LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HIPOALBUMIN YANG MENJALANI MENJALANI HEMODIALISA 1. GAGAL GINJAL AKUT(GGK/CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE)) A. Pengertian Gagal ginjal kronis adalah kerusakan pada ginjal yang terus berlangsung dan tidak dapat diperbaiki, ini disebabkan oleh sejumlah kondisi dan akan menimbulkan gangguan multisystem. (Reeves chalene, 2001, dalam Alamang 2012). Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (ERSD) adalah penyimpangan, progresis, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami kegagalan yang mengakibatkan uremia. (Baughman Diane C, 2002, dalam Alamang 2012). Cronic Renal Failure atau gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia (retensi uretra dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Rizki, 2012). B. Etiologi a. Glomerulonefritis Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998 dalam Alamang 2012). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006, dalam Alamang 2012). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006 dalam Alamang 2012).
b. Diabetes melitus Menurut American Diabetes Association (2003) dalam dalam Alamang (2012) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya . c. Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998 dalam Alamang 2012). d. Ginjal polikistik Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemuka n kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. T ernyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998 dalam Alamang 2012). 2012).
C. Patofisiologi Gangguan pada ginjal Kerusakan parenkim, kerusakan nefron Penurunan perfusi jaringan penurunan darah, O2, dan nutrisi Peningkatan rennin angiotensin I kemudian diubah mjd angiotensi II di paru
Peningkatan aldosteron me↑kan reabs. Na
Vasokonstriksi arteriol
+
pe↑tan tek. glomerulus Reabs. Cairan menurun banyak yang dibuang termasuk protein, terutama albuminhipoalbumin
Retensi cairan di ekstravaskuler Kelebihan volume cairan Mempengarugi tekanan di alveoli peningkatan tekanan cairan di alveoli Kelebihan cairan di alveoli pertukaran O2 tidak maksimal Gangguan pertukaran gas
Mempengaruhi kerja tek.onkotik dan hidrostatik vaskuler tek di vaskuler menurun Cairan yang ter retensi masuk secara bebas ke interstisiil edema perifer Penurunan suplai darah ke jar. perifer Gangguan perfusi jaringan perifer
Sisa metabolisme ikut peredaran darah masuk ke lambungmual muntah Penurunan intake pe↓nan nafsu makan Ketidakseimbangan antara kebutuhan tubuh dengan intake Gangguan nutrisi kurang daru kebutuhan tubuh
Penurunan pembuangan air, garam dan sisa metabolisme sindrom uremia
Perparahan penurunan GFRakibat kerusakan bertambah parah
D. Manifestasi klinik Manifestasi umum CKD diantaranya ;
Gejala gagal ginjal kronik
Anemia, dengan gejala lemah, letih, lesu.
Sesak napas
Penumpukan cairan tubuh sehingga menyebabkan pembengkakan di seluruh bagian tubuh.
Beberapa gejala lain yang disebabkan keadaan uremik (kadar urea dalam darah yang meningkat urea) yaitu mual, muntah dan perubahan status mental (ensefalopati), disertai ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan USG ginjal dapat membantu dalam mendiagnosis gagal ginjal kronis. Gambaran klinik spesifik CKD menurut Sukandar (2006) seperti yang dikutip oleh
Alamang (2012) dijelaskan sebagai berikut : a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. b. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost e. Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis. f.
Kelainan neuropsikiatri Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). g. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. E. Pemeriksaan diagnostik a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. b. Pemeriksaan laboratorium Tujuan
pemeriksaan
laboratorium
yaitu
memastikan
dan
menentukan
derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG). c. Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: 1) Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU). 2) Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).
3) Diagnosis GFR. Selain pemeriksaan diatas patokan yang dapat digunakan dalam pemeriksaan gagal ginjal kronis adalah GFR atau laju f iltrasi rata-rata glomerulus. Dalam klinik GFR ditentukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah : 1. endogenous creatinine clearance yaitu (hasil endogen cr.cl = 10-15% inuline cl ), caranya adalah dengan : -
kumpul urine 24 jam
-
ukur creatinin urine
-
ukur creatinin plasma selama periode pengumpulan urine
-
hitung GFR dengan rumus:
GFR=
Karena GFR merupakan fungsi dari luas Permukaan tubuh (body surface area = BSA) Hasilnya harus dikoreksi dengan BSA orang dewasa. Nilai standard BB orang dewasa = 66.5 kg Bsa = (0.02 x 66.5 ) + 0.40 = 1.73 m 2
2. GFR yg paling akurat diukur dengan: -
inuline clearance atau inuline clearance atau
-
iothalamate clearance iothalamate clearance
A. Sebagai “guide” untuk ukuran GFR dapat sebagai “guide” untuk ukuran GFR dapat Dipakai serum creatinin level:
B. Rumus Barrat (1982)
Keterangan :
C. Rumus Counahan (1976)
D. Rumus Coccrof dan Gault (1976)
. F. Penatalaksanaan a. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. 2) Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. 3) Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. 4) Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L. 2) Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. 3) Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. 4) Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. 6) Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi. 7) Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. c. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006 dalam Alamang 2012). 1) Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal. 2) Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal. 3) Transplantasi ginjal Transplantasi
ginjal
merupakan
terapi
pengganti
ginjal
(anatomi
dan
faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah b) Kualitas hidup normal kembali c) Masa hidup (survival rate) lebih lama d) Komplikasi
(biasanya
dapat
diantisipasi)
terutama
berhubungan
dengan
obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
G. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul 1.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan serta natrium. NOC :
Electrolit and acid base balance
Fluid balance
Hydration Kriteria Hasil:
Terbebas dari edema, efusi, anaskara
Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu/ortopneu
Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek hepatojugular (+)
Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung dan vital sign dalam batas normal
Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan
Menjelaskanindikator kelebihan cairan Intervensi NIC : Fluid management
Timbang popok/pembalut jika diperlukan
Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
Pasang urin kateter jika diperlukan
Monitor hasil lAb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin )
Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP
Monitor vital sign
Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP , edema, distensi vena leher, asites)
Kaji lokasi dan luas edema
Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
Monitor status nutrisi
Berikan diuretik sesuai interuksi
Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilusi dengan serum Na < 130 mEq/l
Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk Fluid Monitoring
Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminaSi
Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak seimbangan cairan (Hipertermia, terapi diuretik, kelainan renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi hati, dll )
Monitor berat badan
Monitor serum dan elektrolit urine
Monitor serum dan osmilalitas urine
Monitor BP, HR, dan RR
Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung
Monitor parameter hemodinamik infasif
Catat secara akutar intake dan output
Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer dan penambahan BB
Monitor tanda dan gejala dari odema
Beri obat yang dapat meningkatkan output urin
2.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet dan perubahan memberan mukosa mulut. NOC :
Nutritional Status : food and Fluid I ntake
Nutritional Status : nutrient Intake
Weight control Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Mampumengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda malnutrisi
Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti NIC : Nutrition Management
Kaji adanya alergi makanan
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
Berikan substansi gula
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal
Monitor adanya penurunan berat badan
Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
Monitor mual dan muntah
Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
Monitor makanan kesukaan
Monitor pertumbuhan dan perkembangan
Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
Monitor kalori dan intake nuntrisi
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet
3.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan produk dialysis. NOC :
Energy conservation
Self Care : ADLs Kriteria Hasil :
Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
NIC : 1. Energy Management
Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien 2. Activity Therapy
Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan social
Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai
Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
2. HEMODIALISA A. Pengertian Hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal yang
dilakukan dengan
mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat melalui membran semipermiabel. B. Tujuan Hemodialisa a.
Menunggu fungsi ginjal pulih dan dengan pengobatan atau operasi
b.
Untuk mempertahankan kehidupan karena fungsi ginjal tidak pulih kembali
c.
Menunggu cangkokan karena fungsi ginjal tidak pulih kembali.
C. Indikasi a. Hiperkalemia ( K > 7 MEg / Liter ) 3,5 – 5,5 MEg/l (N) b. Asidosis (pH darah > dari 7,15 gr %) c. Ureum darah 200 – 300 mg % d. Kenaikan ureum >100 mg % e. Anuria lebih 5 hari f.
Keadaan Umum jelek pada klien penyakit ginjal
D. Proses Hemodialisis a. Proses difusi yaitu perpindahan cairan karena perbedaan konsentrasi di darah dan dicairan dialisat b. Proses osmosis yaitu perpindahan cairan karena perbedaan osmolitas dalam darah dan dialisat. c. Proses ultrafiltrasi yaitu perpindahan cairan yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik. Beberapa istilah yang perlu diketahui diantaranya :
QB
Kecepatan aliran darah semakin besar semakin baik.
Blood lines Pipa-pipa atau sealng-selang yang mengalirkan darah dari tubuh menuju dializer dan yang dari dialyser ke tubuh. Terdiri dari :
-
arteri blood line / in let /ABL (merah)
-
venous blood line / out let /VBL (biru)
Ginjal buatan (dialyser) alat yang digunakan untuk mengeluarkan sampah metabolisme tubuh atau zat toksik lain dari dalam tubuh, bila fungsi sudah tidak memadai lagi.
Blood pump alat yang menyebabkan darah mengalir dalam sirkulasi darah, besifat ganda yaitu menarik dan mendorong.
Double trap / air trap suatu ruangan pada ABL dan VBL yang bertugas menahan dan mengamankan gelembung udara dalam sirkulasi darah.
Primming Pengisian cairan yang pertama kali dalam sirkulasi darah (ABL + dialyser + VBL)
Konduktivitas Kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan aliran listrik.
TMP (Trans Membran Pressure ) Perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan kompatemen dialisat melalui membran. Gunanya untuk penarikan cairan / ultrafiltrasi. E. Menyiapkan dan Memulai Hd
a.
Menyiapkan mesin HD dan perlengkapannya. a. Mesin HD. -
listrik
-
air yang sudah diolah / dimurnikan
-
filtrasi
-
surfening
-
Delanisasi
-
Reverse osmosis (Ro)
-
Saluran pembuangan cairan pencuci (drainage)
-
Mesin : Rinse Desinfeksi dan pemanasan Dialyse
b. Sirkulasi Dialisa
Pencampuran dialysat yaitu dialisat pekat (concentrase) dan air yang sudah diolah dengan perbandingan : 1 : 3 s/d 4
Batch sistem : dialisat sudah dicampur lebih dahulu sebelum HD dimulai.
Proportianing system : asetat.
Bicarbonat yaitu dialisat pekat dan air yang sudah diolah, dicampur secara otomatis, konstan selama HD oleh pompa proportianing dengan perbandingan campuran dialisat pekat : air = 1 : 34. Campuran ini dipompakan sekali saja kekompartemen dialisat, kemudian dibuang.
c. Sirkulasi darah -
Dialise (ginjal buatan)
-
Kapiler (Hallow Fiber)
-
Paralel piate, coil.
-
Sediaan dialyser : pemakaian pertama (baru) : kering.
Pemakaian ulang (Reuse) sampai 5 kali untuk masing-masing pasien.
Selang darah: arteri dan vena (arterial venous blood line) ……..VBL.
1) PRIMING Pengisian pertama sirkulasi ekstrakorpureal dengan NaCl. Tujuan : -
Mengisi : filling
-
Membilas : rinsing
-
Membasahi/melembabkan : Soaking.
·
Perlengkapan
-
Dialiser (ginjal buatan)
-
AUBL
-
Acetata
-
Set infus
-
Nacl 0,9 % (2-3 kolf)
-
Spuit 1 cc
-
Heparin Bila dializer telah bebas dari formalin, dilakukan primming (sama pada dializer baru).
2) MEMULAI HD Persiapan pasien -
Timbang BB sebelum HD
-
Tidur terlentang dan berikan posisi yang nyaman
-
Ukur TD, Nadi, suhu, dan pernafasan.
-
Observasi kesadaran dan keluhan pasien, berikan perawatan mental.
-
Terangkan secara garis besar prosedur yang akan dilaksanakan. Menyiapkan sarana hubungan sirkulasi Perlengkapan :
-
Jarum punksi :
* Jarum mental : AV fistula * Jarum dengan catheter * NaCl 0,9 % untuk pengenceran * Heparin injeksi * Anastesi local (lidokain, prokain) kalau ada. * Desinfektan (alkohol,lathadine) * klem desinfektan * Bak keecil dan mangkok kecil * Duk * sarung tangan, plester 9hepafix)
-
Pengalas plastik kecil ukuran ± 40 x 15 cm.
-
Wadah pengkur cairan, botol pemeriksaan darah. Prosedur / data kerja :
o
Poksi Fistula (Cimino) -
Cuci tangan
-
Pasang sarung tangan.
-
Desinfeksi pada daerah yang akan dipunksi dengan betadine dan alkohol.
-
Letakkan dug sebagai pengalas dan penutup.
-
Fungsi Outlet (vena) al : masuk darah kedalam tubuh, kalau perlu lakukan anstesi local.
o
-
Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium (bila dibutuhkan).
-
Bolus heparin injeksi yang sudah diencerkan dengan NaCl (dosis awal)
-
Fiksasi pada daerah fungsi dengan hepafix,
-
Funksi in let (fistula) yaitu jalannya keluar darah dari tubuh.
-
Fiksasi dan tutup daerah ke 2 punksi dengan duk tadi.
Funksi Femoral -
Desifeksi daerah lipatan paha dan daerah outlet yang akan dipunksi
-
Letakkan dug sebagai pengalas dan penutup
-
Fuksi outlet (vena) al : masuknya darah ke dalam tubuh kalau perlu lakukan anastesi lokal.
-
Bolus heparin injeksi yang sudah diencerkan dengan NaCl (dosis awal)
-
Fiksasi pada daerah fungsi dengan hipafix
-
Punksi Inlet (Vena femoralis) yaitu jalan keluarnya darah dari tubuh dengan cara anastesi lokal (mutlak) dengan anatesi filtrasi sambil mencari vena femoralis.
-
Vena vemoralis di punksi secara perkutaneus jarum funksi (AV fistula) ® ukuran 166 x 1 ¼
o
Fiksasi dan tutup daerah ke 2 funksi dan duk tadi.
Mengisi / mengalirkan darah ke dalam sirkulasi ekstraktor pureal: -
Hubungkan
HBL
dengan
Inlet
(punksi
Inlet/Kanula
arteri)
ujung
ABL
dihapusnamakan. -
Buka klem, AVBL, kanula arteri, klem selang infus ditutup, klem kanula vena tetap tertutup.
-
Daerah dialirkan dalam sirkulasinya dengan menggunakan pompa darah 100 cc/l) atau sesuai toleransi klien dan cairan primming terdorong keluar.
-
Cairan primming di wadah pengukur
-
Biarkan darah memasuki sirkulasi sampai cairan pada burble tiap VBL.
-
Popa darah dimatikan kembali dengan Qb + 1500cc/mnt.
-
Fiksasi kanula arteri dan vena. AVBL (tidak mengganggu pergerakan)
-
Hidupkan pompa heparin.
-
Buka klem selang monitor tekanan (arterial dan venas pressure)
-
Hidupkan detektor udara.
-
Ukur TD, N, P
-
Observasi kesadaran dan keluhan pasien.
-
Cek mesin dan sirkulasi dialysis.
-
Program HD
(Qb :
-
Lakukan pencatatan (Isi formulir HD)
Rapikan peralatan.
CATATAN
Pada awal pengisian sirkulasi dengan darah, sebaiknya posisi dialyser dibalik, setelah bebas udara, dialiser dikembangkan ke posisi sebenarnya.
Sebelum menghubungkan VBL (dengan kanula vena, udara harus dikeluarkan lebih dahulu dialysis dari kedua sisi).
Burble trop dipertahankan ¾ bagian .
Jumlah cairan primming yang dilakukan, disesuaikan dengan kebutuhan.
PENATALAKSANAAN SELAMA HD (HEMODIALISA) A. Memprogramkan HD -
Lama HD
-
Qb (Quick blood) kecepatan aliran darah ; 150 ml/mnt – 300 ml/mnt.
-
Qd (Quick dializer) kecepatan dializat ; 400 ml/mnt – 600 ml/mnt.
-
Temperatur dializat = 36,50C – 400C
-
konduktivitas = 13,4
-
TMP (Trans Membrana Pressure) dan UPR (ultrapiltration Rate)
-
Hepatinisasi
-
Pemeriksaan Lab, EKG, dll.
-
Pemberian obat-obatan, transfusi, dll.
B. Pengamatan. a.
Pasien. -
TTV (Tensi, N, S, P, Kesadaran)
-
Fisik
-
Perdarahan
-
Sarana hubungan sirkulasi
-
Posisi dan aktivitas
-
Keluhan dan komplikasi HD
-
Berat badan.
b.
Mesin HD (Hemadialisa) -
Qd
-
Qb
-
Temperature protap 36,50C – 370C
-
Konduktivitas protap 13,4
-
Monitoring tekanan/pressure
-
Festula pressure
-
Arterial pressure
-
Vena pressure : perbandingan tekanan arteri dan vena
-
Delta pressure
-
Heparinisasi
-
Detektor
-
Sirkulasi darah
-
Jarum punksi / kanula
-
AVDL : bubble trup., sambungan-sambungan,.klem,
-
Dializer bocor, beku , udara,posisi.
-
Set infus dan kolf NaCl
-
Fiksasi
-
Posisi.
-
Sirkulasi dialisat.
-
Wadah/tempat dialisat, jumlah dan isi
-
Selang dialisat (Inlet dan Outlet)
-
konektor
3) MENGAKHIRI HD a.
Pesiapan alat
-
Kain kasa / gaas steril
-
Plester / hipafix
-
Verband gulung (deep)
-
Alkohol dan betadine
-
Antibiotik
-
Bantal pasir (pada punksi famoral)
b.
Cara kerja HD (Hemodialisa)
1. 5 menit sebelum HD berakhir -
db diturunkan sekitar 100 cc/menit
-
VfR = C
2. Ukur TD, V 3. Blood pump stop. 4. Ujung ABL diklem ® jarum inlet dicabut ®bekas punksi inlet ditekan 5. Hubungkan ujung ABL dengan infus set 6. Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan didorong NaCl sambil Qb jalan
7. Setelah darah masuk ke dalam tubuh blood dop, ujung VBL diklem 8. Jarum outlet dicabut, bekas punksi outlet ditekan dengan kasa steril yang diberi betadine 9. Bila perdarahan pada bekas punksi outlet dan inlet sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet dan outlet dengan antibiotik, lalu tutup dengan kain kasa steril pasang verband 10. Ukur TD, nadi, suhu, pernafasan 11. Timbang BB 12. Isi formulir HD
3. HIPOALBUMIN A. Pengertian Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso, 2006 dalam Reza 2012). Fungsi albumin : •
Memelihara tekanan onkotik. Tekanan onkotik yang ditimbulkan oleh albumin akan memelihara fungsi ginjal dan mengurangi edema pada saluran pencernaan.
•
Mengusung hormon tiroid
•
Mengusung hormon lain, khususnya yang dapat larut dalam lemak
•
Mengusung asam lemak menuju hati
•
Mengusung obat-obatan dan memperpendek waktu paruh obat tersebut
•
Mengusung bilirubin
•
Mengikat ion Ca2+
•
Sebagai larutan penyangga
•
Sebagai protein radang fase-akut negatif. Konsentrasi albumin akan menurun sebagai pertanda fase akut respon kekebalan tubuh setelah terjadi infeksi, namun bukan berarti bahwa tubuh sedang dalam keadaan kekurangan nutrisi
B. Etiologi Menurut Iwan S. Handoko (2005), Adhe Hariani (2005) dan Baron (1995) hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah, pencernaan atau absorbsi protein
yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut: 1. Kurang Energi Protein, 2. Kanker, 3. Peritonitis, 4. Luka bakar, 5. Sepsis, 6. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi setelah trauma), 7. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin menurun), 8. Penyakit ginjal (hemodialisa), 9. Penyakit saluran cerna kronik, 10. Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis), 11. Diabetes mellitus dengan gangren, dan 12. TBC paru.
C. Klasifikasi Hipoalbuminemia Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5 –5 g/dl atau total kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006). Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai berikut: 1. Hipoalbuminemia ringan
: 3,5 –3,9 g/dl
2. Hipoalbuminemia sedang : 2,5 –3,5 g/dl 3. Hipoalbuminemia berat
: < 2,5 g/dl
D. Penanganan Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi albumin (Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih telur, atau ekstrak albumin dari bahan makanan yang mengandung albumin dalam kadar yang cukup tinggi. Penangan pasien hipoalbumin di RS dr. Sardjito Yogyakarta dilakukan dengan pemberian putih telur sebagai sumber albumin dan sebagai alternatif lain sumber albumin adalah ekstrak ikan lele (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005). Sedangkan pada RS dr. Saiful Anwar Malang, penanganan pasien hipoalbuminemia dilakukan dengan pemberian BSA
(Body Serum Albumer), dan segi gizi telah dilakukan pemanfaatan bahan makanan seperti estrak ikan gabus, putih telur dan tempe kedelai (Reza, 2012). Untuk menaikkan level albumin, dibutuhkan makanan yang bernilai gizi tinggi, yaitu sama dengan atau lebih tinggi dari 4.0-5,2 g/dl.
Makanan yang mengandung protein.
Makanan dari hewani seperti daging sapi, ikan, ayam, telur, susu mengandung kandungan protein tingkat tinggi. Sedangkan kacang – kacangan, sayur – sayuran mempunyai tingkat kandungan protein lebih rendah (Vaniya, 2000).
DAFTAR PUSTAKA Alamang, M. H. 2012. Bab II Makalah Belajar Cronic Kidney Disease. http://digilib.unimus. ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-alamang0a0-5465-2-babii.pdf, diakses 07 Agustus 2013. Daryadi. 2008. Hemodialisa. http:// nsyadi.blogspot.com/2011/12/hemodialisa.html, diakses 07 Agustus 2013. Kurniadi, Rizki. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cronic Renal Failure (Crf) / Gagal Ginjal Kronis Aplikasi Nanda, Noc, Nic. http: //nickeasvirandarisbi.com/2010/02/askepgagal-ginjal-nandanic-noc.html. diakses 07 Agustus 2013. Pahlevi,
M.
Reza.
2012.
Hipoalbuminemia.
//digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/
Hipoalbuminemia. Pdf, diakses 07 Agustus 2013. Venny, Vaniya. 2000. Hipoalbumin Instalasi Gizi Rs. Bhayangkara Polda Bengkulu. http://www.facebook.com/InstalasiGiziRsBhayangkaraPoldaBengkulu/posts/17306382
9522698, diakses 07 Agustus 2013.