GEOLOGI REGIONAL I.1 Tatanan Tektonik Regional I.1.1 Fisiografi Daerah Cekungan Jawa Timur Utara
Cekungan Jawa Timur Utara secara fisiografi yang terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah Barat-Timur di sebelah selatannya. Cekungan ini terdiri dari dua buah pegunungan yang berjalan sejajar dengan arah Barat-Timur dan dipisahkan oleh suatu depresi diantaranya. Cekungan Jawa Timur merupakan zona pertemuan lempeng-lempeng Eurasian ( Sunda Craton ) dan Indo-Australian dan saat ini merupakan back-arc basin (Gambar 1). Belakangan ini, sebagian besar Cekungan Jawa Timur diinterpretasi terdiri atas lempenglempeng mikro Gondwana (Sribudiyani et al., 2003, dalam laporan Studi Cekungan Jawa Timur Utara, Joint Study BPMIGAS-LAPI ITB, 2007). Cekungan ini di sebelah Utara dibatasi oleh Tinggian Paternosfer, sebelah Selatan oleh tinggian deretan gunung api aktif Jawa Tengah-Timur, sebelah Barat oleh Karimunjawa Arch, dan sebelah Timur oleh Cekungan (laut dalam) Lombok. Cekungan Jawa Timur dapat dibagi menjadi 4 satuan tectono – physiografi (v. Bemmelen, 1949) karena ternyata bahwa pembagian ini ada kaitannya dengan tektonik daerah tersebut. Adapun ke 4 pembagian tersebut berturut-turut dari Selatan ke Utara adalah sebagai berikut: Jalur Kendeng, Depresi Randublatung, Jalur Rembang dan Paparan Laut Jawa (Gambar 1).
Gambar 1. Peta pembagian Fisiografi Cekungan Jawa Timur (Van Bemellen, 1949) I.1.2 Tatanan Struktur
Cekungan Jawa Timur adalah cekungan back-arc pada ujung tenggara Paparan Sunda yang dibatasi oleh Busur Karimunjawa dan Paparan Sunda di bagian barat, ke utara oleh Tinggian Meratus, ke arah timur oleh Tinggian Masalembo-Doang dan ke selatan oleh jalur volkanik Jawa (Sribudiyani, 2003) (Gambar 2).
Gambar 2. Elemen tektonik Cekungan Jawa Timur. (Sribudiyani, 2003)
Cekungan Jawa Timur dipisahkan menjadi tiga mandala struktur ( structural provinces ) (Satyana, 2005) dari utara ke selatan (Gambar 3) , yaitu : 1. Paparan Utara yang terdiri dari Busur Bawean, Paparan Madura Utara dan Paparan Kangean Utara. 2. Bagian tengah yaitu Tinggian Sentral yang terdiri dari Jawa Barat Laut (Kujung) – Madura – Kangean – Tinggian Lombok 3. Bagian selatan dikenal sebagai Cekungan Selatan yang terdiri dari Zona Rembang – Selat Madura – Sub-Cekungan Lombok
Gambar 3 Habitat minyak dan gas di Cekungan Jawa Timur. Habitat tersebut berkaitan dengan tatanan struktural dan sistem petroleum (Satyana dan Purwaningsih, 2003).
Konfigurasi basemen Cekungan Jawa Timur di kontrol oleh dua trend struktur utama, yaitu trend NE – SW yang umumnya hanya dijumpai di mandala Paparan Utara dan trend W – E yang terdapat di Mandala Tinggian Sentral dan Cekungan Selatan. Akibat tumbukan lempeng selama Tersier Awal, Cekungan Jawa Timur terangkat dan mengalami erosi. Deretan perbukitan berarah NE – SW terbentuk di sepanjang tepi tenggara Paparan Sunda akibat pemekaran busur belakang. Dari barat ke timur, kenampakan struktur utama dalam wilayah tarikan ini adalah Busur Karimunjawa, Palung Muria, Busur Bawean, dan Tinggian Tuban-Madura Utara. Pengangkatan pada waktu Oligosen Awal menghentikan proses-proses pengendapan dan menyebabkan erosi yang luas. Periode selanjutnya adalah periode tektonik tenang dan akumulasi endapan karbonat hingga Miosen Awal. Periode terakhir adalah periode tektonik kompresi mulai dari Miosen Akhir hingga sekarang. Sesarsesar normal yang membentuk horst dan graben teraktifkan kembali sehingga menghasilkan struktur – struktur terbalik (inverted relief) (Hamilton, 1979). Bagian barat Cekungan Jawa Timur terdiri dari struktur tinggian dan rendahan dengan trend NE – SW, terlihat pada konfigurasi alasnya seperti Busur Karimunjawa, Palung Muria, Busur Bawean, Palung Tuban-Camar, Bukit JS-1, Depresi Masalembo- Doang, dan Paparan Madura Utara. Ke arah selatan, Paparan Jawa NE, Zona Rembang Madura Kendeng, Zona Madura Selatan, dan Zona Depresi Solo. Bagian tengah Cekungan Jawa Timur didominasi oleh pola struktur berarah barat- timur seperti yang berkembang di Paparan Madura Utara, Tinggian Madura, dan Sub Cekungan Selat Madura. Ke timur, pola barat – timur lebih berkembang, diperlihatkan oleh SubCekungan Sakala, Kangean, Sub-Cekungan Lombok. Umumnya, mandala Paparan Utara, merupakan sisa struktur yang berkembang pada zaman Kapur (sutura Meratus). Selama Eosen hingga Miosen daerah ini berubah menjadi tempat
perkembangan terumbu. Pada zaman Tersier Akhir daerah ini menjadi lingkungan yang baik bagi perkembangan fasies karbonat paparan. 1. Mandala, Tinggian Sentral merupakan daerah terangkat hasil penyesaran ekstensional Eosen – Oligosen Akhir dan pembalikan struktur Miosen -Resen. Tinggian Sentral berbentuk kemenerusan Tinggian Kujung dan Tinggian Madura-Kangean ke arah timur. Di utara, Tinggian Sentral dibatasi oleh sesar-sesar Sepanjang dan Sakala, dan di selatan oleh Tinggian Madura-Kangean-Sepanjang. Mandala, tegasan tensional Eosen Akhir menyebabkan penurunan regional di daerah ini. Bagian tingginya menjadi tempat perkembangan fasies reefal. 2. Mandala, Cekungan Selatan terbentuk oleh sesar ekstensional Eosen – Oligosen Akhir yang dilanjutkan oleh periode struktur terbalik produk kompresi Miosen Awal – Resen. Zona Rembang yang menerus sampai lepas pantai sebagai sesar mendatar ( wrench fault ) berasosiasi dengan pengangkatan Kujung, Madura, Kangean, dan Sepanjang ke arah utara. Pembalikan struktur mengangkat bagian utara, sedangkan bagian selatan tetap pada lingkungan batial dalam. II.2 Stratigrafi Regional
Batuan dasar terdiri dan gabro, ofiolit, metasedimen, dan batuan metamorf berumur Jura Akhir – Kapur. Formasi Pra-Ngimbang merupakan batuan sedimen tertua yang terdiri dari batupasir polimik sisipan serpih, konglomerat dan batubara berumur Paleosen (P1 – P5) hanya dijumpai di bagian timur cekungan. Formasi Pra- Ngimbang dan Ngimbang yang mempunyai umur pengendapan yang bervariasi dipisahkan oleh suatu hiatus (ITB-Lemigas, 2003).Urutan stratigrafi Cekungan Jawa Timur dimulai dengan endapan synrift Eosen Tengah yang dikenal sebagai Sekuen-1 Bawah atau Sekuen-1 Klastik. Kemudian dilanjutkan dengan pengendapan transgresif klastik postrift Eosen Akhir hingga Sekuen-2 yang kemudian diakhiri dengan berkembangnya batugamping CD. Adanya endapan pre-collision dikemukakan oleh Sribudiyani et al. (2003) sebagai endapan Formasi Pra- Sekuen 1 yang berumur Paleosen-Eosen Tengah. Setelah pengangkatan Oligosen Tengah, fase transgresi menggenangi Cekungan Jawa Timur pada kala Sekuen-3 dan mengendapkan sedimen klastik dan karbonat Kujung Bawah (Kujung III dan II). Formasi Kujung berumur Oligosen (P18 – P22) di bagian timur cekungan, sedangkan di bagian barat cekungan Formasi Kujung terbentuk lebih lambat karena muka air laut bertambah maka berkembang Anggota Prupuh Formasi Kujung yang terdiri dari batugamping terumbu. Di beberapa tempat berkembang juga Formasi Kujung yang terdiri dari perselingan batupasir, batugamping, serpih dan napal yang dimulai pada P19 hingga akhir Miosen Awal (N8). Pembentukan Formasi Kujung menunjukkan adanya fasa transgresi. Di daerah rendahan berkembang Kujung Shale sedangkan di daerah yang lebih tinggi berkembang Kujung Carbonate dan Anggota Prupuh (Sribudiyani, 2003) (Gambar 4.). Transgresi mencapai puncaknya pada Miosen Awal (Sekuen 4) dengan diendapkannya karbonat Kujung Atas (Kujung I/Prupuh) dan ditutupi oleh serpih Formasi Tuban. Pada waktu yang relatif sama dengan Formasi Tuban, terumbu Rancak tumbuh setempat. Pada kala Miosen Tengah 11 (Sekuen 5) kompresi mulai terjadi dan berpengaruh siknifikan pada Miosen Akhir (Sekuen 6) dan Mio-Pliosen, dan mencapai puncaknya pada Pleistosen. Pada Central High berkembang sesar geser kiri ( left lateral strike-slip fault ) dan tumbuhnya flower
structure . Sedimentasi regresif Formasi Ngrayong dan transgresif Wonocolo hingga Kalibeng. Secara tektonostratigrafi (gambar 5), perkembangan evolusi Cekungan Jawa Timur dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) fase yang berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai berikut : Fase rifting terjadi selama waktu Eosen sampai Oligosen Tengah, dimana Formasi Ngimbang diendapkan ke dalam cekungan rift yang berbentuk half graben . Bagian bawah dari Formasi Ngimbang terdiri dari seri klastik dan secara bertahap berubah menjadi lebih laut (marine) dengan adanya batuan karbonat yang mencerminkan proses transgresi menuju ke atas. Fase sagging (Akhir Oligosen sampai Awal Miosen), sedimentasi batuan karbonat sangat dominan. Situasi tersebut mencerminkan kondisi tektonik yang relatif stabil. 3 (tiga) siklus pengendapan karbonat terjadi selama periode waktu ini. Batuan karbonat dan sisipan batunapal (marl) pada periode waktu ini dikenal sebagai Formasi Kujung dan Tawun. Fase kompresional (Inversi) dimulai pada Miosen Tengah yang ditandai dengan pengendapan seri klastik Formasi Ngrayong pada sistem laut dangkal sampai delta. Tektonik kompresional juga mengaktifkan kembali structural grain arah Timur-Barat dan Timurlaut-Baratdaya menjadi sesar naik (reverse fault) dan sesar mendatar (strike-slip fault). Selama waktu inversi, Formasi Kawengan dan Lidah diendapkan dalam kondisi lingkungan laut. Puncak dari inversi terjadi selama waktu Plio-Pleistosen pada saat Formasi Lidah diendapkan.
Gambar 4. Stratigrafi regional Cekungan Jawa Timur (Sribudiyani, 2003)
Gambar 5 Sintesis tektonik dan sedimentasi di Cekungan Jawa Timur (Manur dan Barraclough, 1994). II.3 Sistem Petroleum
Faktor utama sistem petroleum adalah batuan induk, lapisan reservoir pembawa (carrier beds), jalur migrasi, dan mekanisme pemerangkapan. Faktor-faktor tersebut harus ada dan bekerja secara sinergis dalam ruang dan waktu untuk mengakumulasikan hidrokarbon.
Di Cekungan Jawa Timur terdapat beberapa dalaman dan tinggian yang membentuk suatu sistem horst – graben , dan pada tinggian-tinggian tersebut yang akhirnya terumbu Rancak tumbuh setempat membentuk reservoir-reservoir berumur Miosen Awal (Gambar 6).
Gambar 6. Sistem Horst – Graben di Cekungan Jawa Timur (dalam laporan Studi Karbonat Lapangan Mudi, Joint Study JOB PPEJ-LAPI ITB, 2005)
Berdasarkan perbandingan kasus Resevoir Lapangan Mudi di Desa Rahayu, Kecamatan Soko, Tuban yang juga berada di cekungan Jawa Timur memperlihatkan suatu Carbonate Bank relief rendah yang disusun secara dominan oleh red algae dan foraminifera yang berumur Miosen Awal. Litologi umumnya disusun oleh clean wackestones sampai dengan packstones dengan sedikit kandungan rudstones dan perkembangan grainstone. Sedangkan sebagai batuan penyekatnya secara onlapping dan overlying adalah batuan serpih Formasi Tuban dan Ngrayong. Sebagai carbonate build-up , penyebaran porositas reservoir sangat heterogen baik secara lateral maupun vertikal. Porositas sekunder terutama dibentuk oleh tahap akhir disolusi dari semen dan butiran yang membentuk rongga-rongga (vugs) dan beberapa rekahan akibat pelarutan atau caverns. Dua potensi batuan induk yang dikenali di Cekungan Jawa Timur adalah Ngimbang Bawah (Lower Ngimbang) dan Serpih Tawun (Tawun Shales). Potensi batuan reservoir telah teramati pada beberapa interval seperti antara lain Batupasir Ngimbang bagian Bawah, Karbonat Ngimbang bagian Atas, Karbonat Formasi Kujung, Tawun, Ngrayong, Kawengan dan Lidah. Formasi-formasi tersebut secara umum juga memiliki potensi sebagai batuan penutup (seal) karena memiliki interval batulempung/batuserpih yang cukup tebal. Perangkap (trap) stratigrafi umumnya berhubungan dengan tubuh batuan karbonat reefal berumur Oligosen sampai Miosen, sedangkan perangkap struktur banyak berhubungan dengan inversi di Akhir Tersier. Generasi hidrokarbon telah terjadi dalam 2 (dua) periode yaitu di Akhir Oligosen untuk batuan induk Ngimbang bagian Bawah dan di Miosen Tengah untuk batuan induk Tawun. Petroleum system chart di Cekungan Jawa Timur yang menunjukkan proses pembentukan cekungan, batuan induk, batuan reservoir, seal dan trap dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Regional Petroleum system chart di Cekungan Jawa Timur
II.4 Geokimia Cekungan Jawa Timur
Hasil dari analisis pada sejumlah sumur mengungkapkan bahwa Pra-Ngimbang PaleosenEosen, Ngimbang Eosen Tengah, Kujung Oligo-Miosen, Tuban Miosen Awal dan bagian bawah serpih OK Miosen Tengah dan batubara telah menjadi sumber potensial minyak dan gas termogenik di Jawa Timur (Tabel I) Tabel I.1 Hasil analisis geokimia dari beberapa contoh dari Cekungan Jawa Timur
(Satyana dan Purwaningsih, 2003). Lanjutan Tabel I.1
Hasil analisis data terbatas di sumur South Sepanjang menunjukkan bahwa Pra- Ngimbang menjadi batuan induk potensial dengan kisaran dari cukup sampai sangat bagus dengan TOC 0,96-8,03%. Data TOC serpih Ngimbang kisarannya dari 1,64-5,67% dengan batubara kisarannya 62-67%. Ngimbang Bawah membentuk gas dan minyak ringan dominannya tipe kerogen III, sedangkan Formasi Ngimbang bagian atas lebih cenderung membentuk minyak mempunyai tipe kerogen II. Berdasarkan pada beberapa analisis geokimia, Formasi CD berumur Oligosen Awal mempunyai TOC > 12% untuk serpih dan 57% untuk batubara (sumur Rembang I). Material organik terutama tersusun dari humus tipe kerogen III. Sumber potensial dari Formasi Kujung berasal dari batubara serpih karbonan Kujung II dan Kujung III. Harga TOC Formasi Kujung kisarannya dari 0,14-3,93%. Ekstrim TOC ditemukan di sumur Rajawali- 1 5,7% dan Bawean-1 17%. Contoh pada lepas pantai umumnya harga TOC-nya lebih tinggi. Kujung I Miosen Awal di fasies lebih dalam menunjukkan batuan induk potensial yang bagus TOC>1,7%. Serpih Formasi Tuban mempunyai kandungan harga TOC yang lebih tinggi di daerah cekungan utara dan selatan; keduanya di tepi paparan. Di bagian tengah dalaman, serpih Tuban kandungan TOC-nya cukup untuk menjadi batuan induk potensial, JS 33A-1 batulempung Tuban kandungan TOC 2,25%. Di Pulau Madura harga TOC mencapai 2,45% di sumur Camplong-1 tipe kerogen adalah organofasies dengan pengaruh marin. Bagian bawah Formasi OK Miosen Tengah dominan tersusun perselingan antara serpih dan batubara terutama di tinggian, yang mempunyai harga TOC sangat bagus yaitu 8,07%
Berdasarkan hasil interpretasi data geokimia yang diperoleh dari analisis contoh minyak sebanyak 200 contoh dari 19 cekungan di Indonesia (Gambar 8), Cekungan Jawa Timur di kategorikan pada batuan induk asal darat ( terrigenous ) dan batuan induk asal lakustrin (Ten Haven dan Schiefelbein, 1995).
Gambar 8 Sistem Petroleum di Indonesia, terlihat bahwa di Cekungan Jawa Timur (warna kuning) lingkungan pengendapan untuk batuan induk hidrokarbon adalah asal darat (terrigenous) dan lakustrin (Ten Haven dan Schiefelbein, 1995). I.5 Rekonstruksi Geologi
Cekungan Jawa Timur Utara mengalami empat fase tektonik sejak Mesozoikum, yaitu : 1. Tektonik konvergen, yang terjadi pada Zaman Kapur berasosiasi dengan proses subduksi dan kemungkinan diikuti oleh tumbukan ( collision ) 2. Tektonik ektensional (rifting ) pada waktu Eosen yang membentuk lapisan sedimen yang cukup tebal. Struktur yang berkembang pada zaman ini memiliki orientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rezim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra – Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut – Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar – sesar di batuan dasar, horst atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. 3. Tektonik inversi pada zaman Miosen yang kemungkinan juga dipengaruhi wrench tectonics yang menyebabkan pengaktifan kembali struktur akibat rifting yang terbentuk sebelumnya. 4. Dan pada zaman Neogen (Miosen – Pliosen) pola struktur berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rezim tektonik kompresi yang terus berlanjut, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap. Pada zaman Pra-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman dibawah lempeng Sunda, mengikuti arah memanjang zona penunjaman kurang lebih N 60 0 E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng pada arah tegak lurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa Timur kemungkinan masih berupa cekungan muka busur ( fore arc basin ). Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun rekaman stratigrafis dari
peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah selama pembentukan sedimen yang lebih muda. Adapun evolusi Morfotektonik Cekungan Jawa Timur Utara berdasarkan data stratigrafi dan struktur geologinya dapat dibagi menjadi 4 fase: 1. Fase Tektonik pertama yang terjadi selama Tersier sampai awal Oligocene yang mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung yang diendapkan diatas basement yang berupa mélange dan ofiolit. Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan batulanau yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa pengendapannya merupakan syn-rift – post rift sehingga terbentuk cekungan laut dangkal. Cekungan ini mulai stabil pada saat terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional. Cekungan ini berupa fore arc basin 2.Fase yang kedua terjadi pada oligosen tengah sampai miosen akhir. Pada waktu ini penunjaman lempeng hindia ke pulau Jawa yang oblique. Penunjaman yang oblique ini membentuk struktur lipatan dan sesar yang berarah timur laut – barat daya (pola meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan telah memasuki fase sagging – inverse . Pada waktu inilah terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan perubahan facies secara lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari batugamping (formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya mineral Glaukonit (formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini kemungkinan diendapkan di lingkungan delta. 3. Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen awal. Pada fase ini terjadi transgresi air laut yang menyebabkan kenaikan muka air laut secara relative yang mengendapkan formasi Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain dan selorejo terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi perubahan lingkungan pengendapan lagi dari laut dalam (bathial) ke laut dangkal (neritik tengah). 4.Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir – Holosen. Pada fase ini penunjaman lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan, sesar, dan struktur-struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman ini juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi vulkanisme di sebelah selatan zona rembang. Sehingga zona rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis me ini juga menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff, breksi andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusi-intrusi andesit. Peristiwa ini menyebabkan zona rembang menjadi daerah yang prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana formasi Ngimbang merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock ini disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan penunjaman ini. Daerah back arc basin lebih potensial terjadi pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan batuan penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan Tuban dimana banyak mengandung batulanaubatulempung sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada formasi Ngrayong, dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang berupa batugamping juga ditemukan.