BAB I PENDAHULUAN TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian ma’âni,
objek
kajiannya
dan
manfaat
mempelajarinya. BAHASAN A. Pengertian Ma’âni
Kata
ma’âni
jamak dari (
).
merupakan
bentuk
Secara leksikal kata
tersebut berati maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayân mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
1
Sedangkan menurut istilah, ilmu ma’âni adalah ilmu untuk mengetahui halihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
Yang dimaksud dengan hal ihwal lafazh bahasa Arab adalah model-model
susunan kalimat dalam bahasa Arab, seperti penggunaan taqdîm atau ta’khîr , penggunaan ma’rifah atau nakirah, disebut (dzikr )
atau
dibuang
(hadzf ), ),
dan
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi dan kondisi adalah situasi dan kondisi mukhâthab, seperti keadaan kosong dari informasi itu, atau ragu-ragu, atau
malah
mengingkari
informasi
tersebut. Ilmu ma’âni pertama kali
2
dikembangkan oleh Abd al-Qâhir alJurzâni. B. Objek kajian ilmu ma’âni Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama balâghah bahwa ilmu ma’âni bertujuan membantu agar seseorang dapat berbicara sesuai dengan muqtadha al-hâl . Agar seseorang dapat berbicara sesuai dengan muqtadha al-hâl , maka ia harus mengetahui bentuk-bentuk kalimat dalam bahasa Arab. Kapan seseorang harus mengungkapkan dalam bentuk taqdîm, ta’khîr, washl, fashl, dzikr, hadzf , dan
bentuk-bentuk lainnya. Objek kajian ilmu ma’âni hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam
3
ilmu ma’âni. Dalam ilmu nahwu dibahas masalah taqdîm dan ta’khîr , hadzf , dan dzikr . Hal-hal tersebut juga merupakan
objek kajian dari ilmu ma’âni. Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat mufrad (berdiri sendiri), tanpa terpengaruh oleh faktor lain seperti keadaan kalimat-kalimat di sekitarnya. Sedangkan ilmu ma’âni lebih bersifat tarkîbi (tergantung kepada factor lain).
Hasan Tamam menjelaskan bahwa tugas ahli nahwu hanya sebatas mengotak-ngatik kalimat dalam suatu jumlah, tidak sampai melangkah kepada jumlah yang lain. Kajian dalam ilmu ma’âni adalah keadaan kalimat dan bagian-bagiannya. Kajian yang membahas bagian-bagian berupa musnad-musnad ilaih dan fi’il
4
muta’allaq. Sedangkan objek kajian dalam
bentuk jumlah meliputi fashl, washl, îjâz, ithnâb, dan musâwah.
Secara keseluruhan ilmu ma’âni mencakup delapan macam, yaitu: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
dan . Kalimat dalam bahasa Arab disebut
al-jumlah. Dalam kaca mata ilmu nahwu
dan dari sisi tarkîb (struktur), al-jumlah itu terdiri dari dua macam, yaitu jumlah ismiyah (kalimat nominal) dan jumlah
5
fi’liyah (kalimat verbal). Dilihat dari segi
fungsinya, al-jumlah itu banyak sekali ragamnya. 1. Jumlah ismiyah (kalimat nominal) Pengertian jumlah ismiyyah menurut para pakar nahwu adalah sbb:
-
.
Jumlah ismiyyah adalah suatu jumlah (kalimat) yang terdiri dari mubtada dan khabar. Dari segi fungsinya jumlah ismiyyah hanya menetapkan sesuatu hukum pada sesuatu. Jumlah ini tidak berfungsi untuk tajaddud dan istimrâr.
6
Jumlah ismiyah ialah kalimat yang
tersusun dari mubtada dan khabar . Jumlah
ismiyah menurut
asalnya
digunakan untuk menetapkan sesuatu terhadap sesuatu tanpa memperdulikan kontinuitas dan pembaharuan. Hal itu, apabila khabar-nya terdiri dari ism fâ’il atau ism maf’ûl, seperti ungkapan:
Sifat mukhtalifah adalah sifat yang melekat pada anwâ’uha, maka dengan jumlah itu ditujukan untuk menetapkan
sifat mukhtalifah kepada anwâ’uha tanpa pembatasan waktu (lampau, sedang atau akan). Lain halnya jika khabar -nya terdiri dari fi’il, seperti:
7
Kata ikhtalafat adalah fi’il al-mâdhî , maka ungkapan di atas mengandung arti: Macam-macamnya telah berbeda (waktu lampau). Pada jumlah ismiyah (kalimat nominal), mubtada ditempatkan pada permulaan
kalimat, sedangkan khabar ditempatkan sesudahnya, seperti:
Namun, jika mubtada terdiri dari nakirah (indefinitif article) dan khabar
berupa prase preposisi, maka khabar didahulukan, seperti:
8
Pada contoh ini, maka sebagai khabar dan mubtada.
sebagai
Karakteristik jumlah ismiyah adalah membentuk makna tsubût (tetap) dan dawâm (berkesinambungan), contoh
seperti kalimat:
2. Jumlah fi’liyah (kalimat verbal)
)
.(
:
9
" :
. " .
. Jumlah fi’liyah ialah kalimat yang
terdiri dari fi’il dan fâ’il atau fi’il dan naib fâ’il. Jumlah fi’liyah mengandung
makna pembatasan waktu, yaitu waktu lampau, sedang dan akan. Pada jumlah fi’liyah (kalimat verbal), fi’il (verba) itu dapat berbentuk aktif
dan pasif.
10
Contoh jumlah fi’liyah dengan verba aktif seperti
Contoh jumlah fi’liyah dengan verba pasif seperti
Karakteristik jumlah fi’liyah tergantung kepada fi’il yang digunakan; fi’il mâdhi (kata kerja untuk waktu lampau) membentuk karakter, contoh karakter positif seperti kalimat
contoh karakter negatif seperti kalimat
11
sedangkan fi’il mudhâri (kata kerja untuk waktu sedang dan akan, juga untuk perbuatan rutin) membentuk tajaddud (pembaharuan), contoh seperti
Selain melihat dari susunan unsurunsur yang membentuk jumlah ilmu nahwu juga melihat isi kalimat dari sisi itsbât (positif) dan manfi (negatif) nya
saja. Jumlah
mutsbatah (kalimat
positif) menurut al-Masih (1981), ialah kalimat yang menetapkan keterkaitan antara subjek dan predikat. Kalimat ini terdiri dari unsur subjek dan predikat sebagai unsur pokoknya. Kedua unsur tersebut dapat dijumpai dalam jumlah ismiyah (kalimat nominal) dan jumlah fi’liyah (kalimat verbal).
12
Sedangkan Jumlah manfiyah (kalimat negatif) merupakan lawan dari kalimat positif, yaitu kalimat yang meniadakan hubungan antara subjek dan predikat, seperti contoh berikut:
…
(7-6 : 87
)
Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki …” (Q.S al-‘A’lâ: 6-7)
C. Manfaat ilmu Ma’âni Ilmu ma’âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat ( jumlah) bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhâthab sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan melihat objeknya
13
mempelajari ilmu ini dapat memberi manfaat sbb: a. Mengetahui
kemukjizatan
Alquran
berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan
deskripsinya,
pemilihan
diksi, dan penyatuan antara sentuhan dan qalbu. b. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi’ir maupun
prosanya.
Dengan
mempelajari ilmu ma’âni kita bisa membedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak. RANGKUMAN 1. Kata ma’ani merupakan bentuk jamak dari kata ‘ ’. Secara leksikal kata tersebut bermakna arti atau makna.
14
Sebagai
sebuah
disiplin
ilmu
ia
mempelajari bagaimana agar ungkapan itu sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. 2. Objek kajian ilmu ini mencakup tatanan kalimat dan bagian-bagiannya. Pada tatanan
kalimat
ilmu
ini
mengkaji
masalah fash dan washl, îjâz musawât dan ithnâb. Sedangkan pada tatanan bagian
kalimat, ilmu ini membahas musnad dan musnad ilaih, dan muta’âliqah al-fi’l .
3.
Manfaat
yang
diperoleh
jika
kita
mempelajari ilmu ini adalah dapat mengapresiasi ketinggian bahasa Alquran dan bahasa Arab.
15
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan pengertian ma’âni baik secara leksikal maupun dalam terminology ilmu balâghah 2. Menjelaskan kajian ilmu ma’âni 3. Menjelaskan manfaat mempelajari ilmu ma’âni
16
BAB II MUSNAD DAN MUSNAD ILAIH
TUJUAN Setelah perkuliahan diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian musnad, dan musnad ilaih.
BAHASAN Jumlah atau kalâm
paling tidak
terdiri dari dua unsur. Kedua unsur tersebut dalam ilmu ma’âni adalah musnad dan musnad ilaih. Dalam ilmu ushul fiqh musnad
biasa dinamakan mahkum bih dan musnad ilaih dinamakan mahkum ‘alaih. Sedangkan
dalam ilmu nahwu posisi musnad dan musnad ilaih bervariasi tergantung bentuk
jumlah dan posisinya dalam kalimat. Dalam istilah gramatika bahasa Arab dikenal istilah
17
‘umdah dan fadhlah. ‘Umdah adalah unsurunsur utama dalam struktur suatu kalimat, sedangkan fadllah adalah pelengkap. Fadhlah dalam istilah ilmu ma’âni dinamakan qayyid . Kaitan antara musnad dan musnad ilaih dinamakan
isnâd . Isnâd
adalah
penisbatan suatu kata dengan kata lainnya sehingga memunculkan penetapan suatu hukum atas yang lainnya baik bersifat positif maupun negatif. Contoh:
Pada contoh di atas ada dua unsur utama, yaitu kata ‘ ’ dan ‘ ’. Makna dari kalimat di atas adalah sifat esa ditetapkan kepada Allah. Kata ‘ ’ sebagai musnad ilaih dan ‘ ’ sebagai musnad . Penisbatan sifat esa kepada Allah dinamakan isnâd .
18
A. Musnad Ilaih Secara
leksikal
musnad
ilaih
bermakna yang disandarkan kepadanya. Sedangkan secara terminologis musnad ilaih adalah,
Musnad Ilaih adalah mubtada yang mempunyai khabar, fâ’il, naib al-fâ’il, dan beberapa isim dari ‘amil nawâsikh.
Dalam pengertian lain musnad ilaih adalah
kata-kata
yang
dinisbatkan
kepadanya suatu hukum, pekerjaan, dan keadaan. Posisi musnad ilaih dalam kalimat terdapat pada tempat-tempat berikut ini: 1) fâ’il
19
2) nâib al- fâ’il; 3) mubtada: 4) isim ‘
’ dan sejenisnya;
5) isim ‘ ’ dan sejenisnya; 6) maf’ûl pertama ‘ ’ dan sejenisnya; 7) maf’ûl kedua dari ‘
’ dan sejenisnya.
B. Musnad Musnad adalah sifat, fi’il atau sesuatu
yang bersandar kepada musnad ilaih. Musnad berada
pada
tempat-tempat
berikut ini: 1. Khabar mubtada
20
2. Fi’il-tâm 3. Isim fi’il 4. Khabar ‘
’ dan akhwât - nya
5. Khabar ‘ ’ dan akhwât - nya
6. Maf’ûl kedua dari ‘ ’ dan akhwât -nya
7. Maf’ûl ketiga dari ‘ nya
’ dan akhwât -
RANGKUMAN 1. Musnad adalah suatu sifat, kata kerja atau sesuatu yang bersandar kepada musnad ilaih. Tempat-tempat musnad adalah
21
khabar mubtada, fi’il tâm, isim fi’il, khabar kâna’ dan akhwât -nya, khabar inna dan akhwât -nya, maf’ûl kedua dari dzonna, maf’ûl ketiga dari arâ.
2. Musnad ilaih adalah mubtada yang mempunyai khabar, fâ’il, naib al-fâ’il , dan beberapa isim nawâsikh. Tempattempat musnad ilaih dalam kalimat adalah fâ’il, nâib al-fâ’il, mubtada, isim kâna, isim inna, maf’ûl pertama dzanna, maf’ûl kedua arâ.
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan tempat-tempat musnad ilaih pada kalimat berikut contohnya 2. Menjelaskan tempat-tempat musnad pada kalimat berikut contohnya
22
BAB III MEMA’RIFATKAN DAN MENAKIRAHKAN MUSNAD ILAIH TUJUAN Setelah perkuliahan diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan mema’rifatkan musnad ilaih dan menakirahkannya
BAHASAN A. Mema’rifatkan Musnad Ilaih Dalam konteks-konteks tertentu musnad
ilaih
perlu
dima’rifatkan.
Konteks-konteks tersebut menunjukkan tujuan
yang
dimaksudkannya.
Mema’rifatkan musnad ilaih bisa dengan berbagai
cara,
mengungkapkan
seperti
dengan
nama,
dengan
23
menggunakan isim maushûl, dan dengan isim isyârah. Masing-masing dari cara
pen-takrif-an
tersebut
mempunyai
tujuannya masing-masing. 1. Mema’rifatkan musnad ilaih dengan isim alam
Mema’rifatkan dengan cara ‘alamiyah (menyebut nama) mempunyai beberapa tujuan sbb: a) Menghadirkan dzat kepada ingatan pendengar seperti firman Allah dalam surah al-Ikhlash ayat 1,
b)
Memulyakan
atau
menghinakan
musnad ilaih, seperti contoh di
bawah ini,
24
c) Optimis dan berharap yang baik
2. Mema’rifatkan musnad ilaih dengan dhamîr Mema’rifatkan musnad ilaih dalam suatu kalimat biasa juga dengan isim dhamîr . Bentuk isim dhamîr ada pada
beberapa bentuk, yaitu; a)
Isim
dhamîr
dalam
bentuk
mutakallim, contoh sabda Nabi saw; Sayalah nabi yang tiada berdusta. Sayalah putera Abd al-Muthallib.
b) Isim
dhamîr
dalam
bentuk
mukhâthab, contoh
#
25
Engkaulah yang mengingkariku’ apa yang engkau janjikan padaku, Dan telah kecewa lantaran aku, orang yang mencela kepadamu”.
c) Isim dhamîr dalam bentuk ghâib, contoh: ( Dialah Allah yang maha suci lagi maha luhur ) 3. Mema’rifatkan musnad ilaih dengan isim isyârah
Mema’rifatkan musnad ilaih melalui isim isyârah dalam suatu kalimat
mempunyai beberapa tujuan sbb: a) menjelaskan keadaan musnad ilaih, apakah dekat, jauh atau sedang seperti kita berkata,
,
,
26
b) mengingatkan bahwa musnad ilaih layak mempunyai sifat-sifat yang akan disebut setelah isim isyarah, contoh:
(5:
)
Dalam praktek berbahasa kadangkadang kata ‘ ’ yang menunjukkan dekat
digunakan
mengagungkan
untuk
sesuatu
yang
ditunjuknya seperti firman Allah,
(9:
)
Akan tetapi kadang-kadang juga sebaliknya, kata ‘’ digunakan untuk merendahkan seperti firman Allah dalam surah al-‘Ankabut 64,
27
(64: Demikian juga kata ‘
) ’ yang
menunjukkan jauh digunakan untuk mengagungkan
sesuatu
yang
ditunjuknya, contoh:
(1:
)
*
Mema’rifatkan musnad ilaih dengan isim isyârah merupakan cara untuk
menghadirkan
sesuatu
yang
diisyarahkan. Disamping itu ada beberapa tujuan lain dari mema’rifatkan musnad ilaih dengan isim isyârah, yaitu;
a) Menjelaskan keadaan musnad ilaih dalam jarak dekat, contoh:
28
( Inilah barang dagangan kita) b) Menjelaskan keadaan musnad ilaih dalam jarak sedang, contoh:
( Itulah anakku). c) Menjelaskan keadaan musnad ilaih dalam jarak jauh, contoh:
( Itulah hari ancaman/kiamat ) d) Mengagungkan derajat musnad ilaih dalam jarak dekat;
Sesungguhnya Alqur’an ini i memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus. (al-Isra:9)
e) Mengagungkan derajat dalam jarak jauh, contoh:
29
Kitab Alquran itu tidak ada keraguan didalamnya “.( alBaqarah; 2).
f) Meremehkan musnad ilaih dalam jarak dekat, contoh firman Allah dalam surah al-Anbiya ayat 3: Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia biasa
g) Menampakkan rasa aneh
# Banyak sekali orang yang berakal sempurna, usaha kehidupannya lemah Dan banyak sekali orang yang sangat bodoh yang anda jumpai penuh rizqi
30
h) Menyindir kebodohan mukhâthab,
#
Mereka itulah bapak-bapakku, Maka datangkanlah kepadaku hai jarir semisal mereka, Ketika beberapa perkumpulan, Telah menghimpun kelompok kami”.
i) Mengingatkan bahwa yang di isyârahkan itu pantas menyandang suatu sifat tertentu.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari tuhannya,dan mereka itulah orangorang yang beruntung. (Q;S alBaqarah, 2;5)
31
4. Mema’rifatkan musnad ilaih dengan isim maushûl
Mema’rifatkan musnad ilaih dengan isim maushûl mempunyai tujuan-tujuan
sbb: a) Sangat tidak baik jika digunakan dengan cara sharîh (jelas) seperti firman Allah, surah Yusuf ayat 3,
(3:
)
b) Mengagungkan seperti firman Allah ta’ala dalam surah Thaha 78,
(78: ) Selain
tujuan-tujuan
di
atas
mema’rifatkan dengan isim maushûl juga mempunyai tujuan-tujuan sbb: a) Menumbuhkan keingin tahuan pada sesuatu,yakni tatkala maksud shilah wa maushul adalah
hukum yang
aneh seperti syi’ir berikut ini,
32
# Makhluk dimana manusia, bingung terhadapnya, Adalah binatang yang tercipta, dari benda tak bernyawa
b) Merahasiakan suatu hal dari selain mukhâthab;
#
Aku telah mengambil apa, yang didermakan oleh sang raja, Dan akupun menunaikan hajathajatku, sebagaimana ia inginkan.
c).Mengingatkan kesalahan mukhâthab, contoh;
“Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah mahluk yang lemah yang
33
serupa juga dengan kamu”.(alA’raf;194)
d) Mengingatkan kesalahan selain mukhâthab. Contoh ;
# Sesungguhnya wanita yang mana hati anda, mengira bosan terhadapnya, adalah melepaskan kecintaan anda terhadapnya,
e) Menganggap Agung kedudukan mahkum bih.Contoh;
# Sesungguhnya Zat yang meninggikan langit, adalah yang mendirikan rumah untuk kita, yang tiang-tiang daripadanya, lebih mulia dan lebih panjang.
34
f) Mengejutkan karena mengagungkan/ menghina.Contoh;
“ Lalu mereka ditututup oleh laut yang menenggelamkan mereka” (Thaha; 78 g)
Menganggap hina dalam menjelaskan nama diri. Contoh; (Orang yang memeliharaku adalah ayahku).
h) Menentukan suatu ketentuan pahala/ siksa;
Maka orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang baik,bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia”.
35
i) Mencela.Contoh ; Orang-orang yang bersikap baik padamu itu,sungguh engkau telah berbuat buruk terhadapnya.
j) Menunjukan keseluruhan.Contoh; Orang-orang yang datang kepadamu, maka hormatilah mereka.
k) Menyamarkan. Contoh ; Bagi setiap jiwa akan mendapat balasannya apa yang telah ia kerjakan.
5. Mema’rifatkan musnad ilaih dengan al ( ) Alif lam merupakan salah satu alat
untuk
memakrifatkan
kata
dalam
36
bahasa Arab. Ada dua jenis ( ) yang perlu kita perhatikan, yaitu al li al‘ahdi dan al li al-jins. Al li al-‘ahdi
fungsinya
untuk
menunjukkan
kekhususan pada sesuatu, contoh:
Sebagaimana kami telah mengutus dahulu seorang rasul kepada Firaun, maka Fir’aun mendurhakai rasul itu. ( al-Muzammil ; 15-16).
Artikel ( )
pada kata ‘
’
merupakan al li al-‘ahdi, yaitu rasul yang disebut kedua kali merupakan pengulangan dari rasul yang pertama. Dan rasul yang dimaksud adalah sudah diketahui yaitu Musa as.
37
Kedua adalah al li al-jins, yaitu artikel ‘ ’ berfungsi untuk menunjukkan jenis dari makna yang ada pada kata tersebut. Al li al-jins masuk ke dalam musnad ilaih karena empat tujuan,yaitu;
a) Mengisyarahkan kenyataan sesuatu makna terlepas dari kaidah umum– khusus. Contoh ;
Manusia adalah binatang yang berfikir.
Al ( ) ini disebut juga lam jinis, karena jenis
mengisyarahkan yang
dibicarakan
keadaan dalam
kalimat tersebut. Manusia pada kalimat di atas adalah jenis makhluk Allah.
38
b) Mengisyarahkan hakikat yang samar. Contoh;
Dan aku khawatir kalau –kalau dia dimakan srigala.(Surah Yusuf; 13).
c) Mengisyarahkan setiap satuan yang bisa dicakup lafazh menurut bahasa. Contoh;
Dia mengetahui yang ghaib dan yang tampak .
d) Menunjukkan seluruh satuan dalam kondisi terbatas;
Sang raja mengumpulkan para pedagang dan menyampaikan beberapa nasehatnya pada mereka.
39
Maksud pada ungkapan di atas raja mengumpulkan
para
pedagang
kerajaanya, bukan pedagan dunia seluruhnya. 6. Mema’rifatkan musnad ilaih dengan idhâfah
Salah satu bentuk dalam mema’rifatkan musnad ilaih adalah dengan idhâfah.
Dengan di-idhafat -kan pada kata lain suatu kata yang asalnya nakirah berubah menjadi ma’rifat . Ada beberapa tujuan mema’rifatkan musnad ilaih dengan diidhafatkan pada
salah satu isim ma’rifat , yaitu ; a)
Sebagai
cara
singkat
guna
menghadirkan musnad ilaih di hati pendengar, contoh:
40
(Pembantu mudaku telah datang ) Kalimat
diatas
lebih
singkat
dibanding kalimat
(Telah datang pembantu muda yang menjadi miliku). b)
Menghindarkan
kesulitan
membilang-bilang;
Para ahli kebenaran telah sepakat terhadap masalah demikian.
c) Keluar dari tuntutan mendahulukan sebagian atas sebagian yang lain, contoh; Sejumlah pimpinan tentara telah datang
41
d) Mengagungkan mudhaf dan mudhaf ilaih. Contoh; Surah sang raja telah datang Sang Raja adalah muridku
e) Meremehkan. Contoh; Anak pencuri itu datang
7. Mema’rifatkan musnad ilaih dengan nidâ Mentakrifkan musnad ilaih pada suatu kalimat mempunyai beberapa tujuan, yaitu: a) Bila tanda-tanda khusus tidak dikenal oleh mukhâthab
( Hai seorang laki-laki!).
42
b) Mengisyarahkan kepada alasan untuk sesuatu
yang diharapkan,
contoh:
( Hai murid! Tulislah pelajaran!) B. Menakirahkan musnad ilaih Dalam
konteks-konteks
kadang-kadang
musnad
tertentu
ilaih
perlu
dinakirahkan. Penakirahan musnad ilaih tentunya
mempunyai
tujuan-tujuan
tertentu. Di antara tujuan penakirahan musnad ilaih adalah menunjukkan jenis
sesuatu,
menunjukkan
banyak,
dan
menunjukkan sedikit. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan contoh-contoh berikut ini:
43
1. Nakirah yang menunjukkan jenis,
(7:
)
Pada ayat di atas terdapat kata yang di’. nakirah-kan, yaitu kata ‘ Penakirahan kata tersebut bertujuan untuk menunjukkan suatu jenis ‘ ’ yang tidak banyak diketahui oleh manusia. Jenis ‘ ’ tersebut adalah tertutupnya mata seseorang dari melihat ayat-ayat Allah. 2. Nakirah untuk menunjukkan banyak, seperti firman Allah dalam surah al‘Araf ayat 113, Pada ayat di atas terdapat kata yang dinakirah-kan yaitu kata ‘ ’. Penakirahan kata tersebut bertujuan untuk menunjukkan banyaknya pahala yang akan mereka terima.
44
3. Nakirah menunjukkan sedikit, seperti firman Allah dalam surah al-Taubah : 72,
Pada ayat di atas Allah menggunakan isim nakirah untuk mengungkapkan
surga yaitu dengan kata ‘
’.
Penggunaan isi nakirah menunjukkan bahwa surga itu kecil dan sedikit nilainya dibandingkan dengan ridha Allah swt. Ridha Allah merupakan sumber
dari berbagai kebahagiaan
hidup manusia. 4. Merahasiakan perkara, contoh: Seorang lelaki berkata, “Engkau telah menyimpang dari kebenaran”.
45
Pada contoh diatas nama dari musnad ilaih
tidak
disebutkan
bahkan
disamarkan, agar ia tidak ditimpa hal yang menyakitkan. 5.
Bertujuan untuk makna mufrad (tunggal); Satu kecelakaan adalah lebih ringan daripada dua kecelakaan
6. Menjelaskan jenis/macamnya ; Bagi setiap macam penyakit ada satu macam obat
Kalimat di atas secara rincinya adalah Bagi setiap macam penyakit, ada obatnya.
46
RANGKUMAN 1. Mema’rifatkan musnad ilaih artinya menentukan
musnad
ilaih,
caranya
dengan menambahkan al, dhamîr , isim isyarah, idhafah, dan nidâ.
2. Dalam konteks-konteks tertentu kadangkadang musnad ilaih perlu dinakirahkan (tidak tentu). Penakirahan musnad ilaih tentunya
mempunyai
tujuan-tujuan
tertentu. Di antara tujuan penakirahan musnad ilaih adalah menunjukkan jenis
sesuatu,
menunjukkan
banyak,
dan
menunjukkan sedikit. TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan cara-cara mema’rifatkan musnad ilaih
2.
Menjelaskan
cara-cara
menakirahkan
musnad ilaih
47
BAB IV MENYEBUT DAN MEMBUANG MUSNAD ILAIH
TUJUAN Setelah perkuliahan diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan menyebut dan membuang musnad ilaih.
BAHASAN A. Menyebut Musnad Ilaih Al-Dzikr secara leksikal bermakna
menyebut. Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghah al-dzikr adalah menyebut musnad
ilaih.
Al-Dzikr
merupakan
kebalikan dari al-hadzf . Contoh,
:
48
Dalam
praktek
berbahasa,
al-dzikr
mempunyai beberapa tujuan, yaitu: 1. Al-Îdhâh wa al-tafrîq (menjelaskan dan membedakan) Penyebutan musnad ilaih pada suatu kalimat salah satunya bertujuan untuk menjelaskan subjek pada suatu nisbah. Jika musnad ilaih itu tidak disebutkan maka
tidak
akan
muncul
kesan
kekhususannya. Contoh, sebagai jawaban dari 2. Ghabâwah al-mukhâthab (menganggap mukhâthab bodoh) Mutakallim
yang
menganggap
mukhâthab tidak tahu apa-apa ia akan
menyebut musnad ilaih pada suatu kalimat yang ia ucapkan. Dengan
49
menyebut musnad ilaih, mukhâthab mengetahui fâ’il, mubtada, atau fungsifungsi lain yang termasuk musnad ilaih. Demikian juga akan terhindar dari kesalahfahaman
mukhâthab
pada
ungkapan yang dimaksud. 3. Taladzdzudz (senang menyebutnya) Seorang mutakallim yang menyenangi sesuatu
ia
pasti
akan
banyak
menyebutnya. Pepatah mengatakan
Barang siapa yang menyenangi sesuatu ia pasti akan banyak menyebutnya.
Jika mutakallim menyenagi mukhâthab ia pasti akan menyebutnya, dan tidak akan membuangnya.
50
B. Membuang Musnad ilaih Al-Hadzf secara leksikal bermakna
membuang. Sedangkan maksudnya dalam terminologi
ilmu
balâghah
membuang
musnad
ilaih.
adalah Al-Hadzf
merupakan kebalikan dari al-dzikr . Dalam praktek berbahasa al-hadzf mempunyai beberapa tujuan, yaitu: a. untuk meringkas atau karena sempitnya konteks kalimat, contoh:
:
:
Pada dialog di atas terdapat kalimat yang padanya dibuang musnad ilaihnya, yaitu pada kata ‘ ’. Kalimat lengkapnya adalah ‘ ’. Dalam sebuah syi’ir terdapat suatu ungkapan
51
Kalimat lengkap dari ungkapan tersebut adalah Kata yang dibuang pada kalimat di atas adalah musnad ilaih-nya, yaitu ‘ ’. b. Terpeliharanya lisan ketika menyebutnya, contoh:
– Pada ayat kedua terdapat lafazh yang dibuang, yaitu kata ‘
’ yang
kedudukannya sebagai musnad ilaih. Kalimat lengkapnya adalah:
c. Li
al-hujnah (merasa
jijik jika
menyebutnya) Jika seseorang merasa jijik menyebut sesuatu-apakah nama orang atau benda -ia pasti tidak akan menyebutkannya
52
atau mungkin menggantikannya dengan kata-kata lain yang sebanding. d. Li al-ta’mîm (generalisasi) Membuang musnad ilaih pada suatu kalimat juga mempunyai tujuan untuk mengeneralkan
pernyataan.
pernyataan
yang
subjeknya
secara
tidak
Suatu disebut
jelas
akan
menimbulkan kesan banya pesan itu berlaku untuk umum (orang banyak). e. Ikhfâu al-amri ‘an ghairi al-mukhâthab Kadang-kadang seorang
mutakallim
ingin merahasiahkan musnad ilaih kepada selain orang yang diajak bicara (mukhâthab). Untuk itu ia membuang musnad ilaih, sehingga orang lain tidak
mengetahui siapa subjeknya.
53
RANGKUMAN 1. Menyebut musnad ilaih pada suatu kalâm mempunyai beberapa tujuan sbb: a) menjelaskan
dan
membedakan,
menganggap mukhâthab tidak tahu, dan senang menyebutnya. 2. Membuang musnad ilaih bertujuan untuk: a) untuk meringkas atau karena sempitnya konteks,
terpeliharanya
lisan
ketika
menyebutnya, merasa jijik menyebutnya, untuk
generalisasi,
dan
untuk
menyembunyikan sesuatu kepada selain mukhâthab.
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan tujuan dibuangnya musnad ilaih pada suatu kalimat
2.
Menjelaskan
istilah-istilah
dhamîr,
isyârah, idhâfah, dan nidâ
54
BAB V KALÂM KHABARI
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian kalâm
khabari, tujuannya dan bentuk-
bentuknya. BAHASAN Kalâm dalam bahasa Arab atau
kalimat dalam bahasa Indonesia adalah suatu untaian kata-kata yang memiliki pengertian yang lengkap. Dalam konteks ilmu balâghah kalâm
terdiri dari dua jenis, yaitu kalâm
khabari dan insyâi.
A. Pengertian kalâm khabari Khabar
ialah
pembicaraan
yang
mengandung kemungkinan benar atau bohong
semata-mata
dilihat
dari
55
pembicaraannya itu sendiri. Jika seseorang mengucapkan suatu kalimat ( kalâm ) yang mempunyai pengertian yang sempurna, setelah itu kita bisa menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah maka kita bisa menetapkan
bahwa
merupakan kalâm
kalimat
tersebut
khabar . Dikatakan
benar jika maknanya sesuai dengan realita, dan
dikatakan
dusta
(kadzb)
jika
maknanya bertentangan dengan realita. Contoh,
Ucapan
:
mahasiswa
dikategorikan kalâm
di
atas
bisa
khabari. Setelah
mahasiswa tersebut mengucapkan kalimat itu kita bisa melihat apakah ucapannya benar atau salah. Jika ternyata
ustadz
Ahmad keesokan harinya tidak datang
56
dalam
perkuliahan,
maka
ucapan
mahasiswa tersebut benar. Sedangkan jika ternyata keesokan harinya ustadz Ahmad dating pada perkuliahan, maka kalimat tersebut tidak benar atau dusta. B.Tujuan kalâm khabari Setiap ungkapan yang dituturkan oleh seseorang
pasti
mempunyai
tujuan
tertentu. Suatu kalâm khabari biasanya mempunyai dua tujuan, yaitu fâidah alkhabar dan lâzim al-faidah.
1) Fâidah al-khabar adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang
yang belum tahu sama sekali isi perkataan itu. Contoh,
57
Pada kalimat di atas mutakallim ingin memberi tahu kepada mukhâthab bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak pernah mengambil sedikit pun harta dari
baitul
mal.
Mutakallim
berpraduga bahwa mukhâthab tidak mengetahui hukum yang ada pada kalimat tersebut. 2) Lâzim al-fâidah adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang
yang sudah mengetahui isi dari pembicaraan tersebut, dengan tujuan agar orang itu tidak mengira bahwa si pembicara tidak tahu.
Selain kedua tujuan utama dari kalâm kahabar terdapat tujuan-tujuan lainnya yang merupakan pengembangan dari
58
tujuan semula. Tujuan-tujuan tersebut adalah sbb: 1) Istirhâm (minta dikasihi) Dari segi bentuknya kalâm
ini
berbentuk khabar (berita), akan tetapi dari segi tujuannya mutakallim ingin dikasihi oleh mukhâthab. Contoh kalâm
khabari
dengan tujuan
istirhâm adalah do'a nabi Musa yang
dikutip Alquran,
Tuhanku, aku ini sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau berikan padaku.
2) Izhhâr
al-dha'fi
(memperlihatkan
kelemahan) seperti do'a Nabi Zakaria dalam Alquran.
59
(Tuhanku sesungguhnya aku telah lemah tulangku dan kepalaku telah penuh uban) 3) Izhhâr al-tahassur (memperlihatkan penyesalan)
seperti
doa
Imran
bapaknya Maryam yang dihikayatkan dalam Alquran.
.
(Tuhanku, aku telah melahirkan ia wanita dan Allah mengetahui apa yang ia lahirkan). 4) Al-Fakhr
(sombong) seperti
perkataan Amru bin Kalsum :
#
60
( Jika seorang anak kami telah lepas menyusu, semua orang sombong akan tunduk menghormatinya). 5) Dorongan bekerja keras Dari segi bentuk dan isinya kalâm ini bersifat akan
khabari (pemberitahuan),
tetapi
maksud
mutakallim
mengucapkan ungkapan tersebut agar mukhâthab bekerja keras. Contoh
kalâm
khabari untuk tujuan ini
adalah surah Thahir bin Husain kepada Abbas bin Musa al-Hadi yang terlambat membayar upeti, C. Jenis-jenis kalâm khabari Kalâm
Khabari adalah kalimat
yang diungkapkan untuk memberitahu sesuatu
atau
beberapa
mukhâthab.
Untuk
penyampaikan
suatu
hal
kepada efektifitas
pesan
perlu
61
dipertimbangkan kondisi mukhâthab. Ada tiga keadaan mukhâthab yang perlu dipertimbangkan dalam mengungkapkan kalâm khabari. Ketiga keadaan tersebut
adalah sbb: 1) Mukhâthab yang belum tahu apa-apa (
)
Mukhâthab
khâlidzdzihni
adalah
keadaan mukhâthab yang belum tahu sedikit pun tentang informasi yang disampaikan. Mukhâthab diperkirakan akan menerima dan tidak ragu-ragu tentang
informasi
yang
akan
disampaikan. Oleh karena itu tidak diperlukan pengungkapannya.
taukîd
Bentuk
dalam kalâm
khabari pada model pertama ini dinamakan kalâm khabari ibtidâî .
62
Contoh,
2) Mukhâthab ragu-ragu (
)
Jika mukhâthab diperkirakan ragu-ragu dengan
informasi
yang
akan
kita
sampaikan maka perlu diperkuat dengan taukîd.
Keraguan
mukhâthab
bisa
disebabkan dia mempunyai informasi lain yang berbeda dengan informasi yang kita sampaikan, atau karena keadaan mutakallim yang kurang meyakinkan. Untuk menghadapi mukhâthab jenis ini diperlukan adat taukîd seperti ‘-
-
- ’. Bentuk kalâm ini dinamakan kalâm khabari thalabi
.
Contoh,
63
. 3) Mukhâthab yang menolak (
)
Kadang juga terjadi mukhâthab yang secara informasi
terang-terangan yang
kita
menolak sampaikan.
Penolakan tersebut mungkin terjadi karena informasi yang kita sampaikan bertentangan dengan informasi yang dimilikinya. Hal ini juga bisa terjadi karena dia tidak mempercayai kepada kita. Untuk itu diperlukan adat taukîd lebih dari satu untuk memperkuat pernyataannya. Jenis kalâm model ini dinamakan kalâm khabari inkâri. Contoh,
64
Dari paparan di atas tampak bahwa penggunaan taukîd dalam suatu kalâm mempunyai implikasi terhadap
makna. Setiap penambahan kata pada suatu
kalimat
akan
mempunyai
implikasi terhadap maknanya. Seorang filsuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi bertanya
kepada
Abu
Abbas
Muhammad bin Yazid al-Mubarrid, ”Saya menemukan sesuatu yang sia-sia dalam ungkapan Arab. Orang-orang berkata:
,
,
makna kalimat-kalimat tersebut sama Abu
al-Abbas
al-Mubarrid
berkata, “Ketiga kalimat tersebut tidak sama artinya. Kalimat
65
merupakan
informasi
mengenai
berdirinya Abdullah. Kalimat merupakan jawaban dari pertanyaan seseorang. Sedangkan kalimat
merupakan
jawaban
atas
keingkaran orang yang menolaknya.
RANGKUMAN 1. Kalâm khabari ialah suatu ungkapan yang mengandung kemungkinan benar atau bohong dilihat dari teksnya itu sendiri. 2. Kalâm khabari mempunyai dua tujuan utama; pertama untuk memberi tahu mukhâthab tentang suatu informasi kedua
agar orang yang diajak bicara tidak mengira bahwa ia tidak mengetahuinya.
66
3. Selain kedua tujuan utama ada tujuantujuan lainnya, yaitu istirhâm, izhhâr aldla’fi, izhhâr al-tahassur , al-fakhr dan
dorongan bekerja keras. 4. Kalâm khabari ada tiga jenis, yaitu ibtidâi, thalabi, dan inkâri.
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan perbedaan kalâm khabari dengan kalâm insyâi 2. Menjelaskan tujuan kalâm khabari
67
BAB VI DEVIASI KALÂM KHABARI TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan macam-macam deviasi kalâm khabari. BAHASAN A. Pengertian deviasi kalâm khabari Seperti telah dijelaskan di muka bentuk-bentuk
kalâm
khabari
jika
dikaitkan dengan keadaan mukhâthab ada tiga jenis, yaitu ibtidâi, thalabi, dan inkâri. Pada kalâm ibtidâi tidak memerlukan taukîd . Karena kalâm ini diperuntukkan
bagi mukhâthab yang khâlî al-dzihni
68
(tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum yang disampaikan). Pada kalâm thalabi, mutakallim menambahkan satu
huruf
taukîd
untuk
menguatkan
pernyataannya, sehingga mukhâthab yang ragu-ragu bisa menerimanya. Sedangkan pada kalâm
inkâri, mutakallim perlu
menggunakan memperkuat
dua
taukîd
untuk
pernyataannya,
karena
mukhâthab yang dihadapinya orang yang
menolak pernyataan kita ( munkir ). Namun
demikian
dalam
berbahasa
keadaan
tersebut
selamanya
konstan.
Ketika
praktek tidak
berbicara
dengan mukhâthab yang khâlî al-dzihni kadang digunakan taukîd . Atau juga sebaliknya seseorang tidak menggunakan taukîd pada saat dibutuhkan, yaitu ketika
ia berbicara dengan seorang yang inkar.
69
B. Macam-macam deviasi kalâm khabari Di antara penggunaan kalâm khabari yang menyalahi maksud lahirnya. 1. Kalâm
thalabi digunakan untuk
mukhâthab khâlî al-dzihni
Dan janganlah kau bicarakan kepadaKu tentang orang-orang zhalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (Q.S Hud: 37)
Pada ayat di atas mukhâthab-nya adalah nabi Nuh. Ia sebagai khâlî al-dzihni karena ia pasti menerima apa yang Allah putuskan. Namun di sini Allah menggunakan taukâd seolah-olah nabi Nuh ragu. Hal ini dilakukan untuk memperkuat suatu pernyataan.
70
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan. (Q.S. Yusuf: 53)
2. Kalâm
ibtidâi digunakan untuk
mukhâthab inkâri
(163:
)
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. (Q.S al-Baqarah: 163)
Pada ayat di atas Allah menggunakan kalâm
khabari ibtidâi yaitu tidak
menggunakan mukhâthab-nya
kafir
yang
taukîd ,
adalah inkar.
penggunaan kalâm
padahal orang-orang
Pertimbangan ibtidâi untuk
mukhâthab inkari adalah karena di
samping orang-orang kafir itu telah ada
71
bukti yang dapat mendorong mereka untuk
beriman.
Oleh
karena
itu
keingkaran mereka tidak dijadikan dasar untuk menggunakan ungkapan penegasan dengan taukîd . RANGKUMAN Kalâm khabari, dalam kenyatannya sering
terjadi penyimpangan dari kaidah dan aturan umum, seperti ungkapan ibtidâi untuk inkari atau sebaliknya ungkapan inkâri digunakan untuk mukhâthab ibtidâi.
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan maksud
kalâm
ibtidâi
manzilata al-munkir berikut contohnya
72
BAB VII KALÂM INSYÂI
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian kalâm insyâi dan macam-macamnya.
BAHASAN A. Pengertian kalâm insyâi Kata '
' merupakan bentuk mashdar
dari kata '
'. Secara leksikal kata tersebut
bermakna membangun, memulai, kreasi, asli, menulis, dan menyusun. Dalam ilmu kebahasaaraban insyâi merupakan salah satu nama mata kuliah yang mengajarkan menulis.
73
Insyâi sebagai kebalikan dari khabari
merupakan bentuk kalimat yang setelah kalimat tersebut dituturkan kita tidak bisa menilai benar atau dusta. Hal ini berbeda dengan sifat kalâm dinilai
benar
khabari yang bisa
atau
dusta.
terminologi ilmu ma’âni kalâm
Dalam insyâ'i
adalah,
Kalâm insyâi adalah suatu kalimat yang tidak bisa disebut benar atau dusta
Jika mengucapkan
seorang suatu
mutakallim kalâm
insyâi,
mukhâthab tidak bisa menilai bahwa
ucapan mutakallim itu benar atau dusta. Jika seorang berkata '
', kita tidak bisa
mengatakan bahwa ucapannya itu benar atau dusta. Setelah kalâm
tersebut
74
diucapkan yang mesti kita lakukan adalah menyimak ucapannya. B. Pembagian Kalâm Insyâi Secara garis besar kalâm insyâi ada dua jenis, yaitu insyâi thalabi dan insyâi ghair thalabi. Kalâm
yang termasuk
kategori insyâi thalabi adalah Amr, nahyu, istifhâm, tamannî , dan nidâ. Sedangkan kalâm yang termasuk kategori ghair thalabi adalah ta'ajjub, al-dzamm, qasam ,
kata-kata yang diawali dengan af'âl alrajâ. Jenis-jenis kalâm insyâi ghair thalabi
tidak termasuk ke dalam bahasan ilmu ma’âni.
Sehingga
jenis-jenis
kalimat
tersebut tidak akan dibahas dalam buku ini. Insyâi thalabi menurut para pakar
balâghah adalah,
75
Kalâm insyâi thalabi adalah suatu kalâm yang menghendaki adanya suatu tuntutan yang tidak terwujud ketika kalâm itu diucapkan.
Dari definisi di atas tampak bahwa pada kalâm
insyâi thalabi terkandung
suatu tuntutan. Tuntutan tersebut belum terwujud
ketika
diucapkan.
ungkapan
Kalimat-kalimat
tersebut yang
termasuk kategori insya thalabi adalah, 1. Amr Secara leksikal amr bermakna perintah. Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghah amr adalah,
Tuntutan mengerjakan sesuatu kepada yang lebih rendah.
76
Al-Hâsyimi jumlah
(1960)
mendefinisikan
al-amr (kalimat
perintah)
sebagai tuturan yang disampaikan oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah agar melaksanakan suatu perbuatan, seperti
(24-23 : 76 ) … (Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu ) Untuk menyusun suatu kalâm amr ada empat shîgah yang biasa digunakan: a) Fi'l al-amr
77
Semua kata kerja yang ber -shîgah fi'l amr termasuk kategori thalabi.
Contoh,
Ambillah kitab itu dengan kuat!
b) Fi'l mudhâri’ yang disertai lâm alamr Fi'il mudhâri’ yang disertai dengan lâm al-amr maknanya sama dengan amr yaitu perintah. Contoh,
Hendaklah berinfak ketika dalam keleluasaan c) Isim fi'il amr
Kata isim yang bermakna fi'il (kata kerja)
termasuk
shigat
yang
membentuk kalâm insyâi thalabi. Contoh,
78
( Mari melaksanakan shalat! Mari menuju kebahagiaan! )
d) Mashdar pengganti fi'il Mashdar yang posisinya berfungsi
sebagai pengganti fi'il yang dibuang bisa juga bermakna amr . Contoh,
( Berusahalah pada hal-hal yang baik ) Dari keempat shîgah tersebut makna amr pada dasarnya adalah perintah dari
yang lebih atas kepada yang lebih rendah. Namun demikian ada beberapa makna Amr selain dari makna perintah. Makna-makna tersebut adalah do'a, iltimâs
(menyuruh
yang
tamannî (berangan-angan),
(ancaman),
ta'jiz
sebaya), tahdîd
(melemahkan),
79
taswiyah
(menyamakan),
takhyîr
(memilih), dan ibâhah (membolehkan).
2. Nahyu Makna nahyu secara leksikal adalah melarang, menahan, dan menentang. Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghah nahyu adalah,
(Tuntutan
meninggalkan
perbuatan
dari pihak yang lebih
suatu
tinggi). Contoh,
(32: )
Janganlah kamu sekalian mendekati zina! Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan jalan yang sejelek-jeleknya. (al-Isra:32)
80
Pada ayat di atas terdapat ungkapan nahyu, yaitu pada kata ’ ’.
Ungkapan tersebut bermakna larangan. Allah
swt
melarang
orang-orang
beriman berbuat zina. Al-Hasyimi mendefinisikan jumlah al(kalimat
nahy
melarang)
sebagai
tuturan yang disampaikan oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak
yang
lebih
rendah
agar
meninggalkan sesuatu perbuatan. 3. Istifhâm Kata
' merupakan bentuk
'
mashdar dari kata '
'. Secara
leksikal
bermakna
kata
tersebut
81
meminta
pemahaman/pengertian.
Secara istilah istifhâm bermakna
(menuntut pengetahuan tentang sesuatu). Kata-kata
yang
digunakan
untuk
istifhâm ini ialah :
- - - - - - - - - Suatu kalimat yang menggunakan kata tanya dinamakan jumlah istifhâmiyyah, yaitu kalimat yang berfungsi untuk meminta informasi tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya dengan menggunakan salah satu huruf istifhâm. Contoh kalimat tanya seperti
82
(2-1 : 97 )
(Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?) a) Hamzah ( ) Hamzah sebagai salah satu adat istifhâm mempunyai dua makna,
(1) Tashawwuri Tashawwuri artinya jawaban
yang
bermakna
Ungkapan
istifhâm
mufrad .
yang
meminta pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat mufrad dinamakan
istifhâm
tashawwuri. Contoh,
-1
83
-2 Pada kedua kalimat di atas adat yang digunakan untuk bertanya adalah hamzah. Aspek yang dipertanyakan
pada
kedua
kalimat di atas adalah hal yang bersifat kalimat
tashawwur .
pertama
Pada
hal
yang
ditanyakan adalah dua pilihan antara ' ' dan '
Kedua
ungkapan
tersebut
bersifat
tashawwur (makna
mufrad), tidak berupa nisbah (penetapan sesuatu atas yang lain).
Demikian
juga
pada
pertanyaan nomor 2, penanya menanyakan apakah engkau '
' atau ' . Kedua kata
84
tersebut bersifat tashawwuri (mufrad ) bukan nisbah. (2) Tashdîq Hamzah juga digunakan untuk
pertanyaan tashdîq,
yang yaitu
bersifat penisbatan
sesuatu atas yang lain. Contoh,
Kedua
kalimat
di
atas
merupakan jumlah istifhâmiyah . Adat yang digunakan untuk bertanya adalah hamzah. Hal yang ditanyakan oleh kalimat di atas adalah kaitan antara ' ' dan ' berkarat
'. Penisbatan sifat kepada
emas
merupakan hal ditanyakan oleh
85
mutakallim. Karena hal yang
dipertanyakan bersifat nisbah maka dinamakan tashdîq.
b) Man ( ) Kata ' ' termasuk ke dalam adat istifhâm yaitu untuk menanyakan tentang orang. Contoh,
Adat istifhậm pada jumlah istifhamiyah di atas adalah ‘ ’ yang bertujuan untuk menanyakan siapa yang membangun mesjid ini. Selain kedua adat istifhậm di atas masih
terdapat
beberapa
adat
lainnya yang mempunyai fungsi masing-masing. Adat-adat tersebut adalah sbb:
86
1)
yang digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal. Kata ini juga digunakan untuk meminta
penjelasan
tentang
sesuatu atau hakikat sesuatu. Contoh,
yang digunakan untuk
2)
meminta waktu,
penjelasan baik
waktu
tentang lampau
maupun sekarang. Contoh,
3)
, digunakan untuk meminta penjelasan mengenai waktu yang akan
datang.
Kata
ini
87
kebiasaannya digunakan untuk menantang. Contoh,
. 4)
, digunakan untuk
menanyakan keadaan sesuatu. Contoh,
5) , digunakan untuk menanyakan tempat. Contoh,
6) merupakan adat istifhâm yang digunakan untuk menanyakan penisbatan sesuatu pada yang lain (tashdîq) atau kebalikannya. Pada adat istifhâm ‘
’ tidak
menggunakan ‘ ’ dan mu’adilnya. Adat istifhâm ‘ ’ digunakan
88
apabila
penanya
(mutakallim)
tidak mengetahui nisbah antar musnad dan musnad ilaih-nya.
Adat ‘
’ tidak bisa masuk ke
dalam nafyu, mudhâri makna sekarang, syarath, dan tidak bisa pula pada huruf ‘athaf . Hal ini berbeda dengan hamzah yang bisa memasuki tempat-tempat tersebut; 7) ‘ merupakan adat istifhâm ’
yang maknanya ada tiga, yaitu: (a) maknanya sama dengan ‘ Contoh:
’
(b) bermakna ‘ ’ . Contoh: (c) maknanya sama dengan ‘ ’ .
89
Contoh: 8)
merupakan adat istifhâm yang
maknanya menanyakan jumlah yang masih samar. Contoh
juga untuk menanyakan dengan mengkhususkan salah satu dari dua hal yang berserikat. Contoh Kata
ini
digunakan
untuk
menanyakan hal yang berkaitan dengan waktu, tempat, keadaan, jumlah, baik untuk yang berakal maupun yang tidak. 4. Nidâ ( panggilan)
90
Secara leksikal nidâ artinya panggilan. Sedangkan dalam terminology ilmu balâghah nidâ adalah,
"
"
"
Nidâ adalah tuntutan mutakallim yang
menghendaki
seseorang
agar
menghadapnya. Nidâ menggunakan huruf
yang
menggantikan
lafazh
"unâdî " atau "ad'û" yang susunannya dipindah dari kalâm khabari menjadi kalâm insyâi.
a) Huruf-huruf nidâ Huruf nidâ ada delapan, yaitu, hamzah ( ), ay ( ), yâ ( ), â ( ), âi ( ), ayâ ( ), hayâ ( ), dan wâ ( ). b) Penggunaan huruf nidâ Ada dua cara menggunakan hurufhuruf nidâ, yaitu a) Hamzah dan ay
91
untuk munâda yang dekat; b) Selain hamzah dan ay ( ) semuanya digunakan untuk munâda yang jauh. Khusus untuk yâ ( ) digunakan untuk seluruh munâda (yang dipanggil), baik dekat maupun jauh. Kadang-kadang munâda yang jauh dianggap sebagai munâda yang dekat, lalu dipanggil dengan huruf nidâ hamzah dan ay. Hal ini merupakan isyârah atas dekatnya munâda dalam
hati orang yang memanggilnya. Contoh
# “Wahai penghuni Na'man al-Araak, yakinlah bahwa sesungguhnya kalian berada dalam hatiku.”
Demikian juga ada sebuah syi’ir dari seorang ayah yang menasehati anaknya melalui surah:
92
# Wahai husain, sesungguhnya aku memberi nasihat dan mendidikmu, maka pahamilah karena sesungguhnya orang yang berakal itu orang yang mau dididik” .
Pada syi’ir di atas tampak huruf nidânya adalah hamzah untuk memanggil munâda yang jauh, menyalahi fungsi
semula sebagai isyârah bahwa munâda senantiasa hadir dalam hati seakan-akan ia hadir secara fisik. Kadang-kadang pula munâda yang dekat dianggap sebagai munâda yang jauh, lalu dipanggil dengan huruf nidâ selain
hamzah dan ayy. Hal ini
sebagai isyârah atas ketinggian derajat munâda atau kerendahan martabatnya,
93
atau kelalaian dan kebekuan hatinya. Contoh syi’ir Abu Nuwas:
# Wahai Rabbku seandainya dosa-dosaku sangat besar maka sesungguhnya aku tahu bahwa pengampunan-Mu itu lebih besar
Pada syi’ir di atas munâda ditempatkan sebagai dzat yang sangat mulia dan disegani. Seakan-akan jauhnya derajat keagungan itu sama dengan jauhnya perjalanan. Maka sipembicara memilih huruf
yang
disediakan
untuk
memanggil munâda yang jauh untuk menunjukkan
ketinggian
atau
keagungannya. Sebaliknya
seorang
munâda yang
dianggap rendah martabatnya oleh
94
mukhâthab ia akan memanggilnya
dengan panggilan jauh. Contoh ini dapat dilihat pada syi’ir al-Farazdaq,
# Inilah nenek moyangku maka tunjukkanlah kepadakuk orang-orang seperti mereka ketika padasuatu saat kita bertemu dalam suatu pertemuan wahai Jarir. Menurut penilaian pembicara munâda
itu rendah kedudukannya. Perbedaan derajat munâda yang jauh di bawah pembicara
itu
seakan-akan
sama
dengan jarak yang jauh di antara tempat mereka. Huruf nidâ ‘
’ yang asalnya untuk
munâda jauh juga digunakan untuk
95
yang
dekat
untuk
mengingatkan
mereka yang lalai dan hatinya beku,
# Wahai orang yang menghimpun dunia tanpa batas untuk siapakah engkau menghimpun harta, sedangkan engkau bakal meninggal?
Makna-makna di atas merupakan makna nidâ yang asli. Akan tetapi dalam konteks-konteks
nidâ
mempunyai
makna-makna lain yang keluar dari fungsinya semula. Penyimpangan makna nidâ dari makna asalnya yaitu panggilan
kepada dikarenakan
makna-makna adanya
qarînah
lainnya yang
mengharuskannya demikian. 5. Tamannî
96
Kalimat
tamannî
(berangan-angan)
adalah kalimat yang berfungsi untuk menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang disukai, tetapi tidak mungkin untuk dapat meraihnya, seperti
(79 : )
(Ingin rasanya kami memiliki apa yang diberikan kepada Karun. Sesungguhnya dia benar-benar memperoleh keberuntungan yang besar ). Dalam terminologi ilmu balâghah tamannî adalah,
Menuntut sesuatu yang diinginkan, akan tetapi tidak mungkin terwujud.
97
Ketidakmungkinan terwujudnya sesuatu itu bisa terjadi karena mustahil terjadi atau juga sesuatu yang mungkin akan tetapi
tidak
maksimal
dalam
mencapainya. Syi’ir di bawah ini merupakan contoh tamannî yang
kalâm
mengharapkan
sesuatu yang mustahil terjadi,
#
Aduh, seandainya masa muda itu kembali sehari saja Aku akan mengabarkan kepada kalian Bagaimana yang terjadi ketika sudah tua
Pada
syi’ir di
atas
penyair
mengharapkan kembalinya masa muda walau hanya sehari. Hal ini tidak mungkin, sehingga dinamakan tamannî.
98
Tamannî juga ada pada ungkapan
yang mungkin terwujud (bisa terwujud) akan tetapi tidak bisa terwujud karena tidak berusaha secara maksimal. Dalam Alquran Allah berfirman,
Aduh, seandainya aku dikaruniai harta seperti Qarun.
RANGKUMAN 1. Kalâm insyâi adalah kalâm yang setelah ucapan itu dituturkan tidak bisa dinilai benar
atau
merupakan
dusta.
Kalâm
insyâi
kebalikan
dari
kalâm
khabari.
99
2. Kalâm
yang termasuk kategori insyâi
adalah kalâm amr , nahyu, istifhâm, nidâ, dan tamannî . TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan perbedaan antara kalâm khabari dan kalâm insyâi
2. Menjelaskan macam-macam kalâm insyâi
BAB VIII VARIASI MAKNA KALÂM INSYÂI
100
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan variasi makna amr, nahyu, istifhâm dan nidâ.
BAHASAN A. Variasi makna Amr Dari keempat shîgah makna amr pada dasarnya adalah perintah dari yang lebih atas kepada yang lebih rendah. Namun demikian ada beberapa makna Amr yang bukan perintah perintah, di
antaranya adalah do'a, iltimâs (menyuruh yang sebaya), tamannî (berangan-angan), tahdîd (ancaman), ta'jiz (melemahkan), taswiyah
(menyamakan),
takhyîr
(memilih), dan ibâhah (membolehkan). 1. Do'a, contoh seperti firman Allah swt:
101
: 27
)
( 19
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni’mat-Mu” 2. Iltimâs (menyuruh yang sebaya), seperti ucapan anda kepada sebayamu:
!
”Sudara, berilah aku kueh!”
3. Tamannî (berangan-angan), seperti ucapan Umru al-Qais dalam syi’irnya:
#
”Wahai malam panjang, berhentilah dengan subuh, tiada subuh yang lebih baik dari pada subuh ini ” 4. Tahdîd (ancaman), contoh seperti firman Allah swt:
102
( 40 : 41 ) “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” 5. Ta'jiz (melemahkan), contoh seperti firman Allah swt:
( 23 : 2
)
“ Buatlah satu surah saja yang semisal Alquran” 6.
Taswiyah
(menyamakan),
contoh
seperti firman Allah swt:
( 16 : 52 )
“ Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya); maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu”
103
7. Takhyîr (memilih), seperti ucapan anda kepada sebayamu:
” Nikahilah Hindun atau saudaranya” 8. Ibâhah (membolehkan), contoh seperti firman Allah swt:
187 : 2 ) “dan makan minumlah, hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar ” B. Variasi makna Nahyu Selain bermakna larangan, nahyu juga mempunyai makna-makna lain, di antaranya adalah do'a, iltimâs, tamannî, tahdîd, taiîs dan taubîkh.
1. Do'a, contoh seperti firman Allah swt:
104
)
( 286 : 2
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” 2. Iltimâs, seperti ucapan anda kepada sebayamu:
!
”Saudara, janganlah kau ucapkan bagaimana nanti!”
3. Tamannî , seperti ucapan penyair:
#
”Wahai malam, panjanglah; wahai kantuk, lenyaplah; wahai subuh, berhentilah, jangan terbit . 4. Tahdîd , seperti ucapan anda kepada pembantumu:
105
! ” Jangan ikuti perintahku !” 5. Taiîs, contoh seperti firman Allah swt:
9
)
( 66 :
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman” 6. Taubîkh, seperti ucapan penyair:
# “ Janganlah engkau melarang sesuatu perbuatan yang masih engkau kerjakan, malu benar jika engkau ketahuan sedang mengerjakannya” C. Variasi makna Istifhâm Penggunaan
alat-alat
istifhâm
kadang digunakan bukan untuk tujuan
106
bertanya, akan tetapi untuk maksud yang lainnya.
Maksud-maksud
penggunaan
adat istifhâm yang menyimpang dari
tujuan awalnya adalah sbb: 1. Amr (perintah) Penggunaan
adat
istifhâm
dalam
berbahasa
kadang-kadang
juga
digunakan untuk maksud amr . Contoh: Apakah kalian tidak mau berhenti? (alMâidah:91)
Kalimat tanya pada ayat di atas mestilah dimaknai perintah. Maksudnya adalah ‘ Berhentilah!’. 2. Nahyu (larangan) Penggunaan praktek
adat istifhâm dalam
berbahasa
kadang
juga
digunakan untuk tujuan nahyu. Contoh,
107
Apakah kalian takut terhadap mereka? Padahal Allah lebih berhak untuk ditakuti. (al-Taubah:13)
Ungkapan istifhâm pada ayat di atas maknanya
adalah
larangan
untuk
menakuti mereka (orang-orang kafir) 3. Taswiyah (menyamakan antara dua hal) Penggunakan adat istifhâm juga kadang untuk makna taswiyah. Contoh:
Sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan atau tidak. Mereka tidak akan beriman. (Q.S alBaqarah: 6)
Pada ayat di atas kalimat istifhâm bermakna
taswiyah
(menyamakan
antara diberi peringatan atau tidak) mereka tetap tidak beriman.
108
4. Nafyu (kalimat negasi) Kalimat negatif merupakan lawan dari kalimat positif, yaitu kalimat yang meniadakan hubungan antara subjek dan predikat, seperti berikut:
…
(7-6 : 87
)
“Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki …”
Selain dengan menggunakan huruf nafyi, makna manfy bisa juga terdapat
pada ungkapan istifhamiyah. Contoh firman Allah pada surah ar-Rahman 60,
Tidaklah balasan untuk kebaikan itu melainkan dengan kebaikan.
109
5. Inkâr (penolakan) Ungkapan istifhâmiyah juga kadang mempunyai
makna
inkar
atau
penolakan. Contoh,
Bukankah Allah yang kamu cari?
6. Tasywîq (mendorong) Ungkapan istifhamiyyah juga kadang mempunyai makna untuk mendorong mukhâthab agar melakukan pesan yang
disampaikan
mutakallim.
Contoh
firman Allah dalam Alquran,
Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adab yang pedih.
Ungkapan istifhâmiyah pada ayat di atas berfungsi sebagai dorongan kepada
110
mukhâthab agar
menyimak
pesan
berikut yang akan disampaikannya. 7. Penguatan Ungkapan istifhâmiyah kadang juga digunakan untuk penguatan suatu pertanyaan. pertanyaan. Contoh,
Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu, apakah hari kiamat itu?
Pertanyaan yang berulang-ulang pada ayat
di
atas
berfungsi
untuk
menguatkan. 8. Ta’zhîm (mengagungkan) (mengagungkan) Contoh ungkapan istifhâmiyah yang bermakna ta’zhîm adalah firman Allah,
9. Tahqîr (merendahkan) (merendahkan) Ungkapan istifhâmiyah bisa bermakna tahqîr (merendahkan). (merendahkan). Contoh,
111
Inikah orang yang yang kamu puja-puja itu?
10. Ta’ajjub (mengagumi) Ungkapan istifhâmiyah yang bermakna ta’ajjub dapat kita lihat pada contoh
berikut ini,
Tidaklah bagi rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?
11. Al-Wa’îd (ancaman) (ancaman) Ungkapan istifhâmiyah kadang juga bermakna ancaman seperti terlihat pada firman Allah berikut ini,
Tidakkah kamu melihat bagaimana perbuatan Tuhanmu terhadap pasukan bergajah?
112
12. Tamannî (harapan yang tak mungkin terkabul) Makna tamannî juga terdapat pada ungkapan
istifhâmiyah.
Contohnya
adalah firman Allah berikut ini,
Apakah kami mempunyai orang yang dapat memberi syafaat agar mereka memberi syafaat kepada kami?
D. Variasi makna Nidâ Variasi makna nidâ adalah sebagai berikut: 1. Anjuran, mengusung, mendorong atau menyenangkan, seperti perkataanmu pada orang yang bimbang dalam menghadapi musuh, " "
! Wahai pemberani Wahai pemberani majulah!
2. Teguran keras/mencegah, " seperti ucapan sya’ir ,
"
113
# Wahai hati, celaka kamu tidak mau mendengarkan orang yang menasehatimu ketika kau tersudut dan tidak dapat menghindari cobaan.
3. Penyesalan/ Keresahan dan kesakitan " " seperti firman Allah dalam Alquran, Wahai seandainya aku menjadi tanah (An-Naba’: 40)
Dalam sebuah syi’ir seseorang berkata,
# Wahai Kubur Ma’a, bagaiman kamu menutupi kemurahannya, padahal daratan dan lautan dapat berkumpul karenanya.
114
4. Mohon pertolongan" ungkapan berikut ini,
" seperti
Wahai Allah, tolonglah orang-orang yang beriman.
5. Ratapan/mengaduh " " seperti ungkapan pada syi’ir di bawah ini,
# Aduhai banyak sekali kagumnya, orang cacat mengaku utama dan aduhai banyak sekali susahnya, orang utama melahirkan cela”
6. Kasihan"
" seperti engkau berkata:
Wahai kasihan! 7. Merasa sayang, menyesal seperti engkau berkata:
"
"
Wahai yang kehilangan adab!
115
" 8. Keheranan atau kekaguman " seperti ungkapan syi’ir di bawah ini,
#
Aduhai kagumnya engkau, dari Qubburah dengan Ammar disela-selamu terdapat udara, maka memutih dan menguninglah
9. Bingung dan gelisah "
".
# Wahai rumah-rumah Salma, dimanakah Salmamu, oleh karena keadaan ini, kami menangisinya dan menangisimu
10. Mengingat-ingat " penyair :
" seperti ucapan
#
116
Wahai kedua rumah Salma, kesejahteraan bagi kalian apakah masa-masa yang berlalu, dapat juga kembali lagi?”
" 11. Mengkhususkan " Yaitu menuturkan isim zhahir setelah isim
dhamîr
dengan
tujuan
menjelaskannya, seperti firman Allah swt : Itu adalah rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait ! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji Lagi Maha Agung “ (Hud : 73)
Penggunaan huruf nidâ dengan makna ikhtishash mempunyai beberapa tujuan
sbb: (a) Tafâkhur (membanggakan diri).
117
Hai orang lelaki! saya memuliakan tamu.
(b)Tawâdlu (artinya merasa rendah hati). Contoh: Hai orang lelaki, saya adalah orang fakir yang miskin!
RANGKUMAN 1. Variasi makna amr adalah do'a, iltimâs, tamannî , tahdîd , ta'jiz, taswiyah, takhyîr ,
dan ibâhah. 2. Variasi makna nahyu adalah do'a, iltimâs, tamannî,
tahdîd,
taiis,
tahqîr ,
dan
istifhâm.
3. Variasi makna istifhâm adalah amr , nahyu, taswiyah,
nafyu,
inkâr ,
tasywîq,
penguatan, ta’zhîm, tahqîr , ta’ajjub, wa’îd dan tamannî
118
4. Variasi makna nidâ adalah anjuran, mengusung, mendorong, teguran keras, penyesalan,
keresahan
dan
kesakitan
mohon pertolongan, ratapan, kasihan, merasa sayang, menyesal , kekaguman, bingung dan mengkhususkan TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan dengan contoh variasi makna amr , nahyu, istifham dan nida
119
BAB IX FASHL
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan pengertian fashl dan tempat-tempatnya.
BAHASAN A. Pengertian Fashl Secara leksikal fashl bermakna memisahkan, memotong, memecat, dan menyapih. Sedangkan dalam terminologi ilmu
balâghah
fashl
adalah
menggabungkan dua buah kalimat dengan tidak menggunakan huruf ‘athaf . Dalam sebuah syi’ir dikatakan,
#
Fashl adalah tidak mengathafkan suatu kalimah dengan kalimat lainnya
120
Konsep ini kebalikan dari washl yang mengharuskan adanya ’athf
Untuk lebih jelasnya kita perhatikan contoh fashl yang ada pada surah alBaqarah ayat 6,
Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan atau tidak mereka tidak beriman. (Q.S al-Baqarah: 6)
Pada ayat di atas terdapat aspek fashl.
Dinamakan fashl karena
ada
penggabungan dua buah kalimat, yaitu kalimat
dengan
121
Pada
penggabungan
kedua
kalimat
tersebut tidak digunakan huruf 'athaf. B. Tempat-tempat Fashl Penggabungan dua jumlah mesti menggunakan
cara
fashl
apabila
memenuhi persyaratan berikut ini, a. Antara kalimat yang pertama dan kedua terdapat hubungan yang sempurna. Dikatakan hubungan yang sempurna apabila kaitan antara kalimat ( jumlah) yang pertama dengan kalimat yang kedua merupakan hubungan taukîd , bayân, atau badal. Contoh:
1) sebagai taukîd . Contoh:
# Tiadalah masa itu melainkan penutur kasidah-kasidah
122
Jika engkau membaca suatu syi’ir, masa akan berpantun
Pada syi’ir di atas ada dua kalimat, yaitu kalimat
dan
Dari segi makna, kalimat kedua berfungsi untuk memperkuat isi pada kalimat
pertama.
Karena
fungsi
tersebut pada awal kalimat kedua tidak perlu ditambahkan athaf ' '. 2) sebagai bayân (penjelas). Contoh:
#
Manusia itu baik kelompok badwi (orang gunung yang terbelakang)
123
maupun hadhar (orang kota yang terpelajar) Jika mereka menyadarinya, bahwa yang satu dengan lainnya saling melayani
Pada
syi’ir
di
penggabungan
atas dua
terdapat kalimat.
Penggabungan antar kedua kalimat tersebut tidak menggunakan huruf 'athaf , melainkan dengan cara washl.
Hal ini karena kalimat kedua
berfungsi sebagai penjelas bagi kalimat pertama
3) sebagai badal. Contoh:
(2: )
124
Dia mengatur segala urusan, menjelaskan ayat-ayat-Nya. Supaya kalian yakin akan pertemuan dengan-Nya.
Pada ayat di atas kalimat
merupakan bagian dari
Oleh karena itu penggabungan antar keduanya cukup dengan fashl, tidak menggunakan huruf 'athaf . b. Antara kalimat pertama dan kedua berbeda sama sekali, seperti yang pertama kalâm kedua kalâm
khabari dan yang insyâ'i atau tidak ada
keterkaitan makna antar keduanya. Contoh:
#
125
Manusia itu tergantung pada dua anggota yang sangat kecil Setiap manusia menjadi jaminan bagi apa yang ada padanya
Pada syi’ir di atas terdapat dua kalimat. Kalimat yang kedua tidak ada kaitan langsung dengan kalimat pertama. c. Kalimat kedua merupakan jawaban dari kalimat
pertama.
Dalam
istilah
balâghah keadaan ini dinamakan syibh kamâl al-ittishâl. Contoh:
(70: )
Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan dia merasa takut. Malaikat itu berkata, "Jangan kamu takut!...". Pada ayat di atas terdapat dua kalimat
dan
126
Kalimat kedua merupakan jawaban atau reaksi atas pernyataan pertama. Oleh
karena
itu
dalam
penggabungannya tidak memerlukan 'athaf .
RANGKUMAN 1. Fashl secara leksikal bermakna memotong, memisahkan, memecat, dan menyapih. Sedangkan
pengertiannya
secara
terminologis adalah tidak meng- athaf -kan suatu kalimat dengan kalimat lainnya . 2. Fashl digunakan pada tiga tempat, yaitu: a) jika antara kalimat pertama dan kedua terdapat
hubungan
yang
sempurna.
Dikatakan hubungan yang sempurna jika kalimat kedua berfungsi sebagai taukîd atau penjelas, atau badal bagi kalimat yang pertama; b) antara kalimat pertama
127
dan kedua bertolak belakang; c) kalimat kedua
sebagai
jawaban
bagi
yang
pertama. TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan pengertian fashl baik secara leksikal maupun terminologis 2. Menjelaskan tempat-tempat yang mesti digunakan fashl
128
BAB X WASHL
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan pengertian washl dan tempat-tempatnya.
BAHASAN A. Pengertian Washl Washl menurut bahasa artinya
menghimpun
atau
menggabungkan.
Sedangkan menurut istilah ilmu balâghah adalah,
Meng-'athaf -kan -kan
suatu
kalimat
dan
kalimat sebelumnya melalui huruf 'athaf . Washl merupakan kebalikan dari fashl.
Contoh,
129
B. Tempat-tempat Washl Penggabungan
dua kalimat mesti
menggunakan huruf 'athaf ' ' apabila memenuhi syarat-syarat sbb: a. Keadaan i’rab antar kedua kalimat tersebut sama hukumnya. Jika suatu kalimat digabungkan dengan kalimat sebelumnya dan kedua kalimat tersebut sama hukumnya, maka mesti menggunakan huruf 'athaf ' ' '. Contoh: b. Kedua jumlah itu harus diwashalkan ketika
dikhawatirkan
akan
terjadi
kekeliruan jawaban. Kita perhatikan contoh berikut ini. Ada seseorang bertanya kepada kita:
Kita
mau
menjawab
sekaligus
mendo'akannya. Maka jawaban kita
130
dan do'a mesti pakai fasilah yaitu ' ' agar tidak terjadi salah faham. Jadi jawabannya,
Jika kita tidak menggunakan huruf athaf ' ', maka kemungkinan salah
faham sangat besar. c. Kedua jumlah sama-sama khabar atau insyâi dan mempunyai keterkaitan yang sempurna.
Selain
itu
pula
dipersyaratkan tidak ada indikator yang mengharuskan washl. Contoh,
Contoh
yang
sama-sama jumlah
ismiyyah:
131
Contoh
yang
sama-sama jumlah
fi’liyyah:
RANGKUMAN 1.
Washl
secara leksikal bermakna
menghimpun
atau
menggabungkan.
Sedang secara terminologis adalah mengathaf -kan satu kalimat dengan kalimat
sebelumnya melalui huruf ‘athaf . 2. Washl digunakan pada tiga tempat, yaitu: a) Keadaan i’rab antar kedua kalimat sama; b) Adanya kekhawatiran timbulnya kesalahfahaman jika tidak memakai huruf ‘athaf ; c) kedua jumlah sama-sama khabari atau sama-sama insyâi dan
mempunyai keterkaitan yang sempurna.
132
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan pengertian washl baik secara leksikal maupun terminologis 2. Menjelaskan tempat-tempat yang mesti digunakan washl 3. Menjelaskan istilah-istilah: a. kamâl al- ittishâl b. kamâl al- inqithâ’ c. syibhu kamâl al- ittishâl
133
BAB XI QASHR
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian qashr dan jenis-jenisnya.
BAHASAN A. Pengertian Qashr Secara leksikal kata
bermakna
, menurut bahasa berarti penjara. Di dalam Alquran ada ungkapan . Selain itu juga kata tersebut sama dengan yang berarti pengistimewaan, seperti dalam ungkapan Adapun qashr menurut istilah ulama balâghah adalah:
134
(mengistimewakan sesuatu atas yang lain dengan
jalan
tertentu),
seperti
mengistimewakan mubtada atas khabar nya dengan jalan nafyi dalam firman Allah
(kehidupan
dunia
kesenangan
tipuan)
itu
semata-mata
dan
seperti
mengistimewakan khabar atas mubtada, seperti ungkapan
(Penyair itu hanyalah Mutanabbi ). Ada juga definisi lain tentang qashr , sebagai berikut:
-
135
Setiap
ungkapan
qashr mesti
memiliki empat unsur, yaitu: 1) maqshûr baik berbentuk sifat maupun maushûf ;
2) maqshûr 'alaîh baik berbentuk sifat maupun maushûf ; 3) maqshûr 'anhu, yaitu sesuatu yang berada di luar yang dikecualikan; 4) adat qashr. Contoh,
Kalimat di atas termasuk kalimat qashr karena sudah memenuhi empat unsur, yaitu: maqshûr pada kata ( ), maqshûr 'alaih pada kata ( ), maqshûr anhu yaitu segala sifat selain kesungguhan, dan adat qashr yaitu ( dan ).
B. Jenis-jenis Qashr Qashr sebagai salah satu bentuk
ungkapan mempunyai beberapa jenis.
136
Keragaman jenis qashr tersebut bisa dilihat dari berbagai segi: 1) Dilihat dari aspek hubungan antara pernyataan
dengan
realitas
qashr
terbagi kepada dua jenis, yaitu qashr haqîqî dan idhafi.
a) Qashr haqîqî Suatu ungkapan qashr dinamakan qashr haqîqî adalah apabila makna
dan esensi dari pernyataan tersebut betul-betul menggambarkan sesuatu yang sebenarnya. Pernyataan tersebut bersifat universal, tidak bersifat kontekstual, dan diperkirakan tidak ada pernyataan yang membantah atau pengecualian lagi setelah ungkapan tersebut. Contoh,
137
Kalimat di atas merupakan qashr haqîqî , karena dalam realitas yang
sebenarnya tidak ada tuhan kecuali Allah. b) Qashr idhâfi Qashr idhâfi adalah ungkapan qashr
yang bersifat nisbi. Pengkhususan maqshûr 'alaih pada ungkapan qashr
ini hanya terbatas pada maqshûr -nya, tidak pada selainnya. Contoh,
2) Dilihat dari aspek dua unsur utamanya yaitu maqshûr dan maqshûr 'alaih, qashr ada dua jenis, yaitu qashr sifat 'ala maushûf dan qashr maushûf 'ala sifah. Istilah sifat pada konteks ini
adalah sifat ma’nawiyyah; bukan isim sifat yang dikenal dalam konteks nahwu.
138
a) Qashr sifah 'alâ maushûf Pada
jenis
qashr
ini
sifat
dikhususkan hanya untuk maushûf . Contoh,
Pada kalimat di atas terdapat sifat yaitu (pemimpin), sedangkan maushuf -nya adalah Umar. Pada qashr ini sifat kepemimpinan ( sifat )
dikhususkan
untuk
Umar
(maushûf ). b) Qashr maushûf 'ala sifah Pada jenis kedua ini maushûf hanya dikhususkan untuk sifat. Contoh,
Pada kalimat di atas maushûf -nya yaitu
perbuatan
Iblis
kepada
139
manusia hanyalah membisikkan dan menyesatkan. RANGKUMAN 1.
Qashr
secara
terminologis
adalah
mengkhususkan sesuatu atas yang lain dengan cara tertentu. 2. Dalam suatu qashr terdapat empat unsur yaitu: a) maqshûr ‘alaih; b) maqshûr ; c) maqshûr anhu; dan d) adat qashr .
3. Jenis-jenis qashr adalah: a) haqîqî, idhâfi, sifat ‘ala maushûf , dan maushûf ‘ala shifat .
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan makna qashr baik secara leksikal maupun secara istilah! 2. Membuat susunan kalimat qashr 3. Membedakan qashr haqîqî dengan qashr idhâfi
140
BAB XII TEKNIK PENYUSUNAN UNGKAPAN QASHR
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa
dapat
menjelaskan
teknik
penyusunan ungkapan qashr . BAHASAN Untuk mengungkapkan suatu ide dengan ungkapan qashr ada tiga teknik: A. Menggunakan kata pengkhusus Teknik pertama adalah menggunakan kata-kata
yang
secara
langsung
menggambarkan pengkhususan. Katakata yang mengandung makna ini seperti
'
'. Contoh,
141
B. Menggunakan dalil di luar teks Menggunakan dalil di luar teks adalah seperti
pertimbangan
akal,
perasaan
indrawi, pengalaman, atau berdasarkan prediksi yang didukung oleh indikatorindikator tertentu. Contoh,
C. Menggunakan adat qashr Teknik ketiga dalam menyusun ungkapan qashr adalah melalui adat qashr (katakata untuk meng-qashar ). Ada empat cara
yang
biasa
digunakan
untuk
menyusun ungkapan qashar melalui adat qashr , yaitu:
a)
(negasi dan pengecualian)
142
Teknik meng-qashar yang pertama adalah
menggunakan
huruf
nafi
kemudian diikuti oleh istitsna. Contoh,
Pada contoh ini maqshûr 'alaih-nya terdapat setelah kata '
', yaitu .
b) (hanya saja) Teknik meng-qashar kedua adalah dengan menggunakan adat ' '. Kata ini ditempatkan pada awal kalimat dan setelah itu maqshûr -nya. Contoh,
Pada contoh ini maqshûr 'alaih-nya adalah kata yang mesti disebut terakhir yaitu kata
.
143
c) ‘Athaf dengan huruf '
Penggunaan kata
'
'
dalam ungkapan
'
qashr bermakna mengeluarkan ma'thûf
dari hukum yang berlaku untuk ma'thûf 'alaih. Posisi maqshûr dan maqshûr alaih-nya sebelum huruf ataf ' '.
Penggunaan
'
'
untuk mengqashar
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: (a) ma'thûf -nya bersifat mufrad , bukan jumlah; (b) hendaklah didahului oleh ungkapan îjâb, Amr , atau nidâ; (c) ungkapan
sebelumnya
tidak
membenarkan ungkapan sesudahnya. Contoh,
Kata '
' dalam ungkapan qashr
bermakna idhrâb (mencabut hukum
144
dari yang pertama dan menetapkan kepada yang kedua). Posisi maqshûr 'alaih-nya terletak setelah kata ''
'.
Contoh,
' bisa menjadi adat qashr
Kata '
dengan syarat sbb: (a) hendaklah ma'thûf -nya bersifat mufrad, bukan
jumlah; (b) hendaklah didahului oleh ungkapan îjâb, Amr , atau nidâ. Kata ' ' menjadi adat qashr berfungsi sebagai
istidrâk .
fungsinya dengan
'
Kata
ini
sama
'. Contoh,
145
RANGKUMAN Teknik penyusunan kalimat qashr ada tiga, yaitu
menggunakan
mengandung
makna
kata-kata
yang
meringkas,
menggunakan dalil di luar teks, dan menggunakan adat qashr . TUGAS TERSTRUKTUR Menguraikan jenis qashr dari aspek haqîqîidhâfi, shifah ‘alâ maushûf, atau maushûf ‘alâ shifah.
-1 -2 -3 -4 -5 -6 146
BAB XIII ÎJÂZ
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian îjâz, macam-macamnya dan tujuannya.
BAHASAN A. Pengertian Îjâz Lapal merupakan cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa. Bunyi-bunyi tersebut mempunyai simbol-simbol,
baik
yang
berbentuk
linguistik maupun non linguistik yang secara
arbitrer
dan
konvensional
dihubungkan dengan suatu maksud.
147
Kuantitas lapal yang menggambarkan suatu
makna
dalam
bahasa
Arab
bervariasi. Ada yang lapalnya sedikit, akan tetapi maknanya melebihi jumlah lapalnya. Sebaliknya juga ada yang lapalnya banyak dan diulang-ulang, akan tetapi maknanya lebih sedikit dari lapal yang diucapkannya. Dan ada juga penggunaan lapal-lapal dalam suatu kalimat sebanding dengan makna yang dikandungnya. Dalam ilmu balâghah dikenal istilah îjâz, ithnâb dan musâwah. Îjâz merupakan salah satu bentuk
pengungkapan.
Secara
leksikal
îjâz
bermakna meringkas. Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghah îjâz adalah,
148
Îjâz adalah mengumpulkan makna yang banyak dengan menggunakan lafazh yang sedikit, akan tetapi tetap jelas dan sesuai dengan maksud pengungkapannya.
Maksud definisi di atas, îjâz bermakna menghadirkan makna dengan lafazh yang lebih sedikit dari pada yang
dikenal
oleh
pemahamannya
orang-orang pada
tingkat
yang sedang.
Walaupun lafazh-nya lebih sedikit dari maknanya, akan tetapi pesan yang akan disampaikan
oleh
mutakallim dapat
terpenuhi. Suatu ungkapan yang singkat, dan tidak memerlukan banyak kata-kata tidak dikatakan îjâz jika pesan yang disampaikannya
belum
terpenuhi.
Efesiensi kata-kata dilakukan dengan tetap memenuhi makna sebagai tujuan utama dari suatu tindak tutur. Contoh îjâz:
149
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh." ( Al-A'raf : 199 )
Ayat di atas cukup pendek dan kata-katanya
sedikit,
akan
tetapi
mengandung makna yang luas serta menghimpun akhlak-akhlak mulia secara keseluruhan. Dalam contoh lainnya Allah berfirman,
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah
Nabi saw, bersabda:
Sesungguhnya nilai suatu amal itu itu tergantung pada niatnya
150
Tidak setiap perkataan yang singkat itu dinamakan îjâz. Suatu perkataan yang lafazhnya lebih sedikit dari makna yang dikandungnya, akan tetapi tidak dapat menampung
makna
yang
dimaksud
dinamakan ikhlâl (cacat). Ikhlâl adalah membuang satu atau beberapa kata pada suatu kalimat, akan tetapi makna yang terkandung pada kalimat tersebut tidak sempurna.
Sehingga
tidak
tertutup
kemungkinan timbulnya kesalah pahaman . Contoh ucapan al-Yaskuri berikut ini ,
#
Kehidupan lebih baik di bawah bayângan kebodohan daripada orang yang hidup dalam keadaan kesulitan."
Maksud yang dikehendaki penyair adalah bahwa nikmatnya kehidupan dalam keadaan bodoh, adalah lebih baik dari
151
pada
mempunyai
pengetahuan
yang
cukup, akan tetapi hidup dalam kesulitan. Akan tetapi perkataan penyair tidak dapat memberikan makna yang memadai untuk menjelaskan maksud tersebut. Oleh karena itu perkataan tersebut tidak bisa dinilai îjâz.
B. Pembagian Îjâz Menurut Imam al-Akhdhari Îjâz terbagi dua, yaitu îjâz hadzf
dan Îjâz
qashr . Dalam kitab Jauhar Maknun Imam
Akhdhari mengatakan,
# # Dan dengan ucapan yang lebih singkat dari ukurannya, itulah îjâz namanya
152
Îjâz terbagi kepada îjâz qasar (singkat) dan îjâz hadzf (yang dibuang sebagian), Jauhilah tempat kefasikan! Janganlah kamu menemani orang fasik, tentu rusaklah kamu."
a Îjâz qashr
(Efisiensi dengan cara
meringkas) Îjâz qashr adalah kalimat îjâz dengan
cara meringkas. Dalam istilah ilmu ma’âni îjâz qashr adalah,
Bentuk susunan kalimat yang maknamaknanya melebihi lafaznya
Kata-kata yang diungkapkan cukup banyak
akan
tetapi
lafazh yang
digunakan sesedikit mungkin. Contohcontoh îjâz qashr adalah sbb: 1) firman Allah dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 164,
153
"Dan bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia"
Ayat
di
atas
telah
mencakup
berbagai macam perdagangan, dan macam-macam kemanfaatan yang tidak dapat dihitung. 2) Firman Allah lainnya:
Bagi kamu sekalian pada qisas itu jadi kehidupan, wahai orang-orang yang berakal.
Dengan qisas itu akan berkembang kehidupan. Qisas itu menghukum seseorang
setimpal
dengan
kejahatannya. Membunuh dengan membunuh lagi, melukai dengan melukai lagi. Kalau ditinjau sekilas,
154
qisas akan
orang.
mengurangi banyak
Akan
tetapi
hikmahnya
adalah bila orang-orang mengetahui bahwa setiap orang yang membunuh akan dibunuh lagi mereka tentu pada takut membunuh orang lain, sebab takut
di-qisas.
Akhirnya
menimbulkan kehidupan yan aman, tentram, dan tenang, tidak terjadi kejahatan
dengan
pembunuhan,
penculikan dan sebagainya. 3) Sabda Nabi saw.
Perut besar itu rumah penyakit, sedang menahan makan adalah pokok segala obat, dan biasakanlah setiap tubuh dengan apa yang dibiasakan."
155
Hadits di atas mengandung banyak pelajaran terutama tentang kesehatan dan pengobatan. Perut merupakan sumber
berbagai
penyakit.
Sedangkan saum menjadi penawar berbagai penyakit. 4) Îjâz qashr juga terdapat pada syi’ir karya Samu'al berikut ini,
# Dan bila ia tak kuat menahan kezaliman atas dirinya, maka sungguh tiada jalan, untuk menuju baiknya sanjungan." Syi’ir di atas memberikan dorongan
agar kita selalu berbuat dengan akhlak-akhlak terpuji, seperti suka menolong, berani, rendah hati, sopan santun, kesabaran untuk menahan
156
diri dari hal yang tidak disukai. Halhal tersebut merupakan perbuatan yang
memberatkan
diri
dalam
menanggungnya, yaitu kepayahan dan kesulitan untuk mencapainya. Keindahan
dan
kebaikan
syi’ir
tersebut ialah segi penunjukkan lafaz yang hanya sedikit terhadap makna yang cukup banyak yang juga menunjukkan kepetahan lidah. Berkaitan dengan gaya bahasa îjâz ini Muhammad al-Amin berkata: Tetaplah kalian menggunakan susunan dalam bentuk îjâz. Sebab susunan itu mempunyai arah memahamkan, sedangkan susunan yang panjang justru menimbulkan kesamaran."
157
b. Îjâz hadzf
(Efisiensi dengan cara
membuang) Îjâz hadzf
adalah îjâz dengan cara
membuang bagian dari pernyataan dengan tetap tidak mengurangi makna yang dimaksudkannya. Selain itu pula terdapat
qarînah (indikator) yang
menunjukkan perkataan yang dibuang. Ungkapan yang dibuang dalam kalimat îjâz bisa bermacam-macam antara lain:
1). huruf , seperti firman Allah swt dalam surah Maryam 20
Dan aku bukan (pula) seorang pezina
Pada ungkapan ayat di atas tepatnya pada ‘ ’ ada huruf yang dibuang yaitu huruf ‘ ’. Asalnya adalah
158
Demikian juga pembuangan huruf terjadi pada sebuah syi’ir karya Ashim Al-Munfiri. dan seperti membuang
dalam
ucapan
penyair,:
# # Aku melihat arak itu beku, yang didalamnya terdapat madharat dapat menimbulkan kerusakan pada orang yang santun Maka demi Allah, sepanjang hidupku aku tak meminumnya Karena menyesal telah meminumnya, aku tidak memberi minum dengannya selamalamanya
159
Pada
syi’ir
di
atas
penyair
bermaksud mengucapkan ‘
’.
Kemudian huruf nafyi ‘ ’ dibuang. Pada
ungkapan
îjâz
hadzf
disyaratkan hendaknya terdapat dalil yang menunjukkan adanya lapal yang dibuang. Sebab jika tidak demikian, tersebut
maka
pembuangan
mengakibatkan
kalimat
menjadi tidak sempurna dan tidak memenuhi kalimat yang sempurna. 2) Kata Isim yang berfungsi sebagai mudhâf , seperti firman Allah dalam
surah al-Hajj ayat 78,
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya.
160
Pada ayat di atas terdapat kata yang dibuang yaitu kata ‘
’ yang
terdapat pada ungkapan
.
Kata yang dibuang pada ayat tersebut berfungsi sebagai mudhaf. 3) Kata isim yang berfungsi sebagai mudhâf ilaih, seperti firman Allah
dalam surah al-A’raf ayat 142,
“ Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)”. Pada ayat di atas terdapat kata yang dibuang yaitu pada ungkapan
Pada ungkapan tersebut kata yang dibuang adalah ‘ ’.
161
Kata tersebut berfungsi sebagai mudhâf ilaih. 4) Kata isim yang berfungsi sebagai mausuf , seperti terdapat pada firman
Allah swt surah Maryam 60,
Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal dengan amal yang salih.
Kata yang dibuang terdapat pada ungkapan ‘ ’. Kata yang
’ sehingga lengkapnya adalah . Kata ‘ ’ pada ungkapan di atas dibuangnya adalah ‘
berfungsi sebagai maushûf . 5) Kata isim yang berfungsi sebagai sifat , seperti firman Allah swt dalam
surah al-Taubah ayat 125,
162
Maka dengan surah itu bertambah kekafiran
mereka
di
samping
kekafirannya (yang telah ada). Kata yang dibuang pada ayat di atas adalah ‘ ’., sehingga lengkapnya
. adalah 6) Adat syarat, seperti firman Allah swt dalam surah Âli Imran ayat 31,
Ikutilah Aku, (bila kamu mengikuti Aku), niscaya Allah mengasihinimu."
Pada ayat di atas kata yang dibuang adalah ‘ ’, sehingga lengkapnya adalah : . 7) Frase jawab syarath, sepeti firman Allah swt dalam surah al-A’raf ayat 27,
163
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan).
Pada ayat di atas ungkapan yang dibuangnya adalah ungkapan ‘
‘ yang berfungsi sebagai jawab syarat. 8) Kata sebagai musnad, seperti firman Allah swt:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : "siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?" Tentu mereka akan menjawab : (yang menciptakannya) Allah.
164
Pada ayat di atas lapal yang dibuang adalah ‘ ‘
‘. Ungkapan
’ merupakan musnad dan
musnad ilaih-nya adalah ‘ ’.
9) Berupa musnad ilaih, seperti dalam ucapan Hatim :
# Hai keturunan Umayyah, kekayaan itu tidak berguna bagi seorang pemuda apabila jiwanya naik turun (sekarat)dan dada sesak pada suatu hari.
Pada syi’ir di atas terdapat kata yang dibuang yaitu kata ‘ ’ pada ungkapan . Ungkapan yang lengkapnya adalah
.
165
10) Berupa lafazh yang bersandar
( )sepeti firman Allah swt dalam surah al-Anbiya ayat 23,
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai (tentang apa yang mereka perbuat). Lafazh yang dibuang pada ayat di
atas adalah . 11) Lafazh yang dibuang berupa jumlah, seperti firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 213,
Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi.
166
Lafazh yang dibuang diperkirakan
‘
‘
12) Lafazh yang
dibuang
berupa
beberapa jumlah, seperti firman
Allah swt dalam surah Yusuf ayat 45,
Maka utuslah aku (kepadanya). (setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf, dia berseru) : Yusuf, hai orang yang amat dipercaya.
Pada ayat di atas terdapat beberapa jumlah yang dibuang yaitu,
167
C. Tujuan kalâm îjâz Kalâm îjâz merupakan bentuk
kalimat efisien. Untuk mengungkapkan suatu makna cukup hanya dengan kalimat yang terbatas. Îjâz sebagai bentuk kalimat merupakan ungkapan yang baik dan tepat untuk konteks tertentu. Dalam praktek berbahasa, kalâm îjâz mempunyai tujuan-tujuan sbb:
a) Untuk meringkas (
) ;
b) Untuk memudahkan hapalan
)
( c) Mendekatkan pada pemahaman
(
)
;
d) Sempitnya konteks kalimat ( ) ; e) Menyamarkan suatu hal terhadap selain pendengar ;
168
f) Menghilangkan perasaan jenuh
(
bosan dan
) ;
g) Memperoleh makna yang banyak dengan lafaz yang hanya sedikit. Suatu ungkapan akan dinilai baik jika memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti benar secara struktural, tepat dalam pemilihan diksi, dan ungkapan tersebut diucapkan pada konteks yang tepat. Kalâm îjâz dianggap bagus pada
tempat-tempat sbb: a) dalam keadaan mohon belas kasih ( ); b) mengadukan keadaan ( c) permohonan ampun d) bela sungkawa ( e) mencerca sesuatu (
);
(
);
); );
169
f) mencela (
);
g) janji dan ancaman ( ); h) surah-surah penarikan pajak; i) surah-surah para raja kepada para penguasa diwaktu perang; j) perintah-perintah dan larangan-larangan kerajaan; k) mensyukuri nikmat (
).
RANGKUMAN 1. Îjâz adalah mengumpulkan makna yang banyak dengan menggunakan lafazh yang sedikit, akan tetapi tetap jelas dan sesuai dengan maksud pengungkapannya. 2. Îjâz hadzf
adalah îjâz dengan cara
membuang bagian dari pernyataan dengan tetap tidak mengurangi makna yang dimaksudkannya. Selain itu pula terdapat
170
qarînah (indikator) yang menunjukkan
perkataan yang dibuang. 3. Îjâz qashr adalah kalimat îjâz dengan cara meringkas. Kata-kata yang diungkapkan cukup banyak akan tetapi lafazh yang digunakan sesedikit mungkin. TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan pengertian îjâz secara leksikal dan terminologis 2. Membedakan îjâz hadzf dengan îjâz qashr dengan menggunakan contoh.
171
BAB XIV ITHNÂB
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian ithnâb,
bentuk-bentuknya
dan
tujuan-
tujuannya. BAHASAN A. Pengertian Ithnâb
Ithnâb adalah menambah lafaz atas maknanya. Penambahan tersebut mempunyai fungsi dan makna. Dalam pengertian lain mendatangkan makna dengan perkataan yang melebihi apa yang telah dikenal oleh orang banyak yang berfungsi untuk menguatkan dan mengukuhkannya."
172
Dari penjelasan definisi tersebut jelas bahwa penambahan lafazh pada ithnâb signifikan dengan maknanya. Jika
penambahan itu tidak ada signifikansinya dan tidak tertentu dinamakan tathwîl. Sedangkan jika tambahannya tertentu disebut hasywu. Contoh tathwîl pada ucapan Addi Al-Ubbadi tentang Juzaimah Al-Abrasy :
#
Si Zaba' telah memotong kulit hingga mencapai dua urat hastanya Si Jujaimah menunjukkan ucapannya Dusta dan dusta belaka
Pada syi’ir di atas terdapat kata dan
. Kedua kata tersebut artinya
sama yaitu dusta. Dari kedua kata tersebut
173
tidak jelas mana yang tambahan dan mana yang asli. Sebab, meng-‘athaf -kan dengan "wawu" tidak memberikan faidah arti tertib, tidak mengiringi, dan juga tidak bersamaan. B. Bentuk-bentuk Ithnâb mempunyai
Ithnâb
beberapa
bentuk antara lain: a. Menyebutkan yang khusus setelah yang umum. Contoh,
Para malaikat turun dan Ruhul Qudus. (al-Qadar:4)
Pada ayat di atas Allah menyebutkan kata ‘ kata ‘
’ setelah ‘
’. Padahal
’ merupakan bagian dari
174
‘
’. Penyebutan Ruhul qudus
(Jibril) setelah malaikat merupakan penghormatan Allah kepadanya. Hal ini seakan-akan Jibril berasal dari jenis lain. Faedah penambahan kata tersebut untuk menghormati sesuatu yang khas. b. Menyebutkan yang umum setelah yang khusus. Contoh,
Ya Tuhanku! Ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan setiap orang mukmin yang masuk ke dalam rumahku.
Pada ayat di atas terdapat ithnâb, karena ada penyebutan sesuatu yang umum setelah yang khusus. Penyebutan yang umum setelah yang khusus memberi makna bahwa kata-kata yang khusus itu tercakup oleh yang umum
175
dengan memberikan perhatian pada sesuatu yang khusus dengan disebut dua kali. c. Menjelaskan sesuatu yang umum. Contoh,
:
Syaitan membisikkan kepadanya. Dia berkata: “Adam, maukan aku tunjukkan pada buah abadî’ (Thaha:120)
Pada ayat di atas Allah menjelaskan bahwa syetan membisikkan kepada Adam. Setelah itu dijelaskan isi dari bisikan tersebut. d. Pengulangan. Contoh,
...
Pada ayat di atas terdapat uslûb ithnâb yaitu pada pengulangan ungkapan
176
e. Memasukan Memasukan sisipan (
).
Contoh:
# – – Apakah anak-anak Sa’ad tidak beranggapan bahwa saya – sebenarnya mereka bohong – adalah orang yang sudah tua dan akan musnah? I’tiradh artinya memasukkan satu kalimat
atau lebih ke dalam suatu kalimat atau ke antara dua kata yang berhubungan. Kalimat yang menjadi sisipan tersebut tidak mempunyai tempat dalam i’rab. Penggunaan sisipan pada suatu kalimat untuk meningkatkan kebalâghahan suatu ungkapan.
Selain
itu
pula
i’tiradh
bertujuan untuk tanzîh (membersihkan)
177
contoh:
– –
,
makna do’a contoh: - – . Ithnâb adalah salah satu bentuk uslûb yang merupakan kebalikan dari îjâz.
C. Tujuan-tujuan Tujuan-tujuan ithnâb Uslûb ithnâb digunakan untuk
tujuan-tujuan sbb: a) menetapkan makna; b) menjelaskan maksud yang diharapkan; c) mengukuhkan; d) menghilangkan kesamaran; e) membangkitkan semangat. Uslûb ithnâb sangat penting dalam
konteks komunikasi. Di antara manfaat uslûb ini adalah sbb:
a. menjelaskan makna yang samar, seperti
...
.
178
b.
mengakhiri
pembicaraan
dengan
ucapan yang berfaidah, meskipun kalâm
itu cukup tanpa ucapan
tersebut, seperti :
.
Ikutilah para Rasul. Ikutilah kepada orang-orang yang tidak meminta upah kepada kamu sekalian dan mereka itu mendapat petunjuk .
Sudah dimaklumi bahwa para rasul Allah itu mendapat hidayah. Dengan penjelasan bahwa mereka mendapat hidayah dapat mendorong kepada pendengar untuk mengikuti mereka. Ungkapan ithnâb pada ayat di atas ialah . c. Mengikutkan suatu kalimah kepada kalimah lainnya padahal kalimah yang
179
mengikutinya itu mencakup kepada makna yang terkandung dalam kalimah yang diikutinya. Contoh,
Pada ayat di atas terdapat uslûb ithnâb, yaitu ungkapan
RANGKUMAN 1. Ithnâb secara leksikal bermakna melebihlebihkan. Sedangkan secara terminologis adalah menambah lafazh atas maknanya. Definisi lain menyebutkan ithnâb adalah mendatangkan makna dengan perkataan yang melebihi apa yang telah dikenal oleh orang banyak. 2. Ithnâb mempunyai lima bentuk, yaitu: a. menyebutkan yang khusus setelah yang umum
180
b. menyebutkan yang umum setelah yang khusus c. menjelaskan sesuatu yang umum d. pengulangan kata atau kalimat e. memasukkan sisipan 3. Tujuan-tujuan ithnâb adalah: a) menetapkan makna; b) menjelaskan maksud yang diharapkan; c) mengukuhkan; d) menghilangkan kesamaran; e) membangkitkan semangat. TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan definisi ithnâb menurut para ahli balâghah! 2. Menunjukkan susunan kalimat ithnâb
181
BAB XV MUSÂWAH
TUJUAN Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pengertian musâwah dan perbedaannya dengan îjâz dan ithnâb.
BAHASAN A. Pengertian musâwah Secara leksikal musâwah artinya sama atau
sebanding.
terminologi
ilmu
Sedangkan balâghah
dalam musâwah
adalah
Musawah ialah pengungkapan suatu makna melalui ungkapan kata-kata yang sepadan, yaitu tidak menambahkannya atau menguranginya".
182
B. Perbedaan musâwah dengan îjâz dan ithnâb
Pada ungkapan îjâz lafazh-lafazh yang diucapkan lebih sedikit dari pada makna yang dikandungnya. Sedangkan pada ungkapan ithnâb kebalikannya, maka musâwah berada di antara keduanya, yaitu
lafazh-lafazh yang diungkapkan sebanding dengan
makna
yang
dikandungnya.
Contoh firman Allah swt :
Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik."
Lafazh-lafazh pada ayat tersebut sebanding dengan makna yang dikandungnya, tidak kurang dan tidak lebih.
183
Ucapan Tharafah Ibn al-Abdi :
#
Hari-hari akan melahirkan kepadamu, apa-apa yang tak kau ketahui, dan akan membawa kabar kepadamu, tentang orang yang tidak engkau bekali."
Allah swt berfirman dalam surah Fâthir ayat 43,
Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali atas orang yang merencanakannya.
184
RANGKUMAN 1. Musâwah secara leksikal bermakna sama atau
sebanding.
Sedangkan
secara
terminologis adalah pengungkapan suatu makna melalui lafazh yang sepadan, tidak menambahkannya atau menguranginya.
TUGAS TERSTRUKTUR 1. Menjelaskan kategori kalimat menurut kaca mata îjâz, ithnâb atau musâwah.
-1 -2 -3 -4 -5
185