KEWARGANEGARAAN FILOSOFI KEARIFAN BUDAYA LOKAL MALUKU “ALE RASA BETA RASA” DALAM MEMBENDUNG INDIVIDUALISME
Dosen Pengampu : Mohamad Anas, M. Phil
Disusun oleh: IRINA NATALENA OSANTI 115130107111015
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
BAB I LATAR BELAKANG Kondisi lingkungan Indonesia menghasilkan keanekaragaman ekosistem beserta sumber daya alam, melahirkan manusia Indonesia yang berkaitan erat dengan kondisi alam dalam melakukan berbagai aktivitas untuk menunjung kelangsungan hidupnya. Manusia Indonesia menaggapi alam sebagai guru pemberi petunjuk gaya hidup masyarakat, yang terlahir dalam bentuk kebiasaan alami yang dituangkan menjadi adat kehidupan yang berorientasi pada sikap alam terkembang menjadi guru. Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang
menyatu
dalam
bentuk
religi,
budaya
dan
adat
istiadat.
Dalam
perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Moderinisasi menciptakan manusia-manusia yang individualistik, hedonis, dan materealistik. Salah satu solusi yang paling ampuh untuk mengatasi semua dampak negatif modernisasi salah satunya adalah dengan cara membangkitkan, mengedepankan, dan menerapakan kearifan lokal (Local Wisdom) yang dimiliki oleh masyarakat di tiap-tiap daerah di Indonesia, karena rakyat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat istidat berbeda-beda dan tentunya setiap suku bangsa memiliki kearifan lokal khas tersendiri. Secara umum kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia adalah budaya gotong royong, toleransi, simpati, dan empati yang telah terpupuk sejak zaman nenek moyang. Dalam konteks Masyarakat Maluku yang secara geofisika, historis maupun sosiologis, menamakan diri sebagai “Provinsi seribu pulau”, secara filosofis, mengandaikan diri sebagai sebuah masyarakat kepulauan yang teranyam dari serat-serat masyarakat pulau kecil dan besar yang saling berjauhan, dengan otonomi diri yang multi tipikal serta aneka penampakan lahiriah dan bathiniahnya yang hakiki dan mendasar. Realitas tersebut,
pada dirinya memiliki: konsep diri (true self) dan tata nilai (value system), serta kebijaksanaan hidup (local wisdom), dalam sebuah tatanan habitual yang tidak dapat diganti atau dihilangkan. Olehnya pengenalan yang jelas tentang filosofi manusia Maluku itu sendiri adalah sebuah imperatif yang tidak tidak harus diabaikan (Buku ajar filsafat masyarakat kepulauan, 2009)
BAB II PEMBAHASAN Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia memperlakukan lingkungan alamiahnya, itulah kebudayaan. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan. Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi ( Earson, 2006 ). Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan. Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan mengalami reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan penguatan dalam kehidupannya menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terus-menerus (Ruhulessin, 2007) Sejarah Peradaban Maluku selalu terkait dengan konflik komunal antar suku dan antar kelompok, baik untuk perebutan ruang maupun perluasan kekuasaan. Hal mana terjadi ketika proses migrasi suku, kelompoknomaden dan para migran awal, yang meninggalkan tempat asal yang dianggap tidak aman, untuk mencari tempat yang aman dalam membangun kehidupan kelompok secara baik. Lingkaran setan konflik komunal mana, ternyata terus berlanjut pada zaman kolonial yang telah memicu arus perlawanan heroik dari pribumi Maluku asli untuk membela kedaulatan negeri dan kemanusiaannya (Maspaitella, 2008). Dalam konteks tersebut, para leluhur orang Maluku untuk mengkonversi spirit konflik-konflik komunal yang merasuk jiwanya serta mentransformasikan hakikat dan peran setiap kelompok masyarakat
kepulauan Maluku majemuk itu menjadi “Orang Basudara” dalam sebuah istana diri orang Maluku. Masyarakat kepulauan Maluku yang mulanya telah terpolarisasi secara konfrontatif (dualistik) dalam segmen (kapsul-kapsul) kesukuan, agama maupun kelompok adat, serta keanekaragaman sub-etnik dengan identitas suku dan bahasa yang berbeda-beda, saling merekatkan diri dalam suatu wujud ideal orang Maluku yang berdamai, beradat, berbudaya dan bermartabat. Wujud obyektifnya adalah Salam-Sarane, Siwa-lima, hidop orang basudara, Pela, Ain ni ain (semua dari satu asal) , Kai-wai (adik-kakak) , Sita Kena, Sita eka, Etu (Kita semua sama dan satu untuk semua) , udan-lolat, kalwedo dan lainnya. Semua tertanam abadi dalam sumpah dan janji sakral sebagai bentuk kesepakatan dan menjadi semacam hukum adat (pada orang Kei/Evav disebut Hukum Lavrvul Ngabal) dan lainnya dalam berbagai syair lagu, ritual doa adat pun artefak (John, 2005) Pemikiran tentang bahasa “ale rasa beta rasa” selayaknya sebuah kebudayaan. Karena, di balik bahasa yang diungkapkan itu, terkandung makna yang mendalam, yang memberi motivasi untuk seseorang atau sekelompok orang melakukan sesuatu. Pemaknaan "ale rasa beta rasa" ketika dijewantahkan menjadi "ale senang beta senang (kamu senang saya senang ) “ale susah beta susah” (kamu susah saya susah)". “Ale rasa beta rasa merupakan kearifan lokal orang Maluku yang berbasis material, dan ideal dari dinamika masyarakat sipil, yang pada gilirannya menjadi salah satu pilar berdiri-teguhnya suatu masyarakat atau negara. Dengan landasan berpikir seperti itu, maka konsep ale rasa beta rasa sebagai sebuah pengertian budaya orang Maluku mengandung system makna karena mencerminkan pola piker kolektif atau struktur nalar masyarakat Maluku (Watloly, 2012). Konsep “ale rasa beta rasa” wujud dari sebuah upaya kognitif orang Maluku untuk menciptakan hubungan persaudaraan yang harmonis, aman, dan damai di antara orang Maluku yang melintasi segala perbedaan sosial, suku, dan agama. Bahkan, “ale rasa beta rasa” menjadi sarana rekonsiliasi bagi konflik antar orang Maluku, sehingga media-media perdamaian dapat dibangun dalam kesadaran “ale rasa beta rasa” sebagai orang bersaudara (Ruhulessin, 2005)
Ale (kamu) rasa beta (saya) rasa adalah sebuah konsep yang secara sosiologis kultural mengandung arti yang dalam bagi orang Maluku. Sebagai sebuah pengertian budaya, “ale rasa beta rasa” adalah sebuah system makna yang memberi motivasi, dan pengertian mengapa seseorang atau sekelompok orang melakukan sesuatu. Ungkapan ale rasa beta rasa dapat dikatakan sebagai suatu kearifan budaya lokal yang terpelihara sepanjang sejarah kehidupan masyarakat di Maluku. Kebiasaan-kebiasaan yang saling melibatkan antara dua etnis yang berbeda, dua suku, antaragama yang berbeda atau bahkan lebih dari beberapa suku, dan agama dapat tetap terpelihara sepanjang kehidupan masyarakat (Ruhulessin, 2007). Sebagai suatu kearifan budaya lokal, kebiasaan ini tumbuh, berkembang dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, terus dijaga, dan dipelihara. “Ale rasa beta rasa” secara konseptual mengandung arti yang sangat mendalam tentang suatu kesadaran atau tentang apa yang dipahami sebagai “common feeling”. Oleh karena itu, apa pun motif utama dari tindakan masyarakat
adalah
sesuatu
yang
mengarah
pada
kebahagian
hidup,
dan
kenyamananan anggotanya. Kebahagian hidup yang tidak lain berdasar pada nilainilai kemanusiaan seperti: senasib, sepenanggungan, masohi/gotong royong, dan lainlain. Atau dengan kata lain “ale rasa beta rasa” mengandung arti tentang kesadaran akan hidup yang saling berbela- rasa, hidup yang saling memahami, mengerti, dan menerima apa yang dirasakan oleh sesamanya (Jhon, 2005) Dengan gaya hidup demikian, manusia dianggap bukan sebagai individu, tetapi warga dari sebuah kehidupan bersama. Masyarakat atau kehidupan bersama itu merupakan agen moral yang mengandung nilai moral yang paling tinggi. Dalam masyarakat ada individuindividu, ada penghargaan, dan ada kebebasan. Dari masyarakatlah individu memperoleh kekuatan mental, dan menemukan makna kemanusiaannya. “Ale rasa beta rasa” memberi ruang bagi setiap orang Maluku untuk menikmati hidup selayaknya manusia sebagai makhluk sosial, dan hidup tanpa tekanan atau beban. Hidup di mana bentuk-bentuk perbedaan secara fisik dalam bentuk suku, etnis, dan agama mencair dalam suatu solidaritas bersama yang muncul melalui aktivitas saling tolong-menolong, rasa senasib, dan sepenanggungan. ale rasa beta rasa”, maka konsep itu menjadi sesuatu yang melekat kuat dalam
kehidupan masyarakat Maluku baik masyarakat kecil maupun para pejabat pemerintahan di daerah. rasa persaudaraan yang merupakan budaya orang Maluku turun-temurun, dan sesuai filosofi "ale rasa beta rasa" yang memiliki arti senasib sepenanggungan, dan harus diteruskan kepada anak cucu (Antara News, 2009). Ungkapan “ale rasa beta rasa” bukan hanya dikumandangkan pada acaraacara formal seperti itu, tetapi turut mempengaruhi dunia musik Maluku juga. Banyak syair lagu yang menyuarakan hubungan persaudaraan sebagai wujud dari makna “ale rasa beta rasa”. Secara konseptual solidaritas yang dimaksudkan dalam konsep ini adalah bentuk tindakan yang dilakukan untuk menciptakan hubungan yang aman, damai, dan menyenangkan orang lain. Solidaritas yang dapat memberikan kesenangan kepada orang lain boleh dikatakan sebagai solidaritas hidup yang rukun atau damai di antara sesame manusia. Saling menghargai antar sesama pada umumnya diwujudkan melalui kasih sayang, dan cinta dalam suasana yang mendukung (kondusif), yang aman, dan damai, jauh dari rasa curiga, iri maupun dengki. Mengacu pada konsep di atas, solidaritas yang di Maluku adalah suatu solidaritas “ale rasa beta rasa” yang terbangun secara continue dari generasi ke generasi/anak cucu Maluku. Solidaritas tersebut membuat hubungan kekeluargaan di antara sesama anak Maluku menjadi kuat. Solidaritas yang terbangun karena ada rasa sebagai orang bersaudara, pela gandong (adik-kakak) hidup saling tolong-menolong yang terbina dalam garis budaya Maluku (Pattikayhatu, 2005). Ciri budaya yang menggambarkan pembentukan karakter yang ada di Maluku, sebagai wujud solidaritas yang terbangun dalam semangat “ale rasa beta rasa”melalui budaya Pela Gandong (sekandung). Pela adalah persaudaraan antara dua negeri atau lebih, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Gandong (hubungan genealogis (kakak-adik). Pada prinsipnya, dikenal tiga jenis Pela, yaitu Pela Karas (Keras), Pela Gandong (Kandung) atau Bongso (Bungsu), dan Pela Tampa Siri (Tempat Sirih) (Pattikayhatu, 2005). Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan Nusantara Maluku akan menjadi nilai moral bagi masyarakat yang sifatnya mengikat dan dijalankan secara turun-temurun. Artinya. Nilai-nilai tersebut
disosialisasikan kepada anggota masyarakat melalui jalur-jalur keluarga, sekolah (termasuk pesantren, dan sejenisnya), serta lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat tersebut. Nilai-nilai itu harus dipelajari dan dipahami secara baik untuk diimplementasikan dalam hubungan-hubungan yang dibangun antarsesama manusia (Papalia, Olds,& Feldman, 2004). Kehidupan sosial masyarakat Maluku yang dinginkan berlangsung secara baik di kalangan masyarakat kecil maupun pemerintahan, disadari sebagai wujud dari budaya orang bersaudara yang mempraktekan makna pandangan hidup “ale rasa beta rasa” dalam kehidupan mereka secara manis sehingga wajar jika “ale rasa beta rasa” boleh dikatakan masih tetap memiliki kekuatan perekat bagi masyarakat. Meskipun ada anggapan bahwa “ale rasa beta rasa” pada waktu konflik Maluku mengalami pengikisan dan pendangkalan serius, serta tidak lagi menjadi sebuah pengertian bagi kehidupan bersama yang berdasar pada common felling (perasaan bersama) dan common good (kebaikan bersama). “Ale rasa beta rasa” hanya menjadi sebuah „mekanisme pengendali‟ atau „ steering mechanism’ dari elite kekuasaan politik atau golongan (Tim Ditjenbud. 2000)
DAFTAR PUSTAKA .Buku Ajar Filsafat Masyarakat Kepulauan, 2009,
Program Pasca Sarjana,
Universitas Pattimura, Ambon. Earson, J., Nelson,P., Titsworth,S., Harter, L. 2006. Human Communication. Boston : Mcgraw-Hill. Jhon Chr. Ruhulessin, 2005, Etika Publik; Menggali tradisi pela dari pela di Maluku, (Disertasi, Program Pasca Sarjana), Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, hlm. 147. Maspaitella, Elifas Tomix., 2008, filsafat Manusia Maluku Dalam Kerangka Filsafat Kebudayaan Dan Teori Sosial, Ambon. Pattikayhatu, J. A., 2005, Budaya Pela dan Gandong di Maluku Tengah, Ambon. Papalia, Olds, & Feldman. 2004. Human Development. USA: Mcgraw-Hill. Ruhulessin, Jhon Chr., 2005, Etika Publik; Menggali Tradisi Pela Dari Pela di Maluku, (Disertasi, Program Pasca Sarjana), Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ruhulessin, Jhon. 2007. Pluralisme Berwajah Humanis. Lessmu: Ambon. Tim Ditjenbud. 2000. Strategi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Indonesia. Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional. Watloly, aholiab, 2012, Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku, Cahaya Pinelang : Jakarta