalam perapian agar lokomotif tetap berjalan. Semua yang melakukan adalah orang-orang kulit putih. Di beberapa gerbong terutama di bagian luarnya terdapat 1-2 tentara sedang bersiaga dengan senapannya seolah-olah akan terjadi sebuah serangan ke arah dirinya dan mereka juga berkulit putih. “Bagaimana menurutmu?” tanya seseorang dari kejauhan kepada temannya yang berada di sampingnya. Ia sendiri bernama Rustam dan temannya itu Karso. Mereka berdua dari kejauhan dan tepatnya dari balik pohon di belakang sebuah bukit hijau mengamati gerak lokomotif 102
yang
kabarnya
membawa
banyak
bahan
makanan.
Lokomotif yang mereka lihat tersebut adalah lokomotif milik tentara Belanda. “Apanya?” tanya Karso heran kepada temannya itu yang sedang memegang teropong untuk membantu melihat dari jauh. “Kamu ini bodoh ya?” justru Rustam yang heran, “Ya kereta
itu,”
ujarnya
lagi
sambil
menunjuk
dengan
telunjuknya. “Aku tahu itu kereta,” kata Karso, “Cuma kenapa?” “Itu kereta makanan tahu,” kata Rustam, “Kita harus merebutnya dari tangan para penjajah tersebut. Hal ini harus kita beritahukan pada kolonel,” “Merebutnya?” tanya Karso kembali heran, “Dengan apa?”
103
“Ya dengan senjata lha,” kata Rustam yang sepertinya mulai jengkel, “Kok kamu ini tentara tapi bodoh begitu?” “Kamu yakin?” tanya Karso, “Di sini? Kenapa tidak langsung di stasiun?” “Hai, Bung!” ujar Rustam tiba-tiba menajamkan matanya, “Kita harus yakin! Tapi, ngomong-ngomong kamu tahu kereta ini berhenti di stasiun mana?” Karso hanya mengangguk. “Dimana?” tanya Rustam. “Nanti aku beritahu saat kita bicarakan ini dengan kolonel sekalian memaparkan strategi,” Begitulah. Dua orang ini lalu kembali ke markas mereka yang berada di belakang bukit tepatnya di dalam hutan. Saat keduanya kembali, salah satu dari mereka segera memaparkan aksi itu kepada kolonel Sardjo, pimpinan 104
mereka. Kolonel Sardjo yang mendengar agak terkesima juga meskipun ia merasa itu berat untuk dijalankan mengingat resiko yang akan dihadapi. “Asal kalian tahu,” kata Kolonel Sardjo, “Stasiun yang akan kita rebut nanti itu bukan sembarang stasiun. Itu adalah stasiun besar dan pasti banyak personel musuh berada di sana. Kalian tahu kan kekuatan kita saja cuma sedikit,” Mendengar penjelasan Kolonel Sardjo keduanya terdiam. Dalam keadaan itu Karso malah melamun. Ia kembali ke masa lalunya semasa sebelum perang dan kemerdekaan. Di masa itu ia mengingat kembali ketika menaiki sebuah lokomotif yang sering membawanya pergi keluar daerahnya bersama dengan orangtuanya. Lokomotif itu begitu cepat jalannya dengan raungan suara uap di atasnya. Pemandangan-pemandangan berupa pegunungan, sawah, dan lembah tersaji gratis di depannya. Meskipun 105
ketika itu ia hidup di masa kolonial, ia dan keluarganya tak terkena hak diskriminatif karena status akademis serta ningrat yang ada dalam keluarganya. Berarti dengan status itu mereka dapat dipersamakan. Kemudian ia ingat tentang sebuah stasiun. Stasiun itu besar dan ramai. Di depannya terdapat banyak pedagang dan toko-toko serta restoran. Stasiun itu bernama Lebakpanjang. Dan tiba-tiba saja Karso menghubungkannya dengan lokomotif yang dilihatnya tadi dengan yang berada dalam imajinasinya. Itu dia lokomotif yang sering mengantarkanku dulu, ujarnya dalam hati dan itu juga stasiunnya yang nanti akan direbut. Tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya karena tingkahnya telah diperhatikan para tentara yang lain yang kebetulan lewat di depan ruangan Kolonel Sardjo. Juga Kolonel Sardjo yang tersenyum-senyum. “Jadi, itu kereta nostalgia untuk dirimu, Karso?” tanya Rustam usai mereka menghadap Kolonel Karso. 106
Mereka kini berada di sebuah sungai kecil yang airnya bergemericik tenang. “Bisa dibilang begitu,” jawab Karso, “Hampir setiap minggu aku akan selalu diajak keluargaku ke luar kota dengan kereta itu,” “Sepertinya kereta itu rindu kamu,” kata Rustam. Karso lalu tertawa, “Memang aku ini siapa?” Mengenai keluarganya Karso kemudian kembali ke lamunannya. Ia ingat pada suatu malam ketika ia tidur tibatiba rumahnya ribut. Lantas Karso yang sedang tertidur pula situ bangun dan seketika melihat bapak dan ibunya dikelilingi serdadu berbaju coklat dengan badan pendek dan mata sipit. Belakangan Karso baru tahu kalau itu adalah para serdadu Jepang. Mereka datang ke rumahnya untuk
107
memaksa bapaknya menyerahkan hasil buminya bagi kepentingan para serdadu itu. Jelas bapaknya menolak. Salah satu serdadu langsung memukulnya dan tersungkur kemudian berkata memaksa, “Kamu dengar perintah saya tidak? Serahkan semua hasil bumi kamu!” “Saya tidak akan pernah menyerahkan milik saya kecuali pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Buat apa saya menyerahkan barang saya kepada mereka yang mengakungaku saudara tua tetapi malah memperlakukan saudara mudanya seperti ini!” “Kamu banyak omong!” Ditendang bapaknya dan ditembaklah ia. Darah pun mengucur. Ibunya yang melihat perlakuan itu tidak terima dan berusaha melawan. Sayang, nasibnya sama seperti bapaknya. Karso yang hanya anak semata wayang itu hanya 108
bisa terdiam menahan airmata yang telah menetes perlahan. Sejak saat itu ia mendendam pada semua serdadu Jepang. Dendam itu ia lampiaskan ketika ia mendaftar masuk sebuah gerakan perjuangan. Dengan modal nekad ia tantang seorang Jepang yang kebetulan sedang lewat di depannya dan mengajaknya bertarung. Karso hampir kalah. Tetapi, ia beruntung. Serdadu itu berhasil ia tusuk dengan sebuah pisau kecil saat hendak menyerangnya. Kemenangan yang tidak disengaja itu mengantarkan Karso untuk membunuh banyak Jepang. Ketika Jepang menyerah perang, ia dengan semangat berkobar bersama dengan temannya mencoba melucuti sebuah markas senjata tentara Jepang. Mereka bertempur. Karso karena terbawa dendamnya terus maju dan menghabisi setiap Jepang yang ia temui dan ia habisi mereka hingga tidak berdaya. Jika mengingat itu kembali Karso seakan ingin menolong bapak dan ibunya. Namun, tidak bisa. 109
“Kenapa,
So?” tanya Rustam
yang
sepertinya
menyadari maksud lamunan Karso yang terlihat emosional, “Masih teringat kejadian itu? Sudahlah, masa lalu tak usah disesali. Ambil saja hikmahnya,” “Entahlah,” kata Karso, “Sepertinya aku merasa dendamku belum terbalaskan semuanya. Ingin aku rasanya membunuh setiap orang Jepang yang aku temui. Tetapi, mereka sudah tidak ada,” “Dendam itu nggak baik, So,” kata Rustam, “Keluargaku juga korban Jepang kok. Kita ini senasibsepenanggungan. Sudahlah, sekarang ada baiknya kita fokus pada rencana nanti. Kita harus usir para londo itu dari sini agar kita benar-benar merdeka,” “Ah, kamu betul, Tam,” ujar Karso. Kolonel Sardjo rupanya menyetujui usul Rustam dan Karso untuk menyerbu stasiun Lebakpanjang dan merebut 110
sebuah kereta logistik. Untuk itu mereka membicarakannya sambil menyusun strategi dalam sebuah rapat. Di dalam strategi itu dibicarakan mengenai penyusupan yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok pertama bertugas menangani para tentara Belanda dan personel lain yang berada di situ. Kelompok kedua bertugas mencari bahan makanan untuk dimasukkan
ke
dalam
lokomotif
dan
yang
ketiga
mempersiapkan sebuah lokomotif untuk dijalankan. Namun, ketika mengenai siapa yang menjalankan lokomotif semua menjadi
buntu
menjalankan
karena
lokomotif.
sama
sekali
Karena
tidak
buntu
mengerti
bagian
itu
ditinggalkan terlebih dahulu baru esok akan dibicarakan lagi. Sesuai rencana selanjutnya, lokomotif yang berhasil dikuasai itu akan dijalankan ke sebuah stasiun yang kecil yang sudah lama tidak diperhatikan. Di stasiun kecil itu akan menunggu beberapa orang yang siap mengangkut semua
111
bahan makanan tersebut dengan gerobak dan kembali masuk hutan yang menjadi markas mereka. Setelah dari hutan bahan makanan itu akan disortir ke desa kecil di sekitar hutan tersebut untuk dibagi-bagikan. Melihat dari waktunya rencana penyerbuan ini dilaksanakan pada tengah malam ketika semua pada terlelap. Esoknya,
ada
seseorang
yang
berniat
mau
mengendalikan lokomotif. Dia adalah Suyono, mantan seorang masinis lokal di sebuah perkebunan tebu. Di dalam rencana itu ia dan beberapa teman yang telah ada di dalam kelompoknya akan berusaha memanaskan lokomotif selagi yang lain bertindak. Ini butuh waktu 2-3 jam. Melihat kenyataan waktu yang seperti itu kolonel Sardjo bertanya, “Apakah dengan waktu yang selama itu kita tidak akan ketahuan musuh?”
112
“Saya kira tidak, Pak,” ujar Sundi, tentara yang lain, “Di dalam malam yang begitu pekat jelas kegiatan nihil dan tentu saja ruang kendali stasiun bisa kendalikan. Lagipula menurut saya jarak stasiun dengan markas komando mereka begitu jauh,” Maka lusa tengah malam operasi penyerbuan itu dijalankan. Di tengah dinginnya malam udara pegunungan, beberapa tim yang dibagi dalam 3 kelompok itu menyusuri gelapnya hutan, sawah, dan rawa serta menaiki bukit dan menyeberangi sungai. Semua dilakukan demi ke stasiun Lebakpanjang yang berjarak sekitar 3 kilometer dari markas mereka. Ketika sampai keadaan stasiun begitu sepi. Hanya ada 3-4 tentara berjaga. Mereka pun menyebar dan mulai melaksanakan aksinya. Tentara-tentara itu diam-diam mereka tikam dari belakang. Mereka berusaha sama sekali jangan sampai ada kontak tembak karena tembakan satu 113
pelurupun meskipun meleset pasti gaungnya akan terbawa udara. Setelah beberapa tentara itu ditaklukkan. Mereka menyebar kembali. Ada yang masuk ke dalam stasiun dan gudang. Rustam dan Karso berada di kelompok yang menyerbu gudang makanan. Terlihat di depan gudang itu dijaga dua tentara. Mereka berdua lalu diam-diam menyelinap dan mulai menikam dari belakang. Usai dua tentara itu takluk barulah mereka berdua memberi kode kepada yang lainnya untuk menyerbu gudang dan mengambil makanan. Sementara di sebuah rel depan stasiun sebuah lokomotif tengah dipanaskan. Dari dalam stasiun terlihat ada kode dengan jari yang menandakan situasi telah aman. Beberapa penjaga yang berada di dalam berhasil dilumpuhkan tanpa suara.
114
Kini sepenuhnya stasiun Lebakpanjang dalam kuasa mereka. Setengah rencana telah sukses. Kolonel Sardjo yang memimpin operasi ini menyuruh agar secepatnya bahan makanan diangkat dan pemanasan lokomotif menjadi beres. Tiba-tiba saja terdengar sebuah sirine dari dalam stasiun. Mereka pun terkejut. Mendengar itu Kolonel Sardjo segera berteriak kepada anak buahnya, “Kalian cepat! Kita sudah ketahuan!” Mereka segera mempercepat pekerjaan mereka. Kolonel Sardjo yang tampak panik segera mendekati Suyono, “Bagaimana keretanya?” tanyanya, “Sudah bisa dijalankan?” “Lima menit lagi, Pak,” jawab Suyono.
115
Lima menit kemudian Suyono memberikan kode bahwa kereta siap berjalan. Segera Kolonel Sardjo menyuruh semua anak buahnya naik. “Akhirnya, kereta ini jadi milik kita juga, So,” kata Rustam usai berada di lokomotif, “Tentu kamu senang bertemu dengan kereta ini lagi,” “Jelas aku senang,” kata Karso, “Meskipun ia sudah berubah,” Lokomotif itu kemudian berjalan menyusuri rel ke arah
selatan
ke
sebuah
stasiun
kecil
yang
sudah
dipersiapkan. Raungannya mengalahkan kesunyian malam yang benar-benar membisu. Para tentara yang berada di atasnya
tampak
begitu
senang
dan
mereka
sudah
memastikan tidak akan terkejar musuh meskipun ada sirine yang bisa saja dinyalakan oleh seorang petugas stasiun yang cepat tersadar atau bersembunyi.
116
Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan dan menembus dinding kereta. Di atas ada dua pesawat menguing-nguing. Pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai.
117
MAMA…KELUAR! “Ma, kok sempit amat sih?” Tanya Rika pelan kepada ibunya yang berada di sampingnya. Si ibu lalu menoleh ke Rika dan melihat di depannya begitu banyak orang yang berdiri menghadap ke depan jendela sambil berpegangan pada pegangan yang terpasang di atas jendela tersebut. Mereka berdiri tampak berdesak-desakkan. Ibunya hanya menjawab, “Bentar ya, nak, sedikit lagi sampai,” Rika, bocah perempuan umur 10 tahun sungguh tak mengerti kenapa sekarang ia bersama ibunya duduk dengan pemandangan yang sungguh tidak mengenakkan dan menyesakkan. Di samping kiri dan kanan mereka juga duduk orang-orang. Ada yang tampak diam saja sambil memandang pemandangan di depan. Ada yang tidur atau
118
malah membaca koran. Itulah pemandangan yang tersaji dalam sebuah gerbong kereta api. Hari sudah semakin sore. Tetapi, kepadatan dalam kereta api belum juga menghilang. Malah yang ada semakin padat. Rika tampak cemberut melihat situasi ini sementara ibunya yang mengetahui hal tersebut mencoba membelai rambutnya yang hitam memanjang. Di tengah-tengah kepadatan itu masih saja ada pedagang yang hilir-mudik memaksa masuk ke dalam kerumunan orang-orang. Keadaan pun menjadi semakin padat dan pengap. Bau keringat dan bau ketiak orang-orang yang sehabis pulang kerja atau para lelaki yang sehabis pulang entah dari mana serta bau wangi dari para wanita yang hendak kerja malam bercampur jadi satu dan jadi aroma-aroma penanda. Tak satu pun yang ingin mengeluh apalagi berteriak. Terkadang di tengah-tengah itu juga terdengar suara tangis anak bayi atau balita yang tidak tahan dengan pengapnya ruangan dan
119
suara itu berusaha ditenangkan. Lampu di dalam gerbong sudah menyala dari tadi tetapi tetap saja kepadatan tidak berkurang. Rika yang masih cemberut lalu bergumam, uh, nggak enak naik keretanya. Penuh. Kok nggak kaya di luar negeri sih. Ibunya terus membelainya. “Ma, nggak tahan nih mau keluar,” rengek Rika kembali. “Sabar ya, nak. Bentar lagi sampai,” ibunya hanya bisa menjawab seperti itu. Kereta yang mereka tumpangi terus melaju melewati jalan dan kampung serta sungai. Satu per satu stasiun disinggahi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Akan tetapi penumpangnya semakin membludak. Dan semakin sempit. Terlihat untuk bergerak saja sudah susah karena banyak manusia yang berdiri di seluruh gerbong. 120
“Kita mau turun dimana sih?” Tanya Rika lagi, “Kok lama amat?” Tak ada jawaban dari ibunya yang sepertinya sudah lelah menanggapinya. Ia pun jadi kesal. Kereta terus saja melaju dan tiba-tiba saja berhenti mendadak.
Seluruh
penumpang
kaget
dan
hilang
keseimbangan. Beberapa di antara mereka ada yang sempat menyinggung Rika. “Mama, Rika mau keluar!” rengeknya lagi, “Rika mau keluar!” “Bentar ya, nak pokoknya sedikit lagi sampai,” jawab ibunya seperti itu-itu juga. “Gak mau, mama,” kata Rika terus merengek, “Pokoknya Rika mau keluar!”
121
“Ya sudah,” kata ibunya kini bernada kesal, “Keluar saja kamu sendiri! Begini aja kamu ribut! Kaya anak kecil aja!” Rika terdiam. Beberapa penumpang melihat mereka. Ia pun tambah cemberut lagi tetapi ibunya segera membelainya kembali. “Anaknya mau keluar, bu?” Tanya seseorang tibatiba di sampingnya, “Memang ibu mau turun di mana?” “Di Sawah Besar, Pak,” jawab si ibu, “Maaf, kalau anak saya mengganggu,” “Wajar kok, bu, anak kecil,” kata si orang itu, “Masih 4-5 stasiun lagi,” Kereta lalu berhenti. Si orang itu lalu beranjak dari duduknya, “Saya duluan, bu,” 122
Ia lalu menerobos kerumunan dan berhasil keluar. Si ibu lalu melihat ia dan anaknya sekarang di mana. Di luar tergantung papan warna biru bertuliskan MANGGARAI. Si ibu lalu bergumam, oh, sekarang di Manggarai. Kata bapak itu tadi 4-5 stasiun lagi. Tetapi, ia ragu dan kemudian bertanya kepada seseorang di depannya, “Maaf, pak, abis ini stasiun apa?” “Cikini, bu,” jawab orang itu. “Sawah Besar dimana ya?” “Masih jauh, bu,” Kereta lalu berangkat kembali untuk meneruskan perjalanan. Sekarang sudah jam 18.15. Sudah melewati senja. Tetapi, kepadatan masih saja ada. Si ibu pun kembali terdiam sambil menghitung beberapa stasiun yang sudah dilewati dan Rika tetap cemberut. Ketika ia merasa sudah
123
mau mencapai tujuannya, ia bertanya kembali ke orang di depannya, “Maaf, pak, apa ini mau berhenti di Sawah Besar?” “Kira-kira begitu, bu,” katanya, “Ibu mau turun?” “Iya,” jawabnya. “Sebaiknya ibu segera ke pintu. Nanti ibu nggak bisa turun,” Si ibu lalu bersama Rika bangkit dari tempat duduknya yang kemudian terisi kembali. Di depan mereka begitu banyak badan manusia menghadang dan ini sudah seperti menerobos hutan di malam hari. Mereka tampak kesulitan menerobos dan akhirnya terdiam sampai ada yang melihat mereka, “Mau turun, bu?”
124
Ia
segera
berpindah
tempat
perlahan
dan
mempersilahkan si ibu dan Rika turun. Yang di depan mereka juga begitu. “Bentar, bu, ya,” kata seseorang di depannya. Beberapa menit kemudian kereta berhenti dan tepat pada saat itu beberapa orang berhamburan keluar termasuk mereka dengan sedikit didorong. Si ibu sedikit kaget begitu juga Rika. “Mama, pokoknya Rika nggak mau lagi naik kereta api!” rengeknya setelah itu, “Rika maunya naik bis!” “Iya, iya lain kali naik bis,” kata si ibu mengiyakan. Mereka lalu berjalan dan di depan terpampang papan yang tergantung bertuliskan SAWAH BESAR. Fuh, akhirnya sampai juga, gumam si ibu lega.
125
Ketika turun ke bawah berjejerlah banyak tukang makanan dan minuman. “Kamu lapar?” tanyanya pada Rika. “Iya nih, lapar,” jawab Rika. “Makan yuk,” ajaknya. Rika hanya mengangguk. Mereka berdua kemudian ke sana dan makan di salah satu tukang makanan. “Nak, maafin mama ya tadi. Pokoknya mama janji deh nggak ngajak kamu naik kereta lagi,” “Benar ya?” “Iya, benar? Tapi kamu mau kan maafin mama,” “Mau,”
126
“Ya udah sekarang terusin makannya,” Mereka lalu tertawa-tawa. Suasana pun kembali cair di tengah dinginnya malam dan ramainya suara masakan serta kendaraan yang hilir-mudik.
127
MAUNYA APA SIH? Keringat terus bercucuran di tubuh Rino. Padahal baru jam 8 pagi. Begitulah yang tertera di layar handphonenya saat ia melihatnya. Matahari pagi memang tidak kenal ampun apalagi matahari pagi di Jakarta. Rino berulang kali mengelap keringat dengan lap kecil yang dibawanya sambil terus mondar-mandir duduk-berdiri-jalan dan melihat sesuatu dari arah utara. Belum datang juga dia padahal ini sudah jam 8 lewat 5 menit. Begitulah yang dilihat Rino kembali di handphone-nya. Padahal satu jam lagi ia harus kuliah. Stasiun Cawang seperti biasanya selalu ramai akan tetapi hari ini lebih ramai daripada biasanya. Karena kereta api yang ditunggu belum kunjung datang maka terjadilah penumpukan penumpang di sepanjang peron Jakarta-Bogor sementara di peron seberang untuk ke arah sebaliknya dalam tiap menit selalu datang kereta-kereta dari Bogor 128
dengan lancar. Pertama-tama Pakuan yang datang tanpa berhenti kemudian kereta ekonomi yang selalu penuh dan sesak hingga ke atas gerbong dan terakhir AC ekonomi yang lumayan padat juga namun teratur. Rino tak terlalu mau menanggapi. Ia hanya ingin kereta dari arah utara datang sekarang juga atau nanti ia telat kuliah. Sekali lagi dirogoh kantung jins-nya. Dilihat handphone-nya kembali. Ah, tidak sudah jam 8 lewat 15 menit. Rino agak ketar-ketir. Ia tambah berkeringat dan kali ini karena keketar-ketirannya tersebut. Dalam hati ia mengumpat, ngepet! Kakinya bergerak terus-menerus tidak tenang dari duduknya. Ia mencoba menarik napas supaya bisa lega dari keketar-ketirannya. Sayangnya, karena kereta belum datang jadi belum bisa hilang. Matahari tambah menerik. Menerpa wajahnya. Ia pun kepanasan kembali dan berusaha menunduk saja. Ketika terik matahari menghilang, ia lalu menoleh ke sampingnya. 129
Penumpang-penumpang lain yang seperti dirinya. Beberapa dari mereka ada juga yang seperti dirinya. Panik, kawatir, dan bolak-balik dari tempat duduk. Kebanyakan orangorang kantoran. Namun ada juga yang santai, masa bodoh, dan acuh tak acuh. Tiba-tiba datang pengumuman dari pengeras suara oleh petugas stasiun bahwa akan datang kereta dari utara. Rino langsung menyambut antusias dan mengira itu pasti kereta-nya. Namun, semua berubah seketika saat si petugas bilang Pakuan yang melintas langsung. Rautnya langsung menjadi kecewa. Setelah itu Rino merogoh lagi handphonenya di kantung jins-nya. Sudah jam setengah 9. Gawat, gumamnya, ya udah telat deh gue. Ketika sudah seperti itu ia langsung berpikir apa nanti masuk aja kalau memang telat sementara ia sendiri mengaku malas kalau sudah telat atau yah bolos saja. Toh, absen masih sedikit. Tapi, ia berpikir lagi
130
kalau nggak masuk nggak enak sama dosennya dan temantemannya. Kemudian datang lagi pengumuman. Sayangnya, dari arah selatan. Rino kembali mengkerut. Tapi, setelahnya datang lagi. Kali ini dari utara. Rino kembali antusias. Sayangnya, ia kembali kecewa lagi karena yang datang malah AC ekonomi. Waduh, gumamnya, benar-benar sialan nih kereta. Ia tak mungkin naik AC ekonomi sebab kereta ini berbeda dengan kereta ekonomi biasa. Lagipula harga tiketnya mahal dan hanya buang-buang uang demi satu hari. Makanya, ketika AC ekonomi datang ia hanya terdiam lalu berharap kereta ekonomi akan datang setelah ini. Jam di handphone sudah menunjukkan pukul setengah 9 kurang 10. Itu tandanya ia hanya punya waktu 10 menit ke kampus. Tetapi, rasanya mustahil karena kereta selain datang telat juga lambat jalannya. Ia berangan-angan kapan semua orang di sini bisa tepat waktu kalau kereta 131
yang dianggap tercepat seperti ini terus. Suka menyiksa. Toh, waktu 5-10 menit itu cukup untuk dia ke kampus dengan kereta. Tapi, kenyataan sebaliknya. Di
tengah
kekesalannya
kembali
datang
pengumuman. Si petugas bilang dari arah utara. Rino biasa saja menyambutnya karena pasti bukan kereta ekonomi melainkan kereta yang lain. Tetapi, rautnya berubah senang ketika akhirnya diumumkan yang akan datang kereta ekonomi. Ia langsung mempersiapkan diri. Ia lihat dari utara tampak kereta sedang berjalan dan lambat sepertinya. Ia bergumam, udah telat lambat lagi. Ketika kereta sampai ia langsung masuk. Keadaan di dalam tampak sepi. Tetapi, ia tak duduk dan berdiri di dekat pintu. Ia lalu melihat jam handphone-nya. Sudah jam setengah 9 kurang 20 menit. Ia sudah pasti telat. Rino tak tahu lagi harus berbuat apa. Kereta lalu berjalan meninggalkan stasiun menuju stasiun-stasiun berikutnya. 132
Ketika sampai di stasiun Pasar Minggu, kereta malah mengaso sebentar karena ada Pakuan di belakang. Rino tambah sebal dan ingin marah. Beberapa menit kemudian setelah Pakuan melintas kereta berangkat lagi. Ketika kereta sampai di tujuannya di stasiun UI, ia langsung turun dan melihat handphone lagi. Sudah jam 9 lewat 15 menit rupanya. Sudah di ambang batas telat. Awalnya ia merasa tak ingin masuk sampai kemudian berubah pikiran. Ia langsung berlari dan sesampainya di kelas ia merasa aneh. Tampak di situ hanya ada temantemannya. “Ngapain lo?” tanya salah seorang temannya, “Ngosngosan gitu?” “Nggak ada dosennya?” tanyanya. “Iya, nggak ada,” jawab temannya, “Barusan ada telpon kalau dia nggak bisa ngajar hari ini karena sakit,” 133
Rino yang mendengar hal itu segera terkejut dan kesal, “Ah, sialan! Kalo gitu ngapain gue tadi buru-buru! Brengsek!” “Ya udahlah,” kata temannya, “Lo duduk aja dulu,” Ia segera duduk di sebuah bangku kosong. Kemudian memandang ke depan kelas dan bergumam dengan kesal, Sialan! Udah dikerjain sama kereta nggak ada dosen juga lagi! Maunya apa sih? ROTTERDAM-PARIS Dengan langkah tenang, Risda berjalan menapaki setiap aspal dan trotoar di Rotterdam. Cuaca pagi ini cukup cerah dan sejuk. Sekarang sudah menunjukkan pukul 9 lewat 10 menit. Begitulah kata jam yang ada di tangannya. Risda tentu tidak sendiri ketika berjalan di kota pelabuhan
134
terkenal di Belanda dan dunia ini. Di sini ia bersama dengan Ani yang sudah ia temui sejak beberapa menit yang lalu di sebuah halte trem. Ani adalah teman semasa SMA-nya yang kebetulan juga sedang berada di Belanda untuk berlibur sama seperti dirinya. Karena sudah lama tidak bertemu, mereka pun langsung terkejut ketika bertemu dan biasanya jika bertemu itu selalu akan mengatakan, hai, apa kabar lo? Lama ya kita nggak ketemu? Wah, kok lo udah berubah banget? Gimana kuliah lo? Dan tentu juga akan dilengkapi dengan sebuah pelukan dan cium pipi kiri dan kanan. Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di stasiun kereta di kota tersebut. Sebuah stasiun yang cukup modern
dan
bertuliskan
“ROTTERDAM”
serta
NS
(Nederlandse Spoorwegen-PT. KA di Belanda) dan ucapan selamat datang dalam bahasa sana”Welkom”. Semuanya tercantum di papan berwarna kuning. Mereka ke stasiun ini karena hendak ingin ke Perancis terutama ke Paris dengan
135
menaiki Trans Eropa seharga 60 euro. Rencananya di sana mereka ingin jalan-jalan terutama ke menara Eiffel yang memang merupakan ikon kota tersebut. “Duh, gue udah nggak sabar mau ke sana,” kata Risda senang setelah membeli karcis dan menunggu kereta di peron yang sepi, bersih, dan tertib, “Kira-kira besarnya kaya gimana ya? “ “Sama nih,” kata Ani, “Gue juga penasaran nih. Untuk pertama kalinya gue bakal ngeliat dari dekat bangunan tersebut,” “Lha, bukannya lo waktu kecil pernah ke Perancis ya?” tanya Risda, “Berarti udah pernah ke Eiffel dong?” “Siapa bilang?” Tanya Ani heran, “Gue belum pernah ke Perancis kali,”
136
“Masa sih. Soalnya dulu lo pernah ngomong pernah ngeliat Eiffel,” Ani pun tertawa. “Ya ampun, Risda. Itu mah maksud gue Eiffel di Las Vegas,” “Las Vegas di Amerika? Lho kok?” “Jadi tuh di sana ada miniatur Eiffel,” “Oh, gitu,” Kereta
kemudian
datang.
Warnanya
kuning.
Bentuknya mirip shinkansen. Begitu berhenti di tepian peron, pintunya secara otomatis terbuka. Risda dan Ani segera masuk ke dalam kereta yang datangnya tepat waktu tersebut. Keadaan di dalam begitu bersih. Tak ada tandatanda bakal ada pedagang atau pengemis seperti yang ada di Indonesia. Juga begitu nyaman. Mereka berdua duduk di 137
dekat pintu. Tak lama kemudian kereta berangkat kembali dan beberapa menit kemudian datang kondektur untuk memeriksa karcis. Kereta melaju dengan cepat. Melintasi perumahan, jalan raya, dan pemandangan-pemandangan khas eropa yang tersaji begitu indah di luar. Risda dan Ani merasa takjub melihat pemandangan yang begitu berbeda dengan di Indonesia. Jelas di sana tak ada sawah apalagi gunung tetapi yang ada taman dan bukit-bukit kecil. Rencananya perjalanan dari Rotterdam ke Paris memakan waktu sekitar 2 jam. Nanti setelah tiba di Paris untuk ke Eiffel mereka harus mencari kereta lagi. Dua jam rupanya bukan waktu yang lama dan benar sesuai dengan jadwal yang tertera di karcis mereka sampai di Paris tepat waktu dan tepatnya di stasiun bawah tanah di kota tersebut. Namun, permasalahan kemudian muncul,
138
“Abis ini kita kan harus naik kereta lagi?” tanya Risda, “Naik yang mana?” “Wah, gue nggak tau,” kata Ani, “Kenapa kita nggak nanya petugas stasiunnya atau orang-orang di sini?” “Nanya?” tanyanya heran, “Pake bahasa apa?” “Ya, Inggris lha,” jawab Ani enteng. Raut Risda langsung berubah mendengar ucapan tersebut, “Lo mang nggak mikir ya?” “Mikir apa?” tanya Ani berbalik heran. “Mang lo nggak tau apa kalo orang-orang Perancis rada ogah disapa pake bahasa Inggris dan maunya pake bahasa sendiri,” “Ya udah pake bahasa Belanda aja. Gimana?” 139
“Apalagi Belanda,” “Terus gimana dong?” tanya Ani panik, “Gue kan nggak bisa ngomong Perancis,” “Yah, gue juga nggak bisa,” “Kalo begitu kita nggak tau mau naik apa ke Eiffel,” Risda hanya diam. Ani pun jadi heran, “Kok lo diam?” “Gue lagi mikir nih,” kata Risda, “Gue mau coba ingat beberapa kata Perancis yang sempat gue pelajarin dari teman gue,” “Pasti lama,” “Ya, lo sabar aja lha,”
140
Tiba-tiba datanglah seorang wanita mendekati mereka lalu menyapa, “Dari Indonesia ya?” Mereka berdua terkejut dan langsung menoleh serta memandang wanita yang menyapa mereka. Wanita itu berambut hitam panjang dan memakai jaket kulit serta bercelana jins. “Betul,” kata Risda kepada wanita berkulit sawo matang tersebut, “Mbak juga dari Indonesia?” Ia hanya mengangguk lalu berkata, “Tadi saya dengar kalian berdua ribut soal kereta ke Eiffel ya?” tanyanya dan tiba-tiba ia memperkenalkan dirinya, “O, ya sampai lupa. Kenalkan nama saya Rima,” Risda dan Ani juga demikian.
141
“Kalo menurut saya kalian naik metro aja yang bertingkat,” kata Rima, “Loketnya di sebelah sana,” Ia lalu menunjuk pada loket di depan mereka, “Nanti dia jalan sesuai jalurnya,” kata Rima melanjutkan, “Kalau naik yang lain agak ribet,” “Oh, gitu ya, mbak,” “Ya sudah,” kata Rima, “Saya mau permisi dulu. Saya harap kalian menikmati perjalanan di Paris,” “Oh, kalau begitu terima kasih, mbak,” kata Risda diikuti Ani. Selepas itu mereka langsung ke loket dan memesan dua buah karcis dengan bahasa isyarat. Beberapa menit kemudian kereta ke arah Eiffel datang. Mereka langsung naik dan mendapatkan tempat duduk di tingkat. Kereta kemudian berjalan melintasi daerah stasiun bawah tanah 142
dan kemudian keluar dari sana dan mulailah terlihat pemandangan asli Paris. Sungai Seine, Museum Louvré, dan menara Eiffel sudah terlihat di kejauhan. Dari situ pun ia sudah tampak megah menantang langit Paris yang tengah membiru apalagi sampai di dekatnya. Risda sendiri agak heran dengan menara tersebut ketika ia sampai. Sayangnya, keinginan untuk menaiki menara tak kesampaian karena banyaknya antrian. Tapi, kemudian ia ke Louvré bersama Ani dan tanpa disengaja bertemu dengan saudara sepupunya yang sedang berada di sana. Mendekati sore, ia dan Ani harus meninggalkan Paris karena batas waktu yang diberikan hanya 5 jam sebab kalau tidak mereka akan tertinggal kereta yang mengarah balik ke Rotterdam. Makanya tak heran bila mereka berlarilari menaiki metro kembali dan mengejar-ngejar Trans Eropa yang mengarah ke Rotterdam. Sekitar pukul 7 sore waktu setempat, mereka sampai di Rotterdam. Ani, temannya
143
harus menaiki sebuah trem yang menuju ke Den Haag tempat ia dan keluarganya sedang berlibur, sedangkan Risda hanya cukup berjalan kaki dari stasiun. Sebelum berpisah keduanya berkata, “Menegangkan juga ya ke Paris?” kata Ani, “Iya,” kata Risda, “Karena ada lo,” “Kok ada gue?” tanya Risda heran, “Sori deh kalo tadi gue bawel,” “Weleh-weleh,” kata Risda, “Nggak apa-apa kali,” “Lo kapan mau balik ke Indonesia?” tanya Ani. “Paling seminggu lagi,” “Besok ke Den Haag ya,” “Boleh,”
144
Mereka seperti biasa lalu berpelukan dan cium pipi kiri-kanan dan setelah itu akhirnya berjalan masing-masing. Langit sore Rotterdam pun menaungi kepulangan mereka.
145
SEKEJAP Egong tampak bergembira bersama temannya, Reka saat keduanya melangkah keluar dari stasiun Lentengagung dengan cara berjalan berbalikan ke tempat yang tidak ada penjaga stasiunnya. Terlihat jelas mereka ingin menghindari petugas itu karena tidak membawa serta karcis. Namun, bukan itu saja. Mereka juga tak ingin langkah mereka dicurigai. “Tuh, gue bilang juga apa?” kata Reka dengan raut yang senang, “Dapet kan?” “Yup!” sahut Egong, “Nggak salah juga lo ngajak gue. Yuk kita jual!” “Oke!” Kedua orang berperawakan kurus kering dengan muka yang terbilang pas-pasan itu berjalan ke arah jalan
146
raya di depan stasiun dan memasuki sebuah gang. Siang memang cukup terik dan sekarang hari Jumat. Azan berkumandang di mana-mana. Namun mereka malah sebaliknya. *** Bingung tidak tahu harus apa. Itulah yang sekarang dihadapi Egong. Pemuda yang tiap hari kerjanya hanya menggitar kemudian sering main togel bersama temanteman di dekat rumahnya. Terkadang Egong suka meraih kemenangan bila bermain togel dan menjadi raja sehari. Namun adakalanya dia juga kalah dan menjadi bahan olokan. Biasanya ia suka memasang taruhan dengan harga yang lumayan sekitar 50 ribu. Uang itu biasanya hasil dari dia memalak di sebuah gang dekat sekolah. Korbannya jelas anak-anak
kecil
yang
ketakutan
bila
menghadapi
tampangnya yang seram. Namun belakangan, Egong merubah daerah operasinya setelah ia ketahuan salah satu 147
orangtua warga yang kebetulan adalah tentara dan ia dipukuli habis-habisan. Akibatnya, seminggu ia tidak keluar rumah dan absen dari dunia pertogelan. Kalau
sudah
begitu
teman-temannya
akan
mencarinya dan berusaha memaksanya. Tetapi, ia sedang ogah dengan alasan uang tidak ada. Kalau minta sama ibunya yang ada ia bakal jadi santapan sehari-semalam. Toh ketika Egong sudah di daerah operasi yang lain dan berhasil memalak anak-anak kecil lagi setiap harinya, tetap saja pekerjaan ilegalnya ketahuan sama pihak yang berwajib. Bukan polisi tetapi hansip. Seperti biasa kalau sudah ketahuan ia digiring kemudian dinasehati oleh pak rt agar tidak memalak. Sayang, Egong cuma dapat nasehat bukan solusi. Akibatnya, ia terus-terusan ingin memalak. Kali ini ia pindah operasi lagi. Tepatnya di sebuah gang kecil tapi dekat kuburan. Nah, karena dekat kuburan, Egong berusaha memalak dengan menakut-nakuti. Biasanya sih 148
korbannya kembali lagi anak kecil tapi terkadang orang dewasa apalagi yang penakut. Ketika memalak ia biasanya akan melihat dari atas pohon jamblang yang cukup rindang. Konon, katanya pohon jamblang itu ada penghuninya. Jelas ia memanfaatkan hal itu. Kalau ada yang lewat ia akan tertawa menirukan suara setan yang menunggu pohon itu dengan meminta uang. Cara ini agak berhasil untuk yang penakut kalau yang tidak biasanya akan menantangnya atau menimpuknya dengan batu. Pernah jidatnya benjol hanya karena ia ditimpuk. Sayang, sekali lagi Egong tidak bisa memalak. Saat melakukan aksinya ia malah diusir oleh preman tempatnya memalak. Kalau sudah begitu ia ketakutan dan lari pontangpanting. Akibatnya, uang sudah tak lagi bersamanya dan ia hanya bisa terdiam meratapi nasib di rumahnya yang hanya terdiri dari anyaman bambu.
149
“Woi! Lo diam aja di rumah!” ujar ibunya melihat anaknya seperti itu yang menurutnya tidak pantas, “Kaya perawan aja lo! Keluar ngapa cari kerja!” “Yee…emak, aye kerja apaan, mak?” tanyanya heran, “Sekolah aja kagak pernah,” “Ala! Belagu lo pake sekolah!” sahut ibunya, “Lo aja disekolahin nggak beres. Bolos mulu. Lagian lo juga kerjaan tiap hari malakin orang sama togel!” “Ah, emak bisanya nyerocos doang!” ujar Egong kesal. “Apa lo bilang?” ibunya mulai naik pitam. Kalau sudah begini biasanya Egong menghindar. Ia tahu ibunya bila marah besar akan berdampak buruk.
150
Keluar dari rumah Egong tampak bingung. Terusmenerus ia menggaruk kepala. Ucapan pusing dan gerutu lainnya keluar tiada henti. “Gong!” ujar seseorang memanggilnya tiba-tiba. Egong menolehnya. Ia mengenal siapa yang memanggilnya. “Oi, Ka,” balasnya. “Kayanya ada yang nggak beres nih sama lo?” tanya temannya, Reka. “Ah, bukan nggak beres lagi. Nggak bisa ngapangapain gue,” jawab Egong, “Bingung gue!” “Lha, memang kenapa?” tanya Reka. Egong lalu menceritakan semua yang sedang dialami oleh dirinya kepada Reka. Reka tampak serius namun setelah itu ia tertawa-tawa.
151
“Emangnya nih ketoprak?” tanya Egong heran, “Gue serius!” “Santai dong,” kata Reka, “Kasian banget sih ngabisin hidup lo cuma buat malak,” “Masih mending deh,” belanya, “Lagipula yang gue palak ada juga yang kaya. Itung-itung balesan juga buat para orang kaya yang suka malak orang miskin kaya gue gini,” “Oke, oke,” kata Reka, “Tapi, gue ada tawaran nih buat lo dan semoga aja lo mau,” “Tawaran apaan?” tanya Egong heran, “Malak lagi? Ayo!” “Bukan itu,” “Apaan emangnya?”
152
“Tapi, gue tanya lo mau nggak?” “Iya gue mau tapi apaan,” “Dengerin ya dan ini bisa bikin lo kaya dalam sekejap,” Maka
Egong
pun
mendengarkan
apa
yang
diucapkan oleh Reka. Ketika Reka selesai raut mukanya berubah seperti tak percaya. “Serius lo?” tanyanya setelah itu juga. “Gue serius,” kata Reka, “Mau nggak lo?” “Aduh, nggak deh,” kata Egong, “Menjambret di kereta itu gede resikonya. Banyak orang. Lo tau kan gue pernah nyoba yang ada gue ketangkap tangan sama polsuska yang lagi nyamar. Udah gitu gue dipukul-pukulin lagi sama massa. Untung nggak babak belur,”
153
“Tapi, lo dilepasin lagi kan?” tanya Reka. “Iya,” jawab Egong, “Setelah dikasih peringatan aja,” “Lo benar-benar pemalak kelas katro sih,” kata Reka, “Nggak profesional. Lagi jambret nggak ngajak gue. Ntar gue ajarin. Tapi, mau nggak lo?” Egong yang tampaknya sedang ingin uang agar bisa togel kembali langsung menerima tawaran Reka. “Oke deh besok pagi kita ketemu di stasiun,” kata Reka. Esok paginya mereka bertemu di stasiun tepatnya stasiun Depoklama. Mereka berdua muncul dari balik pagar dan langsung menyebrangi rel dan kemudian menaiki peron. Tampak tak ada yang curiga dengan mereka yang seperti calon penumpang KRL Jabodetabek kebanyakan yang sedang menunggu di peron menanti kedatangan KRL.
154
Seorang ibu berperawakan setengah tua sedang menggandeng anaknya dengan erat. Egong dan Reka terus memperhatikan ibu tersebut. Ada yang mencolok darinya. Di leher ibu itu ada kalung yang begitu memikat kilaunya, “Tuh dia sasaran kita,” ujar Reka pelan sambil melahap jeruk yang baru saja dibelinya, “Liat tuh kalungnya. Lumayan kalau ditawar-tawar bisa dapat 200 atau nggak 250,” “Boleh tuh,” sahut Egong tampak antusias, “Udah nggak sabar gue. Lumayan buat togel,” “Santai,” kata Reka, “Nanti aja pas di dalam kereta kita beraksi. Sekarang kita ngomongin caranya,” Mereka
berdua
lalu
berbicara
bagaimana
menjambret kalung yang hendak dikenakan ibu tadi. Awalnya Egong agak heran dengan apa yang harus dilakukannya. Tetapi, ia mau melakukannya demi uang. 155
KRL Jabodetabek dari arah Bogor datang dan berhenti di stasiun. Para penumpang segera masuk ke dalam. Banyak di antara mereka terutama yang memakai tas gendong menaruh tasnya di depan agar tidak dicopet dan dipegang erat begitu juga ibu-ibu yang memegang erat tas yang digandengnya dengan menaruh ke depan. Kebanyakan ibu-ibu ini berada di tengah-tengah. Melihat ini Egong dan Reka sedikit khawatir juga karena biasanya susah untuk menjambret dari tengah-tengah. Selain para penumpang tadi ikut juga para pedagang asongan yang siap hilir-mudik di gerbong-gerbong dan kemudian main kucing-kucingan ketika ada polsuska. Namun, sasaran mereka ibu tadi berada di pinggir pintu. Dan itulah yang mereka harapkan. Hanya saja tidak di pinggir sekali dan di dekatnya ada laki-laki. Mereka agak bersabar juga untuk melakukannya pada situasi yang menguntungkan. Keadaan dalam keretaapi lumayan relatif
156
sepi dan orang bisa leluasa bergerak. Inilah yang tidak boleh terlihat mencurigakan langkah mereka. Perlahan mereka dekati ibu itu dengan berjalan terpisah. Reka berjalan terlebih dahulu dan beberapa menit kemudian Egong menyusul. Kalung itu begitu mengkilat dan menggoda bagi yang melihat. Ibu itu memang tidak menyadari apa yang akan terjadi padanya. Terlihat ia cuek dan akhirnya tertidur. Melihat mangsanya tertidur jelas itu merupakan sebuah kesempatan besar. KRL terus melaju dan sekarang stasiun Pancasila sudah dilewati. Namun kalung itu harus diambil karena sebentar lagi di stasiun Lentengagung KRL akan berhenti. Pelan-pelan tangan Reka bergerak dan merayap tanpa terlihat siapapun karena dihalangi oleh Egong dari belakang. Kalung itu pun sampai di sentuhan tangannya. Ketika kereta berhenti dan berjalan kembali cepat-cepat Reka melepas
157
kalung dari leher dan seketika ibu itu terbangun sambil mengumpat, “Wei, bangsat lo!” Reka segera meloncat. Begitu juga Egong. Kini sebuah kalung
ada
di
genggamannya.
Egong yang
melihatnya langsung senang karena bisa buat togel lagi. Sementara itu situasi di KRL pun heboh seperti pasar malam. Namun, sayang itu cuma sesaat.
158