Tugas Zoonosis
Nama : Yuza Al Iqwal
Nim : 1202101010113
Kelas : A/Seminar
Faktor – Faktor Risiko yang Mempengaruhi Terjadinya Malaria
Lingkungan
Lingkungan Fisik
Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 - 30° C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies, pada suhu 26,7° C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P. falciparum dan 8-11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae dan P. ovale.
Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.
Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.
Ketinggian
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, hal ini berkaitan dengan menurunya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisaberubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh dari El - nino. Dipegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria. Ketinggian paling tinggi masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut.
Angin
Kecepatan angin saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau keluar rumah adalah salah satu faktor yang ikut mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia.
Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda beda Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang terkena sinar matahari langsung, An. hyrcanus spp dan An. pinctutatus spp lebih menyukai tempat terbuka sedangkan An. barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun kena sinar matahari.
Arus air
Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang.
2. Lingkungan Biologi
Keadaan lingkungan sekitar penduduk seperti adanya tumbuhan salak, bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi kehidupan larva, karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemangsa larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mengurangi populasi nyamuk di suatu daerah. Begitu pula adanya hewan piaraan seperti sapi, kerbau dan babi dapat mempengaruhi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, bila ternak tersebut kandangnya tidak jauh dari rumah.
3. Lingkungan Sosial Budaya
Sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti
pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria. Konflik antar penduduk yang menimbulkan peperangan dan perpindahan penduduk, serta peningkatan pariwisata dan perjalanan dari daerah endemik dapat menjadi faktor meningkatnya kasus malaria.
Epidemiologi Penyakit Malaria
Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas di semua pulau dengan derajat dan berat infeksi yang bervariasi. Malaria di Indonesia dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1.800 m di atas permukaan laut. Spesies yang paling banyak dijumpai adalah P. falciparum, dan P. vivax. P. malariae, ditemukan di Indonesia bagian timur, sedangkan P. ovale pernah ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Penyakit malaria ditularkan melalui dua cara, yaitu alamiah dan non alamiah. Penularan secara alamiah adalah melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit malaria dan nonalamiah jika bukan melalui gigitan nyamuk, seperti malaria bawaan (kongenital dan penularan mekanik (transfusion malaria).
Berat ringannya infeksi malaria pada suatu masyarakat diukur dengan densitas parasit (parasite density), yaitu jumlah rata-rata parasit dalam sediaan darah positif. Berat ringannya infeksi malaria pada seseorang diukur dengan hitung parasit (parasite count) yaitu jumlah parasit dalam 1mm3 darah.
Faktor Risiko Terjadinya Toxoplasmosis
Faktor risiko adalah sesuatu yang meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami suatu penyakit atau kondisi. Ada beberapa faktor yang dianggap berisiko dalam masalah toxoplasma, salah satunya yaitu status ekonomi. Status ekonomi yang rendah, cenderung mengkonsumsi makanan yang kurang bersih, sehingga mereka rentan terhadap berbagai makanan yang dikonsumsinya. Selain dari status ekonomi yang rendah, faktor infeksi toxoplasma juga berhubungan personal hygine yang rendah pula. Mengonsumsi makanan yang kurang bersih dapat mengakibatkan ibu hamil terinfeksi toxoplasma. Selain status ekonomi, status kehamilan juga dapat dipengaruhi oleh berapa kali ibu mengalami kehamilan.
Faktor rsiko yang lain adalah :
Bayi yang lahir dari ibu yang terkena toksoplasmosis sebelum atau selama kehamilan.
Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah, seperti orang dengan: HIV/AIDS, Kanker dan Transplantasi organ.
Epidemiologi Toxoplasmosis
Penyakit toksoplasma ini tersebar diseluruh dunia pada mamalia dan burung. Infeksi pada manusia umum terjadi. Penyakit toksoplasma dapat terjadi karena adanya hospes definitif dari T. gondii adalah kucing dan hewan sejenis kucing lainnya yang mendapatkan infeksi karena kucing memakan mamalia (terutama rodentia) atau burung yang terinfeksi dan jarang sekali infeksi terjadi dari kotoran kucing yang terinfeksi. Hospes perantara dari T. gondii antara lain biri-biri, kambing, binatang pengerat, sapi, babi, ayam, dan burung. Semua binatang tersebut dapat mengandung stadium infektif (cystozoite atau bradizoite) dari T. gondii yang membentuk kista dalam jaringan terutama jaringan otot dan otak. Kista jaringan dapat hidup dalam jangka waktu panjang kemungkinan seumur hidup binatang tersebut.
Krista T. gondii dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -4°C sampai tiga minggu. Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu -15°C selama tiga hari dan pada suhu -20°C selama dua hari. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65°C selama empat sampai lima menit atau lebih maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat (Indra, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, R. dan Kiki M., 2015. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian infeksi toksoplasma pada ibu hamil di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2010-2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2) : 485-489.
Anonimus.,2014.http://www.medkes.com/2014/12/gejala-penyebab-pencegahan-toksoplasmosis.html. Diakses pada minggu 01 mei 2016.
Cahaya, I., 2003. Epidemiologi "Toxoplasma gondii". Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Husin, H.,2007. Analisis faktor risiko kejadian malaria di puskesmas Sukamerindu Kecamatan Sungai serut Kota Bengkulu Propinsi Bengkulu. Tesis. Magister Kesehatan Lingkungan Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.