KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas seg segala ala nikmat dan
karunia
yang telah diberikan
sehingga pada
akhirnya
saya dapat menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya. Referat ini disusun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di BLUD RS Sekarwangi-Sukabumi. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Lukma Lukman,S n,Sp.B p.B selaku selaku pembim pembimbin bing g makala makalah h saya saya di Kepa Ke pa nitr ni tr aa n Kl in ik Il mu yang yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan makalah ini. Saya sadari betul bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah yang saya buat ini. Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah referat ini dapat
bermanfaat
bagi
masyarakat
dan
khususnya
bagi
mahasiswa
kedokteran.
Terima kasih .Wassalamu‟alaikum wr. wb.
Sukabumi, Juni 2015 Penyusun,
Indra Permana Sugina 2010730140
0
BAB I PENDAHULUAN
Era globalisasi saat ini semakin meningkatkan mobilitas manusia, baik dalam perjalanan antar desa, antar kota, maupun propinsi, serta antar negara. Kondisi tersebut t ersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas. Apalagi dalam kondisi sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas.1 Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif. 2 Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak dia atas usia 1 tahun di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit masih membutuhkan pelayanan jagka ja gka panjang.2 Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama. Manajemen trauma kapitis sendiri pada dasarnya dibagi dalam manajemen non operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit saraf (neurologi) dan manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah saraf. 2 Manajemen trauma kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran kualitas hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya ( patient oriented ) yang mayoritas berusia muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk mengembangkan kariernya. 2
1
BAB I PENDAHULUAN
Era globalisasi saat ini semakin meningkatkan mobilitas manusia, baik dalam perjalanan antar desa, antar kota, maupun propinsi, serta antar negara. Kondisi tersebut t ersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas. Apalagi dalam kondisi sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas.1 Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif. 2 Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak dia atas usia 1 tahun di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit masih membutuhkan pelayanan jagka ja gka panjang.2 Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama. Manajemen trauma kapitis sendiri pada dasarnya dibagi dalam manajemen non operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit saraf (neurologi) dan manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah saraf. 2 Manajemen trauma kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran kualitas hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya ( patient oriented ) yang mayoritas berusia muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk mengembangkan kariernya. 2
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1 ANATOMI DAN FISIOLOGI 1.1 ANATOMI KEPALA
Gambar 1.
Anatomi kulit kepala. (Dikutip dari: Mung S. Scalp Layers. Available at: http://medic4u.webs.com/anatomy.htm)
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar Skin atau kulit. Skin sebasea (keringat).
Conn ective cti ve tissue tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea.
2
Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar . Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup, menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat
erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan sehingga bila
subgaleal. terjadi
Kulit
kepala
perdarahan
memiliki
akibat
banyak pembuluh
laserasi
kulit
kepala
darah akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya. 3
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiridari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak
saat
bergerak
akibat
proses
akselerasi
dan
deselerasi.
Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
3
frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.3,4
c. Meninges
3,4
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
Gambar 2.
Lapisan Pelindung Otak. (Dikutip dari: Wexner Medical Center. Available at:
http://medicalcenter.osu.edu/patientcare/healthcare_services/nervous_system/meningitis /Pages/index.aspx)
1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan meningeal). Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
4
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri meningea anterior, media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media, dan arteri vertebralis untuk yang posterior. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis.1,3,4
2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki banyak trabekula yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid, hanya pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.3,4
5
d. Otak
Gambar 3.
Bagian otak (Dikutip dari: University of Maryland. Available at:
http://www.umm.edu/patiented/articles/what_brain_tumors_000089_1.htm)
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.4
e. Cairan serebrospinalis
Cairan
serebrospinal
(CSS)
dihasilkan
oleh
plexus
khoroideus
dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari 6
ventrikel
lateral
melalui
foramen
monro
menuju
ventrikel
III,
dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata p ada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.4
Gambar 4.
Aliran Cairan Cerebrospinal. (Dikutip dari: http://medic4u.webs.com/anatomy.htm)
f.
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).4
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.4
7
1.2 FISIOLOGI KEPALA
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg
(8)
. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk meningkatkan ADO. 4
8
2. CEDERA KEPALA
SINONIM: Trauma kapitis = cedera kepala = head injury = trauma kranioserebral = Traumatic Brain Injury.2
2.1 DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. 2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala.2 Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan tindakan operasi. 2 Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi 96% trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.1 Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang
9
memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala membentur lantai.1,3
2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain. 3,5
2.4 MEKANISME CEDERA OTAK 1. Secara Statis (Static Loading)
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul kerusakan berturut-turut mulai dari kulit, tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.6
2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)
Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk impulsif dan / atau impak. 6 Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh : pukulan ekstensi
pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan dari kepala yang bisa menyebabkan cedera otak.6
a. Impak (Impact Loading)
Trauma bentuk
yang
langsung
membentur
kepala
dapat
menimbulkan
2
impak: Kontak / benturan
langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan : -
Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup kontusio
10
-
Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di luar tempat trauma
-
Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak.3,6
Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus (diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk coup, contra coup, dan intermediate. 3,6
2.5 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung (primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan radikal bebas.6
Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung
Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
11
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak. 6
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak sehingga timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan). 3,6 b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.3,6 c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan diteruskan
melalui
massa
jaringan
otak
dan
tulang.
Gelombang
tersebut
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate coup”, contra coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral. 3,6 d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra coup).6
12
2.6 KLASIFIKASI 2.6.1 Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu lesi primer dan lesi sekunder. Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal maupun difus. -
Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur tulang tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
-
Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular difus.1,3
Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri, vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal, perdarahan intraserebral, dan infeksi.1,3
2.6.2 Berdasarkan patologi:
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasio serebri2
Komosio Cerebri/Cedera Kepala Ringan
Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis, sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan patologi. CKR dianalogikan sama dengan komosio serebri. Di klinik, klasifikasi CKR lebih umum dipakai karena memiliki beberapa keuntungan yaitu:
Mempergunakan GCS yang berguna untuk menilai berat ringannya cedera, penilaiannya mudah bagi dokter spesialis, dokter umum, maupun paramedis, dan nilai GCS dapat dipakai sebagai monitoring kondisi pasien
Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi. 1,7
13
Kontusio Cerebri
Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena, dan arteri), nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi benturan. 1,7,8 Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang berlawanan dari cedera (countre-coup). Kontusio intermediate coup terletak diantara lesi coup dan countre coup.1,3,8
Gambar 5. Cedera Countre-Coup (Dikutip dari: http://ffden2.phys.uaf.edu/211_fall2010.web.dir/karlin_swearingen/pages/low_velocity.html)
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (4872 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam – beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi kistik kecoklatan.6 Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika melibatkan lobus frontal dan temporal bilateral, disebut „cedera tetrapolar‟, memberikan gejala TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline shift) dan disertai koma atau penurunan kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan
14
berupa daerah kecil hiperdens yang disertai atau dikeli lingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak yang nekrosis. 3
Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.3
2.6.3 Berdasarkan lokasi lesi
Lesi diffus
Lesi kerusakan vaskuler otak
Lesi fokal o
Kontusio dan laserasi serebri
o
Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural
Hematoma subdural
Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar.2
Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma.1
15
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson yang mengalami kerusakan. 3 Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CTscan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages. 3 Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat berupa: ” = DAI) 1. Cedera Akson Difus (“ Di ff use Axonal I nju ry
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus.3 Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi : a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang ditemukan.
16
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiann ya adalah 20 %. c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat. 6 2. Cedera Vaskular Difus (“ Di ff use Vaskular I njur y ” = DVI)
Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer, khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit. 3
Lesi Fokal Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang cepat terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada daerah temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meni ngea media. Jika tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian. 1,2,3,9,10
Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi cedera.1,3,10
Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid. 1,3,10
Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90
17
persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia basalis.1,2,3
Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang otak. 2,3
3. Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan GCS
Kategori
GCS
2
Gambaran Klinik
CT Scan Otak
Minimal
15
Pingsan (-), defisit neurologik (-)
Normal
Ringan
13-15
Pingsan <10 menit, defisit neurologik (-)
Normal
Sedang
9-12
Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit
Abnormal
neurologik (+) 3-8
Berat
Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+)
Abnormal
Catatan: 1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat 2. Jika
abnormalitas
CT
Scan
berupa
perdarahan
intrakranial,
penderita
dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat2
2.7 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd) 2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis 3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial 4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal 5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi. 2
18
Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS 2. Penilaian fungsi vital 3. Otorrhea/rhinorrhea 4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata 5. Ekimosis mastoid bilateral/Battle‟s sign 6. Gangguan fokal neurologik 7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot 8. Refleks tendon, refleks patologis 9. Pemeriksaan fungsi batang otak 10. Pemeriksaan pupil 11. Refleks kornea 12. Doll‟s eye phenomenone 13. Monitor pola pernafasan 14. Gangguan fungsi otonom 15. Funduskopi. 2
HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik: 1. Lucid interval (+) 2. Kesadaran makin menurun 3. Late hemiparese kontralateral lesi 4. Pupil anisokor 5. Babinsky (+) kontralateral lesi 6. Fraktur di daerah temporal. 2,3,5,10
Hematoma Epidural di Fossa Posterior Gejala dan tanda klinis: 1. Lucid interval tidak jelas 2. Fraktur kranii oksipital 3. Kehilangan kesadaran cepat 4. Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
19
5. Pupil isokor 2,3,5,10
Penunjang diagnostik: - CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks 2,3,5
Gambar 6. CT Scan Hematom Epidural. (Dikutip dari: http://classic.muhealth.org/neuromed/images/epidural.jpeg)
-
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya „bridging vein´ (vena jembatan). Jenis: a. Akut : interval lucid 0-5 hari b. Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu c. Kronik : interval lucid >3 bulan 2
Hematoma Subdural Akut Gejala dan tanda klinis:
Sakit kepala
Kesadaran menurun2
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit.1,2,3,5,7,10
20
Gambar 7. CT Scan Hematom Subdural. (Dikutip dari: http://webmm.ahrq.gov/media/cases/images/case6_fig1.jpg)
HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono- atau multiple.3,6
Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage (Dikutip dari: http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Neurology/IC_hemorrhage2.htm)
FRAKTUR BASIS KRANII
1. Anterior Gejala dan tanda klinis : -
Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
-
Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
-
anosmia2,3
21
Gambar 9. Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye (Dikutip dari: http://doctorsgates.blogspot.com/2011/02/raccoon-eyes-sign-for-basal-skull.html)
2. Media Gejala dan tanda klinis -
Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea2,3,9
3. Posterior Gejala dan tanda klinis : -
Bilateral mastoid ecchymosis/battle‟s sign2,3,5
Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign (Dikutip dari: http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Battle%27s%20sign.htm)
Gambar 10.
Penunjang diagnostik: -
Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
-
Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section) 2
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda kllinis : -
Koma lama trauma kapitis
22
-
Disfungsi saraf otonom
-
Demam tinggi 2
Penunjang diagnostik:
CT scan otak
Awal normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
Ulangan setelah 24 jam, edema otak luas 2
PERDARAHAN SUBARAKNOID TRAUMATIKA
Gejala dan tanda klinis: -
Kaku kuduk
-
Nyeri kepala
-
Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik: CT scan otak: perdarahan (hiperdens) diruang subarakhnoid 2,6,8
Gambar 11.
CT Scan Subarachnoid Hemorrhage (Dikutip dari: http://www.neurographics.org/3/1/2/4.shtml)
Diagnostik Pasca Perawatan
1. Minimal (Simple Head Injury) GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma (APT), tidak ada defisit neurologis
2. Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury)
23
GCS 13-15, CT Scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat RS< 48 jam, amnesia pada trauma (APT) < 1 jam
3. Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury) GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau GCS > 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT scan, pingsan >30 menit ± 24 jam, APT 1-24 jam
4. Trauma kapitis berat (Severe Head Injury) GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam, APT > 7 hari.1,2
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium
Darah tepi lengkap
Gula darah sewaktu
Ureum kreatinin
Albumin serum (hari ke-1)
Analisa gas darah (Astrup)
Elektrolit darah dan elektrolit urin (bila perlu)
Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ad a kelainan hematologis) 7,9
Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema, kontusio, hematoma)7,9,10
Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri 7
24
2.9 PENATALAKSANAAN Terapi Kasus ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi 2. Perawatan pada luka 3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut : -
Pasien cenderung mengantuk
-
Sakit kepala yang semakin berat
-
Muntah proyektil Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut: -
Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
-
Sakit kepala dan muntah
-
Tidak ada yang mengawasi dirumah
-
Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit 2
Terapi Cedera Kepala Ringan Indikasi rawat inap CKR:
Nilai GCS <15
Orientasi (waktu dan tempat) terganggu, adanya amnesia
Gejala sakit kepala, muntah, dan vertigo
Fraktur tulang kepala
Tidak ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah
Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi hematoma 7
intrakranial
Tujuan rawat inap CKR:
Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)
Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi luhur pasca trauma berkepanjangan yang akan mempengaruhi kualitas hidup
Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau hematoma subdural 3,7
25
Pemeriksaan penunjang CKR
-
Laboratorium: darah tepi lengkap
-
Foto kepala AP/lateral, foto servikal kalau perlu
-
CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma intrakranial dengan gejala riwayat lucide interval , sakit kepala progresif, muntah proyektil, kesadaran menurun, dan gejala lateralisasi2,3,7
Tata laksana dan tindak lanjut
-
Tirah baring dengan kepala ditinggalkan 20°- 30°, dimana posisi kepala dan dada pada satu bidang, lamanya disesuaikan dengan keluhan (sakit kepala, muntah, vertigo). Mobilisasi bertahap harus dilakukan secepatnya
-
Simtomatis: Analgetik (parasetamol, asam mefenamat), anti vertigo (beta histin mesilat), antiemetik
-
Antibiotik jika ada luka (ampicilin 4x500 mg)
-
Perawatan luka
-
Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 1 kolf/12 jam, untuk mencegah dehidrasi1,7
Unit terkait
PPM bedah saraf
bila
ada hematoma epidural atau hematom subdural yang
perlu tindakan bedah.1,7
Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C)
A: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke bawah
Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal
Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu
26
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
-
Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten
-
Bila perlu pakai ventilator
B:
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor ekstrakranial berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik. Tindakan tata laksana: -
Menghentikan sumber perdarahan
-
Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer laktat per infus
-
Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah 1,7
Pemeriksaan fisik CKS/CKB
Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi: -
Kesadaran
-
Tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan
-
Pupil
-
Defisit fokal serebral
-
Cedera ekstrakranial (dengan konsultasi dan kerjasama tim) 7
Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan timbulnya kerusakan sekunder
Pemeriksaan Penunjang CKS/CKB
Lihat pemeriksaan radiologi dan laboratorium 1,7
Tekanan Intra Kranial meninggi
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah harus diturunkan dengan cara:
27
-
Hiperventilasi: Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2 dipertahankan antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperbentilasi diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT Scan ulang 1,2,3,7
-
Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) Cara pemberian: Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap 6jam, selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320 mOsm.
Loop diuretik (furosemid) Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis: 40mg/hari
Terapi barbiturat Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas. Cara pemberian: Bolus 10 mg/kgBB iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis sekitar 1mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
Posis tidur Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam satu bidang.1,7
Keseimbangan cairan dan elektrolit
Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, takikardi kembali normal dan volume urin ≥ 30 ml/jam. Setelah 3 -4 hari dimulai
28
makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Bila terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretik, diabetes insipidus, SIADH), pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin, dan osmolalitas darah.1,7
Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik: -
Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
-
Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
-
Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit.1,7
Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan jaringan saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor Obat-obat tersebut antara lain: Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.1,7
Komplikasi
-
Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy. Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk terjadinya kejang pasca CKB, yaitu:
GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak, Hematom Subdural, Hematom Epidural
Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam kurun waktu <24 jam pasca cedera
29
Pengobatan
Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v, dilanjutkan dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100 mg/hari
Profilaksis:
Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari selama 7-10 hari.1,3,7
-
Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii. Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama 10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal negatif. 1,3,7
-
Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan lipat paha. Dan ditambahkan obat antipiretik. 1,3,7
-
Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, dengan 19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral atau bersama H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor seperti omeprazole. 1,3,7
30
-
Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika dan pemberian diuretika serta oksigen. 1,3,7
Neurorestorasi /neurorehabilitasi
-
Pasien dengan penurunan kesadaran, program neurorestorasi /neurorehabilitasi dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus dengan perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, pneumonia ortostatik dengan perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, dan ekstermitas digerakkan secara pasif.
-
Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologis ulang termasuk pemeriksaan kortikal luhur, karena banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur yang menurunkan kualitas hidup pasca cedera kranio serebral. 1,7
Indikasi operasi penderita trauma kapitis
1. EDH (epidural hematoma): a.
> 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal denagn fungsi batang otak masih baik.
b.
>30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
c.
EDH progresif
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi 2. SDH (subdural hematoma) a.
SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi. c.
SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang otak masih baik
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma Indikasi operasi ICH pasca trauma: a.
Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing refleks)
31
c.
Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe 5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri 6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial) 7.
Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi dekompensasi.2
2.10 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis. 3 Diffuse Injury Grade
CT appearance
Mortality
I
Normal CT Scan
9.6%
II
Cisterns present. Midline shift <5 13,5% mm
III
Cisterns
compressed/
absent. 34%
Midline shift <5 mm IV
Midline shift >5 mm
56,2%
2.11 PENCEGAHAN DAN EDUKASI
Yang sangat efektif adalah pendidikan masyarakat
Penggunaan helm penyelamat dan memadai. Angka kematian 4600 (1962)
2400 (1992)
Penggunaan sabuk keamanan 11% (1982)
66%
Penggunaan kantong udara 550.000 jiwa terselamatkan, 40.000 pengemudi
(1992)
terhindar dari kerusakan yang serius
Perilaku pengemudi
Kecepatan kendaraan.1,3
32
BAB III KESIMPULAN
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak memadai. Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan sekunder), berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri), berdasarkan lokasi lesi (vaskuler, difus [DAI, DVI]), fokal [Hematoma epidural, subdural, subarakhnoid, intraserebral, intraserebellar]), dan berdasarkan GCS ( simple head injury, CKR, CKS, CKB) guna menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, tatalaksana, indikasi operatif, dan prognosis. Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan dilakukan pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi adanya perburukan. Pada kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis, observasi perburukan, dan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan untuk menyingkirkan adanya hematom, sedangkan untuk kasus CKS dan CKB tindakan awal yang dilakukan adalah sesusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil, defisit fokal serebral, cedera ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang meninggi, Keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi komplikasi (epilepsi, infeksi, demam, gangguan gastrointestinal, edema pulmonum, dan neurorestorasi /neurorehabilitasi. Indikasi terapi operatif berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis bergantung pada skor GCS.Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan masyarakat berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk keamanan, perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2 nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74. 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In: Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18. 3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1154. 4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6 th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042 5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes: Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117 6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at: http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ @KQoKCDUAAGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neuros urg:journal:9&nmid=198747111. Accessed on: November 20 2012. 7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In: Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58 8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at: http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552. Accessed on 20 juni 2015. 9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1067-1077 10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p12-18
34