THE NEW RULES OF THE WORLD: Ironi Indonesia (Resensi Film) Posted: 5 Oktober 2009 in Hubungan Internasional Kaitkata:Globalisasi, Indonesia, John Pilger, Kapitalisme Neoliberalisme, kemiskinan, negara-bangsa, pasar bebas, subcomandante marcos 5 PENDAHULUAN
“Tetapi kita tidak akan mematuhi mesin ini karena kita bisa membangun jalan baru se ndiri, di mana hidup berarti hidup dengan martabat, dimana hidup berarti hidup dengan kemerdekaan …Seluruh dunia sedang dalam sengketa antara dua proyek globalisasi ini. Globalisasi dari atas, yang mengglobalkan konformitas, sinisme, ketololan, perang, penghancuran, kematian, dan ketidakpedulian…” (Subcomandante Marcos)
Pemahaman atas kondisi perekonomian dunia sekarang tidak terlepas dari fenomena globalisasi yang begitu kuat mencengkram hampir keseluruhan aspek kehidupan. Secara sederhana, fenomena ini oleh Rouke disebut ‘revolusi ekonomi’ yang menghasilkan dunia tanpa batas (bordereless). Lengkapnya, definisi gobalisasi menurut Group of Lisbon dalam Limitis to Competition sebagai berikut :
Globalization refers to the multiplicity of linkages and interconnections between the states and societies which make up the world system. It descr ibes the process by which events, decisions, and activities in one part of the world come to have significant consequences for individuals and communities in quite distant parts of the globe. Globalisation has two distinct phenomena: scope (or stretc hing) and intensity (or deepening). On the one hand, it defines a set of process which embrace most of globe or which operate world wide; the concept therefore has spatial connotation. On the other hand, it also implies an intensification in the levels of interactions, interconnectedness or interdependence between the states and societies which constitute the world communities. Accordingly, alongside the stretching goes a deepening of global processess……Far from being an abstract concept, globalization articulates one of the more familiar features of modern e xistence…. Of course, globalization globalization does not mean that the world is becoming more politically united, economically interdependent or culturally homogeneous. Globalization is highly uneven in its scope and highly differentiated in its consequences.
Menurut definisi diatas, globalisasi merupakan proses ke terhubungan komponen-komponen sosial, ekonomi, politik, dll dalam satu system, world system. Menurut Sindhunata, fenomena globalisasi bermakna sebagai pasar bebas. Pengagungan mekanisme pasar dan marginalisasi peran Negara di bidang ekonomi sedapat mungkin diwujudkan , konsekuensi logis yang harus diterima. Globalisasi juga
memunculkan perdebatan intensif, didalamnya muncul tiga perspektif berbeda : pasar bebas, populis (nasionalis), dan komunitarian. Perspektif pertama menentang pengenaan regulasi yang ketat dalam ekonomi dunia (Hayek), kedua, perspektif ini menentang globalisasi sambil mendesakkan hambatanhambatan terhadap perdagangan bebas, kegiatan para investor serta perusahaan multinasional. Dan ketiga, percaya bahwa globalisasi menciptakan tata dunia dengan lingkungan yang berpolusi, hierarkis, dan eksploitatif. Oleh Sukarno, globalisasi dalam per spektif pertama tidak lebih dari bentuk imperialisme modern.
Gambaran dari proses ini sangat jelas dalam realitas masyarakat dewasa ini ; kemerdekaan atas ketidakadilan semakin langka dengan lahirnya beragam regulasi yang menjadi senjata penghancuran. Seperti yang dapat disaksikan dalam film dokumenter THE NEW RULES OF THE WORLD yang dilaporkan dan diproduseri oleh John Pilger di Indonesia. Dengan narasi awal yang begitu mencengangkan dan penandasan yang kuat, globalisasi ekonomi melahirkan kemiskinan dan protes. Sentilan pertanyaan kemudian muncul dari narator : ‘Desa global seperti inikah yang disebut-sebut sebagai masa depan umat manusia?’. Tak ketinggalan juga komentar sastrawan Pramoedya Ananta Toer:
“ratusan tahun lamanya Indonesia dihisap oleh Negara-negara utara, bukan hanya Indonesia, semua Negara-negara berkulit berwarna. Sehingga barat menjadi kuat, m enjadi makmur, menguasai keuanagan dan perdagangan sampai sekarang. Sekarang didikte IMF oleh Bank Dunia. Negeri yang begitu kaya diubah menjadi Negara pengemis. Karena tidak adanya karakter pada elit”.
Pasar bebas sebagai instrumen ideologi, sangat percaya akan efektivitas marginalisasi peran Negara sebagai fungsi kesejahteraan menimbulkan serangkaian ancaman terhadap human security. Ketiadaan proteksi dari Negara mengakibatkan tidak adanya kontrol atas kelompok lemah, terjadi l’ex ploitation l’homme par l’homme dengan darwinisme sosial sebagai alat penggerak. Kemiskinan dan kelaparan di Ethiopia dapat dijadikan contoh menarik kasus ini. Iklim, cuaca, tanah, bahkan N’ach sering dijadikan kambing hitam permasalahn kronis tersebut.
PEMBAHASAN
Dalam tataran konseptual, globalisasi mengalami banyak per debatan didalamnya. Kontradiksikontradiksi konseptual seringkali menjadi hal yang wajar mengingat banyaknya aspek yang melingkupi dan perspektif yang digunakan. Globalisasi dalam tataran teoretik tidak dapat menggunakan satu perspektif saja, tetapi harus dilihat dalam konteks parsial menurut kebutuhan. Dari sini, globalisasi sebagai suatu fenomena masa kini mempunyai spectrum yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada
persoalan ekonomi, politik, maupun social, tetapi bergerak divergen melampaui batasan yang selama ini dipahami.
Seiring perjalanan waktu, konsep globalisasi mengalami perkembangan. Berkaitan dengan ragam respon yang diberikan, menurut Benjamin Barber dalam Jihad vs McWorld, memasuki era globalisasi dengan asumsi kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme yang dipandang sebagai akhir sejarah pada dasarnya menyimpan potensi konflik sangat besar. Globalisasi yang merujuk pada homogenitas dan interdependensi masyarakat secara ekonomi, politik, dan social-budaya seringkali berbenturan dengan masalah identitas lokal yang berakibat pada fenomena paradoks. Paradoksitas globalisasi tidak hanya beroperasi pada ranah Negara-bangsa, berkembang dalam tataran lebih kecil lagi, yaitu komunitas lokal yang merespon globalisasi sebagai akibat tekanan-tekanan yang ditimbulkannya. Respon-respon yang diberikan mengarah pada suatu sikap resiprokal terhadap universalitas yang hendak diraih, dan tentunya reaksi ini bersifat menawarkan alternatif lain daripada globalisasi itu sendiri.
Dalam hal ini, konsepsi neoliberalisme dengan pasar bebasnya menjadi kerangka acuan operasionalisasi globalisasi menurut pandangan pertama. Globalisasi yang dianggap mampu menciptakan kese jahteraan masyarakat dunia merupakan blue print masa depan umat manusia. Berkaitan dengan masalah ini, Gilpin berpendapat : …isu-isu ekonomi dan situasi ekonomi global semakin me njadi pusat perhatian dalam hubunganhubungan politik dan ekonomi internasional, lebih dari waktu-waktu yang lalu sejak akhir abad kesembilanbelas. Banyak komentator mencatat adanya pergeseran yang amat mendalam dari dunia yang didominasi Negara menjadi dunia yang didominasi pasar…Menurut “thesis globalisasi”, perubahan cepat hubungan-hubungan manusia dalam arus perdagangan, investasi, dan teknologi dalam jumlah besar yang melewati batas-batas nasional telah berkembang dari sekedar te tesan menjadi banjir. Cakupan kegiatan politik, ekonomi dan sosial menjadi mendunia, dan interaksi antar Negara dan masyarakat di banyak wilayah menjadi meningkat…banyak pihak mulai percaya bahwa pasar telah menjadi, atau sedang menjadi mekanisme terpenting yang menentukan hubungan-hubungan domestik maupun internasional.
Landasan asumsional pendapat ini tertuang dalam karya Thomas L. Friedman dalam bukunya yang terkenal, The Lexus and Olive Trees dan karya Hayek dalam The Road to Serfdom yang secara garis besar berpendapat bahwa setiap jenis sosialisme, betapapun lembutnya, atau setiap jenis perencanaan ekonomi atau pun welfare state, betapapun baik maksudnya, atau setiap jenis campur t angan dalam pasar bebas, betapapun masuk akalnya, adalah sesuatu yang sangat salah. Karena itu, intervensi Negara dalam bidang apapun merupakan penghambat kemajuan yang akan diraih umat manusia sehingga batasan-batasan geopolitik harus diabaikan.
Dalam konteks kekinian, pendapat Hayek dan Friedman tentang globalisasi dewasa ini sering disebut sebagai neoliberalisme. Neoliberalisme merupakan pengembangan dari teori-teori klasik liberal yang dianggap telah mati akibat krisis tahun 1970-an yang mana mulai dicoba untuk dihidupkan kembali pada era 1980-an. Konsepsi neoliberalisme mencuat ketika Inggris dipimpin oleh Margareth Thatcher dan Amerika Serikat dipimpin oleh Ronald Reagan, kedua pemimpin Negara ini secara sistematis menerapkan kebijakan neoliberalisme, terutama di bidang ekonomi, untuk memulihkan kondisi perekonomian Negara mereka masing-masing. Kiedua pemimpin ini menerapkan kebijakan neoliberalisme sebgai imbas kepercayaan akan adanya mekanisme tangan tak tampak (invisible hand) sebagai kekuatan yang besar, dan diimplementasikan dalam bentuk pasar bebas yang merunut pendapat Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations : …hanya berkeinginan untuk mencari keuntungannya sendiri, orang seperti ini dibimbing oleh tangan gaib untuk mempromosikan sebuah tujuan yang bukan merupakan bagian dari keinginannya. Hal ini tidak selalu berakibat buruk pada masyarakat, karena hal ini tidak merupakan bagian dari masyarakat. Dengan mengejar kepentingannya sendiri, orang sering mempromosikan kepentingan masyarakat secara lebih efektifdibandingkan ketika ia benar-benar ingin mempromosikannya.
Seiring dengan keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1990, dan kemenangan Amerika Serikat beserta sekutunya, berdasarkan thesis Fukuyama dalam The end of History and the Last Man, demo krasi liberal dan kapitalisme merupakan akhir dari sejarah pergulatan ideology dunia sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kondisi demikian semakin memperkuat posisi neoliberalisme yang menjadi landasan dari globalisasi untuk melebarkan sayap hingga wilayah pinggiran. Karena itu, neoliberalisme menjadi harga mati yang harus diikuti oleh masyarakat dalam membangun dunia yang satu (homogen) dengan melepaskan berbagai sekat yang selama ini dianggap menghalangi proses ini.
Neoliberalisme yang yang mendesakkan sejumlah agenda berimplikasi terhadap Negara-bangsa yang memiliki otonomi relative terhadap control ekonomi dan memiliki otoritas meregulasi ekonomi yang membatasi mekanisme pasar dan mengatur wilayah public secara gradual kehilangan otoritasnya di era globalisasi. Dalam konteks ini, analisis Kenichi Ohmae akan masa depan Negara-bangsa dapat digunakan sebagai penjelasan konseptual terhadap permasalahan ini. Me nurut Ohmae, di dunia yang lebih kompetitif, Negara-bangsa tidak lagi memiliki sumur tanpa dasar dari segala sumber daya yang biasa mereka gali tanpa adanya ongkos sebagai bentuk kausalitas adanya otoritas yang mereka miliki. Negarabangsa mempunyai kecenderungan untuk mencari pada ekonomi global dan melakukan perubahanperubahan penting dalam diri mereka agar untuk mendatangkan bantuan itu yang akhirnya ber ujung pada perselingkuhan global dengan rujukan organisasi regional semisal APEC, NAFTA, ASEAN, OPEC, dan organisasi-organisasi lain sejenis. Proses ini tidak muncul secara arbiter, tetapi dipengaruhi oleh faktor 4 “I”, Industri, Investasi, Informasi, dan Individu. Keempat komponen pemicu diatas bersifat integral, dan keempatnya juga mempunyai kemampuan melampaui batas geografis tanpa adanya penghalang.
Akselerasi keempat komponen diatas menyebabkan aktivitasnya dalam unit-unit geografis yang lebih terfokus karena pasar mereka adalah batas-dan hubungan-yang menjadi persoalan di sebuah dunia tanpa batas. Karena itu, secara sederhana, tanpa bermaksud mengecilakan kompleksitas didalamnya, globalisasi dapat dimaknai sebagai pasar bebas
Sedangkan menurut pendapat pandangan kedua, globalisasi diartikan kontradiktif dari penjelasan pertama. Globalisasi seringkali dipandang sebagai instrument penghancuran umat manusia beserta kebudayaanya karena bertitik tolak pada pasar bebas yang mana akan membawa pada dua implilkasi: pertama, relasi sosial dipahami dengan memakai konsep dan indikator sistem ekonomi pasar; kedua, sistem ekonomi pasar dijadikan tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai kebijakan. Dan pasar pada dasarnya tidak pernah memikirkan mengenai aspek sosial atau agenda penghapusan kemiskinan, pasar adalah bagaimana menghasilkan profit dan profit .Karena itu, globalisasi yang bertumpu pada mekanisme pasar secara total akan semakin memelihara, bahkan meningkatkan kesenjangan sosial dan penghapusan memori suatu bangsa atas identitas yang mereka miliki sehingga kemiskinan dan otoritarianisme merajalela, marginalisasi, dan ruang-ruang alternatif untuk perkembangan manusia tertutup.
Untuk menjelaskan pandangan ini, globalisasi dapat dilihat dari dua perspektif konseptual, Marxis, dan Non-Marxis. Kedua perspektif ini dipilih karena k eduanya memiliki antusiasme cukup besar dalam merespon dampak-dampak negative yang ditimbulkan oleh g lobalisasi neoliberalisme, keduanya juga aktif dalam mengorganisir konsep-konsep perlawanan untuk menghadang penutupan ruang lain bagi dunia. Dalam hal ini, asumsi mendasar yang melatarbelakangi pemilihan dua perspektif diatas juga berdasar atas gelombang kejut yang ser ingkali mereka kemukakan ke permukaan melalui serangkaian gerakan social yang bersifat tentative maupun kontinyu. Selain itu, sebagai ideologi besar yang menjadi mainstream, Marxisme maupun Non Marxisme mempunyai seper angkat pisau analisis yang menjadikannya mampu memberikan solusi maupun resolusi mengatasi dampak globalisasi.
Menurut pandangan Marxis, globalisasi diasumsikan sebagai pergerakan dunia yang bersifat konvergen, mengarah pada marginalisasi peran tenaga kerja dari kancah pereko nomian yang akhirnya melahirkan penderitaan kaum pekerja (proletar). Analisis Marxisme melihat melihat fenomena globalisasi sebagai bentuk penindasan baru dalam perspektif ekonomi an sich. Penindasan seringkali menimpa kelas pekerja seiring dengan diterapkannya pasar bebas sebagai perwuj udan berkuasanya kelas borjuis (kapitalisme) yang lambat laun berubah menjadi imperialisme. Untuk menjelaskan keterpautan ini maka karya Lenin dalam Imperialism: The Highest Stage of Capitalism dapat dipergunakan sebagai pisau analisa fenomena pasar bebas. pasar bebas merupakan sarana paling efektif dalam pengembangan kapitalisme karena kompetisi yang ada di dalamnya menyediakan alat untuk mereduksi kekuatan yang lemah melalui monopoli.
“Unsur baru dari kapitalisme yang baru ini adalah berkuasanya kaum monopolis yang merupakan gabungan dari pengusaha-pengusaha yang paling besar”.
Dengan menginterpretasi pendapat Lenin, globalisasi neoliberalisme yang bertumpu pada pasar bebas pada dasarnya merupakan instrument baru dalam perluasan kapitalisme menuju bentuk imperialisme. Disini globalisasi dapat digambarkan sebagai perangkap Negara maju untuk menjebak Negara berkembang supaya terlibat secara intensif dalam kompetisi pasar bebas yang akhirnya Negara yang terperangkap dapat dikuasai secara penuh, dan kelas pekerja menjadi martir dan menerima dampak terbesar dari perangkap kapitalisme. Selain pemikiran Lenin, dalam konteks ini, argument Hobson dalam Imperialism: A Study dapat dijadikan ruj ukan. Pasar bebas yang meleluasakan mobilitas modal memberikan peluang bagi kelas borjuis (kapitalis) untuk melebarkan sayapnya. Jenuhnya pasar dalam negeri akibat daya beli buruh rendah menjadikan ekspansi pasar ke luar nege ri sebagai solusi yang mana kekuasaan capital menjadi senjata utama mendesakkan ekspansi politik. Dari sini dapat diambil suatu benang merah atas penolakan atas globalisasi yang dipandang menimbulkan dampak negatif, yaitu munculnya imperialisme akibat penerapan pasar bebas.
Menurut pandangan non-marxis, globalisasi yang digerakkan oleh neoliberalisme merupakan bentuk baru kapitalisme yang akan membawa dampak pada kehancuran Negara-bangsa yang menyebabkan hilangnya konsep kebangsaan. Hilangnya konsep bangsa ini diakibatkan adanya tuntutan neoliberalisme terhadap internasionalisasi sejarah, menuntut dihapuskannya sejarah nasional dan mengubahnya menjadi sejarah internasional, dan menuntut penghapusan batasan-batasan budaya. Karena itu, neoliberalisme harus dibayar mahal umat manusia dengan tunduk pada modal finansial, termasuk tanah air dan kepemilikan pribadi. Pada dasarnya pandangan non-marxis ini bersandar pada entitas kebangsaan dalam bentuk nasionalisme inklusif yang mana bukan sisi Negara-bangsa mereka sendiri sebagai titik acuanm, melainkan nasib Negara-bangsa lainnya yang mengalami nasib serupa.
Merujuk pada pandangan ini, pendapat Kenichi Ohmae tentang Negara-bangsa mendapatkan respon berkebalikan. Respon balik ini dapat dilihat dalam konsepsi (sebagai contoh) nasionalisme menurut Sukarno. Dalam konteks ini, globalisasi dapat dikatakan sebagai bentuk imperialisme baru, menjajah tidak secara fisik tetapi dalam bentuk lain. Globalisasi Dengan asumsi hancurnya Negara-bangsa di era globalisasi, semangat kebangsaan, dalam hal ini nasionalisme, malahan mendapatkan porsi besar dalam kancah pergulatan konseptual.
Globalisasi Neoliberal
Dalam prosesnya, globalisasi tidak data dilepaskan dari adanya elemen-elemen lembaga keuangan internasional (IMF dan Bank Dunia), MNC, Negara, dan masyarakat sipil. Hubungan tersebut merupakan akibat dari bangunan dasar globalisasi itu sendiri. Globalisasi yang dibangun atas dasar pondasi modernitas mempunyai cita-cita membangun masyarakat me lalui pemberdayaan agresif individu, dan usaha penguasaan terhadap alam, menjadi acuan dalam pembangunan masyarakat dewasa ini. Menurut Giddens, hal tersebut disokong gugus penyangga modernitas : kapitalisme, industrialisme, pematamataan, dan control alat kekerasan; dan gugus institusional globalisasi : e konomi kapitalis dunia, pembagian kerja internasional, sistem negara-bangsa, dan tata militer dunia. Lebih mudahnya, gugus penyangga globalisasi diatas dapat digambarkan seperti dibawah ini: Sistem Negara-bangsa
Ekonomi kapitalis dunia Tatanan Militer Dunia
Pembagian kerja internasional
Dalam era globalisasi, masyarakat beserta institusi-institusi yang ada di dalamnya, tidak dapat lepas begitu saja fungsi dan perannya dari kekuatan pasar uang dan modal. K edua elemen ini menciptakan suatu system baru yang mana modal financial menjadi variabel penting dalam perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, merujuk pendapat kelompok hiperglobalis, globalisasi membangun bentuk baru organisasi sosial tanpa keikut sertaan negara-bangsa sebagai lembaga ekonomi dan unit politik utama dari masyarakat dunia karena kekuatan yang dimiliki oleh pasar uang dan modal lebih mempunyai daya intervensi lebih besar dibandingkan lainnya.
Kuatnya konsepsi neoliberalisme dalam globalisasi yang bercirikan: Multilateralismen (lembaga keuangan internasional), dan Transnasionalisme (MNC) yang berpijak pada mekanisme pasar, maka dengan sendirinya berlawanan dengan agenda penghapusan kemiskinan yang hendak dilakukan oleh siapapun, baik pemerintah nasional, badan-badan PBB, o rganisasi non-pemerintah, organisasi-organisasi charity, dan badan-badan keagamaan. Upaya yang mereka lakukan akan mirip “menabur garam di laut” selama neoliberalisme sebagai panutan. Fenomena ini terjadi karena kekuatan modal financial melampaui kekuatan patria akibat semakin diprivatkannya modal hingga kehilangan dimensi komunitas yang berujung pada personalisasi dan de-personalisasi modal.
Hilangnya sifat komunitarian pada modal dengan se ndirinya akan berimplikasi pada pola interaksi antar manusia dan pola interaksi manusia dengan alam. Secara logis, hal ini berakibat berubahnya pola
pandang mengenai relasi social dan relasi dengan alam yang menciptakan suatu hubungan homo economicus dalam segala bentuk aktivitas sehari-hari. Dari sini, penaklukan terhadap manusia lainnya, dan terhadap alam akan menjadi suatu hal biasa mengingat telah berubahnya formasi social yang telah lama eksis. Tidak akan dapat dipungkiri lagi, privatisasi tanah-tanah adat dan aset-aset nasional, eksploitasi hutan, kerusakan alam, dan pengusiran penduduk adat akan menjadi fenomena yang biasa terjadi di belahan bumi manapun.
Dalam konteks negara-bangsa beserta keseluruhan unit didalamnya, perubahan pola relasi dan interaksi tersebut menyebabkan berubahnya pula relasi anatara pemerintah dengan rakyatnya. Hal ini terjadi akibat desakan tiga dimensi globalisasi, yaitu desakan dari atas, dari bawah, dan samping kiri dan samping kanan yang berimplikasi pada berubahnya keseluruhan tat anan ekonomi, politik, dan socialbudaya di seluruh penjuruterhadap tatanan yang telah mapan. Desakan-desakan tersebut disatu sisi berdampak positif dan disisi lain berdampak neg ative. Dalam kerangka penelitian ini, sisi negatifnya berkecenderungan dominan karena telah m emarginalkan masyarakat pinggiran yang diakibatkan oleh serangkaian kebijakan pemerintah yang berkiblat pada kepentingan pemodal (pasar). Selain itu, aspek politik pun tidak dapat lepas begitu saja dari permasalahan ini, terutama berkenaan dengan demokrasi. Menurut Huntington, pemerintah yang berkiblat pada kepentingan pasar secara otomatis menerapkan focus pembangunan ekonomi dari segi pertumbuhan. Dan pertumbuhan ekonomi pada dasarnya membutuhkan stabilitas keamanan dalam proses-prosesnya yang akhirnya mengarah pada penguatan sisi keamanan Negara. Penguatan terhadap posisi keamanan ini secara langsung akan membawa pada implikasi terbentuknya pemerintahan otoriter dengan basis militer sebagai ujung tombak.
Utang dan Upaya Pengentasan Kemiskinan
Dalam melihat persoalan utang, apakah dengan penghapusan utang maka akan mengurangi dampak negative globalisasi secara signifikan? Dalam per kembangannya, perselisihan yang mirip juga muncul dalam kampanye-kampanye seperti Jubilee 2000 yang berfokus pada hutang yang ditanggung oleh negara-negara dunia ketiga. Kampanye ini sangat berjasa dalam menyoroti permerasan oleh lembaga lembaga finansial imperialis. Namun kesuksesan mereka juga telah mengangkat sejumlah persoalan. Susan George, seorang peneliti yang te lah menekuni masalah hutang selama 30 tahun lebih, menjelaskan sebagai berikut: Banyak orang yang baik hati menuntut penghapusan semua utang sebagai satu-satunya solusi yang layak: saya sendiri khawatir kalau solusi ini bisa menjadi sebuah perangkap bagi kita … Jika me reka yang berhutang bisa bersatu untuk mengemplang sebagian dari hutang-hutangnya, atau semua hutang, syukurlah. Tapi rasanya itu tidak akan terjadi. Nah, bila aksi bersama itu tidak terjadi, bagaimana? Harus kita menyelenggarakan kampanye-kampanye mentuntut agar pemerintah-pemerintah di barat membatalkan semua utang secara sepihak? … Tetapi penghapusan itu sebenanarnya justeru akan
menguntungkan sistem yang sedang memperluas kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia ketiga. Kenapa? Yang pertama, pemerintah-pemerintah dunia ketiga yang paling memboroskan dana akan beruntung. Yang kedua, lewat pemutihan semacam itu, para nege ri yang berhutung akan kena aib, sampai di masa mendatang mereka akan mengalami kesulitan mendapatkan dana baru dari sumber manapun.
Selain itu, tidak sedikit negeri yang sudah tidak mampu membayar utang, sehingga sekarang mereka hanya bisa melunasi separuhnya. Jika 50% dari hutang mereka diputihkan, itu hanya berarti mereka harus membayar 100% dari 50% yang tersisa. Tidak ada gunanya untuk negeri yang berhutang, tetapi lembaga-lembaga finansial di barat bisa pura-pura bermurah-hati. Susan George tidak mengungkit kekhawatiran ini untuk membenarkan sepak-terj ang lembaga-lembaga finansial. Sebaliknya, dia ingin meluaskan cakrawala para aktivis gerakan dan menyoroti masalah hutang dari semua segi, termasuk pola pengaliran sumber daya secara keseluruhan, dan tingkah-laku para elit dunia ketiga (bukan hanya di barat). Dia membuktikan bahwa untuk mencari solusi yang signifikan, tidaklah cukup kita hanya memusatkan perhatian pada masalah utang. Pengalaman kampanye Jubilee 2000 membenarkan argumentasi Susan George. Kesuksesan kampanye tersebut dalam mengekspos dampak hutang justeru merangsang diskusi baru di kalangan akt ivis.
Beberapa tokoh terkemuka dalam kampanye itu beranggapan, mereka harus bersikap moderat guna mengambil hati pemerintah-pemerintah, dan bahkan mengharap dukungan dari orang-orang yang sudah terbukti reaksioner seperti ahli ekonomi Jeffrey Sachs — walau si Jeffrey Sachs itu masih menyetujui program neo-liberal yang dijalankan oleh presiden Ekuador, Jamil Mahaud, yang ditumbangkan jari jabatannya oleh pemberontakan masyarakat adat pada bulan Januari 2000. Mereka mengucapkan selamat kepada pertemuan puncak para pemimpin G8 di tahun 1998, karena para pemimpin itu berkenan mengakui adanya persoalan hutang. Namun setelah menyaksikan bahwa pemerintah-pemerintah tersebut belum juga mengambil langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan persoalan itu, para aktivis mulai merevisi taktik-taktik moderat mereka. Salah satu ak tivis menyimpulkan: “Saya menyesal bahwa kami mengucapkan selamat kepada negara-negara G8 … Namun [yang penting] kampanye kita telah membuat masyarat lebih melek mengenai sebab-musabab kemiskinan.”
Sebagai kasus untuk melihat permasalahan utang luar negeri negara dunia ketiga, maka Indonesia dapat dijadikan contoh kasus. Secara mendasar, masalah utang yang dihadapi Indonesia benar-benar telah sampai pada batas mencekik leher. Selain memikul beban utang luar neger i sebesar 150 milyar dolar AS (per Desember 1998), Indonesia kini juga memikul beban utang dalam negeri sebesar Rp650 triliun. Dengan demikian, secara keseluruhan Indonesia kini menanggung beban utang sekitar Rp2.100 trilyun!
Padahal, akibat volume utang luar negeri sebesar 150 milyar dolar AS itu, terdiri dari utang pemerintah sebesar 85 milyar dolar AS dan utang swasta sebesar 65 milyar dolar AS, Indonesia kini praktis terpuruk menjadi negara pengutang terbesar nomor lima di dunia. Gambaran yang jelas tampak pada APBN 2002. Dari total APBN 2002 sebesar Rp332,5 triliun, yang digunakan untuk membayar bunga utang luar negeri berjumlah Rp27,4 triliun. Jika ditambah dengan bunga utang dalam negeri sebesar Rp59,6 triliun, volume APBN 2002 yang dipakai untuk membayar bunga utang meliputi 26,17 persen. Dampak pembayaran utang yang lebih dari seperempat volume APBN itu adalah pada membengkaknya de fisit anggaran negara. Sebagaimana tampak dalam APBN 2001, defisit anggaran negara tercatat sebesar Rp 54,3 triliun. Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk menutupi defisit anggaran negara itu antara lain adalah menggenjot penerimaan pajak, menjadualkan dan membuat utang luar neger i baru, mengurangi subsidi, menjual aset perusahaan swasta yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan melakukan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Karena itu, berkaitan dengan masalah utang, maka penghapusan utang merupakan langkah strategis (bukan sebagai satu-satunya jalan) mengurangi angka kemiskinan. Tindakan ini harus diambil mengingat pembayarannya sangat membebani anggaran belanja negara sehingga pos-pos pengeluaran lainnya harus dikurangi, terutama pelayanan di sektor publik. [IMF yang menjalankan]praktek totalitarianisme ekonomi telah membunuh : tidak dengan peluru, tetapi dengan wabah kelaparan
Dengan dikuranginya anggaran untuk pelayanan publik ini, maka pelayanan yang seharusnya menjadi hak dari masyarakat di minimalisasikan sehingga kondisi asimetris dalam masyarakat terpelihara. Selain itu, utang juga tidak dapat dilepaskan dari internalnya sendiri. Dalam prosesnya, utang tidak dapat lepas dari foktor tarikan dan dorongan. Faktor tarikan sebagai kebutuhan suatu negara untuk pembiayaan pembangunan, dan faktor dorongan terletak pada lembaga kreditor. Dalam hal ini faktor dorongan dijadiakn fokus karena utang tidak hanya disebabkan oleh kebutuhan negara debitor tetapi kebutuhan kreditor juga, yang mana apabila dana yang tersedia tidak di cairkan maka lambat laun dana tersebut akan mneguap denagn sendirinya. Dari sini dapat juga ambil konklusi, utang juga mengandung maksud politis, menciptakan ketergantungan dan memelihara status quo pihak kreditor.
Indonesia Dalam Pergulatan Globalisasi
Melihat fenomena dewasa ini, Indonesia yang digambarkan bak putri cantik nan jelita oleh Presiden Nixon sedang tertatih-tatih dengan “luka” cukup parah ; privatisasi digalakkan, kedaulatan politik mulai terkikis, kemiskinan merajalela, dan ketergantungan yang sangat besar, me ngalami hambatan dalam melaju menuju cita-cita. Dengan kondisi seperti ini, bangsa yang sangat besar ini menjadi “een natie van
koelie, en een koelie onder de natie”, tidak merdeka atas dirinya sendiri. Situasi demikian ini bukanlah karena Takdir, terjadi akibat runtuhnya system yang berkeadilan dan ketiadaan karakter kuat atas fenomena sistemik ini.
“Runtuhnya” kedaulatan ini tidak semata-mata terjadi dalam dimensi Negara-bangsa, dimensi socialbudaya juga terkikis gesekan hebat dari system ini, kapitalisme global. Disadari atau tidak, masuknya modal-modal asing dalam pengelelolaan sumber daya ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, patronase terhadap globalisasi neo-liberalisme, dan utang luar negeri yang menumpuk, semakin memperberat derap langkah bangsa ini dalam menegakkan supremasi kedaulatan Negara.
Dalam konteks ini, globalisasi menjadi kat alisator proses menurunnya peran Negara-bangsa dalam berbagai segi seperti yang dikatakan Ohmae, kemajuan 4 I (industri, investasi, informasi, dan individu) mempunyai signifikansi dalam memicu proses globalisasi. Dengan 4 I, Negara-bangsa mengalami degradasi peran secara fundamental karena sebagian kedaulatannya, bahkan sebagian besar, diserahkan dalam mekanisme pasar. Akselerasi yang begitu cepat dengan bantuan katalis-katalis tersebut menyebabkan perlindungan terhadap yang lemah mendapatkan gesekan keras karena pasar tidak pernah membicarakan agenda social dan pengentasan kemiskinan, hanya memikirkan profit dan profit.. Dari sini, merunut pemikiran Ulrich Beck yang mengkategorikan globalisasi meliputi : Deteritorialisasi, trans-nasionalisme, multi-lokal, dan trans-lokal menjadikan pasar bebas ancaman utama terhadap eksistensi Negara-bangsa secara ekonomi, politik, dan budaya mengakibatkan ketiadaan frontiers sehingga intervensi dapat masuk dengan mudah.
Dalam prosesnya, globalisasi tidak hanya terbatas pada dimensi ekonomi belaka, terhubung dengan dimensi-dimensi lainnya sebagai bentuk adanya keterjarakan ruang-waktu. Dimensi-dimensi tersebut dapat digambarkan dalam diagram berikut: Sistem Negara-bangsa
Ekonomi kapitalis dunia Tatanan Militer Dunia
Pembagian kerja internasional Ekonomi kapitalis dunia yang menyebar pada seluruh sendi kehidupan berbangsa menyebabkan pengaruh dalam perubahan tatanan system Negara-bangsa. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh pasar modal dan uang dalam menentukan rah kebijakan. Dengan globalisasi ekonomi (pasar bebas)
sebagai wacana dominant, kaki-kaki kapitalisme global bercokol dengan mengekspansi keseluruhan dimensi kehidupan social.
Negara-bangsa sebagai suatu entitas social dan politik juga mengalami pergeseran. Seperti y ang dapat dilihat dalam fenomena pasar uang dan modal. Keduanya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perjalanan suatu Negara. Indonesia dapat dijadikan contoh bagaimana pasar uang dan modal mempengaruhi kehidupan social dan politik serta kebijakan Negara. Krisis moneter pada tahun 1997 merupakan bukti nyata, ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyebabkan krisis multidimensi yang mengakibatkan perubahan kondisi sosio-politik. Volatilitas nilai mata uang ini (sebagai bentuk ekonomi kapitalis dunia) mempunyai daya c engkeram hebat dalam mempengaruhi proses-proses politik saat itu. Karena itu, dinamika sistem sistem Negara-bangsa tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan hard power Negara lain atau dinamika internal melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika eksternal, jaringan-jaringan kapitalisme global. Globalisasi yang memberikan tekanan dimensional, tekanan dari atas, bawah, samping kanan, dan samping kiri mempunyai signifikansi dalam prosesnya terhadap kondisi ekonomi politik di Indonesia.
Apa yang Harus Dilakukan: Reformasi atau Revolusi?
Sebuah gerakan yang mempersatukan banyak sektor, kampanye serta grup akan menghadapi perdebatan yang intensif, mengenai stategi, taktik dan orientasi teo ritis. Masalah pertama yang menjadi hangat di antara para aktivis anti globalisasi adalah: apakah organsasi keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia bisa dibentuk kembali, atau harus dibubarkan saja? Pandangan mayoritas dalam serikat-serikat buruh Amerika (AFL-CIO) mengajukan kepada mereka sebuah “klausul sosial” yang mesti dimuat dalam semua persetujuan perdagangan untuk menentukan standar-standar perburuhan minimal: melarang penggunaan tenaga kerja anak, melarang diskriminasi, dan menjamin hak bersikat bagi kaum buruh.
Dengan demikian, organisasi keuangan internasional tersebut diharapkan akan mengenakan sanksi tidak hanya kepada badan-badan yang menhalangi pasar bebas, tetapi juga kepada pihak yang menindas kelas buruh. Steven Shrybman, seorang jurubicara organisasi-organisasi pelindung lingkungan alam, menganjurkan agar IMF dan Bank Dunia ditransformasikan sampai badan itu akan “mengkhawatirkan masalah perubahan iklim planet kita dan bukan hanya profit perusahaan-perusahaan obat-obatan transnasional.” Bahkan sering diusulkan bahwa Bank Dunia dan IMF bisa direformasi melalui suatu “ visi alternatif”, yang mentuntut agar lembaga serta perusahaan internasional menjadi “lebih terbuka dan bertanggung- jawab”.
Di sisi lain, Walden Bello menegaskan bahwa “upaya pembentukan kembali organisasi keuangan internasional adalah salah”. Dia belum mengajukan tuntutan mutlak agar mereka dibubarkan, tetapi memang menyerukan agar sebuah “kombinasi langkah aktif dan pasif diterapkan untuk mengurangi kekuatan lembaga-lembaga keuangan tadi secara radikal, sehingga hanya menjadi satu lembaga antara banyak lembaga lain yang akan saling periksa.” Tuntutan pembubaran semakin dapat dukungan kar ena mereka itu tidak menggubris kekhawatiran-kekhawatiran para penentang. Perdebatan yang mirip juga terjadi disekitar demonstrasi besar-besaran di kota Millau, Perancis selatan. Para pembicara yang ingin “membongkar” lembaga seperti WTO, IMF, dan Bank dunia dicap “utopis” oleh pihak moderat, dan bahkan dituduh bersikap “sealiran” dengan para pendukung pasar bebas (yang menolak semua pengaturan ekonomi). Perdebatan mengenai reformasi atau penghapusan lembaga-lembaga ini berkaitan dengan satu perdebatan lain: mengenai alternatif mana yang harus diperjuangkan.
Dari paparan perdebatan diatas, dengan merujuk pada dimensi institusi glbalisasi (lihat diagram) dan desakan-desakan yang diakibatkan oleh globalisasi (dari atas, dari bawah, dan samping kiri-kanan), kapitalisme dalam hal ini menjadi motor dari serangkaian elemen-elemen pendukung globalisasi. Untuk itu, pemisahan permasalahan antara globalisasi dan kapitalisme sangat diperlukan. Dalam hal ini, menurut saya, yang harus dijadikan fokus adalah sisi kapitalismenya. Mengikuti teori domino, apabila kapitalisme dihancurkan secara otomatis globalisasi juga akan berwarna lain. Karena itu, apakah reformasi atau revolusi sebagai jalan keluarnya, maka merunut pendapat diatas, revolusi-lah jawabannya. Pilihan ini didasari atas kuatnya tentakel kekuasaan kapitalisme global yang mengakar sehingga untuk mewujudkan perubahan untuk tatanan dunia baru perlu diadakan suatu revolusi. Revolusi disini tidak terbatas pada pandangan marxis, melainkan suatu revolusi untuk memecah homogenitas yang terjadi di dunia, karena another world is possible.
KESIMPULAN
Hubungan antara globalisasi dan neoliberalisme dapat diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Sebagaimana dikemukakan Lafontaine, berbicara mengenai globalisasi sama artinya dengan berbicara mengenai penyebarluasan neoliberalisme. Sebaliknya, berbicara mengenai neoliberalisme sama artinya dengan berbicara mengenai ekspansi kepentingan para pemodal negaranegara kaya. Para pemodal negara-negara kaya inilah terutama yang menjadi sponsor globalisasi. Sebab itu, mudah dimengerti bila penyebarluasan globalisasi hampir selalu berjalan beriringan dengan penyebarluasan neoliberalisme. Dengan memahami globalisasi sebagai pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal, bahaya globalisasi bagi negara-negara miskin menjadi mudah untuk dipetakan. Secara umum, globalisasi adalah sebuah proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama berupa pengerdilan peran negara dan peningkatan peranan pasar, sehingga memudahkan pengintegrasian perekonomian negara-negara miskin itu ke dalam genggaman para pemodal negara-negara kaya.
Dengan demikian, bila secara internasional globalisasi menyebabkan semakin meningkatnya ketergantungan negara-negara miskin, secara domestik ia menjadi pemicu porak porandanya fondasi integrasi sosial yang terdapat dalam masyarakat. Karena itu, pinsip sosio-demokrasi harus diterapkan karena segala macam persoalan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. Untuk mewujudkan hal ini, maka revolusi terhadap proses homogenisasi yang mengarah pada universalitas harus dihentikan untuk mencapai demokrasi, kemerdekaan, dan keadilan sejati.
DAFTAR PUSTAKA Frank J. dan Boli, John ed. 2000. The Globalization Reader. Blackwell Publisher: Massachusetts Robert Gilpin dan J. M. Gilpin. 2002. Tantangan Kapitalisme Global. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta Adams, . Ian 2004. terj. Ali Noerzaman. Ideologi Politik Mutakhir. Qalam: Jogjakarta Ohmae, Kenichi. 2002. Hancurnya Negara-Bangsa. Terj. Ruslani. Qalam : Jogjakarta Ohmae, Kenichi. “Deficit Myths”. Wall Street Journal. 30 Juli 1985 Jurnal Basis, No. 01-02, tahun ke-52. 2003. Kanisius: Jogjakarta Jurnal Keadilan Global. Vol. 01 Tahun I 2003. Institute for Global Justice: Jakarta Marcos , Subcomandate. 2005. Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan (Komunike-Komunike Zapatista Melawan Neoliberalisme. Terj. Ronny Agustinus. Resist Book: Jogjakarta Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Giddens, Anthony. 2004. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Terj. Nurhadi. Kreasi Wacana: Jogjakarta B. Herry Priyono. 1997. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta Institute For Global Justice-Jakarta. Cancun Up-Date.Edisi 2, 10 September 2003 Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalization and it Discontens. W.W. Norton & Company: New York Winarno, Budi. 2004. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru: Peran Negara Dalam Pembangunan. Tajidu Press:Jogjakarta Winarno, Budi. 2004. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru: Peran Negara Dalam Pembangunan. Tajidu Press: Jogjakarta Fakih, Mansour. 2004. Bebas dari Neoliberalisme. Insist Press: Jogjakarta
Carunia Mulya Firdausi. 2000. Tantangan dan Peluang Globalisasi bagi Perekonomian Nasional, Indonesia Menapak Abad 21 :Kajian Ekonomi Politik, cetakan ke-1. Milenium Publisher: Jakarta
Surabaya, 7 Desember 2006 (Tugas MK PPNB)
Film The New Rulers of The World yang diterbitkan tahun 2002 merupakan karya seorang jurnalis terkemuka dunia berkebangsaan Australia yang bekerja di Inggris bernama John Pilgers. Dalam film tersebut Pilgers beserta kru-krunya berusaha mengungkap sisi sebenarnya dari globalisasi. Dimana globalisasi yang didesain guna menguntungkan segelintir penguasa pasar dan menyengsarakan para pekerja dan menjerat masyarakat yang lain. Film ini mengambil contoh situasi kesenjangan yang terjadi di Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan kekayaan alam yang melimpah tetapi berada dalam kuasa investor asing yang mendapatkan legalitas dari pemerintah setempat. Kandungan film ini dapat di bagi menjadi tiga poin besar, yaitu eksploitasi pekerja (buruh), kasus utang luar negeri, dan globaliasi itu sendiri. Mengenai buruh, Pilgers memaparkan kondisi buruh pabrik di Indonesia yang bekerja di perusahaan multinasional seperti Nike, Adidas, GAP, jauh dari hak-haknya sebagai pekerja, di mana mereka memperoleh upah yang rendah, jam kerja yang tidak teratur, dan kondisi tempat kerja yang mengenaskan, dipaksa untuk terus bekerja dan seakan tidak punya pilihan lain selain terus melakukan apa yang diperintahkan oleh bos-bos pabrik. Dalam memperlihatkan adanya ketidakadilan yang diterima oleh para buruh pabrik tersebut, Pilgers memaparkan salah satu contoh dari produksi celana tinju yang di jual seharga Rp. 112.000 di toko dan dari penjualan tersebut seorang buruh hanya memperoleh upah sebanyak Rp. 500 dan penjualan sepatu olah raga seharga Rp. 1,4 juta di toko dan dari penjualan tersebut para pekerja hanya memperoleh upah sebesar Rp.5000. Hal ini memperlihatkan bahwa ada pencurian nilai lebih yang dilakukan oleh perusahaan terhedap para pekerja. Dikarenakan perusahaan tidak dapat mengambil keuntungan dari bahan baku yang nilainya habis setelah produksi, maka pihak perusahaan pun mengambil keuntungan dengan mengharuskan para pekerja bekerja melebihi jam kerja yang wajar guna memproduksi produk dengan lebih banyak dan lebih cepat, sedangkan mereka di bayar dengan nilai sangat kecil jauh dari nilai penjualan produk yang mereka hasilkan, sehingga mereka pun tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk kasus utang luar negeri, Filger memaparkan bahwa utang luar negeri telah menjerat Indonesia menjadi negara penghutang (idealnya sepanjang masa) sejak rezim Soeharto dimulai. Rezim yang memiliki tanda tanya besar dalam awal pemerintahannya, di mana pemerintahan tersebut berkuasa setelah Indonesia berada dalam situasi pelanggaran HAM terbesar dengan perkiraan pembunuhan rakyat mencapai angka 5 juta orang, dan mengantarkan Soeharto ke puncak pemerintahan sebab dianggap sebagai “pahlawan” dalam mengatasi persoalan tersebut. Peminjaman utang yang berikan oleh badan keuangan dunia yaitu IMF dan World Bank (WB) di awal kepresidenan Soeharto yang dimaksudkan untuk membangun Indonesia yang baru keluar dari situasi krisis sosial dan dijangkiti perekonomian yang ambruk, dibarengi dengan pengesahan undang undang penanaman modal asing. Undang undang tersebut menjadi pintu gerbang Indonesia sebagai lahan empuk bagi para korporasi dunia dalam melebarkan pengaruhnya, dan dalam mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia serta menjadikan Indonesia sebagai pasar stategis dengan jumlah masyarakat (konsumen) yang sangat besar. Dari kasus tersebut terlihat adanya sistem liberalisasi perekonomian suatu negara yang dipengaruhi oleh pihak eksternal. Dan dalam menelaah hal tersebut, Pilgers melakukan wawancara langsung dengan petinggi IMF dan WB. Pilgers mempertanyakan alasan lembaga keuangan tersebut tetap memberikan pinjaman kepada rezim yang diketahui korup dan dengan mekanisme yang tidak transparan.
Dan ternyata dari kebijakan pemberian utang tersebut, WB dan negara-negara kreditor mengambil keuntungan melalui proyek-proyek yang dikerjakan oleh perusahaan multinasional dari negara-negara asal masing-masing dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang digadaikan dengan diadakannya pertemuan oleh para penguasa pasar global dengan membahas pembagian kekuasaan atas sektor-sektor strategis yang ada d i Indonesia. Sehingga meskipun WB dan negara kreditor memberi pinjaman 100%, namun sebenarnya sebagian besar uang tersebut digunakan untuk membuka lapangan pekerja negara kreditor dan hanya sekitar separuh uang pinjaman tersebut benar-benar diperuntukkan untuk membangun Indonesia dan masyarakat miskinnya. Persoalan Globalisasi sendiri yang telah menjadi alasan para korporasi asing untuk memberikan standar kamajuan suatu negara telah berubah menjadi hal wajib yang harus dipenuhi oleh negara tersebut. Di mana makna globalisasi yang dimaksud oleh pihak yang mengagungagungkannya ialah berarti modal- uang besar- yang dapat dipindahkan ke mana dan kapan saja dengan mudah. Tetapi ternyata globaliasi yang didengung-dengungkan oleh Amerika dan negara kapitalis liberal bahwa akan membawa kemakmuran bagi umat manusia ternyata mengakibatkan jurang pemisah yang begitu besar antara si kaya dan si miskin, dan globaliasi pun menimbulkan hutang-hutang yang sangat menyengsarakan. Di tahun 1998 menjadi cambukan besar bagi sistem globalisasi, dimana setelah runtuhnya perekonomian Asia yang juga sangat berdampak besar bagi Indonesia hingga membuat masyarakat Indonesia memaksa penurunan Soeharto sebagai presiden. Masa kepresidenan Soeharto selama 3 dekade ternyata telah menyelundupkan kekayaan negara kurang lebih 10 miliar dollar dari total utang luar negeri sebesar 30 miliar dollar, dan semua nilai yang dinikmari oleh Soeharto dan kroni-kroninya, kini menjadi beban dan harus dibayar oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah masyarakat kecil, hal ini dibebankan dengan pencabutan subsidi, tingginya harga pendidikan dan kesehatan, padahal masyarakat kecil tidak pernah mendapatkan uang tersebut. Tidak hanya di Indonesia, penentangan terhadap besarnya pengaruh globaliasi yang membawa dampak sangat besar terhadap pembentukan perekonomian yang menjadi jurang kesejahteraan masyarakat pun terjadi di beberapa negara, dan yang paling mengejutkan terjadi di Seattle, Amerika Serikat. Hal tersebut memperlihatkan bahwa persoalan globaliasi bukanlah hal kecil yang hanya memperhitungkan keuntungan pihak tertentu, tetapi dalam arus globaliasi, masyarakat harus peka terhadap dampak sosial-ekonomi yang akan ditimbulkannya, karena globalisasi ditangan yang tidak tepat menjadi penjara bagi kehidupan masyarakat luas.
Film The New Rulers of The World merupakan film yang membawa tema mengenai globalisasi yang khususnya terjadi di indonesia. Film dokumenter yang dibuat oleh John Pilger ini menunjukkan bagaimana negara kapitalis telah menjadikan negara dunia ketiga sebagai tempat mereka “mendulang” emas dan intan bagi kantong mereka sendiri tanpa memperhatikan dampak dari apa yang telah mereka lakukan pada negara yang mengalami neo-kolonialisme. Dalam Film ini, John Pilger memberikan contoh globalisasi yang terjadi pada Indonesia. Pilger memberikan contoh dengan menunjukkan bagaimana pabrik-pabrik besar tempat barang-barang ternama dibuat, memperlakukan pekerja dengan sangat memprihatinkan. Para pekerja te rsebut selain di upah dengan sangat rendah juga dipekerjakan di tem pat yang sangat jauh dari standar kesehatan yang seharusnya. Pekerja yang mengalami eksploitasi tersebut tidak dapat menyuarakan aspirasi mereka karena mereka diancam akan tidak dipekerjakan bila melakukan hal tersebut. Rendahnya lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia tentu menjadi salah satu faktor penyebab masalah ini. Hasilnya banyak dari penduduk rela bekerja apa saja hanya untuk mendapatkan uang agar bisa mencukupi kehidupannya sehari-hari. Hal ini pun dimanfaatkan oleh negara-negara kapitalis untuk membuka pabrik-pabrik besar. Negara kapitalis tersebut mendapatkan keuntungan karena mereka mendapatkan tenaga kerja dengan jumlah besar tanpa harus mengeluarkan uang banyak untuk mengurusi kesejahteraan mereka. Selain itu film ini juga mengungkapkan bagaimana organisasi seperti World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF), dan World Bank memanfaatkan globalisasi untuk memasuki negaranegara dunia ketiga seperti Indonesia agar bisa mengintervensi kebijakan negara terse but demi keuntungan yang ingin dicapai oleh organisasi-organisasi tersebut. Organisasi-organisasi tersebut berhasil masuk ke Indonesia pada rezim Soeharto. Mereka berhasil menjerat Indonesia dengan memberikan pinjaman dengan dalih sebagai pembangunan Indonesia. Pada faktanya sebagian besar pinjaman terse but tidak digunakan untuk melakukan pembngunan nasional tapi dikorupsi oleh Soeharto beserta kroni-kroninya. Pada saatnya pinjaman tersebut telah habis masa pinjamannya, rakyat lah yang menerima beban untuk mengambalikan pinjaman tersebut, bukan Soeharto atau kroni-kroninya yang telah mengantongi uang pinjaman tersebut untuk keuntungan pribadi mereka. Walaupun globalisasi tidak hanya menimbulkan dampak negatif saja, namun dalam film ini Pilger menunjukkan bagaimana buruknya globalisasi yang terjadi di Indonesia. Terlihat bagaimana tenaga kerja yang tereksploitasi tanpa dapat menyuarakan hak yang seharusnya ia dapat karena ketergantungan kehidupannya pada pekerjaannya sebagai buruh. Selain itu juga terlihat jelas kesenjangan yang t erjadi yang membuat mereka yang kaya akan menjadi semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini tentu dapat membuat jurang perbedaan tersebut semakin tinggi yang akhirnya dapat mempersulit untuk terjadinya integrasi sosial karena perbedaan kepentingan akan si kaya dan si miskin. Dibalik itu semua dampak yang ditimbulkan dengan adanya globalisasi adalah semakin meningkanya perkembangan dunia khusunya dalam hal tekhnologi dan informasi.