Logo Indonesia Sehat
PEDOMAN MANAJEMEN
PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
DEPARTEMEN KESEHATAN R.I. JAKARTA 2003
PEDOMAN MANAJEMEN PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
TIM PENYUSUN: Dr.R.SOERJO HADIJONO SpOG(K), DTRM&B(Ch) Master Trainer Jaringan Nasional Pelatihan Klinik – Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR)
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2003 ISBN: Isi buku Pedoman Manajemen Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif 24 Jam di tingkat Kabupaten/Kota telah disepakati bersama untuk pengembangan dan pelaksanaan oleh:
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi
Ikatan Bidan Indonesia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Bahan dalam buku ini dikembangkan dari Emergency Care Guidelines–American College of Emergency Physicians (ACEP), Pelatihan PONED dan PONEK – Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR), Emergency Obstetrics Care Quality Improvement Manual – Engender Health (Working Draft), Pedoman Pelaksanaan PONEK dan Unit Tranfusi Darah di RSUP Dr.Kariadi Semarang, RSUD Dr.Soetomo Surabaya, RSUD Dr.M.Ashari Pemalang, RSUD Brebes, RSUD Dr.Syaiful Anwar Malang, RSUD Ngawi. Dengan menggunakan buku ini diharapkan pelayanan PONEK 24 jam di RS Kabupaten dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Apa yang tertulis dalam pedoman ini dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengembangkan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal di tingkat Kabupaten dan sekaligus membangun infrastruktur sistem rujukan serta pemanfaatan secara optimal sumber daya manusia. Revisi pertama dilakukan dalam Lokakarya Penyusunan Pedoman Manajemen Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif 24 Jam di tingkat Kabupaten/Kota yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI di Jakarta di Diklat Depkes RI Cimacan pada tanggal 6-8 Pebruari 2003 Penyempurnaan materi dalam buku ini dilakukan dalam pertemuan di Dirjen Yanmed Depkes RI Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2003 dan Januari 2005 Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
2
SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
3
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
KATA PENGANTAR DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN MEDIK DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
4
KATA PENGANTAR DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
5
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
KATA PENGANTAR JARINGAN NASIONAL PELATIHAN KLINIK – KESEHATAN REPRODUKSI PERKUMPULAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI INDONESIA
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
6
DAFTAR ISI Sambutan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kata Pengantar Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI Direktorat Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi – POGI Daftar isi
3 4 5 6 7
Bab 1 PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan
9 10
Bab 2 SISTEM RUJUKAN MATERNAL DAN NEONATAL 1. Pengertian Definisi Masalah rujukan kesehatan maternal neonatal di 10 Kabupaten SMFPA Manfaat sistem rujukan maternal neonatal 2. Sistem Rujukan Pengembangan pra-rumah sakit Alur pelayanan rujukan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal Pengembangan Rumah Sakit PONEK 24 Jam Pencatatan dan Pelaporan Pemantauan dan Evaluasi 3. Program Menjaga Mutu Audit Maternal dan Perinatal “Peer Review” Pertemuan Pemantauan Sistem Rujukan POA Gabungan tingkat Kabupaten Supervisi Fasilitatif 4. Partisipasi Masyarakat Gerakan Sayang Ibu Pendekatan pengembangan masyarakat Menggugah inovasi
13 11 13 15 17 19 19 20 23 28 29 31 31 34 35 36
Bab 3 PENGEMBANGAN KOMPONEN SISTEM RUJUKAN MATERNAL DAN NEONATAL 1. RUMAH SAKIT KABUPATEN Instalasi Gawat Darurat Elemen yang diperlukan Hubungan kemitraan dan tanggung jawab Mekanisme alur pasien rujukan maternal & neonatal Peralatan dan sarana yang dianjurkan untuk Unit Pelayanan Obstetri & Neonatal Emergensi Komprehensif Obat yang dianjurkan untuk Unit Pelayanan Obstetri & Neonatal Emergensi Komprehensif Peralatan, obat dan bahan pada “Emergency Obstetrics Trolley” Radiologi, Pencitraan dan Pelayanan Diagnostik 7
39 39 43 45 46 49 50 51
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Kemampuan pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan Bank Darah – Unit Transfusi Darah Cabang 2. PUSKESMAS DAN PUSKESMAS PERAWATAN Administrasi Mekanisme alur pasien rujukan maternal & neonatal
52 53 55 55 58
3. FASILITAS KESEHATAN TINGKAT DESA (POLINDES, PUSKESMAS PEMBANTU) 58 Mekanisme alur pasien rujukan maternal & neonatal 60 Bab 4 PENILAIAN KINERJA Pengembangan Mutu Pelayanan Pengukuran kinerja Penilaian kinerja Unit Gawat Darurat 24 Jam Proses pelayanan pasien dengan kegawatan Obstetri dan Neonatal
61 61 66 70
BAB 5 PERSIAPAN UMUM SEBELUM TINDAKAN KEGAWATDARURATAN Penutup
72
Lampiran
72
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
8
BAB 1
PENDAHULUAN Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR), bukan saja merupakan indikator tingkat kesehatan wanita, tetapi juga menggambarkan tingkat akses, integritas, dan efektivitas sektor kesehatan. Oleh karena itu, MMR juga sering dipergunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan dari suatu negara. Sejak 1988, Departemen Kesehatan RI memfokuskan programnya untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu, sebagai reaksi terhadap angka kematian ibu yang masih sangat tinggi di Indonesia. Departemen Kesehatan RI mentargetkan penurunan Angka Kematian Ibu dari 450/100,000 kelahiran hidup di tahun 1995 menjadi 225/100,000 kelahiran hidup di tahun 2000 dan menjadi 125/100,000 pada tahun 2010. Persalinan dengan tenaga terlatih meningkat dari 25% pada tahun 1992 menjadi 67% pada tahun 1999, tetapi masih belum mencapai angka 90% sesuai dengan target internasional. Indikator Perkembangan Nasional Total populasi (juta - 1998) Human Development Index (HDI) dan (HDI Rank) (1998) GNP per kapita (US$) % Populasi hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1/hari (19891998) External debt (US$ millions - 1998) Distribusi pendapatan Gini index (1) Pengeluaran masyarakat untuk kesehatan dalam % dari GDP (19961998) Kelangsungan hidup pada saat kelahiran (tahun-1998) % Kamampuan baca tulis pada orang dewasa (Adult literacy rate – 1998) Perkiraan kasus HIV/AIDS dewasa 15-49 (1999) (2) Perkiraan kasus HIV/AIDS pada wanita 15-49 (1999) (2) Populasi tanpa akses pada fasilitas pelayanan kesehatan (1981-1993)
206.3 0.670 (109/174) 640 26.3 150,875 31.7 0.6 Wanita Pria 67.5 63.7 80.5 91.1 52,000 13,000 57
Semua indikator diambil dari Human Development Report 2000. New York, United Nations Development Program, 2000, kecuali untuk: (1) World Development Indicators. Washington DC, The World Bank, 2001. (2) Report on the Global HIV/AIDS epidemic. Geneva, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS, 2000.
Dalam perkembangan proses otonomi daerah serta peningkatan pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), maka diharapkan adanya peningkatan anggaran kesehatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada saat ini berkisar antara 0.6-1.8% GDP menjadi 5-15% GDP. Sehingga dengan demikian pemerintah kabupaten didorong untuk mengajukan dan menetapkan matching budget untuk kebutuhan lain dalam anggaran kesehatan yang tidak mendapatkan dukungan dari dana SMFPA dalam perbandingan 1:10 Beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab termasuk kualitas pelayanan oleh tenaga kesehatan yang tidak adekuat dan buruk, yang berdampak pada lebih dari 200,000 kematian ibu setiap tahun. Sebagai tambahan, status dan pendidikan wanita yang rendah, terutama di perdesaan, memberikan dampak negatif pada kematian maternal. Keterbatasan akses pada pertolongan persalinan oleh tenaga terampil dan sistem rujukan yang tidak 9
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
memadai mengakibatkan hampir 40% wanita melahirkan tanpa pertolongan tenaga kesehatan terampil dan 70% tidak mendapatkan pelayanan pasca persalinan dalam waktu 6 minggu setelah persalinan. Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah Perdarahan 42%, eklampsia 13%, komplikasi abortus 11%, infeksi 10%, dan persalinan lama 9%.1 Kematian maternal yang tinggi juga disebabkan oleh tingginya angka kehamilan yang tidak diharapkan. Di Indonesia, masih terdapat hampir 13% wanita berstatus kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan, tetapi tidak mendapatkan pelayanan kontrasepsi (unmet needs). Wanita dewasa belum siap untuk bertanggung jawab pada kesehatan reproduksi, memiliki anak sesuai dengan keinginannya sendiri, yang berakibat pada kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan perbaikan tingkat ekonomi. Dibutuhkan peningkatan akses pada pelayanan keluarga berencana untuk mencegah kehamilan pada waktu yang tidak sesuai dan kehamilan yang tidak diharapkan. Lebih kurang 65% kehamilan yang terjadi berhubungan dengan “4 terlalu” yang berhubungan dengan kehamilan, “terlalu muda” (kurang dari 20 tahun), “terlalu tua” (lebih dari 35 tahun), “terlalu sering” (jarak kehamilan kurang dari 2 tahun) dan “terlalu banyak” (lebih dari 3 anak). Selain itu dalam proses pengelolaan kegawatdaruratan maternal masih terdapat “3 terlambat” (terlambat deteksi dan mengambil keputusan, terlambat merujuk dan terlambat mendapat penanganan oleh tenaga professional) Tantangan utama pelaksanaan kebijakan Safe Motherhood adalah sebagai berikut: • Keterbatasan jumlah sumber daya manusia, dukungan finansial dan sarana; • Strategi program Safe Motherhood belum secara baik dimengerti oleh semua pihak yang terkait, keterbatasan efektivitas dan keterpaduan kegiatan; • Pelaksanaan di lapangan tidak selalu menggunakan program yang paling efektif; • Pelaksanaan program tidak selalu didasarkan pada standard dan • Koordinasi diantara lembaga mitra tidak selalu direncanakan, keterbatasan efektivitas diantara kontribusi individual dan upaya bersama. “MAKING PREGNANCY SAFER” SEBAGAI STRATEGI PERCEPATAN PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN NEONATAL Dari “Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer di Indonesia tahun 20012010” yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2001, didapatkan bahwa sebab utama kematian Ibu di Indonesia adalah perdarahan, infeksi, eklampsi, partus lama, dan komplikasi abortus. Perdarahan yang merupakan sebab utama kematian kebanyakan disebabkan oleh karena retensi plasenta. Keadaan ini menunjukkan adanya manajemen persalinan kala III yang kurang adekuat. Kematian ibu akibat infeksi merupakan indikator kurang baiknya upaya pencegahan dan manajemen infeksi. Sedangkan kematian ibu yang disebabkan karena komplikasi aborsi adalah akibat kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy). Data SDKI tahun 1997 menunjukkan bahwa wanita berstatus kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan, tetapi tidak menggunakan cara kontrasepsi (unmet needs) masih cukup tinggi (9.2%). Sedangkan persentase persalinan dengan interval kurang dari 24 bulan secara nasional adalah 15.4% yang juga merupakan kelompok resiko tinggi terhadap kesakitan dan kematian ibu. Dua puluh dua persen wanita telah mengalami 4 kali kehamilan atau lebih, 13.7% diantaranya merupakan kelompok yang beresiko tinggi terhadap perdarahan pasca persalinan. Kelompok resiko tinggi lainnya adalah ibu-ibu yang melahirkan diatas umur 35 tahun yaitu 11% dari semua ibu hamil. Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
10
Pola morbiditas dan mortalitas maternal diatas menggambarkan kepentingan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terampil, oleh karena sebagian besar komplikasi terjadi pada saat persalinan. SDKI 1997 melaporkan bahwa 24.6% persalinan dengan komplikasi harus ditolong dengan bedah Caesar, dimana sebagian besar kasus ini disebabkan oleh partus lama dan perdarahan. Selain itu juga ada 4 macam penundaan yang dapat berpengaruh pada resiko kematian pada saat persalinan. Penundaan yang pertama adalah akibat wanita hamil tidak mengenali tanda-tanda komplikasi yang membutuhkan perawatan yang intensif, kemudian yang kedua adalah penundaan dalam memutuskan usaha untuk mencari pertolongan, yang ketiga perlu waktu yang lama untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan yang sesuai (puskesmas atau rumah sakit), dan yang keempat adalah bahwa mereka mendapat pelayanan dibawah standard atau pelayanan yang lambat dari fasilitas kesehatan. Dalam rangka mewujudkan kesehatan ibu dan anak, maka World Health Organization (WHO) pada tahun 1987 meluncurkan program Safe Motherhood Initiative (SMI) bersama dengan Safe Motherhood Inter Agency antara lain UNFPA, UNICEF, World Bank, dll. untuk menempatkan kesehatan ibu menjadi agenda utama pada upaya peningkatan kesehatan masyarakat dalam skala international. Inisiatif ini dititikberatkan pada mobilisassi sumber daya manusia yang berkualitas yang didukung dengan pelayanan yang berdasar evidencebased. Pada tahun 2002, Indonesia mengikuti Millenium Summit Declaration of 2000 dan pada pertemuan itu dihasilkan komitmen bersama untuk menurunkan Angka Kematian Ibu. Dalam rangka itulah, maka pemerintah beberapa waktu yang lalu melaksanakan beberapa program. Diantaranya adalah Program Indonesia Sehat 2010 yang salah satu sasarannya adalah untuk dapat menurunkan MMR menjadi 125/100,000 kelahiran hidup. Kemudian ditetapkan 4 strategi utama dan asas pedoman operasionalisasi strategi antara lain bahwa Making Pregnancy Safer memusatkan perhatian pada pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang baku dan efektif, cost effective dan berdasarkan bukti (evidence-based) pada semua tingkat pelayanan dan rujukan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. TUJUAN BUKU PEDOMAN SISTEM RUJUKAN MATERNAL NEONATAL Buku ini diharapkan akan menjadi pedoman kerja bagi petugas kesehatan di rumah sakit kabupaten, puskesmas dengan atau tanpa perawatan maupun polindes dan puskesmas pembantu serta menjadi bahan acuan bagi lintas sektor terkait dan masyarakat, dalam melakukan perbaikan dan peningkatan pelayanan kesehatan pada umumnya dan kesehatan maternal dan neonatal pada khususnya, berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal secara paripurna.
11
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
BAB 2
SISTEM RUJUKAN MATERNAL & NEONATAL MASALAH RUJUKAN KESEHATAN MATERNAL & NEONATAL DI 10 KABUPATEN SMFPA Dalam pengamatan yang dilakukan berkaitan dengan rujukan maternal dan neonatal pada setiap tingkat pelayanan kesehatan, didapatkan beberapa masalah yang dianggap dapat memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan rujukan, antara lain: • Penerima pertama pasien bukan tenaga medis terlatih Pada umumnya penerima pasien pertama adalah bukan tenaga medis terlatih, sehingga pengetahuan untuk melakukan pengenalan kegawatdaruratan sangat rendah. Petugas penerima pasien ini secara rutin cenderung hanya menganjurkan prosedur rutin penerimaan pasien (menunjukkan loket pendaftaran, meminta keluarga untuk membeli karcis dll.) • Dokter dan Bidan sebagai tenaga terlatih justru berada di lini belakang Dokter dan bidan sebagai tenaga terampil harus dipanggil atau bahkan hanya tersedia setelah ada pemberitahuan (on call), bila ada pasien rujukan maternal dan neonatal. Bidan dengan keterampilan melakukan pengelolaan kegawat daruratan lebih sering berada atau ditempatkan di Kamar Bersalin dibandingkan di Unit Gawat Darurat. • Prosedur penerimaan rujukan yang lambat karena birokrasi pelaporan Di beberapa rumah sakit, bidan yang mendampingi pasien yang dirujuknya harus terlebih dahulu menuliskan laporan sebelum pasien yang dirujuk ditangani oleh dokter / dokter spesialis sebagai konsultan • Bank Darah Rumah Sakit belum berfungsi sebagai tempat antara penyimpanan darah Darah yang diperlukan dalam persiapan operasi langsung dikirim ke kamar operasi dan tidak disimpan dalam almari pendingin. Apabila darah kemudian tidak ditransfusikan, maka persediaan darah tersebut dapat mengalami kerusakan dan tidak dapat dipergunakan kembali untuk kepentingan pasien lain yang membutuhkan • UTD (Unit Transfusi Darah) Belum tersedianya UTD di semua Kabupaten/Kota maupun Bank Darah di RS Kabupaten/Kota, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam penyediaan darah bagi pasien yang memerlukan. • Keterbatasan pelayanan pemeriksaan penunjang karena keterbatasan SDM, sarana dan prasarana Belum seluruh pemeriksaan standard yang disyaratkan dapat dilakukan di fasilitas kesehatan, keadaan ini sangat dipengaruhi keterbatasan tenaga maupun sarana dan prasarana yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan • Keterbatasan keterampilan Puskesmas dalam melakukan tindakan Secara umum dapat dikatakan bahwa Puskesmas sudah tidak melakukan pertolongan persalinan normal maupun melakukan beberapa tindakan yang sebenarnya masih dalam kewenangan Puskesmas seperti ekstraksi vakum/forseps dan kuretase. Keadaan ini terutama disebabkan oleh karena kurangnya pengalaman praktek dokter puskesmas dalam tindakan tersebut selama mereka menjalani pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran. • Umpan balik (feedback) Surat Rujukan
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
12
•
•
•
•
•
Kesinambungan pelayanan rujukan dalam satu mata rantai yang utuh menjadi bagian dari upaya pemantapan system rujukan. Dalam hal kasus rujukan, maka perujuk juga harus mendapatkan informasi tentang keadaan pasien yang telah dirujuk serta tindak lanjut pasca tindakan di rumah sakit. Umpan balik rujukan dari rumah sakit sering diabaikan karena tindakan yang dilakukan di tingkat RS Kabupaten/Kota dianggap telah menyelesaikan masalah. Walaupun sebenarnya bimbingan teknis juga dapat dilakukan dengan memberikan umpan balik rujukan, sehingga Puskesmas dan pelayanan kesehatan setingkat akan mendapatkan pengalaman dari kasus yang dirujuk serta melakukan penilaian keputusan untuk merujuk dan waktu yang terbaik untuk melakukan rujukan. Petunjuk pelaksanaan sistem rujukan yang tidak baku Rujukan pasien Jaringan Pengaman Sosial (JPS) masih mensyaratkan fotokopi Kartu Sehat agar pelayanan yang dilakukan dapat dibayar melalui sistem JPS. Bahkan di beberapa rumah sakit ditemukan beberapa pasien yang sebenarnya tidak sesuai dengan kriteria pemberian Kartu Sehat. Status Puskesmas PONED dan bukan PONED sering membingungkan bidan apabila harus melakukan rujukan, oleh karena pada umumnya tindakan obstetri tidak dikerjakan oleh puskesmas bukan PONED. Sehingga juga sering terjadi kasus rujukan yang terlanjur dikirim dan menjadi beban pekerjaan RS Kabupaten, walaupun sebenarnya hanya diperlukan tindakan yang masih mungkin dilaksanakan di Puskesmas Belum terdapat persepsi yang sama tentang prosedur tindakan diantara petugas pelaksana pelayanan kesehatan maternal dan neonatal Belum terdapat langkah baku dalam prosedur standard pelayanan maupun pedoman standard pengobatan disebabkan terutama oleh karena dokter dan dokter spesialis masih menganut cara prosedur dan pengobatan sesuai dengan asal senter pendidikan masing-masing. Walaupun pada saat ini telah terdapat Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal serta Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal yang merupakan panduan teknis dan prosedur baku. Pengetahuan masyarakat tentang kegawatdaruratan maternal & neonatal Keterlibatan masyarakat dalam percepatan rujukan maternal dan neonatal dalam bentuk kesiagaan untuk memberikan pertolongan merupakan salah satu upaya untuk mempercepat keterlambatan yang selalu terjadi. Disamping itu pengetahuan masyarakat tentang kegawatdaruratan juga akan sangat memudahkan ibu dan keluarga untuk mengambil keputusan, oleh karena secara tidak langsung maupun langsung masyarakat akan melakukan inisiatif untuk memberikan kemudahan pada proses rujukan. Kemampuan ibu dalam mengambil keputusan Pendidikan, pengetahuan dan kemandirian ibu sering tidak cukup untuk mengambil keputusan sendiri yang tepat pada saat diperlukan untuk melakukan rujukan, sehingga sebagai akibatnya terlalu banyak pihak yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini sering akan memperlambat dan menambah waktu yang diperlukan untuk mencapai fasilitas kesehatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan pengelolaan kegawatdaruratan yang terjadi Konsekuensi finansial sebagai dampak proses rujukan Bagaimanapun harus disadari bahwa proses rujukan akan memberikan dampak pada konsekuensi finansial bagi ibu, keluarga dan masyarakat. Program Gerakan Sayang Ibu yang memberikan kemudahan bagi pasien rujukan maternal dan neonatal, belum dapat memberikan jaminan secara menyeluruh untuk tanggung jawab finansial.
MANFAAT SISTEM RUJUKAN MATERNAL NEONATAL 13
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Perbaikan sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal tidak cukup dengan hanya melakukan standardisasi pelayanan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, tetapi juga perbaikan sistem rujukan maternal dan neonatal yang akan menjadi bagian dari tulang punggung sistem pelayanan secara keseluruhan. Karena dalam kenyataannya, masih akan selalu terdapat kasus maternal dan neonatal yang harus mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sesuai setelah mendapatkan pertolongan awal di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Beberapa kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal memerlukan tempat rujukan antara sebagai sarana untuk melakukan stabilisasi, setelah itu pengobatan dan tindakan definitif harus dikerjakan di fasilitas pelayanan yang lebih baik oleh karena keterbatasan teknis baik di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun tempat rujukan antara (Puskesmas). Kasus perdarahan pasca persalinan tidak memerlukan tempat rujukan antara, karena tindakan definitive histerektomi atau ligasi arteria hipogastrika hanya bisa dilakukan di rumah sakit kabupaten, tetapi stabilisasi pasien tetap harus dikerjakan lebih dahulu di tempat asal rujukan. Dari beberapa keadaan diatas, tampak sangat jelas bahwa berfungsinya sistem rujukan maternal dan neonatal akan menjadi tulang punggung (backbone) untuk penurunan AKI dan AKB. DEFINISI SISTEM RUJUKAN Sistem yang dikelola secara strategis, proaktif, pragmatis dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka berada dan berasal dari golongan ekonomi manapun, agar dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan ibu hamil dan bayi melalui peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal di wilayah mereka berada. Sesuai SK Menteri Kesehatan Nomor 23 tahun 1972 tentang Sistem Rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horisontal dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya. POLINDES Pondok bersalin desa atau lebih dikenal dengan sebutan Polindes, merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat yang didirikan masyarakat oleh masyarakat atas dasar musyawarah, sebagai kelengkapan pembangunan masyarakat desa, untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan kemampuan bidan. Bidan di Desa sebagai pengelola Polindes dan sekaligus ujung tombak upaya pelayanan Puskesmas perlu mendapatkan pengetahuan dasar tentang tanda bahaya (danger signs) sehingga dapat segera dan secepatnya melakukan rujukan ke pusat pelayanan yang memiliki fasilitas yang lebih sesuai untuk kasus kegawatdaruratan setelah melakukan stabilisasi pasien gawat darurat. Fungsi polindes 1. Sebagai tempat pelayanan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan lainnya. 2. Sebagai tempat-tempat untuk melakukan kegiatan pembinaan, penyuluhan dan KIPK kesehatan ibu dan anak. 3. Pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak. Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
14
4. Dalam memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan nifas serta pertolongan persalinan di Polindes, Bidan di Desa (BdD) diharapkan sekaligus memanfaatkannya untuk membina kemitraan dengan dukun bayi. 5. Dengan adanya Polindes, tidak berarti bahwa BdD hanya memberikan pelayanan kesehatan di dalam gedung Polindes, melainkan jaga d luar gedung, misalnya melakukan kunjungan rumah, dll. Selanjutnya lingkup pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang dilakukan di Polindes meliputi: 1. Pemeriksaan kehamilan 2. Persiapan persalinan 3. Pertolongan persalinan 4. Pemeriksaan nifas 5. Pemberian tablet tambah darah (TTD) 6. Pelayanan pemakaian Kontrasepsi 7. Melakukan pertolongan pertama kegawatdaruratan obstetri dan neonatal 8. Pemeriksaan kesehatan bayi baru lahir (perawatan tali pusat, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi Hepatitis B, dll) 9. Melakukan rujukan 10. Pemberian imunisasi Tetanus Toksoid 11. Pemeriksaan kehamilan 12. Persiapan persalinan 13. Pertolongan persalinan 14. Pemeriksaan nifas 15. Pemberian tablet tambah darah (TTD) 16. Pelayanan pemakaian Kontrasepsi 17. Melakukan pertolongan pertama kegawatdaruratan obstetri dan neonatal 18. Pemeriksaan kesehatan bayi baru lahir (perawatan tali pusat, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi hepatitis B, dll) 19. Melakukan rujukan 20. Pemberian imunisasi Tetanus Toksoid PUSKESMAS PONED Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa dan Puskesmas. Puskesmas PONED dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Rumah Sakit PONEK. RUMAH SAKIT PONEK RS PONEK 24 jam memiliki tenaga dengan kemampuan serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai untuk memberikan pelayanan pertolongan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal dasar maupun komprehensif untuk secara langsung terhadap ibu hamil/ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa Puskesmas dan Puskesmas PONED. PENGEMBANGAN PRA RUMAH SAKIT POLINDES Bidan di Desa sebagai pelaksana pelayanan Polindes dan sekaligus ujung tombak upaya pelayanan PONED perlu mendapatkan pengetahuan dasar tentang tanda bahaya (danger 15
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
signs), sehingga dapat segera dan secepatnya melakukan rujukan ke pusat pelayanan yang memiliki fasilitas yang lebih sesuai untuk kasus kegawatdaruratan setelah melakukan stabilisasi pasien gawat darurat. Disamping itu pada keadaan tertentu, bidan juga diharapkan dapat melakukan pelayanan kegawatdaruratan sesuai dengan kewenangan dan kompetensi. PUSKESMAS PONED Agar semua pihak yang terkait memiliki persepsi yang sama dalam melaksanakan kegiatan dalam pengembangan PONED di wilayahnya, maka dipandang perlu untuk melakukan diseminasi informasi. Disamping itu agar pengembangan PONED di Puskesmas dapat berlangsung dengan baik, maka diperlukan adanya kesepakatan lintas program melalui kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan yang melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Rumah Sakit Kabupaten / Kotamadya (dalam hal ini termasuk dokter spesialis kebidanan dan anak). Pertemuan ini sebaiknya juga dihadiri oleh nara sumber dari tingkat propinsi. Dalam pertemuan tersebut perlu dibahas upaya yang akan dilakukan untuk melakukan peningkatan secara bertahap pelayanan KIA, sebagai berikut: a. Cakupan pelayanan kebidanan • K1 harus ≥ 70% dan K4 ≥ 60% dalam satu tahun. Apabila K1 < 70% dan K4 < 60%, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan antenatal dan peningkatan kualitas pelayanan antenatal agar kesempatan untuk menjaring dan melakukan penatalaksanaan kasus dengan risiko tinggi komplikasi obstetri menjadi lebih besar. • Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan minimal 60% per tahun di wilayah kerja Puskesmas. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan harus optimal, agar dapat dijaring dan dilakukan penatalaksanaan terhadap kasus kehamilan risiko tinggi dan komplikasi obstetri, karena komplikasi ini tidak dapat diramalkan sebelumnya, disamping dalam kenyataannya komplikasi obstetri terutama akan timbul pada saat persalinan. • Cakupan penatalaksanaan komplikasi obstetri dan neonatus minimal Target cakupan ditentukan berdasarkan kondisi setempat. Upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan cakupan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal adalah dengan melakukan pendataan sasaran dan pencatatan kelahiran serta kematian ibu dan bayi baru lahir, upaya yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KIA di Polindes maupun Puskesmas, serta upaya pemberdayaan masyarakat untuk mengenali tanda komplikasi atau risiko kegawatdaruratan obstetri dan neonatal. b. Perkiraan jumlah komplikasi yang akan terjadi Perkiraan jumlah komplikasi obstetri dan neonatal per tahun di wilayah Kabupaten / Kota akan dapat memberikan gambaran mengenai persiapan yang diperlukan untuk melakukan penanganannya. Perkiraan jumlah kasus per tahun diperoleh dengan cara menghitung perkiraan insidens terhadap jumlah total ibu dengan kehamilan dan jumlah bayi baru lahir sebagai berikut: Perkiraan proporsi kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal OBSTETRI Perdarahan Sepsis Preeklampsia / Eklampsia Partus lama
NEONATAL 10% 8% 5% 5%
Asfiksia Tetanus neonatorum Hipotermi / BBLR
5% 3.3% 11%
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
16
Angka nasional diatas dapat dipergunakan apabila tidak terdapat angka insidens yang sebenarnya belum diketahui dalam wilayah tertentu. Perkiraan jumlah kasus yang akan dikelola merupakan dasar untuk melakukan rancangan kebutuhan logistik meliputi alat, obat, bahan habis pakai dan format pencatatan serta pelaporan. c. Ketenagaan • Jumlah dan jenis tenaga di Puskesmas yang memiliki kualifikasi terlatih untuk melakukan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar minimal terdiri atas satu orang Dokter dan satu orang Bidan dan/atau Perawat. • Seluruh tenaga yang tersedia harus siap untuk melakukan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal selama 24 jam dengan dukungan RS PONEK yang juga harus siap untuk melayani rujukan selama 24 jam. d. Kerjasama Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit Kabupaten / Kota Pada dasarnya apa yang akan ditingkatkan kinerjanya adalah sebuah sistem, sehingga harus dapat dimengerti apabila dalam peningkatan ini kerjasama lintas sektoral dan lintas program merupakan salah satu tumpuan yang diharapkan. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut: • Peningkatan frekuensi Pertemuan Pemantapan Sistem Rujukan antara Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit PONEK dan lintas sektor terkait serta LSOM untuk menyusun rencana kegiatan bersama untuk mengembangkan sistem pembinaan teknis kebidanan bagi Dokter / Bidan Puskesmas / Bidan di Desa berupa antara lain pertemuan Audit Maternal dan Perinatal di wilayah Kabupaten/Kota, upaya pemenuhan kebutuhan darah di Kabupaten/Kota, kegiatan penyeliaan dan peer review. • Kegiatan magang di bagian Kebidanan secara bergilir bagi Dokter, Bidan dan Perawat Puskesmas serta Bidan di Desa dalam upaya untuk meningkatkan keterampilan. • Kemampuan RS PONEK Kabupaten / Kota untuk menjadi pusat pelatihan / penyegaran keterampilan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal. • Laporan RS PONEK ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota yang meliputi jumlah persalinan, jumlah kasus dan komplikasi kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang dikelola, jumlah tindakan bedah Caesar, jumlah kematian ibu dan perinatal beserta penyebabnya. e. Logistik dan sarana pendukung Kebutuhan logistik dalam kaitan dengan penatalaksanaan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dihitung berdasarkan cakupan pelayanan yang dicapai dalam periode waktu tertentu. Kebutuhan logistik dan sarana pendukung meliputi: • Alat • Obat • Penyediaan air bersih dan listrik • Buku Pedoman Teknis dan Manajemen Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi 24 jam di RS Kabupaten • Format Pencatatan dan Pelaporan f.
17
Dana Sumber dana yang digunakan saat ini adalah penentuan prioritas besarnya alokasi sumber dana di tingkat Kabupaten dan Kota untuk upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Perinatal (AKP). Disamping itu perlu dipertimbangkan potensi pengerahan dana dari sumber lain baik pemerintah maupun swadaya sesuai Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
dengan kemampuan setempat serta dana peran serta masyarakat dalam bentuk misalnya dana swadaya masyarakat. Dalam era desentralisasi perlu dipertimbangkan juga kemampuan daerah untuk menyerap dana bantuan dari pihak luar melalui berbagai lembaga sosial kemasyarakatan. ALUR PELAYANAN RUJUKAN KEGAWATDARURATAN OBSTETRI DAN NEONATAL Sistim rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan. Setiap kasus dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang ke Puskesmas PONED harus langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat Puskesmas PONED atau dilakukan rujukan ke Rumah Sakit PONEK untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya. • Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal. • Bidan di Desa dan Polindes dapat memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat. Selain menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan normal, Bidan di Desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Puskesmas, Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK sesuai dengan tingkat pelayanan yang sesuai. • Puskesmas non-PONED sekurang-kurangnya harus mampu melakukan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang sendiri maupun dirujuk oleh kader / Dukun / Bidan di Desa sebelum melakukan rujukan ke Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK. • Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa dan Puskesmas. Puskesmas PONED dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Rumah Sakit PONEK.
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
18
POKJA /TIM GSI PROVINSI
TIM POKJA GSI KAB/KOTA
KECAMATAN SATGAS GSI
RUMAH SAKIT PROPINSI
DINAS KESEHATAN PROPINSI
RUMAH SAKIT PONEK 24 JAM
DINAS KESEHATAN KABUPATEN
PUSKESMAS PONED
RS SWASTA KESEHATAN PROPINSI
PUSKESMAS
DR SWASTA BPS
POLINDES
KADER / DUKUN
MASYARAKAT / BUMIL Keterangan: Rujukan Umpan balik rujukan
Koordinasi
Gambar 1 Alur rujukan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal •
•
• 19
RS PONEK 24 Jam memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan PONEK langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa Puskesmas dan Puskesmas PONED. Pemerintah Propinsi/Kabupaten melalui kebijakan sesuai dengan tingkat kewenangannya memberikan dukungan secara manajemen, administratif maupun kebijakan anggaran terhadap kelancaran pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal. Ketentuan tentang persalinan yang harus ditolong oleh tenaga kesehatan dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah, sehingga deteksi dini kelainan pada persalinan dapat dilakukan lebih awal dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan dan persalinan Pokja/Satgas GSI merupakan bentuk nyata kerjasama lintas sektoral di tingkat Propinsi dan Kabupaten untuk menyampaikan pesan peningkatan kewaspadaan masyarakat Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
•
terhadap komplikasi kehamilan dan persalinan serta kegawatdaruratan yang mungkin timbul oleh karenanya. Dengan penyampaian pesan melalui berbagai instansi/institusi lintas sektoral, maka dapat diharapkan adanya dukungan nyata masyarakat terhadap sistem rujukan PONEK 24 Jam Rumah Sakit Swasta, Rumah Bersalin dan Dokter/Bidan Praktek Swasta dalam sistem rujukan PONEK 24 Jam diharuskan melaksanakan peran yang sama dengan RS Ponek 24 Jam, Puskesmas PONED dan Bidan dalam jajaran pelayanan rujukan. Institusi ini diharapkan dapat dikoordinasikan dalam kegiatan pelayanan rujukan PONEK 24 Jam sebagai kelengkapan pembinaan pra rumah sakit
PENGEMBANGAN RUMAH SAKIT PONEK 24 JAM Pembentukan sistem rujukan diantara Polindes, Puskesmas, Puskesmas PONED dan RS PONEK 24 Jam merupakan rangkaian upaya percepatan penurunan AKI dan AKB. Langkah utama dalam upaya ini terdiri atas: • Peningkatan deteksi dini dan pengelolaan ibu hamil dengan risiko tinggi, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan serta pengelolaan komplikasi kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal melalui aktivasi, efisiensi dan efektivitasisasi mata rantai rujukan. • Peningkatan cakupan pengelolaan kasus dengan komplikasi obstetri dan neonatal. • Pemantapan kerjasama lintas program antara unsur Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan RS PONEK di Kabupaten/Kota sebagai fasilitas rujukan primer serta kerjasama lintas sektoral pada peningkatan tingkat kesadaran masyarakat dalam upaya penurunan AKI dan AKB. • Pemantapan kemampuan pengelola program di tingkat Kabupaten/Kota dalam perencanaan, penatalaksanaan, pemantauan dan penilaian kinerja upaya penurunan AKI. • Peningkatan pembinaan teknis dalam bentuk pelatihan klinik untuk keterampilan PONED untuk Bidan di Desa, Dokter dan Bidan Puskesmas PONED / non PONED dengan menggunakan Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Modul Keterampilan Klinik Standard, teknik pelatihan berdasarkan kompetensi (competency-based training) dan pelatih terkualifikasi dari Jaringan Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR) • Peningkatan sarana dan prasarana jaringan pelayanan PONED maupun PONEK dalam sistem mata rantai rujukan yang terpadu. PENCATATAN Dalam pelaksanaan PONED dan PONEK diperlukan pencatatan yang akurat pada masingmasing tingkat pelayanan. Pencatatan ini diharapkan akan dapat memberikan dukungan untuk peningkatan kualitas pelayanan. Dalam melakukan pencatatan masih dimungkinkan untuk mengembangkan format pencatatan sesuai dengan kebutuhan, format baku yang sudah tersedia antara lain: • Pencatatan dalam Sistim Informasi Manajemen Pelayanan Kesehatan (SP2TP), Sistim Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit (SP2RS), Kartu Ibu, Informed Consent • KMS Ibu Hamil / Buku KIA • Register Kohort Ibu dan Bayi • Partograf • Kartu Persalinan Nifas • Laporan hasil Audit Maternal Perinatal Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
20
• •
Pemantauan Wilayah Setempat – Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA) Form Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Puskesmas • Formulir Rujukan Maternal dan Neonatal • Formulir Autopsi Verbal Maternal dan Perinatal RS PONEK • Formulir Maternal dan Neonatal • Formulir Medical Audit • Pelaporan kegiatan AMP • Formulir dan Lembar Pelaporan Ibu Hamil pada rumah sakit PELAPORAN Pelaporan hasil kegiatan dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan format yang sesuai dengan Buku Pedoman AMP, yaitu: • Laporan Polindes / Bidan di Desa ke Puskesmas • Laporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Laporan bulanan ini berisi informasi tentang morbiditas dan mortalitas (serta sebab kematian) ibu dan bayi baru lahir dan jumlah kasus yang dirujuk ke RS Kabupaten/Kota • Laporan dari RS PONEK di Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Laporan bulanan ini berisi informasi tentang morbiditas dan mortalitas (serta sebab kematian) ibu dan bayi baru lahir • Laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi Laporan Triwulan ini berisi informasi tentang kasus ibu dan neonatal yang dilakukan pengelolaan oleh RS Kabupaten/Kota dan Puskesmas serta tingkat kematian dari masing-masing komplikasi / gangguan yang terjadi PEMANTAUAN Pemantauan dilakukan oleh institusi yang berada secara fungsional satu tingkat diatasnya secara berjenjang dalam satu kesatuan sistem. Hasil pemantauan harus dimanfaatkan oleh unit kesehatan masing-masing dan menjadi dasar untuk melakukan perbaikan serta perencanaan ulang manajemen pelayanan melalui: • Pemanfaatan laporan Laporan yang diterima bermanfaat untuk melakukan penilaian kinerja dan pembinaan • Umpan Balik Hasil analisa laporan dikirimkan sebagai umpan balik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke RS PONEK dan Puskesmas PONED atau disampaikan melalui pertemuan Review Program Kesehatan Ibu dan Anak secara berkala di Kabupaten/Kota dengan melibatkan ketiga unsur pelayanan kesehatan tersebut diatas. Umpan balik dikirimkan kembali dengan tujuan untuk melakukan tindak lanjut terhadap berbagai masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan PONED/PONEK
21
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Alur pelaporan hasil kegiatan dalam mata rantai koordinasi dapat digambarkan dalam diagram alur dibawah ini: DIREKTORAT KESEHATAN KELUARGA
DIREKTORAT PELAYANAN MEDIK
DINAS KESEHATAN PROPINSI
DINAS KESEHATAN KABUPATEN / KOTA
RUMAH BERSALIN SWASTA
RS PONEK KABUPATEN / KOTA
PUSKESMAS PONED
BIDAN / BIDAN DI DESA Koordinasi Alur pelaporan
Tembusan Umpan balik
Gambar 2 Alur koordinasi dan pelaporan EVALUASI Evaluasi pelaksanaan pelayanan PONEK/PONED dilakukan secara berjenjang dan dilaksanakan pada setiap semester dalam bentuk evaluasi tengah tahun dan akhir tahun. Kegiatan evaluasi dilakukan melalui pertemuan evaluasi Kesehatan Ibu dan Anak. Hasil evaluasi disampaikan melalui Pertemuan Pemantapan Sistem Rujukan kepada pihak yang terkait baik lintas program maupun lintas sektoral dalam untuk dapat dilakukan penyelesaian masalah dan rencana tindak lanjut. Beberapa aspek yang dievaluasi antara lain: ¾ Masukan (Input) - Tenaga - Dana - Sarana - Obat dan alat - Format pencatatan dan pelaporan - Prosedur Tetap PONED/PONEK - Jumlah dan kualitas pengelolaan yang telah dilakukan termasuk Case Fatality Rate ¾ Proses - Kualitas pelayanan yang diberikan Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
22
-
Kemampuan, keterampilan dan kepatuhan tenaga pelaksana pelayanan terhadap Prosedur Tetap PONED/PONEK Frekuensi pertemuan Audit Maternal Perinatal di Kabupaten/Kota dalam satu tahun
¾ Hasil (Output) - Kuantitas Jumlah dan jenis kasus PONED/PONEK yang dilayani Proporsi kasus terdaftar dan rujukan baru kasus PONED/PONEK di tingkat RS Kabupaten/Kota - Kualitas Case Fatality Rate Proporsi jenis morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi Response Time
PROGRAM MENJAGA MUTU PELAYANAN KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL 24 JAM Program Menjaga Mutu secara umum merupakan gabungan antara koordinasi dengan unsur terkait dan upaya konsolidasi ke dalam, serta proses menjaga mutu pelayanan. Proses ini dimulai sejak program ini di implementasikan, yaitu melalui penyediaan sumber daya dan penentuan standar pelayanan. Dari unsur masukan, telah ditetapkan bahwa untuk pelayanan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif, harus tersedia : • Ruang rawat inap yang leluasa dan nyaman • Ruang tindakan gawatdarurat dengan instrumen dan bahan yang lengkap • Ruang pulih/observasi pascatindakan • Tenaga kesehatan yang berkualifikasi sebagai pelaksana Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif • Protokol pelaksanaan dan uraian tugas pelayanan (termasuk koordinasi internal) Dari unsur proses, telah ditentukan bahwa sarana dan tenaga untuk melaksanakan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif telah distandardisasi sebelumnya dan prosedur klinik yang akan diterapkan, merupakan langkah baku yang telah dikembangkan oleh organisasi yang mempunyai kewenangan untuk itu. Prosedur klinik standar yang dikembangkan oleh organisasi profesi, mencerminkan aspek legalitas dan kualitas. Keluaran yang diharapkan adalah pelayanan bagi pasien dan komplikasinya dengan prosedur sederhana namun efektif, aman dan berkualitas. Mereka yang dilayani, diharapkan memperoleh pelayanan dalam waktu yang singkat, terapi dan prosedur klinik yang tepat, efektif dan aman, morbiditas yang rendah, terhindar dari efek samping/komplikasi yang telah diduga sebelumnya. Para tenaga pelaksana (provider) dan staf klinik mendapat pelatihan tentang bagaimana pelayanan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif dijalankan dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan. Apabila terjadi kesenjangan kualitas, baik dari tahapan masukan, proses, output ataupun hasil yang diperoleh, mereka memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan identifikasi, penentuan sumber masalah, membuat alternatif pemecahan masalah, memilih langkah dengan skala prioritas tertinggi dan melaksanakan upaya untuk mengatasi masalah mutu secara mandiri. 23
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
AUDIT MATERNAL PERINATAL (AMP)
2
TUJUAN Tujuan umum Tujuan umum audit maternal-perinatal adalah meningkatkan mutu pelayanan KIA di seluruh wilayah suatu kabupaten/kota dalam rangka mempercepat penurunan angka kematian ibu dan perinatal. Tujuan khusus Tujuan khusus audit maternal-perinatal adalah: Menerapkan pembahasan analitik mengenai kasus kebidanan dan perinatal secara teratur dan berkesinambungan, yang dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, RS pemerintah/swasta dan puskesmas, rumah bersalin (RB), bidan praktik swasta (BPS) di wilayah kabupaten/kota dan di lintas batas kabupaten/kota/propinsi. Menentukan intervensi dan pembinaan untuk masing-masing pihak yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dalam pembahasan kasus. Mengembangkan mekanisme koordinasi antara dinas kesehatan kabupaten/kota, RS pemerintah dan swasta, puskesmas, RB dan BPS dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap intervensi yang disepakati. BATASAN DAN PENGERTIAN Pengertian Audit Maternal-Perinatal yang diterapkan di sini adalah: proses penelaahan bersama kasus kesakitan dan kematian ibu dan perinatal serta penatalaksanaannya, dengan menggunakan berbagai informasi dan pengalaman dari suatu kelompok terkait, untuk mendapatkan masukan mengenai intervensi yang paling tepat dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan KIA di suatu wilayah. Dengan demikian, kegiatan audit ini berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan dengan pendekatan pemecahan masalah. Dalam kaitannya dengan pembinaan, ruang lingkup wilayah dibatasi pada kabupaten/kota, sebagai unit efektif yang mempunyai kemampuan pelayanan obstetrik-perinatal dan didukung oleh pelayanan KIA sampai ke tingkat masyarakat. Audit Maternal-Perinatal merupakan suatu kegiatan untuk menelusuri sebab kesakitan dan kematian ibu dan perinatal dengan maksud mencegah kesakitan dan kematian di masa yang akan datang. Penelusuran ini memungkinkan tenaga kesehatan menentukan hubungan antara faktor penyebab yang dapat dicegah dan kesakitan/kematian yang terjadi. Dengan kata lain, istilah Audit Maternal-Perinatal merupakan kegiatan Death and Case Follow-up. Lebih lanjut, kegiatan ini akan membantu tenaga kesehatan untuk menentukan pengaruh keadaan dan kejadian yang mendahului kesakitan/kematian. Dari kegiatan ini dapat ditentukan: - sebab dan faktor-faktor terkait dalam kesakitan/kematian ibu dan perinatal, - di mana dan mengapa berbagai sistem dan program gagal dalam mencegah kematian, - jenis intervensi dan pembinaan yang diperlukan. Audit Maternal-Perinatal juga dapat berfungsi sebagai alat pemantauan dan evaluasi sistim rujukan. Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan: - pengisian rekam medis yang lengkap dan benar di semua tingkat pelayanan kesehatan, - pelacakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan puskesmas dengan cara otopsi verbal, yaitu wawancara kepada keluarga atau orang lain yang mengetahui riwayat penyakit Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
24
atau gejala serta tindakan yang diperoleh sebelum penderita meninggal, sehingga dapat diketahui perkiraan sebab kematian. KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Berdasarkan hal tersebut, Kebijaksanaan Indonesia Sehat 2010 dan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) sehubungan dengan Audit Maternal-Perinatal adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan mutu pelayanan KIA dilakukan secara terus-menerus melalui program jaga mutu di puskesmas, di samping upaya perluasan jangkauan pelayanan. Upaya peningkatan dan pengendalian mutu antara lain dilakukan melalui kegiatan AMP. 2. Peningkatan fungsi kabupaten/kota sebagai unit efektif yang mampu memanfaatkan semua potensi dan peluang yang ada untuk meningkatkan pelayanan KIA di seluruh wilayahnya. 3. Peningkatan kesinambungan pelayanan KIA di tingkat pelayanan dasar (puskesmas dan jajarannya) dan di tingkat rujukan primer (RS kabupaten/kota). 4. Peningkatan kemampuan kabupaten/kota dalam perencanaan program KIA dengan memanfaatkan hasil kegiatan AMP mampu mengatasi masalah kesehatan setempat. 5. Peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis dari para pengelola dan pelaksana program KIA melalui kegiatan analisis manajemen dan pelatihan klinis. Strategi yang diambil dalam menerapkan AMP adalah: 1. Semua kabupaten/kota sebagai unit efektif dalam peningkatan pelayanan program KIA secara bertahap menerapkan kendali mutu, yang antara lain dilakukan melalui AMP di wilayahnya ataupun diikutsertakan kabupaten/kota lain (lintas batas). 2. Dinas kesehatan kabupaten/kota berfungsi sebagai kordinator fasilitator yang bekerja sama dengan RS kabupaten/kota dan melibatkan puskesmas dan unit pelayanan KIA swasta lainnya dalam upaya kendali mutu di wilayah kabupaten/kota. 3. Di tingkat kabupaten/kota perlu dibentuk Tim AMP, yang selalu mengadakan pertemuan rutin untuk menyeleksi kasus, membahas dan membuat rekomendasi tindak lanjut berdasarkan temuan dari kegiatan audit (penghargaan dan sanksi bagi pelaku). 4. Perencanaan program KIA dibuat dengan memanfaatkan hasil temuan dari kegiatan audit, sehingga diharapkan berorientasi kepada pemecahan masalah setempat. 5. Pembinaan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, bersama-sama RS kabupaten/kota (untuk aspek teknis medis) dilaksanakan langsung pada saat audit atau secara rutin, dalam bentuk yang disepakati oleh Tim AMP. LANGKAH DAN KEGIATAN Langkah-langkah dan kegiatan AMP di tingkat kabupaten/kota sebagai berikut: 1. Pembentukan Tim AMP. 2. Penyebarluasan informasi dan petunjuk teknis pelaksanaan AMP. 3. Menyusun Rencana Kegiatan (POA) AMP. 4. Orientasi pengelola program KIA dalam pelaksanaan AMP. 5. Pelaksanaan kegiatan AMP. 6. Penyusunan rencana tindak lanjut terhadap temuan dari kegiatan audit oleh dinkes kabupaten/kota bekerjasama dengan RS. 7. Pemantauan dan evaluasi. 25
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Rincian kegiatan AMP yang dilakukan adalah sebagai berikut. a. Tingkat Kabupaten/Kota 1. Menyampaikan informasi dan menyamakan persepsi dengan pihak terkait mengenai pengertian dan pelaksanaan AMP di kabupaten/kota. 2. Menyusun Tim AMP di kabupaten/kota, yang susunannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Secara umum, susunan tim disarankan sebagai berikut: Pelindung : Bupati/Walikota Kepala Daerah Ketua : Kadinkes Kab/Kota Wakil Ketua : Direktur RS Kab/Kota Sekretaris : Dokter Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan RS Dokter Spesialis Anak RS Tim ahli : SpOG SpA Dokter ahli lainnya. Anggota : 1. Kasubdin dan Kasi yang menangani program KIA. 2. Kasubdin dan Kasi yang menangani Yankes Dasar dan Rujukan. 3. Dokter Umum di Bagian Kebidanan Kandungan dan Bagian Anak RS Kabupaten/ Kota. 4. Wakil dari unit pelayanan KIA lainnya yang berpotensi dalam memberikan masukan atau sumbangan pemikiran (misalnya RS swasta, puskesmas, organisasi profesi, dll). Tim ini juga berfungsi untuk menghimpun sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan mengidentifikasi “siapa mengerjakan apa”. 3. Melaksanakan AMP secara berkala dengan melibatkan: - para kepala puskesmas dan pelaksana pelayanan KIA di puskesmas dan jajarannya, - dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan serta dokter spesialis anak/dokter ahli lain RS kabupaten/kota dan staf yang terkait, - kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan staf pengelola program terkait, - pihak lain yang terkait, sesuai kebutuhan, misalnya bidan praktik swasta, petugas rekam medik RS kabupaten/kota dll. Pada awal kegiatan, pihak yang mutlak perlu dilibatkan adalah puskesmas di wilayah kabupaten/kota dan RS kabupaten/kota. Secara bertahap, sesuai kebutuhan, dinkes kabupaten/kota dapat melibatkan pihak lain tersebut di atas. 4. Melaksanakan kegiatan AMP lintas batas kabupaten/kota/propinsi. 5. Melaksanakan kegiatan tindak lanjut yang telah disepakati dalam pertemuan Tim AMP. 6. Melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan audit serta tindak lanjutnya, dan melaporkan hasil kegiatan ke Dinas Kesehatan Propinsi untuk memohon dukungan. 7. Memanfaatkan hasil kegiatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pengelolaan program KIA, secara berkelanjutan. b. Tingkat Puskesmas 1. Menyampaikan informasi kepada staf puskesmas terkait mengenai upaya peningkatan kualitas pelayanan KIA melalui kegiatan AMP. 2. Melakukan pencatatan atas kasus kesakitan dan kematian ibu serta perinatal, dan penanganan atau rujukannya, untuk kemudian dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
26
3. Mengikuti pertemuan AMP di kabupaten/kota. 4. Melakukan pelacakan sebab kematian ibu/perinatal (otopsi verbal) selambatlambatnya 7 hari setelah menerima laporan. Informasi ini harus dilaporkan ke dinkes kabupaten/kota selambat-lambatnya dalam waktu 1 bulan. Temuan otopsi verbal dibicarakan dalam pertemuan audit di kabupaten/kota. Penjelasan tentang otopsi verbal dapat dilihat pada Lampiran I. 5. Mengikuti/melaksanakan kegiatan peningkatan kualitas pelayanan KIA, sebagai tindak lanjut dari temuan kegiatan audit 6. Membahas kasus pertemuan AMP di Kab/Kota. 7. Membahas hasil tindak lanjut AMP non medis dengan LS terkait. c. Tingkat Propinsi 1. Menyebarluaskan Pedoman Teknis AMP kepada seluruh kabupaten/kota. 2. Menyamakan kerangka pikir dan menyusun rencana kegiatan pengembangan kendali mutu pelayanan KIA melalui AMP bersama kabupaten/kota yang akan di fasilitasi secara intensif. 3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan di kabupaten/kota. 4. Memberikan dukungan teknis dan manajerial kepada kabupaten/kota sesuai kebutuhan. 5. Merintis kerjasama dengan sektor lain untuk kelancaran pelaksanaan tindak lanjut temuan dari kegiatan audit, yang berkaitan dengan sektor di luar kesehatan. 6. Memfasilitasi kegiatan AMP lintas batas kab/kota/propinsi. d. Tingkat Pusat Melakukan fasilitasi pelaksanaan AMP, sebagai salah satu bentuk upaya peningkatan mutu pelayanan KIA di wilayah kabupaten/kota serta peningkatan kesinambungan pelayanan KIA di tingkat dasar dan di tingkat rujukan primer. METODA Metoda pelaksanaan AMP sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan pertemuan dilakukan teratur sesuai kebutuhan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bersama dengan RS kabupaten/kota, berlangsung sekitar 2 jam. Pertemuan sebaiknya dilakukan di RS kabupaten/kota dan Kadinkes/Direktur RS memimpin acara tetapi moderator pembahasan klinis adalah dokter ahli. Presentasi kasus dilakukan oleh dokter/bidan RS kabupaten/kota atau puskesmas terkait, tergantung di mana kasus ditangani. 2. Kasus yang dibahas dapat berasal dari RS kabupaten/kota atau puskesmas. Semua kasus ibu/perinatal yang meninggal di RS kabupaten/kota/ puskesmas hendaknya diaudit, demikian pula kasus kesakitan yang menarik dan dapat diambil pelajaran darinya. 3. Audit yang dilaksanakan lebih bersifat mengkaji riwayat penanganan kasus sejak dari: - timbulnya gejala pertama dan penanganan oleh keluarga/tenaga kesehatan di rumah, - proses rujukan yang terjadi, - siapa saja yang memberi pertolongan dan apa saja yang telah dilakukan, - sampai kemudian meninggal atau dapat dipertahankan hidup. Dari pengkajian tersebut diperoleh indikasi di mana letak kesalahan/ kelemahan dalam penanganan kasus. Hal ini memberi gambaran kepada pengelola program KIA dalam menentukan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah kesakitan/kematian ibu/perinatal yang tidak perlu terjadi. Kesimpulan hasil audit dicatat dalam Form MA 27
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
(lihat Bab III), untuk kemudian disampaikan dan dibahas oleh Tim AMP dalam merencanakan kegiatan tindak lanjut secara nyata. 4. Pertemuan ini bersifat Pertemuan Penyelesaian Masalah dan tidak bertujuan menyalahkan, atau memberi sanksi, salah satu pihak. 5. Dalam tiap pertemuan dibuat daftar hadir, notulen hasil pertemuan dan rencana tindak lanjut, yang akan disampaikan dan dibahas dalam pertemuan Tim AMP yang akan datang. 6. RS kabupaten/kota dan puskesmas membuat laporan bulanan kasus ibu dan perinatal ke dinas kesehatan kabupaten/kota, dengan memakai format yang disepakati. PENCATATAN DAN PELAPORAN Dalam pelaksanaan Audit Maternal-Perinatal ini diperlukan mekanisme pencatatan yang akurat, baik di tingkat puskesmas maupun di tingkat RS kabupaten/kota. Pencatatan yang diperlukan adalah sebagai berikut. Tingkat Puskesmas Selain menggunakan rekam medis yang sudah ada di puskesmas, ditambahkan pula: 1. Form R (Formulir Rujukan Maternal dan Perinatal). Formulir ini dipakai oleh Puskesmas, bidan di desa maupun bidan swasta, untuk merujuk kasus ibu maupun perinatal. 2. Form OM dan OP (Formulir Otopsi Verbal Maternal dan Perinatal). Form OM digunakan untuk otopsi verbal ibu hamil/bersalin/nifas yang meninggal, sedangkan form OP untuk otopsi verbal perinatal yang meninggal. Untuk mengisi formulir tersebut dilakukan wawancara terhadap keluarga yang meninggal oleh tenaga puskesmas. RS Kabupaten/Kota Formulir yang dipakai adalah: 1. Form MP (Formulir Maternal dan Perinatal). Form ini mencatat data dasar semua ibu bersalin/nifas dan perinatal yang masuk ke RS. Pengisiannya dapat dilakukan oleh atau perawat. 2. Form MA (Formulir Medical Audit). Form ini dipakai untuk menulis hasil/kesimpulan dari audit maternal maupun audit perinatal. Yang mengisi formulir ini adalah dokter yang bertugas di Bagian Kebidanan dan Kandungan (untuk kasus ibu) atau Bagian Anak (untuk kasus perinatal). Pelaporan hasil kegiatan dilakukan secara berjenjang, yaitu: 1. Laporan dari Rumah Sakit Kabupaten/kota ke Dinas Kesehatan (LAP RS). Laporan bulanan ini berisi informasi mengenai kesakitan dan kematian (serta sebab kematian) ibu dan bayi baru lahir di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan serta Bagian Anak. 2. Laporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota (LAP PUSK). Laporan bulanan ini berisi informasi yang sama seperti di atas, dan jumlah kasus yang dirujuk ke RS Kabupaten/kota. 3. Laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota ke tingkat Dinas Kesehatan Propinsi (LAP KAB/KOTA). Laporan triwulanan ini berisi informasi mengenai kasus ibu dan perinatal yang ditangani oleh RS kabupaten/kota, puskesmas dan unit pelayanan KIA lainnya (bila ada), serta tingkat kematian dari tiap jenis komplikasi/gangguan. Laporan ini merupakan Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
28
rekapitulasi dari Form MP dan Form R, yang hendaknya diusahakan agar tidak terjadi duplikasi pelaporan untuk kasus yang dirujuk ke RS. Pada tahap awal, jenis kasus yang dilaporkan adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada ibu maternal dan perinatal. PEER REVIEW Program Peer Review (PR) yang pada saat ini dilaksanakan oleh Ikatan Bidan Indonesia, terdiri atas 3 kegiatan utama: a. Pengumpulan dana (Fund Raising - FR) Kelangsungan penyediaan dana untuk seluruh sistem telah terbukti bermanfaat dalam pengembangan kelompok pengumpul dana di tingkat kabupaten. Anggota kelompok mendapatkan pelatihan secara khusus untuk mengumpulkan dana sebelum memulai kegiatannya. Pada akhir pelatihan peserta latih membuat rencana tindak lanjut untuk melakukan pengembangan modal. Kelompok menerima uang sejumlah Rp. 10,000,000 sebagai pinjaman modal awal, untuk melakukan kunjungan PR dan biaya penilaian kompetensi. Pinjaman ini dikembalikan pada pengurus IBI Provinsi setelah periode waktu tertentu agar dapat dikembangkan kembali oleh kelompok di kabupaten yang lain. b. Peer Review (PR) Tim PR terdiri atas bidan yang telah mendapatkan pelatihan selama 10 hari tentang Auhan Persalinan Normal / Bersih dan Aman dan 5 hari pelatihan sebagai instruktur klinik serta 5 hari pelatihan PR. Petugas penilai akan mengunjungi tenaga kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan standard APN/APBA secara berkala setiap 6 bulan. Selama pelatihan PR diajarkan sistem 6 langkah pemantauan sebagai berikut: Langkah 1: Tim penilai melakukan perencanaan waktu penilaian dalam pertemuan IBI Kabupaten dengan bidan yang akan dilakukan penilaian dan bersama-sama melakukan kesepakatan waktu penilaian Langkah 2: Tim penilai mempersiapkan formulir penilaian dan sarana yang dibutuhkan untuk kunjungan PR Langkah 3: Tim penilai melaksanakan kunjungan PR dengan menggunakan 6 formulir penilaian tentang: Partograph Pencegahan Infeksi Peralatan, obat dan bahan lain yang dibutuhkan Wawancara klien Wawancara keluarga/dukun bayi 60 langkah Asuhan Persalinan Normal Pada akhir kunjungan, penilai membahas hasil temuan di lapangan dan mengajukan usulan untuk perbaikan serta memberikan dukungan dan informasi kepada tenaga kesehatan yang dinilai. Hasil kunjungan lebih menekankan pada dukungan dan saran perbaikan daripada kritik terhadap perilaku. Dilakukan juga pengembangan perencanaan langkah terbaik untuk memenuhi kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan. Tenaga kesehatan yang dinilai akan mendapatkan salinan dari hasil penilaian secara lengkap.
29
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Langkah 4: Pertemuan lengkap anggota tim PR dengan IBI Provinsi/Kabupaten, koordinator KIA untuk membahas hasil temuan lapangan dan merencanakan apa yang diperlukan untuk melaksanakan Pendidikan Berkelanjutan (lokasi, fasilitas, jumlah peserta, sarana, dukungan financial, materi dll.) Langkah 5: Pelatih mempersiapkan Pendidikan Berkelanjutan berdasarkan penentuan prioritas masalah di lapangan Langkah 6: Pelatih menyelenggarakan Pendidikan Berkelanjutan untuk mengatasi kesenjangan antara pengetahuan dan keterampilan. Seluruh pelatih telah memiliki kualifikasi sebagai pelatih klinik yang juga merupakan pelatih Jaringan Nasional Pelatihan Klinik – Kesehatan Reproduksi. 1. Persiapan siklus Peer Review
2. Mempersiapkan kunjungan PR
6. Menyelenggarakan sesi CE
Langkah dalam program Peer Review 3. Melakukan kunjungan PR
5. Mempersiapkan topik CE
4.Menyelenggara kan pertemuan Tim
c. Pendidikan Berkelanjutan (Continuing Education - CE) Materi Pendidikan Berkelanjutan dipilih berdasarkan pada temuan yang didapatkan di lapangan dan bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan serta kepuasan klien. PERTEMUAN PEMANTAUAN SISTIM RUJUKAN Kerjasama Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit Kabupaten / Kota Pada dasarnya apa yang akan ditingkatkan kinerjanya adalah sebuah sistem, sehingga harus dapat dimengerti apabila dalam peningkatan ini kerjasama lintas sektoral dan lintas program merupakan salah satu tumpuan yang diharapkan. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut: • Peningkatan frekuensi Pertemuan Pemantapan Sistem Rujukan antara Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit PONEK dan lintas sektor terkait serta LSOM untuk menyusun rencana kegiatan bersama untuk mengembangkan sistem pembinaan teknis kebidanan bagi Dokter / Bidan Puskesmas / Bidan di Desa berupa antara lain
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
30
•
pertemuan Audit Maternal dan Perinatal di wilayah Kabupaten/Kota, upaya pemenuhan kebutuhan darah di Kabupaten/Kota, kegiatan penyeliaan dan peer review. Laporan RS PONEK ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota yang meliputi jumlah persalinan, jumlah kasus dan komplikasi kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang dikelola, jumlah tindakan bedah Caesar, jumlah kematian ibu dan perinatal beserta penyebabnya.
POA GABUNGAN DI TINGKAT KABUPATEN Diperlukan penjadwalan pertemuan untuk menyusun POA Gabungan, sebelum penyusunan POA masing-masing institusi, dalam upaya untuk menyamakan persepsi, tujuan dan pengambilan keputusan upaya peningkatan mutu program serta pelayanan kesehatan. Perlu dirancang dan disepakati juga jadwal waktu pertemuan, format dan cara pelaporan serta dukungan dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pertemuan secara berkala. Dan pada akhirnya POA Gabungan yang dihasilkan harus diusulkan didalam Perencanaan Terpadu Tingkat Kabupaten (IDP-Integrated District Planning) agar didapatkan perencanaan program kesehatan maternal dan neonatal yang berkesinambungan dalam bentuk kegiatan yang saling mendukung dalam bentuk program utuh terpadu di tingkat Kabupaten. SUPERVISI FASILITATIF Pada dasarnya, proses ini adalah kegiatan observasi dan evaluasi langsung oleh penyelia terhadap fasilitas kesehatan, kinerja tim medis dan hasil yang diperoleh. Jangankan untuk pusat pelayanan yang bermasalah, fasilitas kesehatan yang berprestasi sekalipun, juga mendapat kunjungan supervisi. Dengan ketentuan seperti ini, tidak akan terjadi perbedaan perlakuan diantara fasilitas kesehatan pelaksana Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif. Kondisi ini, tidak menyebabkan rasa rendah diri pada fasilitas kesehatan yang kurang berprestasi. Sebaliknya, juga tidak menimbulkan perasaan hebat pada mereka yang berprestasi. Perbedaan supervisi fasilitatif dengan supervisi evaluatif, terletak pada para pelaku dalam proses lingkaran kegiatan observasi dan evaluasi (termasuk menjaga mutu). Dalam proses supervisi evaluatif, penyelia memegang peranan utama dalam evaluasi dan menjaga mutu pelayanan. Masukan dan rekomendasi penyelia menjadi beban pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pelaksana program dan staf klinik. Penilaian kinerja dan target output sangat tergantung dari penyelesaian pekerjaan yang ditentukan oleh penyelia. Pada supervisi fasilitatif, proses observasi dan evaluasi dilakukan oleh tim medik dan staf klinik yang telah dilatih tentang menetapkan, menjalankan dan menilai mutu pelayanan. Penyelia datang sebagai fasilitator dalam kegiatan yang diperankan secara penuh oleh mereka yang ada di fasilitas kesehatan. Penyelia melakukan bimbingan terhadap setiap tahapan evaluasi dan upaya pemecahan masalah sehingga tim medik dan staf klinik (tim pemantau mutu setempat) dapat menentukan cara terbaik untuk mengatasi kesenjangan mutu yang terjadi. Rekomendasi dan jadwal supervisi ulangan, ditetapkan oleh tim lokal sehingga mereka tidak merasakan tugas tersebut sebagai beban yang harus diselesaikan. Tim menjaga mutu setempat selalu berupaya agar apa yang telah mereka sepakati, dapat dilaksanakan secara penuh dan sesuai target yang ditetapkan. Mereka dengan senang hati akan mengundang penyelia melihat kembali hasil pekerjaan tersebut dan mengkalkulasi hasil yang telah mereka capai. Dengan kalimat yang sederhana, supervisi fasilitatif menyebabkan tim menjaga mutu setempat, sangat mengharapkan kunjungan penyelia untuk melihat hasil karya mereka. Hal ini berlawanan dengan supervisi evaluatif dimana tim menjaga mutu setempat, justru berupaya sedapat mungkin untuk tidak dikunjungi oleh penyelia. Ataupun jika penyelia 31
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
datang, bagaimana caranya agar hasil pelayanan terlihat (bukan terbukti) berkualitas baik dan waktu kunjungan dapat dipersingkat. Supervisi fasilitatif terbukti meningkatkan kerjasama antar elemen yang terkait. Supervisi berjenjang dilakukan oleh: • Dinas Kesehatan Propinsi ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas PONED • Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Puskesmas PONED dan non-PONED Aspek yang di supervisi meliputi: • Aspek Medis Teknis (Kebidanan dan Neonatal) oleh RS PONEK Pembinaan aspek medis teknis yang dilakukan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan / keterampilan dan kepatuhan pelaksana pelayanan terhadap prosedur tetap. Bimbingan medis teknis dapat berupa: - Pembahasan kasus melalui Audit Maternal Perinatal - Kunjungan berkala dokter spesialis kebidanan dan anak ke Puskesmas PONED untuk rujukan kasus dengan cara bedside teaching - Pelatihan / penyegaran Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal Pelatihan / penyegaran PONED dilakukan oleh pelatih dan instruktur klinik terkualifikasi JNPK-KR dengan menggunakan modul standard dan metode pelatihan berdasarkan kompetensi. Diharapkan setiap dokter spesialis kebidanan dan anak di RS PONEK Kabupaten/Kota telah memiliki kualifikasi minimal sebagai Pelatih Tingkat Lanjut terkualifikasi (Qualified Advanced Trainer) dan tergabung dalam Pusat Pelatihan Klinik Primer (P2KP) JNPK-KR. Dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, pelatih akan dibantu oleh beberapa instruktur klinik terkualifikasi (Qualified Clinical Instructor) untuk pengelolaan kasus sesuai dengan materi pelatihan. - Bimbingan dalam pengelolaan kasus rujukan Pada pengiriman kasus rujukan oleh Bidan dan Puskesmas ke RS PONEK terdapat kesempatan untuk mempelajari pengelolaan kasus secara nyata dengan bimbingan instruktur klinik / dokter spesialis - Kegiatan magang di RS PONEK Kegiatan magang di RS PONEK Kabupaten/Kota dilaksanakan secara bergilir dan berkesinambungan untuk mendapatkan jumlah kasus agar dapat dicapai kompetensi yang diharapkan dibawah pengawasan instruktur klinik JNPK-KR terkualifikasi - Supervisi Fasilitatif yang dilaksanakan untuk melakukan penilaian dan peningkatan kinerja unit pelayanan dalam hal pengelolaan kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal serta memberikan bimbingan dan bantuan langsung untuk penyelesaian masalah di masing-masing tingkat pelayanan •
Aspek Administratif / Manajerial oleh Pengelola Program KIA Pembinaan aspek administratif meliputi: - Kemitraan dengan pihak terkait dalam rangka penggerakan sasaran - Pencatatan dan pelaporan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi - Rujukan - Jumlah kasus yang dirujuk dan dilayani oleh Puskesmas PONED - Jumlah kasus yang dilayani oleh RS PONEK - Peningkatan peran serta masyarakat - Perhitungan kebutuhan biaya, sarana, obat dan alat dll. - Pengaturan tenaga pelaksana kegiatan
•
Kerjasama Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit Kabupaten / Kota
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
32
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut: Frekuensi pertemuan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah sakit PONEK untuk menyusun rencana kegiatan bersama untuk mengembangkan sistim pembinaan teknis kebidanan bagi Dokter / Bidan Puskesmas / Bidan di Desa berupa antara lain pertemuan Audit Maternal dan Perinatal di wilayah Kabupaten/Kota, kegiatan penyeliaan dan peer review. Kegiatan magang di bagian Kebidanan secara bergilir bagi Dokter dan Bidan Puskesmas serta Bidan di Desa dalam upaya untuk meningkatkan keterampilan. Kemampuan RS PONEK Kabupaten / Kota untuk menjadi pusat pelatihan / penyegaran keterampilan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal. Laporan RS PONEK ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota yang meliputi jumlah persalinan, jumlah kasus dan komplikasi kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang dikelola, jumlah tindakan bedah Caesar, jumlah kematian ibu dan perinatal beserta penyebabnya.
INDIKATOR KEBUTUHAN PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL 1. 2. 3.
Jumlah dan persentase sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang tersedia Jumlah dan persentase Bidan Di Desa terlatih di Kabupaten dibandingkan dengan jumlah bidan yang ada Jumlah dan persentase Bidan Di Desa terlatih di Kabupaten yang memiliki sarana dan peralatan sesuai dengan standard pelayanan
SARANA PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL 1. 2. 3. 4.
Jumlah dan persentase desa dengan BDD Jumlah dan persentase BDD dengan TPC Jumlah dan persentase BDD dengan pelatihan APN Jumlah dan persentase BDD di daerah terpencil dengan pelatihan LSS/PONED 5. Jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat mampu PONED Minimal 4/ kabupaten 6. Jumlah Rumah Sakit mampu PONEK 24 Jam Minimal 1/ kabupaten 7. Jumlah dan persentase kunjungan antenatal pertama (K1) 8. Jumlah dan persentase kunjungan antenatal ke empat (K4) 9. Jumlah dan persentase persalinan dengan tenaga terampil 10. Jumlah persentase komplikasi maternal dan neonatal yang dapat ditangani PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL DAN NEONATAL 1. 2. 33
Caesarean Rate Case Fatality Rate
5-7% (WHO)
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
3.
Eklampsia Sepsis Perdarahan Proporsi kematian Kematian ibu asuhan antenatal di RS Kematian ibu kasus rujukan Kematian perinatal asuhan antenatal di RS Kematian perinatal rujukan
≤ 15% ≤ 30% < 10% ?? ≤ 1% ≤ 4% ≤ 5% ≤ 30%
Persentase kematian perinatal adalah jumlah bayi lahir mati ditambah jumlah kematian neonatal dini (0-7 hari) dibagi jumlah kelahiran hidup dan mati dalam 1 (satu) tahun
4. 5. 6. 7. 8.
Proporsi kasus rujukan: Proporsi kasus rujukan Proporsi pasien yang dirujuk ke RS lain Proporsi kasus rujukan bayi sakit: Proporsi kasus rujukan bayi sakit Proporsi bayi yang dirujuk ke RS lain Jumlah presentase normal rawat gabung
≥ 20% ≤ 5%
≥ 20% ≤ 5% 80% dari seluruh persalinan Jumlah dan persentase pasien dengan komplikasi obstetri dan neonatal yang dirujuk tepat waktu Jumlah dan persentase kasus komplikasi obstetrik dan neonatal akibat pelayanan kesehatan yang kurang baik atau dibawah standard pelayanan
Sumber: Performance RS Sayang Ibu dan Bayi yang berorientasi pada kepuasan klien. Direktorat Pelayanan Medik dan Gigi Spesialistik Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Departemen Kesehatan RI. 2002 3
INDIKATOR PROSES/MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL DAN NEONATAL 1. Jumlah pengembangan kegiatan Pembinaan Teknis ke Puskesmas 2. Umpan Balik (feed back) surat rujukan 3. Response Time Waktu yang diperlukan untuk memberikan pelayanan kesehatan tertentu, dihitung dari waktu datang klien ke fasilitas pelayanan kesehatan, mis. waktu yang diperlukan untuk: menentukan diagnosis dan keputusan tindakan pada kasus komplikasi maternal / neonatal melakukan pemeriksaan penunjang dalam kasus dengan persiapan bedah Caesar mempersiapkan kegiatan bedah Caesar di rumah sakit 4. Kelengkapan komponen kasus yang dirujuk (partograf, surat rujukan, transportasi?) 5. Kelengkapan catatan medik terutama untuk tindakan pada kegawatdaruratan neonatus 6. Penyusunan perencanaan tingkat Kabupaten Minimal 1 kali/tahun 7. Realisasi rencana supervisi (yang sudah terdapat dalam POA) dan tindak lanjut yang dilakukan 8. Laporan hasil kegiatan Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
34
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM SISTEM RUJUKAN MATERNAL DAN NEONATAL GERAKAN SAYANG IBU (GSI) Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan produk kesepakatan inter sektoral yang terdiri dari berbagai Dinas/Instansi Pemerintah, Organisasi Profesi, LSM serta Organisasi Perempuan dan Organisasi Kemasyarakatan lainnya. Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan gerakan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui upaya penurunan angka kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas, diantaranya dengan menghapus pandanganpandangan yang selama ini bias gender, diskriminatif dalam bidang Hak dan Kesehatan Reproduksi. Gerakan Sayang Ibu (GSI) telah dicanangkan oleh Presiden RI pada tahun 1996 di Kabupaten Karang Anyar Jawa Tengah. Sejak saat itu pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu merupakan gerakan nasional untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas (AKI). Disamping itu Gerakan Sayang Ibu (GSI) diarahkan untuk pengarusutamaan gender di lingkungan masyarakat dan keluarga. Pada awalnya Gerakan Sayang Ibu (GSI) dilaksanakan di 8 (delapan) propinsi yang kemudian berkembang ke seluruh propinsi di Indonesia. Maksud Gerakan Sayang Ibu (GSI) Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan gerakan masyarakat bersama dengan pemerintah. Selanjutnya yang dimaksud dengan Gerakan Sayang Ibu (GSI) adalah: "Suatu gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat, bekerjasama dengan pemerintah untuk meningkatkan perbaikan kualitas hidup perempuan (sebagai sumber daya manusia) melalui berbagai kegiatan yang mempunyai dampak terhadap upaya penurunan angka kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas serta kematian bayi." Dari pengertian tersebut diatas, terdapat 3 (tiga) unsur pokok yang sangat penting, yaitu: Pertama: Gerakan Sayang Ibu (GSI) merupakan gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat bersama dengan pemerintah. Artinya: Pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu (GSI) melibatkan masyarakat secara aktif, tidak hanya sebagai sasaran, tetapi juga sebagai pelaku. Keikutsertaan masyarakat dalam Gerakan Sayang Ibu merupakan pengalihan pengelolaan dan tanggung jawab secara bertahap dari pemerintah kepada masyarakat. Proses ini membutuhkan waktu yang panjang, konsisten dan intensif. Dalam proses ini, keterlibatan sektoral, pemerintah daerah sangat dibutuhkan sekali. Kedua: Gerakan Sayang Ibu (GSI) mempunyai tujuan untuk meningkatkan Kualitas Hidup Perempuan sebagai sumber daya manusia. Artinya: Perempuan yang selama ini telah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang Kesehatan Reproduksi dan telah menimbulkan berbagai masalah sampai menyebabkan kematian ibu yang tinggi karena hamil, melahirkan dan nifas. Perlakuan tidak adil tersebut telah menyebabkan perempuan tertinggal dalam berbagai bidang kegiatan kehidupan jika dibandingkan dengan mitranya laki-laki. Gerakan Sayang Ibu melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat, terutama para laki-laki agar memperhatikan hak-hak reproduksi perempuan serta melindungi dengan cara membantu memberikan perawatan kepada para ibu-ibu 35
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
hamil, melahirkan dan nifas. Dengan hamil dan melahirkan dalam kondisi yang sehat serta direncanakan dengan baik, akan memberi peluang para ibu-ibu tersebut untuk mengembangkan potensi dirinya dengan baik. Disamping mengembangkan potensi dirinya, ibu-ibu tersebut dapat merawat bayi dilahirkannya dengan baik, diantaranya dengan memberikan ASI eksklusif yang sangat dibutuhkan bayi serta merawat kesehatan bayi yang dilahirkan dengan baik. Hal ini akan berdampak dalam usaha menurunkan angka kematian bayi. Ketiga: Gerakan Sayang Ibu bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu, karena hamil, melahirkan, nifas dan bayi. Artinya: Kematian ibu hamil, melahirkan dan nifas di Indonesia sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup, atau terdapat sekitar 18.000 perempuan meninggal dunia setiap tahun dan kondisi ini merupakan angka kematian ibu tertinggi di ASEAN. Kondisi tersebut, sangat menghambat upaya pembangunan, khususnya dalam pelaksanaan program peningkatan kualitas hidup perempuan. Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) melalui GSI untuk menyadarkan masyarakat dan keluarga mengenai pentingnya memahami tiga fase terlambat yang dapat menyebabkan kematian ibu, yaitu (WHO, 1998): Terlambat satu: terlambat memutuskan untuk mencari pertolongan baik secara individu, keluarga atau keduanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fase satu ini adalah terlambat mengenali kehamilan dalam situasi gawat. Jauh dari fasilitas kesehatan, biaya, persepsi mengenai kualitas dan efektivitas dari perawatan kesehatan. Terlambat dua: terlambat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi fase dua ini adalah lama pengangkutan, kondisi jalan, dan biaya transportasi. Terlambat tiga: terlambat mendapatkan pelayanan yang adekuat. Faktor-faktor yang mempengaruhi fase tiga ini adalah terlambat mendapatkan pelayanan pertama kali di Rumah Sakit (rujukan). Keterlambatan ini dipengaruhi oleh kelengkapan peralatan Rumah Sakit, ketersediaan obat, dan ketersediaan tenaga kesehatan terlatih. Disamping tiga terlambat, faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu adalah 4 (empat) TERLALU, yaitu : • Terlalu muda untuk hamil • Terlalu tua untuk hamil • Terlalu sering untuk hamil • Terlalu banyak untuk melahirkan. Empat Terlalu tersebut, disamping mempunyai pengaruh terhadap angka kematian ibu, juga mempunyai dampak terhadap angka kematian bayi dan pertumbuhan kesehatan bayi yang dilahirkan. Pendekatan Pengembangan Masyarakat Masalah Kesehatan Reproduksi di Indonesia akan sulit ditembus secara tuntas, apabila kita hanya berbicara soal pelayanan saja, karena masalah sosial budaya masyarakat mempunyai pengaruh yang sangat besar. Dengan demikian dapat diutarakan dalam uraian diatas, Gerakan Sayang Ibu kegiatannya lebih banyak menitikberatkan pada mobilisasi potensi masyarakat dengan model pendekatan pengembangan masyarakat (community development approach) yang basis operasionalnya terletak pada pembentukan minat Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
36
bersama dan konsessus yang bulat. Yang dimaksud dengan konsensus atau mufakat adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat telah setuju atau mufakat terhadap nilai-nilai atau upaya atau program yang akan dilaksanakan bersama. Menggugah Inovasi Gerakan Sayang Ibu yang kegiatannya ditunjang oleh Tim Pokja dan Tim Satgas GSI telah mampu mendorong masyarakat untuk berperan secara aktif dan mengembangkan potensinya dengan melahirkan ide-ide kreatif dalam melaksanakan GSI di daerahnya, seperti: •
Pengadaan Dana Bersalin Dana bersalin yang merupakan usaha swadaya masyarakat ini, ditujukan bagi Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, yang tidak mampu untuk membiayai persalinan pada tempat-tempat persalinan kesehatan. Di beberapa daerah GSI telah berhasil menggalang berbagai kepedulian masyarakat untuk membantu ibu bersalin melahirkan dalam berbagai bentuk ide-ide yang inovatif, diantaranya seperti yang terdapat di Lampung, muncul ide untuk membentuk Arisan Ibu Bersalin atau dikenal dengan ARLIN. Di Kabupaten Malang Kecamatan Singosari Jawa Timur terdapat kesepakatan diantara warga sendiri untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk Peduli Ibu Hamil. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat (NTB), telah pula dikembangkan Tabulin (tabungan ibu bersalin) yang dikelola oleh bendahara desa. Dalam pengumpulan dana, masyarakat NTB juga ada yang melakukan pengumpulan dana untuk membantu ibu bersalin dalam bentuk "Jimpitan". Bahkan LSM Yayasan Swadaya Mitra juga menyediakan dana bersalin. Konsep Tabulin pertama kali dikembangkan di NTB. Di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, pengumpulan dana bersalin yang dipelopori oleh PKK telah mengadakan penggalangan dana dari para pengusaha, dan juga melalui kotak amal yang bertuliskan "Sisihkan Uang Untuk GSI" di loket penyebrangan pelabuhan. Propinsi Sumatera Selatan, warga masyarakat yang terlibat dalam penanganan GSI sebagai Satgas GSI desa menggalang dana bersalin melalui kotak amal yang diadakan disetiap Masjid pada waktu dilaksanakan sholat Jum'at. Di Tulung Agung, Jawa Timur terdapat kelompok LSM yang mendukung GSI dengan mengembangkan upaya bantuan berupa peminjaman biaya persalinan bagi ibu hamil yang berasal dari Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Mereka meminjamkan biaya persalinan sebesar Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dengan bunga semampunya. Disamping itu terdapat 3 (tiga) pondok pesantren yang rata-rata mempunyai modal sebesar Rp 10.000.000,- memberikan pinjaman untuk bersalin sesuai dengan kebutuhan.
•
Donor Darah Dalam memenuhi kebutuhan donor darah untuk membantu persalinan, dalam kegiatan GSI warga masyarakat telah mengembangkan berbagai cara, diantaranya seperti yang terdapat di Malang Jawa Timur, masyarakat Malang khususnya Kecamatan Singosari membentuk kelompok donor darah bagi ibu melahirkan, yang terdiri dari laki-laki dewasa. Di Subang Jawa Barat serta beberapa propinsi lain, telah dilakukan pemetaan para pendonor darah.
•
Ambulan Desa
37
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Seringkali masalah kebutuhan transportasi untuk membantu ibu hamil yang akan melahirkan menjadi masalah yang sangat penting, maka dalam menanggulangi permasalahan tersebut, warga masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Sayang Ibu telah melakukan terbosan dengan menyediakan Ambulan Desa. Ambulan Desa tersebut dapat berupa becak atau mobil roda empat milik warga yang dipinjamkan. Ide Ambulan Desa pertama kali muncul di Nusa Tenggara Barat dan beberapa daerah lain dalam bentuk yang serupa. •
Pondok Sayang Ibu Pondok Sayang Ibu pertama kali muncul atas ide PKK Lampung. Untuk membantu ibuibu hamil yang akan melahirkan, tetapi tempat tinggalnya jauh dari tempat pelayanan. Pondok Sayang Ibu membantu untuk memberikan tempat singgah. Dan saat ini telah berkembang di berbagai daerah.
•
Pendataan Ibu Hamil Untuk mendeteksi ibu hamil khususnya yang beresiko tinggi dan untuk mengetahui ibu hamil yang hendak melahirkan, warga masyarakat yang tergabung dalam kegiatan GSI mengadakan pendataan ibu hamil dan sekaligus dicantumkan dalam peta. Bagi ibu hamil yang beresiko tinggi diberi tanda biru, untuk yang normal diberi tanda kuning. Ide ini dikembangkan dari Sumatera Selatan dan telah banyak dikembangkan didaerah lain.
•
Kemitraan Bidan – Dukun Bayi
•
Kegiatan KIE Masyarakat melakukan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) GSI melalui pengajian, penyuluhan bagi calon pengantin, Posyandu, khotbah Jum'at, bahkan di Sumatera Utara telah mengembangkan secara mandiri pembuatan billboard GSI sampai di desa. Bahkan di Bone kegiatan KIE GSI telah dikembangkan dalam bentuk nyanyian, tarian, operet, puisi sayang ibu. Kegiatan KIE GSI banyak mendapat dukungan dan bimbingan dari para Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Petugas Depag, Dinas Kesehatan dan sebagainya. Keberhasilan pelaksanaan GSI mempunyai kaitan dengan komitmen pemerintah daerah, sektoral, organisasi masyarakat, serta masyarakat. Dan masyarakat akan terlibat apabila mereka dibekali informasi tentang GSI dan pengetahuan mengenai Hak dan Kesehatan Reproduksi, sehingga mereka dapat memahaminya. Selama ini dukungan dari berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan, BKKBN, Depag, Depsos, PKK, Muslimat NU, Aisyah, LSM sangat tinggi.
Dan GSI dalam pelaksanaannya akan selalu dikembangkan baik programnya, model pendekatan dan sebagainya sesuai dengan tuntutan perkembangan program dan masyarakat yang semakin kritis dan pandai.
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
38
BAB 3
PENGEMBANGAN KOMPONEN SISTEM RUJUKAN MATERNAL & NEONATAL Tujuan dari perancangan kebijakan ini adalah untuk memberikan gambaran umum dan sekaligus menjadi acuan untuk perencanaan penyediaan sumber daya, bahan dan sarana yang memenuhi persyaratan kebutuhan pelayanan kegawatdaruratan bagi perorangan maupun masyarakat. Unit / Instalasi Gawat Darurat harus memiliki staf dan sarana yang memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian pada setiap orang yang datang dan memerlukan pertolongan gawat darurat. Unit ini juga diharapkan memiliki kemampuan untuk melaksanakan dan merancang pengobatan yang dibutuhkan untuk melakukan stabilisasi pasien gawat darurat berkaitan dengan tingkat kegawatdaruratan masing-masing. Oleh karena berbagai jenis dan tingkat keadaan gawat darurat dapat terjadi setiap saat, maka diperlukan diperlukan dokter, bidan, perawat dan petugas kesehatan lain yang menguasai keterampilan dan berpengalaman dalam pengelolaan kegawatdaruratan selama 24 jam penuh. Unit ini juga diharapkan dapat melakukan seleksi pada pasien yang masuk tanpa kegawatdaruratan dan kemudian mendistribusikannya kepada bagian dari sistem pelayanan kesehatan lain yang sesuai. Oleh karena mencari pertolongan pada unit gawatdarurat pada saat ini juga merupakan alternatif bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tersedia setiap saat. Beberapa persyaratan dalam penyelenggaraan Pelayanan Rujukan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal Komprehensif 24 Jam, antara lain adalah: 4 • Pelayanan unit gawatdarurat harus tersedia untuk setiap anggota masyarakat • Akses pada pelayanan dan perawatan kegawatdaruratan harus selalu terbuka dan tidak terbatas • Harus terdapat kesinambungan diantara pemberi pelayanan diluar rumah sakit, pelaksana pelayanan kegawatdaruratan dan pelaksana pelayanan tindak lanjut pasca kegawatdaruratan • Harus tersedia sarana di unit gawat darurat yang mampu untuk memberikan pelayanan pasien dari saat datang untuk melakukan penilaian, pengambilan keputusan, pengobatan dan disposisi tindak lanjut • Unit gawatdarurat harus memiliki kebijakan dan perencanaan yang efektif untuk penyelenggaraan administrasi, pengaturan staf, rancang bangun fasilitas, peralatan, obat dan pelayanan penunjang dignostik • Dokter, bidan, perawat dan petugas kesehatan lain yang memiliki kemampuan pengelolaan kegawatdaruratan merupakan inti unit kerja pelayanan. Tenaga ini harus memiliki hubungan kerjasama yang efektif dengan petugas pelayanan kesehatan yang lain dan mengetahui secara pasti dengan siapa mereka harus bertindak. Interaksi semacam ini dapat terjadi diantara petugas pelayanan kegawatdaruratan, petugas pelayanan kesehatan lain, dokter lain dan berbagai sarana pelayanan kesehatan dan sosial yang lain
39
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
PELAYANAN OBSTETRI DAN NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF
RUMAH SAKIT KABUPATEN A. INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) 1. Instalasi Gawat Darurat harus memiliki staf dengan kualifikasi pengetahuan dan keterampilan yang sesuai untuk melakukan penilaian dan pengelolaan pasien yang memerlukan pelayanan kegawatdaruratan. Unit ini harus dirancang sedemikian rupa dan diperlengkapi untuk melakukan pelayanan kegawatdaruratan. 2. Pelayanan kegawatdaruratan yang dilaksanakan oleh dokter dan perawat dengan kualifikasi kemampuan untuk itu harus dapat dilakukan setiap saat selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam satu minggu 3. Penilaian kegawatdaruratan dan stabilisasi pasien harus dapat dilakukan pada setiap orang yang memerlukan pelayanan kegawatdaruratan. Kualitas pelayanan yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan dan standard yang ada, pasien dan penanggung dana secara finansial bertanggung jawab pada biaya yang diakibatkan oleh pelaksanaan pelayanan. 4. Unit gawat darurat harus berpartisipasi dalam program penyuluhan kesehatan masyarakat, terutama dalam bidang pelayanan kegawatdaruratan yang tersedia pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. 5. Unit gawat darurat harus memberikan dukungan pada sistem pelayanan kegawatdaruratan dan memberikan saran dan pengarahan apabila diperlukan. B. ELEMEN YANG DIPERLUKAN Bagian ini memberikan gambaran kebutuhan administrasi, staf, rancang bangun dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan kegawatdaruratan. Administrasi a. Fasilitas kegawatdaruratan harus dikelola dan diselenggarakan sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Rencana pengelolaan unit gawat darurat secara tertulis tidak boleh bertentangan dengan peraturan rumah sakit (hospital bylaws) dan sesuai dengan rencana dari bagian lain yang seharusnya ada di dalam rumah sakit. b. Penyelenggaraan unit gawat darurat harus didasarkan pada panduan pelayanan dan prosedur yang tertulis. c. Penanggungjawab unit gawat darurat, bekerjasama dengan penanggungjawab perawatan dan secara terpadu dengan pelayanan kegiatan penunjang yang lain, harus dapat memberikan jaminan pemantauan dan penilaian secara berkala dari kualitas, keamanan dan ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan. d. Setiap petugas kesehatan baru yang akan ditugaskan pada unit gawat darurat harus menjalani program orientasi secara formal yang menjelaskan tentang misi unit gawat darurat, standar prosedur pelayanan (standard operating procedures) gawat darurat dan tanggung jawab masing-masing. e. Setiap petugas unit gawat darurat harus selalu menjaga dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya secara professional agar dapat selalu memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien.
Dalam dokumen ini, terminologi “pimpinan atau direktur unit gawat darurat“ dipergunakan untuk menggantikan kata “direktur medis unit gawat darurat” Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
40
f.
Tugas dan tanggung jawab dokter, bidan, perawat serta petugas kesehatan lain pada unit gawat darurat harus dijelaskan secara tertulis. Program menjaga mutu pelayanan harus dapat melakukan penilaian dan pemantauan setiap petugas unit gawat darurat secara berkala. g. Sesuai dengan hukum, peraturan dan standar pelayanan yang ada, triase dan penyaringan untuk setiap pasien yang masuk untuk mendapatkan pelayanan harus dilakukan oleh seorang dokter, atau oleh bidan yang telah mendapatkan pelatihan khusus. Pedoman pelayanan kegawatdaruratan harus disepakati bersama oleh wakil direktur pelayanan medis rumah sakit dan pimpinan instalasi gawat darurat. h. Penilaian dan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan sampai pada tingkat yang optimal, harus tersedia untuk setiap pasien yang masuk dengan kegawatdaruratan medis. i. Dokter pada unit gawat darurat bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di unit gawat darurat. Tanggung jawab ini meliputi kemampuan medis untuk melakukan penilaian, menentukan diagnosis, dan pengobatan yang dianjurkan serta disposisi untuk pasien gawat darurat, termasuk pengarahan dan koordinasi pada semua unit pelayanan kesehatan yang terlibat dalam pemberian pelayanan. Tanggung jawab untuk pelayanan pada pasien tertentu di unit gawat darurat dapat dialihkan pada dokter lain apabila diperkirakan adanya keraguan diagnosis. Seorang bidan yang terdaftar bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan penilaian, perencanaan dan evaluasi dampak dari pengobatan yang diberikan. j. Unit gawat darurat harus menyediakan registrasi terkontrol (controlled register) atau “log” untuk setiap pasien yang memerlukan perawatan kegawatdaruratan. k. Catatan medik yang sah dan sesuai harus dibuat untuk setiap pasien yang memerlukan perawatan kegawatdarutan di unit gawat darurat. Catatan medik harus tersimpan dalam format sesuai dengan ketentuan hukum dengan baik, sehingga selalu mudah dicari pada saat dibutuhkan oleh petugas pelayanan kegawatdaruratan. Penugasan (Staffing) a. Petugas pelaksana pelayanan kegawatdaruratan yang memiliki kualifikasi dan terlatih dengan baik secara professional, termasuk dokter, bidan dan perawat, merupakan staf unit gawat darurat selama waktu pengoperasiannya. b. Seorang Direktur medis unit gawat darurat memimpin secara langsung pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di unit gawat darurat. Direktur unit gawat darurat harus: • Memiliki sertifikat Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED), Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) atau kualifikasi lain yang sejenis. 5 • Memperlihatkan kemampuan dalam pengelolaan dan administrasi pelayanan klinik pada unit gawat darurat. • Merupakan anggota yang memiliki suara dari komite eksekutif staf medis rumah sakit. • Memiliki pengetahuan tentang operasionalisasi sistem kegawatdaruratan medik dan jaringan kegawatdaruratan medik regional. • Memberikan jaminan bahwa staf unit gawat darurat memiliki kualifikasi dan telah mendapatkan pendidikan / pelatihan yang sesuai. c. Semua dokter yang menjadi staf unit gawat darurat, termasuk direktur medis, merupakan bagian dari proses administrasi umum dalam rumah sakit, menjadi staf 41
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
medis rumah sakit dengan tugas khusus pada pelayanan kegawatdaruratan medis. Dokter pada unit gawat darurat harus memiliki hak, kebebasan dan tanggung jawab yang sama seperti staf medis yang lain, seperti jenjang kategori yang tergambar dalam susunan organisasi rumah sakit. d. Setiap dokter yang bekerja di unit gawat darurat harus telah mengikuti pelatihan, memiliki pengalaman dan kompetensi dalam pengelolaan dan pengobatan kasus dengan kegawatdaruratan untuk setiap pasien yang memerlukan pelayanan kegawatdaruratan, sesuai dan tidak bertentangan dengan hak serta kewenangan masing-masing dokter. e. Asuhan keperawatan di unit gawat darurat dipimpin dan diarahkan oleh perawat dengan sertifikasi yang terdaftar. Direktur keperawatan pelayanan gawat darurat harus mampu: • Menunjukkan kemampuan pendidikan dasar, pengalaman dan keterampilan dalam keperawatan gawat darurat. • Menunjukkan kemampuan dan keterampilan manajemen dan pengelolaan administrasi pelayanan klinik di unit gawat darurat. • Memberikan jaminan bahwa perawat dan staf pendukung yang lain memiliki pendidikan dan kualifikasi yang sesuai. f. Setiap perawat yang bekerja di unit gawat darurat harus: • Membuktikan kemampuan sebelumnya pada unit gawat darurat atau telah mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan kegawatdaruratan (Basic/Advanced Training Life Saving, Life Saving Skills, PONED/PONEK). • Mendemonstrasikan / membuktikan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. g. Direktur medis unit gawat darurat dan direktur keperawatan gawat darurat harus secara berkala melakukan penilaian kebutuhan staf. Sensus pasien, tingkat kesulitan trauma/penyakit (injury/illness severity), waktu datang dan ketersediaan pelayanan penunjang dan staf pendukung merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penilaian jadwal kegawatan dan kebutuhan staf. Pola pembagian staf harus dapat mengatasi kemungkinan adanya kedatangan pasien dengan kegawatdaruratan pada waktu yang tidak diharapkan. Harus ada perencanaan yang jelas untuk penyediaan tambahan tenaga perawat, pembantu perawat dan dokter pada saat ada kebutuhan mendadak atau bencana alam. Tabel 3.1 Kebutuhan minimal, peran dan fungsi tenaga pelayanan kesehatan maternal & neonatal di Rumah Sakit No
Jenis tenaga
Tugas umum
1
Dokter spesialis obstetri ginekologi Dokter spesialis anak Dokter spesialis / perawat anestesi Dokter umum
Penanggung jawab pelayanan kesehatan maternal & neonatal Pelayanan kesehatan perinatal & anak Pelayanan anestesi
2 3 4
Penyelenggaraan pelayanan medik
Tugas khusus
Jumlah
Konsultasi medik
1
Konsultasi medik
1
Membantu tindakan resusitasi Asisten operator pada tindakan operatif Dokter jaga
1 2
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
42
No
Jenis tenaga
Tugas umum
Tugas khusus
Jumlah
5
Bidan koordinator
Koordinator asuhan pelayanan kesehatan
Koordinator kamar bersalin
1
6
Bidan penyelia
Koordinasi tugas, sarana dan prasarana
2
7
Bidan pelaksana
Pelayanan asuhan kebidanan
Penerimaan dan penempatan pasien baru atau pasien ruangan Rujukan medik kebidanan Membantu persiapan dan pelaksanaan tindakan operasi Pemrosesan alat
8 9
Perawat Petugas laboratorium Pekarya kesehatan Petugas administrasi
Asuhan keperawatan Pelayanan pemeriksaan penunjang Membantu pelaksanaan pelayanan kesehatan Administrasi dan keuangan
10 11
6
2 1 2 Catatan medik
2
Catatan: Jumlah tenaga dirancang untuk kebutuhan selama 24 jam dengan alih tugas dalam 3 shift dan 3 hari pergantian waktu kerja
Fasilitas Rancangan fasilitas fisik telah diatur dalam Buku Pedoman Unit Gawat Darurat dengan memperhatikan kebutuhan sarana fisik minimal dan alur pasien dalam pelayanan kegawatdaruratan. Unit penunjang seperti kamar operasi dan kamar tindakan obstetri juga harus dirancang secara baik dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk: • Kebutuhan fasilitas fisik • Alur (flow) pelayanan dan pasien • Sirkulasi udara • Persyaratan bangunan untuk pencegahan infeksi nosokomial • Penentuan daerah steril dan non-steril • Sistem penunjang kegiatan (aliran air, pengendalian dan pembuangan limbah) Disamping itu perlu diperhatikan beberapa rancangan fasilitas dalam upaya meningkatkan kinerja seperti: a. Unit gawat darurat dirancang untuk memberikan lingkungan yang aman untuk memberikan pelayanan dan harus mampu memberikan akses yang nyaman untuk setiap orang yang datang dan membutuhkan pelayanan. b. Unit gawat darurat dirancang untuk menjaga, sampai pada tingkat kewajaran maksimum sesuai dengan kebutuhan medis, hak pasien untuk terjaga kerahasiaannya (visual and auditory privacy). c. Unit Radiologi, pencitraan medik (imaging), dan pelayanan penunjang diagnostik yang lain harus tersedia dalam periode waktu kerja tertentu untuk pasien yang memerlukan pelayanan. d. Pelayanan laboratorium harus tersedia selama periode waktu tertentu sebagai upaya penunjang untuk melaksanakan tes diagnostik bagi pasien yang membutuhkan. e. Terdapat penunjuk arah dari jalan umum ke unit gawat darurat yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, atau dimana terdapat fasilitas yang dirancang sebagai pusat pelayanan kegawatdaruratan khusus.
43
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
f.
Harus dirancang dan dilaksanakan prosedur keamanan yang akan memberikan perlindungan yang memadai dan sesuai bagi staf unit gawat darurat, pasien dan pengunjung / pengantar.
Peralatan dan Bahan a. Harus terdapat peralatan dan bahan dengan kualitas tinggi dan sesuai dengan kebutuhan wajar pasien yang dikelola di unit gawat darurat. b. Peralatan dan bahan yang diperlukan harus dapat tersedia dalam waktu singkat setiap saat. c. Dapat dilakukan pembuktian pemeriksaan fungsi setiap peralatan pakai ulang (reusable medical equipment), dan hasil pemeriksaan harus didokumentasikan secara berkala. Obat Farmakologi/Terapeutik Obat yang diperlukan sesuai dengan Appendix 2 harus secara mudah dan selalu tersedia. Harus terdapat mekanisme untuk mengenali dan mengganti semua obat sebelum batas waktu pakainya (expiration date) berakhir. Pelayanan Tambahan a. Laboratorium Pelayanan laboratorium harus tersedia selama periode waktu tertentu sebagai upaya penunjang untuk melaksanakan tes diagnostik bagi pasien yang membutuhkan. b. Pemeriksaan Radiologi c. Anestesi d. Elektrokardiografi e. Unit Radiologi, pencitraan medik (imaging), dan pelayanan penunjang diagnostik yang lain harus tersedia dalam periode waktu kerja tertentu untuk pasien yang memerlukan pelayanan. C. HUBUNGAN KEMITRAAN DAN TANGGUNG JAWAB Tanggung jawab untuk kelanjutan perawatan pasien (Responsibilities for the Continuity of Patient Care) Pelayanan kegawatdaruratan berawal pada kondisi sebelum sampai di rumah sakit (prehospital setting), berlanjut pada unit gawat darurat dan baru berakhir apabila tanggung jawab pasien telah dilimpahkan kepada dokter lain atau pasien pulang / keluar dari rumah sakit. Untuk mencapai pelayanan yang optimal bagi pasien dengan kegawatdaruratan, pelimpahan tanggung jawab ini harus dilaksanakan secara efektif, sesuai dengan tingkat kemampuan dan kewenangannya serta sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Pada bab berikut dijelaskan kemitraan yang harus terjadi diantara fasilitas dan pelaksana pelayanan sehingga didapatkan pelayanan yang bekesinambungan dan paripurna. a. Pengaturan pra-rumah sakit (Prehospital Setting) • •
Pelayanan kegawatdaruratan pra-rumah sakit harus dilaksanakan secara konsisten dan sesuai dengan pedoman sistem rujukan dan standard pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Unit Gawat Darurat harus dirancang sebagai bagian dari sistem pelayanan kegawatdaruratan medis serta memiliki aturan main yang sesuai dengan koordinator kegawatdaruratan lokal. Terdapat protokol dan prosedur yang menggambarkan hubungan antara unit gawat darurat dengan sistem kegawatdaruratan medik.
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
44
• •
•
Pasien harus dirujuk pada unit gawat darurat dengan kemampuan sesuai yang terdekat dan sesuai dengan hukum, aturan serta pedoman standard. Apabila pelayanan ambulans digunakan untuk memindahkan pasien ke unit gawat darurat, harus tersedia sistem komunikasi seperti radio, telepon seluler atau alat lain yang memiliki kemampuan untuk mengirimkan berita rencana kedatangan pasien dan informasi lebih lanjut tentang pasien mengenai kondisi kritis atau cedera yang mungkin terjadi dalam perjalanan. Tenaga kesehatan yang ditugasi untuk memindahkan pasien harus membuat dokumentasi klinik lengkap untuk semua tindakan yang sudah dikerjakan pada tingkat pra- rumah sakit. Salinan dari dokumen ini harus segera tersedia pada saat pemindahan pelayanan ke unit gawat darurat dan termasuk dalam catatan medik pasien dengan kegawatdaruratan medis.
b. Fasilitas Kegawatdaruratan •
•
Tenaga kesehatan pada unit gawat darurat harus terbiasa dengan protokol pelayanan medis yang digunakan oleh pelaksana pelayanan pra-rumah sakit di masyarakat dan sebaliknya. Dengan telah diterbitkannya Buku Acuan Nasional dan Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal maka kerancuan dalam protokol pelayanan medis telah terselesaikan, sosialisasi dan penerapan protokol dalam buku tersebut perlu selalu dipatuhi agar terdapat tindakan yang standar pada setiap situasi medis Setiap orang yang memiliki potensi terjadinya kematian, kecacatan atau rudapaksa atau kondisi kegawatdaruratan lain yang datang di unit gawat darurat, harus segera dilakukan penilaian. Beberapa tindakan yang tepat harus dikerjakan untuk mencapai stabilisasi dan mulai melakukan pengelolaan pasien.
c. Disposisi pasien (patient disposition) •
• •
•
Terdapat jumlah dokter yang cukup yang akan menerima tanggung jawab pelayanan pasien yang dipersiapkan sebelumnya oleh rumah sakit dan staf medis untuk pasien yang memerlukan perawatan atau pemindahan ke tempat perawatan atau unit pengawasan. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, rumah sakit dan staf medis harus menyiapkan daftar dokter spesialis yang dapat dipanggil (on-call specialists) sesuai dengan kebutuhan pelayanan pasien dengan kegawatdaruratan dalam batas waktu tertentu. Pasien yang dirawat atau dipindahkan ke unit pengawasan harus dikelola sesuai dengan standard pelayanan yang telah ditentukan. Harus terdapat dokter yang terlatih atau tenaga kesehatan professional yang bekerja sesuai dengan tingkat kewenangannya dalam jumlah yang cukup untuk menerima tanggung jawab perawatan lanjut dari pasien yang keluar dari unit gawat darurat. Rumah sakit harus melengkapi unit gawat darurat dengan daftar spesialis yang siap dipanggil atau pelayanan rujukan lain yang memiliki kemampuan untuk melakukan pelayanan lanjutan dalam batas waktu tertentu setiap pasien dari unit gawat darurat. Semua pasien yang meninggalkan atau dipindahkan dari unit gawat darurat harus memiliki instruksi perawatan selanjutnya (aftercare instructions) secara spesifik, tercetak atau dengan tulisan tangan.
d. Pemindahan pasien •
45
Apabila terdapat indikasi untuk memindahkan pasien, fasilitas kegawatdaruratan harus memiliki perencanaan tertulis untuk memindahkan pasien dengan kendaraan yang memiliki kemampuan untuk melakukan perawatan dalam perjalanan, termasuk Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
•
•
dukungan kehidupan (life support) mis. ambulans, advanced life support, basic life support. Apabila memungkinkan, harus selalu diupayakan adanya perawat atau dokter di dalam kendaraan transportasi. Catatan medik yang diperlukan untuk kelanjutan perawatan harus disertakan bersama pasien, apabila hal ini tidak dimungkinkan untuk disertakan pada waktu pemindahan pasien, harus segera dilakukan pengiriman ke tempat tujuan rujukan melalui fasilitas komunikasi lain (mis. faksimili). Pasien dalam kondisi kritis dengan risiko kematian atau kegagalan fungsi penunjang kehidupan atau kegawatdaruratan medis lain, tidak boleh dipindahkan dari fasilitas pelayanan gawat darurat sebelum dilakukan pengawasan dan prosedur stabilisasi yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh fasilitas pelayanan. Pemindahan pasien ke fasilitas pelayanan dengan kemampuan dan sarana yang lebih baik harus direncanakan sesuai kebutuhan. Semua pemindahan pasien yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku serta menggunakan prosedur pemindahan pasien. MEKANISME ALUR PASIEN RUJUKAN MATERNAL & NEONATAL
Semua pasien rujukan maternal & neonatal ke rumah sakit kabupaten masuk melalui Instalasi Gawat Darurat dimana sesegera mungkin dilakukan identifikasi dan pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan. DR OBSGIN/ DOKTER/ BIDAN
IBU HAMIL & NEONATAL
INSTALASI / UNIT GAWAT DARURAT
LABORATORIUM
KAMAR TINDAKAN Prosedur tindakan kasus rujukan sesuai standard pelayanan kesehatan maternal & neonatal
RAWAT INAP / NIFAS
KAMAR OPERASI Prosedur operasi pada kasus rujukan
BANGSAL PERINATOLOGI
KAMAR BERSALIN ADMINISTRASI KEUANGAN INSTALASI FARMASI
Prosedur persalinan normal kasus rujukan sesuai standard pelayanan
BANK DARAH Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
46
Segala urusan administrasi dapat dilakukan kemudian, prinsip utama adalah agar ibu dan bayi baru lahir segera mendapatkan pelayanan untuk stabilisasi keadaan umum atau untuk dilakukan tindakan yang cepat, tepat, aman dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Di Kamar Bersalin harus telah terdapat standard pelayanan kesehatan maternal & neonatal yang akan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan sesuai dengan kewenangan untuk melakukan tindakan. Di Kamar Bersalin juga perlu dicantumkan hak dan kewajiban pasien dan keluarganya, petugas kesehatan serta fasilitas kesehatan, untuk mengetahui dan memahami apa yang menjadi kewajiban dan haknya. Hal ini diperlukan terutama untuk menghindari adanya konflik diantara pasien dan petugas pelaksana pelayanan kesehatan maternal & neonatal. PERALATAN DAN SARANA YANG DIANJURKAN UNTUK UNIT PELAYANAN OBSTETRI DAN NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF Peralatan, instrumen dan sarana dalam daftar dibawah ini merupakan anjuran, sehingga pada setiap pengajuan pengadaan peralatan dapat diajukan permintaan berdasarkan kebutuhan secara bertahap. Setiap jenis terbagi dalam kelompok pemakaian, dan diharapkan dapat selalu tersedia dan secara mudah dapat dijangkau pada masing-masing kelompok. Tidak termasuk dalam daftar ini peralatan dan bahan medis/bedah umum seperti plester, kasa dan benang maupun peralatan perlengkapan administrasi. Peralatan / sarana umum Unit Gawat Darurat • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
47
Sarana pengawasan sentral (Central station monitoring capability) Sarana pengawasan kondisi fisiologis (Physiological monitors) Tensi meter Defibrillator dengan monitor Termometer Alat pengukur nadi dan saturasi Oksigen (Pulse oxymeter) Sistem pemanggil perawat (nurse-call system) untuk pasien Peralatan pompa hisap portabel (Portable suction regulator) Pompa infus dan tranfusi darah (Infusion pumps to include blood pumps) Tiang penyangga cairan infus Ambu bag untuk dewasa dan anak/bayi (Bag-valve-mask respiratory and adult and pediatric size mask) Tabung oksigen portabel Pemanas darah dan cairan infus Peralatan isap nasogastrik (Nasogastric suction supplies) Peralatan cuci lambung, termasuk selang dengan lumen besar dan penahan gigitan (Gastric lavage supplies, including large-lumen tubes and bite blocks) Kateter, termasuk kateter lurus, Foley, Coude, filiform dan tempat penampungan urin Pemanas selimut (blanket warmer) Lampu periksa Kursi roda dan brankar Tempat penyimpanan obat dengan kunci Peralatan dalam keadaan steril dan terbungkus
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Kemampuan untuk pemerikasaan mikroskopis ringan untuk kegawatdaruratan (Availability of light microscopy for emergency procedures) Timbangan badan (dewasa dan anak) Pita pengukur Adult and Pediatric "code" chart Benang dan peralatan bedah minor Peralatan ultrasonografi portabel Peralatan EKG Peralatan/lampu untuk pemeriksaan foto Rontgen Rak untuk penyimpanan tabel (chart rack) Sistem komputer* Kemampuan hubungan internet* Peralatan pemantau pasien (patient tracking system) Radio atau alat lain untuk melakukan komunikasi dengan ambulans Petunjuk sistem pemulangan pasien (patient discharge instruction system) Sistem pendaftaran / pencatatan pasien dan pelayanan informasi Sistem komunikasi staf antar bagian – radio panggil, telepon mobil Sistem untuk dokumentasi peralatan bagi dokter, perawat dan dokter mitra (charting system for physician, nursing, and attending physician documentation equipment) Bahan referensi termasuk informasi toksikologi (toxicology resource information) Alat pelindung pribadi – sarung tangan, kacamata, penutup muka, baju, penutup kepala dan kaki Linen (bantal, handuk, baju, gaun, selimut) Tempat untuk barang dan baju pasien Peralatan untuk perawatan kebersihan rumah tangga
Ruang pemeriksaan • • • • • • • • • • • • • • •
Meja pemeriksaan ginekologi dengan penyangga infus dan tempat tabung oksigen yang menyatu atau terpisah. Bangku tangga (step stool) Kursi / bangku untuk staf Tempat duduk untuk pengantar atau pengunjung Sistem penyinaran yang sesuai, termasuk lampu untuk melakukan prosedur tertentu Almari Wastafel untuk cuci tangan, termasuk tempat sabun dan kertas pengering Peralatan pemberian oksigen dinding, termasuk kanula nasal, sungkup muka dan sungkup terbuka (venturi masks) Alat penghisap di dinding (Wall mounted suction capability), termasuk kanula trachea dan kanula yang lebih besar Spigmomanometer/stetoskop Oral and nasal airways Televisi Materi bacaan untuk pasien Tempat pembuangan sampah / bahan terkontaminasi (Biohazard-disposal receptacles), termasuk tempat pembuangan benda tajam Tempat pembuangan sampah tidak terkontaminasi
Ruang Resusitasi Semua alat/sarana pada ruang pemeriksaan umum ditambah dengan: Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
48
• • • •
•
•
Adult and Pediatric "code cart" to include appropriate medication charts Kemampuan untuk melakukan komunikasi dengan perawat (nursing station), sistem komunikasi tanpa kabel lebih baik Peralatan boks lampu untuk pemeriksaan foto rontgen Peralatan untuk membebaskan jalan nafas (airways needs) - Big-valve-mask respirator (dewasa, anak dan bayi) - Peralatan Cricothyroidotomy - Endotracheal tubes, ukuran 2.5 sampai 8.5 mm - Laryngoscopes, bilah lurus dan lengkung beserta stylets - Cermin Laryngoscope dan peralatannya - Laryngeal Mask Airway (LMA) - Oral and nasal airways - Peralatan Tracheostomy Pernafasan (Breathing) - Sistem ventilasi BiPAP - Closed-chest drainage device - Chest tube instruments and supplies - Peralatan untuk emergency thoracotomy - End-tidal CO2 monitor18 - Nebulizer - Peak flow meter - Pulse oximeter - Volume cycle ventilator Sirkulasi (Circulation) - Pemantau kondisi fisik otomatis (automatic physiological monitor, noninvasive) - Pompa infus untuk cairan/darah - Pemanas darah/cairan - Papan pijat jantung (cardiac compression board) - Central venous catheter setups/kits - Alat pemantau tekanan intravena (Central venous pressure monitoring equipment) - Cutdown instruments dan peralatannya - Jarum spinal (Intraosseous needles) - Jarum intravena, set infus dan penyangganya - Monitor/defibrillator dengan pediatric paddles, internal paddles, appropriate pads dan peralatan lain - Alat ECG dengan 12-Lead
Trauma dan resusitasi lain • • • • •
Penyimpanan darah / peralatan untuk transfusi (Blood salvage/autotransfusion device) Peralatan dan obat kegawatdaruratan obstetrik (Emergency obstetric instruments and supplies) Termometer untuk hipotermia (Hypothermia thermometer) Peralatan pemanas bayi (Infant warming equipment) Selimut pemanas / pendingin (Warming/cooling blanket)
Ruang khusus lain Semua alat/sarana pada ruang pemeriksaan umum ditambah dengan: 49
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
OB-GYN Fetal Doppler dan alat ultrasonografi (Fetal Doppler and ultrasound equipment) Lampu pemeriksaan Obstetri / Ginekologi Spekulum vagina untuk ukuran anak sampai dewasa Peralatan untuk pemeriksaan pada permintaan visum et repertum (Sexual assault evidence-collection kits) Benang (Suture material) Lain-lain Peralatan anestesi / pemberian N2O (Nitrous Oxide equipment) CATATAN Kebutuhan tambahan peralatan/sarana untuk Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK)
OBAT YANG DIANJURKAN UNTUK UNIT PELAYANAN OBSTETRI DAN NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF Daftar obat terlampir adalah obat yang dianjurkan. Direktur medis, perwakilan staf medis dan kepala farmasi diharapkan dapat mengembangkan formularium obat tertentu untuk penggunaan dalam unit gawat darurat. Analgesik narkotik dan non-narkotik Anesthetik topikal, infiltratif, umum Antagonis narkotik Antikonvulsan Antidiabetik, obat Antidotum antibisa ular glukonas kalsikus Antihistamin Anti-infeksi, obat sistemik / topikal Anti-inflamasi steroid / non-steroid Bikarbonat Blood Modifiers Antikoagulan termasuk thrombolytics Antikoagulan Hemostatik sistemik topikal plasma expanders/ extenders Cholinesterase Inhibitors Diagnostik, obat Kandungan darah (blood contents) Kandungan tinja (stool contents)
Tes untuk myasthenia gravis Kandungan urin (urine contents) Elektrolit Cation exchange resin Pengganti elektrolit, parenteral dan oral Fluid replacement solutions Gastrointestinal, obat Antasida Anti-diare Emetik dan antiemetik Anti-flatulent Anti-spasmodik Pencahar lambung (laxatives) Antagonis reseptor histamin Inhibitor pompa proton Glucose elevating agents Hormonal, obat Kontrasepsi oral Steroid, preparat Thyroid, preparat Kardiovaskuler, obat ACE inhibitors Adernergic blockers Adernergic stimulants Alpha/Beta blockers Antiarrhythmia agents Calcium channel blockers
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
50
Kardiovaskuler, obat Digoxin antagonist Diuretics Vasodilators Vasopressors Migraine, obat Nasal, obat Obat untuk hipokalsemia dan hiperkalsemia Obat luka bakar (burn preparations) Oksitosik Pelumas (lubricants) Pelemas otot (muscle relaxants)
Pernafasan, obat Antitussives Bronchodilators Decongestants Leukotriene antagonist Psychotherapeutic, obat Rh0(D) immune globulin Salisilat Sedativa dan Hipnotik Vaksinasi Vitamin dan mineral PERALATAN, OBAT & BAHAN PADA “EMERGENCY OBSTETRICS TROLLEY”
Peralatan Ambu bag (resusitator manual), sungkup, selang, penyambung oksigen Lampu penerangan dengan batere (senter) Selimut Tempat penampung muntah (emesis basin) Kateter Foley (nomer 16 atau 18) dengan kantong penampungan urin Penahan mulut (mouth gag) Kateter untuk menghisap lendir (nomer 18) feksibel dan tidak fleksibel Oral airways (90 dan 100 mm), nasal airways (2 ukuran), nasopharyngeal airways (28 dan 30) Tabung oksigen dengan pengukur aliran, katup (flow valve), volume meter, kunci pembuka, saluran oksigen Spigmomanometer Stetoskop Torniket Laringoskop dengan lampu dan batere cadangan * Endotracheal tube (7 atau 7.5 mm) * Stilet untuk endotracheal tube * Spuit 5 cc untuk mengisi balon pada endotracheal tube dengan udara * Bahan Plester Cairan antiseptik Kasa Jarum dan spuit hipodermik Cairan intravenous dan set infus dengan jarum besar (nomer 14-16) Mata pisau Pelicin untuk melakukan intubasi * Oksigen Jarum jahit, benang, benang kromik 3.0 dan 2.0 dengan jarum atraumatik Obat kegawatdaruratan umum Adrenalin Atropin sulfat 51
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Dekstrose Diazepam Diphenhydramine (Benadryl atau Phenergan) Ephedrine Lidokain Nalokson (hanya bila digunakan narkotik) Obat kegawatdaruratan obstetrik Injeksi Ergometrine maleat Injeksi Labetolol atau Hidralasin Injeksi Magnesium sulfat Tablet Misoprostol Injeksi Oksitosin * hanya bila ada tenaga dengan kemampuan untuk melakukan intubasi
RADIOLOGI, PENCITRAAN (IMAGING) DAN PELAYANAN DIAGNOSTIK Pelayanan spesifik yang tersedia dan waktu pelayanan untuk unit gawat darurat pada rumah sakit tertentu, ditentukan oleh direktur medis UGD, direktur pelayanan diagnostik dan pihak lain terkait. Pelayanan dibawah ini harus tersedia selama 24 jam sehari untuk pasien dengan kegawatdaruratan: Standard pemeriksaan radiologi untuk tulang dan termasuk struktur jaringan lunak, yang tidak terbatas pada Cross-table lateral tulang belakang dan kemampuan untuk melakukan Pemeriksaan radiografi thoraks untuk pasien dengan nyeri dada mendadak dan untuk melakukan verifikasi pemasangan endotracheal tube, central line, atau chest tube Foto jaringan lunak daerah leher Foto jaringan lunak subkutan untuk deteksi benda asing Standard radiografi thoraks, abdomen dll. Pelayanan pernafasan (pulmonary services) Penentuan analisa gas darah arterial (arterial blood gas determination) Penentuan peak flow Pulse oximetry Fetal monitoring (nonstress test/uterine monitoring) Pelayanan pemeriksaan kardiovaskuler Pemeriksaan Doppler 12-Lead ECG dan rhythm strips Pelayanan ultrasonografi kegawatdaruratan untuk pemeriksaan obstetri/ginekologi, jantung dan masalah hemodinamik serta kondisi darurat lain. KEMAMPUAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM YANG DIANJURKAN Direktur medis UGD dan direktur pelayanan laboratorium dapat mengembangkan prosedur tetap untuk ketersediaan dan waktu pelayanan sesuai kebutuhan. Kemampuan pelayanan laboratorium selama 24 jam dibawah ini merupakan anjuran bagi rumah sakit dengan pelayanan kegawatdaruratan 24 jam. Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
52
Bank darah Penyediaan darah sesuai kebutuhan Kemampuan penentuan golongan darah dan melakukan cross-match Kimia Ammonia Amylase Antikonvulsan dan kadar terapeutik obat yang lain Analisa gas darah arterial Bilirubin (total dan direct) Calcium Carboxyhemoglobin Cardiac isoenzymes (termasuk creatine kinase- MB) Chloride (darah dan cairan serebrospinal)
Creatinine Electrolit Ethanol Glucose (darah dan CSF) Liver-function enzymes (ALT, AST, alkaline phosphatase) Methemoglobin Osmolalitas Protein (CSF) Serum magnesium Urea nitrogen
Hematologi Hitung jenis dan differensial (darah, CSF dan analisa cairan sendi) Pemeriksaan koagulast Erythrocyte sedimentation rate
Platelet count Reticulocyte count Sickle cell prep
Mikrobiologi Acid fast smear/staining Chlamydia testing Counterimmune electrophoresis untuk identifikasi bakteri Gram staining and culture/sensitivities
Herpes testing Strep screening Viral culture Wright stain
Lain-lain Hepatitis screening HIV screening Analisa cairan sendi dan serebro spinalis Pemeriksaan skrining toksikologi dan penggunaan obat (Toxicology screening and drug levels) Analisa urin (Urinalysis) Mononucleosis spot Serology (syphilis, recombinant immunoassay) Tes kehamilan (kualitatif and kuantitatif)
BANK DARAH – UNIT TRANSFUSI DARAH CABANG5 Transfusi darah adalah tindakan medis memberikan darah kepada penderita, yang darahnya telah tersedia dalam kantong yang memenuhi syarat kesehatan, secara langsung maupun tidak langsung. Upaya Kesehatan Transfusi Darah (UKTD) sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No.18 tahun 1980 dan Permenkes No.478/MENKES/PER/X/1990 adalah upaya kesehatan berupa tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memungkinkan penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan 53
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
yang mencakup kegiatan pengerahan penyumbang darah, pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan dan penyampaian darah kepada pasien melalui sarana pelayanan kesehatan. PMI dalam menyelenggarakan tugas UKTD di tingkat cabang akan membentuk Unit Transfusi Darah Cabang PMI (UTDC-PMI) apabila di suatu wilayah telah terdapat kebutuhan pelayanan darah minimal 100 kantong darah setiap bulan. Sesuai dengan tugasnya, UTDC-PMI menjalankan fungsi c melaksanakan kegiatan teknis pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan serta penyampaian darah, d melaksanakan kegiatan administrasi dan manajemen baik yang bersifat umum atau khusus teknis UKTD, e melaksanakan pembinaan donor darah sukarela di wilayah cabangnya, f mengadakan penelitian dan pengembangan sesuai dengan penugasan yang diberikan, g mengadakan hubungan fungsional dengan instansi atau lembaga lain dalam rangka penyelenggaraan UKTD dan h melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan pelaksanaan UKTD. Kemampuan teknis UKTD diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. UTDC Standard, dengan kemampuan teknis sebagai berikut: - Produksi darah lengkap dan pemeriksaan laboratorium - Produksi komponen darah dengan tehnik sederhana yang menghasilkan plasma cair dan sel darah merah pekat. Pada keadaan dimana Pengurus cabang PMI belum mampu membentuk UTDC, kegiatan UKTD dilaksanakan oleh rumah sakit setempat. 2. UTDC Pembina - Berkemampuan lebih dari UTDC Standard - Memberi pelayanan darah dan komponennya - Menerima rujukan dari UTDC lain - Mengadakan pendidikan/penyegaran pengetahuan dan keterampilan kepada tenaga UTDC lain, sesuai dengan lingkupnya - Dapat mengembangkan usaha dan produksi - Memberikan pelayanan logistik - Melaksanakan penelitian dan pengembangan Lingkup tugas UTDC meliputi: 1. pengkajian dan perumusan kebijaksanaan tentang - pembinaan organisasi dan manajemen - pembinaan personil - pembinaan dan pengembangan sarana dan prasarana - pembinaan logistik - pembinaan sumber dana dan bantuan - pembinaan donor darah sukarela 2. mencari dan membina donor darah sukarela 3. melaksanakan kegiatan teknis UTDC-PMI 4. kegiatan logistik untuk kegiatan UTDC-PMI 5. penelitian dan pengembangan sesuai dengan lingkup tugasnya 6. melaksanakan kegiatan administrasi manajemen 7. melakukan hubungan fungsional dengan pihak terkait dengan kegiatan UTDC-PMI 8. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Pengurus Cabang PMI yang bersangkutan PERSYARATAN BANK DARAH RUMAH SAKIT (UTDC-PMI) Ruangan Luas ruangan minimal 20 m2 dengan pencahayaan dan ventilasi cukup serta memiliki pengatur suhu ruangan (AC). Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
54
Air dan listrik yang memadai dan dilengkapi dengan telepon. Pembuangan limbah menggunakan sarana pembuangan limbah rumah sakit. Peralatan 1. Alat laboratorium Blood bank / lemari pendingin darah Lemari dingin (untuk reagensia) Freezer (-30°C) Table top centrifuge Penangas air / inkubator Mikroskop Timer Glassware paket standard UTD PMI 2. Reagensia Sera uji anti-a, anti-b Sera uji anti Rho(D) Sel uji A, B, O Bovine albumin 22% Serum Coombs Sel uji Coombs Larutan NaCl 0.9% 3. Peralatan kantor / laboratorium Meja tulis dan kursi Meja laboratorium Jas laboratorium Sarung tangan 4. Tenaga Bank Darah Rumah Sakit dipimpin oleh seorang dokter umum dari rumah sakit dan telah mendapatkan pelatihan dari PMI. Pelaksana tehnis laboratorium adalah paramedis Teknologi Transfusi Darah atau analis yang telah mendapatkan pelatihan di bidang transfusi darah, minimal 5 orang PELAYANAN OBSTETRI DAN NEONATAL EMERGENSI DASAR
PUSKESMAS DAN PUSKESMAS PERAWATAN Bagian ini memberikan gambaran kebutuhan administrasi, staf, rancang bangun dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan kegawatdaruratan di Puskesmas dan Puskesmas dengan perawatan. Administrasi a. Fasilitas kegawatdaruratan harus dikelola dan diselenggarakan sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Rencana pengelolaan unit gawat darurat secara tertulis tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan. b. Penyelenggaraan unit gawat darurat harus didasarkan pada panduan pelayanan dan prosedur yang tertulis.
55
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
c. Dokter dan bidan sebagai penanggungjawab unit, bekerjasama secara terpadu dan harus dapat memberikan jaminan pemantauan dan penilaian secara berkala dari kualitas, keamanan dan ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan. d. Setiap petugas kesehatan baru yang akan ditugaskan pada unit gawat darurat harus menjalani program orientasi secara formal yang menjelaskan tentang misi unit gawat darurat, standar prosedur pelayanan (standard operating procedures) gawat darurat dan tanggung jawab masing-masing. e. Setiap petugas unit gawat darurat harus selalu menjaga dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya secara professional agar dapat selalu memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. f. Tugas dan tanggung jawab dokter, bidan, perawat serta petugas kesehatan lain pada unit gawat darurat harus dijelaskan secara tertulis. Program menjaga mutu pelayanan harus dapat melakukan penilaian dan pemantauan setiap petugas unit gawat darurat secara berkala. g. Sesuai dengan hukum, peraturan dan standar pelayanan yang ada, penyaringan untuk setiap pasien yang masuk untuk mendapatkan pelayanan harus dilakukan oleh seorang dokter, atau oleh bidan yang telah mendapatkan pelatihan khusus. h. Penilaian dan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan sampai pada tingkat yang optimal, harus tersedia untuk setiap pasien yang masuk dengan kegawatdaruratan medis. i. Dokter bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Tanggung jawab ini meliputi kemampuan medis untuk melakukan penilaian, menentukan diagnosis, dan pengobatan yang dianjurkan serta disposisi untuk pasien gawat darurat, termasuk pengarahan dan koordinasi pada semua unit pelayanan kesehatan yang terlibat dalam pemberian pelayanan. Seorang bidan yang terdaftar bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan penilaian, perencanaan dan evaluasi dampak dari pengobatan yang diberikan. j. Unit gawat darurat harus menyediakan registrasi terkontrol (controlled register) atau “log” untuk setiap pasien yang memerlukan perawatan kegawatdaruratan. k. Catatan medik yang sah dan sesuai harus dibuat untuk setiap pasien yang memerlukan perawatan kegawatdarutan. Catatan medik harus tersimpan dalam format sesuai dengan ketentuan hukum dengan baik, sehingga selalu mudah dicari pada saat dibutuhkan oleh petugas pelayanan kegawatdaruratan. Penugasan (Staffing) a. Petugas pelaksana pelayanan kegawatdaruratan yang memiliki kualifikasi dan terlatih dengan baik secara professional, termasuk dokter, bidan dan perawat, merupakan staf unit gawat darurat selama waktu pengoperasiannya. b. Dokter memimpin secara langsung pelayanan kesehatan maternal & neonatal yang dilaksanakan di Puskesmas dan harus: • Memiliki sertifikat Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED), Life Saving Skills (LSS) atau kualifikasi lain yang sejenis. • Memperlihatkan kemampuan dalam pengelolaan dan administrasi pelayanan klinik pada unit gawat darurat. • Memiliki pengetahuan tentang operasionalisasi sistem kegawatdaruratan medik dan jaringan kegawatdaruratan medik regional. • Memberikan jaminan bahwa staf unit gawat darurat memiliki kualifikasi dan telah mendapatkan pendidikan / pelatihan yang sesuai. c. Staf unit gawat darurat merupakan bagian dari proses administrasi umum dalam puskesmas. Dokter harus memiliki hak, kebebasan dan tanggung jawab yang sama Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
56
dengan staf medis yang lain, seperti jenjang kategori yang tergambar dalam susunan organisasi puslesmas. d. Dokter dan bidan yang bekerja harus telah mengikuti pelatihan, memiliki pengalaman dan kompetensi dalam pengelolaan dan pengobatan kasus dengan kegawatdaruratan untuk setiap pasien yang memerlukan pelayanan kegawatdaruratan, sesuai dan tidak bertentangan dengan hak serta kewenangan masing-masing. e. Setiap petugas yang melakukan pelayanan di unit gawat darurat harus: • Membuktikan kemampuan sebelumnya pada unit gawat darurat atau telah mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan kegawatdaruratan. • Mendemonstrasikan / membuktikan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. f. Harus ada perencanaan yang jelas untuk penyediaan tambahan tenaga medis pada saat ada kebutuhan mendadak atau bencana alam. Tabel 3.2 Kebutuhan minimal, peran dan fungsi tenaga pelayanan kesehatan maternal & neonatal di puskesmas dan puskesmas dengan perawatan No
Jenis tenaga
Tugas umum
Tugas khusus
Jumlah
Operator pada tindakan operatif yang sesuai dengan kewenangan Dokter jaga Membantu persiapan dan pelaksanaan tindakan operatif Pemrosesan alat
2
1
Dokter umum
Penyelenggaraan pelayanan medik
2
Bidan pelaksana
Pelayanan asuhan kebidanan
3 4
Perawat Petugas laboratorium Pekarya kesehatan Petugas administrasi
Asuhan keperawatan Pelayanan pemeriksaan penunjang Membantu pelaksanaan pelayanan kesehatan Administrasi dan keuangan
5 6
2
2 1 2 Catatan medik
1
Fasilitas a. Puskesmas harus dirancang untuk memberikan lingkungan yang aman untuk memberikan pelayanan dan harus mampu memberikan akses yang nyaman untuk setiap orang yang datang dan membutuhkan pelayanan. b. Puskesmas harus dirancang untuk menjaga, sampai pada tingkat kewajaran maksimum sesuai dengan kebutuhan medis, hak pasien untuk terjaga kerahasiaannya (visual and auditory privacy). c. Pelayanan laboratorium sederhana harus tersedia selama periode waktu tertentu sebagai upaya penunjang untuk melaksanakan tes diagnostik bagi pasien yang membutuhkan. d. Harus dirancang dan dilaksanakan prosedur keamanan yang akan memberikan perlindungan yang memadai dan sesuai bagi staf, pasien dan pengunjung / pengantar. Peralatan dan Bahan 57
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
a. Harus terdapat peralatan dan bahan dengan kualitas baik dan sesuai dengan kebutuhan wajar pasien yang dikelola di puskesmas. b. Peralatan dan bahan yang diperlukan harus dapat tersedia dalam waktu singkat setiap saat. c. Dapat dilakukan pembuktian pemeriksaan fungsi setiap peralatan pakai ulang (reusable medical equipment), dan hasil pemeriksaan harus didokumentasikan secara berkala. Obat Farmakologi/Terapeutik Obat yang diperlukan sesuai dengan Appendix 2 harus secara mudah dan selalu tersedia. Harus terdapat mekanisme untuk mengenali dan mengganti semua obat sebelum batas waktu pakainya (expiration date) berakhir. MEKANISME ALUR PASIEN RUJUKAN MATERNAL & NEONATAL DI PUSKESMAS DENGAN PERAWATAN
DOKTER/ BIDAN
IBU HAMIL & NEONATAL
INSTALASI / UNIT GAWAT DARURAT
LABORATORIUM
KAMAR TINDAKAN Prosedur tindakan kasus rujukan sesuai standard pelayanan kesehatan maternal & neonatal
KAMAR BERSALIN
INSTALASI FARMASI
RAWAT INAP / NIFAS
BANGSAL PERINATOLOGI
Prosedur persalinan normal kasus rujukan sesuai standard pelayanan
PELAYANAN OBSTETRI DAN NEONATAL EMERGENSI DASAR
POLINDES DAN PUSKESMAS PEMBANTU Bagian ini memberikan gambaran kebutuhan administrasi, rancang bangun dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan kegawatdaruratan di Polindes dan Puskesmas Pembantu. Administrasi a. Penyelenggaraan unit gawat darurat harus didasarkan pada panduan pelayanan dan prosedur yang tertulis. Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
58
b. Bidan harus dapat memberikan jaminan pemantauan dan penilaian secara berkala dari kualitas, keamanan dan ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan. c. Tugas dan tanggung jawab bidan harus dijelaskan secara tertulis. Program menjaga mutu pelayanan harus dapat melakukan penilaian dan pemantauan secara berkala. d. Sesuai dengan hukum, peraturan dan standar pelayanan yang ada, penyaringan untuk setiap pasien yang masuk untuk mendapatkan pelayanan harus dilakukan oleh seorang bidan atau perawat (sesuai dengan tingkat kewenangannya) yang telah mendapatkan pelatihan khusus. e. Penilaian dan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan sampai pada tingkat yang optimal, harus tersedia untuk setiap pasien dengan kegawatdaruratan medis. f. Bidan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Tanggung jawab ini meliputi kemampuan medis untuk melakukan penilaian, menentukan diagnosis, dan pengobatan yang dianjurkan serta disposisi untuk pasien gawat darurat. g. Unit gawat darurat harus menyediakan registrasi terkontrol (controlled register) atau “log” untuk setiap pasien yang memerlukan perawatan kegawatdaruratan. h. Catatan medik yang sah dan sesuai harus dibuat untuk setiap pasien yang memerlukan perawatan kegawatdarutan. Catatan medik harus tersimpan dalam format sesuai dengan ketentuan hukum dengan baik, sehingga selalu mudah dicari pada saat dibutuhkan oleh petugas pelayanan kegawatdaruratan. Penugasan (Staffing) Bidan yang memimpin secara langsung melaksanakan pelayanan kesehatan maternal & neonatal yang dilaksanakan di Polindes dan Puskesmas Pembantu harus: • Memiliki sertifikat Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED), Life Saving Skills (LSS) atau kualifikasi lain yang sejenis. 5 • Memperlihatkan kemampuan dalam pengelolaan dan administrasi pelayanan klinik pada unit gawat darurat. • Memiliki pengetahuan tentang operasionalisasi sistem kegawatdaruratan medik dan jaringan kegawatdaruratan medik regional. Tabel 3.3 Kebutuhan minimal, peran dan fungsi tenaga pelayanan kesehatan maternal & neonatal di Puskesmas Pembantu No
Jenis tenaga
Tugas umum
1
Perawat
Penanggung jawab pelayanan kesehatan
2
Bidan pelaksana *
Penanggung jawab pelayanan asuhan kebidanan
Tugas khusus
Jumlah 1
Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal Asuhan persalinan normal
1
Tabel 3.4 Kebutuhan minimal, peran dan fungsi tenaga pelayanan kesehatan maternal & neonatal di Polindes No
Jenis tenaga
Tugas umum
1
Bidan pelaksana
Penanggung jawab pelayanan asuhan kebidanan
Tugas khusus Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal
Jumlah 1
Asuhan persalinan normal 59
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
No
Jenis tenaga
Tugas umum
Tugas khusus
Jumlah
Pelayanan kegawatdaruratan maternal neonatal di tingkat desa/daerah terpencil
Fasilitas a. Polindes dan Puskesmas Pembantu harus dirancang untuk memberikan lingkungan yang aman untuk memberikan pelayanan dan harus mampu memberikan akses yang nyaman untuk setiap orang yang datang dan membutuhkan pelayanan. b. Polindes dan Puskesmas Pembantu harus dirancang untuk menjaga, sampai pada tingkat kewajaran maksimum sesuai dengan kebutuhan medis, hak pasien untuk terjaga kerahasiaannya (visual and auditory privacy). c. Pelayanan laboratorium sederhana harus tersedia selama periode waktu tertentu sebagai upaya penunjang untuk melaksanakan tes diagnostik bagi pasien yang membutuhkan. d. Harus dirancang dan dilaksanakan prosedur keamanan yang akan memberikan perlindungan yang memadai dan sesuai bagi staf, pasien dan pengunjung / pengantar. Peralatan dan Bahan a. Harus terdapat peralatan dan bahan dengan kualitas baik dan sesuai dengan kebutuhan wajar pasien yang dikelola di puskesmas. b. Peralatan dan bahan yang diperlukan harus dapat tersedia dalam waktu singkat setiap saat. c. Dapat dilakukan pembuktian pemeriksaan fungsi setiap peralatan pakai ulang (reusable medical equipment), dan hasil pemeriksaan harus didokumentasikan secara berkala. Obat Farmakologi/Terapeutik Obat yang diperlukan sesuai dengan Appendix 2 harus secara mudah dan selalu tersedia. Harus terdapat mekanisme untuk mengenali dan mengganti semua obat sebelum batas waktu pakainya (expiration date) berakhir. MEKANISME ALUR PASIEN RUJUKAN MATERNAL & NEONATAL DI POLINDES BIDAN
IBU HAMIL & NEONATAL
KAMAR BERSALIN Prosedur persalinan normal kasus rujukan sesuai standard pelayanan maternal & neonatal
RAWAT INAP / NIFAS
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
60
BAB 4
PENILAIAN KINERJA PENDAHULUAN Bab ini membahas operasionalisasi pusat pelayanan dengan kunjungan pasien secara acak. Proses yang akan dialami masing-masing pasien akan merupakan beberapa bagian yang merupakan suatu kesatuan. Dalam bab ini akan dibahas bagaimana untuk melakukan penilaian kecepatan operasional dari masing-masing bagian yang terkait dalam pelayanan. Aspek umum proses dalam kegiatan Unit Gawat Darurat adalah kemampuan unit untuk melakukan pelayanan dalam satu jam. Salah satu cara untuk memperbaiki kinerja unit ini adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi waktu yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kegawatdaruratan. Dengan cara ini juga diharapkan akan terbentuk suatu sistem manajemen informasi yang akan memungkinkan pemantauan secara komprehensif dengan penggunaan tenaga seminimal mungkin. Dari sudut pandang pimpinan dan pengelola Unit Gawat Darurat, waktu untuk menunggu (waiting time) adalah sangat penting. Keadaan ini jugalah yang paling sering menjadi keluhan utama pasien. Oleh karena lebih dari 90% pengeluaran unit gawat darurat bersifat tetap (berdasarkan perhitungan bulanan atau jam), biaya yang dikeluarkan unit ini juga menjadi tetap berdasarkan dengan jumlah jam dalam satu hari. Bagaimanapun, pendapatan setiap jam akan bergantung pada jumlah pasien yang dilayani dalam periode waktu tersebut. Kemampuan untuk menutup pengeluaran operasional hampir sepenuhnya ditentukan oleh pendapatan dalam setiap jam, sehingga penurunan waktu tunggu yang tidak diperlukan akan meningkatkan kepuasan pasien dan penghasilan dasar secara ekonomis dari unit gawat darurat. Metodologi yang paling sesuai untuk tugas ini dikenal dengan nama Pengembangan Mutu Berkeseinambungan (Continuous Quality Improvement – CQI). Mungkin sudah banyak yang mendengar ungkapan ini, tetapi tidak mengetahui apa arti yang sebenarnya. PMB adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan operasional berdasarkan pada kesinambungan. Teori ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh W.Edward Deming, seorang ahli statistik yang terlatih. Kepemimpinannya mengacu pada kemajuan bangsa Jepang dalam hal pembuatan mobil. Setelah keajaiban Jepang mulai menarik perhatian dunia Barat, dapatlah dimengerti bahwa PKB memiliki sesuatu yang bermanfaat untuk setiap bisnis. Sudah cukup banyak orang dari rumah sakit yang menjadi tertarik dan menggunakan konsep ini di dalam manajemen strategik rumah sakit yang dikelolanya. Ahli PMB di dalam rumah sakit sebaiknya telah disertakan sejak dari awal pembangunan rumah sakit. PENGUKURAN KINERJA MEMILIH ANGGOTA KELOMPOK PENGEMBANGAN MUTU PELAYANAN (PMP) Langkah pertama pada PMP Unit Gawat Darurat adalah membuat daftar fasilitas maupun sarana pendukung pimpinan eksekutif (Chief Executive Officer - CEO). Proyek ini memerlukan seluruh sarana yang terdapat didalam rumah sakit, sehingga dukungan kesatuan kerja diantara masing-masing bagian menjadi sangat penting. 61
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Setelah mencatat semua sarana pendukung pimpinan eksekutif (CEO), langkah berikutnya adalah mencari orang dari berbagai bagian yang memiliki kemauan untuk mengadakan pertemuan setiap minggu, untuk bertukar pendapat, melakukan penilaian kemajuan dan membantu melakukan pengarahan upaya kearah lemajuan yang berhubungan dengan bagian masing-masing. Beberapa bagian yang harus disertakan dalam kelompok ini adalah: • Laboratorium • Radiologi • Penerimaan pasien • Keuangan • Administrasi keperawatan Beberapa individu lain yang dapat dipertimbangkan untuk disertakan: • Perawat yang bertugas dari masing-masing kelompok kerja di Unit Gawat Darurat • Pimpinan bagian administrasi Unit Gawat Darurat • Orang-orang dari bagian lain yang terkait dalam tindakan operasi (mis. dokter anak, anestesi, kebidanan dan kandungan, asisten operasi) • Menyadari bahwa kepentingan peranan individu yang terlibat dalam kegiatan “on-call” dan rujukan pasien ke unit gawat darurat, maka pemenuhan kebutuhan dari masingmasing individu yang akan terlibat juga perlu diperhatikan dalam upaya menjaga kelancaran kerja unit. • Perwakilan dari perawatan rumah tangga (housekeeping) juga harus disertakan, oleh karena penyiapan ruangan untuk pasien yang datang adalah penting agar pasien dapat dipindahkan dari Unit Gawat Darurat. • Bagian gizi dan keamanan juga merupakan komponen yang penting, walaupun bagian ini tidak selalu ada dalam setiap unit gawat darurat. Pimpinan perawat dan pimpinan UGD merupakan anggota informal (ad-hoc) dan bergantung pada jumlah perawat yang bekerja dalam unit, perwakilan dari masing-masing kelompok kerja juga diharapkan menjadi anggota kelompok. Bila tidak terdapat pergantian perawat triage, kelompok ini harus memiliki perwakilan dalam kelompok. • Pimpinan kelompok harus dapat menentukan orang yang tepat untuk bergabung dalam kelompok dan harus memastikan bahwa setiap bagian dalam pelayanan di rumah sakit yang mendukung operasional Unit Gawat Darurat diundang dalam pertemuan kelompok. • Kelompok harus mengadakan pertemuan pada saat yang tepat. Pertemuan pada waktu makan siang merupakan pilihan terbaik, terutama apabila juga tersedia makan siang. Penyediaan makanan dan minuman oleh pihak penyelenggara rumah sakit pada pertemuan kelompok menunjukkan kepentingan pekerjaan yang akan dilakukan. PEMETAAN ALUR PASIEN PADA UNIT GAWAT DARURAT Mulailah dengan secara nyata membuat pemetaan alur pasien yang terjadi dalam unit pelayanan. Pusatkan perhatian pada alur antrian yang terjadi. Sebagai contoh, pasien yang datang dan menunggu di triage, tempat pendaftaran/pembayaran, dan seterusnya. Mulailah dengan pasien yang datang sendiri dengan berjalan kaki dan kemudian lanjutkan dengan pasien yang dikirim dengan ambulans. Berikan perintah untuk membuat diagram bagaimana perpindahan pasien dari satu tempat ke tempat yang lain. Tenaga laboratorium diharapkan melakukan pemetaan sejak penerimaan material untuk pemeriksaan dan bagaimana proses pemeriksaan di dalam laboratorium berjalan sampai didapatkan hasil akhir tersedia. Petugas radiologi memulai pemetaan dari saat penerimaan permintaan pemeriksaan sampai dengan pengiriman hasil pemeriksaan radiologi. Petugas Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
62
penerimaan pasien melakukan pemetaan sejak memanggil pasien sampai dengan penempatan pasien di ruangan. Pimpinan kelompok kemudian mencoba untuk menggabungkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh setiap anggota kelompok. Pada umumnya gabungan hasil pemetaan ini akan memenuhi seluruh permukaan dinding tempat pertemuan dan setiap orang dapat melihatnya secara utuh. Kemudian setiap anggota tim diminta memberikan penjelasan bagaimana pasien berpindah dalam bagian pemetaan yang dibuatnya, dan pada saat anggota tim memberikan penjelasan, dilakukan curah pendapat dari kelompok untuk mencari alternatif perbaikan dan pengembangan proses. Pimpinan kelompok mencatat setiap usulan dan mempertimbangkan kemungkinan pelaksanaannya. Apabila kelompok mengambil keputusan tentang suatu perubahan untuk perbaikan, maka usulan tersebut akan dicobakan sesuai dengan bagian dan alur proses yang ada. Hasil dari perubahan ini harus dinilai secara empiris. PENGUKURAN Unsur pokok dari kegiatan pengembangan kualitas secara berkesinambungan adalah pengukuran. Curah pendapat dan penentuan prioritas perubahan memang penting, tetapi tidak seorangpun akan mengetahui apakah perubahan yang dibuat akan makin mendekatkan tujuan sebelum dapat dilakukan pengukuran alur pasien. Pengukuran adalah salah satu dasar dari manajemen operasional. Pengembangan alat ukur harus dilkukan sejak dari awal proses. Tujuan utama untuk melakukan pengukuran adalah menugaskan seseorang untuk mendapatkan angka dari table yang telah dibuat. Tehnik pengukuran ini sering mengalami kegagalan karena kegiatan ini sangat memerlukan waktu yang panjang. Seseorang dapat menghabiskan waktu antara 1-2 bulan, tetapi pengumpulan dan analisa data dapat memerlukan waktu yang lebih panjang lagi karena setiap kali akan terhenti. Sebagai contoh, menghitung waktu diantara bagian yang satu dengan yang lainnya dan melakukan perhitungan waktu yang terbuang diantaranya memerlukan waktu dan masalah yang sulit. Disisi lain, komputer dapat melakukan pekerjaan ini secara cepat. Sebelum komputer digunakan di unit gawat darurat seperti saat ini, penilaian alur pasien adalah tugas yang sangat memakan waktu dan sulit diharapkan. Penggunaan komputer rumah sakit adalah salah satu kunci untuk melakukan pengukuran dengan baik. PENGGUNAAN KOMPUTER RUMAH SAKIT Komputer rumah sakit telah berisi data dasar pasien unit gawat darurat, karena komputer ini digunakan untuk menghitung perincian biaya. Data dasar ini diharapkan dapat membantu untuk melakukan analisa dan pencatatan waktu untuk kepentingan kelompok PMB. Komputer rumah sakit yang digunakan pada saat ini telah dipersiapkan untuk melakukan laporan secara harian untuk kepentingan manajemen. Keadaan ini sudah menjadi standard dalam industri pelayanan sejenis rumah sakit. Dengan menggunakan program yang sama, dengan sedikit penyesuaian, laporan waktu yang diperlukan oleh kelompok PMB dapat dipenuhi, sehingga hanya diperlukan sedikit penambahan biaya. Di data dasar lomputer rumah sakit pencatatan waktu datang untuk setiap pasien selalu dilakukan, sehingga hanya diperlukan tambahan pencatatan waktu keluar. Dengan mengurangkan waktu keluar dengan waktu masuk, maka akan didapat waktu yang diperlukan untuk memberikan pelayanan pada pasien. Apabila tidak didapatkan data waktu keluar, maka dapat dilakukan pencatatan waktu keluar berdasarkan catatan waktu yang dilakukan oleh perawat. 63
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Setelah pemrogram komputer menambahkan item waktu keluar dalam program komputer rumah sakit, maka ia harus membuat sebuah program tambahan dengan menggunakan data dasar yang sama yang akan melaksanakan: ¾ Program harus dapat melakukan perhitungan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan pada setiap pasien dan waktu rata-rata yang diperlukan untuk memberikn pelayanan untuk setiap kelompok kerja dalam unit gawat darurat. Sebagai keluaran harus dapat ditampilkan nama pasien, umur, keluhan utama, waktu datang, waktu keluar dan perhitungan waktu yang diperlukan untuk pelayanan. Hal lain yang harus tercatat adalah jumlah pasien, waktu rata-rata pelayanan untuk setiap kelompok dan setiap hari. ¾ Program harus mampu untuk mengatasi kasus dimana tidak terdapat catatan waktu keluar. Data tanpa catatan waktu keluar dapat dikeluarkan dari perhitungan waktu ratarata pasien yang lain. ¾ Program harus dapat melakukan laporan harian pasien. Perhitungan waktu dapat memerlukan beberapa hari, sehingga laporan harian sudah harus dapat dilaporkan dalam waktu 3 hari kemudian. ¾ Program juga harus dapat menghapuskan waktu proses pelayanan yang dilakukan lebih dari 400 menit yang mungkin dilakukan karena kesalahan memasukkan tanggal, sehingga tidak akan menyebabkan penyimpangan dalam laporan yang terlalu berlebihan. Program juga harus dapat menghapuskan data dengan waktu proses pelayanan kurang dari 0 menit untuk alasan yang sama. ¾ Program harus dapat memisahkan data berdasarkan kelompok dan beberapa kategori pemeriksaan antara lain: 1) laboratorium dan radiologi, 2) laboratorium, 3) radiologi dan 4) tanpa pemeriksaan laboratorium maupun radiologi. Komputer kemudian melakukan pengurutan data dan melakukan penghitungan jumlah pasien yang dirawat dan jumlah waktu yang diperlukan untuk proses pemeriksaan dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk proses pemeriksaan untuk pasien yang tidak dirawat. Penilaian ini penting untuk memperkirakan waktu yang diperlukan untuk penerimaan pasien. Kemudian akan dilakukan pengurutan pasien berdasarkan kelompok dibawah ini: Kelompok 1: Pasien tanpa pemeriksaan radiologi maupun laboratorium Kelompok 2: Pasien dengan pemeriksaan radiologi Kelompok 3: Pasien dengan pemeriksaan laboratorium Kelompok 4: Pasien dengan pemeriksaan radiologi dan laboratorium Kelompok 5: Pasien yang dirawat Kelompok 6: Pasien yang tidak dirawat PENGUKURAN WAKTU YANG DIGUNAKAN UNTUK PEMERIKSAAN RADIOLOGI, LABORATORIUM DAN PENERIMAAN PASIEN (PATIENT ADMISSION) Pengukuran waktu pemeriksaan radiologi Untuk mengukur waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan radiologi diperlukan catatan waktu dimana permintaan pemeriksaan diajukan dan waktu pasien kembali dari pemeriksaan dengan membawa hasil pemeriksaan. Keadaan ini tidak akan terjadi karena berbagai alas an, sehingga tidak pernah tersedia data yang diperlukan untuk analisa, disamping akan menambah pekerjaan staf perawatan. Apabila data waktu proses yang diperlukan pada pasien kelompok 1 (pasien yang tidak memerlukan pemeriksaan radiologi dan laboratorium) diperbandingkan dengan pasien kelompok 2 (pasien yang hanya memerlukan pemeriksaan radiologi), maka selisih waktu Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
64
diantara keduanya adalah waktu yang dipergunakan untuk melakukan proses pemeriksaan radiologi. Bila selisih waktu yang didapatkan lebih dari 1 jam, maka diperlukan penilaian lebih rinci pada proses yang terjadi selama pemeriksaan radiologi. Pengukuran waktu pemeriksaan laboratorium Cara yang sama dapat dilakukan untuk pengukuran waktu pemeriksaan laboratorium. Perbandingan antara kelompok 1 dan kelompok 3 adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Sebagai contoh, didapatkan pertambahan waktu pemeriksaan laboratorium pada saat dan menjelang Lebaran, ternyata dalam penilaian keadaan ini disebabkan oleh banyaknya tenaga yang menjalani cuti sehingga hanya terdapat sejumlah kecil tenaga yang masih tertinggal. Untuk mengatasi keadaan ini dilakukan perubahan pola kebijakan cuti pegawai. Tanpa adanya data yang akurat tidak akan pernah terungkap adanya masalah dan alternatif penyelesaian yang baik. Pengukuran waktu penerimaan pasien Perbedaan waktu antara kelompok 5 dan kelompok 6 berkaitan dengan waktu penerimaan pasien. Waktu yang diperlukan untuk penerimaan pasien adalah waktu diantara waktu datang / mendaftar dan waktu saat pasien meninggalkan unit pelayanan. Lakukan pemantauan perbedaan waktu antara kelompok 5 dan 6, ini adalah hal yang mudah dan akurat untuk mengukur waktu yang diperlukan untuk melakukan penerimaan pasien. Nilai dari sistem laporan harian adalah pada penyelesaian masalah yang teridentifikasi. Secara berkala harus dilakukan penelitian secara manual untuk menentukan apakah masalah terselesaikan, pada umumnya sukar untuk melakukan perubahan yang bersifat menetap. GRAFIK UMPAN BALIK (FEEDBACK GRAPHS) Langkah akhir dari proses pengembangan mutu berkelanjutan adalah melakukan umpan balik, sehingga staf dapat melihat kemampuan mereka untuk mencapai tujuan. Tanpa umpan balik maka proses PMB tidak bermakna. Inti dari langkah ini adalah grafik kinerja. Grafik kinerja dapat disajikan pada papan pengumuman, ruang paramedis dan ruangan lain setiap minggu. Setiap titik dalam grafik menunjukkan kinerja dari kelompok tertentu pada hari tertentu. Grafik ini memungkinkan setiap orang untuk melakukan penilaian kinerja pada saat mereka bertugas dan sekaligus memberikan informasi apakah pekerjaan yang mereka lakukan di hari itu efisien atau tidak. Grafik yang dibuat dengan mencantumkan jumlah pasien sebagai koordinat x dan rata-rata waktu yang diperlukan dalam proses penerimaan pasien sebagai koordinat y.
65
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
PENILAIAN KINERJA UNIT GAWAT DARURAT OBSTETRI 24 JAM Kategori pelayanan
Bagaimana melakukan penilaian
Apa yang harus dicari (contoh)
Fasilitas
Jalan melalui: - Daerah klien (ruang tunggu, latrines, ruang pemeriksaan, bangsal, ruang tindakan) - Daerah non-klien (ruang proses alat, tempat pembuangan sampah, tempat penyimpanan, unit transfusi darah) Lakukan pengamatan penataan ruangan Lakukan diskusi dengan petugas
Apakah masing-masing area bersih dan tertata dengan baik? Apakah terdapat air yang mengalir? Apakah terdapat aliran listrik yang berfungsi? Apakah terdapat sistem penunjang bila terjadi pemadaman listrik dan air? Berapa kali pelayanan mengalami kekurangan air dan pemadaman listrik pada akhir-akhir ini?
Kesiapan kegawatdaruratan (Emergency readiness)
Apabila memungkinkan lakukan pengamatan pada kasus dengan kegawatdaruratan Tanyakan pada petugas, bagaimana pengelolaan kasus kegawatdaruratan yang terakhir, apa yang berjalan dengan baik dan apa yang memerlukan perbaikan Tanyakan mengenai protokol kegawatdaruratan yang ada
Tenaga terlatih yang tersedia selama 24 jam yang mengetahui bagaimana untuk: - Mengenali tanda adanya komplikasi - Melakukan pengelolaan kegawatdaruratan awal - Melakukan pengelolaan komplikasi - Melakukan resusitasi kardiopulmoner - Mengetahui tempat emergency trolley terdekat Tersedia emergency trolley lengkap dengan peralatan pertolongan kegawatdaruratan, bahan dan obat (oksigen, ambu bag dll.) Pemantauan klien untuk tekanan darah, frekuensi nadi / pernafasan serta perdarahan sebelum, selama dan sesudah pelayanan Transportasi (mobil, supir, bahan bakar) dan fasilitas rujukan yang tersedia untuk komplikasi yang tidak teratasi Stabilisasi klien sebelum melakukan rujukan
Ketenagaan
Lakukan pengamatan ketersediaan tenaga Review jadwal tugas yang tersedia untuk pembagian kerja selama 24 jam Hubungi staf yang bertugas saat ini, lakukan panggilan percobaan Tanyakan pada petugas: - Pengalaman untuk memanggil petugas pada malam hari dan hari libur - Apakah tersedia tenaga cukup dan berfungsi baik
Jadwal tugas dengan nama dan cara pemanggilan yang tertempel pada daerah pelayanan klien dan perawatan Tersedia petugas ditempat yang dapat melakukan: - Persalinan normal - Pengelolaan komplikasi (seperti eklampsia, perdarahan, infeksi) - Evakuasi uterus, bedah Caesar dan persalinan dengan bantuan Tersedia ahli anestesi
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
66
Kategori pelayanan
Bagaimana melakukan penilaian
Apa yang harus dicari (contoh)
Peralatan / Bahan / Obat
Pada setiap ruangan, lakukan pengamatan peralatan, bahan dan obat serta lakukan diskusi dengan staf Periksa ketersediaan dan fungsi peralatan seperti: - Tabung oksigen - Alat anestesi - Sterilisator peralatan - Pompa isap - Ambu bag - Almari es Lakukan pemeriksaan isi: - Almari bahan - Baki obat - Emergency trolley - Kit instrumen seperti kit bedah Caesar - Perlengkapan linen
Untuk peralatan: Apakah setiap peralatan tersedia di tempat yang seharusnya? Apakah berfungsi dengan baik? Apakah petugas dapat mendemonstrasikannya saat ini? Apakah terdapat sistem perbaikan dan perawatan alat? Untuk bahan dan obat: Ketersediaan Apakah bahan tersedia sesuai dengan jumlah pasien? Apakah terdapat kekurangan bahan? Apakah terdapat obat dalam jumlah sesuai dengan jumlah pasien? Apakah terdapat kekurangan obat? Penyimpanan Apakah petugas menggunakan sistem masuk pertama keluar pertama” (first in first out system)? Apakah bahan dan obat tersimpan pada tempat yang kering dan aman? Apakah obat belum kadaluarsa? Apakah tersedia klorin dan dalam keadaan baik? Untuk kit instrumen dan emergency trolley: Apakah baki obat kegawatdaruratan tersedia lengkap pada setiap ruang pelayanan klien? Apakah terdapat emergency trolley lengkap pada setiap ruang pelayanan klien? Apakah terdapat kit bedah Caesar yang lengkap?
Teknis klinis
Lakukan pengamatan sebanyak mungkin tindakan yang dilakukan (penilaian, pemeriksaan persalinan, persalinan, persalinan dengan bantuan, perbaikan laserasi, plasenta manual, bedah Caesar dll.) Lakukan sebanyak mungkin pengamatan pada pengelolaan kasus dengan komplikasi Bila tidak mungkin dilakukan pengamatan, lakukan review kasus dengan komplikasi
Untuk setiap klien lakukan pengamatan catatan tentang: - Kesiapan untuk melakukan penilaian dan pengelolaan dalam waktu 15 menit setelah kedatangan kasus dengan kegawatdaruratan - Pengelolaan yang benar - Tehnik melakukan tindakan yang benar - Bila tidak stabil, dilakukan pengobatan stabilisasi (mis. pemberian cairan infus, MgSO4 atau Diazepam, oksitosin) segera - Praktek pencegahan infeksi yang benar
Anestesi
Lakukan pengamatan penggunaan anesthesia
Apakah dilakukan pemantauan klien selama pemberian premedikasi, tindakan dan pasca tindakan?
67
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Kategori pelayanan
Bagaimana melakukan penilaian
Apa yang harus dicari (contoh)
Anestesi
Tanyakan pada ahli anestesi, obat apa yang digunakan pada bedah Caesar dan bagaimana cara penggunaannya Lakukan pengamatan peralatan anestesi Lakukan review protokol kegawatdaruratan untuk pengelolaan komplikasi anestesia
Apakah digunakan anestesi lokal selama memungkinkan, seperti pada evakuasi uterus? Apakah dilakukan pengendalian nyeri pada klien? Apakah tersedia petugas yang terlatih untuk memberikan prosedur anesthesia secara aman? Apakah petugas kamar operasi terlatih untuk mengenali komplikasi anestesia dan melakukan resusitasi (pengetahuan petugas tentang resusitasi kardiopulmoner dan prosedur kegawatdaruratan)?
Pencegahan infeksi
Lakukan pengamatan pada praktek sebelum, selama dan sesudah pelayanan pada klien (pemeriksaan, tindakan, pembedahan) Lakukan pengamatan atau minta pada staf untuk menjelaskan bagaimana pemrosesan alat dikerjakan Lakukan pengamatan bagaimana sampah medis (mis. plasenta, benda tajam) di proses dan dibuang (mis. dikubur, dibakar)
Dekontaminasi: alat direndam dalam larutan klorin 0.5% selama 10 menit sebelum di proses lebih lanjut Pembuangan benda tajam dalam kontainer yang mencegah perlukaan (puncture proof) segera setelah pemakaian Klorin (tersedia dalam jumlah cukup dan tersimpan ditempat kering) Menjaga sterilitas pada pemasangan infus intravena, pembedahan, pemasangan kateter Foley Sterilisasi peralatan dan pembungkusan sesuai ketentuan Penyediaan baju operasi dan sarung tangan steril untuk petugas pada tindakan operasi dan persalinan Tindakan asepsis pada setiap prosedur tindakan (daerah steril, daerah terlarang dan semi terlarang, pemisahan diantara daerah bersih dan kotor) Tempat pembuangan sampah (terlindung dari tempat umum, bebas dari hewan, terawat)
Interaksi klien dan petugas pemberi pelayanan
Lakukan pengamatan dalam setiap interaksi antara petugas pemberi pelayanan dengan: - Klien - Anggota keluarga dan pengantar lain seperti dukun bayi
Pengobatan dengan: - Menghargai klien dan keluarga - Sopan santun dan empati - Menjaga privacy dan kerahasiaan - Pemberian informasi yang diperlukan
Pelayanan pasca tindakan
Lakukan pengamatan bangsal pemulihan pasca operasi Lakukan pengamatan pada pelayanan rawat jalan untuk pemantauan lanjut Bicarakan dengan staf
Pemantauan klien pasca tindakan / persalinan untuk tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, perdarahan: - Setelah premedikasi: setiap 15 menit - Selama pembedahan: setiap 5 menit - Setelah pembedahan: setiap 15 menit (1 jam) dan kemudian setiap 1 jam sampai pasien keluar dari bangsal pemulihan
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
68
Kategori pelayanan
Bagaimana melakukan penilaian
Apa yang harus dicari (contoh)
Prosedur konseling pemulangan pasien
Lakukan penilaian pada konseling yang dilakukan saat pemulangan pasien
Petugas memberikan informasi (lisan dan tertulis) tentang perawatan rutin, tanda bahaya dan ke fasilitas 24 jam mana harus datang bila terjadi kegawatdaruratan Komunikasi dua arah Perencanaan untuk pemantauan lanjut di fasilitas kesehatan dan masyarakat
Catatan medik dan pendaftaran
Lakukan penilaian pada 20-30 kasus yang terdaftar, seperti: - Persalinan - Kamar operasi - Bangsal kebidanan Lakukan penilaian pada 510 catatan medik dari: - Kasus normal - Kasus dengan komplikasi (eklampsia, perdarahan, transfusi darah, bedah Caesar)
Pada pendaftaran pasien: - Apakah selalu terisi secara lengkap? - Apakah terdapat kolom untuk komplikasi dan apakah kolom ini selalu diisi? - Apakah terdapat kolom untuk prosedur tindakan dan apakah kolom ini selalu terisi? - Apakah terdapat kolom untuk outcome dari ibu dan bayi? - Apakah terdapat indikasi untuk melakukan bedah Caesar? Pada catatan medik klien, apakah selalu tercantum: - Pemeriksaan pada waktu datang termasuk tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan? - Diagnosis? - Pengobatan yang diberikan? - Hasil (outcome)? - Catatan prosedur yang dilakukan (obat / indikasi / temuan / tindakan)? - Catatan pasca operasi dan pada saat pemulangan klien (keadaan / perintah)?
Sumber: Engender Health. Emergency Obstetrics Care Quality Improvement Manual. January 2002 (Working Draft)
69
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
PROSES PELAYANAN PASIEN DENGAN KEGAWATDARURATAN OBSTETRI
Penempatan petugas dengan keterampilan yang sesuai pada UGD akan menurunkan waktu proses yang diperlukan secara keseluruhan pada penerimaan dan pengelolaan pasien. Untuk menentukan kualifikasi petugas yang diperlukan, harus ditentukan lebih dahulu jenis tindakan atau standard pelayanan yang harus dilakukan. Tabel dibawah ini memberikan gambaran tindakan dan kualifikasi petugas sesuai dengan tahapan penerimaan pasien.6 TAHAP
TEMPAT
TINDAKAN / STANDARD
PETUGAS YANG TERLIBAT Perawat, bidan, dokter, paramedis
1. Kedatangan
Pintu masuk
Menyapa klien dan keluarga Klien dan keluarga diarahkan ke ruangan untuk penilaian awal Bila didapatkan kegawatdaruratan: Klien ditempatkan pada brankar atau kursi roda Klien dipindahkan ke tempat yang sesuai Memberitahukan petugas gawat darurat yang ditunjuk untuk melakukan Tahap 2
Penjaga pintu yang memiliki sensitivitas yang memperhatikan keluarga, memiliki kemampuan untuk mengenali keadaan gawat darurat (mis. koma, perdarahan), pemindahan klien dan memberikan peringatan
2. Penilaian dan kesiapan Tim Gawat Darurat
Ruang Gawat Darurat Ruang pengawasan Obstetri Ruang Bersalin (fasilitas 24 jam)
Lakukan anamnesis secara cepat dan pemeriksaan fisik Tentukan diagnosis kerja Bila ditemukan adanya kegawat daruratan: Beritahu Tim Gawat Darurat Persiapan pemindahan klien ke ruang bersalin bila diperlukan (brankar, kursi roda, tenaga yang dibutuhkan) BILA KLIEN DALAM KEADAAN TIDAK STABIL, LANGSUNG PADA TAHAP 3 Lakukan pemeriksaan laboratorium, pemantauan ibu dan janin, usia kehamilan, tentukan letak janin
Petugas kesehatan dengan kemampuan melakukan diagnosis kegawatdaruratan obstetri
3. Stabilisasi dan persiapan untuk pengobatan definitive
Ruang Gawat Darurat Ruang pengawasan Obstetri Ruang bersalin
Pada saat menunggu pengobatan definitif: Lakukan stabilisasi tanda vital (pemberian cairan infus, anti kejang, oksitosika, penekanan pada laserasi, posisi Trendelenburg, oksigen, resusitasi kardio pulmoner) Pemindahan ke ruang bersalin Persiapan klien, petugas dan fasilitas untuk pengobatan definitive Ulang tahap 2 dan 3 sampai pengobatan definitif diberikan
Petugas kesehatan dengan kemampuan melaksanakan stabilisasi, persiapan pengobatan definitif
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
70
TAHAP
TEMPAT
TINDAKAN / STANDARD
PETUGAS YANG TERLIBAT Perawat, bidan, dokter, paramedis
4. Pengobatan definitif
Ruang bersalin dengan fasilitas melakukan tindakan Ruang operasi
Lakukan rekonfirmasi diagnosis dan keputusan pengobatan definitif Pemberian pengobatan definitif Termasuk dalam pengobatan definitif adalah: ¾ Pemberian cairan IV ¾ Pemberian antibiotika atau oksitosika atau ergometrin ¾ Transfusi darah ¾ Pelepasan plasenta secara manual ¾ Evakuasi uterus ¾ Ekstraksi vakum/forseps ¾ Histerektomi ¾ Bedah Caesar ¾ Penjahitan laserasi
Petugas kesehatan dengan kemampuan untuk melakukan semua kegiatan tersebut diatas dan melakukan rekonfirmasi diagnosis serta pemberian pengobatan definitif (Pada umumnya dokter atau bidan melaksanakan pengobatan definitif. Seluruh tim Gawat Darurat melaksanakan bedah Caesar. Beberapa tindakan seperti Histerektomi mungkin memerlukan kehadiran konsultan)
5. Pemulihan
Ruang pemulihan
Pemantauan intensif selama 24-48 jam, kemudian pemantauan rutin untuk klien (tanda vital, keseimbangan cairan, perdarahan, laboratorium) Pengenalan terhadap tanda bahaya / kegawatdaruratan Pengobatan stabilisasi (lihat Langkah 3) sesuai dengan kebutuhan (Catatan: Tindakan yang disebutkan diatas diikuti dengan panduan untuk pemantauan, ronde klinik, pemeliharaan fungsi sistem untuk pencatatan perintah dokter/bidan, arsip catatan medik)
Petugas kesehatan dengan kemampuan melakukan pemantauan, pengenalan tanda bahaya, melakukan diagnosis kegawatdaruratan, memberikan pengobatan awal untuk stabilisasi (Catatan: Tim Gawat Darurat harus tetap berada ditempat selama paling sedikit 2 jam setelah pengobatan definitif dan sampai klien stabil)
6. Pemulangan pasien
Ruang perawatan
Penilaian stabilisasi untuk menentukan kapan klien bisa pulang Lakukan konseling pada klien dan keluarga tentang tanda bahaya / kemana harus melakukan pemeriksaan / pemantauan lanjut Rencana pemulangan klien (Catatan: klien dengan kegawatdaruratan memerlukan rencana pemulangan secara individual. Keadaan ini berarti bahwa pemantauan lanjut harus dilakukan secara individual tergantung pada situasi. Hal ini juga berarti merencanakan pemantauan lanjut oleh masyarakat atau transportasi)
Petugas kesehatan dengan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan yang disebutkan (Catatan: Penilaian stabilitas harus dilakukan oleh dokter atau bidan senior)
Ruang Gawat Darurat dapat merupakan sebuah ruangan atau setiap tempat di fasilitas kesehatan dimana dilakukan penilaian kegawatdaruratan dilakukan. Sumber: Engender Health, EmOC QI Manual. January 2002 (Working Draft) 71
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
BAB 5
PERSIAPAN UMUM SEBELUM TINDAKAN PADA KEGAWATDARURATAN OBSTETRI DAN NEONATAL "Every human being of adult years and sound mind has a right to determine what shall be done with his own body." (US Supreme Court Justice: Benjamin Cardozo) INFORMED CONSENT Masalah informed consent merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian pada pelayanan kegawatdaruratan.7 Konsep otonomi menjadi dasar dari informed consent sama halnya dengan dasar untuk penolakan dilakukannya pengobatan secara medis. Walaupun otonomi merupakan konsep cerdasarkan etika, otonomi juga dipergunakan sebagai dasar pada berbagai prinsip hukum termasuk pemerintahan otonomi (self-governance), kebebasan, hak, privasi (privacy) dan penentuan pilihan individu. Hubungan dokter – pasien adalah interaksi yang dinamis. Secara tradisional, dokter secara paternalistik memberikan pengobatan yang menurut mereka adalah yang terbaik untuk pasien. Dalam sejarah, pasien dapat memberikan persetujuan tanpa mengetahui tujuan pengobatan yang dilakukan. Pengetahuan tentang persetujuan (consent) pada saat ini menyangkut peran yang lebih aktif dari sisi pasien. Dokter harus memberikan penjelasan tentang risiko, keuntungan dan alternatif pengobatan kepada pasien. Persetujuan tindakan memerlukan pasien dalam kondisi sadar yang memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pada kejelasan informasi yang telah diberikan. KESADARAN PASIEN DAN MASALAH BERKAITAN DENGAN KELOMPOK MINORITAS (ISSUES INVOLVING MINORS) Untuk memberikan persetujuan, pasien harus dalam keadaan sadar secara klinis dan hukum. Hampir pada semua negara, usia secara hukum dimana seseorang dapat memberikan persetujuan untuk pengobatan adalah 18 tahun. Orang tua atau penanggung jawab pasien secara normal dibutuhkan untuk melakukan persetujuan tindakan, walaupun terdapat beberapa pengecualian seperti dibawah ini: •
•
•
Sesuai dengan hukum yang berlaku, rumah sakit mempunyai keharusan untuk menyelenggarakan pemeriksaan skrining medis untuk siapapun (termasuk anak dibawah umur) yang datang mengunjungi UGD, meskipun informed consent adalah prosedur standar tetapi ada kemungkinan tidak sempat untuk dilakukan. Apabila tidak ditemukan keadaan yang dapat mengakibatkan ancaman kehidupan, institusi harus mendapatkan persetujuan sebelum melakukan tindakan pengobatan. Pada banyak negara, perkawinan atau kehamilan sering menyebabkan timbulnya pihak yang kehilangan haknya untuk memberikan persetujuan terhadap tindakan atau pengobatan. Sebagai contoh, akibat perkawinan suami seorang wanita tidak akan mempunyai hak mutlak untuk memberikan persetujuan atas tindakan atau pengobatan yang akan dilakukan terhadap isterinya, demikian pula halnya dengan hak hidup pada bayi dalam kandungan yang tidak secara mutlak ditentukan oleh ibunya. Dalam pertimbangan untuk kepentingan umum, berbagai keadaan dapat terjadi yang dapat membuat anak dibawah umur memberikan persetujuan untuk dilakukan suatu pengobatan.
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
72
• • • •
Keadaan ini antara lain adalah pengobatan untuk (1) penyakit menular seksual, (2) ketergantungan alkohol atau obat, (3) korban pelecehan seksual atau perkosaan dan (4) masalah kesehatan mental (mental health issues). Sebagai tambahan, anak menjelang dewasa dapat memberikan persetujuan pada tindakan yang kurang invasif atau berbahaya, apabila dokter memiliki keyakinan bahwa pasien mengerti tentang konsep persetujuan tindakan. Clinical competency dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membandingkan dan bertindak secara rasional berdasarkan informasi yang disampaikan oleh petugas pelaksana pelayanan kesehatan yang profesional. Intoksikasi dan psikosis aktif menyebabkan seseorang akan kehilangan kemampuan untuk memberikan persetujuan. Lakukan pemeriksaan kesehatan mental dan kemampuan pasien untuk berpikir secara hati-hati pada saat untuk mendapatkan persetujuan. Hukum secara umum akan menjelaskan pasien mana yang dapat memberikan persetujuan secara legal.
Dalam upaya agar pasien dapat memberikan persetujuan secara benar, dokter harus memberikan informasi yang cukup dan benar dan diperlukan oleh pasien. Memberikan pertimbangan tentang keadaan atau risiko yang sangat jarang akan terjadi dianggap tidak bijaksana, karena akan menyebabkan pasien mengambil keputusan yang salah.
PERSETUJUAN (CONSENT) BENTUK PERSETUJUAN TINDAKAN (TYPES OF CONSENT) Terdapat berbagai macam persetujuan tindakan medis. Persetujuan umum (General consent) Pada saat pasien mengunjungi unit gawat darurat, pasien menandatangani persetujuan umum sesuai dengan prosedur administrasi untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan dasar. Terdapat kontroversi dalam apa yang disebut sebagai pengobatan dasar. Beberapa pakar menyebutkan bahwa melakukan pemeriksaan tanda vital serta pemeriksaan fisik secara rutin juga memerlukan persetujuan lebih lanjut dari pasien. Persetujuan pada keadaan tidak gawat darurat (Nonemergent specific consent) Lakukan persetujuan secara lebih spesifik untuk tindakan dan pengobatan yang bersifat invasif (pemeriksaan cairan amnion), memiliki risiko (penggunaan anesthesia) dan pengobatan yang masih bersifat eksperimental. Secara ideal diskusi dengan pasien harus disertai dengan saksi dan persetujuan terhadap tindakan harus dilakukan secara tertulis. Dalam diskusi harus dilakukan penjelasan tentang:8 • Penjelasan tindakan secara spesifik (mengapa harus dilakukan, bagaimana akan dilakukan) • Risiko dan keuntungan • Alternatif pengobatan yang lain Persetujuan pada keadaan gawat darurat (Emergency consent) Pada keadaan gawat darurat, upayakan untuk mendapatkan persetujuan tindakan dari pasien atau dari pihak yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan (surrogate decision maker). Pada situasi tertentu, tidak diperlukan persetujuan tindakan. Pada keadaan ini, tidak dilakukan persetujuan tindakan tidak diperlukan, karena harus segera dilakukan pengobatan atau tindakan bahkan sebelum ada waktu untuk mendapatkan persetujuan. 73
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Dengan pertimbangan bahwa secara umum, berdasarkan alasan yang tepat, pasien akan memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan pada keadaan gawat darurat. Sebagai contoh dari keadaan ini adalah melakukan tindakan bimanual kompresi internal pada perdarahan pasca persalinan dimana pasien berada dalam keadaan yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan. Untuk kepentingan kebaikan pasien, dokter lebih baik segera melakukan tindakan dibandingkan berusaha untuk mendapatkan persetujuan. Peringatan terhadap masalah dalam persetujuan Persetujuan umum atau dalam keadaan gawat darurat tidak selalu dapat berjalan mudah pada setiap pasien yang datang ke unit gawat darurat. Bila kondisi pasien tidak dalam ancaman terhadap kehidupan, persetujuan tindakan harus didapatkan dari pasin atau pihak yang memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan. Sebagai contoh, pada pasien preeklampsia berat dengan nyeri kepala akut yang dicurigai kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid tidak akan secara otomatis menyetujui untuk dilakukan pungsi lumbal sebagai pemeriksaan lanjut. Apabila pasien dalam keadaan sadar dan dapat mengambil keputusan serta menolak untuk dilakukan tindakan, maka dokter tidak dapat menganggap pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga pemeriksaan lanjut tidak dapat dikerjakan. PENOLAKAN TERHADAP PENGOBATAN Pengadilan Tinggi Amerika Serikat menyadari bahwa seseorang sesuai dengan hukum dapat menerima perlindungan untuk menolak pengobatan medis yang tidak diinginkan, walaupun penolakan itu dapat berakibat kematian. Dokter berkewajiban untuk mencari sebab penolakan terhadap pengobatan yang dilakukan. Apabila pasien menolak untuk meneruskan pengobatan, lakukan pencatatan diskusi tentang hal ini dan penolakan yang dilakukan dalam form untuk penghentian pengobatan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan medis.9 Walaupun pengadilan memberikan perlindungan pada hak pasien untuk menolak mendapatkan pengobatan, “upaya untuk mempertahankan kehidupan (preservation of life), pencegahan terhadap upaya bunuh diri, pertimbangan integritas etika dalam profesi medis (ethical integrity of the medical profession) dan perlindungan terhadap pihak ketiga yang tidak bersalah” juga harus menjadi pertimbangan pada saat melakukan penilaian terhadap pasien yang menolak untuk menerima pengobatan. Setiap kasus harus dinilai secara individual.10 Dalam diskusi mengenai penolakan terhadap pengobatan yang akan dilakukan, berikan informasi kepada pasien efek buruk yang mungkin terjadi sebagai kegagalan pengobatan akibat pengobatan yang tidak adekuat. Berikan penjelasan pengobatan yang masih mungkin dilakukan walaupun pasien sudah dalam kondisi akhir serta telah mendapatkan berbagai pengobatan. Pasien kadang-kadang mempertimbangkan kembali untuk menjalani pengobatan bila mendapatkan penjelasan tentang kemungkinan cacat atau kematian. Sebagai tambahan, pasien sering menolak untuk memberikan persetujuan hanya karena mereka tidak mengerti tujuan pengobatan dengan jelas. Berikan kesempatan pada pasien yang menolak untuk menerima pengobatan untuk datang kembali apabila mereka berubah pikiran. Apabila orang tua menolak pengobatan yang dapat menyebabkan ancaman terhadap kesejahteraan janin, dokter dapat melakukan upaya perlindungan sesuai dengan hukum penyiksaan terhadap anak yang berbeda-beda untuk setiap negara. Secara umum orang tua tidak dapat menolak upaya pengobatan untuk penyelamatan kehidupan berdasarkan pertimbangan keagamaan atau pertimbangan lain.
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
74
Pengadilan pada saat ini mempertimbangkan upaya pengobatan terhadap mereka yang tidak mampu. Walaupun memerlukan waktu, apabila terjadi penolakan pengobatan karena ketidak mampuan ekonomi, pelaksana pelayanan atau institusi pemberi pelayanan harus mencari perlindungan hukum dari pengadilan atau komisi etik. KESIMPULAN Dalam upaya pemberian pelayanan kesehatan, tujuan umum adalah bekerja sepenuhnya untuk kepentingan pasien. Kepentingan utama pasien dapat dilayani dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terbaik saat ini atau sebaliknya secara sederhana memberikan kesempatan pada pasien untuk menolak menerima pelayanan. Tujuan ini berdasarkan pada prinsip otonomi, yang memberikan kebebasan pada pasien untuk menentukan apa yang mereka anggap terbaik untuk dirinya sendiri. Walaupun dapat terjadi berbagai masalah apabila tidak terdapat persesuaian pendapat antara dokter dan pasien, kebijakan yang terbaik adalah memberikan informasi yang cukup pada pasien, menyediakan waktu untuk melakukan diskusi dan melakukan pencatatan dalam rekam medik secara cermat apa yang telah dilakukan.
PERSIAPAN TINDAKAN / PROSEDUR PENGERTIAN Dalam melakukan persiapan sebelum tindakan pada kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal, semua peralatan (instrumen dan medikamentosa) harus sudah selalu tersedia. Bahkan uji fungsi dari masing-masing alat harus selalu dilakukan secara berkala sebelum dilakukan tindakan untuk mencegah kegagalan tindakan pertolongan. Semua instrumen yang dipergunakan juga harus berada dalam keadaan steril atau minimal desinfeksi tingkat tinggi dan disimpan sesuai dengan syarat dan ketentuan batas waktu jaminan sterilitas/DTT. Setelah digunakan, pada semua instrumen (bukan sekali pakai) harus dilakukan kembali tindakan dekontaminasi, pencucian dan sterilisasi/DTT (bila dipersyaratkan). TUJUAN UMUM Setelah menyelesaikan bab ini, peserta akan mampu untuk melaksanakan persiapan umum dan kewaspadaan universal serta pengelolaan alat / tenaga kesehatan terpapar dan pembuangan sampah dalam upaya menciptakan lingkungan yang aman. TUJUAN KHUSUS Untuk mencapai tujuan umum, peserta akan dapat: Melakukan persiapan umum sebelum tindakan kegawat daruratan obstetri dan neonatal Melaksanakan kewaspadaan universal dalam setiap tindakan kegawat daruratan obstetri dan neonatal Mempersiapkan dan melaksanakan pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif
75
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
PERSIAPAN UMUM SEBELUM TINDAKAN KEGAWATDARURATAN LANGKAH/TUGAS
PENGAMATAN
PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK 1. Sapa ibu dengan ramah dan sopan 2. Beritahukan pada ibu apa yang akan dikerjakan dan berikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan 3. Dengarkan apa yang disampaikan oleh ibu 4. Berikan dukungan emosional dan jaminan pelayanan 5. Pelajari keadaan umum (kesadaran, tensi, nadi, nafas) untuk memastikan bahwa ditemukan keadaan yang merupakan indikasi dan syarat tindakan obstetrik; atasi renjatan 6. Memberitahukan suami/keluarga terdekat akan kondisi ibu dan tindakan yang akan dilakukan PERSIAPAN TINDAKAN I. PASIEN 1. Perut bawah dan lipat paha sudah dibersihkan dengan air dan sabun 2. Cairan infus sudah terpasang, bila diperlukan 3. Uji fungsi dan kelengkapan peralatan 4. Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah 5. Medikamentosa: Oksitosin injeksi (5 ampul) Metil ergometrin maleat injeksi (2 ampul) Prokain atau Lidokain injeksi (4 ampul) Adrenalin injeksi (1 ampul) Antibiotika: - Ampisilin - Gentamisin - Metronidasol Larutan infus: - NaCl 0.9% - Ringer Laktat Dexamethason (5 ampul) MgSO4.7H2O 20% dan 40% (10 flakon) Glukonas kalsikus (5 ampul) Lidokain (20 ampul) 6. Larutan antiseptik (Povidon iodine 10%) 7. Emergency trolley 8. Oksigen dengan regulator INSTRUMEN
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
76
PERSIAPAN UMUM SEBELUM TINDAKAN KEGAWATDARURATAN LANGKAH/TUGAS
PENGAMATAN
9. Set partus: - Gunting episiotomi (1 buah) - Klem tali pusat (2 buah) - Gunting tali pusat (1 buah) - Tali pengikat tali pusat (1 buah) - Kasa steril - Mangkok kecil - Semperit disp. 10 ml (10 buah) 10. Perlengkapan jahit: - Pemegang jarum (25 cm) - Jarum jaringan no.6 (1 buah) - Pinset anatomis (1 buah) - Gunting benang (1 buah) - Benang chromic no.0 - Kasa steril 11. Ekstraktor vakum - Mangkok logam atau silastik (kecil, medium, besar) - Selang karet (2 buah) - Penarik mangkok (1 buah) - Botol vakum dengan manometer (1 buah) - Pompa vakum (1 buah) Pilihan lain: Mangkok vakum dari plastik/karet 12. Instrumen lain: Ambu bag (1 set) Klem ovum (2 buah) Cunam tampon (1 buah) Alat suntik 5 ml dengan jarum suntik no.23 sekali pakai (2 buah) Spekulum Sims atau L (2 buah) Kateter karet (1 buah) Mangkok/piring tempat plasenta 13. Lembar catatan medik termasuk lembar kontrol istimewa dan persetujuan tindakan II. PENOLONG (OPERATOR DAN ASISTEN) 1. Baju kamar tindakan, apron plastik, masker dan kacamata pelindung (3 set) 2. Sarung tangan DTT/steril (4 pasang) 3. Alas kaki / sepatu boot karet (3 pasang) 4. Instrumen: Lampu sorot (1 buah) Stetoskop Laenec (1 buah) atau Fetalphone/ Doppler Stetoskop dan tensi meter (1 buah)
77
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
PERSIAPAN UMUM SEBELUM TINDAKAN KEGAWATDARURATAN LANGKAH/TUGAS
PENGAMATAN
III. BAYI 1. Instrumen: Penghisap lendir (manual / elektrik) Sudip / penekan lidah (1 buah) Kain/handuk kering dan bersih penyeka muka dan badan (2 buah) Meja bersih, kering dan hangat untuk tindakan resusitasi (1 buah) Inkubator, bila ada (1 buah) Pemotong dan pengikat tali pusat (1 buah) Alat suntik 10 ml dan jarum suntik no.23 (2 buah) Kateter intravena no 24G dan jarum kupu-kupu (1 buah) Selang nasogastrik (nasogastric feeding tube) neonatal untuk kateterisasi umbilikal Popok dan selimut Ambu bag atau sungkup corong (Perinasia) 2. Medikamentosa: Larutan injeksi Bicarbonas natrikus 7.5% atau 8.4% Nalokson (Narkan®) injeksi Epinefrin 0.01% Antibiotika Akuabidestilata dan Dekstrose 10% 3. Oksigen dengan regulator 4. Lembar Catatan Medik
PRINSIP PELAYANAN OPERATIF Ibu adalah fokus utama perhatian dokter/bidan dan perawat dalam setiap prosedur/tindakan yang dilakukan. Perawat bedah menujukan perhatiannya pada prosedur dan kebutuhan dokter/bidan dalam melaksanakan prosedur/tindakan. Pada dasarnya prinsip dalam pelayanan operatif adalah melakukan persiapan optimal sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta kondisi ibu sesuai dengan langkah standard yang telah ditetapkan, sehingga diharapkan akan dicapai tingkat risiko komplikasi minimal serta hasil luaran pasca operasi sesuai dengan yang diharapkan. PRINSIP PELAYANAN PRA-OPERATIF Persiapan Kamar Operasi Pastikan bahwa: • kamar operasi dalam keadaan bersih (kamar operasi harus selalu dibersihkan segera setelah dilakukan tindakan); • tersedia sarana dan peralatan, termasuk obat-obatan dan tabung oksigen; • tersedia peralatan kegawatdaruratan dan alat dalam keadaan berfungsi;
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
78
• • •
terdapat persediaan baju operasi dalam jumlah cukup untuk anggota tim operasi maupun tambahan bila diperlukan; terdapat persediaan kain linen cukup; terdapat persediaan peralatan steril (sarung tangan, kasa, instrumen) dan tidak melampaui batas waktu pakai (expiry date).
Persiapan ibu untuk tindakan bedah • • • • • • • • • • • •
Jelaskan pada ibu prosedur/tindakan yang akan dilakukan dan manfaat tindakan pada ibu. Bila ibu dalam keadaan tidak sadar, berikan penjelasan tentang tindakan kepada keluarganya. Buat informed consent untuk prosedur yang akan dilakukan. Bimbing ibu dan keluarganya untuk mempersiapkan ibu secara emosional dan psikologis untuk tindakan yang akan dilakukan. Telaah riwayat medis ibu dan periksa kemungkinan adanya alergi. Ambil contoh darah untuk pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, golongan darah serta pemeriksaan hapus. Persiapkan permintaan untuk kemungkinan transfusi. Jangan menunda transfusi apabila memang diperlukan. Cuci kulit daerah sekitar operasi dengan sabun dan air mengalir. Jangan lakukan pencukuran rambut pubis dengan silet atau pencukur rambut oleh karena tindakan ini akan meningkatkan risiko infeksi luka. Rambut dapat dipotong pendek apabila diperlukan. Lakukan pemantauan dan pencatatan tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu). Berikan obat premedikasi sesuai dengan jenis anesthesia yang akan digunakan. Berikan antasida (sodium sitrat 0.3% 30 mL atau magnesium trisilikat 300 mg) untuk mengurangi asam lambung bila terjadi aspirasi. Lakukan kateterisasi kandung kemih dan pemantauan produksi urine. Pastikan bahwa informasi yang penting tentang pasien telah disampaikan pada anggota tim operasi (dokter/bidan, perawat, ahli anestesi, asisten operasi dan yang lain).
PRINSIP PELAYANAN INTRA-OPERATIF Posisi Baringkan ibu pada posisi yang sesuai dengan prosedur tindakan yang akan dilakukan, sehingga memungkinkan untuk: mendapatkan pandangan optimal daerah operasi terdapat ruang untuk ahli anestesi terdapat ruang gerak bagi perawat untuk melakukan pemeriksaan tanda vital dan memantau pemberian cairan infus serta obat intravena memberikan keamanan pada ibu untuk mencegah perlukaan dan memelihara sirkulasi memelihara kesopanan dan kesusilaan ibu. Catatan: Bila ibu belum bersalin, miringkan posisi meja operasi kearah kiri atau letakkan bantal atau gulungan kain dibawah punggung untuk mengurangi risiko supine hypotension syndrome. Cuci tangan bedah •
79
Lepaskan semua perhiasan.
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
• •
• • •
Pertahankan posisi tangan berada lebih tinggi dari siku, basahi tangan dengan air mengalir dan cuci dengan antiseptik atau sabun. Mulai mencuci dari ujung jari dengan sabun sampai berbusa, dengan gerakan melingkar: - Cuci daerah diantara jari tangan; - Cuci tangan mulai dari ujung jari sampai dengan siku pada satu tangan dan lakukan hal yang sama pada tangan yang lain. Bilas tangan kiri dan kanan secara bergantian, mulai dengan ujung jari pada posisi tangan tetap diatas siku. Lakukan pencucian selama 3-5 menit (apabila digunakan cairan antiseptik cuci tangan harus dilakukan paling sedikit selama 3 menit). Keringkan tangan dengan handuk steril, mulai dari ujung jari ke arah siku dan buang handuk yang telah digunakan. Pastikan tangan yang telah dicuci tidak bersentuhan dengan benda lain (mis. peralatan, gaun bedah) yang tidak di disinfeksi tingkat tinggi atau disteril. Bila tangan bersentuhan dengan permukaan terkontaminasi, lakukan cuci tangan kembali.
Persiapan daerah irisan •
• •
Persiapkan kulit daerah irisan dengan olesan antiseptik (mis. iodophors, chlorhexidine): - Oleskan larutan antiseptik tiga kali pada daerah insisi dengan menggunakan kasa yang dijepit dengan ring forceps yang telah di dekontaminasi tingkat tinggi. Bila tindakan ini dilakukan dengan tangan yang telah menggunakan sarung tangan, cegah kontaminasi sarung tangan dengan tidak menyentuh daerah yang belum diolesi larutan antiseptik - Mulai mengoles daerah insisi dan gerakan melingkar kearah luar menjauhi daerah irisan - Pada tepi akhir daerah persiapan operasi, buang kasa. Jangan sekali-kali mengulang kembali ke tengah dengan menggunakan kasa yang sama. Pertahankan posisi tangan dan siku serta gaun bedah dari daerah pembedahan. Segera tutup daerah operasi dengan kain steril untuk mencegah kontaminasi: - Bila kain penutup memiliki lubang, letakkan terlebih dahulu lubang diatas daerah insisi. - Buka lipatan kain penutup steril dari arah daerah insisi untuk menghindari kontaminasi.
Pemantauan Lakukan pemantauan kondisi ibu secara berkala selama prosedur tindakan. • Lakukan pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan), tingkat kesadaran dan perdarahan yang terjadi selama operasi. • Lakukan pencatatan hasil pemantauan pada lembar pemantauan agar perubahan yang terjadi pada kondisi ibu dapat segera dapat dikenali. • Pertahankan pemberian cairan yang adekuat selama tindakan operasi. Pengendalian nyeri Lakukan pengelolaan pengendalian nyeri selama tindakan operasi. Ibu yang merasa nyaman selama tindakan akan kurang melakukan gerakan yang akan melukai dirinya sendiri. Pengendalian nyeri termasuk: • dukungan emosional dan upaya untuk menghindari ketakutan dan kecemasan; • anaestesia lokal; Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
80
• •
anaestesia regional (mis. spinal); anesthesia umum.
Antibiotika •
Berikan antibiotika profilaksis sebelum melakukan tindakan. Bila ibu akan menjalani bedah Caesar, pemberian antibiotika profilaksis dapat dilakukan segera setelah bayi lahir.
Melakukan insisi bedah • •
Buat irisan sesuai dengan kebutuhan prosedur tindakan operasi. Buat irisan dengan hati-hati dan lapis demi lapis setiap kali mengiris.
Cara memperlakukan jaringan • •
Perlakukan jaringan dengan halus (gently). Apabila menggunakan klem untuk memegang jaringan, upayakan untuk mengunci klem hanya sampai dengan klik yang pertama. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan luas daerah kematian jaringan yang akan terjadi pada akhir tindakan, sehingga juga akan menurunkan risiko terjadinya infeksi.
Haemostasis • •
Pastikan untuk melakukan tindakan hemostasis selama tindakan. Ibu dengan komplikasi obstetrik sering mengalami anemia, oleh karena itu cegah terjadinya perdarahan pada tindakan yang dilakukan.
Instrumen dan peralatan tajam •
•
Awali dan akhiri setiap tindakan dengan penghitungan alat, peralatan tajam dan darm gaas: - Lakukan penghitungan pada setiap kali menutup rongga badan/organ (mis.uterus); - Catat dalam catatan medis bahwa telah dilakukan penghitungan peralatan secara benar. Gunakan peralatan, terutama peralatan tajam, secara berhati-hati untuk mencegah risiko perlukaan. Gunakan daerah aman (safe zones) pada saat memegang atau memberikan alat dan peralatan tajam: - Gunakan alat seperti kidney basin untuk membawa dan memberikan benda tajam serta pemegang jarum beserta jarumnya; - Alternatif lain, adalah memberikan peralatan pada pegangannya dan tidak pada bagian tajamnya mengarah pada penerima alat.
Drainase •
• •
81
Selalu pasang drainase abdominal apabila didapatkan: - perdarahan ringan masih terjadi setelah tindakan histerektomi; - dicurigai adanya kelainan pembekuan darah; - terdapat atau dicurigai adanya infeksi. Sistim drainase tertutup atau pemasangan pipa karet yang kaku dapat - dipasang menembus dinding abdomen atau cavum Douglas. Lepaskan drain apabila telah terjadi penyembuhan infeksi atau bila sudah tidak terdapat nanah atau Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
-
tidak terdapat cairan kemerahan yang keluar dari drain dalam waktu 48 jam.
Benang (suture) •
•
Pilih jenis dan ukuran benang yang sesuai untuk jaringan (Tabel C-7). Ukuran dinyatakan dengan rangkaian angka “0”: Benang yag lebih kecil memiliki angka “0” yang lebih banyak (mis. benang ukuran 000 (3-0) memiliki diameter yang lebih kecil daripada benang ukuran 00 (2-0), benang ukuran “1” memiliki diameter yang lebih besar dari benang ukuran “0”). Benang yang terlalu kecil akan memiliki kekuatan lebih rendah dan dapat putus dengan mudah, benang yang terlampau besar akan merobek jaringan. Tabel dibawah menunjukkan penggunaan jenis benang dan jumlah simpul yang sesuai untuk penggunaan pada berbagai jenis jaringan.
Table C-7 Jenis benang yang dianjurkan Jenis benang Plain catgut Chromic catgut Polyglycolic Nylon Silk a
Jaringan Tuba Fallopii Otot, fascia Otot, fascia, kulit Kulit Kulit, usus
Jumlah simpul 3a 3a 4 6 3a
Karena ini adalah jenis benang alamiah, jangan menggunakan lebih dari tiga simpul, oleh karena akan menyebabkan permukaan benang menjadi kasar dan melemahkan simpul.
Penutupan luka Pada akhir pembedahan, tutup luka operasi dengan menggunakan penutup kasa steril. PRINSIP PERAWATAN PASCA OPERATIF Perawatan inisial •
•
• • • •
Baringkan ibu pada posisi pemulihan (recovery position): - Posisikan ibu untuk berbaring miring dengan kepala sedikit ekstensi untuk memastikan jalan nafas yang bebas; - Letakkan lengan atas di muka badan untuk memudahkan melakukan pemeriksaan tekanan darah; - Letakkan tungkai pada posisi fleksi dengan tungkai atas lebih fleksi dibandingkan tungkai bawah untuk mempertahankan keseimbangan. Lakukan penilaian kondisi ibu segera setelah tindakan: - Periksa tanda vital (tekanan darah, nadi dan frekuensi pernafasan) dan suhu setiap 15 menit selama satu jam yang pertama, kemudian setiap 30 menit pada jam berikutnya. Lakukan penilaian kesadaran setiap 15 menit sampai ibu sadar. Catatan: Pastikan ibu mendapatkan pengawasan secara terus menerus sampai sadar. Pastikan jalan nafas bebas dan terdapat ventilasi yang adekuat. Lakukan transfusi bila diperlukan. Bila tanda vital menjadi tidak stabil atau bila hematokrit mengalami penurunan yang berlanjut setelah transfusi, segera kirim kembali pasien ke ruang operasi oleh karena perdarahan adalah salah satu penyebab keadaan ini.
Fungsi gastrointestinal Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
82
Fungsi gastrointestinal akan segera kembali normal pada pasien obstetrik. Untuk prosedur umum tanpa komplikasi, fungsi usus harus sudah kembali normal dalam 12 jam setelah pembedahan. • Bila pembedahan berlangsung tanpa komplikasi, berikan minuman pada ibu. • Bila terdapat tanda infeksi, atau bila bedah Caesar dilakukan atas indikasi patus macet atau ruptura uteri, tunggu sampai terdengar adanya bising usus sebelum memberikan diit cair. • Setelah ibu pasca tindakan operatif dapat kentut, mulai untuk memberikan makanan padat (dikecualikan pada operasi dengan menggunakan anesthesia regional/lokal). • Bila pada ibu diberikan cairan intravenous, infus dapat dilanjutkan sampai ibu dapat minum dalam jumlah cukup. • Bila diperlukan antisipasi untuk memberikan cairan IV selama 48 jam atau lebih, berikan infus larutan elektrolit berimbang (balanced electrolyte solution mis. NaCl 1.5 g dalam larutan 1000 ml). • Bila diberikan cairan IV selama lebih dari 48 jam, lakukan pemantauan elektrolit setiap 48 jam. Pemberian infus yang berkepanjangan dapat mengakibatkan adanya gangguan keseimbangan elektrolit. • Pastikan ibu telah mampu untuk makan diit biasa sebelum meninggalkan rumah sakit. Penutupan dan perawatan luka operasi Penutupan luka akan memberikan perlindungan terhadap infeksi selama proses penyembuhan luka yang dikenal dengan kejadian re-epitelisasi. Pertahankan penutup luka pada hari pertama untuk mencegah terjadinya infeksi. Setelah itu tidak diperlukan lagi penutupan luka operasi. • Bila terdapat darah atau cairan merembes pada penutup luka, jangan lakukan penggantian pembalut: - Perkuat penutup luka - Lakukan pemantauan jumlah darah/cairan dengan memberi tanda pada batas luar noda darah di pembalut luka - Bila terjadi perdarahan sampai membasahi separuh pembalut atau lebih, buka penutup luka dan lakukan pemeriksaan pada luka operasi. Ganti dengan pembalut steril yang baru. • Bila penutup luka terlepas, perkuat dengan menggunakan tambahan plester, daripada melakukan penggantian penutup luka. Hal ini akan mempertahankan sterilitas penutup luka dan menurunkan risiko infeksi pada luka. • Lakukan penggantian penutup luka secara steril. • Luka harus selalu bersih dan kering, dan harus tetap tidak terdapat tanda infeksi maupun keluarnya cairan sampai saat pasien pulang. Analgesia Pengendalian nyeri pasca operasi merupakan tindakan penting. Seorang ibu dengan nyeri berat tidak akan mengalami proses penyembuhan dengan baik. Catatan: Hindari pemberian sedativa secara berlebihan, oleh karena dapat mengganggu mobilitas pasien, yang juga penting pada masa pasca operasi. Perawatan kandung kemih (bladder care) Mungkin diperlukan pemasangan kateter urine untuk beberapa prosedur tertentu. Pelepasan kateter secara dini akan menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi dan membuat ibu tidak kesulitan untuk mulai berjalan. 83
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
• • •
•
Bila didapatkan urine yang jernih, lepaskan kateter 8 jam setelah operasi atau semalam setelah operasi. Bila didapatkan urine yang tidak jernih, pertahankan pemasangan kateter sampai didapatkan urine yang jernih. Lakukan pemasagan kateter selama 48 jam setelah operasi pada kasus dengan: - Ruptura uteri; - Partus lama atau partus macet; - Edema perineal yang luas; - puerperal sepsis dengan peritonitis pelvis. Catatan: Pastikan urine yang jernih sebelum melepaskan kateter. Bila didapatkan perlukaan pada kandung kemih (baik oleh karena ruptura uteri atau selama bedah Caesar atau laparotomi): - Lakukan pemasangan kateter selama paling sedikit 7 hari atau sampai didapatkan urine yang jernih; - Bila tidak diberikan antibiotika, pemberian nitrofurantoin 100 mg secara oral satu kali sehari sampai kateter dilepas sebagai tindakan profilaksis terhadap kemungkinan terjadinya cystitis.
Antibiotik •
Bila didapatkan adanya tanda infeksi atau didapatkan adanya demam sebelum tindakan operasi, lanjutkan pemberian antibiotika sampai 48 jam bebas demam.
Pelepasan jahitan Faktor utama pada jahitan irisan abdomen adalah penutupan dari jaringan fascia. Lakukan pengangkatan jahitan kulit pada hari ke lima setelah pembedahan. Demam • •
Demam (temperatur 38°C atau lebih) yang terjadi setelah operasi, harus dilakukan pengamatan dan penilaian. Pastikan bahwa ibu bebas demam untuk paling sedikit 24 jam sebelum memulangkan pasien dari rumah sakit.
Ambulasi Ambulasi akan memperbaiki sirkulasi, merangsang nafas dalam dan menyebabkan stimulasi pada fungsi normal sistem gastrointestinal. Lakukan latihan pada kaki dan tungkai serta mobilisasi sesegera mungkin, pada umumnya dalam waktu 24 jam. Prinsip umum komunikasi dan dukungan (support) Karena setiap keadaan kegawatdaruratan adalah situasi yang unik, terdapat beberapa prinsip umum untuk memberikan bimbingan/arahan. Komunikasi dan empati merupakan kunci penting untuk pelayanan yang efektif pada keadaan ini. Pada saat kejadian • • •
Dengarkan mereka yang sedang mengalami kecemasan. Ibu dan keluarganya memerlukan diskusi tentang apa yang dialami dan kekhawatiran yang terjadi. Jangan mengalihkan subyek pembicaraan pada hal-hal yang lebih mudah atau kurang menyakitkan. Tunjukkan empathi. Berikan informasi selengkap mungkin pada ibu dan keluarganya tentang apa yang terjadi. Memahami keadaan dan pengelolaan yang dilakukan akan mengurangi
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
84
• • • •
• •
kecemasan yang terjadi dan membuat mereka mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi kemudian. Utamakan kejujuran. Jangan ragu untuk menyampaikan apa yang tidak kita ketahui. Memelihara hubungan berdasarkan kepercayaan lebih penting daripada memperlihatkan sikap ilmiah (appearing knowledgeable). Bila bahasa merupakan hambatan untuk melakukan komunikasi, cari seorang penterjemah. Jangan menyerahkan masalah pada staf perawatan atau dokter yang lebih muda. Pastikan ibu didampingi oleh orang yang dikehendaki dan apabila memungkinkan orang yang sama yang memberikan pelayanan selama inpartu dan persalinan. Pendamping yang suportif akan membuat ibu mampu mengatasi nyeri dan ketakutan, disamping menurunkan perasaan kesendirian (loneliness) dan kecemasan (distress). Bila memungkinkan, libatkan pendamping untuk berperan aktif dalam pelayanan yang diberikan. Tempatkan pendamping dekat dengan kepala ibu untuk memberikan perhatian pada pelayanan kebutuhan emosional ibu. Selama dan setelah tindakan, pertahankan kerahasiaan (privacy) ibu dan keluarganya.
Setelah kejadian • • • • • • •
Berikan bimbingan praktis, informasi dan dukungan emosional. Berikan penghargaan pada kepercayaan yang bersifat tradisional dan adat serta penuhi kebutuhan keluarga selama memungkinkan. Lakukan konseling bagi ibu dan keluarganya serta berikan kesempatan untuk merefleksikan kejadian yang ada. Jelaskan masalah yang ada untuk menurunkan ketegangan dan perasaan bersalah. Cukup banyak ibu yang menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpanya. Dengarkan dan tunjukan pengertian serta sikap dapat menerima perasaan ibu. Komunikasi non-verbal mungkin akan lebih bermanfaat dari kata-kata. Ulang informasi yang diberikan beberapa kali dan bila memungkinkan berikan penjelasan secara tertulis. Orang yang sedang mengalami kegawatdaruratan sering tidak dapat mengingat apa yang telah disampaikan pada mereka. Pemberi pelayanan kesehatan mungkin akan merasakan kejengkelan, perasaan bersalah, kekhawatiran dan frustrasi dalam upaya mengatasi kegawatdaruratan obstetrik yang terjadi. Menunjukkan emosi bukan berarti kelemahan.
PENUTUP Dalam melakukan persiapan sebelum tindakan pada kegawatdaruratan obstetri dan neonatal, semua peralatan (instrumen dan medikamentosa) harus sudah selalu tersedia. Bahkan uji fungsi dari masing-masing alat harus selalu dilakukan secara berkala sebelum dilakukan tindakan untuk mencegah kegagalan tindakan pertolongan. Manajemen Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal di fasilitas kesehatan, harus dimulai dari koordinasi semua unsur terkait sehingga masing-masing pihak dapat memahami peran masing-masing dan melakukan serangkaian proses fasilitasi internal maupun kemitraan. Setelah koordinasi, dilakukan pemilihan dan penyiapan dari fasilitas pelayanan kesehatan dengan kriteria yang telah ditetapkan (Rumah Sakit, Puskesmas atau Rumah Bersalin). Setelah penyiapan fasilitas selesai, dilakukan pelatihan klinik untuk standardisasi langkah klinik, menyiapkan pelatih klinik, melatih provider Pelayanan Obstetri 85
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
dan Neonatal Emergensi Dasar dan Komprehensif. Upaya menjaga mutu pelayanan diperoleh melalui pelatihan bagaimana penyelia membantu tim menjaga mutu setempat melaksanakan supervisi fasilitatif. Yang juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana fasilitas kesehatan kemudian membuat rekam medik dan evaluasi hasil pelayanan serta melakukan upaya-upaya pengembangan kualitas pelayanan. Pengembangan tersebut tidak hanya pada Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar dan Komprehensif semata tetapi program kesehatan lain yang kemudian secara bertahap meliputi keseluruhan program kesehatan yang dijalankan. Pada dasarnya, program Pelayanan Kesehatan dan Rujukan Maternal dan Neonatal merupakan bagian dari program kesehatan yang besar yang dapat berdampak besar pada morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Penatalaksanaan komplikasi infeksi, perdarahan, resusitasi bayi dan pencegahan infeksi juga merupakan prosedur untuk mengatasi kondisi gawatdarurat lainnya. Pelaksanaan program Rujukan Maternal dan Neonatal diharapkan akan membawa multiplikasi dari aspek manejemen, penatalaksanaan klinik, konseling, kualitas dan upaya menurunkan angka kematian ibu. Upaya baru yang penting untuk diamati adalah adanya jaringan dan agen di masyarakat (Bidan di Desa) sebagai pemberi informasi, pengenalan dini (seleksi bahan baku) dan merujuk secara tepat waktu (bukan rujukan gawatdarurat).
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
86
LAMPIRAN PENILAIAN PELAYANAN UNIT GAWAT DARURAT OBSTETRI & NEONATAL 24 JAM HAK KLIEN PELAYANAN
UNTUK
MENDAPATKAN
PELAYANAN
DAN
KELANJUTAN
Klien pada unit PONEK memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan tanpa mengalami hambatan oleh karena biaya, jam pelayanan, tempat atau kendala fisik dan sosial. Pelayanan persalinan, termasuk kemampuan untuk mengelola komplikasi harus tersedia selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Ya
Tidak
1.
Apakah klien dan keluarganya dengan mudah mencapai unit gawat darurat secara cepat dan mudah dari pintu masuk utama tanpa terhambat bangunan fisik, seperti pintu yang terkunci atau pagar, selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu? 2. Apakah semua petugas termasuk petugas dari bagian lain, mengetahui bagaimana memberikan arahan pada klien yang memerlukan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan persalinan? 3. Apakah petugas berupaya mengurangi hambatan untuk memberikan pelayanan pada klien, 4. Apakah klien obstetri dengan komplikasi mendapatkan pelayanan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu harus membayar biaya perawatan atau membeli obat dan alat kesehatan 5. Apakah semua klien didalam fasilitas kesehatan memiliki akses ke unit gawat darurat, tanpa membedakan umur, status perkawinan, latar belakang sosial dan kesukuan (ethnic)? 6. Apakah semua klien obstetri mendapatkan pelayanan dan penilaian dalam waktu 15 menit setelah kedatangan, untuk menentukan apakah diperlukan pelayanan gawat darurat selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu? 7. Apakah klien memiliki akses pada pelayanan persalinan selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu? 8. Apakah terdapat petugas yang memiliki kemampuan untuk segera melakukan pengelolaan keadaan dibawah ini selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu: Komplikasi abortus? Perdarahan ante, intra dan postpartum? Hipertensi emergensi, preeklampsia atau eklampsia? Partus lama atau partus macet? Sepsis atau infeksi (dari uterus, perineum, infus intravenous, insisi)? Syok? 9. Apakah klien memiliki akses untuk pemberian cairan IV selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu 10. Apakah klien memiliki akses untuk tindakan resusitasi kardiopulmonal selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu 87
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Ya
Tidak
11. Apakah klien memiliki akses untuk pelayanan kegawatdaruratan obstetri dasar pada keadaan dibawah ini selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu: Pemberian antibiotika? Pemberian magnesium sulfat (atau diazepam bila MgSO4 tidak tersedia untuk kasus eklampsia? Pemberian oksitosin atau ergotamin? Persalinan dengan bantuan (ekstraksi vakum atau forseps)? Plasenta manual untuk melahirkan plasenta? Evakuasi uterus? 12. Apakah klien memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan obstetri dan neonatal komprehensif selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu: Transfusi darah? Bedah Caesar? 13. Apakah klien memiliki akses untuk pemeriksaan laboratorium dan foto Rontgen selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu? 14. Apakah klien memiliki akses untuk mendapatkan semua perlengkapan yang diperlukan untuk pemeriksaan dan pengobatan (mis. sarung tangan, cairan infus, oksigen), obat-obatan (mis. anesthesia, narkotika) dan peralatan tanpa adanya halangan seperti pintu atau almari yang terkunci atau tidak tersedianya kunci selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu? 15. Apakah terdapat fasilitas rujukan atau pemberi pelayanan yang dapat bertindak sebagai pada kasus kegawatdaruratan yang berada diluar kemampuan fasilitas pelayanan (mis. kebutuhan prosedur bedah, perlukaan usus atau kandung kemih, perdarahan yang tidak terkendali) selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu? 16. Apakah fasilitas yang ada menyediakan atau merancang penyediaan transportasi ke fasilitas rujukan untuk klien dengan kegawatdaruratan yang tidak dapat dikelola? 17. Apakah petugas melakukan komunikasi dengan fasilitas rujukan untuk memberikan informasi tentang rujukan yang dilakukan? 18. Apakah petugas melengkapi catatan medik klien dengan informasi dasar yang diperlukan untuk melakukan tindak lanjut pengobatan (mis. diagnosis, komplikasi, pengobatan yang telah diberikan, rencana tindak lanjut)? 19. Apabila klien kembali untuk pelayanan tindak lanjut, apakah petugas dengan mudah dapat mencari catatan medik terdahulu? 20. Apakah semua klien mendapatkan pelayanan tindak lanjut setelah 24 jam, 48 jam, satu minggu dan 4-8 minggu setelah persalinan, baik di fasilitas kesehatan ini atau melalui pelayanan kesehatan komunitas (community-based care)? Keadaan lain yang perlu untuk dicatat dan tidak terdapat dalam kuesioner
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
88
HAK KLIEN UNTUK MENDAPATKAN PELAYANAN OLEH TENAGA TERAMPIL Klien pada unit PONEK memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang dilakukan oleh tenaga terampil dan diberikan secara aman, efektif, segera dan sesuai dengan panduan / standard yang ada, oleh pemberi pelayanan terlatih yang memiliki keterampilan dalam pelayanan rutin, pengelolaan komplikasi dan kegawatdaruratan, serta pencegahan infeksi. Ya
Tidak
Pelayanan yang cepat 1. Untuk klien dengan kegawatdaruratan, apakah petugas dengan segera (dalam waktu 5 menit): Memanggil tim gawat darurat (emergency respons team)? Melakukan stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi sesuai kebutuhan? 2. Apakah petugas segera (dalam waktu 5 menit) memasang infus intravena dengan menggunakan jarum besar (no. 14-16) dan memberikan 2 liter cairan NaCl fisiologis untuk semua klien dengan: Perdarahan? Nadi cepat dan akral dingin? Tekanan darah yang rendah dengan kecurigaan syok? Persalinan macet? Sepsis? 3. Apakah petugas melakukan penentuan golongan darah, melakukan cross-match dan memberikan transfusi segera (dalam waktu 30 menit) bila diperlukan? 4. Apakah petugas mempersiapkan dan melakukan prosedur/tindakan bedah (mis. persalinan dengan bantuan, bedah Caesar, evakuasi uterus) dalam waktu 2 jam setelah mengetahui adanya komplikasi? 5. Untuk perdarahan postpartum, apakah petugas dapat melakukan intervensi bedah (mis. ligasi arteria uterine bilateral, histerektomi, perbaikan ruptura uteri) dalam waktu 2 jam setelah diagnosis? 6. Apabila terjadi komplikasi bedah yang tidak diharapkan (mis. perlukaan kandung kemih atau usus, perdarahan berlebihan), apakah selalu tersedia pemberi pelayanan berkualifikasi pada fasilitas pelayanan, atas permintaan (on call) atau melalui rujukan (dalam waktu 2 jam)? Pemantauan dan penilaian 7. Apakah petugas melakukan pemantauan terhadap semua klien dengan komplikasi obstetri (mis. perdarahan, eklampsia, ruptura uteri, persalinan macet, sepsis saluran genital) paling lambat setiap 15 menit pada 2 jam pertama setelah diagnosis? 8. Apakah petugas membuat grafik pengawasan (mis. tekanan darah, nadi, suhu, jumlah urine) untuk semua klien dengan perdarahan, sepsis, eklampsia, persalinan macet atau ruptura uteri)? 9. Apakah petugas melakukan pemantauan pasca persalinan atau tindakan operatif setiap 15 menit selama 2 jam dan secara periodik paling sedikit 24 jam untuk adanya demam, ketidak-stabilan tanda vital, perdarahan berlebihan atau uterus yang lembek)?
89
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Ya
Tidak
10. Untuk setiap klien dengan perdarahan atau sepsis, apakah petugas memasang kateter urine untuk memantau pemasukan dan pengeluaran cairan bila diperlukan dan apakah dilakukan penilaian terhadap kemungkinan adanya syok? 11. Untuk setiap klien dengan perdarahan atau sepsis, apakah petugas melakukan pemeriksaan darah untuk koagulopati dengan menggunakan tes pembekuan (untuk menilai adanya kegagalan pembekuan darah dalam waktu 7 menit atau untuk adanya jendalan darah yang rapuh)? 12. Apakah semua klien dalam usia reproduksi dengan keluhan nyeri perut dilakukan penilaian untuk menyingkirkan adanya kemungkinan kehamilan ektopik? 13. Sebelum memulangkan klien postpartum, apakah petugas memeriksa: Stabilitas klien (perdarahan, infeksi uterus dan perineum, uterus yang lembek, tanda vital)? Kemampuan klien untuk berjalan sendiri, makan, berkemih dan mengulangi perintah postpartum yang diberikan? Persalinan normal 14. Selama fase aktif dalam persalinan, apakah petugas memantau tanda vital (untuk mencari adanya tanda bahaya) paling sedikit setiap 30 menit dan menilai kemajuan persalinan setiap 4 jam? 15. Apakah petugas dapat memastikan bahwa klien tidak pernah akan ditinggalkan pada fase ekspulsi dan semua persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan? 16. Apakah petugas mempraktekkan manajemen aktif kala III untuk melahirkan plasenta (mis. peregangan tali pusat terkendali, pemberian oksitosin, masase uterus)? 17. Apakah pemberian cairan infus intravena dikerjakan sesuai dengan standard (mis. femoral/vena jugularis interna/vena seksi untuk kesulitan pemasangan infus, tindakan pencegahan infeksi yang sesuai)? 18. Apakah perbaikan laserasi vagina, perineum dan serviks dikerjakan sesuai dengan standard (mis. dengan anestesi, antiseptik, benang yang diserap, lapis demi lapis)? 19. Apakah resusitasi neonatus telah dilakukan sesuai dengan standard? Persalinan lama atau macet 20. Apakah petugas menggunakan partogram untuk mencatat kemajuan persalinan dan mengenali persalinan macet dan lama? 21. Apakah petugas mengenali dan melakukan pengelolaan aktivitas uterus yang tidak adekuat (dinyatakan dengan kontraksi uterus kurang dari 3 kali dalam 10 menit dan berlangsung kurang dari 40 detik) dengan cara memberikan oksitosin secara benar? 22. Apakah petugas mengenali persalinan macet (dinyatakan dengan tidak terjadinya kelahiran dalam 2 jam) dan melahirkan bayi dalam waktu 2 jam setelah diagnosis dengan persalinan dengan bantuan atau bedah Caesar? Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
90
Ya
Tidak
23. Apakah persalinan dengan bantuan (ekstraksi vakum atau forseps) dikerjakan sesuai dengan standard (mis. pada saat pembukaan lengkap, 2/5 untuk vakum, 1/5 untuk forseps, pada saat kontraksi dan tidak lebih dari 3 tarikan atau 30 menit)? 24. Apakah bedah Caesar dilakukan sesuai dengan standard? Perdarahan 25. Pada perdarahan antepartum dengan kehamilan lebih dari 3 minggu, apakah petugas menyingkirkan diagnosis plasenta previa dan melakukan persalinan dengan segera? 26. Pada perdarahan postpartum, apakah oksitosin segera diberikan setelah memastikan tidak ada bayi kedua dan menyingkirkan diagnosis inversio uteri? 27. Apakah petugas segera melakukan penilaian dan melakukan pengelolaan setiap kasus perdarahan lambat atau seketika pasca persalinan? 28. Apakah semua kasus yang dicurigai dengan kehamilan ektopik dikelola sesuai standard dengan transfusi, laparotomi dan salpingektomi parsialis sesuai kebutuhan? 29. Apakah pemberian oksitosin dan ergotamin dilakukan sesuai standard (dengan pengenceran yang sesuai dan pengawasan)? 30. Apakah manual plasenta dikerjakan sesuai dengan standard (mis. dengan anestesi, antibiotik, antiseptik dan sarung tangan DTT/steril)? 31. Apakah transfusi darah dilakukan sesuai dengan standard (mis. dengan skrining untuk HIV/hepatitis/sifilis, pemantauan dan pengelolaan reaksi transfusi)? Preeklampsia, eklampsia 32. Apakah semua klien dengan preeklampsia berat, bersalin dalam waktu 24 jam setelah diagnosis, dengan induksi atau bedah Caesar? 33. Apakah pada semua klien dengan preeklampsia dan eklampsia, dilakukan pemantauan ketat tekanan darah (paling sedikit setiap jam) dan dikelola dengan pemberian obat anti-hipertensi untuk tekanan diastolik > 110 mmHg? 34. Apakah semua klien dengan preeklampsia dan eklampsia, paling sedikit satu kali dilakukan pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, penghitungan jumlah trombosit? 35. Apakah semua klien dengan eklampsia, dilakukan induksi persalinan atau bedah Caesar sehingga bayi lahir dalam waktu 12 jam? 36. Apakah semua klien dengan preeklampsia dan eklampsia, dilakukan pengobatan dengan Magnesium sulfat? 37. Apakah semua klien dengan pengobatan Magnesium sulfat dilakukan pemantauan frekuensi pernafasan dan produksi urine? 38. Apakah pemberian Magnesium sulfat untuk kasus eklampsia sesuai dengan standard?
91
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Ya
Tidak
Sepsis atau infeksi 39. Apakah semua petugas melakukan upaya untuk menghindari tindakan yang dapat meningkatkan resiko infeksi (mis. pemeriksaan vagina terlalu sering, pemberian rutin cairan intravena, eksplorasi uterus rutin setelah persalinan, mencukur rambut pubis)? 40. Apakah petugas secara ketat memelihara daerah steril pada prosedur bedah Caesar, laparotomi, injeksi, pemasangan infus dan kateter? 41. Apakah petugas telah mengobati semua klien dengan gambaran klinik infeksi intrauterin (mis. demam, cairan ketuban yang berbau) segera setelah diagnosis ditegakkan daripada menunggu setelah persalinan? 42. Apakah dilakukan pemberian antibiotika dengan spektrum luas (mis. kombinasi ampisilin, gentamisin dan metronidasol) untuk infeksi traktus genitalis (mis. infeksi luka perineal, sepsis, abortus septik, infeksi uterus)? 43. Apakah segera dilakukan restorasi cairan pada kasus sepsis traktus genitalis (termasuk abortus septik)? 44. Apakah segera dilakukan pengambilan jaringan nekrotik pada infeksi traktus genitalis? 45. Apakah pemberian antibiotika telah sesuai dengan standard? Komplikasi abortus 46. Apakah evakuasi uterus dilakukan dalam waktu 2 jam setelah diagnosis abortus inkompletus dan abortus septik? 47. Apakah diberikan antibiotika sebelum dilakukan evakuasi uterus? 48. Apakah dilakukan pemberian tetanus toksoid 0.5 ml IM pada kasus abortus inkompletus, abortus septik, persalinan tidak bersih, infeksi traktus genitalis dan klien tanpa imunisasi? 49. Apakah evakuasi uterus dilakukan sesuai dengan standard (mis. dengan pemakaian antiseptik, dilatasi serviks, oksitosin atau methergin, obat pengendali nyeri)? Anesthesia 50. Apakah petugas berusaha menggunakan anesthesia lokal selama memungkinkan dan aman (mis. persalinan dengan bantuan, bedah Caesar, episiotomi, perbaikan laserasi, evakuasi uterus)? 51. Apakah petugas mengetahui tanda overdosis dari anesthesia lokal? 52. Apakah petugas segera bereaksi dengan melakukan resusitasi kardiopulmonal dan memberikan antidotum untuk narkotika sesuai kebutuhan pada kasus overdosis? 53. Apakah pemberian anesthesia lokal dan regional telah dilakukan sesuai dengan standard? Angka komplikasi 54. Apakah insidens perdarahan dan perlukaan organ pada bedah Caesar kurang dari 5%? 55. Apakah insidens perforasi uterus pada tindakan evakuasi uterus kurang dari 1%? Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
92
Ya
Tidak
56. Apakah insidens inversio uteri pada persalinan di fasilitas kesehatan kurang dari 5%? 57. Apakah insidens infeksi setelah bedah Caesar, pemasangan infus dan kateter masing-masing kurang dari 10%? 58. Apakah insidens tetanus setelah tindakan di rumah sakit 0%? Pencegahan infeksi 59. Apakah petugas mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah setiap prosedur klinik atau kontak dengan klien? 60. Apakah fasilitas kesehatan memiliki baju pelindung yang sesuai seperti: Apron, penutup kepala, kacamata, masker, sarung sepatu? Sarung tangan (mis. untuk pemeriksaan, desinfeksi tingkat tinggi, steril) di semua tempat pelayanan klien? 61. Apakah petugas melakukan penggantian sarung tangan diantara pemeriksaan klien (dan dengan klien yang sama apabila terjadi kontaminasi)? 62. Apakah sterilitas terjaga dengan perhatian khusus pada prosedur vaginal dan manual uterus (mis.kompresi bimanual uterus, forseps, plasenta manual, ekstraksi vakum, persalinan per vaginam) dengan menggunakan sarung tangan HLD/steril, persiapan antiseptik, tanpa kontaminasi)? 63. Apakah dilakukan cuci tangan bedah (cuci tangan selama 3-5 menit dengan antiseptik dan air mengalir) sebelum tindakan bedah Caesar dan laparotomi? 64. Pada daerah operasi dan tindakan (mis. untuk irisan abdominal, injeksi, pemasangan jalur infus IV, pemasangan kateter ureteral, evakuasi uterus) dilakukan dengan menggunakan cairan antiseptik yang sesuai (mis. alcohol, larutan dasar centramide, larutan dasar yodium) dengan cara yang benar (mis. dilakukan dari lingkar dalam kearah luar)? 65. Apabila terjadi kerusakan/lubang pada sarung tangan, sehingga menyebabkan daerah steril menjadi terbuka, apakah asisten memberitahukan hal tersebut dan membantu untuk melindungi kembali daerah steril? 66. Diantara dua klien, apakah petugas membuang sampah medis dan menyeka tempat tidur serta permukaan daerah terkontaminasi dengan larutan chlorin 0.5% (di ruang persalinan, ruang pemeriksaan dan kamar operasi)? 67. Pada saat melakukan sterilisasi, apakah petugas melakukan pengukuran suhu, tekanan dan waktu (pada 121 °C dan tekanan 106 kPA selama 20 menit untuk bahan tidak terbungkus dan 30 menit untuk benda terbungkus)? 68. Apakah segera dilakukan tindakan dekontaminasi pada semua peralatan yang digunakan dengan merendam dalam larutan klorin 0.5% selama 10 menit?
93
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Ya
Tidak
69. Apakah petugas membuang alat tajam di dalam tempat khusus yang tahan tusukan (puncture-resistant container) disetiap daerah pelayanan klien? 70. Apakah petugas menggunakan sistem yang menjamin sampah medis (termasuk tempat alat tajam) dibuang dengan cara mengubur atau membakar? Keadaan lain yang perlu untuk dicatat dan tidak terdapat dalam kuesioner
HAK KLIEN PILIHAN
UNTUK
MENDAPATKAN
INFORMASI
DAN
MENENTUKAN
Klien pada unit PONEK memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang akurat, sesuai dan dapat dimengerti mengenai diagnosis, pengobatan dan apabila terdapat alternatif pilihan lain, pelayanan setelah pulang dan tanda bahaya (warning signs) yang harus diperhatikan. Informasi ini harus disampaikan melalui konseling dengan menggunakan bahan yang tersedia didalam fasilitas kesehatan. Klien pada unit PONEK memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan dukungan yang diperlukan dalam upaya untuk membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya. Bagaimanapun, dalam kasus kegawatdaruratan, pada klien harus dilakukan upaya stabilisasi terlebih dahulu, tanpa harus menunda oleh karena persyaratan informed consent. Ya 1. 2. 3.
4.
5.
Tidak
Apakah terdapat papan penunjuk dengan menggunakan bahasa setempat dari setiap pintu masuk, yang akan memberi petunjuk kearah unit PONEK dan tempat persalinan? Setelah klien stabil, apakah petugas menyampaikan informasi pada klien dan keluarganya tentang diagnosis, kebutuhan untuk pengobatan dan tindakan serta hasil yang mungkin akan terjadi? Pada saat pulang, apakah petugas menjelaskan pada klien dan keluarganya tentang tanda bahaya (warning signs) yang memerlukan pertolongan medis untuk ibu (mis. demam, perdarahan banyak, adanya nyeri) serta bayi (kesulitan bernafas, demam, kelemahan umum, ikterus, kesukaran makan dan menghisap)? Pada saat pulang, apakah petugas menjelaskan pada klien dengan komplikasi abortus tentang tanda bahaya yang memerlukan pertolongan medis (mis. demam, duh yang berbau, perdarahan berlebihan, adanya nyeri)? Pada saat pulang, apakah petugas memberikan informasi pada klien dan keluarganya dimana terdapat fasilitas pelayanan untuk ibu dan bayi selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu?
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
94
Ya
Tidak
6.
Apakah petugas menyampaikan informasi tertulis atau dengan gambar dalam bahasa setempat tentang perawatan pasca pulang, tanda bahaya dan dimana dapat meminta pertolongan? 7. Apakah petugas berbicara dengan bahasa setempat atau tersedia penterjemah? 8. Pada kegawatdaruratan, apakah prosedur penyelamatan jiwa (life saving procedure) dikerjakan untuk stabilisasi klien, walaupun persetujuan tindakan (informed consent) belum dapat diberikan? 9. Pada saat klien telah stabil, apakah petugas melakukan konseling dan meminta persetujuan tindakan untuk prosedur atau tindakan (mis. transfusi darah, bedah Caesar)? 10. Apakah klien dan keluarganya diberitahu behwa mereka memliki hak untuk menolak perawatan tanpa mengurangi hak untuk mendapatkan pelayanan yang lain (mis. anesthesia, transfusi darah, bedah Caesar)? Keadaan lain yang perlu untuk dicatat dan tidak terdapat dalam kuesioner
HAK KLIEN UNTUK KERAHASIAAN, DIHORMATI, KENYAMANAN DAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT Klien pada unit PONEK memiliki hak untuk privasi dan terjaga kerahasiaannya selama pemeriksaan fisik, prosedur klinik dan konseling, dan juga penanganan informasi pribadi serta catatan medik. Klien pada unit PONEK memiliki hak untuk dilayani dengan mempertimbangkan perasaan, kerendahan hati serta mendapatkan kenyamanan untuk mengemukakan pendapat dan keputusannya. Bila klien dan keluarganya tidak diperlakukan dengan hormat, mereka tidak akan berupaya untuk mendapatkan pelayanan meskipun dalam kegawatdaruratan. Ya 1. 2. 3.
4. 5.
95
Tidak
Apakah ruang pemeriksaan dan persalinan memberikan perlindungan terhadap kemungkinan terlihat atau terdengar oleh klien yang lain dan petugas? Apakah petugas melakukan melakukan pemeriksaan dalam, pertolongan persalinan dan bedah Caesar sesuai dengan indikasi dan dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin? Apakah petugas menghargai keinginan klien untuk memberikan informasi atau tidak kepada suami atau anggota keluarga yang lain? (pada kasus emergensi, permintaan ini mungkin tidak dapat dipenuhi) Apakah petugas menolak untuk mendiskusikan keadaan klien pada orang yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan klien? Pada saat catatan medik tentang klien tidak dipergunakan, apakah petugas menyimpannya pada tempat yang aman dan hanya terbatas untuk petugas yang berwenang? Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
Ya
Tidak
6.
Apakah semua daerah klien bersih dan nyaman (mis. ruang pemeriksaan, ruang kebidanan, ruang persalinan, kamar mandi, ruang tunggu)? 7. Apakah fasilitas kesehatan menyediakan air minum bersih, fasilitas cuci tangan dan kamar mandi untuk klien serta mereka yang menyertainya? 8. Apakah petugas menjaga agar klien merasa nyaman selama persalinan serta prosedur klinik (termasuk pengobatan komplikasi abortus) dengan memberikan obat pengendali nyeri? 9. Apakah petugas membersihkan tempat tidur persalinan setelah pemakaian oleh klien sebelumnya? 10. Apakah petugas melakukan konseling dan memberikan dukungan pada kasus dengan komplikasi (mis. operasi destruksi fetus, kematian atau komplikasi pada ibu, keguguran, kematian atau cacat pada bayi)? Keadaan lain yang perlu untuk dicatat dan tidak terdapat dalam kuesioner
Sumber:
Maternal & Neonatal Health JHPIEGO. QI for EmOC Toolbook. EmOC Assessment: Working Draft. January 2002
KEPUSTAKAAN
Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi. Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi (PONED). Jakarta 2002. 2 Pedoman Teknis Terpadu Audit Maternal Perinatal di Tingkat II. Direktorat Kesehatan Keluarga, Ditjen Binkesmas. Departemen Kesehatan RI. Jakarta 2002 3 Performance RS Sayang Ibu dan Bayi yang berorientasi pada kepuasan klien. Direktorat Pelayanan Medik dan Gigi Spesialistik Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Departemen Kesehatan RI. 2002 4 American College of Emergency Physicians. Code of ethics for emergency physicians [policy statement]; Approved June 1997, Revised December 2000. 5 Palang Merah Indonesia. Kumpulan Peraturan Perundangan Bidang Kesehatan / Transfusi Darah dan Surat Keputusan Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia tentang Transfusi Darah. 6 Engender Health. Emergency Obstetrics Care Quality Improvement Manual. (Working Draft) January 2002 7 Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta 2002 8 Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta 2003 7 Nora LM, Benvenuti RJ 3rd: Medicolegal aspects of informed consent. Neurol Clin 1998 Feb; 16(1): 207-16[Medline]. 8 Beauchamp TL, Childress JF: Principles of biomedical ethics. New York: Oxford UP; 1989:68. 9 Garwin M: The duty to care--the right to refuse. Changing roles of patients and physicians in end-oflife decision making. J Leg Med 1998 Mar; 19(1): 99-125[Medline]. 10 Siegel DM: Consent and refusal of treatment. Emerg Med Clin North Am 1993 Nov; 11(4): 83340[Medline]. 29 Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta 2002 30 Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta 2003 1
Pedoman Manajemen PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA
96