GOOD TALENT MANAGEMENT PRACTICES “THE WISDOM OF WARUNG ANGKRINGAN” Oleh: Novianta Kuswandi, S.Psi
Copyright © 2013 by Novianta KuswAndi, S.Psi
Penerbit
Desain Sampul: (Muhammad Aditya Amir)
Diterbitkan melalui: Penerbit BIP
2
Buku ini dipersembahkan kepada : Sholikah Nur Ika Agustina Yang selalu menemani setiap langkah dan mendorong saya untuk selalu maju
& Ghaizan Ahmad Abqori Gibran Bagawantha Yang senantiasa menjadi motivator, inspirator bahkan sesekali sebagai provokator agar saya menjadi pribadi yang terus membaik-kan diri dan memberikan manfaat bagi orang banyak
DAFTAR ISI 3
Tentang Penulis
5
PASSION, CHARACTER, COMPETENCY
7
Bongkar
11
Cinta Itu Bahagia
13
Passion atau Jabatan
15
On Track U’r Passion
17
Gara-Gara “Orang” Pindah Pekerjaan
21
Talent To Be Great Talent
24
Si Cantik dan Si Buruk Rupa
27
Sisi Lain
30
SOURCING & TALENT IDENTIFICATIN Gamification
36
Individual Performance Appraisal Redefine
38
Behavioral Event Interview
43
Focus Group Activity
46
Komite Talent
44
TALENT DEVELOPMENT
4
32
51
Talent Development System
54
Coaching Itu Obat Sehat
57
SMART Coach
60
Saat Talent Tidak Bersinar
63
Monitoring & Feedback
66
Talent Tiga Generasi
70
Talent Itu Menakutkan
73
Tolonglah Talent
76
Task force Double Impactt
78
Advisor, Mediator & Executor
81
Melicinkan Storming
84
SUCCESSION
87
Empat Level Kirkpatrick
90
Asiknya Level Tiga
93
Mengevaluasi Talent
95
Dua Sisi Aula Para Bintang
98
REMUNERATION
103
Talent’s Benefit Masa Ke Masa
105
Upah Para Talent
107
Bonus Tahunan
110
Pilih Bonus Tahunan atau Harian
112
TENTANG PENULIS 5
Novianta Kuswandi begitu nama lengkap nya dan Anker (Andi Keren) menjadi nama panggilan nya diantara teman-teman. Layaknya The law of Attraction, ketertarikannya akan dunia Training and Development selalu mengantarkannya bergelut di dunia training and development. Dimulai sejak SMP, Anker bergabung ke Lembaga Pecinta Anak dengan aktivitas utama pengembangkan character anak melalui media dongeng. Aktivitas nya dalam dunia training and development masih terus berlanjut di SMA dengan bergabung di komunitas Ababil yang fokus pada mentoring teenager. Melanjutkan aktivitasnya di dunia training and development, saat di Perguruan Tinggi, aktivittas training and development didalami dengan menjadi associate di beberapa lembaga psikologi terapan di Semarang. Selain menjadi associate, Andi juga sempat membuat Lembaga Psikologi Terapan bernama “Super Quantum” yang bermarkas di Perum Ayodya, Cluster Bambu, No.34, Sekaran, Gunung Pati, Semarang. Sampai saat ini lembaga tersebut masih berdiri dan dikelola oleh rekanrekan mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Semarang. Selain bergelut di dunia training and development, untuk memenangkan visi besar di usia 35 th untuk menjadi konsultan HR yang competence baik secara knowledge, Skill maupun Attitude, Andi “nyantrik” di sebuah perusahaan mining contractor terbesar no dua Se Indonesia sebagai Learning and Development Analyst. Saat ini Andi juga cukup aktif menulis di blog andikeren.wordpress.com. Dan buku ini sebenarnya adalah kumpulan catatannya di blog tersebut.
6
Andi sangat mengharap rekan-rekan semua bisa memberikan feedback pengembangan untuk buku ini, sehingga pengalaman dalam buku ini bisa semakin kaya. Feedback bisa dialamatkan ke email
[email protected] atau jika rekan-rekan tertarik untuk mengomentari tulisan-tulisan nya yang lain bisa mampir ke blog andikeren.wordpress.com
7
PASSION, CHARACTER, Dan COMPETENCY
Take our 20 Best people away and I can tell you that Microsoft would become an unimportant company
(Bill Gate)
8
Pengalaman adalah guru terbaik, begitu pepatah kuno berpesan. Belajar dari pengalaman melalui media cerita itulah yang akan Anda temukan di buku ini. Itulah sebabnya judul buku ini adalah “Good Talent Management Practice - The Wisdom of Warung Angkringan” yang merupakan catatan - catatan sisi lain pengalaman selama berkarya. Di Warung Angkringan kita bebas bercerita apa saja mulai dari urusan politik yang berat sampai dengan urusan ketombe. Begitu juga dengan obrolan angkringan yang terjadi antara saya dengan teman-teman Super Quantum, kami bergosip tetek bengek pengalaman di kantor, mulai dari pengalaman dengan rekan kerja yang seksi, bos yang galak, sampai dengan pengalaman mendapatkan gaji. Walaupun kami sudah berbeda kantor dan berbeda daerah, namun beruntunglah kami tinggal di dunia millennium hingga obrolan kami di warung angkringan bisa bertransformasi melalui angkringan di Facebook maupun Twitter. Dan hadirlah ditangan rekan-rekan sebuah buku hasil obrolan ngalor-ngidul kami tentang talent di dunia kerja. Kata talent tentunya sudah menjadi bahasa yang tidak asing bagi rekan-rekan yang berkecimpung di dunia HR. Talent sendiri diartikan sebagai karyawan yang mempunyai high competency, high performance dan high potential (HiPo) untuk lebih berkembang. Syarat ketiga inilah yang membedakan seorang talent dengan seorang star. Seorang karyawan boleh disebut sebagai karyawan star saat menunjukkan high competency dan high performance, namun untuk menjadi talent seorang karyawan harus ber high potential. Artinya seorang karyawan star belum tentu menjadi talent, namun seorang talent sudah tentu adalah seorang star. Dari definisi tadi sangat jelas bahwa syarat untuk menjadi talent adalah mempunyai high potential, high competency dan high performance. High potential akan didapat talent dari pekerjaan yang sesuai dengan passion dan character. Sedangkan high 9
competency akan diperoleh talent dari proses training and development dan high performance didapat talent dari perpaduan high potential dan high competency. Ada obrolan angkringan menarik tentang pernyataan saya bahwa high potential employee berasal dari passion dan character. Sedangkan, teman saya menganggap potential employee harusnya berasal dari bakat. Sebagai pondasi, saya setuju bahwa potensi memang berasal dari bakat, berhubung saya penganut behavioristik, saya percaya pengaruh bakat dari keturunan lebih kecil dibanding dengan lingkungan (kerja keras). Bukan berarti bakat sama sekali tidak dipengaruhi oleh keturunan, namun pengaruh lingkungan (passion dan character) mempunyai peranan lebih besar. Di chapter ini satu inilah, saya akan bercerita pengalaman saya tentang passion, character, dan competency. Menggunakan gambaran besar framework talent management, chapter berikutnya akan bercerita tentang sourching and talent identification yang kemudian dilanjutkan dengan chapter talent development, chapter succession dan diakhiri chapter remuneration. Di chapter satu ini catatan tentang passion akan diwakili catatan berjudul “Bongkar”, “Cinta Itu Indah”, “Passion atau Jabatan” dan “Keep On Track U’r Passion”. Sedangkakn catatan tentang character dapat dibaca melalui 10
catatan “Gara-Gara Orang Pindah Kerjaan”, dan “Talent To Be Great Talent”. Dan chapter ini akan ditutup dengan cerita tentang competency dengan judul “Si Cantik dan Si Buruk Rupa”, dan “Sisi Lain”
11
BONGKAR
Calau cinta sudah dibuang Jangan harap keadilan akan datang Kesedihan hanyalah tontonan Bagi mereka yang diperbudak jabatan BONGKAR~Swami 1989 Kemarin, saya melakukan coaching improvement untuk meningkatkan performance kerja kepada dua orang sub ordinat saya. Satu orang di pagi hari dan satu orang di sore hari. Lumayan menggugurkan kewajiban sebagai leader untuk mendevelop rekan sekerja. Obrolan kosong tentang pekerjaan dan jabatan dimulai. Dua orang berbeda dengan waktu yang berbeda dan tempat berbeda. Kilas-kilas impian masa depan, diceritakan. Satu orang bercerita kilas mimpinya di masa depan membangun jaringan entrepreneur. Satu nya bercerita keinginan belajar banyak hal. Pada dasarnya saya sebagai seorang orang yang berkecimpung di dunia people development percaya bahwa semua karyawan bisa menjadi seorang talent. Keyakinan saya ini tidak terkecuali juga untuk dua sub ordinat saya yang performance nya baru memburuk. Banyak hal yang mungin terjadi hingga salah satu syarat untuk menjadi talent, yaitu high performance belum bisa dicapai oleh ke dua sub ordinat saya. Saya percaya, talent tidak serta merta muncul dari bumi. Seorang talent lahir dari rahim passion pekerjaan yang dikerjakan. Dibesarkan dengan makanan character dan dididik menjadi competen oleh bapak coach dan ibu system development. Bisa jadi dua rekan kerja saya, saat melamar kerja awal terjebak dengan dosa perut. Orang baru bisa 12
disebut "orang" oleh masyarakat setelah mempunyai pekerjaan. Dikejar waktu oleh “kata masyarakat”, walaupun passion nya bekerja dengan mesin, namun karena adanya lowongan posisi admin, akhirnya bekerjalah dia sebagai admin. Kebalikannya, walaupun passion nya bekerja sebagai admin, namun karena adanya lowongan posisi mechanic, akhirnya bekerjalah dia sebagai mechanic. Hatinya dikalahkan realisasi perutnya yang lapar. Sebelum mendapat pekerjaan, bisa jadi memang perutnya menguasai hatinya, dan tugas seorang coach lah yang harus membantu mengalahkan perutnya. Bukan kata masyarakat lagi yang harus dipikirkan, tapi kata Erich Form "Being Human". Seorang coach harus mampu memilihkan kursi yang pas untuk duduk. Seorang coach juga harus mampu meng ergonomi kan letak kursinya. Recruiter sering kali menyebutnya dengan right man in the right place. Kesesuaian kursi diharapkan menenangkan kegundahan perut, memenangkan passion. Seperti lirik lagu Bongkar di atas. Karyawan dengan passion pun, pada suatu ketika bisa membuang cinta nya pada pekerjaan. Terjebak bisikan syetan masa kerja sudah lama, sudah saatnya mendapat jabatan. Karenanya, passion harus diberi makan dengan character. Diracik oleh koki "coach" dengan resep "system development yang pas". Sayang nya kita sering lupa memasukkan soft competency untuk memunculkan character dalam resep “system development”, dan kita hanya berfokus untuk memasukkan bumbu “technical competency”. Akibatnya tanpa character yang kuat seorang talent akan digerogoti setan jabatan.
Syarat Pertama Untuk Menjadi Talent Adalah Bekerja Sesuai Panggilan Jiwa (Passion) 13
CINTA ITU BAHAGIA
Semenjak SMP, saya sudah terlibat dalam dunia training and development. Tak terkecuali saat saya menginjakkan kaki di SMA dan Perguruan Tinggi, training and development tetap menjadi sebuah passion yang tidak bisa dipisahkan. Saya senang di tahun pertama saya di perguruan tinggi (2003), banyak teman-teman saya yang ikut tertarik dunia training and development. Memang di awal tahun 2000 pelatihan psikologis sedang menjadi trend. Dimulai dengan booming ESQ dari Ary Ginanjar, kemudian ada Nur Cahyo, Reza Syarif, Andri Wongso, Tung Desun Waringin dan trainer-trainer lainnya. Di Era itu teman-teman sangat menikmati dunia pelatihan. Terlibat dan menikmati proses di dalam menghayati dunia training and development. Walaupun, tidak tahu kapan akan menjadi fasilitator pelatihan. Bahkan kadang kala, rekan-rekan latihan berproses menjadi fasilitator yang baik selama tiga bulan, dan dibayar dengan kepuasan menjadi fasilitator training sehari saja. Era ini saya namakan era Sincerely. Tahun-tahun berikutnya, era Sincerely mengalami proses evolusi. Munculkan generasi baru bernama proffesionalitas. Tidak ada lagi latihan berproses menjadi fasilitator yang baik. Demi nama proffesionalitas, generasi baru hanya akan berlatih kalau jelas apa modulnya kapan training nya dan apa job description nya. Dunia terus berevolusi, generasi proffesionalitas berubah lagi menjadi makluk yang bernama Blue. Sudah jelas apa modulnya, sudah jelas kapan training nya, sudah jelas apa job description 14
nya, kalau belum jelas ada tidak nya fee, akhirnya pikir-pikir dulu. Saya bersyukur pada Tuhan, atas jiwaku yang tak tertaklukkan. Proses evolusi tidak mampu menaklukkan kecintaan saya pada dunia training. Saya masih berdiri di halaman dunia. Menonton generasi yang bertarung memperebutkan fee, kedudukan, nama, ataupun ketenaran. Seandainya saya berlatih, biarlah Tuhan yang menjadi pendengar. Dan saya bahagia untuk itu. Bukan uang, kedudukan, nama maupun ketenaran, tapi kebahagiaan. Melakukan sesuatu dengan kecintaan. Termasuk melakukan segelintir pekerjaan yang tidak penting. Jika dilakukan dengan kecintaan, bonus nya kedudukan, nama dan ketenaran. Sekedar bercerita pengalaman pribadi. Kecintaan terhadap training, mengantarkan saya keliling Jawa. Seorang mahasiswa dengan uang saku pas-pasan, bahkan untuk kos saja harus mencari kos-kosan yang gratis (masjid) bisa berkeliling Jawa. Hanya berbekal kecintaan pada pekerjaan yang kita laukan. Tidak mematok harus dibayar berapa, bahkan kalau perlu gratis, tidak mensyaratkan jumlah minimal trainee yang harus diajar supaya terkenal, asalkan passion untuk mengajar dapat tersalurkan sudah menjadi reward tak terkatakan. Bukankah pekerjaan kita, uang yang kita cari, kedudukan yang dikejar, ujung-ujungnya adalah kebahagiaan? Maka biarkan saya bahagia dengan kecintaan saya pada training and development? Dan cintailah pekerjaan Anda untuk bahagia.
15
PASSION ATAU JABATAN
Saya mempunyai seorang rekan kerja generasi X (1965-1980), seorang bos, yang tidak bertransformasi mengikuti pergerakan zaman. Miris rasanya, melihat cara nya memotivasi subordinatnya. Seperti orang-orang era 1965-1980 mencari menantu, tak peduli berapa kaya nya, seberapa tampan atau cantiknya, kalau tidak PNS, bisa-bisa hanya masuk nominasi nomer dua. Begitu juga cara rekan kerja saya memotivasi subordinatnya, "Kalau Anda menunjukkan performance yang bagus nanti Anda akan saya promosikan". Bagi generasi X, title adalah reward. Sehingga orang-orang yang lahir di era 1965-1980 lebih senang mempunyai menantu ber title PNS, atau sarjana. Dengan stereotype yang sama, bosbos dari generasi X sering kali juga memotivasi bawahannya dengan mengiming-imingi title (jabatan). Padahal tidak semua orang bisa termotivasi dengan jabatan. Memotivasi sub ordinat dengan jabatan tentunya juga bukan pilihan yang bijak. Sebagai mana kita ketahui jabatan itu seperti piramida, semakin ke atas semakin kecil. Apakah dengan begitu banyak karyawan yang ada harus berebut posisi yang semakin ke atas semakin sedikit? Memotivasi dengan jabatan juga menjadi hal yang berbahaya. Karyawan dengan motivasi menggebu untuk menduduki jabatan, bisa jadi melegalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih parahnya lagi, jika karyawan hanya 16
termotivasi mendapatkan jabatan, bisa jadi performance nya menurun saat sudah menempati jabatan yang menjadi tujuannya. Bagi generasi Y (lahir tahun 1980-1995), sebenarnya mereka bisa dimotivasi dengan menempatkan karyawan pada pekerjaan panggilan hatinya. Rekan kerja saya seorang Supervisor Plant adalah contoh nyatanya. Jam kerja normalnya harusnya jam 07.00-17.30. Namun karena kecintaannya terhadap mesin, dia bekerja dari jam 07.00 sampai jam 23.00 bahkan lebih. Bukan satu-dua kali rekan saya ini bekerja melebihi jam normal, namun hampir setiap hari. Dan dia tidak menuntut ditambah gajinya atau dinaikkan pangkatnya. Karyawan yang bekerja karena panggilan hatinya (passionnya) akan menunjukkan sifat pengorbanan (sacrifice). Mereka lebih memilih purpose dibandingkan posisi, lebih memilih nilai-nilai (values) dibandingkan pada kekayaan (numbers). Ini sangat berhubungan dengan keyakinan karyawan pada Tuhan yang maha Esa. Coba saja perhatikan Abdi Dalem Kraton Kasunanan Surakarta, meraka sudah bekerja puluhan tahun. Karir mereka mentok menjadi Abdi Dalem, gaji mereka bahkan tidak cukup membeli kebutuhan sehari-hari. Namun mereka masih bertahan bekerja dan memiliki performance yang bagus. Value mereka menjadi pedoman untuk bekerja. Karyawan yang tersalurkan passion nya juga akan memiliki engaged (keterikatan terhadap perusahaan). Selama perusahan mampu memberikan challenge terhadap passion nya, karyawan akan loyal terhadap perusahaan. Mereka memberikan komitmen nya untuk mencapai tujuan perusahaan. Mereka bekerja lebih keras, lebih kreatif dan lebih berkomitmen, dan mereka merupakan prediktor yang penting terhadap produktivitas perusahaan. Jadi dari pada memotivasi karyawan dengan jabatan, lebih baik memotivasi karyawan dengan memposisikan mereka ke pekerjaan yang sesuai dengan passion nya. 17
ON TRACK U’R PASSION
Setelah menulis catatan "Bongkar" tentang penting nya passion dalam melakukan apa saja, seorang rekan saya bercerita. Seperti catatan saya berjudul "Bongkar", saat ini dia bekerja di area yang bukan menjadi passion nya. Lulus kuliah sebenarnya dia masih idealis mencari dan menciptakan pekerjaan yang sesuai dengan passion nya. Namun, lapar perut memaksanya mengambil langkah menerima pekerjaan yang dirasa bukan passion nya. Akhirnya dia merasa tidak menghasilkan performance kerja yang maksimal. Pertanyaan saya kemudian adalah, Apakah benar kita tidak bekerja sesuai dengan passion kita? Yakinilah "Tidak ada yg sia-sia", tidak perduli apa passion Anda dan apa yang Anda lakukan sekarang. Setiap apa yang kita lakukan saat ini sebenarnya mengantarkan dan membentuk passion kita di masa depan. Syarat nya ada dua, pertama "kerjakan apa pun hari ini dengan maksimal". Kita dikenal orang dengan apa yang kita kerjakan hari ini. Mungkin hari ini kita merasa tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan passion kita. Tapi ingat orang lain melihat kita. Suatu ketika siapa tahu orang-orang yang bekerja sama dengan kita menjadi orang yang berada dalam range passion kita. Bayangkan saat sekarang kita dikenal sebagai orang yang buruk, image ini akan menempel bahkan saat kita sudah beralih ke jalur yang benar untuk mengejar passion kita. Tentunya sangat susah mengubah image walaupun performance di pekerjaan yang sesuai passion kita sudah semakin membaik. Mengerjakan pekerjaan yang bukan passion kita dengan maksimal juga penting untuk membangun karakter. Saat kita 18
mengerjakan pekerjaan yang tidak kita sukai dengan maksimal berarti kita memperbagus karakter yang kita punyai. Bagaimana tidak, pekerjaan yang kita tidak senangi saja menghasilkan hasil yang maksimal apalagi pekerjaan yang kita senangi atau sesuai dengan passion kita. Harus diingat juga bahwa untuk menjadi seorang talent, selain harus memiliki passion terhadap yang dikerjakan, juga harus memiliki karakter dan competency terhadap pekerjaan yang dilakukan Kolonel Sander adalah contoh yang baik bagi para pengejar passion. Semenjak usia 6 tahun, Sander kecil sangat suka menggoreng ayam. Namun, wajib militer memaksanya meninggalkan kecintaan menggoreng ayam untuk menunaikan kewajiban sebagai warga negara. Bukan nya seperti pemudapemuda lain yang setelah menyelesaikan wajib militer beralih profesi, Sander tetap berkarir di dunia militer dan menunjukkan prestasi yang baik. Karir nya pun menanjak hingga menjadi seorang kolonel. Setelah merasa cukup berproses di dunia militer, Sander yang berusia 40 tahun kembali mengejar passion nya yang sudah lama ditinggalkan, menggoreng ayam. Dari dunia militer, Sander mendapatkan character disiplin dan tidak mudah menyerah yang mengantarkannya pada kesuksesan. Walaupun berkali-kali resep Kentucky Freed Chicken nya ditolak, Kolonel Sander tidak putus asa. Lahir lah kemudian resep rahasia yang mengantarkannya menjadi pemilik waralaba yang tersebar di hampir semua negara. Syarat kedua yaitu keep on track. Tak peduli apa yang Anda lakukan saat ini, tetapkan goal yang ingin Anda capai. Seperti jalur pesawat terbang yang sudah ter track di navigasi pilot, 19
seperti itulah seharusnya kita mengejar passion. Walaupun pesawat sudah punya track navigasi, pesawat sangat jarang selalu tepat berada di jalur navigasi. Ada kala nya pesawat melenceng dari jalur navigasi, tugas menara kontrol lah yang kemudian selalu mengingatkan untuk kembali ke jalur yang benar. Karena memang susah berada di jalur yang benar. Kita juga perlu menara kontrol untuk mengingatkan saat kita mulai keluar dari jalur passion. Menara kontrol itu bernama tulisan dan orang lain. Selalu tulis goal Anda, dan ceritakan ke orang lain. Catatan mengingatkan kita untuk tidak lupa, dan orang lain akan tahu passion kita dan kadang kala menggelitik kita saat mulai keluar dari track passion. Di akhir catatan ini, saya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi saya mengejar passion. Semenjak SMP, saya sudah menetapkan jalur passion saya adalah WTS (Writer-TrainerSpeaker). Merintis passion tadi, di SMP dan SMA saya membuat Perkumpulan Pecinta Anak dan Mentoring untuk Teenager. Kegiatan utama kami adalah menjadi pendongeng untuk anak-anak dan menjadi mentor untuk para teenager. Di Perguruan Tinggi, saya kemudian mendirikan Lembaga Psikologi Terapan spesialis untuk out bound training. Masih mengejar passion, lulus kuliah, saya melamar di sebuah perusahaan dengan posisi sebagai Management Trainee. Awalnya saya mengira, tugas Management Trainee adalah mengurusi trainee (sebutan bagi para peserta pelatihan). Namun ternyata saya salah, ternyata Management Trainee bertugas untuk belajar bisnis proses perusahaan untuk disiapkan menjadi future leader. Lulus sebagai Management Trainee, saya di tempatkan di posisi Recruitment Officer. Satu setengah tahun berikutnya saya di rotasi untuk memegang posisi Personel Officer. Menggunakan dua rumus tadi, saya tetap bekerja dengan maksimal dan on track dengan passion. Saya selalu menceritakan passion saya di 20
dunia pelatihan pada rekan-rekan sekerja maupun ke atasan saya. Hingga akhirnya, di tahun ketiga saya mutasi ke cabang lain dengan posisi General Affair Officer. Di cabang ini, dengan rumus pertama, bekerja dengan maksimal di area kita, mengantarkan saya menjadi Best continuous improvement all site di tahun 2011. Akhirnya di bulan Desember 2012, passion saya terwujud. Di bulan itu saya di mutasikan lagi ke head office sebagai Learning and Development Analyst. Bagaimana jadi nya saat saya tidak perform di area sebelumnya? Bisa jadi passion saya tidak didengar orang. Dan bagaimana jadinya jika saya lupa dengan passion saya dan puas di area General Affair, yang telah diakui orang dengan Best Continuous Improvement? Tidak perduli apakah pekerjaan Anda sekarang sudah sesuai passion atau belum. Yakinlah apa yang Anda lakukan tidak ada yang sia-sia Banzai Selalu Anker-Andi Keren
21
GARA-GARA ORANG PINDAH KERJAAN
Saat menjalani program management trainee di tahun 20082009 ada kalanya saya nyaris kehilangan semangat dan menyerah di tengah jalan. Puncaknya ada sebuah peristiwa saat saya harus berkonflik dengan seorang superintendent dari section lain. Sebenarnya masalahnya sederhana saja, superintendent tersebut meminta data medical check up sub ordinatnya saat pertama kali masuk ke perusahaan. Berhubung saat itu system administrasi data karyawan masih kacau, data yang diminta pun tidak saya temukan. Walaupun sebanarnya sudah ada supervisor yang bertugas menghandle data karyawan, namun karena request data itu melalui saya yang note bene adalah seorang management trainee, akhirnya saya menjadi bulan-bulanan, baik dari supervisor data kepersonaliaan maupun superintendent yang merequest data. Peristiwa ini masih diperparah dengan sifat pendendam superintendent tadi. Sehingga setiap kali bertemu pasti masalah tersebut diungkitungkit kembali. Di lain waktu, masalah ini pun diceritakan ke rekan-rekan superintendent lain. Hampir menyerah dengan kondisi yang ada, saya nyaris memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai management trainee. Beruntung saat itu saya mempunyai coach yang baik (M. Adhy P). Saat saya mengutarakan keinginan untuk mengundurkan diri (resign) ada satu pesan beliau yang masih saya ingat sampai sekarang, “Jangan mengundurkan diri dengan alasan tidak cocok dengan seseorang, karena disetiap perusahaan kamu akan menemukan orang dengan tipikal yang sama”. Saya pun berfikir ulang tentang pengajuan pengunduran diri saya. Setelah saya piker-pikir, lagi-lagi ini adalah masalah membangun self character. Jika saya mengundurkan diri gara22
gara tidak cocok dengan orang maka diperusahaan yang kemudian saya masuki pun saya akan menggunakan pola yang sama, saya akan mengundurkan diri saat bertemu dengan orang yang tidak cocok dengan saya. Tentu cerita nya akan berbeda saat saya mencoba membangun character bisa beradaptasi dengan orang-orang dengan tipikal tadi, atau membangun character tidak mudah menyerah terhadap tekanan yang ditimbulkan oleh seseorang. Sepintar ataupun seberbakat apapun orang jika tidak punya karakter tidak akan menjadi talent. Contoh nya saja character strike for exelence (berjuang mencapai yang terbaik), saat ada karyawan berbakat dengan ide-ide nya namun tidak pernah berjuang mewujudkan ide-ide nya, hasilnya dia tidak akan pernah menunjukkan syarat kedua sebagai talent, yaitu high performance. Bahkan, Thomas Alfa Edison pemilik 1.039 hak paten pernah berucap, dari keseluruhan hak patennya, sebenarnya hanya pembuatan lampu pijar saya yang orisional ide nya, sedangkan penemuan lain berasal dari ideide orang pintar yang tidak mau bekerja keras mewujudkannya. Meyakini pentingnya character, bahkan mendiknas pun mulai tahun 2009 memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum nasional. Kurikulum pendidikan karakter tersebut berfokus pada sembilan pilar yang berasal dari nilai-nilai luhur, pertama cinta Tuhan dan segenap ciptaannya, kedua kemandirian dan tanggungjawab, ketiga kejujuran dan diplomatis, keempat hormat dan santun, kelima suka menolong, keenam percaya diri dan pekerja keras, ketujuh kepemimpinan dan keadilan, kedelapan baik dan rendah hati, dan kesembilan toleransi dan persatuan.
23
Bagi rekan-rekan yang sudah bekerja, ada banyak character positif yang bisa dibangun untuk menjadi great talent. Bahkan hampir setiap perusahaan mempunyai character yang membantu karyawannya supaya mengikuti character perusahaan tersebut. Kita sering menamakannya dengan company value. Dulu saya pernah bekerja di perusahaan dengan company value yang disingkat dengan BEST, Believe in the God, Eager to Learn, Sincelery, dan Toward Together. Dengan company value tersebut, karyawan dituntut memiliki empat karakter tersebut. Uniknya setiap tahun, perusahaan kami tersebut membuat acara selebration bagi para karyawan nya yang berprestasi dengan kategori hasil kerja terbaik dan terinternalisasi company value.
Tidak berputus asa berhadapan dengan orang sulit akan memperkuat character kita. Selain dengan bertahan dengan orang sulit, cara lain untuk mendapatkan character yang kuat adalah menginternalisasi company value.
24
TALENT TO BE GREAT TALENT
Hari ini menjadi korban project improvement section lain yang tidak dilakukan dengan smooth. Tujuan dari improvement nya sih baik, namun pra kondisi terhadap orang-orang yang akan terkena dampak tidak dilakukan dengan baik. Ujung-ujungnya, HRD yang tidak tahu menahu historical awal selalu dilibatkan saat terjadi masalah yang berhubungan dengan orang. Entah ini kutukan perusahaan atau superioritas departemen HRD. Sebenarnya masalah yang muncul tidak lah besar, hanya pra kondisi saja yang salah. Improvement yang akan dilakukan tidak dipersiapkan dengan matang. Selalu saja ada unsure pra kondisi man yang dilupakan. Tidak seperti unsure improvement lain yang berupa material, method maupun machince yang gampang diprediksi, disiapkan dan dipenuhi, memang unsure man lebih susah untuk diprediksi reaksi atas improvement yang diterapkan. Begitu juga dengan masalah yang terjadi pagi ini. Section terkait melupakan sosialisasi perubahan ke karyawan yang terkena dampak perubahan. Merasa takut dengan perubahan, karyawan memprotes kebijakan. Patut disayangkan, talent yang mempelopori improvement malah tidak berani mengambil tanggungjawab. Jurus Tai Chi Master dikeluarkan, masalah dilemparkan ke orang lain. Lebih disayangkan lagi, saat launching awal improvement, talent yang sudah mengidentifikasi akan terjadi masalah malah melarikan diri dengan tidak masuk kerja. Sebenarnya seorang talent sejati tidak merasa cukup dengan gelar talent saja. Seorang talent sejati harusnya memiliki 25
passion di hatinya untuk menjadi great talent. Dan gelar itu hanya boleh diberikan pada talent-talent yang berani mengambil responsibility. Para great talent menetapkan tujuan dan bekerja keras untuk mencapai tujuannya. Halang rintangan yang muncul dihadapi. Kesadarannya menuntunya bahwa masalah yang datang adalah bonus untuk memperkuat character nya. Dia selalu bekerja keras mengambil tanggungjawab atas apa yang sudah diputuskan. Bukannya malah bermain jurus Tai Chi, melempar masalah pada orang lain atas putusannya yang salah. Seorang great talent juga harus stay focused on their goals. Bukan karena, tekanan kemudian mengubah keputusan. Great talent tidak memberikan ruang bagi munculnya keraguan. Bukan berarti seorang great talent harus keras kepala. Andaipun harus mengubah keputusan, bukan karena takut akan tekanan, tapi karena keputusan baru yang dibuat memperkuat keputusan yang sudah diambil Perubahan keputusan untuk memperkuat keputusan adalah ciri great talent berikutnya, dia memiliki high standards. Apa yang dilakukan dan diperbuat selalu mengejar yang kesempurnaan. Tak ayal, kalau seorang great talent selalu berfikir dan bertindak melakukan improvement. Walaupun improvement yang dilakukan harus membuat great talent dihadang banyak masalah dan menjadi tidak popular. Masalah yang datang, dan terkucilkan dari popularitas tidak membuat seorang great talent mundur dari apa yang dilakukan. Karena dia memiliki sifat great talent berikutnya, positive thinking dan eager to learn. Dia memiliki self esteem yang 26
tinggi, selalu melihat masalah sebagai sebuah peluang dan pelajaran yang berharga. Semua kejadian dijadikannya pelajaran. Seakan-akan segala yang bersentuan dan berhubungan dengan dirinya tidak ada yang sia-sia. Termasuk saat membaca catatan kecil ini. Tidak Cukup Hanya Menjadi Talent yang mempunyai character sesuai company value, Jadilah Great Talent dengan memiliki character stay focused on their goals, high standards, positive thinking dan eager to learn
27
SI CANTIK DAN SI BURUK RUPA
Saya sangat senang membaca tulisannya Kahlil Gibran. Kesukaan saya ini berawal dari gaya-gayaan saja saat SMA. Maklum, masa SMA adalah masa-masa labil menjadi Don Juan. Apalagi jika bukunya ditentang kesana-kemari supaya dilihat para wanita. Kesannya menjadi lelaki romantis. Salah satu tulisan Kahlil Gibran yang saya baca di SMA dan masih membekas adalah cerita tentang “Si Cantik dan Si Buruk Rupa”, saya lupa judul aslinya, namun kira-kira beginilah isinya: Di sebuah desa, hiduplah dua orang wanita. Satu nya cantik dan selalu memakai pakaian bagus. Warga desa pun menamainya dengan si Cantik. Wanita satunya buruk rupa dan suka memakai pakaian yang jelek. Dia dipanggil warga dengan julukan si Buruk. Pada suatu hari, si Cantik dan si Buruk pergi mandi bersama di sebuah telaga. Tiba-tiba terbersit di pikiran Si Buruk, setiap hari selalu diolok-olok buruk oleh warga. Dia berpikir, mungkin pakaiannya yang tidak sebaik Si Cantik lah yang membuatnya dijuluki Si Buruk oleh warga. Bosan dijuluki Si Buruk, maka dia berniat mencuri pakaian Si Cantik. Buruk rupa kemudian berpamitan kepada Si Cantik, bahwa dia sudah selesai mandi dan cepat pergi karena ada urusan. Si Buruk kemudian menjalankan rencananya mencuri pakaian Si Cantik. Kemudian dia memakai baju Si Cantik kembali ke desa.Namun, harapan tinggal harapan saja. Pakaiannya yang cantik tidak membuat warga desa memanggilnya Si Cantik.Warga tetap mengenalinya sebagai Si Buruk. Berbeda dengan Si Buruk, Si Cantik yang selesai mandi tidak menemukan bajunya. Dia hanya menemukan baju Si Buruk. 28
Mau tidak mau berhubung malam sudah mulai menjelang, Si Cantik pun ahirnya mengenakan baju Si Buruk dan kembali ke desa. Anehnya warga desa masih mengenali nya sebagai Si Cantik. Cerita ini lah yang membuat saya pindah belajar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ke Universitas Negeri Semarang (UNNES). Karena saya menafsirkan cerita Kahlil Gibran, Si Cantik dan Si Buruk biasanya saya tafsirkan sebagai diri kita dan pakaian saya tafsirkan sebagai tempat belajar. Sehingga tafsir saya terhadap cerita Kahlil Gobran tadi adalah “tidak perduli sebagus apapun sekolah mu, jika dari awal tidak mempercantik diri tetap saja akan menjadi Si Buruk”. Competency dari hasil belajar memang tidak dipengaruhi 100% oleh fasilitas tempat belajar. Banyak tokoh-tokoh yang mengukir sejarah tidak bersekolah di sekolah dengan fasilitas belajar yang lengkap. Salah satu tokoh favorit saya adalah Dahlan Iskan. Dahlan yang hidup pas-pasan dan bersekolah di desa kecil bisa menjadi menteri yang fenomenal. Perguruan tinggi nya pun hanya di IAIN yang seringkali hanya menjadi universitas kelas kedua. Namun, semangat belajar beliau lah yang membuatnya sampai di kementerian. Layaknya di cerita tadi, Si Buruk yang mengenakan pakaian Si Cantik tetap saja terlihat buruk nya, dan sebaliknya Si Cantik yang mengenakan baju Si Buruk tetap saja terlihat cantik nya. Kepindahan saya dari universitas dan fasilitas belajar yang bagus ke universitas dengan fasilitas belajar kelas dua seakan ingin membuktikan kebenaran tafsir saya tadi. Ternyata memang dengan adanya fasilitas dapat memperbanyak dan mempercantik competency yang kita dapatkan. Namun, fasilitas saja yang tidak diikuti kemauan belajar seperti menyediakan pakaian bagus yang tidak akan pernah dipakai. Terbukti setelah saya lulus kuliah dan bertemu serta berinteraaksi dengan para 29
alumni universitas terbaik, ada yang pemikirannya luar biasa dan ada yang biasa-biasa saja bahkan ada juga yang menggelikan. Saat pertama kali saya menceritakan Si Buruk dan Si Cantik kepada teman-teman, sempat terjadi diskusi menarik. Diskusi berawal dari pernyataan, sudah sewajarnya Si Cantik tetap Cantik karena sudah dari sono nya (diberi gift oleh Tuhan). Kok ya o, Tuhan memberikan gift buruk rupa pada Si Buruk? Kalau sudah gift mau digimanain lagi. Jawaban saya, kalau memang Si Buruk ingin gift (memiliki passion) seperti Si Cantik, seharusnya dia berusaha lebih baik, contohnya adalah dengan operasi plastic. Atau kalau ingin membuat kagum penduduk desa dan berkeinginan (passion) seperti Si Cantik, dia bisa menonjolkan hal lain, yaitu character cantik nya. Seperti berlian yang tidak serta merta menjadi batu berharga. Awalnya berlian juga hanya sebuah batu yang harus diproses oleh waktu untuk menjadi berlian. Begitu juga dengan batu-batu perhiasan lainnya, sebelumnya mereka hanya batu yang berusaha dan tidak menyerah saat diproses oleh waktu untuk menjadi batu yang lebih indah. Tidak peduli seberapa banyak dan lengkap fasilitas belajar yang Anda miliki, jika Anda tidak berkeinginan belajar tidak aka nada gunanya
30
SISI LAIN
Kemarin 6 April 2013, tidak sengaja saya menonton acara di Metro TV yang mengulas tentang Prof. Yohanes Surya. Setelah di tahun 2006, Prof. Yohanes Surya berhasil membawa Indonesia menjadi juara umum sedunia lomba Fisika mengalahkan 86 negara, beliau ditantang untuk tidak hanya mengurusi anak-anak pintar saja. Prof. Yohanes Surya pun berkata sebenarnya tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang belum menemukan guru dan metode yang tepat. Membuktikan perkataannya, Prof. Yohanes pergi ke Papua menghadap Gubernur Papua. Beliau berkata ke Gubernur Papua, carikan saya siswa yang paling bodoh di Papua dan akan saya didik menjadi juara Matematika. Gubernur Papua pun mencari 14 siswa yang akan dididik Yohanes Surya. Salah satunya adalah siswa yang empat kali tidak naik kelas saat kelas dua SD. Prof. Yohanes juga bercerita pertama kali mengajar mereka, penjumlahan tiga ditambah lima saja harus dijumlahkan dengan sempoa. Banyak di antara anak-anak Papua yang paling bodoh itu kampungnya paling terpencil dimana semua orang di kampungnya masih menggunakan koteka. Melalui Yohanes Surya Institute, siswa-siswa yang dicap bodoh tadi dididik. Setelah enam bulan mengikuti pendidikan, anakanak tadi sudah menguasai mata pelajaran dari kelas 1 sd 6 SD. Setelah empat tahun menjalani pendidikan di Yohanes Surya Intitute, di tahun 2011 mereka pun diberikan kesempatan untuk 31
mengikuti perlombaan Sains Matematika se Asia. Hasilnya sungguh membanggakan, mereka berhasil merebut emas, perak dan perunggu. Saking berhasilnya program pendidikan Yohanes Surya Institute untuk anak-anak Papua ini, mereka hampir selalu menyapu penghargaan di lombalomba sains. Sampai-sampai Prof. Yahanes Surya bercerita saat ada lomba Sains di Malang, beliau mendengar ada anak Jakarta yang menceletuk, “yah ada anak Papua lagi, pasti kalah deh”. Akhirnya, beliau memang berhasil membuktikan perkataannya, “Tidak Ada Siswa yang Bodoh, yang Ada Hanyalah Siswa yang Belum Menemukan Guru dan Metode Belajar yang tepat”.
32
SOURCING DAN IDENTIFIKASI TALENT
Kata pelamar, mencari kerja itu sulit Kata HRD, lebih sulit lagi mencari karyawan
(N. Kuswandi)
33
Setelah di chapter satu tadi kita membahas tiga syarat untuk menjadi talent, maka pertanyaan yang mungkin muncul berikunya adalah bagaimana cara mencari dan mengidentifikasi talent. Secara umum system perekrutan (mencari) talent ada dua yaitu internal recruitment dan exsternal rcuitment. Internal recruitment berarti perusahaan mencari talent dari internal perusahaan atau karyawan-karyawan yang sudah ada diperusahaan. Kelebihan metode recruitment internal adalah secara source orang nya sudah tersedia, orang-orang nya juga sudah familiar dengan budaya kerja diperusahaan, investasi yang dikeluarkan untuk mencari dan mengidentifikasi lebih sedikit dibanding exsternal recruitment. Internal recruitment juga bisa menjadi tool untuk memotivasi karyawan, karena dengan adanya recruitment internal maka karyawan akan berlomba-lomba untuk menunjukkan performance terbaiknya supaya bisa diidentifikasikan sebagai talent. Seperti apapun yang ada di dunia, segala hal selain mempunyai kelebihan juga mempunyai kelemahan begitu juga dengan metode internal recruitment. Kelemahan metode ini terletak pada orang yang berhasil dilacak dan ditentukan sebagai talent, kelemahan pertama adalah investasi untuk mendevelop competency nya, kedua berhubung talent yang berhasil dilacak adalah karyawan perusahaan dan sudah terpola dengan cara kerja perusahaan bisa jadi ide kreaktif untuk mengembangkan perusahaan kurang terekpos.
34
Selain metode internal recruitment, saya juga sempat menyinggung metode recruitment lain yaitu exsternal recruitment. Metode ini berarti perusahaan mencari talent dari merekrut talent dari perusahaan tetangga. Metode exsternal recruitment juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini adalah perusahaan tidak perlu lagi melakukan development atas competency talent, kelebihan kedua para talent tersebut mempunyai sudut pandang baru untuk mengimprove area kerjanya. Kekurangannya, biasanya perusahaan harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk untuk menghijack talent-talent, kekurangan kedua adalah masalah budaya organisasi, belum tentu talent yang dibajak memiliki kesamaan budaya dengan perusahaan. Selain metode internal dan exsternal recruitment, ada juga recruitment dengan semi internal dan exsternal. Salah satu bentuk recruitment model ini yang sangat familiar dengan kita adalah recruitment untuk para future leader dari fresh graduate yang sering kali diberi nama management trainee. Sifat exsternal recruitment dari model ini adalah orang yang direcruit merupakan orang diluar perusahaan. Sedangkan internal recruitment dilakukan saat melakukan assessment kesiapan management trainee untuk menempati posisi tertentu. Tentu saja metode recruitment semi internal-exsternal ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini adalah perusahaan bisa mendapatkan talent dengan price yang lebih murah. Perusahaan juga bisa lebih mudah memdevelop talent fresh graduate ini sesuai dengan value perusahaan. Sedangkan kelemah nya, dengan recruitment semi internalexsternal ini perusahaan harus menyisihkan exstra time untuk mendevelop talent, dan perkara mendevelop talent juga bukan barang yang murah.
35
Jika kemudian saya di tanya, dari ketiga model recruitment tadi mana yang lebih baik? Saya akan menjawab sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Saat perusahaan memiliki system development yang baik untuk mendevelop talent maka saya lebih prepare untuk merekomendasikan internal recruitment dan semi internal-exsternal recruitment. Namun, jika system development nya belum terlalu kuat maka lebih baik merekrut talent dari exsternal perusahaan sambil memperbaiki system development di perusahaan. Walaupun ada tiga model sourching (recruitment) and identification (selection) talent, di buku ini terutama di chapter ini saya akan lebih banyak bercerita tentang internal recruitment. Catatan-catatan saya akan dimulai dari cara melacak orang yang memiliki high performance (melalui performance appraisal) yang diawali dengan sedikit pengantar cara membuat indicator pencapaian performance, dan dilanjutkan dengan memoderasi performance dari semua hasil performance appraisal karyawan. Kemudian saya akan bercerita tentang bagaimana melacak high competency dan high potential melalui beberapa metode assessment. Kemudian chapter ini akan saya tutup dengan cerita talent comitte yang akan memutuskan seorang karyawan menjadi seorang talent atau tidak, mendevelop talent, mengevaluasi program development, melakukan successi dan mendesign remuneration untuk para talent.
36
GAMIFICATION
Bertemu lagi dengan fase "Penilaian Karya (PK)" di perusahaan. Di tahun 2012, ini adalah penilaian terakhir di tahun ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian besar karyawan di nilai pada standar baik, baik sekali, dan istimewa. Tidak ada karyawan yang nilainya cukup atau jelek. Fenomena ini sebenarnya terjadi di hampir semua perusahaan. Dari sisi human, penyebab fenomena ini bisa bisa berasal dari atasan yang tidak mempunyai data actual performance anak buahnya, atasan ingin dilihat pemurah oleh anak buah, atau bisa juga dari anak buah terlalu persuasif dalam proses coaching PK. Berbagai teknik analisa data dimunculkan untuk mengurai keruwetan penilaian ini. Salah satunya adalah, Teknik analisa "Patokan Acuan Norma" atau lebih familiar dikenal dengan kurva normal. Teknik analisa ini membantu untuk mengurai dan memposisikan ulang karyawan dalam kurva yang lebih normal. Sayangnya tidak ada apapun di dunia ini yang sempurna. Termasuk pendekatan kurva normal. Dengan pendekatan ini mau tidak mau, seorang atasan harus merelakan 10% anak buahnya berada diposisi kurva istimewa dan sangat kurang. Padahal bisa jadi semua anak buahnya benar-benar karyawan istimewa (talent). Atau sebaliknya, bisa jadi semua anak buahnya adalah death wood. Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi jika performance karyawan tersebut terdata dengan baik, sehingga karyawan dapat dinilai secara actual dan tidak perlu menggunakan Patokan Acuan Norma lagi. Gamification, bisa jadi menjadi sebuah solusi. Konsep ini adalah sebuah sistem kerja yang di dalamnya terdapat sistem skoring yang setiap berkala di up date sehingga 37
semua orang bisa melihat. Rekan-rekan operator produksi di perusahaan saya sebenarnya sudah terbiasa dengan konsep ini. Tiap minggu, mereka diperlihatkan hasil performance "Pay Load (jumlah muatan) maupun ritasi" oleh section Engineering. Sehingga operator bisa memonitor performance mereka sendiri. Selain meningkatkan keakuratan data, konsep ini bisa membuat karyawan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya. Di satu sisi, konsep gamification yang bagus adalah yang bisa menimbulkan kompetisi antar grup, bukan saja kompetisi individual. Jika tidak, Anda akan secara tidak sengaja membuat karyawan berusaha melakukan kecurangan untuk mencapai skor yang tinggi. Sepenting-pentingnya proses keakuratan pemberian nilai atas performance karyawan, dan analisa data yang dilakukan, sebenarnya masih ada satu proses lagi dalam penilaian performance appraisal yang tidak boleh dilupakan, yaitu proses coaching. Tanpa coaching nilai performance appraisal hanya sekedar nilai saja. Proses coaching performance appraisal yang bagus tentunya harus menjadikan karyawan diposisi learner (coachee) dan coach disaat yang bersamaan. Dengan menjadi coach berarti karyawan berperan untuk mengemukakan gagasan–gagasan nya supaya nilai performance berikutnya semakin baik. Sedangkan saat menjadi coachee berarti, karyawan berperan untuk menerima feedback dari atasannya terkait gagasan-gagasan yang disampaikan. Dengan menjadi choacee, karyawan mendapat sudut pandang baru dari luar untuk mengembangkan dirinya. Dan saat menjadi coach, karyawan bisa berkomitmen terhadap hasil coaching. Karena dia adalah coach bagi dirinya sendiri Up Date dan Faktual Penilaian Selain menjamin Validitas dan Reliabilitas Juga Mampu Memotivasi Kinerja Karyawan 38
INDIVIDUAL PERFORMANCE APPRAISAL REDEFINE
Akhir tahun, selain kesibukan membuat budget untuk tahun depan, dan merencanakan man power, jangan sampai melupakan IPAR - Individual Performance Appraisal Redefine. Melihat lagi apakah performance appraisal yang direncanakan sudah sesuai dengan strategi perusahaan di tahun depan? Mengevaluasi kesesuaian performance appraisal dengan up date job description? Dan mengevaluasi linked antara individual performance appraisal satu dengan key performance indicator department? Tiga hal tadi menjadi sesuatu yang mendasar untuk dilihat ulang oleh HR. Kesalahan mendesign performance appraisal bisa berakibat membuat rendahnya performance perusahaan dan salah mengidentifikasi talent. Melanjutkan catatan saya sebelumnya berjudul “Gamification” saya bercerita bahwa, hampir tidak ada atasannya yang memberikan nilai buruk kepada bawahannya, sehingga selain perlu dilakukan validasi dan up date data juga harus dilakukan pembuatan indicator performance yang benar. Karena bisa jadi nilai performance karyawan bagus gara-gara performance yang diukur adalah performance yang mudah dikerjakan dan tidak membutuhkan effort yang besar. Balance scorecard biasanya digunakan oleh perusahaan untuk menjawab tantangan tersebut. Balance scorecard disusun berdasarkan empat perpektif utama, yaitu financial perspective, Costumer perspective, internal process perspective, dan learning development perspective. Performance indicator yang dibangun 39
berdasarkan balance scorecard melibatkan ke empat perspective tersebut. Saat kita ingin membuat performance indicator di finance perspective ada dua pilihan eleman yang bisa dipilih yaitu, efficiency Cost, atau menghasilkan profit. Contoh seorang marketing. Karena seorang marketing adalah penghasil uang bagi perusahaan maka elemen di financial persfective yang cocok untuk marketing adalah menghasilkan profit. Sehingga contoh performance indicator nya bisa jadi adalah: increase benefit 5% dari tahun kemarin. Berbeda dengan marketing, seorang HR, tentunya lebih tepat di efficiency Cost, maka contoh performance indicator nya adalah HR Cost sesuai budget yang telah direncanakan. Perspective balance scorecard ke dua, yaitu Costumer. Perpective balance scorecard ke dua ini, mempunyai beberapa elemen, yaitu perolehan pelanggan, profitabilitas pelanggan, dan kepuasan pelanggan. Contoh performance indicator bagi seorang HR adalah sebagai berikut. Seorang HR tentu pelanggannya sudah jelas, yaitu seluruh karyawan. Sehingga pilihan elemen di costumer persfective tentu saja bukan perolahan pelanggan ataupun profitabilitas pelanggan, namun kepuasan pelanggan. Ingat bahwa performance indicator base on Balance Scorecard harus saling terkait. Sehingga jika : Financial perspective : HR Cost sesuai budget yang telah direncanakan Costumer perspective : Pekerjaan seorang HR apa yang bisa mengeluarkan uang tetap sesuai budget namun costumer (karyawan) bisa puas? Pekerjaan itu bisa jadi adalah tidak ada kekurangan bayar kepada costumer (karyawan) atau pembayaran tepat waktu ke costumer (karyawan). Sehingga performance indicator seorang HR yang link dengan financial perspective adalah “Tidak ada complaine 40
kekurangan atau kelebihan bayar dari karyawan” atau “Pembayaran gaji tiap bulan tepat di tanggal 1” Perspective ketiga dari balance scorecard yang berupa internal proses punya elemen berupa mutu dan keandalan produk, kecepatan memenuhi kebutuhan pelanggan, serta kecepatan merespon complain pelanggan. Dari ketiga elemen tersebut seorang HR bisa menggunakan semua elemen tersebut untuk membuat indicator performance appraisal, contoh saja kita menggunakan elemen mutu dan keandalan produk. Melanjutkan contoh key performance indicator untuk seorang HR tadi, ingat bahwa antar perrpective harus saling terkait maka : Financial : HR Cost sesuai budget yang telah perspective direncanakan Costumer : Tidak ada complaine kekurangan atau perspective kelebihan bayar dari karyawan Pembayaran gaji tiap bulan tepat di tanggal 1 Internal : Supaya tidak ada complaine kekurangan proccess gaji dan pembayaran bisa tepat waktu, perspective proses apa yang harus dilakukan HR untuk menjaga mutu pelayanan tidak ada complaine dan pembayaran tepat waktu? Jawabannya bisa jadi beraneka ragam. Mungkin salah satu cara nya adalah mengikuti SOP penggajian yang ada Sehingga performance indicator seorang HR yang link dengan costumer perspective adalah “Proses penggajian 100% sesuai SOP” Artinya jika SOP penggajian bisa berjalan 100%, maka tidak akan ada error dalam penggajian, jika tidak ada error maka tidak aka nada complaine dari karyawan dan penggajian bisa tepat waktu. Jika tidak ada complaine kekurangan atau kelebihan bayar dipenggajian maka HR Cost base on benefit 41
Selain ketiga perspective balance scorecard di atas, masih ada satu perspective terakhir yaitu learning and development. Elemen di perpective terakhir ini ada dua pilihan yaitu development people dan development organization. Anggap saja kita mau developt people nya. Ingat bahwa indicator performance nya harus selalu berhubungan dengan indicator performance tiga perspective di atasnya. Masih menggunakan contoh seorang HR, maka : Financial perspective Costumer perspective
Internal proccess perspective Learning and development perspective
: HR Cost sesuai budget yang telah direncanakan : Tidak ada complaine kekurangan bayar dari karyawan Pembayaran gaji tiap bulan tepat di tanggal 1 : Proses penggajian 100% sesuai SOP
: Pengembangan orang seperti apa yang dibutuhkan supaya seorang HR mampu melakukan proses penggajian yang sesuai dengan SOP penggajian?
Jawabannya bisa jadi beraneka ragam. Mungkin salah satu cara nya adalah dengan memberikan training tentang SOP penggajian yang ada Sehingga performance indicator seorang HR yang link dengan internal proccess perspective adalah “Semua team payroll HR sudah mengikuti training SOP Penggajian dan Lulus training” Sehingga jika kita kumpulkan semua indicator performance untuk seorang HR di atas maka akan di dapat table sebagai berikut:
42
Dari contoh di atas jika kita gabungkan akan menjadi KPI yang saling berhubungan. Jika semua team payroll tersosialisasi, paham dan bisa menggunaan SOP, maka proses penggajian akan 100% sesuai dengan SOP. Jika SOP payroll dilaksanakan 100% maka tidak ada kesalahan pembayaran gaji, jika tidak ada kesalahan bayar gaji maka HR Cost akan base on budget.
Salah satu tool yang bisa digunakan untuk membuat indicator performance adalah balance scorecard yang memiliki empat perspective, yaitu financial perspective, costumer perspective, internal process perspective dan learning and development perspective
43
BEHAVIORAL EVENT INTERVIEW
Setelah kita melihat hasil performance appraisal dari seorang karyawan, dan kita sudah melakukan moderasi maka kita akan menemukan karyawan dengan high performance. Singkatnya saat ada karyawan yang memiliki nilai performance appraisal sangat baik, maka kita sudah menemukan karyawan yang memiliki salah satu syarat untuk disebut talent, yaitu memiliki high performance. Melanjutkan process untuk sourching and identification talent untuk menemukan karyawan yang memiliki syarat kedua high competence dan syarat ketiga high potential bisa dilakukan dengan melakukan asessment. Berikut saya akan bercerita tentang beberapa metode assessment (selain psikotes) yang sering digunakan untuk mengassess para karyawan dengan high performance. Salah satu cara yang cukup ampuh untuk mengassess competency dan potential kandidat talent adalah dengan Interview Base On Competency atau lebih dikenal dengan behavioral event interview (BEI). BEI mulai dikenal sebagai salah satu tools HRD ketika konsep competency base mendapat tempat didunia bisnis. BEI dikembangkan dari konsep investigasi dan introgasi intelejen dan militer serta kepolisian dalam mengorek dan menggali informasi strategis sesuai kebutuhan. Konsep ini kemudian dibawa kedalam dunia bisnis dan HRD dengan memasukkan unsur-unsur psikologi dan humanistik disesuaikan dengan kondisi yang ada. Teknik BEI ini sangat direkomendasikan dalam dunia seleksi karyawan, competency assessment, performance potential assessment (performance prediction), coaching maupun gap skills and behavior analysis. Teknik ini bahkan diclaim mampu menggali 70% competency yang dibutuhkan, dengan tingkat 44
validasi tertinggi dibandingkan teknik-teknik dan tes-tes yang lain. Cuma memang kelemahan metode interview adalah cenderung memakan waktu lama untuk menggali competency. Teknik dasar BEI adalah structural interview, artinya ada panduan besar untuk menggali competency calon karyawan. Pengguna teknik ini menyebut garis panduan tersebut dengan nama STAR. S nya merupakan singkatan dari Situation, T nya dari kata Task, A nya dari Action dan R nya dari Result. Artinya dalam menggali competency calon karyawan, pertanyaan pertanyaan dalam interview selalu diarahkan ke dalam situation, task, action dan result yang pernah dialami oleh calon karyawan. Dasar pemikiran nya adalah perilaku yang pernah dilakukan di masa lalu diprediksi akan dilakukan di masa kini dan masa depan. Sebagai contoh jika di masa lalu seorang calon karyawan pernah berada di situasi menjadi anggota team yang baik maka di masa sekarang maupun masa depan dapat diprediksi dia juga akan berperan sebagai anggota team yang baik. Pertanyaan yang mengarah pada Situasi contohnya adalah pernahkah Anda terlibat dalam project tertentu? Atau kalau untuk seleksi fresh graduate contoh pertanyaannya, selama Anda kuliah apakah Anda terlibat dalam organisasi kampus? Inti pertanyaan di Situasi adalah menggali keterlibatan calon karyawan dalam situasi tertentu. Sedangkan pertanyaan di Task intinya adalah menggali job description calon karyawan terhadap situasi yang pernah dialami. Contoh pertanyaan di Task adalah, coba ceritakan tugas Anda dalam project yang melibatkan Anda? Panduan pertanyaan ketiga dari behavioral event interview adalah Action. Inti dari pernyataan Action ini adalah actual yang dilakukan atas job description yang diberikan. Tujuannya adalah mengecek, kesesuaian antara job description dengan actual yang 45
dilakukan. Contoh pertanyaan nya adalah, apakah ada kesulitan dalam menjalankan job description atau tugas yang diberikan? Baagaimana cara Anda menangani kendala yang muncul saat Anda melaksanakan job description Anda? Coba ceritakan bagaimana cara Anda melaksanakan job description yang diberikan? Dan panduan terakhir dari behavioral event interview adalah Result. Inti pertanyaannya adalah mengecek hasil akhir dari action yang dilakukan atas job description yang diberikan. Contoh pertanyaannya adalah, bagaimana hasil akhir dari project yang Anda lakukan? Apakah solusi pemecahan masalah yang Anda utarakan tadi berhasil? Semakin Anda ingin mendalami competency kandidat talent bisa dilakukan dengan semakin memperdalam pertanyaanpertanyaan wawancara. Bahasa gampangnya adalah STAR di dalam STAR. Contoh, ada pertanyaan tentang situasi. Ada calon karyawan yang terlibat dalam situasi menjadi seorang supervisor. Situasi nya bisa diperdalam lagi menjadi, sebagai seorang supervisor, situasi apa yang paling buruk yang pernah dialami. Semakin Anda berhasil melakukan deep interview maka akan semakin kelihatan competency asli calon karyawan. Mau tidak mau untuk ahli melakukan deep interview, Anda harus sering berlatih dan menginterview banyak orang.
Salah satu tool untuk mengidentifikasi high competency adalah dengan menggunakan assessment behavioral event interview
46
FOCUS GROUP ACTIVITY
Tool assessment untuk mengidentifikasi talent memang banyak dan beragam. Selain psikotes dengan basic assessment tulis, wawancara dengan basic assessment verbal, ada juga Focus Group Discussion dengan basic assessment observasi. Sewaktu kuliah dulu, saya dan rekan-rekan Lembaga Psikologi Terapan Super Quantum sempat mengembangkan Focus Group Discussion (FGD) menjadi Focus Group Activity (FGA). Seperti basic awal Focus Group Discussion yang mengandalkan obeservasi, Focus Group Activity juga mengandalkan observasi untuk mengassess talent. Pengembangan FGD didasari dari waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan FGD yang cenderung agak lama. Di sisi lain, FGD yang menggunakan diskusi sebagai tool seleksi, kadang kala tidak bisa memperlihatkan calon karyawan dengan tipikal pekerja. Dan kadang kala observer terjebak dengan calon karyawan yang pandai bicara. FGA kemudian muncul untuk menjawab tantangan yang diberikan FGD. Basis FGA ini adalah game out bound yang didesign sedemikian rupa menyesuaikan dengan tipikal pekerjaan yang ingin diisi. Tentunya untuk menggunakan FGA yang perlu disiapkan pertama kali adalah kompetensi jabatan yang ingin diisi. Kemudian dari kompetensi yang ada didesign lah game atau aktifitas yang bisa memunculkan perilaku sesuai kompetensi yang ingin diobservasi. Sedikit tip, game yang gampang digunakan untuk memunculkan soft competency adalah speed 47
game. Jadi calon karyawan ditantang untuk menyelesaikan permainan dalam batas waktu yang sempit. Dengan keterbatasan waktu akan terlihat sekali orang-orang yang suka memaksakan pendapat, orang-orang yang bertindak sebagai follower, orangorang yang bertindak sebagai leader, etc. Sebagaimana teorinya Freud, tekanan memunculkan perilaku sebenarnya. Selain mendesign game, jangan lupa juga untuk mendesign form observasi nya. Tentunya form nya harus disesuaikan dengan kompetensi yang akan diukur. Form tadi akan digunakan sebagai ukuran dan panduan mengobservasi selama proses game berlangsung. Jangan lupa juga untuk melakukan pencataan secara timely saat pelaksanaan game berlangsung. Lebih baik lagi jika selama pelaksanaan game didokumentasikan dengan video. Sehingga bisa kita bisa melakukan pengamatan ulang terhadap perilaku-perilaku yang mungkin terlewatkan saat obsrvasi. FGA ini bisa dikombinasikan dengan FGD. Setelah aktifitas game dilakukan, trainee bisa ditantang untuk mendiskusikan game yang tadi dilakukan. Proses diskusi juga akan memperkuat hasil observasi kita saat FGA berlangsung. Kita bisa menggunakan teori exsperiential learning circle untuk dijadikan bahan diskusi. Di awali dengan diskkusi pertanyaan apa pengalaman yang didapat saat melakukan game tadi? Dilanjutkan dengan bagaimana perasaannya saat melakukan game tadi? Pembelajaran apa yang didapat dari game tadi? Dan yang terakhir ditutup dengan pertanyaan apa yang akan Anda lakukan dari hasil pembelajaran tadi? Biarkan diskusi berkembang dan observasi lah perilaku-perilaku yang muncul Tool lain yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi high competency adalah dengan FGD dan FGA
48
KOMITE TALENT
Walaupun hidup di satu atap perusahaan, kadang kala tiap function memiliki kebijakan masing-masing terhadap program talent. Serasa ada perusahaan dalam perusahaan rasanya. Penyebab utamanya tentunya di system talent management nya sendiri. Karena belum ada Standart Operational Operation program talent sehingga tiap function memiliki kebijakan masing-masing untuk program talent. Bagi function dengan kebijakan talent yang mudah tentu saja menjadi hal yang menyenangkan bagi telant yang di function tersebut. Namun, kebijakan tersebut tentunya membuat iri telant dari function lain yang memiliki standar talent yang cukup sulit ditembus. Hal-hal semacam ini lah yang kadang kala membuat para talent memilih pindah berkarir di perusahaan tetangga. Begitu lah yang terjadi dengan salah satu rekan saya. Setelah diidentifikasi menjadi pool talent selama dua tahun dan mengikuti program development, rekan saya masih saja belum ada tanda-tanda mendapat giliran untuk mengikuti program successi di perusahaannya. Memang manager atasannya mempunyai Helicopter View untuk melihat kesiapan rekan saya untuk menduduki posisi successi. Namun entah mengapa mungkin Helicopternya terlalu rendah sehingga view nya jelek atau mungkin juga terlalu tinggi hingga tidak kelihatan. Tidak sabar dengan kondisi yang ada, rekan saya akhirnya memutuskan resign dari perusahaan dan menjadi HRIS Specialist di perusahaan saingan. Yang terjadi berikutnya, satu minggu setelahnya, perusahaannya yang ditinggalkan memasang iklan lowongan untuk posisi Superintendent Compentation and Benefit.
49
Program successi yang tidak standard juga berakibat perusahaan mempromosi talent yang belum matang untuk menduduki posisi tertentu. Sehingga talent tidak lagi menjadi talent, high performance dan high competency yang merupakan dua dari tiga ciri seorang talent akan hilang. Menghindari kedua kerugian tadi pastinya perusahaan harus membuat standar operational prosedur talent yang baik dan benar. Supaya tidak ada kesan perusahaan dalam perusahaan, salah satu yang bisa dimasukkan dalam Standard Operational Prosedur Successi adalah Talent Komite. Tujuan dari komite ini adalah mengawal pelaksanaan proses Talent Management, mulai dari proses identifikasi talent - development talent – dan talent succession. Komite Talent diwakili oleh dua level lebih tinggi dari talent yang akan mengikuti program successi. Sebagai contoh, sebuah perusahaan mempunyai struktur organisasi sebagai seperti gambar di samping. Jika ada talent dengan level supervisor untuk program successi superintendent maka dua level di atas superintendent yang akan mewakili function untuk menjadi anggota komite adalah para General Manager. Begitu juga dengan jika talent adalah level foreman yang mengikuti program successi supervisor. Maka anggota komite yang mewakili function adalah dua level di atas supervisor yaitu para manager. Anggota komite mempunyai tentunya mempunyai tugas di tiap flow chart talent management. Pada tahap identifikasi talent, Komite Talent diminta untuk membawa data sub ordinatnya yang 50
memiliki tiga ciri, high performance (data dari performance appraisal), high competency dan high potential (data dari hasil assessment). Komite Talent kemudian memberikan penilaian terhadap kandidat-kandidat talent yang dibawa oleh para anggota komite dan menentukan mana saja talent-talent yang siap seketika untuk successi, mana talent-talent yang masih perlu diberikan development hingga siap untuk mengikuti program successi. Tidak berhenti pada tahap identifikasi talent saja, Komite Talent juga harus bertugas pada tahap development. Pada tahap ini komite talent bertugas untuk memonitor program development talent. Apakah program development yang sudah direncanakan oleh coach nya berjalan dengan maksimal? Apakah ada kendala dalam program development nya? Dan apakah talent sudah siap untuk dievaluasi terkait program development nya? Tugas terakhir Komite Talent tentunya adalah melakukan successi. Komite Talent harus menguji competency talent di posisi yang akan ditempatkan. Bentuk ujian competency yang dilakukan bisa berupa membuat dan menyelesaikan sebuah project challenge, atau bisa juga dengan evaluasi seperti ujian saat sekolah. Di chapter succession akan dibahas metode evaluasi yang bisa dilakukan oleh Komite Talent.
51
TALENT DEVELOPMENT
Pada dasarnya semua orang itu pintar, yang membuat mereka bodoh sebanarnya karena belum bertemu dengan guru dan metode belajar yang baik (Yohanes Surya)
52
Setelah talent diidentifikasi proses berikutnya adalah mengembangkan talent. Salah satu tujuan dari pengembangan ini adalah untuk mempersiapkan fase successi. Ada banyak metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan seorang talent, mulai dari formal learning (contohnya training, self study, online learning), learning from other (contohnya coaching, role shadowing) sampai dengan learning on the job (contohnya job rotation, continual improvement initiative, project assigment).
Dari ketiga metode pengembangan tadi sebenarnya learning on the job menempati posisi efektifitas tertinggi dengan nilai efektifitas sebesar 70%. Disusul kemudian dengan metode learning from other dengan nilai efektifitas sebesar 20%. Sedangkan formal learning hanya memiliki efektifitas sebesar 10% saja. Sayangnya walau tingkat efektifitasnya 53
hanya 10% saja, namun secara umum biasanya perusahaan paling banyak menggunakan metode pengembangan formal learning dengan mengirim talent mengikuti training. Baru kemudian disusul trend pengembangan kedua berupa project assignment. Di perusahaan tempat saya berkarya sekarang, kami secara proporsional menggunakan ketiga model pengembangan tersebut untuk mendevelop talent. Formal learning dilakukan bekerjasama dengan Pusdiksi Zeni Angkatan Bersenjata AD untuk memberikan training kepemimpinan selama satu bulan, kemudian dilanjutkan dengan formal training technical competency dari department learning and development. Tidak hanya berhenti di formal learning saja, setelah para talent dinyatakan lulus dari formal training, mereka melanjutkan program pengembangan dengan metode learning on the job dengan job assignment selama 3 bulan sampai satu tahun dan selama para talent melakukan job assignment dan continuous improvement project, mereka juga dikembangkan oleh para coach lewat metode pengembangan learning from other. Berikut adalah catatan-catatan saya terkait program development untuk para talent. Catatan awal saya berjudul “Talent Development System” akan bercerita tentang penggunaan ketiga model pengembangan. Dilanjutkan dengan catatan-catatan yang berhubungan dengan metode coaching sebagai aplikasi pengembangan learning from other. Beberapa catatan tentang coaching tersebut dapat ditemui di catatan “Coaching itu Obat Sehat”, “Smart Coach”, “Saat Talent Tidak Bersinar”, “Star Feedback” dan “Talent Tiga Generasi”. Catatan-catatan berikutnya seperti “Talent Itu Menakutkan”, “Tolonglah Talent”, “Task force Double Impactt”, “Advisor, Moderator dan Executor”, dan “Melicinkan Storming” akan bercerita tentang project assignment dan continouos improvement. Semoga bermanfaat dan selamat menikmati 54
TALENT DEVELOPMENT SYSTEM
Walaupun tiga hari harus menembus banjir Jakarta yang mencapai pusar orang dewasa, rasanya saya tetap semangat menyelesaikan program development untuk para talent yang terjaring lewat jalur Management trainee (MT). Sambil membayangkan keberhasilan para Management trainee yang akan kami develop kok ya rasanya pengorbanan ini tidak akan sia-sia. Sampai akhir tahun 2012, kami memang sudah memiliki 28 angkatan Management trainee. Sambil berjuang menghadapi krisis ekonomi di Eropa yang berdampak pada jatuhnya harga batu bara, team kami memutuskan untuk memperkuat lini development. Salah satu area yang akan diperkuat tentu saja area development para talent yang terjaring lewat Management trainee. Walaupun sudah berusia 28 angkatan, masih saja ada peluang untuk melakukan improvement program development yang ada. "Pipeline Leadership" menjadi acuan improvement development program Management trainee yang akan kami gunakan di tahun 2013. Awalnya, konsep ini dibangun oleh perusahaan General Electric untuk mengembangkan talent yang diproyeksi menduduki jabatan managerial. Mudahnya Pipeline Leadership ini seperti mendesign Job Success Formula untuk memuluskan jenjang karir seorang karyawan. Pipeline leadership sendiri digambarkan seperti pipa yang saling berhubungan atau bersambungan. Dimulai dari pipa Managing Self to managing other, dilanjutkan dengan pipa Managing other to managing manager, Managing manager to managing function 55
manager, Function manager to business manager, Business manager to group manager, dan diakhiri Group manager to enterprise manager. Karena program Management trainee adalah program untuk mengantarkan trainee menjadi supervisor maka design development yang dibuat tidak hanya sampai managing self to managing other, namun juga sampai managing other to managing manager. Sebenarnya untuk persiapan suksesi Management trainee ke level supervisor, cukup dengan membuat program development level managing self to managing other. Namun dengan semangat, "Semua Bisa Semua", kami membuat design program development sampai dengan level managing other to managing manager. Tujuan dari semangat "Semua Bisa Semua" ini adalah trainee mampu mengerjakan pekerjaan satu tingkat dibawahnya dan bisa berfikir satu tingkat di atasnya. Sehingga jika suatu saat atasannya resign, para lulusan Management trainee ini bisa dengan mudah menggantikan posisi atasannya. Sebagai layaknya karyawan yang awalnya tidak punya team maka fokus utama development di level managing self to managing other adalah effective communication to the team. Selain komunikasi, mereka juga harus mampu membuat rencana jangka pendek, sedang dan jangka panjang. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah managing conflict yang akan terjadi. Tujuan besar dari development level ini adalah menjadikan lulusan trainee tidak hanya seorang bos tapi seorang leader. Sama-sama seorang pemimpin namun mempunyai perilaku berbeda. Seorang bos memandang keberhasilan team karena dirinya, dan kegagalan team karena salah team. Sedangkan seorang leader berperilaku sebaliknya, "Tidak ada bawahan yang jelek, yang ada adalah atasan yang buruk". Artinya, saat team berhasil, leader melihat keberhasilan sebagai kontribusi team. Dan saat team gagal, leader berkaca pada dirinya sendiri.
56
On the job training general dan on the job training specialist dipilih untuk menjadi tool development communication to the team dan managing conflict. Tool on the job training dipilih untuk membiasakan trainee terlibat menjadi leader team. Tentu saja, saat belajar menjadi seorang leader, trainee masih didampingi oleh seorang coach. Sehingga skill komunikasi dan Management conflict dapat terasah secara langsung dan dapat dibenarkan seketika jika trainee membuat kesalaan. Tak lupa, knowledge tentang communication dan conflict Management juga dikupas tuntas lewat action base training. Serasa terapi kelompok, setiap dua minggu sekali trainee dikumpulkan dalam kelompok untuk sharing, saling memotivasi dan berdiskusi kasus-kasus komunikasi dan Management conflict yang dialami selama dua minggu terakhir. Saat trainee sudah bisa mengelola team, maka trainee bisa masuk ke tahap development level dua, managing other to managing manager. Focus development berikutnya di level managing other to managing manager adalah membangun team yang effective dan budget yang efficient. Tool yang digunakan adalah continuous improvement. Trainee ditantang untuk melakukan improvement di team nya sehingga menghasilkan proses ataupun product yang effective dan efficient. Selama proses continuous improvement, para trainee masih didampingi oleh coach dan mendapatkan formal learning melalui action base training Salah satu tool yang bisa digunakan untuk mendevelopt Talent adalah dengan pipeline leadership
57
COACHING ITU OBAT SEHAT
Malam kemarin, saya beruntung sempat menonton film "Limitless" di HBO. Awalnya Eddy Morra (diperankan oleh Bradley Copper) memiliki kehidupan yang suram sebagai seorang penulis. Walaupun mendapat kontrak dari sebuah penerbitan, Eddy tidak mampu menyelesaikan satu buku pun. Kehidupannya seketika berubah, setelah Eddy bertemu dengan adik ipar nya yang berprofesi sebagai pengedar obat terlarang. Dari adik ipar nya, dia mendapat obat NZT- 48 yang mampu mengekplore 80% kemampuan otak yang belum digunakan. Tertekan dengan date line pengerjaan buku, Eddy akhirnya meminum obat NZT-48. Semua fungsi tubuh nya mengalami perbaikan. Berfikir dengan cepat, menemukan ide-ide hebat, gerakannya lincah dan kuat, afeksi nya juga semakin baik. Kehidupannya mulai membaik, dua buku dapat diselesaikan dalam dua hari, peluang-peluang saham dianalisa dan dimenangkan. Dalam dua bulan, Kehidupan Eddy berubah total dari penulis miskin menjadi jutawan dengan omset mencapai 40 juta USD. Sayang nya NZT-48 hanya mampu meningkatkan 80% kemampuan otak dalam waktu satu hari saja. Tak ingin kehilangan kemampuan supernya, Eddy memutuskan untuk meminum NZT-48 setiap hari. Akhirnya, Eddy menjadi kecanduan untuk mengkonsumsi NZT-48, bahkan jika Eddy dalam satu hari tidak mengkonsumsi NZT-48, dia akan menderita sakau. Tidak tahan dengan kecanduaanya, dan 58
diperparah dengan obat yang habis, Eddy pun mencoba bunuh diri. Asik ya kalau bisa mengekplore keseluruhan fungsi otak kita. Bisa hebat dan sesukses Eddy. Meyakini prinsip "Man Jada Wa Jada - setiap kemauan pasti ada jalan", tanpa menggunakan obat sebenarnya ada tool sehat yang bisa digunakan. Pedagogy (pendidikan orang dewasa) begitu tool itu dinamakan. Prinsip pembelajaran pedagogy ini adalah memfasilitasi orang dewasa untuk mengeksplore lagi memori (pengalaman) yang pernah dialami. Pedagogy menyebutnya sebagai experience learning circle. Belajar dari pengalaman kongkret (concrete experience), dilanjutkan dengan debrief (reflective observation), ber experience lagi untuk menyusun konsep baru (abstract conceptualization) dan diakhiri dengan aplikasi. Dalam pelatihan, peran ini dimainkan oleh fasilitator dan dalam development peran ini dimainkan oleh coach. Berbeda dengan trainer dan mentor yang mengajari pengetahuan dan skill baru, seorang fasilitator dan coach memanfaatkan memori experience yang pernah dialami trainee atau coachee untuk beradaptasi dengan situasi yang akan dihadapi. Seorang fasilitator menggali memori (pengalaman) trainee dalam fase debrief. Menggunakan prinsip exsperial learning circle, fasilitator menggali memori trainee dengan berdiskusi fact (pengalaman) yang dialami, feel yang dirasakan saat mengalami experience, pembelajaran yang ditemukan (finding) dari experience yang dilakukan dan merencanakan (future) penggunaan hasil belajar dengan mengadaptasi pengalaman yang dialami. Seorang coach sebenarnya juga berperan seperti fasilitator dalam development. Proses coaching yang dimulai dari open yang focus nya pada pengalaman coachee. Proses clarify juga berfokus pada mengklarifikasi benar-atau tidak coachee mengalami pengalaman tersebut. Dilanjutkan dengan proses 59
develop di mana coach menggali (seeking) pengalaman coachee dan bercerita (telling) pengalaman coach. Proses pun dilanjutkan dengan membuat persetujuan (agree) solusi atas tantangan yang dihadapi coachee berdasarkan adaptasi pengalaman coachee dan pengalaman coach. Diakhiri dengan proses closing untuk membuat janji komitment dan monitoring rencana development.
Memang facilitating and coaching bukan lah tool instan untuk mencapai kehebatan dan kesuksesan seperti yang dicapai dengan obat. Namun, facilitating dan coaching adalah tool yang sehat untuk menjadi hebat dan sukses. Bukankah setiap yang instan selalu berpotensi berefek negatif lebih besar? Dan bukankah belajar dengan melakukan mampu meningkatkan pemahaman kita sampai 55%? Jadi pilih mana, cara instan atau cara sehat? Monitoring dan development talent secara rutin bisa dilakukan dengan coaching
60
SMART COACH
Setiap product yang dihasilkan tidak pernah lepas dari kebutuhan sumber daya baik berupa man, method, machine, material maupun environment. Begitu juga untuk menghasilkan product yang berupa talent tentunya juga membutuhkan sumber daya. Catatan saya berjudul "Talent's Development Program" adalah sumber daya method yang disiapkan untuk menghasilkan product berupa talent. Sedangkan catatan "Coaching Itu Obat Sehat" berbicara tentang sumber daya man (coach) untuk menghasilkan product berupa talent. Method saja tanpa man tentunya akan gagal menciptakan product talent yang mumpuni, begitu juga sebaliknya man saja tanpa development method yang baik tidak akan menghasilkan product yang bagus. Metode "Talent's Development Program" yang dibangun tentunya juga membutuhkan man yang dalam catatan saya "Coaching Itu Obat Sehat" di sebut sebagai coach. Saat melakukan coaching, seorang coach yang baik mempunyai peran yang saya singkat dengan SMART yang merupakan singkatan dari Sponsor, Motivator, Appraiser, Role Model, & Teacher.
Saat berhubungan sehari-hari seorang coach mempunyai dua peran penting yaitu sebagai appraiser, role model dan sebagai sponsor. Sedangkan saat melakukan coaching, seorang coach harus mampu berperan sebagai motivator dan teacher. Peran 61
pertama seorang coach dalam hubungan sehari-hari dimulai dan diakhiri sebagai seoarang appraiser (penilai). Peran utama coach sebagai appraiser dimulai dari mengidentifikasi atau menilai kebutuhan dan proses pengembangan coachee yang dalam hal ini adalah talent. Penilaian kebutuhan atau identifikasi kebutuhan ini mutlak harus dilakukan karena ketidaksesuaian menentukan kebutuhan pengembangan talent akan berdampak pada ketidaksuksesan tahap successi. Tugas terakhir coach dalam perannya sebagai appraiser adalah menilai kesiapan talent saat tahap successi. Peran kedua seorang coach adalah menjadi role model. Talent akan belajar banyak dari mengamati cara coach nya berfikir, bertindak dan mengambil keputusan. Itulah sebabnya seorang coach dalam keseharian berinteraksi dengan talent harus mampu menjadi sosok panutan. Bukannya malah menunjukkan cara berfikir, bertindak dan mengambil keputusan yang tidak pantas ditiru? Bisa jadi talent akan meniru lebih buruk dari yang diajarkan coach nya. Bukankah sebuah pepatah tua mengajarkan kepada kita “Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari”. Berperan sebagai role model, seorang coach juga harus mampu memahami karakteristik beda generasi. Tujuannya supaya coach mampu memberikan contoh model yang pas sesuai dengan generasi coachee. Catatan saya yang berjudul “Talent Tiga Generasi” akan sedikit membahas tentang karakteristik talent beda generasi. Peran ketiga coach dalam interaksi sehari-hari dengan talent adalah menjadi sponsor. Sebagai seorang sponsor, seorang coach diminta untuk membantu menyediakan sumber daya yang kebutuhan coachee yang dalam hal ini adalah talent dalam proses development nya. Sumber daya yang dibutuhkan talent bisa bermacam-macam, salah satu contohnya adalah informasi untuk belajarnya, atau pun lingkungan yang stabil untuk belajar. Dalam banyak kasus seorang talent tidak memiliki akses 62
terhadap informasi yang akan mendukung performance maupun proses pengembangannya. Dan ditingkat tertentu, coach adalah satu-satunya sumber informasi. Dengan menahan informasi, talent akan merasa tidak nyaman dengan lingkungan tempatnya bekerja. Kejadian berikutnya adalah Anda kehilangan talent. Karena memang salah satu trend turn over terbesar adalah lingkungan yang tidak nyaman. Selain berperan dalam interaksi harian, coach juga akan berperan dalam interaksi proses coaching. Sebagaimana saya jelaskan di atas, dalam interasi proses coaching, seorang coach mempunyai dua peran penting yaitu sebagai motivator dan sebagai teacher. Perannya coach sebagai teacher sempat saya singgung ditulisan “Coaching Itu Obat Sehat”. Di tulisan tersebut saya jelaskan coach memainkan peran menggali (seeking) pengalaman coachee dan bercerita (telling) pengalaman coach. Saat coach melakukan telling atau bercerita pengalamannya, peran coach sebagai teacher mulai muncul. Hingga akhirnya coaching memasuki fase agree yang menyepakati ide gabungan dari pengalaman talent dan pengalaman coach. Dan peran terakhir coach dalam melakukan coaching adalah sebagai motivator. Berperan sebagai motivator seorang coach diminta untuk menjaga semangat dan komitmen talent untuk tetap stay di perusahaan dan tetap semangat mengikuti program development yang direncanakan. Karena memang, semangat dan komitmen adalah hal yang sangat mudah berubah, sehingga diharapkan dengan ada nya coach, talent mampu menjaga semangat dan komitmennya. Saat berperan sebagai motivator, seorang coach tidak harus melulu menggunakan topeng facing good saat berhadapan dengan talent. Tapi seorang coach juga dituntut memotivasi dengan menggunakan demon face kepada coachee nya (Baca Catatan saya “Saat Talent Tidak Bersinar”). 63
SAAT TALENT TIDAK BERSINAR
Pulang kerja ditunggu pertandingan Indonesia VS Laos (25 Nov 2012). Bertaburan talent naturalisasi tidak membuat Indonesia menguasai jalannya pertandingan. Pasukan Garuda ditahan imbang Laos dengan skor 2-2. Di pertandingan ini, Timnas dua kali tertinggal oleh Laos. Di babak pertama, jala Timnas bobol lebih dahulu di menit ke-22 melalui penalti Khampheng Sayavutthi. Namun, Raphael Maitimo mampu menyamakannya di penghujung babak pertama. Di babak kedua, Timnas kembali tertinggal oleh Laos melalui gol Keoviengpehth Lithiedth. Beruntung Vendry Mofu menyelematkan wajah Indonesia dari kekalahan melalui golnya di menit ke-89 usai memanfaatkan bola muntah hasil tembakan Andik Vermansyah. Berbagai komentar penyebab hasil imbang timnas pun berseliweran. Ada yang menyalahkan kisruh PSSI sebagai penyebab, ada yang menyalahkan lini belakang yang tidak kuat, ada yang menyalahkan rendahnya kerjasama team, dan seterusnya. Kalau boleh saya rangkum analisa para pakar sebenarnya penyebab utamanya development teamnas kita yang kurang. Walaupun sudah didevelop secara individu di team asalnya masing-masing, bukan berarti teamnas sudah didevelop sebagai team para talent. Bercerita cara mendevelop para talent. Di tahun 2011, saya berkesempatan mendevelop talent (talent) perusahaan lewat program Management Trainee. Coachee saya ini mengambil 64
program Management Trainee Development Program untuk posisi Foreman Trainee. Selama sembilan bulan masa job assignment nya, saya ditugasi oleh perusahaan untuk menjadi coach dan melakukan coaching. Metode yang saya gunakan dalam melakukan coaching, saya namakan metode Angel and Demon. Suatu ketika saya menjadi Angel dan suatu ketika saya menjadi Demon. Saat saya menjadi Angel, reward digunakan untuk memperkuat konsistensi pelaksanaan komitment rencana development. Sedangkan peran Demon digunakan saat memberikan punishment inkonsistensi komitment. Prinsipnya berani memarahi talent, dan berani memberi hadiah. Good coach (Angel) dan bad coach (Demon) bisa dilakukan saat coach memberikan feed back (umpan balik) atas perilaku coachee. Cara memberi umpan balik ala good coach dan bad coach ini akan saya ceritakan di catatan saya berikutnya yang berjudul “Monitoring & Feedback”. Seorang coach memang tidak boleh selalu memposisikan diri sebagai good coach (Angel) saja. Suatu ketika, seorang coach harus menjadi badcoach (Demon). Tujuannya supaya talent tidak melulu bergantung pada coach nya. Hingga akhirnya talent terjebak situasi directing (high directing low support). Bukannya berkembang, talent malah terposisi sebagai worker. Inisiatif talent diberangus, semua inisiatif "top down" dari atasan. Berbeda saat coach menjadi bad coach (Demon). Talent ditantang melakukan pekerjaan satu atau dua tingkat diatas kemampuannya. Peran coach memotivasi dan memberikan support sumber daya yang dibutuhkan, talent lebih banyak diminta untuk berinisiatif (delegating). Seorang mantan atasan saya empat tahun yang lalu (SG. Sinaga), sering men challenge kami (para coachee nya) dalam situasi diatas dengan nasehat, "Anda bertindak sesuatu dan salah, bagi saya nilainya lebih 65
tinggi daripada Anda tidak berani mengerjakan dan mengambil keputusan. Jika putusan yang Anda buat salah, saya siap memasang badan untuk menjadi pembela Anda". Metode Angel and Demon ini pada akhirnya mengantarkan Foreman Trainee saya ke jenjang prestasi yang malah belum pernah saya dapatkan. Beliau menjadi juara Best Continuous Improvement 2011. Seorang Foreman dengan masa kerja satu tahun, diberi kesempatan duel ide improvement nya dengan para Board of Direction dan para pemegang saham yang akhirnya dimenangkannya. Dia pun mendapatkan hadiah wisata, uang saku dan penghargaan atas Best Continuous Improvement nya.
66
MONITORING DAN FEEDBACK
Empat hari berturut-turut mengajar dua batch training coaching untuk para Foreman dan Supervisor. Dari ke dua bach yang berbeda tadi, ada satu pertanyaan sama yang dilontarkan oleh peserta training. Sebelum mengikuti training sebenarnya mereka sudah sering melakukan coaching, namun ternyata coaching yang dilakukan tidak seefektif yang selama ini didengung-dengungkan, bahkan ada beberapa orang yang setelah dilakukan coaching malah tambah jelek, apa yang salah dari pelaksanaan coaching yang telah dilakukan? Jawaban saya sederhana saja, coaching adalah proses belajar untuk menghabitkan perilaku, skill maupun knowledge. Kemudian saya pun bertanya balik ke mereka, apakah untuk menghabitkan perilaku, skill dan knowledge bisa dilakukan dengan satu atau dua kali pertemuan? Tentunya jawabannya tidak bisa. Coaching memang tidak seperti training yang hasil knowledge maupun skill nya langsung meningkat, namun harus juga diingat, walaupun terjadi kenaikan skill dan knowledge yang signifikan belum tentu knowledge dan skill baru itu digunakan di tempat kerja. Artinya, walaupun ada peningkatan skill dan knowledge belum tentu muncul perilaku baru dari hasil peningkatan skill dan knowledge. Hal inilah yang seringkali dikeluhkan oleh para manager lini atas, sudah banyak karyawannya yang mengikuti training namun performance nya tidak meningkat. Training 67
berbeda dengan coaching, walaupun coaching mempunyai tujuan yang sama dengan training yaitu proses pembelajaran untuk mendapatkan skill dan knowledge baru, namun ada proses yang berbeda dari kedua nya, yaitu proses monitoring dan memberikan umpan balik (feed back) atas hasil monitoring. Proses monitoring dan pemberian umpan balik ini sebenarnya adalah apliasi dari teori perubahan perilaku. Saat ada perilaku yang tidak sesuai dengan kesepakatan coaching maka akan diberikan punishment berupa development feedback atau dalam catatan saya sebelumnya “Saat Talent Tidak Bersinar” saya menyebutnya sebagai demon face, dan saat ada perilaku positif yang dimunculkan atas kesepakatan coaching diberikan positif feed back (angel face). Kemunduran perilaku atas hasil coaching yang dikeluhkan Foreman dan Supervisor tadi juga sebenarnya dapat dijelaskan dari proses monitoring dan pemberian feedback ini. Bisa jadi perilaku negative yang dimunculkan setelah hasil coaching karena tidak adanya monitoring dan pemberian feedback atas perilaku yang dimunculkan. Saat coachee melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan kesepakatan coaching dan dibiarkan saja, coachee akan belajar ternyata coaching yang dilakukan bukanlah hal penting dan dapat dilanggar. Akhirnya perilaku baru yang menetap pada coachee bukan nya perilaku baru yang positif tapi perilaku baru yang negative. Memberikan feedback juga sebenarnya adalah seni yang harus dipelajari. Salah-salah mengkomunikasikan feedback akan berakibat buruk baik pada hubungan antara coach – coachee maupun pada hasil perilaku coachee. Karena nya, feedback harus diberikan dengan specific, timely, dan balanced. Memberi feedback dengan specific dapat dilakukan dengan mengomentari proses kemudian hasilnya. Sebagai contoh, Proses : Selama satu minggu ini bapak sudah melakukan komitmen kita untuk meningkatkan kehadiran bapak 68
Hasil : Sehingga pencapaian productivity bapak naik sesuai target. Terimakasih ya Syarat pemberian feedback specific juga harus dilakukan untuk development feedback (demon face) dengan cara mengomentari proses dilanjutkan hasil dan diakhiri dengan memberikan masukan alternative proses yang dapat digunakan berikutnya. Satu hal yang harus diingat dalam memberikan development feedback adalah berikan komentar positif terhadap proses dan hasil yang sudah dicapai. Sebagai contoh, Proses : Selama satu minggu ini, saya lihat bapak sudah berusaha menjalankan komitment untuk meningkatkan kehadiran bapak Hasil : Walaupun komimen yang kita belum 100% bapak laksanakan, namun sudah ada peningkatan kehadiran bapak dari 95% menjadi 96% Alternatif Proses : Minggu depan, saya harap bapak lebih berkomitment untuk meningkatkan kehadiran bapak Selain specific, feedback juga harus diberikan secara timely (tepat waktu). Feedback yang diberikan secara timely akan semakin memperkuat perilaku positive dan mencegah perilaku negative coachee. Feedback yang diberikan secara timely juga dapat mencegah debat kusir. Contoh sederhananya, saat seseorang diberikan development feedback atas perilaku negative yang dilakukan sebulan yang lalu. Bisa jadi coachee tidak merasa melakukan hal tersebut karena sudah lupa. Beda ceritanya kalau feedback tersebut diberikan secara timely.
69
Pemberian feedback yang ketiga harus bersifat balanced (seimbang). Jika coachee melakukan perilaku positive maka feedback yang diberikan pun harus seimbang dengan memberikan feedback positif demikian juga sebaliknya, saat coachee melakukan perilaku negative maka feedback yang diberikanpun juga seimbang dengan memberikan development feedback. Memberikan feedback yang seimbang juga berarti feedback yang diberikan tidak boleh muluk-muluk dan memberi janji. Positive feedback yang diberikan secara muluk akan membuat coachee besar kepala, padahal gol akhir dari proses monitoring coaching belum selesai, yang terjadi berikutnya, coachee merasa puas diri dan tidak awas terhadap proses monitoring coaching. Pemberian development feedback yang terlalu berlebihan juga bisa menjatuhkan harga diri coachee, yang pada akhirnya jika harga diri sudah dijatuhkan maka motivasi untuk bangkit akan sangat susah dimunculkan. Merubah perilaku memang perkara yang tidak mudah dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Dengan memonitoring kesepakatan yang telah dibuat saat coaching dan memberian feedback yang specific, timely dan balanced tentunya perubahan perilaku yang diinginkan bisa dicapai. Proses monitoring dan pemberian feedback ini seperti mengingatan anak kita supaya punya kebiasanan mandi dua kali sehari. Proses nya membutuhkan waktu yang tidak hanya seminggu dua minggu namun sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Namun setelah perilaku itu menjadi perilaku yang menetap, pekerjaan coach akan semakin lebih mudah.
Berikan positif feedback saat talent menjalankan hasil komitment. Dan berikan development feedback, saat talent belum menjalankan komitmen dengan maksimal
70
TALENT TIGA GENERASI
Baru senang-senangnya belajar tentang Talent Management. Tidak terasa sudah cukup banyak juga catatan saya yang tentang talent. Gara-gara tahun kemarin, perusahaan membuat satu slot struktur organisasi lagi untuk handle talent-talent perusahaan, section itu bernama Talent Acquisition Section. Perhatian saya selalu tertarik dengan hal-hal baru, tak terkecuali slot baru di struktur organisasi HR. Mungkin gara-gara saya terlahir di tahun 80 an, menjadikan saya generasi Y yang selalu bersenangsenang dengan hal baru. Periode kelahiran kadang kala memang memunculkan tipikal karyawan dan talent yang merepotkan untuk pencapaian misi perusahaan. Coba saja perhatikan tingkah laku tiga talent beda generasi yang memimpin Jakarta. Perbedaan cara kerja memunculkan komentar Sutiyoso tentang "blusukannya" Jokowi dan "vulgarnya" kemarahan Ahok. Sutiyoso yang lahir 6 Desember 1944 bisa dikategorikan sebagai generasi Veterans (19221945). Sedangkan Jokowi (21 Juni 1961) termasuk generasi akhir Baby Boomer (19451965), belum lagi Ahok (29 Juni 1966) yang sudah memasuki era Generasi X (1965-1980). Berbeda generasi, berbeda cara kerja. Para veteran bekerja dengan core value "respect for authority discipline" sedangkan Baby Boomer bekerja dengan "optimism, 71
involvement". Jelas sudah kenapa Sutiyoso lebih memilih ketegasan (respect for authority discipline) dalam memimpin dan Jokowi memilih terlibat langsung (involvement) dengan rakyatnya. Dua generasi yang berbeda saja sudah merepotkan apalagi jika sebuah team dibangun oleh tiga atau empat generasi. Di organisasi saya sendiri terbangun dari tiga generasi talent yang berbeda, Gen X (1966-1980), Gen Y (1981-1995), dan Gen Z (1996-Now). Kondisinya sekarang, Gen X memimpin Gen Y dan Z. Jika tidak segera didamaikan bakal terjadi Real Madrid Jilid 2 (Tahun 2003-2006, Real Madrid bertaburan talent, Zinedine Zidane, Ronaldo, Luis figo, R.Carlos, Raul Gonzales dan David Beckham,dll namun tidak memenangkan piala apapun). Talent generasi X yang lebih senang terlibat dan melibatkan diri, terasa tidak serasi dengan talent generasi Y dan Z lebih memilih "freedom is the Best reward". "Bapak diam saja, tunggu laporan dari kami, beres sudah urusan" begitu generasi Y dan Z selalu berdebat dengan generasi X yang ingin dilibatkan dalam setiap urusan. Pertanyaannya, siapa yang harus memahami siapa sekarang? Menurut saya, sudah seharusnya yang tua memulai memahami yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Zaman tidak bisa dibalikkan lagi, artinya yang tua harus mengikuti perkembangan zaman. Kesenangannya berpartisipasi harusnya mulai diarahkan untuk terlibat dalam luas pandang yang lebih luas. Dan mengingat bagaimana generasi sebelum Anda (generasi veteran) salah mengerti tentang Anda. Generasi Y dan Z harus juga mulai menghormati generasi X dengan cara menjadikan mereka mentor. Biarlah kesenangan melibatkan diri generasi X terfasilitasi dengan terlibat memberikan masukan. Seperti harapan Martin Hutabarat, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra yang mulai meminang JK untuk mendampingi 72
Prabowo (Detik.Com, 22 Nov 2012). JK yang lahir di era generasi Veteran dan Prabowo yang lahir di era generasi Baby Boomer tentu mempunyai cara memimpin yang berbeda. Namun, dengan konsep yang tua mengikuti yang muda dengan konsep mentoring yang baik, serta muda menghormati yang tua, duo Prabowo JK diharapkan “bisa menggambarkan konsep regenerasi, kombinasi orang muda yang tegas dan generasi tua yang arif”. Ketegasan generasi veteran termentoring ke generasi Baby Boomer.
73
TALENT ITU MENAKUTKAN
Di chapter satu, ada catatan saya yang berjudul “Talent To Be Great Talent”. Di mana saya bercerita, seorang great talent memiliki character stay focused on their goal, punya high standard, positif thingking dan eager to learn. Seperti dua sisi mata uang, character juga bisa dilihata dari dua sisi, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Kedua sisi ini muncul dari perbedaan sudut pandang melihat situasi. Contohnya saja, sewaktu saya bekerja di kantor cabang Kalimantan Selatan. Saya pernah punya rekan kerja yang dikategorikan talent oleh perusahaan. Sebagai mana salah satu ciri seorang talent, dia selalu menuntut standar yang tinggi dalam bekerja. Namun, bagi sub ordinatnya yang tidak terbiasa dengan high standard membuat rekan saya dijuluki Songong Officer. Berbeda dengan pandangan bawahannya, high standard yang diinginkan oleh rekan saya dipandang sesuatu yang positif oleh atasannya. Ada juga seorang rekan kerja yang menduduki posisi managerial lini tengah. Berani mengambil inisiatif dan stay focus on goal menjadi character nya yang paling kuat. Lagi-lagi muncul sudut pandang negative dari sub ordinat nya karena setiap kebijakan yang dibuat tidak boleh diganggu gugat oleh sub ordinatnya, sehingga terkesan sub ordinat nya harus bekerja mati-matian menjalakan kebijakan yang dibuat. Walaupun dipandang negative oleh sub ordinatnya, namun character stay focus on goal rekan saya ini disukai oleh atasannya, karena apapun project yang diberikan atasan kepada rekan saya selalu bisa diselesaikan dengan cepat.
74
Seorang talent memang kadang kala menakutkan. Di satu sisi mereka menjadi anak emas perusahaan, dan di sisi lain kadang kala seorang talent merusak kerjasama team. Salah satu character khas mereka yang mengambil tanggungjawab kadang kala membuatnya berinisiatif menyelesaikan masalah saat ada ketidakberesan di section lain. Akibatnya, section lain pun merasa dicampuri tugas dan tanggungjawabnya. Character lain yang kadang kala menjadi masa pisau yang berbalik menyerang talent adalah character menuntut standar yang tinggi. Saat telent bekerja dalam team yang tidak bisa dinaikkan standarnya, lagi-lagi seorang talent akan merusak ritme kerjasama team. Orang yang bekerja lamban akan dipaksa untuk mengikuti ritme kerja yang paling cepat (biasanya pemilik ritme ini ya talent itu sendiri). Tapi yang terjadi ritme nya akan selalu timpang. Akibatnya sinergi yang ingin dihasilkan dari kerjasama team tidak terjadi. Masalah pun bermunculan di dalam team. Bukannya super team yang akan tercipta, tapi seorang talent akan berubah menjadi Superman dengan character mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Memang tidak semua talent akan menjadi masalah. Talent dengan kecerdasan emosi yang bagus akan menjadi harapan bagi perusahaan dan team nya. Sayangnya banyak perusahaan hanya menetapkan talent dari dua kriteria saja, high performance and high competency. Dimana kadang kala perusahaan gagal menerjemahkan soft competency yang mampu menggambarkan character yang harus dimiliki seorang talent. Padahal character akan mendorong talent untuk terus bersikap Sincerely (tulus). Alternatif yang bisa digunakan untuk meminimalisir tidak munculnya sincerely adalah dengan mengubah struktur organisasi menjadi struktur organisasi partisipatif. Bukannya 75
diberi bawahan, namun seorang talent diposisikan sebagai advisor. Peran utamanya adalah memberikan advice kepada team. Dengan menjadi advisor semua ciri dan kebutuhan seorang talent bisa tercover. Ujungnya perusahaan happy, team pun juga happy
Pada tahap awal-awal talent baru memiliki anggota team, lebih baik talent diposisikan terlebih dahulu sebagai advisor.
76
TOLONGLAH TALENT
Seorang rekan kerja yang di golongkan talent oleh perusahaan mendapat kesempatan untuk promosi sekaligus mutasi ke cabang lain. Namun yang unik, di cabang baru, rekan saya tidak bisa menunjukkan performance seorang talent. Ada juga seorang talent dari perusahaan tetangga yang dihire perusahaan saya. Melihat performance nya yang bagus di perusahaan asal, menjadi harapan perusahaan agar talent yang dihire bisa menunjukkan kembali high performance seperti diperusahaan awal. Namun harapan tinggal harapan, yang terjadi malah kebalikannya. Sang Talent kehilangan sentuhan Midasnya dan di PHK oleh perusahaan. Kenapa performance mereka tidak bisa menular? Padahal sebagai seorang talent mereka memiliki tiga bekal utama yang diperlukan untuk menghasilkan high performance; passion, character, dan competency. Bekal passion membuat mereka siap sacrifice (berkorban), Character mendorong mereka untuk terus bersikap sincerely (tulus) dan Competencies mempertajam kecerdikan mereka dalam menghadapi kehidupan ini (Smartness). Jawabannya mungkin tidak adanya environment readiness untuk mendukung seorang talent. Seorang talent tidak akan menjadi talent jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Mungkin masih ingat, Ronaldinho, pemain talent dunia tahun 2005 yang sempat memperkuat Barca dan AC Milan. Di tahun 2011, Ronaldinho memutuskan berhijrah ke klub Flamenggo. Berjuang di Flamenggo selama satu tahun malah membuat Ronaldinho kehilangan sinarnya. Merasa 77
dikecewakan Flamenggo, Ronaldinho pun hijrah ke Atletico Mineiro di tahun 2012. Berbeda di Flamenggo, penampilan Ronaldinho di klub baru mulai menunjukkan sinarnya kembali. Bahkan Eduardo Maluf direktur Atletico Mineiro berencana memperpanjang kontrak Ronaldinho. Cerita tentang Elang dan Ayam yang bisa menggambarkan seringkali lingkungan kita membunuh kemampuan talent. Di suatu hutan ada Ayam yang sedang mengerami telurnya di bawah pohon besar. Entah bagaimana ceritanya Elang yang mempunyai sarang di pucak pohon, salah satu telur Elang terjatuh dan masuk ke sarang Ayam. Setelah dua puluh satu hari, Ayam mengerami telur nya dan telur Elang, menetaslah telurtelur itu. Ayam pun Elang kecil layaknya anak-anak Ayam yang lain. Terus-menerus dididik seperti Ayam, akhirnya anak Elang berperilaku seperti Ayam. Makan layaknya Ayam, jalan layak nya Ayam, mencari makan layaknya Ayam, dan seterusnya. Hikmah dari cerita tadi adalah Elang yang berada di lingkungan yang salah tidak akan bisa menunjukkan potensi nya. Mempersiapkan lingkungan untuk menerima dan memfasilitasi talent menunjukkan sentuhan midas nya memang susah-susah gampang. Seorang talent dengan semua character nya yang akan dilakukan pertama kali biasanya adalah melakukan perubahan, dan bukankah perubahan menjadi ketakutan tersendiri bagi semua orang? Sebagaimana tulisan saya sebelumnya (Talent Itu Menakutkan), selain diposisikan sebagai seorang advisor seorang talent tetap harus dibantu untuk menunjukkan performance nya. Libatkan semua karyawan yang peduli dengan peningkatan performance dalam sebuah team gugus tugas (Task force) dan berikan mereka tantangan untuk meningkatkan performance. Pemilihan team pun harus extra hati-hati. Paling tidak mereka harus punya semangat yang sama untuk melakukan perubahan 78
yang lebih baik. Dukung ide mereka dan lihatlah high performance dari talent beserta team Task force akan mencengangkan Anda.
Menyiapkan lingkungan juga menjadi hal yang penting dalam proses development talent. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan menyiapkan anggota team untuk mengerjakan sebuah project.
79
TASK FORCE DOUBLE IMPACTT
Melanjutkan cerita saya tentang "Tolonglah Talent", selain untuk meningkatkan high performance talent, pelibatan talent dalam task force (gugus tugas) juga bisa meningkatkan performance talent di masa depan dan meretain (menjaga) agar talent masih betah bekerja. Ada petuah bijak yang mengatakan “karyawan tidak berhenti bekerja karena perusahaan, mereka berhenti karena boss mereka.” Salah satu cara menjadi bos yang baik bagi talent adalah membuat mereka merasa tertantang, terlibat, dinilai lebih dan diberi penghargaan (baik secara emosional, keilmuan dan finansial). Penghargaan atas keilmuan talent bisa dilakukan dengan men challenge para talent memecahkan masalah untuk meningkatkan performance perusahaan. Lihat saja kejayaan XL yang dimulai dari Task force para talent dengan kode BeTe (Blue Thunder). Hasnul Suhaimi, CEO XL, menghargai mereka dengan men challenge mereka supaya menjadikan XL sebagai provider telekomunikasi no dua setelah Telkomsel. Memang pada saat itu, Mei 2007, XL masih menjadi provider no tiga setelah Telkomsel dan Indosat. Layaknya Kopasus (Komando Operasi Khusus) mereka membuat rencana improvement. Ide gila pun diciptakan, mereka mengusulkan tarif Rp 1 /detik. Perubahan tarif XL ini lah yang melatarbelakangi perang tarif sesama provider telekomunikasi. Mungkin rekan-rekan masih ingat bahkan ada provider telekomunikasi yang menarkan tarif Rp 0,0000001/detik. Dari Ide gila team Blue Thunder lah wajah tarif pertelekomunikasian di Indonesia berubah.
80
Talent yang pintar tidak akan betah menetap lama di tempat yang membosankan dan tidak menantang. Berilah mereka tantangan yang baru setiap saat. Mereka tidak peduli dengan insentif jangka panjang seperti yang dulu sering menjadi senjata perusahaan untuk me-retain top talent seperti COP (Car Ownership Program), HOP (House ownership program), dan sebagainya. Begitu juga yang terjadi dengan salah satu talent saya di awal tahun 2012. Seorang talent yang di tahun 2011 menjadi talent dengan Best improvement all site di perusahaan. Setelah project besarnya selesai di tahun 2011 dan tidak ada challenge yang dirasakan lagi dalam bekerja, dia memutuskan untuk resign dari perusahaan. Padahal sebagai orang yang baru lulus dari sekolah dan masa kerja yang sebentar, dia sudah diberi penghargaan oleh perusahaan berupa jabatan maupun bonus oleh perusahaan. Menchallenge talent bisa dilakukan dengan banyak cara. Bisa dilakukan dengan task force pembuatan kebijakan perusahaan seperti yang dilakukan team Blue Thunder, mengimprove performance perusahaan, maupun task force memecahkan problem perusahaan. Artinya, sebenarnya selalu ada hal yang bisa digunakan oleh atasan untuk menchallenge talent. Menchallenge talent juga akan meningkatkan character dan competency talent. Seperti saran ilmuwan Carol Dweck, anakanak jenius ternyata tidak menjadi apa-apa di masa depannya kalau selalu dipuji karena mengambil dan menyelesaikan mata ajaran yang mudah. Challenge memposisikan talent diposisi yang sulit, dan bukankah kesulitan memperkuat character. Untuk keluar dari posisi yang sulit, talent juga membutuhkan competency lebih dari yang dimiliki saat ini. Jadi tunggu apa lagi, ahallenge talent dan dapatkan manfaat ganda, bagi perusahaan dan bagi individu talent sendiri.
81
ADVISOR, MEDIATOR DAN EXECUTOR
Ada seorang rekan bertanya, jika talent dengan interpersonal jelek dijadikan advisor di satu sisi memang logis tapi di sisi lain menjadi tidak logis. Walaupun talent dengan interpersonal jelek dijadikan advisor, tetap saja seorang talent bersentuhan dengan anggota team, artinya konflik yang ingin dihindari tetap saja bisa terjadi. Jadi rekomendasi advisor sebenarnya masih belum clear untuk mendayagunakan talent untuk memperkuat team. Pernyataan yang bagus bukan? Menyambung tulisan saya berjudul "Tolonglah Talent" dan "Task force Double Impact", jawaban sederhananya kita memang harus menyusun team yang akan dibentuk dengan tiga kriteria utama, yaitu advisor (planner), mediator dan executor. Advisor diisi oleh para talent, executor diisi oleh para pekerja gila kerja, dan mediator diisi oleh orang-orang netral. Peran mediator sebagai pihak netral bisa bergerak ke dalam team dan ke luar team. Peran ke luar team berupa mengkomunikasikan dan bernegosiasi kebijakan yang dibuat oleh team. Peran ke dalam team berupa mendamaikan antara advisor dan executor. Peran mediator ke dalam team ini lah yang fital untuk memperkuat team. Sikapnya yang netral dituntut untuk mengkomunikasikan keluhan executor ke advisor dan sebaliknya, serta mengkomunikasikan planning advisor ke executor. Secara sekilas memang jalur komunikasi team menjadi lebih panjang. Namun harus diingat tidak semua keluhan maupun planning harus melalui mediator. Malah sebisa mungkin mediator harus membuka kesempatan antara executor dan advisor untuk berdiskusi keluhan maupun planning team. Tujuannya supaya executor pelan-pelan bisa memahami advisor
82
dan advisor pun juga berlahan-lahan memahami kondisi executor. Peran mediator yang penting memang mau tidak mau harus diisi oleh orang yang mampu bersikap netral dan mampu mengembangkan team. Akan buruk akibatnya jika mediator tidak mampu bersikap netral. Catatan saya berjudul “Melicinkan Storming” mungkin menjadi gambaran bahayanya mediator yang terpengaruh salah satu pihak. Ditulisan “Melicinkan Storming” saya juga bercerita tentang saling memberi feedback antara dua pihak, jika tidak menemui jalan tengah baru lah peran mediator diperlukan. Mendapatkan mediator yang bersikap netral memang gampanggampang susah. Berdasarkan pengalaman saya, orang-orang seperti ini dalam organisasi bisa ditemukan di departemen Learning and Development. Kenapa para mediator banyak ditemukan di departement Learning and Development? Sebenarnya bukan orang-orang di departemen Learning and Development nya tapi ruh departemen lah yang menjadikan departemen Learning and Development cocok untuk menjadi mediator. Ruh itu bernama "Pendidikan". Pengalaman saya di organisasi, orang-orang dari Learning and Development memang secara bersamaan mempunyai aura untuk dekat dengan para karyawan dan dengan atasan. Lagi-lagi sebenarnya bukan karena orangnya, tapi karena misi "Pendidikan" yang dibawa. Tak salah kalau dalam teori leadership, salah satu alasan seorang leader diikuti oleh bawahannya, karena ilmu yang dimilikinya. Ada cerita menarik di perusahaan saya. Di perusahaan ada program apprentice untuk fresh graduate lulusan SMK sederajat yang dinamakan Basic Operator dan Mechanic Trainee. Menariknya sebelum mereka melakukan on the job training di 83
lokasi, mereka mendapat pembekalan in class selama 3-6 bulan. Dalam waktu yang sama selain mendapat materi in class, mereka juga mendapat gemblengan Bintalsik (Bina Mental dan Fisik) ala militer. Bahkan, pelatih utamanya didatangkan dari Pusdiksi Zeni Tempur AD. Mereka dibentak, disuruh push up, lari, dan segala macam didikan militer. Aneh nya walaupun mereka dibentak dan diperlakukan secara tegas, setelah lulus mereka punya ikatan kuat dengan instruktur. Setelah lulus program Bintalsik, segala sesuatu yang mereka keluhkan dicurhat ke instruktur nya. Ini lah bukti bahwa instruktur mampu menjadi mediator atau jembatan antara front line atau executor dengan advisor. Mungkin pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, mungkin kah tiap team ada orang dari departemen Learning and Development? Tentu saja tidak. Mediator tidak harus dari departement Learning and Development, tapi orang yang mempunyai ruh Learning and Development. Bisa jadi itu Anda orang nya.
84
MELICINKAN STORMING Setelah tiga minggu melakukan kunjungan ke kantor cabang di Kalimantan, akhirnya kembali juga ke Jakarta dan bisa melanjutkan hobi tulis menulis. Ada satu pengalaman manrik saat saya berkunjung ke kantor cabang saya di kantor di Kalimantan yang sepertinya wajib diabadikan dalam sebuah catatan. Seingat saya, sepanjang masa remaja, setidaknya ada dua peristiwa identik seperti yang saya alami di Kalimantan. Seperti De javu saja rasanya. Pengalaman saya ini adalah tentang membangun sebuah team. Layaknya sebuah team, pasti lah dalam pembentukannya mengalami fase forming, storming, norming, dan performing. Nah pengalaman saya ini tepatnya berada di fase storming. Cerita nya begini, saya punya rekan kerja yang selama ini saya rasa berhubungan baik dengan saya selama di kantor cabang, setelah saya di mutasi ke kantor pusat dan melakukan kunjungan ke kantor cabang rekan saya ini, kok perilaku nya berubah saat berhubungan dengan saya. Usut punya usut, ternyata ada anggota team di kantor pusat yang tidak berkenan dengan beberapa perilaku saya. Celakanya anggota team kami ini tidak memberikan feed back secara langsung ke saya, malah meminta feed back atau membandingkan perilaku saya selama di kantor cabang kepada rekan kerja saya. Padahal setiap perilaku adalah hasil reaksi dari stimulus yang diberikan. Saat yang difokuskan hanya reaksi saja tanpa melihat stimulus yang menyebabkan reaksi tentunya menjadi sebuah simpulan yang tidak lengkap. Contohnya adalah reaksi "marah". Kalau melihat reaksi nya saja jelas "marah" adalah reaksi yang buruk. Namun, saat reaksi "marah seorang ibu" adalah hasil dari aksi "seorang anak yang durhaka", apakah menjadi salah?
85
Storming memang fase tergawat dari pembentukan team, karena semua anggota team memperlihatkan "saya" yang asli. Di tambah lagi dengan adanya permainan mencari pembenaran, bisa jadi team akan mati sebelum bisa menunjukkan sinergi sebagai team. Itulah mengapa dalam Islam tidak diperbolehkan bergosip. Biarkan orang yang merasa punya masalah saling bertemu dan memberikan feed back. Seandainya kedua orang atau kedua kelompok dalam team tersebut tidak bisa menyelesaikan permasalahannya, barulah peran mediator dibutuhkan. Contoh gampangnya ada di film Sang Pencerah. Sebuah film yang menceritakan perjuangan KH Ahmad Dahlan melakukan pelurusan terhadap pelaksanaan Islam yang dibengkokkan. Salah satu adegan di fase storming yang tidak berjalan mulus adalah saat KH Ahmad Dahlan mengajukan izin kepada Hoofd Penghulu Masjid Kauman untuk membuat organisasi Muhammadiyah. Namun, Hoofd Penghulu tidak mau memberikan izin pada KH Ahmad Dahlan karena dianggap mengangkat diri sebagai resident. Bukan nya saling berkomunikasi dan memberi feedback, Hoofd Penghulu malah mencari pembenaran dan menggalang kelompok yang sesuai dengan pemikirannya. KH Ahmad Dahlan pun dikucilkan bahkan dianggap kafir oleh kelompok Hoofd Penghulu. Sayang nya KH Ahmad Dahlan juga tidak bertanya kepada Hoofd Penghulu kenapa pengajuaan izin nya ditolak. Sultan Hamangkubuwono pun akhirnya menyuruh bawahannya untuk 86
memediasi antara Hoofd Penghulu dan KH Ahmad Dahlan. Mereka berdua diminta untuk bertemu, menyamakan persepsi dan saling memberikan feed back. Ternyata setelah berdiskusi ketemulah penyebab perbedaan persepsi mereka. Akhirnya Hoofd Penghulu sadar dengan maksud dan perilaku KH Ahmad Dahlan. Hubungan mereka pun kembali harmonis, hingga akhirnya sampai sekarang wilayah Kauman Yogjakarta terkenal sebagai pusat Muhammadiyah. Ada juga sebuah adegan tentang fase storming yang dialami KH Ahmad Dahlan dengan muridnya yang bernama Muhammad Sudja. Diceritakan semua murid KH Ahmad Dahlan dilarang mengaji oleh orang tua mereka, karena KH Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Para orang tua santri menganggap Boedi Oetomo sebagai organisasi yang sering menghina Islam sebagai agama mistis. Saat itu lah kemudian Muhammad Sudja menyamakan persepsi dan memberikan feedback kepada KH Ahmad Dahlan. Kenapa KH Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo? KH Ahmad Dahlan pun menjawab, kalau dia sedang mencari ilmu bagaimana mengelola organisasi dan mengajar supaya beliau mampu mendidik umat. Setelah paham dengan maksud tujuan KH Ahmad Dahlan, akhirnya para santri nya bahkan berjanji untuk selalu membela KH Ahmad Dahlan. Film tadi memberikan pelajaran bagi kita untuk melicinkan fase storming ada dua kunci, yaitu saling menyamakan persepsi dan menjaga hubungan dengan memberikan feed back. Tentunya memberi feedback tidak hanya dilakukan terhadap perilaku yang jelek saja. Namun untuk memperkuat perilaku yang baik dan menjalin hubungan, perilaku yang baik pun juga harus diberikan feed back positif.
87
SUCCESSION Motivasi terbesar bisa didapat dari kenaikan gaji. Kesialan terbesar berasal dari promosi tanpa naik gaji. Kejutan terbesar berasal dari kenaikan gaji tiba-tiba walau bekerja biasa-biasa saja. Penrunan semangat terbesar adalah terlambat menerima gaji. Kesedihan terbesar karena bos kabur sambil membawa lari gaji karyawannya
88
Di chapter-chapter sebelumnya saya sudah bercerita tentang ciri-ciri talent yang mempunyai tiga ciri yaitu high performance, high competency dan high potential (passion dan character) yang kemudian dilanjutkan dengan cara mengidentifikasi talent. Setelah talent diidentifikasi tugas berikutnya adalah mendevelop talent. Dan setelah talent didevelop saatnya talent dievaluasi kesiapannya untuk program successi. Di chapter inilah saya akan bercerita tentang proses successi mulai dari mengevaluasi program development yang sudah dilakukan sehingga talent sudah memiliki competency posisi di atasnya sampai dengan proses successi nya. Harus diingat bahwa proses successi tidak melulu masalah promosi namun bisa juga masalah mutasi dan rotasi. Sebagai contoh perusahaan dengan system holding company ada seorang talent yang awalnya berposisi sebagai vice president, kemudian orang tersebut di mutasi ke anak perusahaan yang lain dengan posisi sebagai direkur. Hal ini mungkin saja terjadi seandainya perusahaan tempat mutasinya adalah perusahaan yang lebih besar, sehingga talent tersebut mendapat challenge baru. Menentukan seorang talent sudah siap atau belum untuk mendapatkan successi, tentunya talent perlu dievaluasi kesiapannya. Berbeda dengan talent identification untuk menentukan karyawan yang memiliki high competency, high performance dan high potential di current position, maka untuk evaluasi di tahap successi adalah mengevaluasi competency di posisi yang menjadi tujuan successi. Walaupun begitu ada satu hal yang sama dari tahap evaluasi identifikasi talent dan evaluasi successi, yaitu penguji atau juri nya adalah Komite Talent. Ada banyak metode yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kesiapan talent mengikuti program successi. Tentunya program evaluasi tersebut disesuaikan dengan metode pembelajaran atau development yang dijalani oleh talent. Sebagaimana saya 89
jelaskan di chapter sebelumnya, secara umum ada tiga metode yang bisa digunakan untuk mendevelop talent yaitu dengan formal learning, learning from other dan on the job learning. Evaluasi dari development formal training dapat dilakukan dengan pre test dan post test saat mengikuti formal learning (di chapter ini saya bercerita melalui catatan “Empat Level Kirkpatrick”). Dari metode development metode learning from other bisa dievaluasi dari report monitoring coaching. Dan dari metode development learning on the job dapat dilakukan dengan mempresentasikan hasil improvement ke Komite Talent (di chapter ini saya bercerita melalui catatan “Mengevaluasi Talent”).
90
EMPAT LEVEL KIRKPATRIK
Di perusahaan saya bekerja sekarang ada sebuah program untuk mendidik pada talent fresh graduate lulusan SMK sederajat. Program ini bernama Mechanic Trainee dan Basic Operator. Mechanic Trainee adalah program talent yang dibuat untuk mengakomodir talent-talent fresh graduate yang memiliki passion terhadap mechanical. Sedangkan Basic Operator dibuat untuk para talent fresh graduate yang memiliki passion mengoperasikan alat-alat berat semisal Excavator, Heavy Duty Truck, Grader, dan lain sebagainya. Selama enam bulan para talent yang tergabung dalam program Mechanic Trainee dan Basic Operator ini mendapatkan formal learning selama enam bulan dan learning on the job selama tiga bulan. Setelah mereka lulus dari program development mereka kemudian menjadi karyawan probation selama tiga bulan. Satu hal yang menjadi bahan diskusi yang menarik adalah ada keluhan dari user terhadap kualitas competency para talent tersebut. Memang untuk mempunyai full competency di posisi nya yang baru seorang karyawan membutuhkan jam terbang. Tentunya kondisi ini perlu di evaluasi, di mana terjadi miss link nya? Dengan menggunakan pendekatan proses kita bisa mengevaluasi miss link tersebut. Jika kita tarik dalam proses talent management atau framework talent management sebenarnya para talent fresh graduate tadi sudah melewati fase identifikasi talent melalui dipilihnya mereka mengikuti program Mechanic Trainee maupun Basic Operator, mereka juga sudah melalui fase development berupa formal learning dan learning on the job, dan mereka pun akhirnya masuk pada fase successi. Jika proses identifikasi dan development nya sudah benar maka fase evaluasi untuk kesiapan 91
menempati posisi ditingkatkan.
berikutnya
yang
nampaknya
perlu
Pada prinsipnya prinsip evaluasi fase successi adalah mengevaluasi competency telent untuk posisi yang akan diisi. Metode assessment seperti saat mengidentifikasi talent berupa behavioral event interview dan focus group discution bisa digunakan untuk mengevaluasi future position competency. Anda juga bisa menggunakan metode evaluasi sesuai dengan metode development yang dilakukan. Secara prinsip kita bisa menggunaan empat level evaluasi Kirkpatrick (reactions, knowledge, behavior, result). Competency yang diperoleh dari metode development formal learning dapat dievaluasi dengan level knowledge. Competency yang diperoleh dari learning from other dapat dievaluasi dengan level behavioral. Dan competency yang diperoleh dari learning on the job dapat dilakukan dengan evaluasi level result.
Tiga level evaluasi (knowledge, behavior, dan result) tersebut sejalan dengan tiga jenis competency (knowledge, skill dan soft competency) yang dibutuhkan untuk menempati posisi tertentu. Evaluasi level knowledge untuk menggali competency knowledge seseorang, evaluasi level behavior untuk menggali competency skill dan evaluasi result untuk mengevaluasi competency knowledge, skill dan soft competency. 92
Evaluasi level knowledge bisa dilakukan dengan melakukan pre test dan post test terhadap formal learning. Ada banyak jenis model test yang bisa digunakan untuk pre test dan post test. Model yang paling familiar adalah pilihan ganda. Model lain yang bisa digunakan adalah model pertanyaan isian dan benarsalah. Semua model memiliki kelebihan dan kekurangan nya masing-masing. Selain model test, Anda juga harus memperhatikan jenis pertanyaan atau bobot pertanyaan. Secara umum ada tiga jenis pertanyaan, yaitu pertanyaan pengetahuan, pemahaman dan skill. Pertanyaan pengetahuan biasanya diawali dengan kata tanya “apa”. Sedangkan pertanyaan pemahaman biasanya diawali dengan kata tanya “jelaskan”. Dan pertanyaan skill biasanya diawali dengan kata perintah“buatlah”. Sedangkan evaluasi level behavioral dapat dibaca dalam catatan “Asiknya Level Tiga” dan evaluasi result dapat dibaca dalam catatan “Mengevaluasi Talent”
93
ASIKNYA LEVEL TIGA
Senin kemarin, sebelum berangkat untuk memfasilitatori pelaksanaan training coaching, saya sempat berdiskusi sebentar dengan people development Safety Health & Environment (SHE) terkait program development pasca pelatihan "Leadership Challenge". Kami mendiskusikan lima program pasca pelatihan untuk memfollow up training "Leadership Challenge" tersebut. Kelima program tersebut diantaranya Model the Way, Shared the Vision, Challenge the Process, Enable to Act, dan Encourage by Heart. Tanpa terasa diskusi kami semakin menarik saat kami membicarakan program Shared the Vision. SHE di tahun 2012 mempunyai visi "Zero Harm, Berangkat dan Pulang dengan Selamat". Rekan saya kemudian bercerita, di tahun 2012, SHE sudah banyak memberikan pelatihan, baik kepada front liner melalui paket program training mandatory dan kepada superior melalui paket program training 7 keys. Walaupun target jumlah peserta sudah terlampaui, namun incident yang terjadi tetap saja melebihi prediksi. Sehingga di tahun 2013, SHE mencanangkan visi baru, "Zero Harm, and SHE Habit". Visi SHE tersebut tentunya juga akan berpengaruh pada strategi pemberian pelatihan. Tidak lagi hanya mengukur seberapa banyak training yang pernah di delivery ke karyawan. Namun, training yang diberikan juga harus diukur efektivitas nya. Tahun 2012, rekan-rekan people development SHE sebenarnya sudah melakukan evaluasi efektivitas training dengan evaluasi level 1 (mengevaluasi emosi peserta setelah diberikan training) dan evaluasi level 2 (mengevaluasi knowledge ataupun skill peserta setelah diberikan training). Walaupun sudah dilakukan kedua evaluasi tadi, incident masih sering terjadi. Artinya peserta 94
pelatihan sudah menjadi tenaga terlatih namun belum menjadi terdidik (belum menjadi habit). Dengan visi "SHE Habit" maka mau tidak mau SHE harus meningkatkan evaluasi pelatihan nya menjadi level tiga (evaluasi behavior). Sejalan dengan visi "SHE Habit", evaluasi level ini prinsipnya akan melihat efektifitas pelatihan untuk menciptakan habit baru bagi para trainee. Mendesign pelatihan sampai dengan level tiga yang bisa mengubah behavior peserta training memang menjadi tantangan tersendiri. Penugasan pasca training biasanya menjadi bagian untuk mendidik peserta training. Penugasan untuk mengulang pelatihan yang diberikan diharapkan mampu memasukkan habit baru. Seperti cerita anjing Paflov, untuk memunculkan air liur, Paflov mengulang-ulang penugasan membunyikan bel. Harus juga dibedakan, keberhasilan trainee menjalankan tugas pasca training bukanlah ukuran kesuksesan pelatihan di level 3. Selama trainee tahu bahwa trainee dalam masa penugasan dan masih ada intervensi untuk mengumpulkan penugasan bisa jadi habit yang ingin dibentuk belum lah terjadi. Karena lagi-lagi, kesuksesan pelatihan level tiga adalah "mengubah habit trainee". Analogika gampangnya, seperti orang mengendarai motor. Tahu dan bisa menggunakan helm berarti lulus evaluasi level dua. Masih diingatkan untuk menggunakan helm berarti proses untuk menginternalisasi habit baru menggunakan helm. Sadar dengan sendiri nya menggunakan helm saat berkendara motor berarti lulus evaluasi level tiga. Memang mendesign dan mengevaluasi pelatihan level tiga ini penuh tantangan. Namun, di level ini lah keasyikan training and development sesungguhnya. Let try this at home
95
MENGEVALUASI TALENT
Selalu menarik mengikuti presentasi improvement talent-talent perusahaan, termasuk hari ini. Walaupun metode evaluasi dengan presentasi ini masih menjadi perdebatan, karena masih dianggap mengerdilkan potensi dan performance talent. Saya sendiri, yang terbiasa langganan menjadi moderator presentasi continuous improvement bagi talent, memAndang presentasi menjadi tool yang baik namun belum yang terbaik. Seorang talent, gampangnya harus mampu menunjukkan extraordinary competency dan extraordinary performance. Presentasi improvement mampu menunjukkan syarat tersebut. Unsur penilaian performance bisa dilihat dari pencapaian improvement yang talent lakukan. Sedangkan, unsur knowledge competency nya bisa diketahui dari tanya jawab penguasaan keilmuan saat evaluasi. Jika tidak bisa menjawab berarti secara competency knowledge memang tidak competen. Skill Competency nya juga bisa dilihat dari proses talent melakukan rencana perbaikan. Dari hal tersebutlah, saya setuju presentasi menjadi tool yang baik untuk mengevaluasi talent. Namun, bukan tool terbaik, karena presentasi tadi tidak bisa mengukur soft competency dan validitas realibilitas back ground. Pengalaman saya, seorang talent yang diambil dari back ground lapangan, soft competency nya saat presentasi menjadi tertutupi. Ada salah satu talent dari section produksi sub section Pit Service, saat dia di lapangan suaranya keras menggelegar sejalan dengan postur tubuhnya yang tinggi besar, performance nya kuat, team work nya diakui, disegani anak buahnya. Namun, saat presentasi suaranya jadi kecil seperti tikus celurut kejepit pintu, performance nya terkesan lemah. Orang-orang lapangan biasanya gagal 96
mempresentasikan softcompetency nya. Hal ini dikarenakan, mempresentasikan data adalah hal baru bagi mereka. Segala sesuatu yang baru biasanya dihadapi dengan topeng baru. Contohnya jika punya pacar baru, topeng baik kita yang digunakan bukan diri kita sebenarnya. Berbeda dengan karyawan back ground lapangan, karyawan dengan back ground office menjadi kebalikannya. Masih common sense pengalaman saya, orang-orang back ground office cenderung berhasil menampilkan soft competency nya. Namun, saat talent dengan back ground office presentasi, saya cenderung harus extra keras menguji validitas dan reliabilitasnya. Keseharian mereka yang terbiasa terlibat dengan data, memungkinkah mereka membuat celah, sehingga data yang tersaji bisa jadi benar di sudut tertentu tapi salah di sudut yang lain. Contohnya data productivity, dengan target 50 per hari dan pencapaian rata-rata awal 30 maka setelah diperbaiki pencapaian rata-ratanya menjadi 55. Secara olah data di sudut ini, pencapaian improvement yang dilakukan berhasil. Namun, di sudut olah data lain, data pencapaian improvement nya salah. contohnya saja dilakukan pengolahan data secara standar deviasi. Bisa jadi dengan rata-rata lebih bagus, namun standar deviasi (keajegan) hasil hari-per hari tidak stabil. Hari ini productivity nya sangat bagus dan hari berikutnya productivity nya sangat jelek. Artinya hasil improvement yang dilakukan hanya kebetulan saja atau improvement nya belum menemukan bentuk standar.
97
Sebenarnya ada peluang untuk meningkatkan nilai presentasi sebagai tool evaluasi talent dari baik menjadi sangat baik. Dari sisi soft competency, bisa diisi dengan evaluasi 360`. Dengan indicator soft competency yang jelas, kita bisa menanyakan aktual di lapangan soft competency talent kepada atasan, bawahan, dan rekan sejawat. Hasil evaluasi tadi akan menggambarkan kelayakan kelulusan talent. Sedangkan dari sisi validitas dan reliabilitas data back ground kita bisa lakukan dengan menambahkan control balance measure dalam presentasinya. Atau bahasa gampangnya harus ada uji validitas dan reabilitas dari data improvement yang dipresentasikan.
98
DUA SISI AULA PARA BINTANG
Kemarin terlibat lagi dengan urusan presentasi improvement dari talent perusahaan. Bukan sebagai talent nya, tapi sebagai moderator presentasi improvement. Peran yang begitu saya nikmati. Dua hal yang saya nikmati selama proses menjadi moderator ada dibagian ide dan orangnya. Dengan menjadi moderator, saya secara tidak langsung belajar ilmu dari section lain. Di tambah bonus ide kreatifitas yang memperkaya up date dan aplikasi keilmuwan. Belum lagi bonus tambahan melihat reaksi talent selama proses presentasi. Di perusahaan saya, talent dihargai dengan promosi jabatan, baik melalui jalur promosi profesional maupun jalur promosi managerial. Jalur profesional lebih dikenal dengan jalur specialis. Contohnya, Mechanic promosi ke Mechanic Specialist Auto Shut Down, dari Mine Plan promosi ke Mine Plan Specialist, dari Recruitment promosi menjadi Recruitment Specialist, dst. Sedangkan jalur managerial diisi oleh orangorang yang berlari menjadi excekutif perusahaan. Contohnya dari Mechanic promosi ke Foreman Mechanic, dari Recruitment promosi ke Supervisor Recruitment, etc. Perusahaan membuka dua kesempatan jenjang karir bukan tanpa alasan. Alasan pertama, jika perusahaan hanya membuka satu jenjang karir managerial saja, talent-talent di perusahaan tidak bisa terakomodir semua. Jenjang karir managerial seperti piramida, semakin ke atas semakin sedikit posisi tersedia. Padahal, jumlah talent lebih banyak dari pada jumlah posisi. Bisa jadi, jika hanya jalur managerial saja yang dibuka, talent mengajukan resign (mengundurkan diri), karena merasa tidak terakomodir competency and performance nya.
99
Alasan kedua, perusahaan mengakomodir dua character dan competency dengan mendesign dua jenjang karir. Ada tipikal orang yang secara technical tidak terlalu bagus, namun secara managerial sangat mumpuni. Dan kebalikannya, ada orang yang secara managerial payah, namun secara technical sangat briliant. Contohnya, Pep Guardiona. Selama menjalani karir sebagai pemain sepak bola, Pep tidak pernah bersinar namanya. Keberuntungannya berbalik arah saat menjalankan fungsi managerial sebagai pelatih, siapa penikmat Sepak Bola yang tidak mengenal Pep? Kejeniusannya sebagai pelatih membawa teamnya memenangi 3 Liga BBVA, 2 Copa Del Rey, 3 Piala Super Spanyol, 2 Liga Champions, 2 Piala Super Eropa, dan 2 Piala Dunia Antarklub. Contoh lain, Maradona. Saat bermain sebagai pemain sepak bola, Maradona dikenal sebagai pemain brilian. Sejak usia 11 tahun, Maradona sudah menjadi pemain di Los Cebollitas (bawang kecil) yang merupakan tim juniornya Argentinos Juniors. Tahun 2000, Maradona juga terpilih sebagai pemain Abad ini oleh FIFA. Namun, prestasinya yang brilian berhenti saat dia menjadi pelatih. Ketepatan para talent mengambil jalur promosi yang dipilih tentunya berefek pada jenjang karir berikutnya. Kesalahan mengambil jalur karir, bisa jadi menghentikan karir berikutnya. Termasuk yang terjadi pada salah satu rekan kerja saja. Kurangnya pengarahan dari atasan, membuat nya mengambil jalur karir managerial. Tidak ada yang meragukan technical competency nya. Kerja rajin, disiplin, tepat waktu dan ahli mengatasi trouble shooting membuat dia bersinar dan dimasukkan aula para talent. Berbagai program development untuk memperkuat competency talent dijalani, baik development untuk technical competency, business competency (ketrampilan untuk memahami aspek bisnis secara keseluruhan) dan people competency (ketrampilan mengelola bawahan, kolega dan atasan) diikuti. Dengan 100
kemampuan dan passion nya, dia mampu menguasasi technical competency dengan cepat. Namun, passionnya belum mampu membawa dia untuk menguasai business process perusahaan (business competency), karirnya di jenjang managerial berhenti di level managerial level tengah. Dia hanya menjadi managerial semi spesialis dan bukan generalis. Ditambah lagi character nya yang membuat susah menguasai people competency, sehingga dia semakin terhuyung huyung untuk naik keatas. Jadi jenjang karir mana yang cocok untuk Anda?
101
REMUNERATION Motivasi terbesar bisa didapat dari kenaikan gaji. Kesialan terbesar berasal dari promosi tanpa naik gaji. Kejutan terbesar berasal dari kenaikan gaji tiba-tiba walau bekerja biasa-biasa saja. Penrunan semangat terbesar adalah terlambat menerima gaji. Kesedihan terbesar karena bos kabur sambil membawa lari gaji karyawannya
102
Jika kita berbicara tentang remuneration, sudah pasti bayangan awal kita adalah compensation (gaji) and benefit (fasilitas). Gambaran tadi benar adanya namun sebenarnya masih bisa dilengkapi lagi. Remuneration tidak melulu urusan extrinsic reward berupa gaji dan benefit saja, namun juga urusan intrinsic reward seperti perasaan dihargai, status, maupun perasaan aman atas ketepatan pembayaran gaji dan benefit yang diberikan, inilah yang kemudian dinamakan dengan total remuneration. seperti perasaan dihargai, status, maupun perasaan aman atas ketepatan pembayaran gaji dan benefit yang diberikan. Pelaksanaan total remuneration memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah untuk menarik calon karyawan, mempertahankan performance karyawan, memotivasi agar lebih produktif, dan memberi apresiasi pada karyawan dengan performance yang bagus.
Di Indonesia sendiri, praktek remunerasi secara extrinsic reward diatur dengan UU no. 13 tahun 2003. Sehingga, praktek remunerasi secara extrinsic reward yang diberikan kepada talent pun minimal harus mengacu pada aturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan praktek remunerasi secara intrinsic remuneration tidak diatur secara khusus di perundang-undangan Indonesia. Secara umum dalam dunia remuneration dikenal adanya 3P, pay for position, pay for performance, dan pay for person. Pay for 103
position berarti seorang karyawan dibayar berdasarkan posisi atau jabatan. Dengan ada nya pay for position berarti akan ada perbedaan remuneration di tiap level jabatan. Hal yang harus menjadi focus utama saat perusahaan menerapkan pay for position adalah bobot pekerjaan yang dianalisa dari job description. Pay kedua adalah pay for performance, artinya seorang karyawan akan dibayar berdasarkan performance yang dihasilkan. Tentu saja performance appraisal menjadi fokus utama dari tipe remuneration pay for performance. Dan pay terakhir adalah pay for person. Jenis remunerasi dengan berfokus pay for person menitikberatkan pada membayar orang karena karakteristik unik seseorang. Contohnya, adalah orang-orang dengan keahlian specialist yang susah digantikan, atau karyawan yang memegang rahasia perusahaan, dan lain sebagainya. Catatan-catatan saya berikut akan bercerita tentang aplikasi penggunaan remunerasi untuk meretain para talent. Catatan saya akan dimulai dengan bercerita tentang exstrinsic reward dari benefit (Talent’s Benefit Masa ke Masa) sampai dengan compensation (Upah Para Telent). Diteruskan kemudian catatan tentang intrinsic reward (Bonus Tahunan, dan Bonus Tahunan atau Harian).
104
105
TALENT’S BENEFIT MASA KE MASA
Mendevelopt talent tentunya juga harus dibarengi dengan meretain talent. Tentu nya perusahaan akan rugi besar jika apa yang ditanam tapi tidak dituai. Kalau catatan saya kemarin tentang "Task force Double Impact", saya sempat bercerita untuk mempertahankan seorang talent bisa dilakukan dengan men Challenge mereka, itu saja tentunya tidak cukup. Challenge dalam piramida Maslow, berada di tangga antara rasa dicintai sampai dengan aktualisasi diri. Atau kalau menurut sastrawan besar Jawa, Ronggowarsito, challenge yang diberikan oleh perusahaan bisa dimasukkan ke tahapan Turonggo (tunggangan) sampai kukilo (peliharaan). Dua tangga tadi bagi orang jawa menjadi ukuran kekayaan seseorang. Bahkan, orang Jawa belum dianggap kaya jika belum memiliki kedua hal tadi. Tak urung dalam filosofi jawa, Turonggo dan kukilo melambangkan "kebanggaan". Baik piramida Maslow maupun piramida Ronggowarsito, memiliki pondasi utama berupa kebutuhan fisiologis, disusul kemudian pondasi rasa aman. Artinya selain challenge, untuk meretain talent harus dipondasi dengan kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Subtitusi untuk kebutuhan fisiologis dan rasa aman tadi bisa jadi adalah compensation and benefit. Sehingga program yang bisa disusun untuk meretain talent dari pondasi kebutuhan fisiologi dan rasa aman bisa dilakukan dengan program compensation and benefit (remuneration). Program remunerasi yang mau dibuatpun sebisa mungkin disesuaikan dengan faktor usia talent. Pada tulisan saya terdahulu "Talent 3 Generasi", saya sempat menjelaskan ada talent yang lahir antara tahun 1945-1965 dan dikategorikan sebagai generasi Baby Boomer, talent yang lahir di tahun 1965106
1980 di sebut generasi X, dan talent yang lahir antara tahun 1980 - 1995 dikategorikan sebagai generasi Y. Usia Baby Boomer di dekade ini berarti di kirasan 45 th ke atas. Mereka adalah angkatan tua yang semakin menurun produktivitasnya. Sehingga mereka akan lebih memikirkan masa depan di hari tua mereka. benefit yang cocok untuk mereka tentunya adalah benefit yang mengarah ke hari tua nya, contohnya adalah Asuransi jiwa seperti tanggungan di hari tua hingga mereka meninggal. Berbeda dengan Baby Boomer, Generasi X yang dekade ini berusia 35 an tentunya membutuhkan jenis benefit (fasilitas) yang berbeda. Generasi ini biasanya sudah mempunyai keluarga dan sedang membangun infrastruktur rumah tangga. Sehingga cara terbaik untuk mempertahankan mereka adalah memberikan fasilitas loan atau pinjaman. Contoh tunjangan yang bisa diberikan diantaranya COP (Car Ownership Program) ataupun HOP (House Ownership Program). Cara kerjanya talent akan diberikan COP ataupun HOP dengan ikatan dinas sekian tahun. Jika dalam waktu ikatan dinas talent resign, mereka harus mengembalikan semua biaya program COP ataupun HOP yang diberikan perusahaan. Dari ketiga generasi, nampaknya generasi Y paling susah untuk dibuatkan program remunerasi. Generasi Y cenderung menghabiskan waktunya untuk Lifestyle. Mereka tergolong generasi High Tech dan Konsumtif. Benefit yang bisa diberikan pada para generasi Y ini tentunya adalah benefit yang menunjang lifestyle mereka. Contoh fasilitas yang bisa diberikan kepada generasi Y adalah fasilitas menjadi member executive club. 107
UPAH PARA TALENT
Jika ditulisan sebelumnya “Talent’s Benefit Masa Ke Masa”, saya banyak bercerita tentang penggunaan benefit untuk menghargai para talent. Sedangkan, di catatan saya ini akan bercerita tentang compensation atau upah yang bisa diberikan untuk talent. Sebagaimana penjelasan saya sebelumnya, kompensasi bisa diberikan dengan model 3P, pay for position, pay for performance, dan pay for person. Secara position atau jabatan sudah jelas tiap posisi memiliki standar gaji. Agar tidak kalah dengan pesaing, dalam era “Talent War” ini penentuan standar upah bisa dilakukan dengan berpartisipasi dalam salary survey dan melihat trend hasil salary survey yang telah dilakukan pada perusahaan sejenis. Perusahaan kemudian bisa menentukan mau memposisikan diri di seperti hasil salary survey, atau di atas nilai salary survey atau dibawah nilai salary survey. Standar gaji biasanya memiliki range dari minimum, medium sampai dengan maksimum. Penentuan seorang karyawan menempati range gaji minimum, medium atau maksimum dipengaruhi oleh kebijakan perusahaan. Ada perusahaan yang mementingkan senioritas dalam penentuan range gaji. Ada juga perusahaan yang mementingkan competency, ada juga perusahaan yang menggabungkan pay kedua yaitu performance, dan ada juga perusahaan yang memformulakan antara senioritas, competency dan performance. Perusahaan yang memiliki perhatian dengan talent, biasanya mengapliasikan pay pertama dengan memasukkan pay
108
kedua, yaitu pay for performance dalam penentuan range gaji karyawan. Penetapan standar gaji berdasarkan pay for performance diawali dengan melihat hasil performance appraisal (penilaian kinerja). Besaran kenaikan gaji tiap tahun ditentukan dari hasil performance appraisal. Semakin bagus hasil performance appraisal maka akan semakin tinggi juga kenaikan gaji yang akan diterima. Bagi para talent dengan karakteristik full performance, penentuan gaji berdasarkan hal seperti ini tentunya akan sangat menguntungkan dan bisa meretain mereka. Pay ketiga dari 3P adalah pay for person, yang berarti seseorang dibayar berdasar karakteristik pribadi. Ada beberapa kondisi seorang talent bisa diberikan pay for person, kondisi pertama adalah seorang talent yang memiliki competency unik yang sangat jarang ada dipasaran. Kondisi kedua adalah jika talent sebenarnya memiliki competency di atas standar jabatan nya dan memiliki performance yang bagus namun tidak ada slot successi yang bisa ditempati. Jika berbicara mengenai compensation, ada satu hal yang perlu diperhatikan. Semakin besar compensation akan berbengaruh pada beban pesangon yang harus dibayarkan perusahaan jika talent mengalami pemutusan hubungan kerja. Sebaiknya dilakukan perbandingan yang pas dalam pemberian antara compensation and benefit. Sebenarnya UU no 13 th 2003 mengatur komposisi antara pemberian compensation and benefit, dijelaskan dalam undang109
undang tersebut, besaran benefit yang dibayarkan tidak boleh melebihi 25% dari take home pay yang diterima karyawan setiap bulan. Contoh, seorang karyawan mendapatkan take home pay sebesar Rp. 3 juta dengan perincian compensation (gaji) sebesar 2 juta dan benefit (tunjangan makan, dan tunjangan transportasi) sebesar Rp 1 Juta. Komposisi antara compensation and benefit tersebut tidak diberbolehkan oleh perundang-undangan karena nilai benefit yang diterima karyawan sebesar 33,3% dari take homepay yang diterima. Alternatifnya, perusahaan bisa menggunakan jenis benefit yang sifatnya fasilitas tidak diuangkan, seperti fasilitas mobil kantor, mess, ataupun executive club member.
110
BONUS TAHUNAN
Hari ini selama dua jam penuh melakukan video conference antara manager-manager HRD di head office dan semua section head HRD di kantor cabang. Agenda vid con nya sebenarnya cukup ditunggu-tunggu, terutama bagi karyawan yang tidak mendapat insentif bulanan, agenda nya tentang bonus tahunan. Selama video conference terjadi diskusi yang cukup menarik, apalagi perhitungan bonus tahunan di tahun ini dilakukan dengan transparan. Berbeda dengan perhitungan bonus tahunan tahun-tahun sebelumnya yang memang hanya dihitung oleh Board of Director. Dalam rekaman saya, selama video conference ada diskusi paling alot untuk membahas dan menjawab pertanyaan "apakah bonus tahunan yang diterima tahun ini akan lebih kecil dari tahun kemarin?" Memang ada ketakutan di antara rekan-rekan sekerja terhadap perolehan bonus, tidak terkecuali saya pun juga harap-harap cemas dengan bonus tahun ini. Apalagi di tahun kemarin, saya cukup panen besar bonus tahunan. Walaupun saya senang dengan adanya bonus tahunan yang sifatnya tangible (bisa dilihat dan dirasakan), namun sebagai seorang leader kita harus hati-hati dalam memberikan bonus yang sifatnya tangible. Harus diingat bahwa tujuan adanya tangible bonus untuk memotivasi karyawan tidak akan bertahan lama. Begitu bonus atau hadiah dihilangkan, tiba-tiba akan hilang pula semangat mencapai hasil tertentu. Pernah ada kejadian di perusahaan saya, mengenai perubahan kebijakan pemberian bonus insentif hari libur nasional. Awalnya insentif libur nasional diberikan pada semua karyawan yang dinyatakan kerja pada tanggal tersebut. Namun, kebijakan 111
pemberian bonus insentif kemudian dirubah menjadi hanya karyawan yang piket di hari libur nasional saja yang mendapat bonus insentif. Akibatnya banyak karyawan memilih untuk tidak bekerja di hari libur. Selain beresiko menghilangnya motivasi kerja jika bonus dihentikan, bonus yang diberikan dalam jumlah yang cenderung sama juga beresiko menurunkan atau menghilangkan motivasi karyawan. Mau tidak mau untuk mengangkat motivasi karyawan harus diberikan bonus yang lebih besar. Pemberian tangible bonus juga bisa menyebabkan hilangnya inisiatif. Karena terbiasa mengejar bonus, inisiatif yang muncul dari dalam diri pun berkurang atau bahkan terkikis jika tak ada dorongan berupa bonus. Andaipun tangible bonus harus diberikan maka harus dibarengi intangible bonus (non financial bonus). Saat seorang karyawan berprestasi bisa jadi bonus yang diberikan bisa berbentuk training untuk meningkatkan competency. Di satu sisi bonus ini akan bermanfaat secara pribadi ke karyawan dan di sisi lain akan berdampak positif pada perusahaan. Naiknya competency diharapkan akan menaikkan performance karyawan. Di tulisan berikutnya berjudul “Bonus Harian Atau Tahunan”, saya akan bercerita tentang lima bahasa cinta yang bisa digunakan sebagai panduan memberikan intangible reward.
112
PILIH BONUS HARIAN ATAU TAHUNAN
Hari ini bonus tahunan diberikan. Tepat seperti dugaan saya, ada karyawan yang mendapat bonus lebih kecil dari tahun kemarin, ada yang sama dengan tahun kemarin dan ada yang lebih besar dari tahun kemarin. Persiang ini setidaknya ada 20 orang rekan sekerja yang berkomunikasi via SMS, BBM maupun Private Message dengan saya perihal bonus yang di dapat. Seperti drama kehidupan ada yang kecewa ada yang bahagia. Karyawan yang kecewa bisa jadi akan turun motivasi nya, sedangkan karyawan yang bahagia belum tentu juga bertahan kinerjanya. Memberi bonus memang sebuah seni. Apalagi jika bonus dibagikan setahun sekali. Moment pemberian bonus nya bisa jadi hanya menjadi angin lalu belaka. Menurut saya bonus harus nya bisa diberikan seperti moment pemain sepak bola yang baru saja mengegolkan ke gawang lawan. Mereka merayakan momen nya seketika itu, walaupun hasilnya belum tentu menjadi juara. Ini lah yang sering kali tidak kita lakukan, kita hanya merayakan hasil bukan proses. Padahal effort terbesar dari apapun ada dibagian proses. Merayakan kemenangan proses tidak melulu harus mewah. Lihat lah bagaimana para pemain bola merayakan gol yang dicipta. Mereka menari dan bertingkah konyol bersama. Jadi tidak ada salahnya juga bagi kita untuk merayakan kemenangan proses dengan menari dan bertingkah konyol bersama. Ada lima bahasa yang bisa kita gunakan untuk merayakan proses, saya sering menyebutnya dengan bahasa cinta. Bahasa cinta pertama adalah bahasa sentuhan. Acungkan dua jempol Anda saat karyawan Anda melakukan sesuatu yang lebih. Atau tepuk bahu karyawan Anda dengan ketulusan cinta, bisa juga Anda menjabat tangan karyawan Anda sambil memAndang lurus 113
matanya. Jangan lupa lengkapi dengan bahasa cinta kedua, bahasa cinta verbal. Sambil melakukan sentuhan ucapkan "terimakasih, Anda telah berbuat lebih bagi team sehingga kinerja team bisa mencapai target". Dan lihat apa yang akan terjadi? Jika rekanrekan masih ingat catatan saya berjudul “Monitoring dan Feedback”, bahasa cinta verbal sebenarnya adalah positive feedback. Anda juga bisa merayakan kemenangan proses dengan meluangkan waktu berinteraksi dengan team Anda. Berikan waktu lebih Anda untuk mendampingi dan menjadi jimat karyawan Anda. Itu lah bahasa cinta ke tiga, waktu yang bermanfaat. Sangat merugi jika seorang leader tidak bisa meluangkan waktu untuk bekerja bersama team. Bukan lah leader yang baik jika hanya bisa melihat team nya, tanpa terlibat dengan mereka. Berduka dan bergembira bersama. Bisa juga Anda memberikan sedikit hadiah. Bukan dari saku perusahaan tapi dari saku pribadi Anda. Ini lah bahasa cinta ke empat, hadiah. Tidak harus hebat. Tapi berikan di moment yang tepat. Saat selesai presentasi project baru ke manager. Traktir team Anda, sebagai perayaan kemenangan. Tambahkan ramuan bahasa cinta yang lain dalam perayaan moment yang akan membuat Anda dan team semakin mesra. Akhirnya bahasa cinta ke lima adalah melayani. Tidak pernah akan menjadi leader yang hebat sebelum bisa menjadi bawahan yang hebat. Melayani bawahan berarti segala tindakan yang meringankan beban bawahan. Sangat gampang memberikan penghargaan di saat kemenangan, tapi sangat susah memberikan 114
penghargaan atas usaha anak buah yang gagal. Apakah kekecewaan kegagalan mereka harus ditambah dengan murka Anda? Bukankah akan lebih menguatkan team Anda, saat Anda melayani kebangkitan team Anda dari kegagalan?
115
116