BAB I KAJIAN GENETIK EKSPRESI KELAMIN EKSPRESI KELAMIN PADA MAKHLUK HIDUP PROKARIOTIK Perkelaminan pada makhluk hidup prokariotik contohnya yakni pada Escherichia coli. Pengenalan sel-sel kelamin jantan dan betina tersebut bukan didasarkan pada karakter-karakter morfologisnya. Sel-sel kelamin jantan dan betina E. coli dikenal atas dasar ada atau tidak adanya “suatu kromosom kelamin tidak lazim” yang disebut factor “factor F” (F=fertility=kesuburan). Faktor F itu dapat berupa suatu badan/bentukan terpisah,tetapi dapat juga berada dalam keadaan terintegrasi dengan kromosom utama sel. Faktor F juga merupakan DNA unting ganda yang sirkuler, dalam tiap sel terdapat satu kopi factor F, yang tersusun sekitar 1/40 dari jumlah informasi genetik yang terkandung pada kromosom utama. Sel-sel Escherichia coli Jantan (F+) Sel E. coli dinyatakan berkelamin jantan jika dalam sel itu terkandung faktor F berupa badan terpisah dari kromosom utama, disebut sebagai F +. Sebaliknya, sel E.coli dinyatakan berkelamin betina jika dalam sel itu tidak terkandung faktor F, disebut F -. Sel berkelamin jantan (F+) mampu mentransfer gen-gen ke dalam sel-sel berkelamin betina (F -). Transfer materi genetic tersebut dari F+ ke F- didahului oleh terbentuknya pasangan konjugasi antara kedua sel. Pasangan konjugasi itu terbentuk melalui pelekatan suatu pilus kelamin jantan pada permukaan suatu sel kelamin betina. Dinyatakan pula oleh Watson dkk., (1987) bahwa hanya DNA faktor F (hasil replikasi) yang ditransfer dan tidak ada gen-gen yang terletak pada kromosom utama ikut ditransfer. Sel-sel E. coli Berkelamin Jantan (Hfr) Faktor F dalam sel E.coli jantan dapat juga berintegrasi ke dalam kromosom utama sel melalui proses pindah silang, sel-sel E. coli kelamin jantan (F +) akan berubah menjadi sel Hfr dan tetap berkelamin jantan. Menurut Watson dkk (1987) menyatakan bahwa jika sebuah sel Hfr berdekatan dengan sebuah sel F- terjadilah replikasi DNA yang terinduksi oleh konjugasi, dan karena ujung pengarah factor F berdekatan dengan kromosom utama, akan terjadi juga transfer materi genetic kromosom utama.
EKSPRESI KELAMIN PADA MAKHLUK HIDUP EUKARIOTIK Ekspresi Kelamin pada Tumbuhan Eukariotik Chlamydomonas Sel-sel Chlamydomonas biasanya haploid dan dapat bereproduksi secara vegetatif dengan pembelahan. Pada beberapa jenis lainnya, tiap sel berpotensi sebagai gamet dan bereproduksi seksual membentuk zigot yang diploid. Menurut Stansfield (1983) menyatakan bahwa secara genetic ada 2 kelamin (mating type), yakni tipe (+) dan tipe (-), yang tidak dapat dibedakan secara morfologi; kelamin berada di bawah control satu gen. Sifat jantan maupun sifat betina terbagi menjadi lima tingkat (valensi) yang berkisar dari yang sangat kuat sampai sangat lemah. Satu individu jantan dari tingkat apapun dapat berkonjugasi dengan betina dari tiap tingkat bahkan individu jantan tertentu dapat juga berkonjugasi dengan jantan lainnya jika jarak tingkatnya cukup jauh (demikian halnya pula halnya pada betina). Saccharomyces dan Neurospora Seperti pada Chlamydomonas, genetik kelamin Saccharomyces dan Neurospora bersifat monogenik atau berada di bawah kontrol satu gen. Pada kelamin S. cerevisiae dan N. crassa dibedakan menjadi mating type (+) dan (-). Menurut Watson dkk (1987) membedakan kelamin pada S. cerevisiae sebagai kelamin a dan α. Kelamin a dispesifikasi oleh alela MAT a, sedangkan kelamin α dispesifikasi MAT α. Kelamin-kelamin itu termanifestasi bilamana salah satu alela tersebut menempati lokus MAT. Lokus MAT tersebut terletak pada kromosom 3. Kelas Jamur Basidiomycetes Sekitar 90% spesises jamur dalam kelas Basidiomycetes tergolong heterotalik. Sekitar 37% spesies heterotalik tersebut (bipolar) kompatibilitas kelamin dipengaruhi oleh 1 pasang factor Aa yang berperilaku seperti halnya pada Mucorales heterotalik atau semacam Ascomycetea seperti Neurospora sitophila. Lumut Hati Perangkat kromosom sporofit lumut hati Sphaerocarpos dilaporkan terdiri dari 7 pasangan yang masing-masing kromosomnya setangkup, serta sepasang (pasangan ke 8) yang tidak setangkup kromosomnya, pada pasangan ke 8 salah satu kromosom lebih besar daripada
yang lainnya. Kromosom yang lebih besar itu disebut sebagai kromosom X, sedangkan yang lebih kecil disebut kromosom Y. Tumbuhan Berumah Satu dan Berumah Dua Sel-sel pada tumbuhan berumah satu berpotensi ganda, bahkan dikatakan pula bahwa selsel itu tidak mempunyai kromosom kelamin. Kedua macam sel kelamin pada tumbuhan berumah satu dihasilkan oleh satu genotip. Berkenaan dengan tumbuhan berumah satu, ada juga kasus tentang perubahan sifat, dari yang berumah satu menjadi berumah dua. Pada tumbuhan berumah dua itu secara genetic dikendalikan oleh gen pada satu lokus saja. Marga Melandrium Melandrium adalah satu marga tumbuhan yang tergolong berumah dua. Pada Melandrium ditemukan adanya kromosom kelamin X dan Y. Gen penentu kelamin jantan pada Melandrium terletak pada kromosom Y, sedangkan gen-gen penentu kelamin betina terletak pada kromosom X maupun pada autosom. Tumbuhan Melandrium yang mempunyai pasangan kromosom kelamin XX berkelamin betina, sedangkan yang mempunyai pasangan XY berkelamin jantan. Ekpresi Kelamin pada Hewan Avertebrata Paramaecium bursaria Pada P. bursaria ditemukan beberapa kelamin, tepatnya 8 kelamin (mating type), tipe macam secara fisiologis tidak dapat berkonjugasi dengan tipenya sendiri, namun dapat berkonjugasi dengan satu dari 7 tipe lain. Ophryotrocha Hewan ini memiliki kelamin yang terpisah, ada individu jantan dan ada individu betina. Tipe kelamin pada Ophryotrocha ditentukan oleh ukuran tubuh hewan itu. Jika berukuran kecil hewan itu akan menghasilkan sperma, jika tumbuh menjadi lebih besar, hewan yang sana itu akan berubah menghasilkan telur. Cacing tanah Pada cacing tanah terdapat dua gonad yang terpisah, satu gonad menghasilkan gamet jantan, sedangkan gonad lain mengahasilkan gamet betina. Helix
Helix merupakan salah satu hewan yang hermaprodit. Hewan-hewan tersebut menghasilkan telur maupun sperma. Crepidula Menurut Adrian dan Owen (1960) menyatakan bahwa tiap individu mengalami suatu urutan perkembangan, mulai dari tahap aseksual yang diikuti oleh suatu tahap jantan. Tahap jantan diikuti oleh suatu tahap perantara dan akhirnya tahap betina. Lygaeus turcicus Pada Lygaeus turcicus sudah ditemukan kromosom kelamin X dan Y. Zigot yang memiliki kromosom kelamin XX akan menjadi individu betina sedangkan yang mempunyai kromosom kelamin XY akan menjadi individu jantan. Hymenoptera Pada Hymenoptera telur yang tidak dibuahi akan berkembang menjadi individu berkelamin jantan yang haploid, sebaliknya telur-telur yang dibuahi biasanya berkembang menjadi individu betina yang diploid. Pola ekspresi kelamin pada Hymenoptera disebut sebagai haplo-diploidy. Status segmen kromosom tertentu yang homozigot, heterozigot, atau hemizigot, menentukan ekspresi kelamin. Dalam hal ini ekspresi kelamin betina tergantung pada heterozigositas bagian suatu kromosom. Ekspresi kelamin juga tergantung pada komposisi genetic daerah/bagian kromosom tersebuta, dan bukan semata-mata tergantung pada fenomena diplody dan haploidy. Drosophila melanogaster Pada D. melanogaster terdapat kromosom kelamin X dan Y. mekanisme ekspresi kelamin pada D. melanogaster dikenal sebagai suatu mekanisme perimbangan antara X dan A (X/A). Mekanisme tersebut sebagai suatu mekanisme keseimbangan determinasi kelamin atau keseimbangan gen. Apabila perimbangan mengarah kepada kelamin netral maka secara fenotip terlihat sebagai individu intersex steril. Mekanisme ekspresi kelamin X/A berhubungan dengan beberapa gen pada kromosom X maupun autosom, salah satunya yakni gen Sx1 (sex-lethal) yang terdapat pada kromosom X. Pada keadaan sedang bekerja gen Sx1 bertanggung jawab atas perkembangan betina, namun
pada keadaan tidak sedang bekerja, maka yang berkembang adalah kelamin jantan. Selanjutnya ada juga gen dsx (doublesex) dan gen tra (trasformer). Keduanya merupakan gen resesif autosomal. Gen tra terletak pada kromosom 3 dan mengubah individu betina (berdasarkan konstitusi kromosom) menjadimindividu jantan steril. Sebaliknya gen dsx mengubah individu jantan maupun betina menjadi individu intersex. Ekpresi kelamin pada Drosophila ditentukan oleh suatu rangkaian tahap aktivasi gen, yang masing-masing menuju ke pembentukan suatu protein yang memungkinkan penyambungan yang benar atas RNA yang disintesis pada tahap berikutnya. Pada individu jantan gen-gen Sx1, tra, dan tra 2 ditranskripsikan, tetapi hanya menghasilkan RNA-d yang non fungsional, transkrip gen dsx disambung-sambung untuk kepentingan biosintesis suatu protein yang menghentikan gen yang menspesifikasi sifat-sifat betina. Caddies Flies, Kupu Siang (Butterflies), dan Kupu Malam (Moths), Serta Ulat Sutera Pada caddies flies, kupu siang (butterflies), dan kupu malam (moths), serta ulat sutera, individu yang bergenotip XX memiliki fenotip kelamin jantan. Namun ada pula yang mengatakan bahwa kromosom kelamin pada hewan-hewan itu disimbulkan sebagai ZZ (jantan) dan ZW atau ZO untuk betina/ Boniella Cacing Boniella memiliki kelamin terpisah. Ekspresi kelamin pada Boniella sebagai satu contoh fenomena perkelaminan yang non genetic, dan tergantung pada factor-faktor lingkungan luar. Potensi genetic kejantanan dan kebetinaan ada pada zygot, demikian pula beberapa factor spesifik dalam lingkungan merangsang ekspresi gen-gen yang menghasilkan fenotip jantan maupun fenotip betina. Ekspresi kelamin pada Hewan Vertebrata Pisces Kebanyakan spesies ikan budidaya memiliki tipe perkelaminan gonochoristik. Berdasarkan dengan tipe perkelaminan gonochoristik, ikan-ikan yang memiliki gonad dibedakan menjadi dua tipe yakni spesies yang memiliki gonad yang belum berdiferensiasi dan yang sudah berdiferensiasi. Menurut Gardner dkk. (1991) pada beberapa ikan juga terdapat mekanisme
ekspresi kelamin kromosomal ZZ-ZW, seperti halnya pada kebanyakan burung, kupu-kupu malam (moths). Amphibia Pada amphibian tidak ada keseragaman pola ekspresi kelamin. Ada yang memiliki kromosom kelamin (tipe XY-XX maupun tipe ZZ-ZW). Ada pula yang tidak memiliki kromosom kelamin. Heterogami jantan tipe (XY/XX) sudah ditemukan ditemukan pada 3 kelompok Anura-Rana esculenta, Eupsophus migueli, dan Gastrotheca riobambae. Heterogami betina pada satu kelompok Anura, Pyxicephalus adspersus. Reptilia Banyak jenis reptile, individu heterogametic berkelamin betina dengan simbul ZW, dan yang homogametic berkelamin jantan dengan simbul ZZ. Pada beberapa reptile suhu pengeraman telur yang telah dibuahi berpengaruh besar terhadap ekspresi kelamin turunan. Aves Kromosom kelamin pada burung disimbulkan XX atau ZZ untuk jantan dan XO,ZW, atau ZO untuk yang betina. Stansfield (1983) menyatakan pula bahwa pada ayam peliharaan terdapat satu kromosom yang mirip dengan kromsom Y pada manusia, bahkan yang dikatakan pula bahwa kromosom W pada ayam, bukanlah elemen penentu kelamin yang kuat. Mamalia: Tikus dan Manusia Perkembangan kelamin pada mamalia terbagi menjadi dua tahap proses. Konstitusi kromosom dalam inti adalah yang pertama kali menentukan diferensiasi kelamin dari gonad awal. Jika kemudian terbentuk testis, maka akan disekresikan hormone testosterone. Hormone tersebut selanjutnya disirkulasikan ke seluruh bagian tubuh embrio dan menginduksikan sel-sel somatic untuk berkembang dalam jalur jantan. Namun jika ovarium yang terbentuk, maka tidak adanya testosterone ini memungkinkan sel-sel somatic untuk berkembang dalam jalur betina. Jenis kelamin pada mamalia ditentukan kromosom Y dan bukan oleh perimbangan X/A. Pada tikus sudah terdapat gen yang mengendalikan suatu cirri yang dominan disebut Sex-reversed (Sxr) trait. Gen atau perangkat gen termaksud menyebabkan zigot tikus yang bergenotip AAXX tumbuh dan berkembang menjadi individu tikus yang berfenotip kelamin jantan lengkap dengan
testis, sekalipun tidak mengalami spermatogenesis.
Hal itu berarti bahwa selama
spermatogenesis, bagian ujung kromosom Y termaksud, karena suatu kejadian telah pindah dan bergabung dengan kromosom X, kejadian yang memungkinkan perpindahan tersebut yaitu pindah silang non resiprokal. Berkenaan dengan perkembangan testis, pada kromosom Y manusia terdapat gen TDF. Gen TDF dipandang sebagai master regulator yang merangsang ekspresi sejumlah besar gen yang menghasilkan fenotip kelamin jantan. Selain itu dikemukakan pula adanya gen H-Y yang terpaut kromosom kelamin Y, dinyatakan ikut bertanggung jawab terhadap diferensiasi testis maupun spermatogenesis. Perkembangan jalur jantan juga dipengaruhi oleh satu gen (Tfm+). Gen (Tfm+) mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat testosterone, yang ada pada sitoplasma dari semua sel, baik jantan maupun betina. Tahap perkembangan fenotip kelamin berikutnya tergantung pada produk-produk testis. Testis mensekresikan 2 hormon pengontrol yakni substansi penghambat saluran Muller dan testosterone. Diferensiasi kelamin betina berlangsung agak belakangan daripada diferensiasi kelamin jantan. Oleh karena tidak ada protein antigen H-Y gonad-gonad primitive berkembang menjadi ovarium, dan karena tidak ada testosterone dan substansi penghambat saluran Muller, saluran Wolff mengalami degenerasi. Saluran Muller berkembang menjadi tuba fallopii, rahim, dan sebagian vagina. BEBERAPA PEMIKIRAN Dalam hubungan ini juga terlihat bahwa peranan kromosom kelamin dalam penentuan jenis kelamin pada dasarnya sama halnya dengan autosom, kromosom kelamin sama saja dengan autosom yakni sama-sama sebagai pembawa factor keturunan. Pengontrol ekspresi kelamin atau yang menentukan jenis kelamin adalah gen, tidak hanya satu buah atau hanya satu pasang, namun justru banyak pasangan gen, sehingga yang terjadi adalah interaksi gen. ekspresi gen-gen yang interaksinya bertanggung jawab atas fenotip kelamin makhluk hidup juga dipengaruhi oleh factor lingkungan.
BAB II KROMOSOM KELAMIN Penentu ekspresi kelamin adalah gen. terdapat berbagai macam kromosom kelamin antara lain X,Y (pada XY) dan Z,W (pada ZW). Pengkajian berbagai hal mengenai kromosom kelamin bukan bertujuan untuk menyatakan bahwa yang menentukan ekspresi kelamin adalah kromosom kelamin, namun yang bertanggung jawab atas munculnya fenotip kelamin apapun adalah gen yang terletak pada autosom, pada kromosom kelamin ataupun pada keduanya. SEJARAH PENEMUAN KROMOSOM KELAMIN Pada tahun 1981 ahli bioogi Jerman Henking menemukan bahwa suatu struktur inti tertentu dapat ditemukan selama spermatogenesis serangga tertentu. Separuh sperma menerima struktur ini sedangkan yang separuhnya lagi tidak. Henking mengidentifikasinya sebagai “X-body” dan menyatakan bahwa sperma dipilah atas dasar ada tidaknya “X-body”. Kemudian pada tahun 1902 C.E McClung membenarkan observasi dari Henking dengan mengaitkan X-body dengan determinasi kelamin tetapi secara salah menyatakannya spesifik untuk individu kelamin jantan. Pada awal abad ke-20 E.B Wilson menyatakan bahwa X-Body yang dilaporkan Henking adalah suatu kromosom yang menentukan kelamin atau kromosom. Sejak saat itu X body dikenal sebagai kromosom kelamin atau kromosom X. E.B Wilson juga menyatakan bahwa zigot XX akan menjadi individu betina, sedangkan zigot XY akan menjadi individu jantan. Fenomena ini dinyatakan dalam hubungannya dengan mekanisme determinasi kelamin tipe XX-XY. EVOLUSI KROMOSOM KELAMIN Evolusi kromosom kelamin bermula dari kondisi tanpa kromosom kelamin menuju ke kondisi ada kromosom kelamin. Fenomena ini terungkap pada kelompok makhluk hidup diberbagai takson. Evolusi kromosom kelamin X dan Y pemula Asal mula evolusi kromosom kelamin primitive berkaitan dengan evolusi kelamin terpisah, yang dimulai dari pemisahan kedua fungsi kelamin pada individu terpisah (dioceus) yang
bermula dari individu kelamin tergabung (coseksual), pada keadaan kelamin tergabung itu fungsi jantan dan betina diekspresikan dalam tubuh individu yang sama. Pola transisi sederhana dari keadaan kelamin tergabung menjadi kelamin terpisah sempurna ini adalah melalui keadaan mutasi pada dua lokus. Salah satu lokus adalah f yang mengontrol fungsi betina sedangkan lokus lainnya adalah m yang mengontrol fungsi jantan. Daya seleksi memungkinkan munculnya suatu transisi evolusioner berupa tahap gynodiocy. Mekanisme mutasi pada dua lokus diikuti oleh proses seleksi dan pengurangan rekombinasi yang akan memunculkan kromosom proto X dan kromosom proto Y. Erosi Kromosom Y Setelah terbentuknya kromosom proto Y mengalami proses evolusi spesifik yang disebut sebagai erosi kromosom. Dikenal dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom pertama adalah yang melibatkan “Muller’s Ratchet”. Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan tepaut Y yang merugikan melalui “hitchhiking” dengan mutasi-mutasi yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y. “Muller’s Ratchet” bersangkut paut dengan hilangnya kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling kecil, dari suatu populasi terbatas akibat “genetic drift”. Fiksasi mutasimutasi terpaut Y yang merugikan terjadi karena ada mutasi-mutasi menguntungkan pada bagian kromosom proto Y yang tidak mengalami rekombinasi. Evolusi Determinasi Kelamin X/A dan Sistem Kromosom Kelamin XO Sistem determinasi kelamin yang didasarkan pada keseimbangan X/A dtemukan pada Drosophila, C.elegans, dan Rumex mungkin ditemukan juga pada burung. Pada dasarnya data komparatif tentang hubungan evolusioner antara sistem kromosom kelamin dan pola determinasi kelamin pada berbagai kelompok, masih belum cukup menghasilkan suatu rekonstruksi sejarah evolusi sistem determinasi kelamin X/A. Perbedaan antara takson-takson besar berkenaan dengan pola determinasi kelamin, tampaknya lebih merupakan suatu produk kecelakaan historis, yang memperlihatkan tipe-tipe mutan yang terjadi di tahap-tahap awal evolusi mekanismemekanisme tersebut pada berbagai kelompok, daripada merupakan hasil dari aneka ragam tekanan selektif. Diduga pula bahwa ekspresi ff dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina dan tidak adanya produk ff – misalnya karena kehadiran suatu alela f sterilitas betina yang dominan –
mengarah kepada perkembangan parsial atau lengkap kelamin jantan. Perkembangan parsial jantan merupakan perkembangan keadaan kelamin tergabung ke arah kelamin jantan, sesuai dengan perluasan skenario yang semula didiskusikan untuk evolusi kromosom proto X dan proto Y. Oleh karena itu, pembentukan suatu kromosom proto Y yang membawa ff dan mF berakibat munculnya individu-individu jantan parsial (pada tingkat fenotif). KEBAKAAN YANG TERPAUT KELAMIN Menurut Gardner dkk. (1991) kebakaan yang terpaut kelamin dikontrol oleh gen-gen yang terpaut pada kromosom kelamin. Kajian tentang kebakaan yang terpaut kelamin, sama sekali bukan bermaksud menyatakan bahwa macam kebakaan ini mempengaruhi ekspresi kelamin.