PENGUNGKAPAN & TRANSPARANSI A. OECD Principle 5: Disclosure and Transparency (Pengungkapan & Transparansi) Kerangka tata kelola perusahaan harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat dibuat pada semua hal material mengenai perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola perusahaan. a) Pengungkapan harus mencakup informasi material tentang: 1. Hasil keuangan dan operasi perusahaan. 2. Tujuan perusahaan. 3. Kepemilikan saham mayoritas dan hak suara. 4. Kebijakan remunerasi bagi anggota dewan dan eksekutif, dan informasi tentang anggota dewan, termasuk kualifikasi mereka, proses seleksi, direktur perusahaan lain dan apakah mereka dianggap independen oleh dewan. 5. Transaksi dengan pihak terkait. 6. Faktor risiko mendatang. 7. Isu mengenai karyawan dan stakeholders lainnya. 8. Struktur dan kebijakan tata kelola, khususnya isi kebijakan tata kelola perusahaan dan proses yang diimplementasikan. b) Informasi harus disiapkan dan diungkapkan sesuai dengan standar kualitas akuntansi yang tinggi dan pengungkapan keuangan dan non-keuangan. c) Audit tahunan harus dilakukan oleh auditor independen, kompeten dan berkualitas dalam rangka memberikan jaminan eksternal dan obyektif kepada dewan dan pemegang saham bahwa laporan keuangan cukup mewakili posisi keuangan dan kinerja perusahaan dalam semua hal yang material. d) Auditor eksternal harus bertanggung jawab kepada pemegang saham dan berkewajiban kepada perusahaan untuk melakukan kerja profesional dalam melakukan audit. e) Saluran untuk menyebarkan informasi harus memberikan akses yang adil, tepat waktu, dan akses yang hemat biaya kepada informasi yang relevan oleh pengguna. f) Kerangka CG harus dilengkapi dengan pendekatan yang efektif yang membahas dan mempromosikan penyediaan analisis atau nasihat oleh analis, broker, lembaga pemeringkat dsb, yang relevan dengan keputusan oleh investor, bebas dari konflik kepentingan material yang mungkin meragukan integritas analisis atau nasihat mereka. B. CG, Disclosure and Its Evidence in Indonesia (Part 1+2) Artikel ini ditulis oleh Profesor Siddharta Utama, salah satu staf pengajar Akuntansi di FEUI. Beliau membagi artikel ini menjadi dua bagian, dan keduanya pernah dimuat di majalah Manajemen Usahawan edisi April dan Mei 2003. Berikut ini adalah rangkuman artikel tsb. PART 1 Pendahuluan Isu CG mulai populer sejak krisis ekonomi 1997, karena salah satu alasan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah kurangnya penerapan GCG. Menurut The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) (2000), definisi corporate governance adalah proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan
perusahaan dengan tujuan utama untuk meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Isu CG timbul karena ada pemisahan antara kepemilikan dan control. Pemisahan tugas ini bisa menimbulkan konflik kepentingan (agency problem) di antara pihak-pihak tertentu, misalnya antara manajemen, pemegang saham, kreditor, dsb. Manfaat yang dapat diperoleh dengan implementasi GCG adalah: Mengurangi biaya agensi (agency costs), dengan mengendalikan konflik kepentingan antara pemilik (principal) dan manajer (agent). Mengurangi biaya modal (cost of capital), dengan memberi sinyal positif bagi penyedia modal. Meningkatkan reputasi perusahaan. Menambah nilai perusahaan, yang dihasilkan dari pengurangan biaya modal (cost of capital), peningkatan kinerja finansial, dan peningkatan persepsi stakeholders tentang kinerja perusahaan di masa depan. Menurut OECD, ada lima prinsip CG (1999)* 1. The rights of shareholders 2. The equitable treatment of shareholders 3. The role of stakeholders in corporate governance 4. Disclosure and transparency 5. The responsibilities of the board *Artikel ini masih mengacu pada prinsip OECD versi lama. Prinsip OECD kemudian direvisi menjadi enam prinsip (2004). Terkait dengan prinsip ke-4 yaitu pengungkapan dan transparansi, Fujinuma (2000) menyatakan factor pendorong perkembangan prinsip ini: 1. Peningkatan focus oleh regulator tentang kualitas audit. 2. Peningkatan permintaan informasi oleh pengguna (stakeholders). 3. Peningkatan harapan untuk peran akuntan dalam memerangi korupsi. Asimetri informasi dan pentingnya prinsip pengungkapan GCG mutlak diperlukan jika ada potensi konflik kepentingan di antara pihak tertentu. Hal ini terjadi karena adanya asimetri informasi (information asymmetry), yaitu keadaan di mana salah satu pihak memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki pihak lain. Ada dua tipe utama asimetri informasi: Adverse selection: satu pihak atau lebih yang melangsungkan transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Contoh: informasi internal perusahaan kepada investor yang dibatasi oleh manajer. Moral hazard: satu pihak atau lebih tidak dapat mengamati tindakan pihak lain, padahal tindakan tsb mempengaruhi kepentingan semua pihak dalam transaksi tsb. Contoh: memotivasi usaha manajer (terkait dengan pemisahan tugas). Cara mengatasi: Adverse selection: bisa diatasi dengan menerapkan prinsip pengungkapan menyeluruh (full-disclosure principle), yaitu dengan mengkonversi informasi internal menjadi informasi eksternal. Contoh: laporan keuangan untuk penilaian investor.
Moral hazard: laporan keuangan dan laba bersih (net income) bisa menjadi control yang baik, karena bisa menjadi ukuran (proxy) kinerja manajerial.
Biaya pengungkapan: Out-of-pocket costs: biaya administrasi, bahan baku, dsb. Indirect costs: biaya untuk mengungkapkan informasi kepada kompetitor (potensial). Perusahaan akan meningkatkan jumlah pengungkapan selama manfaat pengungkapan melebihi biaya yang dikeluarkan. Menurut penelitian dan bukti empiris, terdapat asosiasi negative antara: Tingkat pengungkapan dan cost of equity capital. Ada dua penjelasan: o Peningkatan pengungkapan meningkatkan likuiditas pasar saham dan mengurangi cost of equity capital, bisa melalui pengurangan biaya transaksi atau peningkatan permintaan untuk saham perusahaan. o Peningkatan pengungkapan mengurangi risiko estimasi yang disebabkan estimasi investor tentang parameter return asset. Tingkat pengungkapan dan cost of debt. Alasan: lenders dan underwriters mempertimbangkan kebijakan pengungkapan perusahaan dalam estimasi mereka tentang default risk. Menurut Andrew Sheng (2000), manfaat pengungkapan adalah: untuk memelihara integritas dan untuk berfungsi secara adil dan efisien, pasar perlu informasi berkualitas tinggi, pengungkapan tepat waktu, dan akses efisien untuk informasi tsb. Para investor butuh informasi ini untuk membuat keputusan investasi dan untuk berdagang. Sebenarnya tanpa regulasi pun, perusahaan memiliki insentif pribadi untuk melakukan pengungkapan informasi. Alasan: Perusahaan mengadakan kontrak dengan berbagai pihak. Kontrak ini perlu informasi untuk mengawasi apakah hak dan kewajiban tiap pihak sudah terpenuhi. Tekanan pasar (pasar modal dan tenaga kerja). Manajer yang berkinerja baik akan dinilai tinggi oleh pasar, apalagi jika manajer bisa meningkatkan nilai perusahaan. Praktik pengungkapan di negara Asia Timur Ada dua penelitian yang berusaha menyelidiki praktik pengungkapan di negara Asia Timur. Penelitian pertama dilakukan oleh OECD. Tujuan penelitian: mengevaluasi peran CG di lima negara yang paling dipengaruhi oleh krisis ekonomi Asia (Indonesia, Korea, Malaysia, Filipina, Thailand). Temuan: negara tsb memiliki transparansi buruk dan praktik pengungkapan tidak memadai. Ada beberapa factor penyebab: Tidak ada tradisi pengungkapan di antara pihak internal perusahaan, yang umumnya terdiri dari keluarga. Standar akuntansi yang tidak memadai dan implementasi lemah, termasuk kegagalan untuk menerapkan penalti / hukuman untuk pelaporan keuangan palsu / curang. Saran / rekomendasi: Membuat entitas pengawasan untuk mengatur praktik akuntansi, auditing, dan pelaporan keuangan dan untuk menegakkan standar.
Mewajibkan semua perusahaan public yang listed menunjuk direktur independen dan subkomite audit eksternal dan memberi mandate fungsi dan tanggung jawab mereka kepada investor public. Penerapan penalty / hukuman yang setimpal untuk fraud reporting.
Penelitian kedua: M Zubaidur Rahman (2000), The Role of Accounting Disclosure in the East Asian Financial Crisis: Lessons Learned? Penelitian ini menunjukkan perbandingan antara praktik pengungkapan saat ini di beberapa bank dan perusahaan terbesar di enam negara (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Jepang) dengan praktik akuntansi yang diterima secara internasional. Ada enam area laporan keuangan yang diinvestigasi: 1. Related party lending and borrowing 2. Foreign currency debt 3. Derivative financial instruments 4. Segment information 5. Contingent liabilities 6. Additional disclosure in bank financial statements Hasil: sebagian besar perusahaan dan bank di lima negara (kecuali Jepang) tidak mengikuti International Accounting Standards (IAS) dalam mengungkapkan area yang diinvestigasi. Skor yang didapat untuk kepatuhan rata-rata di semua area adalah 40% Derivative financial instruments = di bawah 20% Foreign currency debt = sekitar 35% Penelitian ini berargumen bahwa kurangnya pengungkapan mempengaruhi pengguna laporan keuangan dalam mendeteksi kondisi finansial yang memburuk sebelum krisis ekonomi terjadi di negara tsb. Penelitian ketiga: SM Saudagaran & JG Diga (1997), Financial Reporting in Emerging Capital Markets: Characteristics and Policy Issues Karakteristik laporan keuangan di Emerging Capital Markets (ECMs), yaitu pasar modal di ekonomi yang kurang berkembang dan masih dalam masa transisi. Kriteria untuk mengevaluasi dan membandingkan laporan keuangan adalah: Information availability Reliability Comparability Kesimpulannya, semua penelitian ini menemukan bahwa semua negara Asia Timur (termasuk Indonesia) memiliki praktik pengungkapan yang buruk. Efektivitas mekanisme insentif pribadi dan pasar untuk mengurangi asimetri informasi di Indonesia Di Indonesia, merupakan hal yang umum untuk menemukan perusahaan yang memiliki struktur kepemilikan yang dikuasai oleh keluarga atau pemegang saham terbatas. Menurut Claessens et al (2000), 67.3% perusahaan terbuka dikuasai oleh keluarga, sedangkan hanya 6.6% yang dimiliki oleh umum. Konsentrasi dalam kepemilikan dan control ini menimbulkan asimetri informasi antara pemegang saham mayoritas dan minoritas.
Mekanisme partisipasi pemegang saham minoritas dalam pengambilan keputusan perusahaan bisanya lemah, partisipasi pemegang saham pasif, dan perlindungan hukum bagi mereka tidak memadai. OECD (2000) menyatakan bahwa dominasi pemegang saham pengendali oleh keluarga menyebabkan dewan direksi menjadi mekanisme pengawasan yang tidak efektif untuk kepentingan semua pemegang saham. Faktanya sering terjadi bahwa ketua dewan direksi juga merangkap ketua tim manajemen. IAI (2000) menyatakan bahwa karena umumnya keluarga mengendalikan perusahaan, maka tidak ada pemisahan tugas antara kepemilikan dan manajemen sehingga bisa menyebabkan manajemen hanya menguntungkan pemegang saham mayoritas saja. Utang, terutama pinjaman bank merupakan sumber pendanaan terbesar di Indonesia. Meskipun begitu, menurut OECD (2000), bank sebagai kreditor di Indonesia umumnya hampir tidak pernah ikut campur dalam manajemen dan keputusan perusahaan, dan peran pengawasan mereka lemah. Ada beberapa alasan: 1. Tata kelola kreditor yang buruk, internal control lemah, dan kerangka peraturan institusi keuangan yang tidak memadai. 2. Kurangnya kompetisi di antara para kreditor, ditambah dengan fakta bahwa banyak di antaranya dimiliki konglomerat atau keluarga yang sama dengan perusahaan. 3. Jaminan pinjaman pemerintah secara implisit dan eksplisit, sehingga menyebabkan insentif kreditor untuk mengawasi non-performing loan (NPL) menjadi lemah. Hal-hal tsb di atas menunjukkan bahwa insentif pribadi dalam mengungkapkan informasi melalui kontrak telah gagal untuk menghasilkan pengungkapan yang memadai untuk mengendalikan efek negative asimetri informasi. Analisis tentang peran pasar dalam meningkatkan pengungkapan di Indonesia: Pasar modal di mayoritas negara Asia Timur tidak berkembang baik, termasuk di Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan banyak perusahaan lebih bergantung pada utang bank. Pasar modal di Indonesia tidak efisien dibandingkan negara lainnya dalam hal informasi relevan yang dinyatakan dalam harga saham. Pasar tenaga kerja juga kurang berkembang di Indonesia. Pengawasan kinerja manajer menjadi tidak efektif karena manajer adalah bagian dari keluarga pemilik. Hal ini menyebabkan disinsentif bagi manajer untuk dinilai baik di pasar tenaga kerja. Pasar untuk corporate control termasuk tidak aktif di Indonesia. Hal ini sebagian adalah fungsi kebijakan pemerintah, dan juga merefleksikan kesulitan untuk ambil bagian ketika stuktur kepemilikan sangat terkonsentrasi. Seluruh kondisi ini menghambat efektivitas mekanisme pasar dalam menyediakan insentif bagi perusahaan untuk melakukan pengungkapan memadai. Karena semua hal ini termasuk masalah serius, otoritas pusat wajib ikut campur dan mengatur pengungkapan informasi. Tingkat Pengungkapan Perusahaan Terbuka di Indonesia Penelitian pertama: Juniati Gunawan (2000), Analisis Tingkat Pengungkapan Laporan Tahunan pada Perusahaan yang Terdaftar di BEJ, Thesis, Master FEUI Akuntansi Penelitian ini menggunakan disclosure score yang dikembangkan oleh Botosan (1997). Penilaiannya mencakup pengungkapan di laporan tahunan untuk informasi wajib (mandatory) dan sukarela (voluntary). Sampel yang digunakan adalah 104 dari 274 perusahaan yang terdaftar di BEJ tahun 1998 dan laporan tahunan yang diteliti adalah untuk tahun 1998.
Ada lima hal yang perlu pengungkapan, berikut hasilnya tertera di table: Skor pengungkapan untuk sample perusahaan yang terdaftar di BEJ* No. Description Actual / max score (%) 1 Informasi latar belakang 44.25 2 Ikhtisar kinerja finansial 84.9 3 Informasi non-finansial 17.7 4 Proyeksi / perkiraan (forecast) 4.4 5 Analisis dan pembahasan umum oleh manajemen 55.7 Overall score 41.9 *Diproses dari J. Gunawan, Table IV.3, hal. 45-46 Kesimpulan: perusahaan terbuka di Indonesia cenderung hanya mengungkapkan informasi wajib (mandatory), dan bahkan untuk informasi jenis ini, beberapa hal tidak diungkapkan. Tingkat pengungkapan berbanding positif dengan ukuran perusahaan dan financial leverage. Perusahaan skala besar memiliki insentif pribadi lebih tinggi untuk mengungkapkan informasi karena mereka membuat kontrak dengan berbagai pihak. Perusahaan dengan leverage lebih tinggi menghasilkan biaya agensi lebih tinggi dan untuk mengendalikan biaya ini, mereka dipaksa untuk mengungkapkan lebih banyak. Kronologi Kasus Praktik Insider Trading Transaksi Saham PT PGN Pada tanggal 8 Januari 2007 telah terjadi suatu transaksi yang tidak wajar atas saham PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk di mana dalam harga pembukaan perdagangan Rp. 10.850,- per lembar saham, dan pada harga penutupan perdagangan jatuh ke harga Rp. 7.400,per lembar sahamnya (31,8 %). Kemudian pada tanggal 11 Januari 2007, transaksi harga perdagangan dibuka pada Rp. 9.650,per lembar saham dan pada harga penutupan perdagangan jatuh kembali ke posisi Rp. 7.400,- per lembar sahamnya atau terjadi lagi penurunan sebesar (23,36 %). Pemicunya ternyata PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk terlambat memberitahukan kepada publik tentang penyelesaian proyek pipanisasi South Sumatera – West Java (SSWJ), akibatnya terjadi panic selling yang melanda investor asing maupun lokal. Faktor penurunan harga saham PGAS tersebut erat kaitannya dengan koreksi atas rencana besarnya volume gas yang akan dialirkan, yaitu mulai dari (paling sedikit) 150 MMSCFD menjadi 30 MMSCFD. Selain itu, juga dinyatakan bahwa tertundanya gas in (dalam rangka komersialisasi) yang semula akan dilakukan pada akhir Desember 2006 tertunda menjadi Maret 2007. Informasi yang diberitahukan kepada publik tersebut, sebenarnya sudah diketahui oleh manajemen PGAS sejak tanggal 12 September 2006 (informasi tentang penurunan volume gas) serta sejak tanggal 18 Desember 2006 (informasi tertundanya gas in). Atas kejadian tersebut, Bursa Efek Jakarta (BEJ) mencurigai adanya sesuatu yang tidak benar dari transaksi tersebut sehingga BEJ men-suspend atau menghentikan sementara perdagangan saham tersebut pada tanggal 15 Januari 2007, suspensi dilakukan karena melihat penurunan saham PGAS yang sangat tajam hingga 23,36% dan melaporkannya kepada Bapepam-LK selaku pengawas pasar modal.
Kemudian pada tanggal 1 Februari 2007, Bapepam-LK telah menginformasikan kepada publik mengenai perkembangan pemeriksaan terhadap PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk terkait dengan penurunan harga saham PGAS yang signifikan dan telah melakukan review atas dokumen-dokumen serta melakukan pemeriksaan terhadap jajaran direksi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk, akuntan publik dari PGAS, dan koordinator pelaksana proyek dan manajer proyek SSWJ. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan tersebut, Bapepam-LK telah memperoleh cukup bukti bahwa PGAS telah melakukan pelanggaran terhadap Ketentuan Undang-Undang Pasar Modal dan Peraturan Nomor X.K.1. tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik dan Bapepam-LK juga melakukan pemeriksaan atas transaksi saham PGAS yang dilakukan oleh Perusahaan Efek Anggota Bursa. Berdasarkan keterangan pers yang dikeluarkan oleh Ketua Bapepam-LK, Bapak Fuad Rahmany, Bapepam-LK telah menjatuhkan sanksi administrative berupa denda kepada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk sebesar Rp. 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) atas keterlambatan penyampaian keterbukaan informasi terkait penundaan pipanisasi SSWJ selama 35 (tiga puluh lima) hari atas pelanggaran Pasal 86 Undang-Undang Pasar Modal Jo. Peraturan Bapepam Nomor X.K.1. tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada publik. Di samping itu, Bapepam-LK juga memberikan sanksi denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) kepada direksi dan mantan direksi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk yang menjabat pada periode Juli 2006 sampai dengan Maret 2007 atas pelanggaran tentang pemberian keterangan yang secara material tidak benar, yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 Undang-Undang Pasar Modal. Selanjutnya Bapepam-LK telah menemukan titik terang terhadap kasus anjloknya harga saham PGAS, titik terang ini diperoleh, setelah Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bapepam-LK memeriksa direksi PGAS dan beberapa staf PGAS. Hasilnya dugaan adanya insider trading dalam kasus anjloknya saham PGAS semakin menguat. Dugaan ini disampaikan Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan (PP) Bapepam-LK, Bapak Wahyu Hidayat. Adanya dugaan insider trading ini dikatahui setelah mendapatkan laporan dari Biro Transaksi Lembaga Efek (TLE) Bapepam-LK. Dalam menangani kasus PGAS ini, Bapepam-LK telah membentuk 2 (dua) tim pemeriksa. Tim pemeriksa pertama bertugas untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh direksi PGAS, khususnya mengenai keterbukaan informasi dan pelanggaran lainnya. Tim ini juga bertugas untuk mencari bukti adanya dugaan insider trading. Sedangkan tim pemeriksa kedua bertugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap adanya dugaan perdagangan saham yang dilakukan oleh orang dalam. Keterangan dari Kepala Biro Perundang-Undangan dan Bantuan Hukum Bapepam-LK, Bapak Robinson Simbolon, bahwa untuk mengungkapkan kasus insider trading tidak mudah apalagi kalau melibatkan investor dan sekuritas asing. Hal senada dikemukakan pula oleh Ketua Bapepam-LK bahwa sistem hukum Indonesia saat ini belum mengakui data elektronik sebagai bukti hukum di pengadilan sehingga untuk melakukan pembuktian tentang terjadinya praktek insider trading di pasar modal terbentur dengan sistem pembuktian yang ada sekarang ini. Adapun informasi material yang terlambat disampaikan oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk kepada publik / masyarakat yang dapat mempengaruhi harga saham di bursa efek berdasarkan pemeriksaan Bapepam-LK adalah pertama, mengenai terjadinya koreksi atas rencana besarnya volume gas yang akan dialirkan, yaitu mulai dari (paling sedikit) 150
MMSCFD menjadi 30 MMSCFD dan, kedua, mengenai tertundanya gas in (dalam rangka komersialisasi) yang semula akan dilakukan pada akhir Desember 2006 tertunda menjadi Maret 2007. Informasi yang diberitahukan kepada publik tersebut, sebenarnya sudah diketahui oleh manajemen PGAS sejak tanggal 12 September 2006 (informasi tentang penurunan volume gas) serta sejak tanggal 18 Desember 2006 (informasi tertundanya gas in). Kedua informasi tersebut di atas dikategorikan sebagai informasi yang material dan dapat mempengaruhi harga saham di bursa efek. Hal tersebut tercermin dari penurunan harga saham PGAS pada tanggal 12 Januari 2007. Orang dalam perusahaan dari PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk yang melakukan transaksi saham PGAS pada periode 12 September 2006 sampai dengan 11 Januari 2007, yaitu Adil Abas (mantan direktur pengembangan), Nursubagjo Prijono, WMP Simanjuntak (mantan Direktur Utama dan sekarang Komisaris), Widyatmiko Bapang (mantan sekretaris perusahaan), Iwan Heriawan, Djoko Saputro, Hari Pratoyo, Rosichin, dan Thohir Nur Ilhami. Masing-masing dari orang dalam perusahaan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk tersebut telah dijatuhi sanksi administratif dari Bapepam-LK berupa sanksi denda yang besarnya berbeda-beda antara satu orang dengan orang dalam lainnya. Sanksi denda yang terendah sebesar Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) dan sanksi denda yang tertinggi adalah sebesar Rp. 2.330.000.000,00 (dua miliar tiga ratus tiga puluh juta rupiah), dengan total keseluruhan denda sebesar Rp. 2.800.000.000,00 (dua miliar delapan ratus juta rupiah). Sanksi denda tersebut ditetapkan oleh Bapepam-LK dengan mempertimbangkan pola transaksi dan akses yang bersangkutan terhadap informasi orang dalam. Insider Trading Insider trading merupakan istilah teknis yang hanya dikenal dalam pasar modal. Istilah tersebut mengacu kepada praktek di mana orang dalam (corporate insider), melakukan transaksi sekuritas dengan menggunakan informasi eksklusif yang mereka miliki yang belum tersedia bagi masyarakat atau investor. Praktek insider trading bertentangan dengan prinsip keterbukaan. Keterbukaan merupakan suatu kewajiban bagi setiap perusahaan yang menjual sahamnya melalui bursa efek. Prinsip keterbukaan (disclosure principle) merupakan sesuatu yang harus ada, baik untuk kepentingan pengelola bursa (BEJ), pengawas (Bapepam), dan calon investor. Oleh karena itu, dapat ditentukan bahwa perdagangan efek dapat tergolong sebagai praktek insider trading apabila memenuhi tiga unsur minimal yaitu: a. Adanya orang dalam (insider); b. Informasi material yang belum tersedia bagi masyarakat atau belum di-disclosed (unpublished inside information); c. Orang dalam melakukan transaksi dengan menggunakan informasi material yang belum tersedia untuk umum tersebut (insider trading). Insider trading berbahaya bagi mekanisme pasar yang fair dan efisien. Dampak negative insider trading adalah: a. Pembentukan harga yang tidak fair. Pembentukan harga tersebut disebabkan kurangnya informasi yang merata yang dimiliki para pelaku bursa, artinya hanya dimiliki oleh orang dalam atau sekelompok orang tertentu yang mempunyai akses terhadap orang dalam.
b. Berbahaya bagi kelangsungan hidup pasar modal. Hilangnya kepercayaan investor terhadap bursa akan menyebabkan perubahan kebijakan investasinya dan akhirnya bursa tidak lagi dianggap sebagai alternatif sumber pembiayaan yang menguntungkan. c. Menurunkan kepercayaan investor atas pasar saham karena ambiguitas dan rendahnya reliabilitas informasi yang mengemuka, sehingga menghambat perkembangan pasar modal yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi karena menurunnya minat investasi d. Memperburuk citra emiten. Hilangnya kepercayaan investor terhadap emiten merupakan salah satu penyebab hilangnya image positif investor, dan apabila hal tersebut terjadi maka sulit bagi emiten merebut kembali simpati masyarakat. Hal ini berdampak negatif secara luas dari aspek ekonomis, sumber daya serta pangsa pasar yang ada. e. Kerugian bagi investor. Kerugian tersebut disebabkan karena investor membeli efek pada harga yang mahal dan menjualnya pada harga yang murah, sehingga investor merasa dirugikan dan tidak mendapatkan perlindungan. f. Menurunkan nilai perusahaan yang tercermin dari turunnya harga g. Mencegah pembeli potensial dari better deal on the stock h. Menurunkan likuiditas saham maupun likuiditas pasar
Kualitas Pelaporan Keuangan dan Peran Auditor Eksternal dalam GCG
Ada tiga alasan buruknya akuntansi (poor accounting), yaitu: 1. Subversion of sound accounting principles Banyak praktik-praktik saat ini, seperti front-end revenue recognition, cookie jar reserving, off-balance-sheet financing yang merupakan pelanggaran-pelanggaran dari berbagai prinsip yang ada (seperti pengakuan pendapatan, expense matching, dan pengakuan kewajiban), bukan merupakan kegagalan prinsip. Hal ini disebabkan konflik kepentingan (pada bagian dari directors, auditor, pembuat kebijakan, dan politikus) yang mendorong terjadinya praktik pelanggaran. 2. Bentuk dari regulasi akuntansi Penulis mengacu pada rekomendasi “bright line” yang mendorong bentuk mengungguli substansi, pelaksanaan regulasi daripada menangkap ekonomi. Perdebatan tentang “benar dan wajar” mengesampingkan pembicaraan tentang isu ini. Bentuk regulasi akuntansi memiliki kelemahan yang mendukung poor accounting itu sendiri. 3. Pemanfaatan regulasi yang buruk itu sendiri, yang “dipermainkan” oleh pihak-pihak yang telah berpikiran buruk untuk memanfaatkan celah regulasi akuntansi yang ada Praktik-praktik yang diduga keliru diberikan sanksi oleh GAAP yang mengacu pada Kerangka Konseptual. Banya praktik telah terasosiasi dengan nama kualitas, seperti IBM, Microsoft. Aktor yang terlibat mungkin berkonflik tetapi adakah kesalahan kegagalan berpikir tentang bagaimana akuntansi yang baik seharusnya? The Quality of Earnings
Penulis berpandangan bahwa pemegang saham “membeli earnings” sehingga kualitas earnings merupakan fitur penting dari produk laporan keuangan Pemegang saham membeli perusahaan untuk menghasilkan uang, dan earnings merupakan jawaban atas pertanyaan “Apa yang telah saya hasilkan tahun ini?”. Analis memperkirakan earnings sebagai sebuah indikasi seberapa besar sebuah saham tersebut berharga. Investor tentu saja tidak membeli earnings saat ini. Sehingga kualitas earnings merupakan, hal pertama dan utama, sebuah pertanyaan mengenai kualitas earnings berikutnya. Jika kita memperkirakan GAAP earnings maka kita akan salah menilai perusahaan karena GAAP earnings tidak mencukupi/kurang baik Earnings saat ini merupakan input bagi perkiraan earnings pada masa mendatang. Adanya kontroversi terhadap pro forma earnings. Angka dalam pro forma telah diketahui lebih dahulu untuk perkiraan (as in First Call) dan untuk laporan hasil aktual (in press releases). Banyak angka dalam pro forma telah dikritisi sebagai angka earnings dengan kualitas rendah. Tetapi orang cenderung fokus pada angka pro forma jika GAAP earnings berkualitas buruk. Pengalaman dalam bubble baru-baru ini menyarankan sebuah standar untuk menjawab pertanyaan ini: earnings tidak bisa digunakan dalam sebuah skema piramida untuk mendorong anggapan spekulatif (dan mendorong bubbles). Skema piramida bekerja dengan dua cara, yaitu (1) momentum earnings dapat dibuat dalam mekanisme alami dimana pendapatan secara agresif diakui atau beban diabaikan (2) memoentum dapat diangkat (levered up) dengan menagajak manajemen dalam aktivitas untuk meningkatkan angka piramida tersebut, untuk merugikan investor yang tak awas. Angka pro forma seperti EBIT dan skema pembiayaan off-balance-sheet (mendorong skema piramida dan skema peminjaman) serta EBITDA (mendorong subtitusi modal untuk tenaga kerja yang menghasilkan kapasitas berlebih serta menyediakan insentif untuk mengkapitalisasi beban.
A Loose Anchor: The Poor Quality of GAAP Earnings
GAAP melanggar shareholder perspective karena memberi celah untuk melakukan pyramiding (Cara meningkatkan posisi keuangan menggunakan profit yang masih unrealized dari perdagangan untuk meningkatkan margin). Sehingga pembeli earnings (para pemegang saham) harus berhati-hati dan para analis fundamental yang berdedikasi harus membuat penyesuaian atas hal tersebut. The Quality of Financial Reporting
GAAP is Forward-Looking
Penggunaan paling penting dari pelaporan keuangan adalah untuk membantu investor mencari tahu pendapatan di masa depan dan perbedaannya dari pendapatan yang sekarang. Dengan demikian, laporan keuangan diharapkan menyajikan sesuatu yang lebih dari current earning. Walaupun pendapatan sekarang dapat digunakan sebagai indikator pendapatan di masa depan dengan menggunakan analisis laporan keuangan yang lebih luas, namun itu masih dirasakan kurang cukup untuk memprediksi laba akuntansi dalam beberapa tahun. Analisis laporan keuangan membantu peramalan ke depan karena struktur dari model pelaporan keuangan. Berfokus pada pendapatan operasi, bila pendapatannya komprehensif, yaitu: Operating income = free cash flow + change in net operating assets
Peraturan Bapepam LK
KUALITAS PELAPORAN KEUANGAN Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal Bab X Pelaporan dan Keterbukaan Informasi Pasal 86 Pelaporan keuangan merupakan kewajiban bagi perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek. Kewajiban tersebut berupa: a. menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; dan b. menyampaikan laporan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang dapat mempengaruhi harga Efek selambat-lambatnya pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya peristiwa tersebut. Selanjutnya pada ayat 2 dinyatakan bahwa Emiten atau Perusahaan Publik yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif dapat dikecualikan dari kewajiban untuk menyampaikan laporan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bapepam. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Bapepam untuk menetapkan persyaratan tertentu di mana Emiten atau Perusahaan Publik yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif tidak diwajibkan menyampaikan laporan. Persyaratan dimaksud, antara lain, berupa penentuan maksimal jumlah pemegang saham dan modal disetor Perusahaan Publik yang tidak diwajibkan untuk menyampaikan laporan. Ketentuan ini tidak berarti bahwa Perusahaan Publik yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif tidak wajib menyampaikan laporan meskipun tidak memenuhi persyaratan sebagai Perusahaan Publik. AUDITOR EKSTERNAL Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasal 68 Akuntan yang terdaftar pada Bapepam yang memeriksa laporan keuangan Emiten, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Pihak lain yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib menyampaikan pemberitahuan yang sifatnya rahasia kepada Bapepam selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan adanya hal-hal sebagai berikut : a. pelanggaran yang dilakukan terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya; atau b. hal-hal yang dapat membahayakan keadaan keuangan lembaga dimaksud atau kepentingan para nasabahnya. Pasal 69 Laporan keuangan yang disampaikan kepada Bapepam wajib disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntansi yang berlaku umum” adalah Standar Akuntansi Keuangan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan praktik akuntansi lainnya yang lazim berlaku di Pasar Modal.
Tanpa mengurangi ketentuan, Bapepam dapat menentukan ketentuan akuntansi di bidang Pasar Modal. Meskipun pengaturan suatu hal tertentu sudah diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan, tetapi apabila belum mencakup hal-hal yang dibutuhkan di Pasar Modal seperti dalam rangka memenuhi asas keterbukaan, Bapepam dapat menetapkan ketentuan mengenai hal tersebut secara khusus untuk melindungi kepentingan publik.
Peraturan Bapepam no. VIII.A.1 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal
Peraturan ini mengatur tentang persyaratan dan berkas yang harus dipenuhi oleh Akuntan Publik yang ingin melakukan kegiatan di Pasar Modal. Peraturan ini untuk mencegah masuknya Akuntan Publik yang kurang kompeten dalam mengaudit perusahaan yang listing di BEI.
Peraturan Bapepam no. VIII.A.2 tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa di Pasar Modal
Ketentuan mengenai independensi Akuntan yang memberikan jasa di Pasar Modal, diatur dalam Peraturan Nomor VIII.A.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Keputusan ini berlaku sekaligus mencabut Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-310/BL/2008 tanggal 1 Agustus 2008 tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa di Pasar Modal dan dinyatakan tidak berlaku. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 28 Februari 2011. Dalam memberikan jasa profesional, khususnya dalam memberikan opini, Akuntan wajib mempertahankan sikap independen. Akuntan tidak independen apabila selama Periode Audit dan selama Periode Penugasan Profesionalnya, baik Akuntan, Kantor Akuntan Publik, maupun Orang Dalam Kantor Akuntan Publik: a. mempunyai kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang material pada klien, seperti: 1) investasi pada klien; atau 2) kepentingan keuangan lain pada klien yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. b. mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien, seperti: 1) merangkap sebagai Karyawan Kunci pada klien; 2) memiliki Anggota Keluarga Dekat yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi atau keuangan; 3) mempunyai mantan rekan atau karyawan profesional dari Kantor Akuntan Publik yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi atau keuangan, kecuali setelah lebih dari satu tahun tidak bekerja lagi pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan; atau 4) mempunyai rekan atau karyawan profesional dari Kantor Akuntan Publik yang sebelumnya pernah bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci dalam bidang akuntansi atau keuangan, kecuali yang bersangkutan tidak ikut melaksanakan audit terhadap klien tersebut dalam Periode Audit. c. mempunyai hubungan usaha secara langsung atau tidak langsung yang material dengan klien, atau dengan Karyawan Kunci yang bekerja pada klien, atau dengan pemegang saham utama klien. Hubungan usaha dalam butir ini tidak termasuk hubungan usaha dalam hal Akuntan, Kantor Akuntan Publik, atau Orang Dalam Kantor Akuntan Publik memberikan jasa audit,
review, atestasi lainnya, dan/atau non atestasi kepada klien, atau merupakan konsumen dari produk barang atau jasa klien dalam rangka menunjang kegiatan rutin. d. memberikan jasa non atestasi kepada klien seperti: 1) pembukuan atau jasa lain yang berhubungan dengan catatan akuntansi klien atau laporan keuangan; 2) desain sistem informasi keuangan dan implementasi; 3) audit internal; 4) konsultasi manajemen; 5) konsultasi sumber daya manusia; 6) penasihat keuangan; 7) jasa perpajakan, kecuali telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Komite Audit. Persetujuan Komite Audit tersebut tidak termasuk jasa perpajakan untuk mewakili klien di dalam maupun di luar pengadilan perpajakan dan/atau bertindak untuk dan atas nama klien dalam perhitungan dan pelaporan perpajakan; atau 8) jasa-jasa lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. e. memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar Fee Kontinjen atau komisi, atau menerima Fee Kontinjen atau komisi dari klien, kecuali Fee Kontinjen ditetapkan oleh pengadilan sebagai hasil penyelesaian hukum, temuan badan pengatur dan/atau perpajakan. f. memiliki sengketa hukum dengan klien. Kantor Akuntan Publik wajib mempunyai sistem pengendalian mutu dengan tingkat keyakinan yang memadai bahwa Kantor Akuntan Publik atau karyawannya dapat menjaga sikap independen dengan mempertimbangkan ukuran dan sifat praktik dari Kantor Akuntan Publik tersebut. Pembatasan Penugasan Audit a. Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan klien hanya dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. b. Kantor Akuntan Publik dan Akuntan dapat menerima penugasan audit kembali untuk klien tersebut setelah satu tahun buku tidak mengaudit klien tersebut. c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi laporan keuangan interim yang diaudit untuk kepentingan Penawaran Umum. d. Kantor Akuntan Publik yang memberikan jasa di Pasar Modal yang melakukan perubahan komposisi Akuntan sehingga jumlah Akuntannya 50% (lima puluh perseratus) atau lebih berasal dari Kantor Akuntan Publik yang telah memberikan jasa di Pasar Modal, diberlakukan sebagai kelanjutan Kantor Akuntan Publik asal Akuntan yang bersangkutan dan tetap diberlakukan pembatasan penyelenggaraan audit atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Dalam penerimaan penugasan profesional, Akuntan wajib mempertimbangkan secara profesional dan memiliki independensi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan Peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Peraturan Bapepam no X.J.1 tentang Laporan Kepada Bapepam oleh Akuntan Akuntan yang memeriksa Laporan Keuangan Emiten, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Pihak lain yang melakukan kegiatan di Pasar Modal wajib menyampaikan pemberitahuan yang sifatnya rahasia (sampai ditetapkan lebih lanjut oleh Bapepam) kepada Bapepam selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan adanya hal-hal sebagai berikut:
a. pelanggaran yang dilakukan terhadap ketentuan dalam Undang-undang Pasar Modal dan atau peraturan pelaksanaannya; b. hal-hal yang dapat membahayakan keadaan keuangan lembaga dimaksud atau kepentingan para nasabahnya. Kasus Telkom Kasus laporan keuangan Telkom bermula dari adanya penolakan laporan keuangan PT Telkom oleh Komisi Sekuritas dan Bursa AS (US SEC). PT Telkom ialah sebuah perusahaan besar yang sahamnya dual listed di bursa efek Indonesia dan di NYSE (New York Stock Exchange), hal ini menyebabkan PT Telkom harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh SEC dimana PT Telkom diwajibkan mengirimkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor yang diakui oleh SEC, dan SEC memiliki otoritas dalam memberikan keputusan terkait permasalahan PT Telkom. Penolakan SEC atas filling Laporan Keuangan yang dilakukan oleh PT Telkom disebabkan beberapa asalan, antara lain yaitu : 1. SEC merasa bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Telkom, yaitu KAP Eddy Pianto tidak memenuhi salah satu peraturan Standar Audit di US yaitu (AU 543). Standar ini mengatur tentang referensi auditor terhadap opini auditor lain yang telah mengaudit laporan keuangan anak perusahaan yang akan di konsolidasikan kedalam laporan keuangan perusahaan induk yang diaudit. Dalam hal ini PT Telkom memiliki anak perusahaan yaitu PT Telkomsel yang mana Laporan Keuangannya diaudit oleh PwC. 2. Masih terkait dengan permasalahan tersebut, PwC tidak mengijinkan KAP Eddy Pianto untuk menggunakan opininya atas LK 2002 (audited) Telkomsel untuk dijadikan acuan dalam LK 2002 (audited) Telkom. Lebih lanjut, PwC dan SEC serta KAP Eddy Pianto mengalami salah tafsir masing-masing atas AU 543 tersebut, dimana PwC dan SEC mengacu pada standar audit tersebut bahwa KAP Eddy Pianto perlu meminta izin kepada PwC jika ingin menggunakan opini atas LK 2002 (audited) Telkomsel dalam Form 20 F dari LK Telkom 2002. Sedangkan KAP Eddy Pianto menafsirkan bahwa ia tidak perlu meminta izin kepada PwC, cukup menginformasikan saja bahwa ia akan menggunakan hasil audit dan opini PwC dalam audit yang ia laksanakan. Misleading AU 543 oleh SEC inilah yang menyebabkan SEC menolak Form 20 F LK Telkom 2002 Sehingga menyimpulkan LK Telkom 2002 unaudited.
Untuk lebih lengkapnya berikut korespondensi antar KAP dan SEC untuk permasalahan ini : 20 Januari 2003: EP mengirim Audit Instructions kepada HS, yang mencakup ketentuan-ketentuan AU 543 atau PSA 543. HS memberi konfirmasi tertulis bahwa Audit Instructions telah diterima; 19 Februari 2003: HS mengirimkan laporan yang diminta EP sesuai Audit Instructions, termasuk dokumen yang menyatakan bahwa HS independen; 17 Maret 2003: EP mengirim surat ke HS akan melakukan reference terhadap audit yang dilakukan HS di Telkomsel. Laporan audit (Telkom) direncanakan keluar pada tanggal 25 Maret 2003; 24 Maret 2003: HS membalas surat ke EP 17 Maret 2003. HS menyatakan, tidak memberi izin kepada EP untuk menggunakan opininya atas LK 2002 (audited) Telkomsel untuk dijadikan acuan dalam LK 2002 (audited) Telkom; 25 Maret 2003: HS mengirimkan copy dari audit report Telkomsel untuk dikonsolidasikan ke Telkom. Dalam surat pengantarnya, HS menyatakan, “At the date of this letter, we fully stand behind our opinion as far as they relate to the financial statements of Telkomsel for the year ended December 31, 2002.” 31 Maret 2003: HS kembali mengingatkan EP bahwa HS tidak mengizinkan EP menggunakan opini atas LK 2002 (audited) Telkomsel dalam Form 20 F dari LK Telkom 2002. 9 April 2003: HS mengirim surat ke Preskom dan Ketua Komite Audit Telkomsel, menjelaskan keputusannya tidak memberi izin kepada EP menggunakan opini audit LK 2002 Telkomsel. Bahwa tindakan itu telah sesuai dengan AU 543. Pada 22 Mei 2003: SEC menyetujui dilakukannya credentialling review terhadap EP sehubungan pelaksanaan AU 543. Heinz & Associates LLP dari Denver, Colorado, AS ditunjuk sebagai pelaksana.. Kesimpulan Heinz & Associates LLP adalah: “We found the firm’s (KAP Eddy Pianto) conclusion in connection with this matter (US GAAS AU Section 543) to have merit and generally consistent with practices we have observed by other auditing firm.” 5 Juni 2003: SEC mengirim surat kepada Telkom. SEC menyatakan, EP tidak mendemonstrasikan kompetensinya dalam menerapkan US GAAS, dan karenanya SEC menolak laporan 20-F Telkom. 21 Juni 2003: EP mengirim surat ke SEC untuk menjelaskan mengenai interpretasi yang benar atas AU 543. 25 Juni 2003: EP melakukan teleconference dengan SEC, juga untuk menjelaskan mengenai interpretasi yang benar atas AU 543. Dalam diskusi itu, tidak ada sanggahan dari SEC mengenai interpretasi yang disampaikan Eddy Pianto. Berikut standar audit US 543 yang dimaksud : para 10 (c) (i), yang menjadi dasar penolakan HS memberi izin kepada EP. Aturan SEC itu berbunyi, (10) Whether or not the principal auditor decides to make reference to the audit of the other auditor, he should make inquiries.... These inquiries and other measures may include such as the following: (c) Ascertain through communication with the other
auditor: (i) that he is aware that the financial statements of the components he is auditing are to be included in the financial statements on which the principal auditor will report and that the other auditors report will be relied upon (and referred to) by the principal auditor. Adanya misleading PwC dan SEC dengan KAP Eddy Pianto dengan standar ini lantas memunculkan isu baru, bahwa ada konspirasi tingkat tinggi yang dimainkan PwC dan SEC agar menggagalkan audit yang dilakukan oleh KAP Eddy pianto, dimana isu tersebut didukung fakta bahwa Pejabat SEC yang menangani Telkom adalah Craig C. Olinger, Deputy Chief Accountant SEC. Dia adalah bekas anak buah Wayne Carnall, yang kini menjadi Senior Executive PwC. Apalagi setelah permasalahan ini terjadi PT Telkom menunjuk PwC agar melakukan review atas audit yang dilakukan oleh KAP Eddy Pianto Karena Sikap PwC ini, maka KAP Eddy Pianto melaporkan PwC ke IAI, dan dilakukan pengusutan atas masalah ini, dan fakta didapat berdasarkan keputusan KPPU bahwa PwC bersalah dan wajib membayar denda 20 Milyar rupiah ke kas negara. 3. Penyebab lainnya atas penolakan SEC terkait dengan permasalahan ini ialah adanya pencabutan dukungan oleh GT Internasional auditing firm di US terhadap kerja audit yang dilakukan oleh KAP Eddy pianto yang berafiliasi kepada PT GTI indonesia yang merupakan partner dari GT Internasional, yang mana GT Internasional menyatakan bahwa ia tidak akan bertanggung jawab atas hasil audit yang dilakukan oleh KAP Eddy Pianto. Karena pencabutan dukungan dari GT International itu pula, LK TLKM akhirnya ditolak oleh US SEC. Sebagaimana yang diketahui bahwa GT Internasional merupakan Auditing firm yang diakui di US, dan atas dasar partner dan afiliasi dengan GT Internasional itulah KAP Eddy Pianto boleh melakukan Audit atas LK Telkom 2002, maka apabila GT internasional mengatakan bahwa ia tidak akan bertanggung jawab atas hasil Audit KAP Eddy Pianto, maka dalam hal ini SEC mengambil tindakan bahwa KAP Eddy Pianto tidak boleh melakukan audit atas LK Telkom 2002. Analisis Terkait dengan kasus TLKM dan persaingan CPA Firms dalam proses audit LK, terdapat kelalaian manajemen dalam pemilihan CPA Firms. TLKM yang merupakan perusahaan besar dua listing membutuhkan treatment khusus terkait pelaporan keuangan mengingat informasi perusahaan sangat penting dalam proses perumusan kepentingan investor. TLKM (dual listing) memiliki persyaratan yang lebih rumit terkait penerbitan LK, diantaranya terkait dengan pemilihan CPA Firms. KAP Eddy Pianto memenangkan tender, dengan payung “GT” dan bermodal 15 staff audit. Setalah penyelidikan, terdapat “hubungan” antara Eddy Pianto dan Arief Arryman, ketua komite audit TLKM. Disamping TLKM sedang sibuk dengan lobi terkait tarif, hal seperti ini disinyalir terdapat penyalahan aturan open tender. Eddy Pianto seharusnya profesional, karena kompetensi masih kurang terkait pencabutan kemitraan dengan GT International. Selain kelalain manajemen dalam pemilihan CPA Firms, terdapat pula penyelewengan penerapan kebijakan akuntansi dan audit. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan hasil audit EP dan HS berkisar antara 4% - 20% dengan empat hal pokok, yaitu:
1. Biaya untuk penghargaan kepada karyawan berdasarkan lama masa kerja sebagai pencadangan. Pada masa-masa sebelumnya, laporan keuangan Telkom tidak pernah memasukkan biaya untuk penghargaan karyawan berdasarkan lama masa kerja tersebut sebagai pencadangan. Namun, auditor dari kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) yang melakukan audit ulang laporan keuangan tahun 2002 tersebut, memasukkannya sebagai pencadangan. 2. Biaya perawatan kesehatan karyawan berdasarkan asumsi. Dalam hal biaya ini, telah dibuat kecenderungan biaya sejak dari tahun 2000, 2001, dan 2002. Kecenderungan tersebut dibuat berdasarkan asumsi-asumsi sehingga ketika auditor menggunakan asumsi berbeda, harus dilakukan penyesuaian. 3. Pajak yang ditangguhkan. Sebelumnya, Telkom telah melakukan transaksi-transaksi material seperti kepemilikan silang dengan Indosat dan penjualan Telkomsel. Karena waktu audit sebelumnya transaksi tersebut masih berlangsung dan belum selesai, oleh kantor akuntan publik Eddy Pianto kewajiban pajak tersebut belum dimasukkan dalam laporan keuangan yang dibuat, dan ditangguhkan menjadi masuk kewajiban tahun berikutnya. Ketika audit ulang dilakukan PwC, transaksi material itu sudah selesai sehingga pajak yang tadinya ditangguhkan tersebut dimasukkan dalam laporan keuangan 2002. 4. Transaksi pembelian kembali seluruh kontrak dari beberapa mitra kerja sama operasi (KSO) Pada tahun 2002, Telkom tengah menyelesaikan pembelian PT Pramindo Ikat Nusantara yang mengelola Divisi Regional I Sumatera dan PT Aria West International yang mengelola Divisi Regional III Jawa Barat dan Banten. Terdapat juga permasalahan pada kompetensi atas CPA Firm. Kompetisi antar CPA Firms yang ketat menyebabkan munculnya sikap “ambisius” dalam CPA Firms dalam memenangkan tender. Lobbying terhadap client terkait cost yang ditawarkan EP kepada TLKM merupakan pelanggaran integritas auditor. Selain itu, quality control yang sulit dilakukan oleh GTI terhadap EP menyebabkan pencabutan kemitraan pada awal tahun 2003. Terkait pelaporan keuangan, LK TLKM tidak cukup reliable karena kualitas CPA Firms yang kurang settle. Dampaknya, penerbitan laporan keuangan tersendat dan kontan menyebabkan saham TLKM di bursa turun. Penalti dari Bapepam LK kepada EP berupa larangan audit perusahaan di lantai bursa. Namun, dari sisi persaingan usaha. Terdapat indikasi monopoli usaha dari HS dengan konspirasi hubungan Deputy Chief Accountant SEC dan Senior Chief Executive PwC. HS mendapat penalti KPPU berupa denda 20 Miliar Rupiah. Dalam kasus TLKM terkait proses pelaporan keuangan, terdapat beberapa langkah yang perlu diambil sebagai preventive act. Diantaranya # Pengkajian menyeluruh oleh manajemen TLKM dalam menciptakan proses pelaporan keuangan yang sehat # Upaya complience terhadap aturan akuntansi # Integritas yang harus diterapkan oleh EP dalam proses penilaian client # Etos Persaingan usaha yang sehat oleh HS
Masalah Korupsi di Indonesia terkait Good Public Governance : Kasus Jaksa Urip dan PT Agung Podomoro Land, Tbk 2.1 World Bank Institute, New empirical frontiers in fighting corruption and improving governance – a few selected issues, February 2001 2.1.1 What’s The Issue? Paper yang disampaikan oleh Daniel Kaufmann di Brussels pada 30-31 Januari 2011 untuk OSCE Economic Forum ini secara umum mengusung tiga isu utama, yakni: a.Apakah korupsi, apa penyebabnya dan apa konsekuensinya (dari korupsi tersebut)? b. Apakah tata kelola, dan kapan (tata kelola) dinyatakan ‘baik’? c.Apakah strategi untuk menurunkan tingkat korupsi dan menaikkan tata kelola? Sebelum menjelaskan lebih lanjut di papernya, Kaufmann mendefinisikan keyword pokok dari papernya, yakni: a. Korupsi adalah penyalahgunaan hak milik publik untuk keuntungan pribadi. b. Tata kelola mencakup proses memilih, memonitor, dan mengganti pemerintah. Tata kelola juga mencakup kemampuan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan, dengan asumsi terdapat kepatuhan dari para rakyatnya. Dengan melihat definisi diatas, maka Kaufmann memecah konsep government menjadi enam aspek, dan mengembangkan ukuran yang berlaku secara internasional untuk masing-masing aspeknya. Aspek-aspek tersebut adalah: a. Suara dan akuntabilitas; mencakup kebebasan penduduk sipil dan kemerdekaan pers b. Efektivitas pemerintah; mencakup kualitas dari pembuatan kebijakan dan penyampaian jasa untuk publik c. Kualitas dari regulasi; d. Peraturan hukum; mencakup perlindungan terhadap hak intelektual dan peradilan yang independen e. Kontrol terhadap korupsi. Bisa dilihat, korupsi merupakan satu dari enam komponen penting dalam pemerintahan. Namun, efek yang mampu ditimbulkan sangat besar sehingga pemerintah merasa perlu mengambil tindakan serius untuk setiap dugaan korupsi.
2.1.2 The evidence Berdasarkan bukti yang telah didapatkan World Bank, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara yang memiliki pemerintahan yang transparan dan baik dapat diasosiasikan dengan tingginya pertumbuhan pendapatan dan GDP. Hal ini dapat dilihat dari negara industri seperti Polandia, Slovenia, dan Bostwana – serta bukti-bukti sejak 20 tahun lalu dari Singapura dan Spanyol. Terlebih lagi, bukti tersebut menantang argumen yang menyatakan bahwa hanya negara yang memiliki tingkat perekonomian tinggi saja yang mampu menerapkan tata kelola yang baik. Sebaliknya, bukti penelitian tersebut menyarankan bahwa tata kelola yang baiklah yang dapat meningkatkan perekonomian suatu negara. Sebagai perumpamaan, jika Rusia mampu mengontrol tindak korupsinya seperti Republik Czech dan Indonesia mampu mengontrol tindak korupsinya seperti Korea, peningkatan perekonomian yang mungkin terjadi adalah kenaikan GDP per kapita sebesar 3 kali lipat, penurunan tingkat kematian bayi sebesar 3 kali lipat, dan penurunan angka buta huruf sebesar 20% dalam jangka panjang.
Korupsi dan tata kelola yang tidak baik sangat merugikan bagi warga negara miskin – karena mereka hanya menerima sedikit jasa sosial seperti kesehatan dan pendidikan, dan memiliki sumber daya yang minim untuk membayar sogok dan denda yang seringkali diminta oleh berbagai pihak. Rezim korupsi kerap menggagalkan kontrak untuk membuat klinik dan sekolah di area kumuh. Tentu saja hal ini membuat akses ke barang-barang publik hanya tersedia di kota-kota besar. Di Ekuador, rakyat miskin harus membayar 3 kali lipat dari penduduk normal untuk mendapatkan akses barang-barang publik – karena mereka harus menyogok untuk mendapatkan barang tersebut. 2.1.3 Who Benefits From The Bribery? Bukti-bukti terkini menunjukkan bahwa perusahaan yang melangsungkan praktek sogok menyogok (misal: dalam memperoleh lisensi) sebenarnya tidak mendapat keuntungan sama sekali. Demikian juga untuk komunitas bisnis dan masyarakat secara umum. Sebaliknya, biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan bisnis yang sarat korupsi sangatlah besar. Sebuah survei menunjukkan bahwa perusahaan yang mengadopsi sistem perekonomian transisi (dari komunis ke nonkomunis) yang memiliki tingkat korupsi cukup tinggi memiiki tingkat pertumbuhan dan investasi yang lebih rendah, dan keamanan dari hak intelektualnya pun tidak baik. Sebaliknya, perusahaan yang mengadopsi sistem pemerintahan hukum parlementer, dekrit presiden, dan pengaruh di bank sentral mendapat keuntungan di jangka pendek; walau korupsi yang mengakar itu telah menciptakan permasalahan yang merusak untuk perkembangan perusahaan itu sendiri. 2.1.4 Causes of Corruption Studi empiris terkait penyebab korupsi masih tergolong langka, namun buktibukti mengarah bahwa penyebabnya adalah gejala dari lemahnya kontrol institusional. Korupsi timbul karena rendah dan lemahnya hak-hak politik, termasuk pemilihan umum yang demokratis, adanya pihak legislatif, partai oposisi, dan lemahnya kebebasan warga sipil – yang juga mencakup hak untuk bersuara, media yang independen, dan kebebasan berbicara. Peningkatan bukti-bukti menghubungkan antara pemberdayaan masyarakat sipil dengan strategi efektif dalam mengetahui penyebab korupsi. Bukti survei perusahaan dari ekonomi transisi menyarankan bahwa penangkapan oleh polisi dan jerat hukum untuk perusahaan tersebut terasosiasi dengan tidak adanya kemerdekaan penuh untuk rakyat sipil. Bukti empiris lain (yang berlaku di seluruh dunia) menunjukkan bahwa penyertaan perempuan – baik itu dalam jumlah di parlemen maupun hak-hak sosial – berjalan searah dengan semakin kuatnya penduduk sipil. Devolusi, seperti desentralisasi fiskal, juga mampu membantu dalam mengontrol korupsi. Korupsi banyak terjadi di negara yang memiliki tingkat kepemilikan tinggi di ekonomi, peraturan bisnis dan pajak yang berlebihan, pengaplikasian peraturan yang sewenang-wenang, dan hambatan perdagangan. Ekonomi yang dimonopolisasi juga memiliki kecenderungan terjadinya korupsi. Tenaga sipil yang professional, baik dalam pelatihan, perekrutan, dan promosi, juga kerap diasosiasikan dengan tingkat korupsi yang lebih rendah. Berbanding terbalik dengan kepercayaan konvensional, bukti yang ada justru ambigu bahwa gaji pegawai sipil yang rendah mengakibatkan korupsi. Karena, kenaikan tingkat gaji pun tidak menyebabkan penurunan yang signifikan dalam korupsi.
2.1.5 The Need For A Multifaceted Anticorruption Strategy Which Tackles The Fundamental Incentives and Prevention Dengan banyaknya faktor penentu tata kelola yang baik dan korupsi, sesungguhnya program apa sajakah yang dapat berdampak positif? Terdapat beberapa program, yakni: a. Menerapkan mekanisme check and balances dalam masyarakat b. Mempromosikan suara dan partisipasi masyarakat, c. Mengurangi insentif bagi elit perusahaan utnuk bergabung dalam state capture, d. Menegakkan hukum. 2.1.6 Details and Priorities In A Multifaceted Strategy Will Vary From Country To Country a. Entry And Competition Strategi yang harus diterapkan adalah meningkatkan kompetisi. Dalam negara transisi dan berkembang, sumber korupsi adalah terkonsentrasinya ekonomi dalam monopoli yang mencakup pengaruh politik dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadi. Hal ini banyak dijumpai di negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, seperti gas alam, minyak, dan alumunium. Demonopolisasi, deregulasi, fasilitas untuk masuk dan keluar (melalui likuidasi asset dan prosedur kebangkrutan yang efektif) dan promosi kompetisi menjadi hal yang sangat penting untuk mengurangi korupsi. b. Political Leadership Accountability Beberapa negara dapat melakukan hal berikut untuk meningkatkan akuntabilitas politiknya: a. Memberitahukan ke publik mengenai jumlah suara di parlemen b. Mencabut imunitas parlemen c. Memberitahukan ke publik mengenai sumber dan jumlah keuangan partai politik d. Memberitahukan ke publik mengenai pendapatan dan aset dari senior public officials dan pihak-pihak yang terkait e. Peraturan yang bertentangan dengan konflik kepentingan public officials f. Proteksi untuk whistleblower c. Professionalization Of The Civil Service Reformasi di bidang ini mencakup pembentukan pegawai sipil yang independen, professional, dan memperkenalkan sistem performa manajemen yang menghubungkan gaji dan promosi dengan performa. Selain itu, keuntungan non-tunai dan hal-hal sejenis sebaiknya disimplifikasi dan dibuat secara transparan. d. The Budget, Public Expenditures, And Procurement Untuk merealisasikan hal ini, diperlukan anggaran yang komprehensif, proses penganggaran yang telah dikonsultasikan, tranparansi dalam penggunaan anggaran negara, usaha mendapat pengakuan publik yang kompetitif, dan audit eksternal yang independen. e. The Power of Empirics: In-depth Governance Diagnostic Surveys Dalam berbagai negara, survei dapat membantu untuk memberdayakan masyarakat sipil dalam menyediakan diagnostik yang bermanfaat terhadap pemerintah. Instrumen survei
dapat mengumpulkan data perilaku – bahkan di negara yang memiliki pemerintahan yang disfungsi sekalipun. f. The Importance of Civil Liberties and Voice Bukti dari lebih 1500 finance project yang diadakan World Bank menunjukkan bahwa kebebasan warga sipil dan partisipasi rakyat merupakan hal penting untuk development outcomes. Bergantung dengan ukuran kebebasan masyarakat sipil yang digunakan, jika suatu negara meningkatkan kebebasan warga sipil dari ‘buruk’ menjadi ‘sangat baik’, maka economic rate of return dari project tersebut akan meningkat sebesar 22.5% Tata kelola lebih dari sekedar memerangi korupsi. Meningkatkan tata kelola perlu dilihat sebagai proses integrasi tiga komponen vital, yakni: a. Pengetahuan, dengan data yang teliti dan analisis empiris, termasuk in-country diagnostic dan diseminasi, dengan menggunakan teknologi yang terkini b. Kepemimpinan dalam politik, masyarakat sipil, dan arena internasional, c. Aksi kolektif melalui partisipasi sistematis dan pendekatan concensus-building dengan stakeholder kunci di masyarakat. Tidak semua negara bisa mengaplikasikan ini, namun untuk meningkatkan tata kelola, hal ini bisa menjadi jalan yang dapat diterapkan. 2.2 Transparency International, Coruption Perception Index Transparancy International (TI) merupakan sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang banyak berusaha untuk mendorong pemberantasan korupsi, membawa orang secara bersama-sama dalam koalisi yang kuat di seluruh dunia untuk mengakhiri dampak buruk dari korupsi pada pria, wanita, dan anak-anak di seluruh dunia. TI juga merupakan sebuah jaringan global NGO anti korupsi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Misi TI adalah untuk menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas dari korupsi. TI juga memiliki jaringan global termasuk lebih dari 90 perwakilan dan badan lokal didirikan. Perwakilan dan badan lokal ini bertujuan untuk melawan kegiatan-kegiatan korupsi di area nasional di dalam lingkup mereka dengan berbagai cara. Perwakilan/badan ini secara bersama-sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, bisnis dan media untuk mempromosikan transparansi dalam pemilihan, administrasi publik, dalam pengadaan, dan dalam bisnis. Disisi lain, Transparency International Indonesia (TII) merupakan salah satu chapter Transparency International. Bersama lebih dari 90 chapter lainnya, TII berjuang membangun dunia yang bersih dari praktik dan dampak korupsi di seluruh dunia. TII memadukan kerja-kerja think-tank dan gerakan sosial. Sebagai think-tank, TII melakukan review kebijakan, mendorong reformasi lembaga penegak hukum, dan secara konsisten melakukan pengukuran korupsi melalui Indeks Persepsi Korupsi, Crinis project, dan berbagai publikasi riset lainnya. Di samping itu TII mengembangkan Pakta Integritas sebagai sistem pencegahan korupsi di birokrasi pemerintah. 2.2.1 Corruption Perception Index Salah satu produk dari Transparency International adalah Corruption Perceptions Index. Corruption Perception Index (CPI) adalah sebuah indeks untuk mengukur tingkat/level korupsi yang dirasakan (perceived) di sektor publik (pemerintahan). Pengukuran CPI dilakukan oleh sebuah organisasi yang bernama CPI memiliki skor 10
(paling bersih dari korupsi) sampai 0 (paling korup). CPI diukur untuk setiap negara dan dilakukan perangkingan dari yang paling bersih sampai yang paling korup. CPI diperoleh dengan melakukan survey opini dan penilaian bisnis yang berbeda oleh institusi yang bereputasi dan independen. Survey dan penilaian ini berisi pertanyaan tentang peyuapan pejabat pemerintah, kicback dalam pengadaan barang publik, penggelapan dana publik, dan pertanyaan terkait kekuatan dan kelemahan usaha sektor publik dalam mengatasi korupsi. tingkat persepsi korupsi di Indonesia sejak tahun 2001, kemudian 2010, dan terakhir 2011 mengalami peningkatan kearah yang lebih baik. Namun meskipun CPI kian membaik, masalah korupsi di Indonesia ini masih cukup serius. Tingkat Korupsi di Indonesia sangat buruk, meskipun lebih baik daripada Vietnam dan Filipina. Indonesia harus mencontoh keberhasilan pemerintah Singapura dalam menangani Korupsi karena CPI Singapura sangat tinggi. Tingginya level korupsi di Indonesia diakibatkan lemahnya penegakan hukum dan hukuman kepada para koruptor sangatlah ringan bahkan sering mendapatkan remisi. Selain itu, para pejabat pemerintah yang melakukan korupsi juga dapat dengan mudahnya menghilangkan jejak ke luar negeri. Kasus penyuapan yang sering terjadi di Indonesia juga membuat skor CPI Indonesia sangat tinggi. Berikut ini adalah trend CPI Indonesia dari tahun 2001 s.d 2011 yang dibilang sangat buruk 2.3. KNKG, Pedoman Umum Good Public Governance Good Public Governance (GPG) merupakan sistem atau aturan perilaku terkait dengan pengelolaan kewenangan oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung-jawab dan akuntabel. GPG pada dasarnya mengatur pola hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat dan antara penyelenggara negara dan lembaga negara serta antar lembaga negara. Penerapaan GPG mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perwujudan Good Corporate Governance oleh dunia usaha dan penyelenggara Negara. Sinergi diantara diharapkan keduanya dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, yang pada gilirannya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan GPG terutama sangat penting melalui penegakan kepatuhan terhadap hukum sehingga dapat dicegah terjadinya praktik suap, korupsi dan sejenisnya. GPG wajib dilaksanakan oleh para penyelenggara negara di setiap lembaga negara, baik di ranah legislatif, eksekutif maupun yudikatif, bahkan juga di lembagalembaga non struktural. Untuk menciptakan sistem birokrasi yang baik, pemerintah telah mengambil langkah-langkah agar good governance diterapkan dilingkungan pemerintahan, khususnya dalam penyelenggarakan pelayanan publik. Upaya pemerintah tersebut tentunya akan memperoleh hasil yang maksimal apabila didukung pula oleh penerapan good governance di lembaga-lembaga legislatif dan pengawasan serta yudikatif. Dalam konteks pemberantasan korupsi, good governance sering diartikan sebagai penyelenggaraan negara yang bersih dari praktik korupsi. Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar penyelenggaraan itu sendiri, sehingga ada pembagian peran dan kewajiban yang seimbang dalam arti luas, termasuk peran partai politik, masyarakat sipil, dan para pelaku usaha. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antara ketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya “check and balance”, tetapi juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
2.4.4 Proses Penanganan Pengaduan Pengaduan Masyarakat diterima di KPK melalui berbagai cara, yaitu dengan menerima pelapor langsung, melalui Surat, Faks, e-Mail, Telepon, SMS atau secara online melalui aplikasi KPK Whistleblower's Sistem di website KPK. 1.1 Kasus Tindak Pidana Korupsi Jaksa Urip
Pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi berbagai tantangan baik secara internal maupun eksternal. Diungkapkannya berbagai kasus Tipikor tidak serta merta mengemukakan semua kasus yang masih belum terungkap, ibarat fenomena gunung es yang baru terapungkan sebagian kecil atas puncaknya. Salah satu kasus yang sempat memperoleh perhatian publik adalah kasus Tipikor yang melibatkan Jaksa Urip Tri Gunawan. Jaksa Urip Tri Gunawan merupakan satu di antara 35 jaksa yang ditunjuk sebagai anggota Tim Jaksa Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan kemudian diangkat sebagai Ketua Tim. Tim Jaksa dibentuk untuk melaksanakan penyelidikan atas dugaan tindak pidana atas pengaliran dana BLBI senilai Rp 28 trilliun bagi Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki pengusaha Sjamsul Nursalim. Sebagaimana kasus BLBI di institusi perbankan lain, tindak pidana yang diselidiki berkaitan dengan dugaan penyelewengan dana BLBI oleh para taipan perbankan. Pengungkapan Tipikor yang dilakukan Jaksa Urip bermula ketika KPK melaksanakan penggrebekan di kediaman Sjamsul Nursalim, di Jalan Hang Lekir RT 06/ 08, Kavling WG, Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran, Jakarta di tanggal 2 Maret 2008. Saat itu, Jaksa Urip diketemukan tengah mengadakan pertemuan dengan Artalyta Suryani, disertai oleh keberadaan uang tunai senilai 660.000 USD. Keseluruhan uang kemudian disita beserta Toyota Kijang bernomor polisi DK 1832 CH untuk dibawa bersama kedua orang tersebut menuju Kantor KPK. Malam hari di tanggal tersebut, Jaksa Urip ditetapkan sebagai tersangka. Paska penetapan, Jaksa Urip masih berkilah bahwa uang tersebut diperuntukkan bagi pembayaran bisnis permata yang dijalaninya. Berdasarkan hasil penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan, dibuktikan bahwa uang tunai yang diketemukan diberikan sebagai bentuk suap atas jasa Jaksa Urip menghentikan penyelidikan Kasus BLBI di BDNI. Jasa yang diberikan Jaksa Urip sejak tanggal Februari 2007 meliputi melaksanakan pendekatan kepada Jaksa Hendro Dewanto dan Pemeriksa Badan pemeriksa Keuangan (BPK) bernama Adi. Sebagai hasil, temuan atas penyelewengan dana BLBI senilai Rp 4,758 trilliun tidak diungkapkan dalam hasil penyelidikan. Kasus ini melibatkan pula pejabat teras di lingkungan Kejaksaan Agung seperti Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus (Pidsus) Kemas Yahya Rahman. JAM Pidsus Kemas merupakan penentu akhir atas penghentian penyelidikan kepada Jaksa Urip, sehingga penyelidikan resmi dihentikan per tanggal 29 Februari 2008. Selama persidangan, Jaksa Urip tetap membantah dakwaan yang dikenakan terhadapnya, dibumbui penyangkalan Artalyta Suryani bahwa uang diperuntukkan bagi usaha perbengkelan. Bantahan tersebut menjadi tidak berarti di mata hakim tatkala KPK menyajikan rekaman hasil penyadapan ke muka persidangan, yang melibatkan pembicaraan antara Jaksa Urip, JAM Kemas, dan Artalyta Suryani. Seiring persidangan, diketemukan dugaan Tipikor lain berupa diterimanya uang senilai Rp 1 milliar dari Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glenn Yusuf, melalui Pengacara Reno Iskandarsyah. Penerimaan tersebut diperoleh Jaksa Urip
setelah melalui pemerasan dengan mengancam akan ditetapkannya Glenn Yusuf sebagai tersangka dalam Kasus BLBI selepas dilaksanakannya pemeriksaan sebanyak 8 kali sejak bulan November 2007 hingga Januari 2008. Keseluruhan uang tersebut diberikan selama dua kesempatan, masing – masing senilai Rp 110.000.000,00 di tanggal 31 Januari 2008 bertempat di Gedung Bundar Kejaksaan Agung dan senilai 90.000 USD di tanggal 13 Februari 2008 bertempat di Delta Massage and Spa Hotel Grand Wijaya. Jaksa Urip terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan Tipikor berupa penerimaan hadiah berkaitan dengan jabatan untuk melaksanakan hal yang bertentangan dengan kewajiban, serta tindakan pemerasan sesuai ketentuan Pasal 12 Huruf b dan e subsider Pasal 5 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Di samping itu, diketahui pula bahwa Jaksa Urip membocorkan proses penyelidikan dan memberitahukan cara penghindaran pemanggilan pemeriksaan bagi Sjamsul Nursalim melalui Artalyta Suryani. Di akhir pemeriksaan di Pengadilan Tipikor PN Jakarta, per tanggal 4 September 2008 Jaksa Urip dinyatakan bersalah dan dipidana penjara selama 20 tahun dan denda Rp 500.000.000,00 subsider 1 tahun kurungan. Vonis tersebut notabene lebih berat dari tuntutan JPU selama 15 tahun penjara dan denda Rp 250.000.000,00 subsider 6 bulan kurungan. Penguatan atas Putusan Tingkat Pertama diberikan setelah dikeluarkannya Putusan Banding per tanggal 27 November 2008 dan Putusan Kasasi per bulan Maret 2009. Eksekusi kemudian dilaksanakan per bulan Mei 2009 yang memindahkan penahanan Jaksa Urip dari Rumah Tahanan (Rutan) brimob Kelapa Dua ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Berlainan dengan pidana yang diterima Jaksa Urip, JAM Pidsus Kemas kemudian hanya dikenai sanksi berupa penghentian jabatan berdasarkan PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin PNS. 4.1.3 Kaitan kasus Jaksa Urip dengan pendoman Good Public Governance (KNKG) dan Undang Undang terkait tindak Pidana Korupsi Jika kasus ini ditelaah dengan pedoman Umum GPG, kasus ini memiliki keterkaitan dengan implementasi konsep GPG dan Undang-undang terkait tindak pidana korupsi yaitu pada beberapa aspek, yaitu aspek kewajiban negara yaitu aspek kepengawasan internal lembaga yudikatif, gratifikasi, dan aspek kerahasiaan informasi 1. Aktualisasi GPG dalam Penyelenggaraan Negara Sesuai dengan GPG, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pelayanan kepada semua pemangku kepentingan dengan memperhatikan keberlanjutan negara. Antara negara dengan pemangku kepentingan harus terjalin hubungan yang didasarkan pada asas good public governance dan sesuai dengan peraaturan perundangundangan yang berlaku. Begitu juga dengan jaksa yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang merupakan warga negara dan juga pejabat publik. Mengingat jaksa berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka penetapan gaji pokok jaksa secara rerata tidak berbeda secara signifikan dengan PNS di lingkungan kementerian atau lembaga lain. Demikian pula, atas tunjangan jabatan struktural berlaku nilai yang setara berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tunjangan Jabatan Struktural.
Jika dilihat dari tunjangan diatas, terlihat tidak begitu signifikan antara tunjangan jaksa dan hakim. Perbedaan muncul saat hakim ditugaskan ditingkat banding. Mereka memperolehkenaikan tunjangan fungsional sedangkan jaksa yang dtingkatan yang sederajat tidak memperoleh kenaikan tunjangan jabatan. Hal ini menimbulkan kecemburuan yang menyebabkan kemungkinan terjadinya tipikor. Jaksa Urip pernah menduduki jabatan Kepala Kejaksaan Negeri Klungkung, Bali. Hal ini memungkinkan dia untuk mengetahui adanya ketidaksempurnaan dalam struktur remunerasi sebagaimana yang telah ditampilkan diatas sehingga menyebabkan adanya kecemburuan dan rasa ketidak adilan pada sistem tersebut 2. Penyelenggaran Fungsi Yudikatif Berdasarkan fungsinya, penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh tiga ranah (domain) yaitu legislatif dan pengawasan, eksekutif serta yudikatif. Dalam perkembangannya, disamping ketiga fungsi tersebut terdapat lembaga-lembaga non struktural yang dapat pula dikategorikan sebagai -bagian dari penyelenggaraan Negara. Untuk jaksa urip sendiri termasuk dalam ranah yudikatif. Ranah Yudikatif terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) beserta-Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Agama serta Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejaksaan Agung tidak dibebasakan dari ketentuan umum yang mewajibkan institusi penyelenggara negara untuk memiliki Satuan Pengawas Internal (SPI) yang diakomodasi untuk dapat berperan secara efektif. Bedasarkan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan menurut Perpres Nomor 38 Tahun 2010, Jaksa Agung dibantu oleh seorang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kepengawasan internal Kejaksaan Agung. Secara rinci, ruang lingkup tugas Jamwas meliputi perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan pengendalian pengawasan internal Kejaksaan Agung melalui aktivitas audit, reviu, evaluasi, atau pemantauan
Begitu juga dengan Jaksa Urip. Saat melakukan tugas sebagai Ketua tim penyelidik kasus BLBI, Jaksa Urip diawasi oleh Inspektur Muda Intelijen dan Tindak Pidana Khusus di satu di antara kelima Inspektorat. Meski demikian, kelemahan secara struktural terletak pada pembagian kewenangan yang tidak tegas antara lima Inspektorat yang berada di bawah Jamwas. Hal ini mengingat bahwa kegiatan di Kejaksaan Agung, termasuk kinerja Tim Penyelidikan Kasus BLBI dapat berada di bawah kepengawasan Inspektur Muda Intelijen dan Tindak Pidana Khusus yang berada di Inspektorat I, II, III, IV ataupun V. Kemungkinan yang terburuk adalah saat tidak satupun Inspektorat merencanakan kepengawasan kinerja Tim Penyelidikan Kasus BLBI. Ketika melihat hal ini, efektivitas dari pengendalian sendiri terlihat belum efektif. Fungsi control dari pihak pengawas belum efektif. Jaksa Urip juga melanggar asas akuntabilitas dan budaya hukum . Yaitu menerima pemberian dari pihak lain dalam bentuk uang dan melaksanakan fungsi dan tugasnya secara tidak professional yang terkena praktek korupsi, kolusi,dan nepotisme. Disini Jaksa Urip menerima uang sebesar lebih kurang 660.000 USD dan 1 milyar dari beberapa pihak yaitu artalyta dan glenn. 3. Gratifikasi Sesuai dengan etika penyelenggaraan negara, setiap penyelenggara negara tidak diperkenankan meminta atau menerima sesuatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk apapun apabila berpotensi menimbulkan benturan kepentingan, termasuk atas perihal yang diperoleh sebagai ucapan terima kasih atas jasa penyelenggaraan negara. Setiap penerimaan oleh penyelenggara negara wajib dilaporkan kepada KPK untuk ditentukan status kepemilikiannnya, apakah sebagai milik pribadi atau dirampas oleh negara, sesuai ketentuan UU KPK. Jaksa Urip seharusnya melakukan pelaporan atas pemberian uang yang telah diberikan oleh Reno Iskandarsyah (Pengacara Glen) dan Artalyta. Karena sesuai aturan UU KPK setiap pemberian ke penyelenggara negara wajib dilaporkan ke KPK. Dan juga Jaksa Urip juga memiliki kewajiban untuk melaporkan kekayaannya melalui LHKPN yang akan diperiksa oleh KPKPN. Dan atas adanya suap tersebut Jaksa urip terbukti telah melakukan tipikor sesuai dengan Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001. Terkena sanksi pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. 4. Kerahasiaan Informasi Dalam GPG, penyelenggara negara harus memiliki nilai Professional, Mengutamakan Kepentingan Masyarakat dan Negara, serta Berwawasan Ke Depan. Salah satu implementasinya yaitu tidak diperkenankan menyalahgunakan informasi yang ada untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pada kasus Jaksa Urip, Jaksa Urip membeberkan rencana penyelidikan kepada Artalyta Suryani yang memungkinkan disusunnya langkah penyikapan pendahuluan. UU KIP menggolongkan informasi yang dapat menghambat penegakan hukum sebagai Informasi yang Dikecualikan. Oleh sebab itu, tidak seharusnya Jaksa Urip mengemukakan informasi tersebut kepada pihak ketiga, apalagi ketika dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan bagi diri sendiri. UU KIP menetapkan bahwa penyampaian Informasi yang dikecualikan diancam pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp 10.000.000,00. Kasus Jaksa Urip merupakan contoh pelanggaran yang melibatkan sendiri penegak hukum sebagai sebuah institusi yang seharusnya mengadili para koruptor. Kepercayaan publik terhadap institusi penegak hokum pun menjadi menurun sehingga publik pun kurang mempunyai keyakinan penuh lagi terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia pada saat itu.
Etika Bisnis dan Profesi KNKG (2006) Bab III : Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku KNKG Bab III tahun 2006 ini buat bertujuan untuk menjadi pedoman bagi setiap perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris, direksi dan seluruh karyawan dalam melakukan kegiatan usaha perusahaan. Dalam KNKG Bab III tahun 2006 terdiri atas dua poin penting pedoman etika bisnis dan perilaku bagi perusahaan yaitu prinsip dasar, dan pedoman pokok pelaksanaan. Prinsip Dasar Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. Prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah: 1. Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya. 2. Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan. 3. Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan. Pedoman Pokok Pelaksanaan 1. Nilai-Nilai Perusahaan 1. Nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu, sebelum merumuskan nilai-nilai perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi perusahaan. 2. Walaupun nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta karakter dan letak geografis dari masingmasing perusahaan. 3. Nilai-nilai perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya, adil dan jujur. 2. Etika Bisnis 1. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan. 2. Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan. 3. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku.
Beberapa dampak buruk dari kegagalan etika dalam komunitas bisnis mengakibatkan :
Hancurnya beberapa perusahaan terbesar di dunia (WorldCom, Adelphia, Tyco, Xerox, dan lainlain) serta hilangnya miliaran dolar kekayaan pemegang saham. Pemutusan hubungan kerja massal tanpa adanya peringatan atau pesangon. Hilangnya kepercayaan terhadap laporan keuangan dan sistem pasar modal. Merusak reputasi dari orang-orang yang bekerja dengan integritas dan kejujuran di pasar modal.
Masalah ini menjadi lebih berbahaya karena masyarakat secara keseluruhan di berbagai sektor dan secara global mengalami kehancuran etika. Adapun ciri-ciri umum kegagalan ini adalah adanya perilaku tidak etis (unethical behavior) dan kurangnya sifat integritas.
How did we get in this mess? Beberapa factor yang mungkin menjadi penyebab krisis etika : kemunduran agama, dampak dari kerusakan struktur tradisional keluarga, kemerosotan system pendidikan, pengaruh buruk dari industri hiburan, dan lain-lain. Dibalik itu semua yang lebih penting adalah bagaimana menghadapi krisis ini, salah satu cara adalah jika setiap sektor dapat fokus pada masalahnya masing-masing. Komunitas akademis memiliki peranan penting dalam membangun kembali profesi, dalam hal ini akuntan dan audit, karena mereka berperan tidak hanya sebagai instruktur tapi juga peneliti. Sebagai instruktur akademisi membentuk sumber daya manusia yang baru memasuki profesi. Sebagai peneliti, akademisi menyumbangkan analisis dan bukti empiris mengenai suatu permasalahan dan sumbangan ini diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat. Improving ethics by influencing individuals Untuk memperbaiki masalah mengenai etika pertama kita harus memahami bahwa tidak ada jalan pintas untuk menyelesaikannya, kemudian kita harus melihat peranan tiap institusi (pemerintah, pembuat kebijakan, perusahaan, dewan komisaris dan direksi, audit firms, dan universitas) dalam menyelesaikan masalah etika. Semua institusi ini memiliki tanggung jawab yang sama, yakni mempengaruhi individu baik di dalam institusi tersebut maupun secara luas di masyarakat. Bagi para pembuat kebijakan, dan pemerintah melakukan usaha dan yang paling trkenal mengeluarkan Sarbanes Oxley Act, meskipun beberapa aspeknya seperti pembatasan lingkup jasa yang ditawarkan kurang tepat sasaran. Secara garis besar institusi ini dengan menggunakan perangkatperangkatnya juga berperan dalam melakukan penegakan peraturan dan menindaklanjutinya, dalam hal inimenimbulkan efek jera dan menjadi contoh agar pelanggaran di satu perusahaan tidak diikuti oleh perusahaan lainnya. Tindakan yang diambil para reformis untuk menambah partisipasi investor juga memiliki kekurangan karena metode yang mereka anggap sebagai praktik terbaik masih belum teruji. Kepemimpinan dan perilaku pribadi manajemen sangat penting dalam membangun budaya perusahaan yang etis, selain itu perusahaan juga dapat memberikan pendidikan etika yang esensial dilengkapi dengan metode penilaian yang wajib diikuti oleh pegawai. Selain itu juga perusahaan membuat akses untuk menampung informasi mengenai potensi pelanggaran etika ataupun pelanggaran hukum baik melalui sistem perusahaan sendiri atau memakai jasa pihak ketiga. Selanjutnya peranan audit firm dalam membangun perilaku etis di lingkungan profesi. Dalam aspek ini para petinggi memiliki tanggung jawab untuk menetapkan pola perilaku dan menjadi contoh teladan. Struktur organisasi, evaluasi, promosi, dan kompensasi harus didesain untuk mendukung dan mendorong kinerja yang kompeten dan etis baik oleh partner maupun professional yang bekerja di audit firm. Struktur diharapkan dapat membantu mengurangi bias dan hilangnya objektivitas karena hubungan
dekat antara klien dengan audit firm. Para professional juga harus berani merepresentasikan kepentingan public meskipun terkadang harus menanggung akibatnya secara individu. Mengenai pengajaran etika di universitas, meskipun lebih baik untuk diajarkan dari usia dini dan ada banyak kontroversi mengenai etika yang bagaimana yang benar untuk diajarkan namun universitas tetap bisa mengajarkan nilai-nilai dasar seperti kejujuran, sikap hormat, taat hukum, dan sebagainya. Adapun tiga cara pengajaran etika : membuka kelas khusus, mengintegrasikannya ke dalam materi subjek utama pembelajaran, atau menggabungkan kedua metode tersebut. Influencing others through leadership Intinya semua pemimpin dituntut untuk tidak hanya menetapkan corak organisasi dan menjadi contoh bagi bawahannya namun juga bertingkah sesuai dengan corak yang mereka tetapkan sendiri, tidak hanya menuntut bawahan untuk bersikap etis tapi juga mereka harus bersikap etis dalam menghadapi setiap masalah. Beberapa contoh masalah adalah berkeras menggunakan metode pencatatan yang benar meski dapat kehilangan klien, memecat pegawai yang memiliki kinerja tinggi namun memiliki sikap yang tidak sesuai dengan nilai perusahaan, juga mungkin harus menghadapi regulator yang membuat kebijakan yang salah. Keputusan yang etis dapat berdampak negatif, tetapi hal itu merupakan harga untuk integritas dan karakter.
PEMBAHASAN KASUS ENRON DAN WORLDCOM A. KASUS ENRON Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut, antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan.Kasus Enron mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001 dan terus menggelinding pada tahun 2002 berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global yang di tandai dengan menurunnya harga saham secara drastis berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking tujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan energi terbesar di AS jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar. Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku moral hazard, diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor, kasus memalukan ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat. Kronologis, fakta, data dan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan hancurnya Enron adalah sebagai berikut: 1.
2.
Board of Director (dewan direktur, direktur eksekutif dan direktur non eksekutif) membiarkan kegitan-kegitan bisnis tertentu mengandung unsur konflik kepentingan dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi berdasarkan informasi yang hanya bisa di akses oleh Pihak dalam perusahaan (insider trading), termasuk praktek akuntansi dan bisnis tidak sehat sebelum hal tersebut terungkap kepada publik. Enron merupakan salah satu perusahaan besar pertama yang melakukan outsourcing secara total atas fungsi internal audit perusahaan. a. Mantan Chief Audit Executif Enron (Kepala internal audit) semula adalah partner KAP Andersen yang di tunjuk sebagai akuntan publik perusahaan. b. Direktur keuangan Enron berasal dari KAP Andersen.
3.
4.
5.
6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
c. Sebagian besar staf akunting Enron berasal dari KAP Andersen. Pada awal tahun 2001 partner KAP Andersen melakukan evaluasi terhadap kemungkinan mempertahankan atau melepaskan Enron sebagai klien perusahaan, mengingat resiko yang sangat tinggi berkaitan dengan praktek akuntansi dan bisnis enron. Dari hasil evaluasi diputuskan untuk tetap mempertahankan Enron sebagai klien KAP Andersen. Salah seorang eksekutif Enron dilaporkan telah mempertanyakan praktek akunting perusahaan yang dinilai tidak sehat dan mengungkapkan kekhawatiran berkaitan dengan hal tersebut kepada CEO dan partner KAP Andersen pada pertengahan 2001. CEO Enron menugaskan penasehat hukum perusahaan untuk melakukan investigasi atas kekhawatiran tersebut tetapi tidak memperkenankan penasehat hukum untuk mempertanyakan pertimbangan yang melatarbelakangi akuntansi yang dipersoalkan. Hasil investigasi oleh penasehat hukum tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada hal-hal yang serius yang perlu diperhatikan. Pada tanggal 16 Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan ketiga. Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat menjadi $393 juta, naik $100 juta dibandingkan periode sebelumnya. CEO Enron, Kenneth Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang sangat baik. Ia juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1 miliar yang sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $644 juta. Para analis dan reporter kemudian mencari tahu lebih jauh mengenai beban $1 miliar tersebut, dan ternyata berasal dari transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron. Pada tanggal 2 Desember 2001 Enron mendaftarkan kebangkrutan perusahaan ke pengadilan dan memecat 5000 pegawai. Pada saat itu terungkap bahwa terdapat hutang perusahaan yang tidak di laporkan senilai lebih dari satu milyar dolar. Dengan pengungkapan ini nilai investasi dan laba yang ditahan (retained earning) berkurang dalam jumlah yang sama. Enron dan KAP Andersen dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron (penghambatan terhadap proses peradilan. Dana pensiun Enron sebagian besar diinvestasikan dalam bentuk saham Enron. Sementara itu harga saham Enron terus menurun sampai hampir tidak ada nilainya. KAP Andersen diberhentikan sebagai auditor enron pada pertengahan juni 2002. sementara KAP Andersen menyatakan bahwa penugasan Audit oleh Enron telah berakhir pada saat Enron mengajukan proses kebangkrutan pada 2 Desember 2001. CEO Enron, Kenneth Lay mengundurkan diri pada tanggal 2 Januari 2002 akan tetapi masih dipertahankan posisinya di dewan direktur perusahaan. Pada tanggal 4 Februari Mr. Lay mengundurkan diri dari dewan direktur perusahaan. Pada 28 Februari 2002 KAP Andersen menawarkan ganti rugi 750 Juta US dollar untuk menyelesaikan berbagai gugatan hukum yang diajukan kepada KAP Andersen. Pemerintahan Amerika (The US General Services Administration) melarang Enron dan KAP Andersen untuk melakukan kontrak pekerjaan dengan lembaga pemerintahan di Amerika. Tanggal 14 Maret 2002 departemen kehakiman Amerika memvonis KAP Andersen bersalah atas tuduhan melakukan penghambatan dalam proses peradilan karena telah menghancurkan dokumen-dokumen yang sedang di selidiki. KAP Andersen terus menerima konsekuensi negatif dari kasus Enron berupa kehilangan klien, pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain dan pengungkapan yang meningkat mengenai keterlibatan pegawai KAP Andersen dalam kasus Enron. Pada tanggal 22 Maret 2002 mantan ketua Federal Reserve, Paul Volkcer, yang direkrut untuk melakukan revisi terhadap praktek audit dan meningkatkan kembali citra KAP Andersen, mengusulkan agar manajemen KAP Andersen yang ada diberhentikan dan membentuk suatu komite yang diketuai oleh Paul sendiri untuk menyusun manajemen baru.
16. Tanggal 26 Maret 2002 CEO Andersen Joseph Berandino mengundurkan diri dari jabatannya. 17. Tanggal 8 April 2002 seorang partner KAP Andersen, David Duncan, yang bertindak sebagai penanggungjawab audit Enron mengaku bersalah atas tuduhan melakukan hambatan proses peradilan dan setuju untuk menjadi saksi kunci dipengadilan bagi kasus KAP Andersen dan Enron. 18. 9 April 2002 Jeffrey McMahon mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden dan Chief Operating Officer Enron yang berlaku efektif 1 Juni 2002. 19. 15 Juni 2002 juri federal di Houston menyatakan KAP Andersen bersalah telah melakukan hambatan terhadap proses peradilan.
Pembahasan Masalah Etika bisnis dan profesi memegang peranan penting yang memicu kasus ini berkembang menjadi sangat berdampak besar bagi dunia. Kasus ini juga berdampak terhadap aturan dan regulasi terkait profesi, khususnya akuntan dan auditor. Hal-hal terkait etika bisnis dan profesi yang memicu, mendukung, dan menjadi penyebab kasus ini antara lain: 1. Enron menggunakan outsourcing untuk seluruh fungsi internal audit perusahaan. Dalam hal ini, kepala internal audit, direktur keuangan, serta sebagian besar staf accounting Enron berasal dari KAP yang mengaudit Enron yaitu KAP Andersen. 2. Itikad kurang baik dari jajaran eksekutif Enron. Hal ini dilihat salah satunya dari CEO Enron yang tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1 miliar yang dapat mengakibatkan dampak signifikan bagi pengambilan keputusan stakeholders, karena beban tersebut dapat menyebabkan hasil aktual pada tahun 2001 menjadi rugi $644 juta; sedangkan laporan yang dipublikasi pada tahun tersebut menyatakan Enron memperoleh keuntungan. Hal ini menimbulkan indikasi penutupan kesalahan dan manipulasi laporan keuangan demi dapat menarik investor untuk berinvestasi di Enron. 3. Enron dan KAP Andersen dituduh melakukan penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron, tindakan kerja sama yang menyulitkan proses investigasi sehingga menimbulkan indikasi bahwa kedua pihak bekerja sama untuk dapat melarikan diri dari tanggung jawab dan sanksi yang mengancam mereka. 4. Pihak manajemen Enron telah melakukan berbagaimacam pelanggaran praktik bisnis yang sehat dengan melakukan deception, discrimination of information, coercion, bribery dan juga telah melanggar prinsip good corporate governance.
Kasus Enron dilihat dari tinjauan Bahan Kode Etik Profesi Akuntan Publik, KNKG Bab 3, dan jurnal Copeland: 1. Kode Etik Profesi Akuntan Publik Kasus Enron, berdasarkan kode etik akuntan, telah melanggar beberapa prinsip: a. Integritas. Auditor, dalam kasus ini Arthur Andersen, seharusnya bersikap terus terang dan jujur serta melakukan praktik secara adil dan sebenar-benarnya. Jika Andersen mengetahui ada suatu hal yang merugikan dan material, seharusnya ia melaporkan atau membuka hal tersebut. hal ini dimaksudkan agar perusahaan mempelajari kesalahannya sendiri dan dijadikan contoh bagi perusahaan lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama.
b. Objektivitas. Andersen seharusnya tidak boleh berkompromi dalam memberikan pertimbangan profesionalnya. Ia juga tidak diperbolehkan membantu perusahaan tersebut untuk menutupi kesalahan yang ada. Andersen seharusnya tidak menggantungkan kehidupannya kepada Enron lebih daripada sepuluh persen dari total pendapatannya. Jika lebih dari jumlah itu, ada dugaan kuat bahwa Andersen sudah tidak bisa lagi bersikap netral. c. Confidentiality. Pada prinsip ini yang melanggar adalah para insider trading yang memanfaatkan informasi yang ia ketahui dari dalam untuk kemudian “dijual” ke pihak eksternal. d. Professional behavior. Andersen, selaku auditor eksternal dari Enron, seharusnya menahan diri dari setiap perilaku yang akan mendiskreditkan profesinya. Andersen tidak seharusnya membesarbesarkan atau menutupi kekurangan yang ada pada laporan keuangan Enron, menghancurkan dokumen-dokumen yang telah diteliti oleh tim investigasi. Dengan ini dapat disimpulkan bahwan Arthur Andersen tidak independen dalam menjalankan profesinya sebagai seorang akuntan publik. Andersen terlalu dekat dan timbul rasa ketergantungan pada Enron, sehingga ia ikut menutupi kesalahan yang dibuat oleh internal Enron. 2. KNKG Bab III Dalam kasus Enron, perusahaan tidak memiliki nilai-nilai yang cukup untuk menggambarkan sikap moral perusahaan yang baik dalam pelaksanaan usahanya. Enron belum memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh seluruh organ perusahaan berserta seluruh jajaran dibawahnya. Kedua hal tersebut terbukti dengan sikap Board of Directors yang membiarkan kegiatan-kegitan bisnis tertentu mengandung unsur konflik kepentingan dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi insider trading, termasuk praktek akuntansi dan bisnis tidak sehat sebelum hal tersebut terungkap kepada publik. Seandainya Enron sudah menerapkan moral yang baik dan rumusan etika bisnis tersebut disetujui oleh seluruh organ perusahaan, maka mau tidak mau seluruh bagian dari perusahaan harus mengikuti aturan main yang telah disepakati bersama tersebut. Enron juga seharusnya melakukan induksi terhadap karyawan baru, melakukan pendidikan dan pelatihan mengenai etika, menjalankan sistem reward and punishment bagi seluruh bagian perusahaan tanpa memandang siapa atau apa jabatan yang tengah diduduki saat ini. Selain itu, Enron harus terus melakukan pemantauan atas pelaksanaan etika bisnis perusahaan tersebut dan melakukan benchmarking dengan perusahaan lain yang sepadan, agar lebih mudah dalam membandingkan setiap masalah yang ada serta cara mengatasinya. 3. Copeland Pemerintah Amerika Serikat sebaiknya menekankan peraturan mengenai etika (terlebih untuk pelaksanannya) dan isu-isu pelaporan keuangan. Manajemen perusahaan juga seharusnya menerapkan budaya kepemimpinan yang penuh etika dalam perusahaan. Sehubung dalam kasus Enron manajemen perusahaan tidak memiliki intergritas yang cukup, maka sebaiknya manajemen perusahaan juga ikut diganti dengan yang lebih baik. Penggunaan jasa KAP yang bergilir. Setiap tiga tahun sekali, KAP yang mengaudit suatu perusahaan harus diganti dengan partner yang baru. Partner lama boleh kembali mengaudit atau bergabung menjadi salah satu bagian dari perusahaan tersebut setelah melewati masa cooling down selama minimal satu tahun. KAP juga memiliki peran yang sama untuk mendorong perilaku beretika untuk para auditornya. Namun yang terpenting adalah semua pihak memusatkan perhatiannya mulai dari universitas dengan membentuk individu yang nantinya akan terjun ke dalam profesi akuntansi dan audit memiliki pondasi etika dan moral.
Menurut teori fraud ada 3 komponen utama yang menyebabkan orang melakukan kecurangan, menipulasi, korupsi dan sebangsanya (prilaku tidak etis), yaitu opportunity; pressure; dan rationalization, ketiga hal tersebut akan dapat kita hindari melalui meningkatkan moral, akhlak, etika, perilaku, dan lain sebagainya, karena kita meyakini bahwa tindakan yang bermoral akan memberikan implikasi terhadap kepercayaan publik (public trust). Praktik bisnis Enron yang menjadikannya bangkrut dan hancur serta berimplikasi negatif bagi banyak pihak. Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor Enron saja, tetapi terutama karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya dalam saham perusahaan serta investor di pasar modal pada umumnya (social impact). Milyaran dolar kekayaan investor terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham berbagai perusahaaan di bursa efek. Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder atau principal untuk memberikan suatu fairrness information mengenai pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal. Pihak agent dalam hal ini manajemen Enron telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya (self interest oriented) dengan melupakan norma dan etika bisnis yang sehat. Enron dan KAP melakukan sebuah ketidakjujuran, kebohongan dan praktik bisnis yang tidak etis sehingga menyebabkan sebuah kehancuran yang menyisakan penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan tuntutan hukum. Dampak Akibat Kasus Enron dan KAP Andersen Kasus ini memberikan dampak di Amerika bahkan di Indonesia. Kasus ini mempunyai implikasi terhadap pembaharuan tatanan kondisi maupun regulasi praktik bisnis di Amerika Serikat antara lain : 1.
2.
Pemerintah AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOX) untuk melindungi para investor dengan cara meningkatkan akurasi dan reabilitas pengungkapan yang dilakukan perusahaan publik. Selain itu, dibentuk pula PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) yang bertugas: Mendaftar KAP yang mengaudit perusahaan publik Menetapkan atau mengadopsi standar audit, pengendalian mutu, etika, independensi dan standar lain yang berkaitan dengan audit perusahaan publik Menyelidiki KAP dan karyawannya, melakukan disciplinary hearings, dan mengenakan sanksi jika perlu Melaksanakan kewajiban lain yang diperlukan untuk meningkatkan standar professional di KAP Meningkatkan ketaatan terhadap SOX, peraturan-peraturan PCAOB, standar professional, peraturan pasar modal yang berkaitan dengan audit perusahaan publik. Perubahan-perubahan yang ditentukan dalam Sarbanes-Oxley Act a.Untuk menjamin independensi auditor, maka KAP dilarang memberikan jasa non audit kepada perusahaan yang diaudit. Berikut ini adalah sejumlah jasa non audit yang dilarang : o Pembukuan dan jasa lain yang berkaitan. o Desain dan implementasi sistem informasi keuangan. o Jasa appraisal dan valuation o Opini fairness o Fungsi-fungsi berkaitan dengan jasa manajemen o Broker, dealer, dan penasihat investasi • Membutuhkan persetujuan dari audit committee perusahaan sebelum melakukan audit. Setiap perusahaan memiliki audit committee ini
3.
4.
5. 6.
7.
karena definisinya diperluas, yaitu jika tidak ada, maka seluruh dewan komisaris menjadi audit committee. • Melarang KAP memberikan jasa audit jika audit partnernya telah memberikan jasa audit tersebut selama lima tahun berturut-turut kepada klien tersebut. • KAP harus segera membuat laporan kepada audit committee yang menunjukkan kebijakan akuntansi yang penting yang digunakan, alternatif perlakuan-perlakuan akuntansi yang sesuai standar dan telah dibicarakan dengan manajemen perusahaan, pemilihannya oleh manajemen dan preferensi auditor. • KAP dilarang memberikan jasa audit jika CEO, CFO, chief accounting officer, controller klien sebelumnya bekerja di KAP tersebut dan mengaudit klien tersebut setahun sebelumnya. SOX melarang pemusnahan atau manipulasi dokumen yang dapat menghalangi investigasi pemerintah kepada perusahaan yang menyatakan bangkrut. Selain itu, kini CEO dan CFO harus membuat surat pernyataan bahwa laporan keuangan yang mereka laporkan adalah sesuai dengan peraturan SEC dan semua informasi yang dilaporkan adalah wajar dan tidak ada kesalahan material. Sebagai tambahan, menjadi semakin banyak ancaman pidana bagi mereka yang melakukan pelanggaran ini. International Federation Accountants (IFAC), pada akhir tahun 2001 merevisi kode etik bagi para akuntan yang bekerja agar menjadi whitstleblower sebagai berikut “ para profesional dituntut bukan hanya bersikap profesional dalam kaidah-kaidah aturan profesi saja tetapi profesional juga dalam menyatakan kebenaran pada saat masyarakat akan dirugikan atau ada tindakan-tindakan perusahaan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku”. AICPA dan The Big Five KAP di Amerika mendukung inisiatif Reform yang melarang KAP untuk menawarkan jasa internal audit dan jasa konsultasi lainnya kepada perusahaan yang menjadi klien audit KAP yang bersangkutan. Jhon Whitehead dan Ira Millstein, ketua bersama Blue Ribbon Committe SEC,mengeluarkan rekomendasi tentang perlunya kongres menyusun Undang-Undang yang mengharuskan perusahaan Go Public melaksanakan dan melaporkan ketaatanyan terhadap pedoman corporate governance. Securities Exchange Commission (SEC) dan New York Stock Exchange (NYSE), menyerukan bahwa auditor internal harus lebih mempertajam peran dalam pemeriksaan ketaatan, mengelola resiko, dan mengembangkan operasi bisnis, dan setiap perusahaan diwajibkan untuk memiliki fungsi audit intern (James : 2003).
Adapun dampak lain dari kasus ini , dikutip dari sebuah artikel yang berjudul “Audit Eksternal dan Hubungannya dengan Komite Audit” (Oleh IKAI). Dalam artikel tersebut dijelaskan menurut Agus Kretarto-Anggota Komite Audit PT Bank BII, Tbk dalam pembahasannya tentang “Kriteria Pemilihan Auditor Eksternal” bahwa profesi akuntan publik saat ini sedang mendapatkan sorotan tajam bahkan sinis dari masyarakat umum akibat terjadinya skandal-skandal besar di negara maju seperti AS yaitu kasus Enron dan WorldCom. Akibat kasus-kasus tersebut kini kredibilitas akuntan publik menjadi jatuh terutama disebabkan oleh keterlibatan Arthur Andersen salah satu KAP terbesar di dunia di dalam skandal tersebut. Akuntan Publik tidak lagi dipandang sebagai profesi yang unik melainkan sebagai industri yang tidak lepas dari kepentingan bisnis yang sempit. Fenomena ini telah mendorong berbagai upaya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan publik. Contoh yang paling nyata adalah inisiatif Sarbanes-Oxley yang merekomendasikan pembentukan badan pengawas akuntan publik di pasar modal. Indonesia sendiri tidak terlepas dari pengaruh skandal tersebut sehingga berbagai pihak seperti IAI dan BAPEPAM kini tengah membahas pengawasan kompetensi dari Akuntan publik terutama yang terlibat di pasar modal Indonesia.
Bagi perusahaan di Indonesia sendiri, pelajaran dari AS tersebut harus menjadi acuan agar tidak sampai terulang di Indonesia. Untuk itu di dalam menunjuk auditor eksternalnya perusahaan harus memiliki kriteria yang mampu meminimalkan resiko manipulasi audit. Kesimpulan Dari kasus tersebut dapat simpulkan bahwa Enron dan KAP Arthur Andersen sudah melanggar kode etik yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan bukan untuk dilanggar. Mungkin saja pelanggaran tersebut awalnya mendatangkan keuntungan bagi Enron, tetapi akhirnya dapat menjatuhkan kredibilitas bahkan menghancurkan Enron dan KAP Arthur Andersen. Dalam kasus ini, KAP yang seharusnya bisa bersikap independen tidak dilakukan oleh KAP Arthur Andersen. Karena perbuatan mereka inilah, kedua-duanya menuai kehancuran dimana Enron bangkrut dengan meninggalkan hutang milyaran dolar. KAP Arthur Andersen sendiri kehilangan keindependensian dan kepercayaan dari masyarakat terhadap KAP tersebut, juga berdampak pada karyawan yang bekerja di KAP Arthur Andersen dimana mereka menjadi sulit untuk mendapatkan pekerjaan akibat kasus ini. B. KASUS WORLDCOM WorldCom merupakan salah satu perusahaan besar dalam bidang telekomunikasi di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan penyedia layanan telepon jarak jauh. Selama tahun 1990-an WorldCom melakukan beberapa akuisisi terhadap perusahaan telekomunikasi lainnya seperti MCI serta membeli UUNet, Compuserve, dan jaringan data AOL. Hal tersebut kemudian meningkatkan pendapatannya dari $152 juta pada tahun 1990 menjadi $392 milyar pada tahun 2001. Sayangnya pada tahun 2002,WorldCom terjerat kasus skandal keuangan. Auditor internal perusahaan, Cynthia Cooper, menemukan perlakuan akuntansi yang tidak wajar atas beban sebesar $3,8 milyar selama lima kuartal. Salah saji tersebut menyebabkan hingga 33.000 orang pekerja WorldCom diberhentikan sampai dengan tahun 2006. Sementara harga saham WorldCom menurun drastic dari kisaran mencapai hampir $60 hingga menjadi 20 sen per lembarnya. Hal ini bermula dari CEO WorldCom yakni Bernard Ebbers yang mempengaruhi bawahannya agar melakukan fraud dengan memanipulasi akun akrual perusahaan dan mengakui operating expense sebagai capital expenditures. Prinsip akuntansi tersebutlah yang dilanggar oleh WorldCom. CFO WorldCom, Scott Sullivan memindahkan milyaran dollar operating expenses dari akun yang seharusnya dan mengalokasikannya ke dalam akun „property yang merupakan tipikal akun capital expense. Hal ini membuat WorldCom dapat membebankan operating expenses tersebut secara perlahan dan dalam jumlah yang lebih kecil per periode. Dampaknya adalah akun beban operasional yang dicatat lebih rendah dari seharusnya dan akun aset menjadi lebih tinggi karena beban kapitalisasi dijadikan sebagai beban investasi. Sehingga di tahun 2001, WorldCom melaporkan laba sebesar $1,4 milyar. Faktanya bila fraud tersebut tidak dilakukan, WorldCom mengalami kerugian di tahun 2001 dan kuartal pertama tahun 2002. Setelah fraud tersebut dibongkar oleh Cynthia Cooper kepada kepala komite audit Max Bobbit pada bulan Juni, Bobbit langsung meminta KPMG selaku auditor eksternal saat itu untuk melakukan investigasi lebih lanjut. Scott Sullivan dipecat karena masalah ini dan David F. Myers, controller WorldCom saat itu langsung mengundurkan diri. Sebelumnya, KAP Arthur Andersen selaku auditor eksternal WorldCom KPMG, mengaku bahwa Sullivan tidak pernah mengkonsultasikan penyajian tersebut kepada Arthur Andersen. Pihak berwenang di Amerika Serikat menyatakan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen internal dan email WorldCom diketahui adanya indikasi bahwa eksekutif-eksekutif WorldCom sudah mengetahui adanya salah saji material tersebut sejak awal musim panas tahun 2000. Yang juga menjadi perhatian
masyarakat adalah dugaan bahwa Arthur Andersen juga melakukan pembiaran atas salah saji tersebut namun tidak diketahui alasannya mengapa Arthur Andersen tidak mengungkapkannya. Pembahasan Menurut James E. Copeland dalam jurnalnya, Ethics as an Imperative, menekankan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan auditor ataupun akuntan melakukan pelanggaran etika. Dalam kasus Worldcom, faktor-faktor yang dapat mendorong pelanggaran etika tersebut di antaranya:
Adanya tekanan untuk memenuhi ekspektasi dari superior internal manajemen ataupun pihak eksternal seperti para investor dan pemegang saham. Kondisi keuangan WorldCom yang melemah pada awal tahun 2000-an karena adanya resesi ekonomi dan berdampak pada pendapatan yang berkurang sementara masih ada biaya-biaya yang harus ditanggung, mendorong WorldCom untuk melakukan manipulasi pada laporan keuangannya. Baik akuntan dan auditor yang mengetahui adanya salah saji tersebut tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dan melawan intimidasi dari manajemen senior.
Dari segi etika bisnis dan profesi akuntan, WorldCom telah melakukan malpraktek antara lain:
Adanya kesalahan dan penyesatan dalam pengungkapan informasi (deception of information) yang dilakukan oleh manajemen WorldCom. Karena sesungguhnya pihak eksekutif ditengarai mengetahui tentang praktek akuntansi yang tidak benar tersebut. Namun praktek yang salah tersebut tetap dijalankan untuk melaporkan adanya laba yang seharusnya adalah rugi pada tahun 2001 dan 2002. Auditor eksternal pada saat itu, Arthur Andersen, juga telah melanggar kode etik akuntan publik karena Arthur Andersen bertanggungjawab untuk mengaudit kesalahan dalam pelaporan keuangan semacam itu, terlebih lagi kesalahan yang terjadi sangatlah material. Arthur Andersen telah melanggar prinsip integritas, prinsip perilaku profesional, dan prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional seperti yang dinyatakan dalam Kode Etik Akuntan Publik.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencegah skandal semacam WorldCom ini terulang kembali adalah:
Auditor seharusnya melakukan audit sesuai dengan kode etik profesi akuntan publik dan GAAP. Selain itu auditor juga harus lebih peka dan kritis atas segala kemungkinan fraud yang dapat terjadi dalam perusahaan. Regulator seperti SEC harus memenuhi tanggungjawabnya dalam mengawasi perusahaan serta kepatuhannya terhadap undang-undang dan peraturan terkait CG. Para pelaku pasar modal seharusnya melakukan analisis dan investigasi atas laporan keuangan secara lebih mendalam dan tidak hanya mengandalkan pada hasil audit semata. Manajemen perusahaan harus menanamkan budaya profesionalisme dan perilaku beretika pada setiap karyawannya. Selain itu manajemen juga harus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik di mana semua komponen internal perusahaan baik auditor internal, komite audit, ataupun direksi saling bekerjasama dan melakukan tanggungjawabnya masing-masing. Hal ini untuk menekankan pentingnya etika serta tata kelola perusahaan yang baik dalam setiap kegiatan perusahaan sehingga fraud semacam ini tidak terulang kembali.
KESIMPULAN KASUS ENRON WORLD COM Dalam konteks kasus Enron dan Worldcom tersebut, keduanya tertuju pada akibat negatif dari praktek kedua perusahaan tersebut di dalam masyarakat. Hal mendasar yang terkait dengan kasus tersebut adalah akuntabilitas perusahaan, etika bisnis dan profesi, serta tanggung jawab sosial perusahaan. Terlihat jelas, walaupun sudah ada peraturan yang mengatur sistem akuntansi, namun apabila manusia yang mengelolanya tidak bermoral dan beretika maka mereka akan memanfaatkan setiap celah yang ada untuk kepentingan pribadi dan golongan. Paradigma baru perusahaan dalam kaitannya dengan tanggung jawab sosial tidak hanya terkait bagaimana memaksimalkan keuntungan pemegang sama dalam jangka pendek, tetapi juga mendatangkan manfaat kepada masyarakat dan perusahaan itu sendiri dalam jangka panjang. Berkaca dari kasus di atas, etika dan bisnis merupakan suatu yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Beretika dalam bisnis memang tidak akan memberikan keuntungan dalam waktu singkat, sehingga para pelakunya dituntut untuk melihat prospek di masa mendatang. Reputasi sebuah perusahaan menjadi sangat penting dalam hal ini, dengan memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Perilaku tidak etis yang berkaitan dengan skandal keuangan akan memberikan efek negatif bagi aktivitas dan kepercayaan investor terhadap bursa saham yang berujung pada merosotnya hargaharga saham. Oleh karena itu, para pelaku bisnis dan profesi harus mempertimbangkan standar etika demi kebaikan dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang Dampak kasus Enron dan WorldCom tidak sebatas kerugian yang dialami pihak terkait dan stakeholders lainnya. Dipicu oleh kasus ini, muncul beberapa pedoman dan bentukan untuk meminimalisisr terjadinya kasus serupa. Salah satunya adalah Sarbanes-Oaxley Act (SOX) untuk melindungi para investor dengan cara meningkatkan akurasi dan reabilitas pengungkapan yang dilakukan perusahaan publik. Terbitnya SOX sangat berpengaruh dan membawa banyak perubahan yang cukup signifikan bagi pelaksanaan bisnis dan profesi. SOX mengatur berbagai hal yang meminimalisir terjadinya pelanggaran atau kecurangan yang berpotensi merugikan shareholders atau membawa keuntungan bagi pihak tertentu, serta meminimalisir kemungkinan terjadinya kerja sama yang berpotensi menimbulkan tindakan curang atau fraud antara KAP selaku eksternal auditor dengan kliennya.
Isu Dan Riset Kontemporer Tatakelola Perusahaan 2.1 ROSC Corporate Governance 2010 Tata kelola perusahaan telah diadopsi sebagai salah satu dari dua belas standar praktik terbaik oleh komunitas keuangan internasional. Bank Dunia adalah institusi yang melakukan peninjauan untuk aplikasi daro OECD Principle dari tata kelola perusahaan. Assessment adalah bagian dari program Bank Dunia serta IMF untuk Reports on The Observance of Standards and Codes (ROSC). Tujuan dari inisiatif ROSC adalah untuk mengidentifikasikan kelemahan yang bisa berkontribusi pada ekonomi sebuah negara dan kerentanan dari keuangan negara tersebut. Masing-masing penilaian tata kelola ROSC berpatokan pada standar hukum dan peraturan dasar dari sebuah negara, praktek kerja dan ketetapan perusahaan perseroan. Penilaian ROSC ini terstandarisasi dan sistematis, dan mencakup rekomendasi peraturan dan model rencana kerja sebuah negara. Penilaian ini berfokus pada tata kelola perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek dan menginisiasi dari reformasi peraturan, hukum, dan institusional tata kelola perusahaan. Penilaian ini dapat diperbaharui dari waktu ke waktu dan negara yang
berpartisipasi pada proses penilaian ini serta publikasi dari laporan akhirnya adalah bersifat sukarela. Pada akhir Jui 2010, 75 penilaian telah selesai dibuat pada 59 negara diseluruh dunia. PRAKTEK DEWAN DAN PENGAWASAN PERUSAHAAN Peran Dewan Perusahaan Indonesia memiliki struktur dua tingkatan dewan: dewan komisaris (BOC) dan direksi (BOD). Dewan Komisaris seharusnya mengawasi dan menasehati Direksi, yang pada gilirannya melaksanakan operasi sehari-hari perusahaan. Di luar mandat umum, ada beberapa tanggung jawab yang eksplisit untuk dua papan dalam hukum. Di masa lalu, Dewan Komisaris di banyak perusahaan memainkan peran yang terbatas dengan hampir semua kekuasaan berada di tangan Direksi (dan pemegang saham pengendali). Namun baru-baru ini, beberapa Dewan Komisaris telah menjadi lebih aktif dalam mengawasi perusahaan, berkat pelatihan, peningkatan kesadaran dan baru-baru ini hukum dan perubahan peraturan, termasuk persyaratan untuk memiliki komite audit dan independen komisaris dan pengenalan kewajiban anggota dewan. Dewan Komisaris tidak memilih CEO (Presiden Direktur) atau manajemen puncak lainnya. Di bawah Undang- Undang PT, baik Dewan Komisaris dan Direksi yang dipilih langsung oleh pemegang saham dalam RUPS. Dewan Komisaris dapat menangguhkan seorang direktur, tetapi keputusan ini harus dikonfirmasi oleh RUPS dalam 30 hari. Dewan Independensi dan Objektivitas Kedua struktur dewan lapis memastikan bahwa semua komisaris adalah non-eksekutif. Mereka masih mungkin menjadi pemegang saham utama atau memiliki koneksi lain pemegang saham pengendali dan manajemen. Daftar aturan mengharuskan perusahaan publik untuk memiliki 30 persen komisaris harus"independen". Independen definisinya secara lebih mendalam dapat dilihat dalam peraturan Bapepam-LK. Dalam prakteknya, kebanyakan perusahaan memiliki dan mengidentifikasi komisaris ini, tapi jangan melebihi persyaratan hukum. Semua perusahaan publik wajib memiliki komite audit yang diketuai oleh independen komisaris. Komite Audit juga harus memiliki ahli dari luar yang tidak berada pada Dewan Komisaris atau BOD sebagai anggota. Bank juga wajib memiliki nominasi dan komite remunerasi, dan CGCG mendorong perusahaan lain untuk memiliki komite ini. Nominasi Bank dan komite remunerasi harus terdiri dari satu komisaris independen (yang bertindak sebagai kursi), satu komisaris lainnya, dan satu pejabat eksekutif (yang bertanggung jawab atas sumber daya manusia, atau perwakilan karyawan) yang harus memiliki pengetahuan tentang remunerasi dan / atau nominasi sistem dan rencana suksesi bank. Mereka juga bisa memiliki ahli dari luar sebagai anggota. Komite audit memiliki mandat untuk meninjau pelaporan keuangan, memastikan kepatuhan terhadap hukum dan regulasi, mengawasi audit internal, dan laporan tentang risiko dan manajemen risiko kepada Dewan Komisaris. Peraturan tidak memberikan komite audit mandat untuk meninjau pekerjaan eksternal auditor sehingga tidak memiliki peran eksplisit dalam mengelola konflik kepentingan. Rekomendasi oleh ROSC
Indonesia telah melakukan reformasi penting dalam beberapa tahun terakhir. Namun, untuk lebih menekan potensi secara penuh pada pasar modal dan board yang lebih bersifat profesional dan manajemen menekankan dan mengharuskan reformasi terus berlanjut. Tata kelola perusahaan yang baik memastikan bahwa perusahaan menggunakan sumber daya mereka secara lebih efisien dan mengarah untuk lebih hubungan dengan karyawan, kreditur, dan stakeholder lainnya. Ini merupakan prasyarat penting untuk menarik sumber dana(modal) investor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan. Reformasi utama meliputi: > Memperbaiki peraturan terkait pengungkapan kepemilikan dan pengungkapan non keuangan lainnya; > Mewajibkan hak pemegang saham kunci dimasukkan ke dalam artikel perusahaan; > Memanfaatkan secara lebih efektif fungsi kerja dari komisaris independen dan komite audit; > Mengubah hukum perusahaan untuk melindungi pemegang saham yang lebih baik; > Menggabungkan dan memperluas kekuasaan anggota dewan dalam hukum perusahaan dan CGCG tersebut; > Mengharuskan perusahaan mengungkapkan kepatuhan mereka dengan CGCG tersebut; * Memberikan pemegang saham minoritas mempunyai hak suara yang lebih besar daripada saat ini pada pemilihan anggota dewan * Meningkatkan kemampuan Bapepam-LK untuk mengawasi pengungkapan perusahaan dan area penting lainnya; * Mendorong kinerja dewan dan pelatihan media. Rekomendasi diatas dapat disederhanakan dalam tiga bagian: reformasi kerangka hukum dan peraturan(Termasuk rekomendasi khusus untuk melindungi investor, menjamin transparansi yang lebih besar, dan meningkatkan efektivitas pengawasan perusahaan), reformasi untuk membangun kapasitas regulasi, dan rekomendasi untuk studi lebih lanjut di beberapa daerah tambahan reformasi. Reformasi untuk Membangun Kapasitas Pengaturan Hukum Bapepam-LK harus mengembangkan seperangkat pedoman, sebuah manual operasi, dan program pelatihan untuk pengawasan keterbukaan dan topik tata kelola perusahaan penting lainnya, dalam rangka untuk benar-benar menegakkan ada dan masa depan regulasi. Manual harus mencakup (a) keterangan mengapa pengungkapan begitu penting, (b) deskripsi praktek yang baik di setiap daerah, dan (c) pedoman yang jelas tentang jenis pengungkapan dan perilaku yang tidak dapat diterima. Topik minimal harus mencakup : > Melakukan rapat pemegang saham.
> Kajian dan persetujuan transaksi dengan pihak yang signifikan / terkait. > Pengungkapan kepemilikan dan kontrol. > Interpretasi laporan tata kelola perusahaan perusahaan. Bapepam-LK juga harus berusaha untuk meningkatkan kapasitasnya untuk meninjau laporan keuangan. Bapepam-LK harus melibatkan akuntan profesional yang berkualitas dan berpengalaman tambahan dan melatih staf yang ada untuk lebih meningkatkan efektivitas laporan keuangan pengulas di Corporate Finance Biro untuk mendeteksi manipulasi canggih pelaporan akuntansi dan keuangan. Bapepam-LK juga harus berusaha untuk merekrut staf lain dari sektor swasta, dan kebijakan pada remunerasi dan pelatihan harus ditinjau untuk memfasilitasi ini. Bapepam-LK juga harus menciptakan penghalang yang kuat terkait penggunaan penipuan sekuritas pelanggan dengan hati-hati mengambil tindakan terhadap broker dan perantara pasar lainnya dalam hal itu terjadi.
Rekomendasi untuk Studi Lanjut Ada beberapa aspek dari kerangka hukum dan peraturan saat ini yang muncul untuk overregulate atau di bawah-mengatur pasar, dengan alasan tidak jelas. Bapepam-LK harus melakukan studi khusus dalam bidang berikut untuk menentukan yang tepat langkah selanjutnya yang harus diambil untuk meninjau peraturan biaya dan manfaat: Kurangnya delisting / akan aturan pribadi. Bapepam-LK tampaknya telah membuat lebih sulit bagi perusahaan untuk delisting secara sukarela atau "go private" pada tahun 2008. Sementara di beberapa hal ini tidak bekerja untuk melindungi pemegang saham (karena hak-hak mereka tidak bisa dilanggar selama transaksi delisting jika tidak diperbolehkan), juga mengurangi insentif bagi pemegang saham pengendali untuk daftar di tempat pertama, karena menghilangkan opsi untuk meninggalkan bursa jika mereka tidak lagi melihat manfaat untuk sisa terdaftar yang ada. Bapepam-LK harus mempelajari dampak dari aturan baru, dan berusaha untuk memastikan saat ini dampak. Pelaksanaan pemungutan suara elektronik. Bapepam-LK harus mempelajari hukum, prosedur, dan teknis rintangan untuk melaksanakan pemungutan suara elektronik pada rapat pemegang saham. Meskipun kemajuan signifikan telah dibuat dengan BUMN pemerintahan, Kementerian BUMN Usaha harus mempertimbangkan tambahan, fokus diagnostik pada BUMN yang bisa menjadi dasar untuk meningkatkan kebijakan kepemilikan mereka secara keseluruhan dan meningkatkan tata kelola perusahaan di kunci
2.3 Recent Development in Corporate Governance An Overview Stuart L Gillian Paper ini menerangkan kepada kita pandangan yang lebih luas dari Corporate Governance dengan merangkum berbagai paper lain yang mempunyai pandangan juga sama luasnya dengan yang ada pada paper ini.
Jika biasanya kita melihat corporate governance adalah interaksi dari unsur-unsur internal dan eksternal perusahaan yang seperti dalam gambar dia bawah ini dimana keterikatan CG hanya dilihat secara internal yang terditi dari tingkatan manajemen, eksekutif, dan komisaris nya dan dengan hanya memasukkan dua pihak eksternal yaitu shareholders dan debtholders. Maka sekarang kita diajak untuk melihat bahwa CG tidak hanya sebatas interaksi antar pihak-pihak tersebut.
Entitas tidak hanya sebatas manager, board, pemegang saham, kreditur. Pelanggan, pegawai dan suplier juga termasuk dalam struktur CG dari perusahaan yang masing-masing juga mempunyai dampak terhadap CG dari perusahaan walaupun kecil. Dengan mengikutkan komunitas dimanan perusahaan beroperasi, keadaan politik, hukum dan peraturan, dan secara lebih luas lagi pasar dimana perusahaan terlibat seperti figur di atas maka akan didapat gambaran secara menyeluruh tentang bagaimana perusahaan beroperasi. Semua yang termasuk dalam figur itu mempunyai pengaruh terhadap CG dari perusahaan. Sebagai contoh adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah mungkin dapat mempengaruhi struktur CG dari perusahan, dalam kasus lain politik, komunitas, dan kebudayaan sekitar juga dapat mempengaruhi struktur CG perusahaan.
Dalam pandangan tradisional, banyak aspek dari sudut pandang yang lebih luas dari CG perusahaan ini dipandang bukan bagian dari CG perusahaan. Akan tetapi dalam pandangan
moderen segala sesuatu yang memiliki dampak walaupun seminimal apapun terhadap CG perusahaan dapat dipandang sebagai bagian dari CG itu sendiri. Pengaturan utama dibagi menjadi dua yaitu pengaturan internal dan pengaturan eksternal seperti pada figur di bawah. Dari setiapnya dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan pihak yang berkaitan. Pada sisi internal perusahaan maka pembagian dari aspek-aspek CG adalah sebagai berikut: a) b) c) d) e)
Board of Directors (and their role, structure, and incentives) Insentif manajerial Struktur permodalan Bylaw and Charter Provisions Sistem kontrol Internal
Sementara itu, pembagian dari aspek-aspek eksternal CG adalah sebagai berikut: a) Hukum dan Peraturan b) Markets 1 (pasar modal, the market for corporate control, pasar tenaga kerja, dan pasar produk) c) Markets 2, menekankan pada penyedia informasi pada pasar modal (analis pada tingkat kredit, permodalan, dan tatakelola) d) Markets 3 , memfokuskan pada jasa akuntansi, keuangan, dan kelegalan dari pihak eksternal terhadap entitas(including auditing, directors’ and officers’ liability insurance, and investment banking advice termasuk diantaranya auditor, saran investasi perbankan, dan jaminan asuransi pegawai) e) Sumber dari pandangan eksternal, sebagai contohnya media.