Tenggelam : Sebuah Update
J Matthew, 1 BSc, MB ChB, DipPEC (SA), FAWM; C Robertson, 2 MB ChB, FCEM; R Hofmeyr, 3 MB ChB, DipPEC (SA), MMed (Anaes), FCA (SA),FAWM Departemen kegawatdaruratan kedokteran, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas KwaZulu-Natal, Durban; dan life saving Afrika Selatan, Durban, lembaga penyelamatan laut nasional Afrika Selatan, Cape T own, Afrika Selatan 3 Departemen Anestesi dan kedokteran perioperatif, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Cape Town; dan WildMedix, Cape Town, Afrika Selatan Koresponden penulis: J Matthew (
[email protected] [email protected] )
Tenggelam didefinisikan sebagai proses mengalami gangguan pernafasan baik pada kasus submersion kasus submersion atau pun immersion di immersion di dalam air. Morbiditas dan mortalitas pada kasus tenggelam adalah beban kesehatan masyarakat yang belum diakui di Afrika Selatan. Upaya berkelanjutan yang berkesinambungan sedang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran di antara pengunjung area rekreasi perairan, tetapi pencegahan dan penanggulangan kasus tenggelam tetap sulit dicapai karena pelaporan yang buruk dan sumber daya yang terbatas. Prioritas untuk tatalaksana prarumah sakit dan gawat darurat korban tenggelam termasuk di dalamnya memastikan patensi jalan napas, ventilasi yang memadai, oksigenasi tambahan dan rewarming untuk pasien dengan denyut nadi masih teraba, dan resusitasi jantung paru serta rewarming untuk untuk pasien dengan denyut nadi yang tidak teraba.
S Afr Med J 2017; 107 (7): 562-565. DOI: 10.7196 / SAMJ.2017.v107i7.12609
Skenario
Seorang Matriculan Matriculan berusia 18 tahun pergi ke pantai bersama teman-teman untuk merayakan hasil ujian sekolahnya. Pesta yang mereka rayakan termasuk didalamnya kegiatan mengkonsumsi alkohol. Saat menjelang senja, dia pergi
berenang bersama pacarnya. Tidak lama setelah itu dia terlihat melambai-lambai dengan panik ke teman-temannya di pantai. Kemudian tidak lama setelah itu, dia telah menghilang di bawah permukaan air. Teman-temannya berenang, dan setelah 10 menit dia berhasil ditemukan dan di bawa ke tepi pantai. Mereka segera memulai resusitasi jantung paru (CPR), sambil meminta bantuan.
Latar Belakang
Meskipun penting bagi kehidupan, air, yang terdiri dari > 60% massa tubuh dan mencakup > 75% permukaan planet, terus menjadi ancaman pada lapangan kerja dan area wisata rekreasi bagi manusia. Kasus tenggelam pada populasi orang dewasa muda di Afrika Selatan (SA) sayangnya sangat umum. Kemampuan berenang yang buruk karena kurangnya akses ke fasilitas, seiring dengan penggunaan alkohol dan mudahnya akses ke sungai, danau, dan laut merupakan faktor yang berkontribusi. Hal ini diperparah oleh sumber daya yang relatif terbatas untuk menanggapi insiden kasus tenggelam di wilayah yang luas dan tidak terpantau, mengakibatkan meningkatnya beban penyakit yang mempengaruhi kelompok populasi dewasa muda di SA. Pengenalan tentang kasus tenggelam juga merupakan suatu masalah, karena tidak setiap korban tenggelam dapat menunjukkan bahwa mereka membutuhkan pertolongan (Gambar 1). Ulasan ini membahas bukti dan rekomendasi tentang kasus tenggelam dari perspektif Afrika, dan menciptakan lingkup hidup sehat agar selangkah lebih dekat untuk mengembangkan pedoman bagi negara Afrika.
Definisi
Tenggelam didefinisikan sebagai proses mengalami gangguan pernafasan baik pada kasus perendaman atau pencelupan dalam air. [1] Kasus tenggelam diklasifikasikan sebagai tenggelam dengan kematian, tenggelam dengan morbiditas, atau tenggelam tanpa morbiditas. [1] Istilah lama lainnya (seperti wet , dry atau near drowning ) dianggap tidak membantu, dan telah ditinggalkan.
Epidemiologi
Secara dramatis, epidemiologi kasus tenggelam bervariasi di seluruh dunia, tetapi lebih parah di negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Data AS melaporkan ~ 4 000 kematian tenggelam, 8.000 dirawat inap dan 31.000 kunjungan di unit gawat darurat (ED) pertahun untuk anak-anak berusia <19 tahun. [2] Sayangnya, tidak ada data yang diterbitkan secara konsisten untuk SA, tetapi informasi awal dari Lifesaving South Africa (LSA) menunjukkan kecenderungan serupa dalam demografi usia, meskipun angka yang sebenarnya sebagian besar tidak diketahui. [3] Ekstrapolasi dari data patologi forensik di Western Cape memberikan perkiraan 4/100.000 kasus tenggelam yang fatal tiap tahun, yang serupa dengan estimasi WHO untuk negara-negara berpenghasilan rendah di Afrika. Meskipun hanya diperkirakan 1 dari 4 kasus yang dilaporkan, Afrika memiliki tingkat kasus tenggelam tertinggi di dunia.
Gambar 1. Bertolak belakang dengan kepercayaan umum, korban yang tenggelam
sering kali tidak dapat memberi sinyal butuh pertolongan, dan sering tidak diperhatikan.
Pengembangan panduan terbaru
Pedoman yang baru-baru ini diperbarui untuk pencegahan, tatalaksana prarumah sakit dan tatalaksana saat di ruang gawat darurat pada kasus tenggelam telah diterbitkan oleh Wilderness Medical Society (WMS). [5] Namun, penerapan pedoman
internasional
dalam
kondisi
sumber
daya
yang
terbatas
harus
dipertimbangkan dengan hati-hati. Di SA, pedoman WMS sedang menjalani peninjauan oleh Wilderness dan Expedition Medicine Society of Southern Africa untuk memastikan relevansinya terhadap keadaan di SA. Meskipun demikian, mereka telah mengajukan standar praktik berbasis bukti, di mana artikel utama dan penelitian penting lainnya di lapangan sedang diintegrasikan dengan Strategi Pencegahan Western Cape yang saat ini tengah
dikembangkan oleh LSA, the National Sea
Rescue Institute (NSRI) of SA, Western Cape Provincial Disaster Management, dan the SA Medical Research Council. Tujuan utamanya adalah memperluas studi ini untuk mengembangkan strategi nasional.
Pencegahan Tenggelam
Kasus tenggelam dikaitkan dengan prognosis yang umumnya buruk, dan oleh karena itu fokus awalnya harus selalu pada strategi pencegahan yang pasti dan berulang. Siapa pun yang terlibat dalam pekerjaan dan aktivitas yang berhubungan dengan area rekreasi perairan harus menjalani pemeriksaan medis dasar untuk menyingkirkan penyakit medis yang memungkinkan mereka rentan kehilangan kemampuan bertahan di dalam air. Secara khusus, anak-anak dengan riwayat kejang dan sindrom QT berkepanjangan harus diperhatikan karena dianggap berisiko. [6,7]
Upaya terpadu harus dilakukan untuk mendidik anak-anak dan remaja tentang cara bertahan hidup saat berenang (mengapung), yang harus diintegrasikan ke dalam
program kecakapan hidup di sekolah. [8] Pelampung pribadi harus disediakan, terlepas dari kemampuan berenang, terutama pada anak-anak. Pengawasan orang dewasa -khususnya di lingkungan rumah- sangat penting untuk mencegah terjadinya tenggelam. [9] Penutup kolam renang dan penghalang untuk mencegah akses ke kolam oleh anak-anak kecil sangat penting, tetapi sayangnya masih tidak ditetapkan di SA.
Di masyarakat pedesaan dengan pendapatan yang lebih rendah di mana kasus tenggelam biasanya terjadi di lingkungan air tawar (bendungan, sungai, danau, ember, pemandian, parit, saluran pembuangan atau sumur), pencegahan sangatlah menantang. Konsumsi alkohol sebelum dan selama berenang harus dicegah. [7] Berenang di area di mana ada penjaga pantai yang berjaga juga harus dianjurkan dan diberlakukan.
Tatalaksana Pra-rumah sakit
Penyelamatan
korban
tenggelam
membutuhkan
keterampilan
khusus,
kemampuan fisik, dan pelatihan bersertifikat. Penyelamatan yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi kriteria ini dapat memberikan ancaman berisiko terhadap para tenaga penyelamat. [5] Seseorang tanpa pelatihan yang sesuai harus berusaha menjangkau korban, sambil memastikan bahwa mereka telah mengamankan diri ke satu titik aman. Jika ini tidak berhasil, alternative lain yang dapat dilakukan adalah melemparkan perangkat apung (pelampung) ke korban. Berdasarkan skenario, ini mungkin saja merupakan respons pertama sembari mencari atau meminta bantuan. Jika ada, perahu dapat digunakan untuk menjangkau korban. Tidak satu pun dari upaya ini yang dapat memberikan ancaman berisiko terhadap para tenaga penyelamat.
Penyelamat terlatih bekerja sesuai tingkat pengalaman, keterampilan, dan kemampuan fisik mereka, dan menggunakan peralatan yang tersedia. Resusitasi dalam air sulit dilakukan, dan seharusnya hanya boleh dilakukan jika korban tidak
dapat dikeluarkan dari dalam air dengan cepat dan aman, dan hanya oleh penyelamat terlatih. Hanya sedikit keterangan yang menunjukkan bahwa apa pun selain ventilasi bermanfaat bagi korban tenggelam yang masih berada di dalam air. [5]
Begitu keluar dari dalam air, dan sesegera mungkin setelah mengatasi kondisi yang dapat mengancam nyawa, korban harus dihangatkan secara aktif maupun pasif, tergantung pada sarana yang tersedia. Setelah dipaastikan bahwa pasien masih memiliki denyut nadi, prioritas utama pada resusitasi adalah manajemen jalan napas, oksigenasi dan ventilasi. [10] Untuk orang yang telah tidak memiliki denyut nadi, CPR harus dimulai dengan kompresi dada, dengan memperhatikan patensi jalan napas, ventilasi dan suplai oksigen tambahan. Manuver Heimlich tidak dianjurkan pada kondisi di mana air dengan kandungan partikulat tetap menjadi penyebab obstruksi jalan napas. [11] CPR harus mengikuti prinsip-prinsip bantuan hidup dasar. [12] Defibrilasi mungkin tidak efektif terhadap pasien dengan hipotermia berat, di mana estimasi waktu terendamnya lebih lama. Fokus di sini adalah kompresi dada yang efektif disertai dengan rewarming . [13,14]
Insiden terkait cedera tulang belakang leher pada kasus tenggelam adalah ˂5%, dan biasanya dikaitkan dengan menyelam dari ketinggian. [5] Oleh karena itu, perlindungan tulang belakang tidak menjadi perhatian pada kasus tenggelam kecuali ditemukan adanya mekanisme signifikan yang dapat menyebabkan cedera tulang belakang leher, cedera lain yang parah, defisit neurologis fokal, gangguan anatomis, kelainan pada tulang belakang leher yang menyebabkan perubahan status mental. [15]
Jika hanya terdapat kondisi yang mengancam jiwa korban atau tengah melakukan CPR, korban tenggelam harus segera di bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut tanpa penundaan sedikit pun. Akses vaskular biasanya tidak begitu diindikasiakan, dan waktu yang ada seharusnya tidak dihabiskan di tempat hanya untuk mencari akses.
Tatalaksanan di bagian kegawatdaruratan medis
Prioritas awal untuk korban tenggelam adalah sama, baik dalam penanganan pra-rumah sakit maupun setelah tiba di ruang gawat darurat. Jika pasien tetap tidak memiliki denyut nadi, fokusnya adalah pada tindakan CPR yang efektif disertai rewarming , mengacu pada panduan bantuan hidup kardiovaskular yang terbaru. [12] Jika pasien memiliki denyut nadi, rewarming dan pemantauan harus dilakukan sembari memusatkan perhatian pada patensi jalan napas, oksigenasi untuk mencapai saturasi arteri perifer yang ditargetkan minimal 95%, dan ventilasi yang adekuat. [16] Jika ventilasi mekanis digunakan, sesuai indikasi, strategi perlindungan paru harus digunakan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) and FiO2 untuk mempertahankan
kadar
PaO2
yang
adekuat.
Ventilasi
non-invasif
dapat
dipertimbangkan jika tidak terdapat kontraindikasi pada pasien hipoksia dengan gejala gangguan pernapasan ringan sampai sedang. Literatur yang membahas tentang manajemen hipotermia terapeutik pada korban tenggelam masih tidak jelas. [17] Mungkin saja terdapat efek terapi hipotermia pada pasien dengan sirkulasi spontan yang kembali setelah mengalami henti jantung setelah tenggelam.
Kecuali jika diindikasikan, rontgen dada tidak begitu bermakna, karena tidak berhubungan dengan prognosis atau pun pemeriksaan lainnya. Pengukuran gas darah arteri mungkin berguna untuk menentukan titrasi oksigenasi dan kebutuhan untuk dilakukannya
ventilasi.
[18]
Meskipun
pernah
dilakukan
penelitian
yang
menggambarkan perbedaan patofisiologi tenggelam di air garam dan air tawar pada binatang, namun hal ini belum dijelaskan dan dibuktikan secara pasti terhadap manusia. [19] Kelainan elektrolit dan perubahan osmolaritas hanya terjadi ketika korban mengaspirasi air dengan dalam jumlah > 11 - 22 mL / kg, sementara penelitian menunjukkan bahwa pada manusia yang tenggelam jumlah air yang diaspirasi ~ 3 - 4 mL / kg. [18] Oleh karena itu, peran pemeriksaan elektrolit rutin masih dipertanyakan.
Diagnosis alternatif harus dipertimbangkan jika pasien terus memiliki perubahan mental status yang menetap meskipun terapi medis optimal telah diberikan. Cedera atau penyakit penyerta lainnya mungkin merupakan faktor pencetus hingga terjadinya submersion atau immersion.
Penggunaan antibiotik lebih awal dalam tatalaksana korban tenggelam di ED tidak diindikasikan. [20] Sulit untuk membedakan antara respon stres akibat tenggelam dan penyebab infeksi yang sebenarnya berdasarkan pencitraan dan pemeriksaan laboratorium, dan bahkan bedside diagnostic juga tidak sensitif. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan pada pasien dengan demam tinggi yang terus menerus dan menglami peningkatan produksi sputum. Tes procalcitonin mungkin bermanfaat untuk membantu penarikan kesimpulan klinis
kapan akan
memulai terapi antibiotik. Penggunaan steroid secara rutin juga tidak diindikasikan. [20]
Tabel 1. Klasifikasi korban tenggelam berdasarkan temuan klinis pada tampakan awal dan mortalitas yang terkait. Tanda Grade
Tanda Pernapasan
kardiovaskular
Mortalitas, %
Nadi radial teraba
0
Nadi radial teraba
0
Normal auskultasi dan tidak 0
ada batuk Normal auskultasi dan batuk
1
ringan Suara gemeretuk, busa kecil
2
di mulut
Nadi radial teraba
0.6
3
Edema paru akut
Nadi radial teraba
5.2
4
Edema paru akut
Hipotensi
19
5
Henti napas
Hipotensi
44
6
Henti jantung
Tidak teraba nadi
93
Dikutip dari Schmidt et al [5]
Tabel 2. Prediksi mortalitas pada kasus anak tenggelam: skor Orlowski Faktor Prognostik
Skor Orlowski
Umur <3 tahun
1
poin diberikan untuk
tiap faktor
prognostik yang tidak baik Estimasi
maksimal
waktu
submersi
selama >5 menit
Skor ≤2 = kemungkinan pulih 90%, skor ≥3 = kemungkinan pulih 5%
Tidak ada upaya resusitasi selama >10 menit setelah penyelamatan Keadaan koma saat tiba di ED pH gas darah arteri ≤7.10 Dikutip dari Anderson et al [22]
Korban tenggelam di ED dapat diobservasi selama 4 - 6 jam dan boleh dipulangkan jika menunjukkan gejala batuk ringan atau tidak sama sekali, tidak ada kelainan pada suara paru atau perubahan status mental, dan kondisi membaik atau tidak memburuk selama periode observasi. [5] Kriteria untuk perawatan termasuk gejala batuk yang berat, suara paru abnormal, sputum berbuih atau material berbusa di saluran napas, hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata <60 mmHg) dan perubahan status mental. [5]
Beberapa sarana prognostik telah diusulkan untuk membantu memperkirakan prognosis dari kasus tenggelam. Waktu lamanya submersi memiliki hubungan negatif dengan kelangsungan hidup. Hipoksia tetap menjadi prediktor utama dari prognosis. [21] Jika pasien bertahan hingga tiba di ED, mortalitas tetap bisa mencapai ≥93%,
tergantung pada kondisi awal korban. [5] Tabel 1 menggambarkan kondisi temuan klinis korban saat awal ditemukan beserta tingkat mortalitas yang terkait. Hipotensi sendiri menyumbang prediksi mortalitas mencapai ≥19%.
Skor Orlowski (Tabel 2) digunakan pada kasus anak tenggelam untuk menentukan prognosis. [22]
Ketika pasien tiba di ED dalam kondisi mengalami cardiac arrest dengan upaya resusitasi aktif, harus ditarik kesimpulan apakah akan melanjutkan resusitasi atau tidak. Hal ini sering kali sulit dilakukan dan secara emosional menjadi beban bagi para staf ED. Indikator yang mengarah pada prognostic yang buruk dalam penelitian kasus tenggelam adalah lama submersi selama >30 menit, dengan suhu air >6°C; lama submersi >90 menit, dengan suhu air ˂6°C; dan setidaknya dilakukan CPR berkualitas tinggi setidaknya selama 25 menit tanpa adanya pengembalian sirkulasi spontan. [5,23] Di wilayah dengan sumber daya yang lengkap tersedia, melakukan tindakan oksigenasi membran ekstrakorporeal mungkin tepat, terutama pada kasus tenggelam yang disertai dengan hipotermia.
Resolusi skenario
Korban tenggelam pada kasus ini menerima CPR langsung dari teman sekolahnya yang telah memperlajari pertolongan pertama di kelas tambahan kemampuan kecakapan hidup mereka. Respon cepat penanganan pra-rumah sakit memberikan bantuan dalam mempertahankan sistem kardiovaskular dan transportasi udara adekuat higga dapat tiba ke rumah sakit terdekat yang mampu menangani korban tenggelam, di mana ia dengan cepat dihangatkan di ruang Gawat Darurat dan dirawat di unit perawatan intensif selama 2 minggu. Dengan manajemen yang ideal, dia pulih dengan baik, dan dapat kembali memulai pendidikannya di universitas setelah liburan usai, tanpa adanya kelainan neurologis.
Kesimpulan
Manajemen dan pencegahan kasus tenggelam memiliki hubungan yang rumit di antara tanggung jawab pribadi dan keluarga, kecakapan penyelamat awal, penyedia pelatihan pra-rumah sakit, manajemen ED yang efektif berbasis bukti dan dukungan perawatan dengan prognostikasi yang tepat.
Ini juga melibatkan advokasi sosial dan pemerintah untuk melakukan promosi mengenai pencegahan yang dimulai di rumah dan diintegrasikan ke dalam program sekolah. Diperlukan pedoman dari badan ahli seperti LSA dan NSRI, serta kolaborasi dari dari berbagai lembaga multidisiplin untuk memastikan bahwa masalah ini ditangani secara nasional dan terus menerus.
Poin pembelajaran
Tenggelam didefinisikan sebagai proses mengalami gangguan pernafasan baik pada kasus submersion atau pun immersion di dalam air.
Prioritas utama dalam penanganan korban tenggelam pada tatalaksanan prarumah sakit dan ED meliputi, memastikan patensi jalan napas, ventilasi yang memadai, oksigenasi tambahan dan rewarming untuk pasien dengan denyut nadi yang masih teraba, dan CPR disertai rewarming untuk pasien dengan denyut nadi yang tidak teraba. Prioritas awal pada korban tenggelam adalah sama, baik dalam lingkup pra-rumah sakit atau pun ED.
Referensi : 1.
2.
Van Beeck EF, Branche CM, Szpilman D, Modell JH, Bierens JJLM. A new definition of drowning: Towards documentation and prevention of a global public health problem. Bull World Health Organ 2005;83(11):853-856. https://doi.org//S0042-96862005001100015 Hwang V, Shofer FS, Durbin DR, Baren JM. Prevalence of traumatic injuries in drowning and near drowning in children and adolescents. Arch Pediatr Adolesc Med 2003;157(1):50-53. https://doi. org/10.1001/archpedi.157.1.50
3.
4. 5.
6.
Donson H, van Niekerk A. Unintentional drowning in urban South Africa: A retrospective investigation, 2001 - 2005. Int J Inj Contr Saf Promot 2013;20(3):218-226. https://doi.org/10.1080/1 7457300.2012.686041 World Health Organization. Facts about injuries: Drowning. In: Injuries and Violence Prevention. Geneva: WHO, 2014. Schmidt AC, Sempsrott JR, Hawkins SC, Arastu AS, Cushing TA, Auerbach PS. Wilderness Medical Society Practice Guidelines for the Prevention and Treatment of Drowning. Wilderness Environ Med 2016;27(2):236-251. https://doi.org/10.1016/j.wem.2015.12.019 Bell GS, Gaitatzis A, Bell CL, Johnson AL, Sander JW. Drowning in p eople with epilepsy: How great is the risk? Neurology 2008;71(8):578-582. https://doi.org/10.1212/01.wnl.0000323813.36193.4d
7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16.
17. 18. 19. 20. 21.
22.
23.
Papadodima SA, Athanaselis SA, Skliros E, Spiliopoulou CA. Forensic investigation of submersion deaths. Int J Clin Pract 2010;64(1):75-83. https://doi.org/10.1111/j.1742-1241.2008.01890.x Weiss J, Gardner HG, Baum CR, et al. Policy statement – prevention of drowning. Pediatrics 2010;126(1):178-185. https://doi.org/10.1542/peds.2010-1264 Franklin RC, Scarr JP, Pearn JH. Reducing drowning deaths: The continued challenge of immersion fatalities in Australia. Med J Aust 2010;192(3):123 -126. Szpilman D, Bierens JJLM, Handley AJ, Orlowski JP. Drowning. N Engl J Med 2012;366(22):21022110. https://doi.org/10.1056/NEJMra1013317 Layon AJ, Modell JH. Drowning: Update 2009. Anesthesiology 2009;110(6):1390-1401. https://doi. org/10.1097/ALN.0b013e3181a4c3b8 Soar J, Perkins GD, Abbas G, et al. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010. Section 8. Cardiac arrest in special circumstances: Electrolyte abnormalities, poisoning, drowning, accidental hypothermia, hyperthermia, asthma, anaphylaxis, cardiac surgery, trauma, pregnancy, electrocution. Resuscitation 2010;81(10):1400-1433. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2010.08.015 Harries M. Near drowning. BMJ 2003;327(7427):1336-1338. https://doi.org/10.1136/bmj.327.7427.1336 Salomez F, Vincent JL. Drowning: A review of epidemiology, pathophysiology, treatment and prevention. Resuscitation 2004;63(3):261-268. https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2004.06.007 Watson RS, Cummings P, Quan L, Bratton S, Weiss NS. Cervical spine injuries among submersion victims. J Trauma 2001;51(4):658-662. https://doi.org/10.1097/00005373-200110000-00006 Wang TL. Management of victims with submersion injury. Ann Disaster Med 2004;2(Suppl 2):S89S96. Choi SP, Youn CS, Park KN, et al. Therapeutic hypothermia in adult cardiac arrest because of drowning. Acta Anaesthesiol Scand 2012;56(1):116-123. https://doi.org/10.1111/j.13996576.2011.02562.x Topjian AA, Berg RA, Biernes JJLM, et al. Brain resuscitation in the drowning victim. Neurocrit Care 2012;17(3):441-467. https://doi.org/10.1007/s12028-012-9747-4 Cushing TA, Hawkins SC, Sempsrott J, Schoene RB. Submersion injuries and drowning. In: Auerbach PS. Wilderness Medicine. Philadelphia: Elsevier, 2012: 1 494-1513. Gregorakos L, Markou N, Psalida V, et al. Near-drowning: Clinical course of lung injury in adults. Lung 2009;187(2):93-97. https://doi.org/10.1007/s00408-008-9132-4 Ballesteros MA, Gutierrez-Cuadra M, Munoz P, Minambres E. Prognostic factors and outcome after drowning in an adult population. Acta Anaesthesiol Scand 2009;53(7):935-940. https://doi. org/10.1111/j.1399-6576.2009.02020.x Anderson KC, Roy TM, Danzl DF. Submersion incidents: A review of 39 cases and development of the submersion outcome score. J Wilderness Med 1991;2(1):27-36. https://doi.org/10.1580/0953-98592.1.27 Tipton MJ, Golden FS. A proposed decision-making guide for the search, rescue and resuscitation of submersion (head under) victims based on expert opinion. Resuscitation 2011;82(7):819-824. https:// doi.org/10.1016/j.resuscitation.2011.02.021