PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS RUMAH SAKIT Oleh: AHMAD JAIS
1. Pendahuluan Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya di kota-kota besar semakin meningkat pendirian rumah sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen limbah rumah sakit tidak memenuhi syarat. Limbah rumah sakit dapat mencemari lingkungan penduduk di sekitar rumah sakit dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid, kholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum dibuang ke lingkungan (BAPEDAL, 1999). SAMPAH dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair. Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut : Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif. Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut: Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi. Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik.Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat- obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obatobat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat- obatan. Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset. Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida.
(Arifin. M, 2008 ; (online).
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari kantor / administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi. Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, pH, mikrobiologik, dan lain-lain. (Arifin. M, 2008 ; (online). Pelayanan kesehatan dikembangkan dengan terus mendorong peranserta aktif masyarakat termasuk dunia usaha. Usaha perbaikan kesehatan masyarakat terus dikembangkan antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya pencemaran dari manapun juga perlu diberikan perhatian khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, pengelolaan limbah rumah sakit yang merupakan bagian dari penyehatan lingkungan dirumah sakit juga mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit infeksi nosoknominal dilingkungan rumah sakit, perlu diupayakan bersama oleh unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit. Unsur-unsur tersebut meliputi antara lain sebagai berikut : -
Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit
-
Penanggung jasa pelayanan rumah sakit
-
Para ahli pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran
Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana fasilitas yang diperlukan. (Depkes RI, 2002) Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakankebijakan yng mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan dilingkungan rumah sakit.
Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk pembangunan insilasi pengelolaan limbah rumah sakit melalui anggaran pembangunan maupun dari sumber bantuan dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagai rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limabah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan permasyarakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit. (Depkes RI, 1992).
1. A.
Permasalahan
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi sampah ( Limbah Padat ) berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah ( Limbah Padat ) Rumah Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah Sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit. Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa diantaranya membahayakan kesehatan dilingkungannya. Di negara maju, jumlahnya diperkirakan 0,50,6 kg per tempat tidur rumah sakit perhari. Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah kedalam kategori untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminasi antrauma (Injuri) (KLMNH, 1995). Limbah Rumah Sakit mengandung bahan beracun berbahaya Rumah Sakit tidak hanya menghasilkan limbah organik dan anorganik, tetapi juga limbah infeksius yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Dari keseluruhan limbah rumah sakit, sekitar 10 sampai 15 persen diantaranya merupakan limbah infeksius yang mengandung logam berat, antara lain mercuri (Hg). Sebanyak 40 persen lainnya adalah limbah organik yang berasal dari makanan dan sisa makan, baik dari pasien dan keluarga pasien maupun dapur gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah anorganik dalam bentuk botol bekas infus dan plastik. Temuan ini merupakan hasil penelitian Bapedalda Jabar bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI, serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama tahun 1998 sampai tahun 1999. Keterbatasan dan mengakibatkan sampel yang diambil hanya dari dua rumah sakit di Jawa Barat, satu di rumah sakit pemerintah dan satunya lagi di rumah sakit
swasta. Secara terpisah, mantan Ketua Wahana Lingkungan (Walhi) Jabar Ikhwan Fauzi mengatakan, volume limbah infeksius dibeberapa rumah sakit bahkan melebihi jumlah yang ditemukan Bapedalda. Limbah infeksius ini lebih banyak ditemukan di beberapa rumah sakit umum, yang pemeliharaan lingkungannya kurang baik (Pristiyanto. D, 2000). Biasanya orang mengaitkan limbah B3 dengan industri. Siapa yang menyangka ternyata dirumah sakitpun menghasilkan limbah berbahaya dari limbah infeksius. Limbah infeksius berupa alat-alat kedokteran seperti perban, salep, serta suntikan bekas (tidak termasuk tabung infus), darah, dan sebagainya. Dalam penelitian itu, hampir di setiap tempat sampah ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan limbah organik berupa botol bekas infus. (Anonimous, 2009) Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Kepala Pusat Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu. Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Dampak Limbah Pada Kesehatan Masyarakat Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk mendapat gangguan karena buangan rumah sakit. Pertama, pasien yang datang ke Rumah Sakit untuk memperoleh pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan Kedua, karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen penyakit. Ketiga, pengunjung / pengantar orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan kesehatan akan semakin besar. Keempat,
masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi bila Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana mestinya ke lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah mutu lingkungan menjadi turun kualitasnya, dengan akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut. Oleh karena itu, rumah sakit wajib melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit yang baik dan benar dengan melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit (Kusnoputranto.H, 1993).
1. B.
Jenis-jenis limbah
Jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian sebagai berikut ini : -
Limbah klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staf Rumah Sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. Contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkusyang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urine dan produk darah. -
Limbah patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diautoclaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard. -
Limbah bukan klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan menbuangnya. -
Limbah dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan pengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staf maupun pasien di Rumah Sakit. -
Limbah radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangan secara aman perlu diatur dengan baik. Pemberian kode warna yang berbeda untuk masing-masing sangat membantu pengelolaan limbah tersebut
(Prasojo. D, 2008). Berikut adalah tabel yang menyajikan contoh sistem kondisifikasi limbah rumah sakit dengan menggunakan warna :
JENIS LIMBAH Bangsal/Unit Klinik Bukan klinik Kamar Cuci Rumah Sakit Kotor/Terinfeksi Habis dipakai Dari kamar operasi Dapur
WARNA Kuning Hitam Merah Putih Hijau/Biru Sarung tangan dengan warna yang berbeda untuk memasak dan membersihkan badan.
Agar kebijakan kodifikasikan menggunakan warna dapat dilaksanakan dengan baik, tempat limbah diseluruh rumh sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan ditempat sumbernya. 1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik 2. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai limbah klinik 3. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang (Depkes RI, 1992).
1. C.
Pengelolaan limbah
Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan (treatment) (Slamet Riyadi, 2000).
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut : 1. Pemisahan Limbah - Limbah harus dipisahkan dari sumbernya - Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas - Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto. H, 1995). 1. Penyimpanan Limbah Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat digunkanan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain. 1. Penanganan Limbah - Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas - Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan - Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai - Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ketempat pembuangan. 1. Pengangkutan limbah Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa keinsenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan dinas pekerja umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin. 1. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk. (Bambang Heruhadi, 2000). Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai lagi. Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran ( Liming) tersebut meliputi sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi 75 cm Tambahkan lapisan kapur Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan samapai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah 5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah (Setyo Sarwanto, 2003). Perlu diingat, bahan yang tidak dapat dicerna secara biologi ( nonbiodegradable), misalnya kantung plastik tidak perlu ikut ditimbun. Oleh karenanya limbah yang ditimbun dengan kapur ini dibungkus kertas. Limbah-limbah tajam harus ditanam. Limbah bukan klinik tidak usah ditimbun dengan kapur dan mungkin ditangani oleh DPU atau kontraktor swasta dan dibuang ditempat tersendiri atau tempat pembuangan sampah umum. Limbah klinik, jarum, semprit tidak boleh dibuang pada tempat pembuangan samapah umum. Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu dilatih secara memadai dan mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau kontaminasi badan. Semua petugas harus menggunakan pakaian pelindung yang memadai, imunisasi terhadap hepatitis B sangat dianjurkan dan catatan mengenai imunisasi tersebut sebaiknya tersimpan dibagian kesehatan kerja (Moersidik. S.S, 1995).
Melihat karakteristik dan dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh buangan/limbah rumah sakit seperti tersebut diatas, maka konsep
pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem dengan berbagai proses manajemen didalamnya yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan rumah sakit yang perlu diterapkan. Dengan pendekatan sistem tersebut, pengelolaan lingkungan itu sendiri adalah suatu usaha untuk meningkatkan kualitas dengan menghasilkan limbah yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat sekitar. Keterlibatan pemerintah yang memiliki badan yang menangani dampak lingkungan, pihak manajemen puncak rumah sakit dan lembaga kemasyarakatan merupakan kunci keberhasilan untuk melindungi masyarakat dari dampak buangan / limbah rumah sakit ini (Mentri Negara Lingkungan Hidup, 2004).
1. D.
Kesimpulan dan Saran
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya tetapi juga mungkin dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit dari pasien ke pasien yang lain maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh kerna itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada dilingkungan rumah sakit dan sekitarnya perlu kebijakan sesuai manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi yang sosial ekonominya kerena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang ditimbulkan. DAFTAR PUSTAKA
BAPEDAL. 1999. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan. Arifin.M, 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan. FKUI Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum. Departemen Kesehatan RI. 1992. Peraturan Proses Pembungkusan Limbah Padat . Departement Kesehatan RI. 1997. Profil Kesehatan Indonesia. Pristiyanto, Djuni. 2000. Limbah Rumah Sakit Mengandung Bahan Beracun Berbahaya.
Anonimous. 2009. Limbah. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Sarwanto, Setyo. 2009. Limbah Rumah Sakit Belu Dikelolah Dengan Baik. Jakarta : UI Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1995. Pedoman Teknik Analisa Mengenai dampak Lingkungan Rumah Sakit. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep. 58/Menlh/12/1995 Tentang Baku Mutu Kegiatan Rumah Sakit. Kusnoputranto, H. 1993. Kualitas Limbah Rumah Sakit dan Dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan dalam Seminar Rumah Sakit. Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993. Mikrobiologi Kedokteran Kusnoputranto, H. 1995. Bahan Toksik di Air dalam Toksikologi Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Prasojo, D. 2008. Produk Kreatif Dari Limbah RS Buat Anak-anak Tetapi Mengandung Maut . KARS-FKMUI. Slamet Riyadi. 2000. Loka Karya Alternatif Ekologi Pengelolaan Sanitasi dan Sampah. Alkatiri, S. 2009. Efektivitas Hasil Pengelolan Air Limbah Rumah Sakit. UnAir. Moersidik, S.S. 1995, Pengelolaan Limbah Teknologi Pengelolaan Limbah Rumah Sakit dalam Sanitasi Rumah Sakit, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Depok. Mentri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Kajian Dampak Lingkungan.
Abstrak
Rumah Sakit sebagai salah satu tempat kerja, tidak terlepas dari masalah limbah. Malahan dari kualitas dan kuantitas limbahnya, lebih berbahaya dibandingkan limbah pemukiman. Karenanya rumah sakit seharusnya lebih memberikan perhatian pada penanganan limbahnya. Selama ini limbah rumah sakit ditangani secara sederhana; kebanyakan dengan menggunakan incinerator atau didisposal di suatu tempat. Pada hal limbah rumah sakit berkualifikasi lain, seperti limbah berbahaya, dan limbah infeksius. Penanganannyapun pasti berbeda. Penggunaan incinerator ternyata melahirkan masalah baru yaitu pencemaran udara oleh partikel dan logam berat yang melewati kadar ambang batas. Pengalaman di Negara maju menuntut perlunya dikaji kembali mekanisme penanganan sampah rumah sakit sehingga aman dan tidak menimbulkan pencemaran baru. Dalam upaya itu, dengan guidelines WHO dituntut partisipasi proaktif semua Negara untuk menciptakan lingkungan hidup yang lestari demi kelangsungan kehidupan manusia.
Kata kunci: limbah rumah sakit; insinerasi, pencemaran logam berat, manajemen partisipatif.
Hospital Waste and Its Problems Abstract Hospital as a workplace creates wastes. Due to its quality and quantity the hospital wastes more dangerous compared with the domestics waste. Therefore, more attention should be given for waste treatment. Presently hospital waste is treated simply, by using incinerator or it is dispose in dump-site. Hospital waste has different characteristics such as dangerous, and infectious. The use of incinerator creates another problems, in terms of air pollutants of particulate matters and heavy metals. Experiences from developed countries that incinerator use for hospital waste needs evaluation and criticisms. In the WHO guidelines, it is needed proactive participation from all countries to realizing the sustainable living environment.
Key words: hospital waste, incinerator, heavy metal pollution, participative management.
Pendahuluan Isu global sekarang ini adalah pembangunan berkelanjutan. Di samping oleh karena topik itu sendiri tidak pernah basi, juga oleh karena kenyataan di lapangan. Manusia sebagai subjek penentu kelestarian dunia; manusia merencanakan, manusia juga melaksanakan, menikmati hasil, dan merusaknya sendiri seisi alam ini. Karenanya upaya pelestarian alam atau pencemaran adalah bersifat antropogenik.(1,2) Manusia berbuat dengan menggunakan akal dan budinya, mengolah alam dengan segala isinya untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup salah satu dari dimensi kualitas kehidupan. Kualitas hidup menjadi salah satu ukuran pembangunan (3). Dengan aktivitasnya itu manusia menghasilkan suatu by-product, end-product, dan waste product. End-product adalah sesuatu yang diinginkan, by-product terjadi dengan sendirinya selama proses, dan waste product adalah sisa atau bahan limbah. Semuanya itu dapat menjadi bahan pencemar terhadap lingkungan hidup manusia. Oleh karena itu maka proses pembangunan seharusnya didahului oleh perencanaan dengan analisis kebermanfaatannya sebesar-besarnya (3). Rumah sakit sebagai salah satu wujud tempat manusia bekerja juga tidak terlepas dari unsur di atas tadi. Hasil akhir yang diharapkan adalah tersedianya pelayanan yang berkualitas (cepat, profesional) sesuai dengan harapan masyarakat. Sebagai akibat dari adanya berbagai kegiatan fungsional di dalam rumah sakit, maka terbentuk limbah. Limbah tersebut akan berdampak kepada kualitas lingkungan-kerja dan lingkungan-hidup. Artikel ini mengkhususkan diri pada limbah rumah sakit serta upaya penanganannya sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi kelestarian lingkungan.
Rumah Sakit sebagai unit lokasi kegiatan manusia Rumah sakit selamanya akan berhubungan dengan manusia sakit dan sehat. Pihak penyedia jasa adalah seluruh komponen rumah sakit, sedangkan penggunanya adalah masyarakat. Dalam interaksi antara penyedia dengan pengguna ini terdapat beragam kegiatan manusia, yang masing-masing dilandasi oleh tingkat pengetahuan, norma dan sosio-budaya. Bentuk kegiatan di dalam rumah sakit hampir sama saja dengan kegiatan dalam suatu entitas masyarakat lainnya. Dalam interaksi penyedia – pengguna tersebut diperlukan suatu tempat interaksi, sarana penunjang, dan lingkungan interaksi. Tempat interaksi berupa ruang kerja (poliklinik, ruang bangsal, laboratorium, ruang kerja, ruang operasi); sarana penunjangnya berupa pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis (USG, Rontgen,Scanning, RIA), pusat informasikomunikasi, dan lingkungan interaksi berupa kondisi fisik , sosial dan kejiwaan
dimana rumah sakit itu berlokasi. Perkembangan iptekdok mengarah kepada pemakaian peralatan medis yang sangat canggih, serta pemeriksaan secara biokimia untuk mengenali beberapa petanda dalam darah. Pemeriksaan fisik dilengkapi dengan pemeriksaan lainnya sehingga diagnostik suatu penyakit menjadi lebih pasti. Dalam upaya itulah banyak dipergunakan zat-zat kimia atau bahan obat-obatan dan bahan radioaktif. Dalam proses pemeriksaan dan proses pengobatan berlangsung akan terjadi juga proses terlepasnya bahan-bahan yang digunakan ke alam sekitarnya. Apalagi pihak pengguna jasa dalam hal ini adalah orang sakit akan sekaligus menjadi sumber penyebaran bagi orang lain dan lingkungannya. Oleh karena itu di dalam rumah sakit selalu ada tatanan kerja, prosedur kerja tetap, dan aturan lainnya yang seharusnya dipatuhi oleh semua pihak. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kerunyaman aliran bahan pencemar tadi.
Zat pencemar rumah sakit Zat pencemar di rumah sakit dapat timbul selama proses pembuatan diagnosis, pengobatan, atau imunisasi, proses riset, atau proses uji biologis (4). Pencemar yang berasal dari rumah sakit dapat berbentuk pencemar padat, cair, dan gas atau uap. Pencemar padat berupa materi bangunan dan limbahnya, atau berbagai bahan kimia yang dipergunakan dalam proses pemeriksaan lab. berbentuk granula, pasir atau serbuk; pencemar cair berupa larutan kimia seperti detergen, pembersih, oli dan minyak pelumas, dan air panas. Yang berbentuk gas atau uap: gas kimia, bau dan uap panas; semuanya itu akan menimbulkan pencemaran udara. Ditinjau dari sumbernya zat pencemar udara, dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: sumber yang tidak bergerak (stationary sources): mesin cuci, mesin diesel, mesin pembangkit listrik, mesin setrika, laboratorium.; sumber bergerak (mobile sources): transportasi BBM, kendaraan bermoto (roda 2 atau 4); dan sumber di dalam ruangan (indoor sources): environmental tobacco smoke (ETS), partikel biologis dan non-biologis, zat organic volatile, Nitrogen Oxyde, lead, radon, karbon monooksida, asbestos, kimia sintetis (4,5,6). Dari semua pencemar tersebut akan menimbulkan pencemaran udara, air, dan tanah. Pencemar padat terdiri dari limbah yang dapat membusuk atau bahan organik (sampah, bagian tubuh manusia), limbah yang berbahaya (granul atau gas yang dapat meledak , korosif, zat yang cepat bereaksi dengan zat lainnya), dan yang mudah terbakar, semua zat-zat kimia dalam laboratorium (fenol, formaldehid dan Hg), dan limbah infeksiosa (7,8) seperti kuman, bakteri, jamur dan bahkan virus (3). Sampah padat (garbage) dapat dibedakan menjadi empat jenis (9), yaitu: a)
sampah organik, seperti limbah dapur, sayur-sayuran, bunga, dedaunan, dan buah-buahan; b) limbah beracun (toxic): cat, obat-obatan, zat kimia, kaleng spray, kaleng fertilizer dan pestisida, baterei, smir sepatu; c) yang dapat didaur-ulang (recyclable): kertas, gelas,metal, dan plastik; d) tanah (soiled) cloth soiled with blood and other body fluids. Bagaimana gawatnya limbah rumah sakit dapat dibayangkan dari berapa jumlah limbah yang dihasilkan suatu rumah sakit setiap tahunnya. Di Negara maju rata-rata 3,8 kg limbah per tempat tidur per hari.(10) Atau sampai 25.000 ton per tahun (8,11); dan setiap 4 kg limbah rumah sakit maka 1 kg-nya pasti infeksius.(12). Sebagai akibatnya dari pencemaran tersebut adalah anak balita. (13)
Penanganan limbah rumah sakit Limbah rumah sakit seharusnya diberikan penanganan yang memadai. Untuk zat pencemar padat diupayakan masuk insinerasi (10), sedangkan limbah cair dibuatkan kolam penampungan untuk selanjutnya dilakukan suatu treatment tertentu. Limbah gas dilakukan pengumpulan lalu dikonsentrasikan di suatu tempat, kemudian diberi treatment. Penanganannya dapat saja berdiri sendiri di areal rumah sakit (on-site treatment); atau dapat pula di luar rumah sakit (offsite treatment). Kalau off-site berarti akan ada proses transportasi limbah dari rumah sakit ke luar, sehingga kemungkinan besar akan terjadi pelepasan zat pencemar ke lingkungannya (4,8,9,11). Kebanyakan penyelesaian akhir limbah rumah sakit dilakukan secara insinerasi atau disposal (landfill.). Studi mengenai penanganan limbah rumah sakit yang dilakukan di Negara maju (Portugal, Amerika Serikat, Singapore, dan Kanada) menunjukkan bahwa penggunaan incinerator memang berhasil menurunkan volume limbah (khususnya limbah padat) secara bermakna, tetapi hal itu menimbulkan masalah baru (5,6). Sebagai akibatnya bermunculanlah kritik yang mempertanyakan keamanan insinerasi. Cara insinerasi ternyata bermasalah, yaitu menimbulkan emisi baru yaitu berbentuk dioksin (8-11), dan logam berat, seperti: As, Cd, Cr, Pb, Mn, Hg, Ni (4; 10). Insinerasi juga menimbulkan asap dengan kandungan debu (ashes), particulate matter dengan berbagai ukurannya ( 5; 9). Pengalaman di Negara kita pembuangan sampah domestik dengan sanitary landfill sudah tidak memadai lagi, selalu mengundang protes dari masyarakat sekitarnya. Di Negara maju hanya 15% sampah didesinfeksi, baru di sanitary landfill (9).
Kecendrungan di masa depan Setelah ada berbagai temuan baru bahwa dengan insinerasi menimbulkan zat pencemar baru, maka di Negara maju telah dirintis upaya alternatif.
Upaya yang dimaksud yaitu: upaya pencegahan (prevention) yang bertujuan untuk mengurangi volume limbah, dengan melaksanakan pendidikan kesehatan dan training kepada semua pihak; disertai dengan pemasangan rambu-rambu peringatan dan kampanye sepanjang masa; (4; 14,15) menghentikan pembelian barang-barang yang mengandung racun seperti Hg dan plastik dan menggantikannya dengan bahan kurang beracun (9); daur ulang (recycling) terutama limbah yang belum diatur, untuk memakai kembali jenis sampah tersebut untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga sekaligus pula volume sampah berkurang, di samping menunjang proses lebih lanjut (4); di negara maju terutama untuk limbah rumah sakit sangat jarang didaur ulang; (9) pemisahan jenis sampah (segregation/separation) menjadi sampah yang degradable, hazardous/radioactive and infectious waste. Upaya tersebut sangat berhasil mengurangi volume sampah rumah sakit (4,9); perlakuan (treatment) sesuai dengan jenis sampahnya. Misalnya sampah padat setelah dilakukan pemisahan dapat saja proses dekomposisi atau yang tidak dapat dikomposkan dilakukan pemadatan (baling) lalu dilanjutkan proses disposal secara biasa (ordinary landfill atau dibuang ke dasar laut). Untuk sampah tertentu (farmaseutikal, kimia dan obat-obatan, dan patologis) diproses secara insinerasi; kecendrungan off-site incinerator menjadi on-siteincinerator telah banyak dilakukan (4 ;5; 10). Dianjurkan untuk mengganti incinerator dengan metode lain, seperti: a.
Autoclaving (4,9)
b.
Microwaving, atau radio frequency irradiation unit (4;5;10)
Chemical/mechanical treatment (4) masih juga mempunyai tempat asalkan dilakukan secara berhati-hati misalnya: waste shredding prior to treatment; waste encapsulation after treatment.
Peran WHO Menyadari akan banyaknya korban akibat pencemaran lingkungan hidup itu maka WHO merevisi Air Quality Guidelines-nya. Guidelines yang tadinya berpedoman pada data Eropah dan Amerika Utara (WHO 1987) (6) telah
direvisi menjadi Guidelines 1999 dan direvisi lagi menjadi Guidelines 2001(16). Tujuannya agar dapat dipakai masing-masing Negara menyusun dan mengembangkan angka standard nasionalnya supaya menjadi technologically feasible, consider socio-economic and cultural constraints. Objektifnya adalah: 1) menunjukkan pengetahuan dan pengertian terhadap penyakit lokal, regional, dan global yang timbul akibat dari adanya pencemaran udara untuk menjadikan kebijakan berwawasan lingkungan; 2) mengembangkan dan memperbaharui secara teratur guidelines untuk masingmasing pollutant, atau gabungannya; 3) membangun secara proaktif kemitraan dan mekanisme koordinasi yang mempromosikan perbaikan kualitas udara, dengan fokus utama kepada kelompok yang paling riskan; 4) menunjang pengembangan infrastruktur, pendidikan dan pelatihan dalam penilaian dan menejemen risiko kesehatan; dan 5) memperkuat jaringan kerjasama. Dengan guidelines tersebut diharapkan agar setiap Negara secara proaktif memantau kualitas lingkungan udara serta menganalisisnya secara ilmiah melalui penelitian secara berkelanjutan. Bila perlu mengadakan beberapa evaluasi terhadap beberapa kebijakan pemerintah sehubungan dengan terciptanya lingkungan hidup yang kondusif. Kualitas udara suatu Negara akan berpengaruh terhadap udara regional dan global. Karenanya sudah sewajarnya menjadi perhatian kita bersama. Semoga.
Bahan Bacaan
1. Moller, Lennart. Introduction. Dalam: Moller, L. (Ed). Environmental Medicine Joint Industrial Safety Council. Sweden. 2000: 1-11.
2. Dock, Lennart. Contaminated sites and waste dumps. Dalam: Moller, L.(Ed). Environmental Medicine. Joint Industrial Safety Council. Sweden. 2000: 124139.
3. UNDP. Human Development Report. 2001. New York.
4.Anonim. Bay Area Dioxins Project.2003.
5. Bruce, Nigel. 2002. The health effects of indoor air pollution exposure in developing countries. Protection of the Human Environment. WHO.
http://www.who.int/peh/air/ Indoor/oeh0205discussion.htm diakses 9-8-2003
6. WHO. 1999. Air quality guidelines. http://www.who.int/environmentalinformation/air/guidelines/AQGUIDEXECUM.htm diakses 9-8-2003
7. Hageman JP. 2002. Handling. Storage, treatment, and disposal of mixed wastes at medical facilities and academic institutions. Health Phys. May:82(5 Suppl): S66-76.
8. Ferraz MC, Cardoso JI, Pontes SL. 2000. Concentration of athmospheric pollutants in the gaseous emissions of medical waste incinerators. J Air Waste Manag Assoc. Jan; 50(1): 131-6.
9. Ecology Center News. Medical Waste. http://www.ecocenter.org/healthwaste.shtml diakses 11-8-2003.
10. Alvim-Ferraz MC, Afonso SA. 2003. Incineration of different types of medical wastes: emission factors for particulate matter and heavy metals. Environ Sci Technol. Jul 15;37(14): 3152-7.
11. Ferraz, MCMA; Afonso, SAV.2003. Dioxin Emission Factors for the Incineration of Different Medical Waste Types. Arch Environ Contam Toxicol 44: 460-466.
12. Anonim. 2003. Why are hospitals rethinking regulated medical waste management? Environmental Best practices for Health Care Facilities. June 2003.
13. WHO.Press Release/36. 9 May 2002. Information office. http://www.who.int/inf/en/pr-2002-36.html diakses 9-8-2003.
14. Ooi, PL; Hakeem, A; Goh, KT; Brauer, M. 1999. Public Information and Mitigation Measures for a Haze Episode:The Singapore Experience. Background papers on Health Guidelines for Vegetation Fire Evnets, Lima Peru, 6-9 October 1998.
15. Wadge A, Hutton M. 1987. The cadmium and lead content of suspended particulate matter emitted from UK refuse incinerator. Sci Total Environ. Nov;67(1): 91-5
16. WHO. 2001. WHO Strategy on Air Quality and Health. Revised final draft, May 2001. Occupational and Environmental Health Protection of the Human Environment. WHO Geneva.
kesehatan masyarakat terus dikembangkan antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyukuhan kesehatan serta pelayanan kesehataan ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya pencemaran darimanapun juga perlu diberi perhatian khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, pengelolaan limbah rumah sakit yang merupakan bagian dari penyehatan lingkungan di rumah sait juga mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit serta mencegah infeksi nosoknomial di lingkungan rumah sakit, perlu diupayakan bersama oleh unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit. Unsur-unsur terebut meliputi antara lain yang berikut :
Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit Pengguna jasa pelayanan rumah sakit para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan
Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakankebijakan yang mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk pembangunan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit melalui anggaran pembangunan maupun dari sumber bantuan dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan pemasyrakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit. Pembuangan Limbah Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limabh cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisa lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit.
Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari. Pembuangan limbah yang
berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma ( injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini :
Limbah Klinik Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unitunit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah. Limbah Patologi Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label Biohazard Limbah Bukan Klinik Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya Limbah Dapur Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit Limbah Radioaktif Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik
Pemberian kode warna yang berbeda untuk masing-masing sangat membantu pengelolaan limbah tersebut. Tabel 1 menyajikan contoh sistem kodisifikasi limbah rumah sakit dengan menggunakan warna. JENIS LIMBAH Bangsal / Unit Klinik Bukan Klinik Kamar Cuci Rumah Sakit Kotor / terinfeksi Habis dipakai Dari kamar operasi Dapur
WARNA Kuning Hitam Merah Putih Hijau / biru Sarung tangan dengan warna yang berbeda untuk memasak dan membersihkan badan
Agar kebijakan kodifikasikan menggunakan warna dapat dilaksanakan dengan baik,
tempat limbah di seluruh rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya. 1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik 2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik 3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik. 4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang. Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut : a. Pemisahan limbah o Limbah harus dipisahkan dari sumbernya o Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas o Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang b. Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal dan unitunit lain c. Penyimpanan limbah o Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas o Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-temapt tertentu untuk dikumpulkan o Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama telah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai o Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya d. Penanganan limbah o Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bile telah ditutup o Kantung dipegang pada lehernya o Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan ( overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut o Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di dalma kantung yang salah o Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah e. Pengangkutan limbah Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin. f. Pembuangan limbah Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah ( land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk o
Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator o berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500 C atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit lain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai. Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran ( liming) tersebut meliputi yang berikut. 1. 2. 3. 4.
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm Tambahkan lapisan kapur Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah 5. Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah Perlu diingat, bahan yang tidak dapat dicerna secara biologi ( nonbiodegradable), misalnya kantung plastik tidak perlu ikut ditimbun. Oleh karenanya limbah yang ditimbun dengan kapur ini harus dibungkus kertas. Limbah-limbah tajam harus ditanam. Limbah bukan klinik tidak usah ditimbun dengan kapur dan mungkin ditangani oleh DPU atau kontraktor swasta dan dibuang di tempat tersendiri atau tempat pembuangan sampah umum. Limbah klinik, jarum, semprit tidak boleh dibuang dengan di tempat pembuangan sampah umum.
Semua petugas yang menangani limbah klinik perlu dilatih secara memadai dan mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan jika mengalami inokulasi atau kontaminasi badan. Semua petugas harus mengenakan pakaian pelindng yang memadai, imunisasi terhadap hepatitis B sangat dianjurkan dan catatan mengenai imunisasi tersebut sebaiknya tersimpan di bagian kesehatan kerja. Penutup Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah rumah sakit sebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan
Sumber : Majalah Kesehatan Depkes
Penanganan limbah medis yang benar masih belum diketahui secara detail sebagian besar rumah sakit di Kabupaten Malang. Masih banyak rumah sakit yang melakukan pembuangan limbah medis secara tradisional, misalnya langsung dibakar atau dibuang ke tempat sampah. Padahal, sebagian besar limbah medis itu cukup membahayakan bagi masyarakat. “Ada beberapa rumah sakit yang tanya kepada saya mengenai penanganan limbah medis,” kata dr. Agus Wahyu Arifin, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang. Berdasarkan data yang ada di dinkes, jumlah rumah sakit besar yang ada di kabupaten sekitar 8 rumah sakit besar dan 30 rumah sakit kecil. “Pengelola rumah sakit di kabupaten tak ingin kasus RSSA (Rumah Sakit Saiful Anwar) menimpa mereka,” lanjutnya.
Pengelola rumah sakit di kabupaten tak ingin kasus RSSA menimpa mereka (MI/Bagus Suryo) RSSA saat ini sedang menjalani proses hukum karena masalah pembuangan limbah tabung infus yang diperdagangkan. Dinkes sendiri saat ini masih belum mempunyai tim ahli dalam penanganan limbah medis. Karenanya, dalam waktu dekat ini, dinkes akan berkonsultasi dengan pakar pengelolaan limbah medis. Hasil konsultasi nantinya akan disosialisasikan kepada pengelola puskesmas. Khusus untuk rumah sakit yang dikelola oleh dinkes yakni RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, sudah tak ada masalah. Sebab, rumah sakit tersebut sudah memiliki incinerator untuk menghancurkan limbah medis padat. Sedangkan untuk limbah medis cair, RSUD Kanjuruhan sudah memiliki IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah)
Di RSUD Kanjuruhan, rata-rata dalam setiap harinya ada sekitar 200 tabung infus yang harus dimusnahkan. Selain tabung infus, limbah medis yang harus dimusnahkan di incinerator adalah alat suntik, kantong darah, pipa infus, obat kadaluarsa, jaringan tubuh, dan pisau bedah. Sedangkan untuk limbah puskesmas jumlahnya relatif kecil. Dari 39 puskesmas yang dimiliki dinkes, rata-rata dalam setiap harinya limbah tabung infus yang harus dimusnahkan antara 5 sampai 10 tabung. Hanya saja, pemusnahan tabung infus di puskesmas dan RSUD Kanjuruhan berbeda. Di Puskesmas, pemusnahan tabung infus dilakukan dengan merusak tabung lalu dibakar secara konvensional. (fir/abm/radarmalang) Keywords: kesehatan, limbah, RSUD Kanjuruhan, Rumah Sakit