MAKALAH FARMASI RUMAH SAKIT MEDICATION ERROR DAN EVALUASINYA
Disusun Oleh : Jerni Nababan
(A 0101 0004)
Astriani
(A 0101 0016)
Merry
(A 01010017)
Ratna Indah Wahyuni
(A 0101 0023)
Nell Nellii Atik Atik Sand Sandor ora a
(A 0101 0101 0024 0024))
Imas Puspawati
(A 0101 0025)
Maria Selviana Rendo
(A 0101 0031)
Mahendra Syah Alam Akbar
(A 0101 0012)
SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA YAYASAN HAZANAH BANDUNG 2013
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Farmasi Rumah Sakit di program studi farmasi pada Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu
selaku
dosen pembimbing mata kuliah Farmasi Rumah Sakit dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangankekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Bandung, Mei 2013 Penulis
BAB I PENDAHULUAN
Menurut laporan dari The Institute of Medicine setiap tahun medical error menyebabkan kematian pada 44,000-98,000 pasien di Amerika Serikat. Angka kematian ini jauh lebih besar dari angka kematian yang disebabkan oleh 8 penyebab utama kematian di Amerika. Diperkirakan biaya total yang harus dikeluarkan untuk mengatasi medical error mencapai US$17-29 milyar. Meskipun prosentase medical error yang disebabkan oleh obat (medication error ) pada pasien rawat jalan tidak diketahui, namun obat merupakan salah satu penyebab yang umum untuk terjadinya medical error , yaitu sekitar 3.7% dari seluruh pasien. Dengan demikian jelaslah bahwa medication error menjadi komponen yang signifikan untuk terjadinya medical error di rumah sakit-rumah sakit di Amerika Serikat. Kejadian medication error di rumah sakit cukup bervariasi, berkisar antara 3-6.9% untuk pasien rawat inap. Peneliti lain melaporkan angka kejadian medication error yang lebih besar yaitu 4-17% dari seluruh pasien yang dirawat di rumahsakit. Masih dari studi yang sama ditemukan bahwa antibiotika, analgetika, dan obat-obat kardiovaskuler adalah yang paling sering berkaitan dengan kejadian medication error. Error yang terjadi akibat kekeliruan instruksi peresepan mencapai 16.9%. Satu studi di rumah sakit melaporkan bahwa 11% medication error terjadi dalam bentuk pharmacy dispensing errors berupa pemberian obat atau dosis yang keliru. Laporan yang dikompilasi oleh the United States Pharmacopeia pada tahun 1999 menunjukkan hanya 3% dari 6224 medication errors berakhir dengan kegawatan pada pasien.
Suatu studi yang melibatkan 1116 rumah sakit menemukan kejadian medication error sebanyak 5,07% yang 0,25% diantaranya berakhir fatal. Dalam
studi tersebut juga dilaporkan bahwa kejadian medication error di rumah sakit yang
tidak
memiliki
afiliasi
ataupun
kerjasama
dengan
sekolah
pendidikan/fakultas farmasi ternyata 72% lebih tinggi dibandingkan dengan rumah sakit yang memiliki afiliasi dengan fakultas farmasi. Dari berbagai hasil penelitian terlihat bahwa angka kejadian medication error cenderung underestimate atau jauh lebih kecil dari sebenarnya terjadi. Hal
ini dapat dipahami mengingat dalam keseharian masalah tersebut sering luput dari pengamatan karena tidak dikenal, tidak dianggap sebagai suatu kesalahan atau karena tidak memberikan risiko yang berarti bagi pasien. Dampak dari medication error sangat beragam mulai dari keluhan ringan yang dialami pasien hingga kejadian serius yang memerlukan perawatan rumah sakit lebih lama atau bahkan kematian. Di Amerika Serikat medication errors meningkatkan biaya pelayanan kesehatan sekitar US$1900 per pasien. Laporan yang ada juga menyebutkan bahwa di antara 90.000 kasus klaim asuransi di AS, medication error termasuk masalah kedua yang paling sering dan paling mahal biaya klaimnya. Bidang pediatrik termasuk 6 terbesar di antara 16 spesialisasi lain yang acap kali menuai klaim atas medication error, yang jumlahnya mencapai rata-rata $292 136 per kasus.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang
masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers, 1998).
Dalam
Surat
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Menurut the US Pharmacopoeia medication error didefinisikan sebagai: “any preventable event that may cause or lead to inappropriate medication use or patient harm while the medication is in the control of the health care professional, patient, or consumer. Such events may be related to professional practice, health care products, procedures, and systems, including prescribing; order
communication;
product
labeling,
packaging,
and
nomenclature;
compounding; dispensing; distribution; administration; education; monitoring; and use”.
Dari definisi di atas terlihat bahwa medication error tidak saja hanya menyangkut kesalahan peresepan, tetapi juga termasuk prosedur pemberian obat yang tidak jelas yang mengakibatkan kelirunya penggunaan obat di pihak pasien. Berbeda dengan adverse drug reactions, medication errors terjadi sebagai akibat dari kesalahan manusia atau lemahnya sistem yang ada. Medication error dapat terjadi dalam setiap langkah penyiapan obat mulai dari proses pemilihan obat, permintaan melalui resep, pembacaan resep, formulasi obat, penyerahan obat kepada pasien hingga penggunaannya oleh pasien atau petugas kesehatan.
2.2 BENTUK-BENTUK DAN KATEGORISASI MEDICATION ERROR Disadari ataupun tidak, medication error sebenarnya sering dan banyak terjadi di lingkungan sekitar, mulai di lingkungan puskesmas, rumahsakit, apotek hingga pelayanan-pelayanan kesehatan lainnya. Cukup banyak contoh yang dapat diberikan, misalnya resep dalam bentuk puyer yang berisi campuran antara antibiotika dan obat-obat simptomatik serta multivitamin yang sering diberikan pada pasien anak. Dari resep-resep jenis ini jika ditelaah lebih lanjut akan terlihat adanya dosis yang tidak tepat, cara pemberian keliru, dan lama pemberian yang tidak sesuai. Pemberian obat per infus yang hanya disuntikkan di plabot infus adalah contoh lain dari medication error yang hingga saat ini masih sering terjadi di unitunit perawatan. Memberikan obat-obat yang bersifat “narrow therapeutic margin” atau memiliki indeks terapi sempit (seperti misalnya digoksin, teofilin, gentamisin, fenitoin) secara intravenosa tanpa menggunakan syringe pump juga termasuk medication error. Menurut American Hospital Association, medication error antara lain dapat terjadi pada situasi berikut: a) Informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya, b) Tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika timbul efek samping. c) Miskomunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi farmasis yang keliru dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca nama obat yang relatif mirip dengan obat lainnya, kesalahan membaca desimal, pembacaan unit dosis hingga singkatan peresepan yang tidak jelas (q.d atau q.i.d/QD); d) Pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga berisiko dibaca keliru oleh pasien; dan
e) Faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ruang obat yang tidak terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat mengakibatkan timbulnya medication error . Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase administration oleh pasien. Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase
penulisan resep. Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing , error terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas, misalnya Losec® (omeprazole) dibaca Lasix® (furosemide), aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet terbaca 3 kali sehari 1 tablet. Salah dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada fase ini. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian informasi. Sedangkan error pada fase administration adalah error yang terjadi pada proses penggunaan obat. Fase ini
dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya. Error yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan. Prescribing
Kesalahan dalam proses prescribing merupakan kesalahan yang terjadi dalam penulisan resep obat oleh dokter. Misalnya, obat yang diresepkan dosisnya tidak tepat (terlalu besar atau terlalu kecil) untuk pasien. Bila dosisnya terlalu besar bagi pasien, maka dapat menyebabkan efek toksik (keracunan) yang bahkan sampai bisa menyebabkan kematian dan bila dosisnya terlalu kecil, maka efek terapi (penyembuhan) dari obat tersebut tidak tercapai. Contoh lainnya misalnya,
tidak jelasnya tulisan dalam resep, keliru dalam menuliskan nama obat atau tidak jelasnya instruksi yang diberikan dalam resep. Transcribing
Kesalahan dalam proses transcribing merupakan kesalahan yang terjadi dalam menterjemahkan
resep
obat
di
apotek.
Misalnya,
resep
yang
keliru
dibaca/diterjemahkan sehingga otomatis salah juga obat yang diberikan kepada pasien. Bisa juga karena secara sengaja instruksi yang diberikan dalam resep tidak dikerjakan atau secara tidak sengaja ada instruksi dalam resep yang terlewatkan sehingga tidak dikerjakan. Dispensing
Kesalahan dalam proses dispensing merupakan kesalahan yang terjadi dalam peracikan atau pengambilan obat di apotek. Misalnya, obat salah diambil karena adanya kemiripan nama atau kemiripan kemasan, bisa juga karena salah memberi label obat sehingga aturan pemakaian obat atau cara pemakaian obat menjadi tidak sesuai lagi atau mengambil obat yang sudah kadaluarsa. Administration
Kesalahan dalam proses administering berkaitan dengan hal-hal yang bersifat administrasi pada saat obat diberikan atau diserahkan kepada pasien. Misalnya, karena keliru dalam membaca nama pasien atau tidak teliti dalam memeriksa identitas pasien maka obat yang diberikan/diserahkan juga menjadi salah. Bisa juga karena salah dalam menuliskan instruksi pemakaian obat kepada pasien atau salah memberi penjelasan secara lisan kepada pasien sehingga pasien pun akhirnya salah dalam menggunakan obat tersebut.
Adapun bentuk-bentuk medication error disajikan dalam Tabel 1.17
Tabel 1. Bentuk-bentuk Medication error Prescribing
Transcribing
1. Kontra indikasi
1. Copy error
2. Duplikasi
2. Dibaca keliru
3. Tidak terbaca
3. Ada instruksi yang terlewatkan
4. Instruksi tidak jelas 5. Instruksi keliru 6. Instrukti tidak lengkap 7. Penghitungan dosis keliru
4. Mis-stamped 5. Instruksi tidak dikerjakan
Dispensing
Administration
1. Kontra indikasi 1. Administration error 2. Extra dose 2. Kontra indikasi 3. Kegagalan mencek instruksi 3. Obat tertinggal di samping bed 4. Sediaan obat buruk 4. Extra dose
5. Instruksi penggunaan obat 6. Instruksi verbal tidak jelas diterjemahkan salah 6. Salah menghitung dosis 7. Salah memberi label
5. Kegagalan mencek instruksi 6. Tidak mencek identitas pasien 7. Dosis keliru 8. Salah menulis instruksi
8. Salah menulis instruksi
9. Patient off unit
9. Dosis keliru
10. Pemberian obat di luar instruksi
10. Pemberian obat 11. Instruksi verbal di luar instruksi dijalankan keliru 11. Instruksi verbal dijalankan keliru Dari Tabel 1 terlihat bahwa medication error sangat luas cakupannya mulai dari saat peresepan, pembacaan resep oleh farmasis, penyerahan obat, hingga pemberian/ penggunaan obat oleh pasien. Melalui gambaran tersebut maka kesalahan yang terjadi di salah satu komponen dapat saja secara berantai menimbulkan kesalahan lain di komponen-komponen selanjutnya. Menurut National Coordinating Council for Medication error Reporting and Prevention (NCC MERP) kategorisasi medication error adalah sebagai berikut18:
Tabel 2 Taksonomi & kategorisasi Medication error Tipe error
Kategori Keterangan
NO ERROR
A
Keadaan atau kejadian yang potensial menyebabkan terjadinya error
ERROR-
B C
NO HARM
Error terjadi, tetapi obat belum mencapai pasien Error terjadi, obat sudah mencapai pasien tetapi tidak menimbulkan risiko a) Obat mencapai pasien dan sudah terlanjut diminum/digunakan b) Obat mencapai pasien tetapi belum sempat diminum/digunakan
D
Error terjadi dan konsekuensinya diperlukan monitoring terhadap pasien, tetapi tidak menimbulkan risiko (harm) pada pasien
ERROR-
E
HARM
Error terjadi dan pasien memerlukan terapi atau intervensi serta menimbulkan risiko (harm) pada pasien yang bersifat sementara
F
Error terjadi & pasien memerlukan perawatan atau perpanjangan perawatan di rumahsakit disertai cacat yang bersifat sementara
G
Error terjadi dan menyebabkan risiko (harm) permanen
H
Error terjadi dan nyaris menimbulkan kematian (mis. Anafilaksi, henti jantung)
ERROR-
I
Error terjadi dan menyebabkan kematian pasien
DEATH
2.3 Penyebab Medication Eror
Beberapa penulis menulis berbagai kategori penyebab ME yang berbeda-beda. Secara umum, terdapat 6 kategori penyebab ME menurut ISMP ( Institute for Safe Medication Practices), yaitu:
1. Failed communication. 2. Poor drug distribution practices. 3. Dose miscalculations. 4. Drug-and drug device- related problems. 5. Incorrect drug administration. 6. Lack of patient education. 1. Failed Communication. a. Handwriting Penulisan yang jelek dapat menyebabkan kesalahan pembacaan order terutama untuk obat-obat yang mempunyai kemiripan nama. Kesalahan interpretasi nama obat yang di order juga dapat terjadi melalui order via telepon, karena kemiripan pengucapan beberapa nama obat. b. Drugs with similar names Nama obat menjadi penyebab dua hingga tiga kejadian ME. Terdapat ratusan, bahkan ribuan obat dengan nama yang hampir mirip, baik nama paten maupun generik. Beberapa diantaranya: Losec® (omeprazole) vs Lasix® (furosemide). Coumadin® (anticoagulant) vs Kemadrin® (anti parkinson). Taxol® (paclitaxel) vs Paxil® (paroxetin). Amrinone (Inocor ®) vs amiodarone (Cordarone®). Ritonavir (Norvir ®) vs Retrovir ® (zidovudine).
Kesalahan ini pada dasarnya bisa di prediksi. Akan tetapi dari sekian banyak produk obat yang tersedia, tidak dapat diharapkan akan diingat semua oleh praktisi kesehatan. Terutama untuk produk baru, seperti Losec® pembacanya secara terburu-buru pasti akan langsung menyangka lasix®, produk yang terlebih dahulu telah familiar dengannya. Kecenderungan ini disebut “confirmation bias”. c. Zeroes and decimal points Dalam kondisi terburu-buru menulis resep/order obat, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan meski nama obat tertulis dengan benar. Order “vincristine 2.0 mg” pernah salah dibaca oleh personel menjadi “20 mg”, karena koma tertulis di garis kertas order, sehingga tidak terlihat oleh pembaca. Akibatnya pasien meninggal setelah menerima dosis yang tinggi tersebut. Pada kasus lain, seorang bayi seharusnya menerima 0.17 mg digoxin, tetapi malah menerima 0.017 mg karena kesalahan kalkulasi dosis. Menghilangkan
angka nol juga dapat berakibat kesalahan
pembacaan. Seperti pada “Synthroid® .1 mg”, salah arti menjadi “1 mg”. d. Abbreviations Sering pula terjadi ME karena kesalahan menstandardisasi singkatan, hingga terjadi salah arti antara penulis dan pembaca. Contoh penulisan D/C yang diartikan ganda sebagai “discharge” dan discontinue”. Seorang dokter menulis order sebagai berikut: “D/C meds: digoxin, propranolol, regular insulin”. Ia bermaksud meneruskan ketiga obat tersebut setelah pasien keluar dari rumah sakit (discharge from the hospital). Akan tetapi, personel klinik nya mengira dokter menginginkan agar ketiga obat tersebut dihentikan (discontinue). Akibatnya, pasien tidak mendapatkan pengobatan ketika keluar dari rumah sakit selama 3 hari. Kesalahan terdeteksi setelah perawat memperhatikan resep tersebut di chart pasien.
e. Ambiguous or Incomplete Orders Di tahun 1995, public dikejutkan dengan kesalahan pengobatan yang fatal yang terjadi di Dana Farber Cancer Institute di Boston. Seorang wanita
39
tahun
penderita
kanker
payudara
meninggal
akibat
cardiotoxicity karena overdosis. Cyclophosphamide di order pada dosis “4 g/m2 days 1-4”. Maksud penulis resep adalah total 4 g/m2 diberikan selama maksimal 4 hari (1 g/m2 per hari selama 4 hari). Sementara beberapa professional kesehatan lain menginterpretasi order tersebut dengan 4 g/m2 per hari selama 4 hari. Setelah 4 hari, wanita tersebut menerima total 26.08 g cyclophosphamid (dosis maksimal 6,52 g). 2. Poor Drug Distribution Practices System UDD telah terbukti mengurangi celah terjadinya ME. Dengan UDD, order obat diawasi dan disaring oleh personel farmasi dan perawat. Dosis disiapkan, dikemas, dilabel, dan dicek oleh personel farmasi, dan diberikan pada pasien oleh perawat, yang sekaligus mengecek ketepatan administrasi obat. 3. Dose Miscalculation Kesalahan ini sering terjadi terutama untuk pasien pediatric dan produk yang diberikan melalui iv. 4. Problems Related to Drug Devices Masalah labeling dan packaging merupakan masalah kedua yang sering terjadi, penyebab ME yang dilaporkan pada USP MERP, mencakup 20% kasus yang dilaporkan. Di Veterans Administration Hospital, Omaha, tiga pasien mengalami cardiorespiratory arrest setelah mendapatkan neuromuscular blocking agent mivacurium, yang seharusnya antibiotic metronidazole. Pabrik mengemas masing-masing item ke foil moisture protecting overwrap. Nama obat tidak terlihat dari foil tersebut, melainkan
di tas plastik iv yang melingkupi foil, ditempat yang tidak terlalu
kelihatan. Beberapa petugas mencampur kedua obat tersebut. Setelah dideteksi ternyata kesalahan terletak pada packaging tersebut. Hingga sekarang, nama obat harus terlihat jelas dan menyatu dengan kemasan akhir obat. 5. Incorrect Drug Administration Meskipun semua langkah-langkah awal penyiapan obat telah dilalui dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya ME, akan tetapi ME pun dapat terjadi juga. Hal ini diakibatkan oleh salah penggunaan obat oleh pengguna obat tersebut. Tetes mata yang salah digunakan sebagai tetes telinga, obat topical yang ditelan, dan kesalahan administrasi lainnya. 6. Lack of Patient Education Menjadi suatu langkah yang memegang peran penting untuk mencegah terjadinya ME, dengan memberikan informasi dan pengetahuan pada pasien tentang pengobatan mereka. Pasien yang mengetahui kegunaan masing-masing obatnya, aturan pakai, bentuk obatnya, dan bagaimana kerjanya, akan meminimalisir terjadinya ME. Pasien harus diberikan haknya untuk bertanya dan mendapatkan jawaban yang memuaskan. 2.3 PENCEGAHAN MEDICATION ERROR Berbagai penelitian mengenai medication error telah banyak dilakukan, tidak hanya dalam hal identifikasi dan analisisnya tetapi juga rekomendasi untuk mencegah terjadinya medication error. Namun demikian tidak banyak yang mengulasnya secara komprehensif dan sistematis. Pencegahan terjadinya medication error dapat didekati dengan konsep-konsep human error sebagaimana ditulis oleh Belay18 1) Error awareness." Dalam konteks ini maka setiap individu yang terlibat harus menyadari bahwa medication error dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Bahwa jika terjadi medication error maka konsekuensi yang
dapat timbul akan sangat beragam mulai dari yang ringan/tanpa gejala hingga menyebabkan kematian. Pemahaman yang baik mengenai medication error ini perlu diterapkan di unit-unit pelayanan yang langsung berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, perawat, apoteker, asisten apoteker dan petugas administrasi obat. 2) Lakukan pengamatan sistematik. Awal dari terjadinya medication error dapat berasal dari individu tetapi juga sistem. Petugas yang lelah, ceroboh, atau dalam situasi psikologis yang buruk dapat sewaktu-waktu mengawali terjadinya medication error. Namun demikian sistem yang buruk, yang tidak mendukung mekanisme kerja yang baik, atau tidak dijalankan atas dasar prosedur yang standar juga dapat menjadi sumber medication error yang latent. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengamatan secara sistematik apakah sistem yang ada ikut berperan untuk terjadinya error. Sebagai contoh, buruknya sistem kerjasama antara dokter, perawat, dan apoteker akan selalu menjadi penyebab laten timbulnya medication error. 3) Gunakan data medication error sebagai alat untuk menyusun instrumen analisis error. Untuk komponen ini maka setiap unit pelayanan hendaknya memiliki data medication error yang pengumpulannya dilakukan secara berkesinambungan. Dari data yang ada selanjutnya dapat dilakukan analisis untuk mengidentifikasi areaarea yang berpotensi untuk terjadinya error, sehingga upaya antisipasi dapat dilakukan secara baik dan benar. 4) Kembangkan kemauan untuk mendesign ulang sistem yang ada. Tantangan yang paling berat bagi semua orang adalah mengubah atau mengganti sama sekali prosedur atau mekanisme yang selama ini sudah berjalan. Sistem yang buruk tentu akan menghasilkan produk yang buruk. Oleh sebab itu jika terbukti kejadian medication error umumnya bersumber dari sistem maka tidak ada salahnya untuk mengubah sistem yang ada yang mampu mencegah terjadinya error di masa mendatang. Apabila misalnya sistem pencampuran/peracikan obat yang ada masih bersifat tradisional, manual dan merisiko terjadinya error, maka perubahan ke sistem yang lebih automatik sangat dianjurkan.
5) Gunakan simulasi jika memungkinkan. Contoh untuk ini adalah di dunia penerbangan
yang selalu menggunakan flight simulators untuk menguji
kemampuan, ketahanan, dan stamina pilot. Di bidang kefarmasian hal ini bisa dilakukan misalnya dengan interactive computer assissted learning atau dapat juga menggunakan role playing. Pendekatan ini akan sangat bermanfaat bagi petugas untuk setiap saat mawas diri dan mampu bersikap secara benar untuk meminimalkan terjadinya medication error. 6) Pengumpulan data secara otomatis untuk analisis error. Sistem komputerisasi dan automatisasi dalam proses pengumpulan data medication error akan sangat bermanfaat dalam mendeteksi dini setiap kejadian error. Perintah peresepan melalui komputer juga terbukti menurunkan kejadian error hingga lebih dari 60%. Melalui sistem ini maka setiap komponen yang terlibat akan berpikir beberapa kali untuk memasukkan data secara akurat, misalnya perintah peresepan, instruksi mengenai cara pemberian, dosis dsb. 7) Lakukan evaluasi terhadap kinerja petugas. Jika error sudah terjadi, mekanisme defensif pasti muncul pada diri setiap orang. Tidak ada satupun petugas yang secara ksatria mengakui bahwa dialah yang paling bertanggungjawab dalam kejadian medication error. Oleh sebab itu perlu dikembangkan suatu mekanisme evaluasi yang sistematik dan komprehensif untuk mengetahui kinerja petugas dari waktu ke waktu. Kinerja ini kemudian diumpanbalikkan secara terus menerus sehingga masing-masing petugas mengetahui hal-hal apa saja yang selama ini dilakukannya yang berpotensi menimbulkan medication error. Melalui cara ini maka setiap petugas akan selalu tersadar untuk tidak mengulang hal yang sama di kemudian hari, karena penayangan hasil kinerja yang buruk akan sangat berpengaruh secara psikologis bagi yang bersangkutan. 8) Antisipasi error melalui sistem koding dan SOP yang lebih baik. Standard operating procedure (SOP) untuk prescribing, transcribing, dispensing dan administering perlu dibuat untuk meminimalkan risiko medication error. Sebagai contoh jika ada bagian resep yang tidak terbaca, maka konsultasi langsung ke penulis resep haruslah menjadi langkah pertama yang harus dilakukan. Pencatatan nama dan alamat pasien sebenarnya merupakan satu SOP yang baik, hanya
sayangnya selama ini tidak pernah ada evaluasi harian bagi apotek untuk selanjutnya segera menghubungi pasien pada hari yang sama jika terbukti terjadi kekeliruan. 9) Computerised prescribing. Metode ini telah dilakukan di berbagai rumah sakit di Amerika, khususnya untuk pasien rawat inap. Penulisan resep oleh dokter tidak dilakukan di secarik kertas resep tetapi melalui komputer. Suatu perangkat lunak (software) kemudian menerjemahkan dan menginformasikan mengenai ketepatan dosis, frekuensi, dan cara pemberian obat serta kemungkinan interaksi obat yang terjadi dalam peresepan yang dituliskan oleh dokter. Melalui cara ini risiko medication error dapat dikurangi hingga 75%. Langkah-langkah di atas merupakan salah satu upaya sistematik yang dapat dikembangkan untuk mencegah terjadinya medication error. Setiap institusi dapat lebih mendetailkan setiap langkah ke dalam satu bentuk standard operating procedure yang dapat diadopsi oleh segenap staf/petugas, baik di apotek, bangsal, maupun poliklinik. Salah satu hal yang penting dipertimbangkan adalah bahwa apabila kita tidak pernah merasa bahwa medication error ada, maka sebenarnya kita sudah menjadi bagian dari medication error itu sendiri.
BAB III PENUTUP
Medication error dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan menimpa siapa saja. Dampak yang ditimbulkannya sangatlah beragam mulai yang tidak memberi risiko sama sekali hingga yang berakhir dengan kecacatan atau bahkan kematian. Medication error dapat terjadi di masing-masing proses dari peresepan, mulai dari penulisan resep, pembacaan resep oleh apotek, penyerahan obat, hingga penggunaan obat oleh pasien. Kesalahan dalam salah satu bagian bisa secara berantai meningkatkan risiko medication error di langkah berikutnya dalam proses peresepan. Jika obat sudah mencapai pasien, apalagi diminum atau digunakan, maka yang dapat diharapkan adalah kemungkinan timbulnya risiko efek samping yang dapat diprediksi. Pada situasi ini tentu sangat sulit untuk menjamin bahwa medication error dapat dikurangi. Namun dengan upaya sistematik, baik melalui identifikasi berkala terhadap kinerja, sistem komputerisasi dan automatisasi pengumpulan data hingga penyusunan standard operating prosedur akan dapat meminimalkan risiko terjadinya medication error.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2004,
KepMenKes
Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004,
Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek , Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Cohen, M.R.,, 1991, Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication Error , American Pharmaceutical Association, Washington, DC
Kozer, E. , et al , 2005, Variables Associated With Medication Errors in Pediatric Emergency Medicine, Pediatrics, American Academy of Pediatrics, March 4, p. 737743 Fortescue, E.B., et al , 2003, Prioritizing Strategies for Preventing Medication Errors and Adverse Drug Events in Pediatric Inpatients, Pediatrics, American Academy of Pediatrics, Vol. III. No. 4 April, p.722-729. Katzung, B.G., and Lofholm, P.W., 1997, Peresepan Rasional dan Penulisan Resep, dalam: Katzung, B.G., Basic & Clinical Pharmacology, diterjemahkan oleh Agoes, H.A., (ed), Edisi VI, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, hal: 1010 – 1021 (Trochim, 2003).