MAKALAH
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
OLEH: WAWAN SETIAWAN ( 120 630 5404 ) FIRDAUS HERTA PRADANA ( 120 630 5240 )
MATA KULIAH :
USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH DOSEN:
Dra. Munifah Syanwani, M.Si
PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN DAN ISLAM JAKARTA OKTOBER 2012
MAKALAH MATA KULIAH “ USHUL
FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH ”
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
PENDAHULUAN
Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang lazimnya mencakup metode istinbathiyah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi (kebahasaan) maupun tarkib (susunan), dan uslub-uslub-nya uslub-uslub-nya (gaya bahasanya). Karena itu semua model-model istinbath harus mengacu pada kaidah yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.[1] Kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa ( wahyu). wahyu). Menguasai kaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk menguasai hukum Allah dalam setiap persitiwa hukum yang dihadapinya.[2] Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kaidah ushuliyyah merupakan pijakan utama tempat kerangka pemikiran mujtahid dalam melakukan proses ijtihad untuk mengeluarkan dan menetapkan hukum yang terdapat dalam nash. nash. ia bagaikan suatu pola dalam pakaian sehingga dengan pola suatu pakaian dapat dijahit. Bilamana ijtihad merupakan suatu metode yang menjadi dinamisator hukum Islam, maka kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan katalisator bagi dinamika hukum Islam.[3]
KAIDAH USHULIYYAH Untuk dapat memahami kaidah ushuliyyah maka perlu kita pahami pengertian, pembagian, metode perolehan, dan dan objek dari kaidah ushuliyyah. ushuliyyah.
A. Pengertian Kaidah Ushuliyyah
Kaidah Ushuliyyah terdiri dari dua suku kata, yaitu Kaidah dan Ushuliyyah. Ushuliyyah. Dengan demikian maka selanjutnya akan kita bahas pengertian dari… [1] [2] [3]
Asep Ridwan H, SHI., Kaidah SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Qiyas Dan Kaidah Istshlah , hal. 13. Rachmat Syafei, Ilmu Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Fiqh , (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 147. Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 13.
1
MAKALAH MATA KULIAH “ USHUL
FIQIH DAN FIQIH MUAMMALAH ”
KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH
PENDAHULUAN
Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang lazimnya mencakup metode istinbathiyah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi (kebahasaan) maupun tarkib (susunan), dan uslub-uslub-nya uslub-uslub-nya (gaya bahasanya). Karena itu semua model-model istinbath harus mengacu pada kaidah yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.[1] Kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa ( wahyu). wahyu). Menguasai kaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk menguasai hukum Allah dalam setiap persitiwa hukum yang dihadapinya.[2] Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kaidah ushuliyyah merupakan pijakan utama tempat kerangka pemikiran mujtahid dalam melakukan proses ijtihad untuk mengeluarkan dan menetapkan hukum yang terdapat dalam nash. nash. ia bagaikan suatu pola dalam pakaian sehingga dengan pola suatu pakaian dapat dijahit. Bilamana ijtihad merupakan suatu metode yang menjadi dinamisator hukum Islam, maka kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan katalisator bagi dinamika hukum Islam.[3]
KAIDAH USHULIYYAH Untuk dapat memahami kaidah ushuliyyah maka perlu kita pahami pengertian, pembagian, metode perolehan, dan dan objek dari kaidah ushuliyyah. ushuliyyah.
A. Pengertian Kaidah Ushuliyyah
Kaidah Ushuliyyah terdiri dari dua suku kata, yaitu Kaidah dan Ushuliyyah. Ushuliyyah. Dengan demikian maka selanjutnya akan kita bahas pengertian dari… [1] [2] [3]
Asep Ridwan H, SHI., Kaidah SHI., Kaidah Bahasa Hukum, Kaidah Qiyas Qiyas Dan Kaidah Istshlah , hal. 13. Rachmat Syafei, Ilmu Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Fiqh , (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 147. Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 13.
1
kedua kata tersebut.
1. Pengertian Kata Kaidah
Kata kaidah merupakan arti dari qa’idah dalam bahasa Arab yang merupakan mufrad (bentuk tunggal) dari qawa’id (bentuk jamak) yang artinya kaidah-kaidah. Dan kata qa’idah tersebut telah diserap menjadi bahasa Indonesia yaitu menjadi kaidah. [4] Secara etimologi arti kaidah menurut al Asfahani dan al Zaidy sebagaimana dikutip oleh Rahmat Syafei adalah al asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). [5] Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat ushul membuat beberapa definisi, sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab dibawah ini: [5] o
Dalam Kitab AtKitab At-Ta’rifat Ta’rifat :
“ Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bidang-bisangnya (juz juznya)” [At-Ta’rifat: 171] o
Dalam Kitab Syarah Jamu’ Syarah Jamu’ Al Al- Jawami’ Jawami’ :
“ Ketentuan pernyataan universalyang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya ” [Al-Mahalli: 21] o
Dalam Kitab AtKitab At-Talwih Talwih ‘alaa At -Tawdih: -Tawdih:
“ Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumnya ” [At-Taftajani, I: 20] o
[4] [5]
Dalam Kitab Al-Ashbah Kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair :
Muhlis Utsman, Kaidah-kaidah Utsman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqihiyyah ,(Jakarta : Rajawali Press, 2002), hal 3. Rachmat Syafei, Op. Cit., hal. 251.
2
“ Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut. ” [Al-Subki: I] o
Dalam Kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah fi Ushul Fiqh :
“ Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran” [At-Taufi Al-Hambali, II: 95] Selain definisi menurut para ulama ushul di atas, ada beberapa definisi lain terkait kata kaidah, seperti:[6] o
Menurut Dr. Ahmad Muhammad asy- Syafi’i dalam bukunya “ Ushul Fiqh Islam”, 1983:4 menyatakan bahwa kaidah adalah:
“ Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh (kulli) yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i.” o
Menurut Fathi Ridwan dalam bukunya “ Min Falsafati at-Tasyri’ al -Islami”, 1969:171-172 menyatakan bahwa kaidah adalah:
“ Hukum yang bersifat kulli (general law) yang meliputi semua bagianbagiannya. ” o
Menurut Hasbi ash-Shidiqi[7] mengidentikkan makna kaidah dengan asas atau fondasi, pengertian itu dinukil dari QS. al Baqarah (2):127:
“dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), …” Selanjutnya beliau menukil pengertian kaidah yang dikemukakan oleh Prof. ...
[6] [7]
Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 3. Hasbie ash-Sidiqi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976) II, hal 442.
3
Mustafa az-Zarqa dalambukunya “ al-Fiqh fi Tsaubihil Jadid ”, 1976:442 sebagai berikut:
“ Hukum yang aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar bagian-bagiannya” Dari beberapa definisi di atas dan definisi dari berbagai literatur lain, tidak semuanya sama, karena sebagaimana menurut Rahmat Syafei [8] bila diteliti secara seksama terdapat perbedaan yang esensi diantara definisi-definisi yang ada.
Misalkan yang menyatakan bahwa qaidah adalah “Sesuatu yang masih umum yang mencakup sejumlah bagian-bagiannya, yang kata-kata di dalamnya bisa
mengandung arti lain”. Dengan kata lain, definisi tersebut mengandung arti bahwa qaidah fikih itu mengandung berbagai macam pengecualian yang menjadi lawannya. Padahal qaidah fikih itu lebih umum dari pada kulliah (sesuatu yang mencakup bagian-bagian di bawahnya) dan dari aktsariyyah (kebanyakannya). Sebagian definisi menyebutkan bahwa kaidah itu berlaku bagi semua cabangnya, padahal seharusnya berlaku pada sebagian besar cabang. Oleh karena itu definisi yang lebih baik sebagaimana pemikiran Rahmat Syafei adalah yang disebutkan oleh Prof. Mustafa az-Zarqa karena pada dasarnya keberlakuan kaidah, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah itu bersifat sebagian besar bukan keseluruhan, dengan alasan sebagai berikut : 1.
Kaidah merupakan hasil ijtihad ulama, dan masing-masing ulama mempunyai kaidah istinbath sendiri-sendiri sehingga hasil konklusinya berbeda juga.
2.
Perumusan kaidah berasal dari dalil, sedang dalil itu sendiri ada yang bersifat qath’ i dan ada yang bersifat dhanni, para mujtahid belum sepakat sepenuhnya mana dalil yang bersifat qath’ i dan mana yang dhanni.
3.
Setiap rumusan hukum fikih selalu ada pengecualian, sehingga dalam kondisi pengecualian itu tidak mengaitkan dengan keberlakuan kaidah.
[8]
Rachmat Syafei, Op Cit., hal 253.
4
2. Pengertian Kata Ushuliyyah
Pengertian Ushuliyah secara etimologi diambil dari kata ashal dalam bahasa Arab yang diberi Ya Nisbah[9]. Sedangkan secara etimologi kata ashal tersebut mempunyai makna sebagai berikut: [10]
“Sesuatu yang dijadikan dasar sesuatu lainnya ” [Muhammad Ma’ruf ad Dawalibi, 1965:11] Dalam arti terminologi kata ashal mempunyai 5 pengertian, yaitu: 1. Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh; Misalnya kebolehan memakan bangkai bagi yang terpaksa itu menyalahi hukum ashal yakni menyalahi kaidah kulliyyah, yaitu:
“Setiap Bangkai adalah Haram ” 2. Ashal berarti yang lebih kuat ( Rajih); Misalnya kalimat “al-Ashlu fil Kalami al-Haqiqah” (Ashal yang lebih kuat dari suatu ungkapan adalah makna sebenarnya bukan makna simbolik). 3. Ashal berarti hukum ashal ( Mustashhab); Misalnya ungkapan “ al-Ashlu Baqou ma kana ” (Hukum ashal/ istishhab adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada), sebagai contoh misalnya keraguan terhadap wudlu masih sah atau sedah batal, maka hal tersebut dianggap masih sah. 4. Ashal berarti Maqis ’alaih (dalam bab Qiyas); Misal keberlakuan hokum riba bagi beras dan gandum. Beras merupakan maqis (yang diserupakan) yang dikatakan furu’ , sedangkan Gandum merupakan maqis ‘alayh (yang diserupai) yang dikatakan ashal . 5. Ashal berarti dalil; Misal ungkapan “ Ashal masalah ini adalah al-Qur-an dan as-Sunnah” yakni dalilnya. [Abdul Hamid Hakim, 1983:3] Sepintas terlihat bahwa makna kaidah dengan makna ashal itu sama, padahal sebenarnya berbeda. Hasbi ash-Shiddiqi dalam bukunya “ Pengantar … [9]
Ya Nisbah adalah huruf Ya yang terletak di akhir sebuah kata benda ( isim) dan berfungsi sebagai pembangsaan atau mensejeniskan. Contoh: Arabiyyun yang berarti sebangsa/ sejenis dengan Arab. [10] Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 5.
5
Hukum Islam” menegaskan bahwa “ ashal itu jalan istinbath kepada cabang, ia mendahului cabang dalam wujudnya walaupun kebanyakan ashal yang dipegang para imam dilahirkan dari furu’ ”. Sedangkan kaidah merupakan pengekang furu’ yang bermacam-macam dan meletakkan furu’ - furu’ tersebut dalam satu kandungan umum yang lengkap. Oleh sebab itu kaidah datang setelah furu’ pada wujudnya dan dia memudahkan jalan furu’ . [Hasbi ash-Shaddiqi, 1975:135]
[11]
Setelah kita mengetahui arti kata Kaidah dan Ushuliyyah maka kita dapat
memahami pengertian dari “Kaidah Ushuliyyah”, yaitu suatu “ Hukum Kulli yang dapat dijadikan standar hukum bagi juz’i yang diambil dari dasar kulli yakni alQur-an dan as-Sunnah”. Karena itu Kaidah Ushuliyyah dapat dikatakan sebagai istinbathiyyah ataupun Kaidah Lughawiyyah.[12] Dengan demikian kaidah ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatiakan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan.[13]
B. Pembagian Kaidah
Pada umumnya kitab Ushul Fiqh membagi kaidah menjadi dua macam, yaitu Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah. Kedua kaidah tersebut tidak dapat berdiri sendiri tetapi saling terkait. 1. Kaidah Ushuliyyah/ Kaidah Istinbathiyyah/ Kaidah Lughawiyyah; merupakan kaidah yang digunakan berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan dari bahasa Arab setelah dilakukan penelitian oleh para ulama dari ciri-ciri suatu lafazh ushlub (gaya bahasa). Untuk mengetahui makna yang tepat dari lafadz atau ushlub itu sendiri maka dapat didasarkan kepada: [14] a) Pengertian orang banyak yang mutawatir dan secara terbiasa pengertian itu dipakai dalam percakapan sehari-hari. Seperti kata al ma’ adalah air. b) Berdasarkan pengertian para ahli bahasa. Menurut imam as Syafi’ i disebut [11] [12] [13] [14]
Muhlis Utsman, Op. Cit., hal. 6. ibid. Rahmat Syafei, Op.Cit., hal 147. Asep Ridwan H, SHI., Op. Cit., hal. 4-5.
6
ilmu khashah. Dan pengertian lafal atau ushlub ini hanya dimengerti oleh orang tertentu saja (ahbarul ahad ) yang tidak diketahui oleh kelompok lain. Hal ini hanya didapat dari istilah-istilah ilmiah. c) Berdasarkan hasil pemikiran akal atau nalar. Salah satunya dengan menggunakan metode qiyas. Seperti kata al khamr yang tidak diartikan sebagai perasan anggur saja, akan tetapi setiap minuman yang memabukan. Kaidah Ushuliyyah berfungsi sebagai alat dalam menggali hukum yang terdapat dalam syara’ (al Qur-an dan Hadits). Nash-nash adalah berbahasa Arab dan oleh karenanya itu kaidah-kaidah bahasa menjadi patokan dalam memperoleh hukum daripada nash tersebut. Dengan menguasai kaidah ushuliyyah maka akan dapat mempermudah faqih untuk melakukan ijtihad dan menetapkan suatu hukum daripada yang terdapat dalam nash secara jelas maupun yang tersembunyi. Sebagai contoh, ketika terdapat perintah Rasul untuk berziarah setelah adanya larangan, maka kita dapat menyimpulkan perintah itu sebagai suatu kebolehan. Kita dapat berpijak pada kaidah:
“ Adanya perintah setelah adanya larangan menunjukan suatu kebolehan ”[15] 2. Kaidah Fiqhiyyah; para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum)
yang
berlaku
pada
semua
bagian-bagiannya
atau
cabang-
cabangnya.[16] Secara detil akan dibahas dalam bab khusus selanjutnya.
C. Metode Perolehan Kaidah Ushuliyyah
Metoda perolehan kaidah ushuliyyah dibagi menjadi tiga metode berbeda yang dilakukan oleh ulama Ushul Fiqh dalam memperoleh suatu kaidah tersebut, yaitu metode mutakallilim, ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh.
[15] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996) hal 179. [16] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta.
7
1. Metode Mutakallimin
Metode mutakallimin sering disebut sebagai metode Syafi’iyyah. Metode ini banyak dikembangkan oleh golongan Muktazilah Asy’ariyah, Imam Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal dan para pengikut madzhab-nya. Ciri utamanya adalah lebih mengorientasikan kepada kajian hukum terhadap ayat- ayat al Qur-an dan as Sunnah sebagai implikasi dari dasar pemikiran bahwa syar’ i itu hanyalah Allah dan Rasul-Nya [17]. Metode mutakalilimin dilakukan dengan cara pola berfikir deduktif. Mereka menggali suatu makna secara rasional dari suatu nash atau dalil berdasarkan nalar dan nash yang berpetunjuk. Kemudian dari makna dalil itu ditarik suatu kaidah yang logis dan umum didasarkan atas pemikiran nalar yang rasional. Oleh karena itu dalam melahirkan kaidah ushuliyyah proposisi-proposisi dalam logika (mantiq) dipandang sebagai bagian dasar dari ilmu ushul fiqh seperti; ilmu, penalaran (nadhar ) dan dilalah lafadz atas makna, definisi suatu istilah dan demonstrasi (burhan). Selain itu karena kajian kaidah ushul difokuskan kepada nash, maka propesi-propesi yang berhubungan dengan dalil-dalil syara’ seperti kehujahan khabar ahad dan hadits mursal menjadi bagian penting dalam metode mutakalilimin. Untuk dapat lebih memahaminya berikut adalah contoh dari metode mutakallimin: Dalam al Qur-an terdapat nash yang lafadz -nya ber- sighat amar (perintah) seperti perintah melaksanakan sholat. Maka timbulah suatu pertanyaan;
“Apa hukumnya melaksanakan sholat ?”[18]. Apakah harus/ mesti dilaksanakan (wajib), atau dianjurkan ( sunnah)? Untuk menjawab hal itu maka ulama harus dapat menentukan hukum yang terdapat dalam perintah sholat yang lafadznya ber- sighat amar . Metode deduktif itu secara sederhana dapat saya uraikan sebagai berikut: Pernyataan I
: Shalat diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia;
Pernyataan II
: Allah memandang shalat sebagai suatu yang sangat penting karena ia sebagai tiang agama, salah satu dari lima bangunan …
[17] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial , (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1999), hal 108. [18] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat wajib.
8
Islam, sebagai sebagainya[19];
amal
yang
pertama
dihisab,
dan
lain
Pernyataan III : Seorang hamba atau abdi akan hina jika tidak menunaikan perintah-Nya,
dan
hal
itu
dipandang
sebagai
suatu
kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah:
“…,maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”[20] Ini pula diperkuat dengan hadits yang menyatakan bahwa
“bilamana meninggalkan sholat akan disiksa ”.[21] Pernyataan IV : Sesuatu perbuatan yang akan disiksa apabila ditinggalkan dan mendapat pahala bila dikerjakan adalah hal yang wajib dalam pemikiran fiqh atau hukum taklif . Pernyataan V
: Maka
dengan demikian
dapat
diartikan
bahwa
shalat
hukumnya wajib. PernyatanVI
: Adanya sholat karena adanya ayat yang ber- sighat amar . Selama suatu lafadz dapat dipahami secara hakikat, maka ia tidak perlu dipalingkan kepada makna majaz'i[22]. Nah, bila hukum shalat itu wajib dan adanya shalat disebabkan adanya nash dengan lafadz yang bersighat amar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asal daripada perintah (amar ) adalah menunjukan suatu kewajiban.
Dari penurunan pernyataan-pernyataan tersebut di atas dapat dibuat suatu kaidah sebagai berikut:
“ Pada dasarnya amr itu menunjukkan (arti) wajib”
[19] [20] [21] [22]
An Nasai, 463. QS an Nuur (24):63. Musnad Ahmad Ibn Hambal, 26098. Muchlis Utsman, Op.Cit, hal. 16.
9
Adapun unsur-unsur pokok metode mutakallimin adalah sebagai berikut:[23] a) Adanya hukum-hukum aqliyyah dan hukum-hukum kalamiyyah yang berhubungan dengan metode tersebut. b) Adanya hukum-hukum logika (mantiq) yang berkaitan dengan ilmu ushul , seperti masalah ilmu, penalaran, dalil-dalil lafal dan makna, batasan batasan serta bukti-bukti (burhan). c) Dalil-dalil lafaliyyah dan segala macam masalahnya. Seperti masalah lafal umum, perintah, larangan, makna huruf, mushtarak, dan sebagainya. d) Pengertian mushthalah ushuliyyah serta penjelasannya sehingga diketahui pengertian, hokum dan sebagainya. e) Adanya hukum-hukum syara’ yang dibuat sebagai hujah, seperti hadits ahad, hadits mursal, qiyas, istishhab syar’ i qablana, dan sebagainya.
2. Metode Ahnaf
Metode Ahnaf (hanafiyyah) dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dengan jalan istiqra (induksi) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi darinya [24]. Metode Hanafiyah ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah menyandarkan ijtihad -nya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai cabang dari kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imamnya. Sedangkan yang memberi motivasi dan dorongan kepada mereka dalam membuktikan kaidah-kaidah tersebut adalah beberapa hukum yang telah diistinbath-kan oleh para imamnya dengan bersandar kepadanya, bukan hanya dalil yang bersifat teoritis. Perhatian mereka semata-mata tertuju kepada ushul fiqh para imam yang diambil dari masalah furu’ dalam melakukan istinbath[25]. Oleh karena itu aliran… [23] Muchlis Utsman, Op.Cit, hal. 9. [24] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al Fikr al Ushuliy, (Mekkah : Daar al Syrq, 1983), hal. 452. [25] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Iskandar : Al Barsan, 1989), hal 13.
10
Ahnaf lebih banyak menghasilkan kaidah fiqhiyyah daripada kaidah ushuliyyah. Salah satu contoh kaidah ushuliyyah yang dianut oleh Hanafiyah adalah kaidah mengenai amar dan perintah meninggalkan kebalikannya yang diperoleh secara istqra (induktif) sebagai berikut: Pernyataan AI : Manusia diperintahkan untuk beriman, Pernyataan AII : Manusia dilarang untuk kufur, Pernyataan AIII : Iman merupakan kebalikan dari kufur. Pernyataan BI : Jujur itu diperintahkan, Pernyataan BII : Berbohong itu dilarang, Pernyataan BIII : Jujur adalah lawan bohong. Konklusi dari pernyataan-pernytaaan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap adanya perintah untuk melakukan sesuatu berarti melarang atas kebalikannya, maka lahirlah suatu kaidah:
“Sesungguhnya perintah pada sesuatu berarti melarang atas kebalikannya ”. 3. Metode Campuran
Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau thariqat al- jam’an, yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan aplikasinya
dalil-dalil
terhadap
atas
kaidah-kaidah
masalah fiqh
far’iyyah
itu.
Serta
memperhatikan
dan
relevansinya
terhadap
kaidahkaidah tersebut.[26] Cara perolehan kaidah bahasa hukum melalui metode ini digabungkan antara pola deduktif dan induktif, sehingga menghasilkan suatu susunan kaidahkaidah yang harmonis sejalan dan menjadi utuh. Metode konvergensi adalah metode yang digunakan oleh ulama-ulama kontemporer, terutama dalam mengistinbath-kan hukum dimana mereka menggunakan kaidah ushul yang telah ada serta mengambil suatu kesimpulan umum dari berbagai furu’ yang ada. Salah satu contohnya adalah kaidah yang dicetuskan oleh imam al-Khathabiy yaitu: [27]
[26] Abdul Wahab Khollaf, Op.Cit., hal 13-14. [27] Ali Ahmad al Nadzawy, Al Qawaa’id Al fiqhiyyah, (Damasyq : Daar al Qalam), hal. 112.
11
“ Perintah yang ditetapkan dengan sesuatu yang diketahui tidak dapat ditinggalkan dengan perintah yang dzanni ” Kaidah ini secara deduksi diperoleh dengan mempertimbangkan kaidah bahwa pada lafadz yang dhahir atau jelas tidak perlu mencari makna lain selama ia masih dapat diartikan sesuai dengan teksnya. Adapun secara induksi diperoleh dari: Pernyataan I : Keyakinanan tidak dapat dikalahkan oleh suatu keraguan, Pernyataan II : Lafadz dhahir lebih kuat daripada lafadz dhanni. Dari dua kaidah di atas menunjukan bahwa sesuatu yang jelas itu lebih kuat daripada yang samar. Maka kesimpulan dari dua kaidah diatas adalah bahwa perintah yang didasari atas sesuatu yang diketahui tidak dapat ditinggalkan dengan perintah yang masih dhanni. Setelah kita ketahui metode-metode dari kaidah ushuliyyah, berikut adalah penjelasan perbedaan karakteristik dari metode mutakallimin dengan metode ahnaf seperti yang dijelaskan oleh Muchlis Utsman dalam buku “ Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqihiyyah ”[28]: NO
a.
METODE MUTAKALLIMIN
HANAFIYYAH
Metodenya hanya dari cara istinbath-nya sendiri.
Kaidah yang disusun hanya untuk memperkuat madzhabnya.
b.
Kaidahnya dari pemahaman makna Kaidah yang disusun bukan lughawy dan ushlub-ushlub-nya. merupakan penentu terhadap hukum far’iy yah (cabang); Kaidah tersusun tidak memperhatikan pemahaman makna lughawy melainkan meriwayatkan yang dinukil dari pemasalahan far’iyah dari imam madzhab-nya.
c.
Disesuaikan dengan hukum fikir Kaidah ushuliyyah hanya diambil atau logika. dari pendapat imam-nya
d.
Terdapat relevansi dengan kaidah Tidak menerima kaidah-kaidah ilmu ilmu kalam. kalam.
[28] Muchlis Utsman, Op.Cit., hal 12.
12
METODE
NO
e.
MUTAKALLIMIN
HANAFIYYAH
Membagi kejelasan dilalah dengan Membagi kejelasan dilalah dzahir , nash dan dhohir . nash, mufassar dan muhkam.
f.
Membagi pemahaman dilalah Membagi pemahaman makna dengan mujmal dan mutasyabbih. dilalah dengan khafi, musykil , mujmal dan mutsyabih.
g.
Membagi petunjuk hukum dengan Membagi petunjuk hukum dilalah manthuq dan mafhum. ibarah, dilalah isyarah, dilalah nash dan dilalah iqtidha.
i.
Dilalah ‘am (umum) yang telah Dilalah ‘am yang telah disebutkan disebutkan satuannya dinyatakan satuan-satuannya dianggap qath’i sebagai dalil dzanni. dilalah.
j.
Pemahaman makna muthlaq Tidak membawa makna muthlaq diikutkan pada makna muqayyad , pada muqayyad . misalnya mewajibkan zakat bagi budak non muslim.
k.
Membuang hadits mursal sebagai Menggunakan hadits mursal bila hujjah bila hal itu diperlukan. diperlukan. Menerima hadits ahad sebagai Menolak hadits Ahad. [30] hujjah jika sanad -nya shahih.[29]
l.
D. Objek Kaidah-Kaidah Ushuliyyah
Penggunaan kaidah-kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah hanya dipakai sebagai jalan untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya. Misalnya penetapan hukum amar , nahi dan sebagainya serta penerimaan atau penggalian
dalil-dalil
dhanniyah
seperti
qiyas,
istishhab,
istihsan
dan
sebagainya.[31] Dengan kata lain objek kaidah-kaidah ushul adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya, serta membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan.[32] Oleh karena kaidah-kaidah lughawiyyah berkutat kepada penggalian …
[29] Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Op. Cit., hal. 456-462. [30] ibid . [31] Abdul Hamid Hakim, al Bayan, (Jakarta : Sa’diyah Putra, 1983), hal 5 sebagaimana dikutip oleh Muchlis Utsman, Op. Cit., hal 13. [32] Islamic Science, Kaedah Ushul Fiqhi dalam Penafsiran al Qur-an, http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/11/kaedah-ushul-fiqhi-dalam-penafsiran-al.html.
13
makna hukum yang terdapat dalam nash melalui pendekatan bahasa, maka objeknya menjadi luas. Ia tidak hanya berkutat kepada kaidah lima yang pokok (qawa’id al asasiyyah), akan tetapi seluruh hukum yang ter-istikhraj-kan dari nash-nash yang ada. Berbeda dengan kaidah fiqh, ia merupakan perluasan dan turunan dari panca kaidah yang pokok.
KAIDAH PELETAKKAN LAFAZH UNTUK MAKNA Seperti dalam pembahasan di atas, bahwa kaidah ushuliyyah adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatiakan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya. Berbicara persoalan kebahasaan (ushlub dan tarkib) maka diperlukan mengetahui kaidah-kaidah yang terkait dengan peletakkan lafazh untuk mendapatkan makna, seperti Lafazh ‘Amm dan Khas, Amar dan Nahyi, kaidah yang berkaitan dengan Muthlaq dan Muqayyad , serta Musytarak dan Mu-awwal .
A. Lafazh ‘Amm Dan Khas
1.
Lafazh ‘Amm
Pengertian Lafazh ‘Amm Secara bahasa, ‘Amm berarti umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan secara istilah adalah lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah terte ntu.[32]
Definisi ‘Amm menurut ulama Hanafiyyah :
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna ” Definisi ‘Amm menurut ulama Syafi’iyyah:
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih ” [32] Rahmat Syafei, Op.Cit., hal. 193.
14
Contoh, kata al-Insan yang artinya manusia, berati termasuk setiap jenis manusia tanpa terkecuali.
Lafazh-lafaz Yang Menunjukkan Arti ‘Amm Berdasarkan hasil penelitian terhadap mufradat dan ungkapan (gaya bahasa), dalam bahasa Arab ditemukan bahwa lafazh-lafazh yang
menunjukkan arti ‘Amm adalah sebagai berikut: a) Lafazh Kullu dan Jami’un
“Setiap pemimpin dimintakan pertanggung jawaban tentang yang dipimpinnya.”
“ Allah menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu…” Penjelasan: Siapa
saja
yang menjadi
pemimpin
akan
dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah dan apa saja semua yang ada di bumi dijadikan Allah untuk kepentingan manusia. b) Lafazh mufrad yang di-ma’rifat -kan dengan al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya:
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… ” [QS al Maidah (5):38]
“ Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” [QS an Nuur (24): 2] Penjelasan: Semua yang berzina baik perempuan maupun lelaki wajib didera dan semua yang mencuri baik laki-laki maupun perempuan wajib dipotong tangannya. c) Isim nakirah sesudah
(yang dinafikkan) contoh:
15
“ Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran yang baik…” [QS al Baqarah (2):235] Penjelasan: Bahwasanya tidak berdosa seseorang meminang wanita dengan sindiran yang baik. d) Isim istifham se perti
“ Bilakah
datangnya
,,
,.
allA namriF h:
pertolongan
Allah
ingatlah
sesungguhnya
pertolongan Allah itu amatlah dekat. ” [QS al Baqarah (2):214] Penjelasan: Bahwasanya pertolongan Alloh itu bersifat umum kapan saja dapat diberikan.
Dalalah ‘Amm Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah ‘ amm yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut sebagian ulama ushul (diantaranya Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) dalalah ’amm tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila dikhususkan maka sisa satuan ‘am m juga dalalahnya dugaan. Ulama
ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa ‘am m yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah zhanni (bersifat dugaan).
Pembagian ‘Amm Melalui pengkajian terhadap nash-nash, ‘amm dibagi menjadi tiga macam: a) ‘Amm yang secara pasti bermaksud keumuman.
“ Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rizkinya.” [QS Huud (11):6] b) ‘Amm yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan.
16
“ Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah.” [QS al Imran (3):97] c) ‘Amm yang dikhususkan, yaitu al-‘amm al-muthlaq yang tidak disertai qarinah
yang
meniadakan
kemungkinan
pengkhususannya
atau
ditiadakan dalalah-nya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafazhlafazh ‘amm dan tidak ada qorinah lafazh, akal atau kebiasaan yang bias menentukan keumumannya
kekhususan menjadi
ataupun khusus
keumumannya sampai
ada
sehingga dalil
yang
mengkhususkannya, contoh:
“ Perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu. ” Menurut imam Asy-Syaukani, ‘a mm yang dimaksudkan sebagai
kekhususan adalah ‘a mm yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘a mm itu ialah khusus bukan umum.
2. Lafzh Khas Dan Takhsis (Pengkhususan)
Pengertian Lafazh Khas dan Takhsis Khas merupakan kebalikan dari
‘Amm,
yaitu
lafazh
yang hanya
mengandung satu satuan ( juz’iy yah) makna. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (Penghususan) Jumhur
ulama
sepakat
bahwa
mentakhsis
(mengkhususkan)
atau
mukhashshis (pengkhusus) lafazh yang umum itu boleh, karena pada dasarnya semua ayat-ayat al Qur-an mengandung kebolehan mentakhsis. Beikut macam-macam pengkhususan (mukhashshis), yaitu: 1) Mukhashshish Muttashil (pengkhusus yang bersambung) a. Istitsna (pengecualian), contohnya:
17
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” [QS an Nuur (24):4-5] b. Sifat, contohnya:
“ Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah….”
[QS an Nisa’ (4):92] c. Syarat, contoh;
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. ”
18
[QS al Baqarah (2):180]
Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat. d. Batas, contoh:
“ Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. ” [QS al Baqarah (2):196]
Kalimat “sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji. e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contoh:
“ Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya. ” [QS al Baqarah (2):97] 2) Mukhashshish Munfashil , yaitu pengkhusus yang berada di tempat lain. a. Ayat Al-Qur’an yang lain.
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber‘iddah) tiga kali quru’.” [QS al Baqarah (2): 228] Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri.
Kemudian
ayat
ini
di-takhsis
oleh
dua
ayat
(mukhashshish) yang lain:
“ Dan perempuan- perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya .” [QS ath Thalaaq (65): 4]
19
Mukhashshish kedua,
“ Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. ” [QS al Ahzab (33):49] b. Hadits (men-takhsis al Qur-an dengan hadits), contohnya:
“ Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” [QS al Baqarah (2):275] Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut:
“ Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” [HR. Bukhari]. Dalam riwayat lain disebutkan:
“ Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) di dalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula .” [HR. Muttafaqun ‘alaihi]. c. Ijma’ (men-takhsis al Qur-an dengan Ijma’) , contohnya:
“ Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. ” [QS an Nisa’ (4):11]
20
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki -laki yang berstatus budak. d. Qiyas (men-takhsis al Qur-an dengan Qiyas), contohnya:
“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera. ” [QS an Nuur (24):2] Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS an Nisaa’ (4):25, sbb:
“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.” e. Akal (men-takhsis al Qur-an dengan akal), contohnya:
“ Allah menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” [QS al An’am (6):101] Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diri-Nya sendiri. f. Indera (men-takhsis al Qur-an dengan indera), contohnya:
“Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.” [QS an Naml (27):23] Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.”
21
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq) , adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya:
“ Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …?” [QS al A’raaf (7):163] Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
B. Lafazh Amr Dan Nahyi 1. Lafazh Amr
Pengertian Lafazh ‘Am r Menurut Prof. Muhammad Abu Zhahrah di dalam bukunya menyebutkan bahwa amr ialah perintah dari pihak yang lebih tinggi tingkatannya, kepada pihak yang lebih rendah. Dalam bahasa Arab, bentuk amr adalah dengan menggunakan shighat if’al yang berarti ‘kerjakan’ dan litaf’al yang berarti
‘hendaklah engkau mengerjakan’. Menurut aslinya, bentuk ( shighat ) amr tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain perintah. Sedangkan jika bentuk ( shighat ) amr tersebut dipergunakan untuk menunjukkan selain perintah, seperti untuk membimbing (irsyad ), menakut-nakuti (tahdid ), dan untuk do’a atau penghinaan yang bersifat kiasan (majaz ).[33]
Bentuk-bentuk Lafzh Amr Amr itu mempunyai ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pengambilan atau penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan itu kemudian kita kenal dengan istilah kaidah. Amr mempunyai beberapa kaidah: a) Kaidah pertama adalah al ashlu fil amar lil wujub , artinya yaitu pada dasarnya amr itu menunjukkan wajib. Setiap amr atau perintah itu menunjukkan hukum wajib atau perintah yang pasti, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menunjukkan arti selain wajib (kebalikannya).
[33] www.dzikrullah.com/bpm_23_shalawat.htm.
22
b) Al ashlu fil amar li an Nadb, artinya yaitu pada dasarnya amr itu menunjukkan arti sunnah atau nadb, seperti firman Allah:
“…hendaklah kamu buat perjanjian (menebus diri) dengan mereka (hamba sahaya), jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka …” [QS an Nuur (24):33]. Ketentuan ini bergantung kepada qarinah yang menentukannya. Pendapat ini berdasarkan pada pengertian secara bahasa (lughawi). c) Al ashlu fil amar lil irsyad , artinya yaitu pada dasarnya amr itu menunjukkan arti (petunjuk), seperti firman Allah:
“ Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (hutang) untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya .” [QS al Baqarah (2):282] d) Al ashlu fil amar lil ibahah, artinya pada dasarnya amr itu menunjukkan arti ibahah (mubah), seperti firman Allah:
“ Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar .” [QS al Baqarah (2):187] e) Amr menunjukkan arti tahdid (ancaman). f) Amr menunjuk pada arti ikram (memuliakan). g) Amr menunjukkan pada arti taskhir (penghinaan), sepeti firman Allah:
“Kami berfirman kepada mereka ‘ jadilah kamu kera yang hina’.” [QS al Baqaarah (2):65] h) Amr menunjukkan pada ta'jiz (melemahkan). i) Amr menunjukkan pada arti taswiyah (mempersamakan). j) Amr menunjukkan pada arti doa, atau permohonan seperti firman Allah:
23
“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka .” [QS al Baqarah (2):201] k) Terakhir ada amr yang menunjukkan kepada arti iltimas, yaitu ajakan seperti kata-kata kepada kawan-kawan sebaya ‘kerjakanlah’. Sebagai contoh: tolong ambilkan baju itu, datang lah ke pestaku, …, dll. Pada hakekatnya, amr adalah lafazh yang mutlak yang tidak diberi batas (qayd ), kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan adanya qayd tersebut. Demikian juga dengan cepat atau lambatnya hanya bisa ditetapkan jika ada dalil yang lain. Selain itu, sighat amr an-sich tidaklah menunjukkan atas berulang-ulangnya kewajiban yang diperintahkan, juga tidak mengharuskan mengerjakan kewajiban tersebut secepat mungkin. Berulang-ulangnya kewajiban tersebut adalah karena berulang-ulangnya sebab yang mewajibkan. Begitupun sebaliknya, jika tida ada sebab yang demikian maka kewajiban tersebut tidak berulang-ulang. Yang harus diperhatikan juga yaitu, sebagian dari ketetapan fiqh ialah bahwa suatu kewajiban itu mempunyai sarana-sarana vital yang ada untuk membantu (kelancaran) terlaksananya kewajiban tersebut. Sebagian fuqaha membagi sarana-sarana vital bagi terealisasinya suatu kewajiban ini menjadi dua macam, yaitu: a. Sarana yang ditetapkan oleh syara’ sebagai suatu syarat yang wajib dikerjakan berdasarkan nash yang berdiri sendiri, bukan berdasarkan pada kewajiban yang asal. b. Sarana-sarana vital dimana suatu kewajiban tidak akan terealisir tanpa
adanya sarana tersebut. Sarana ini disebut ’sebab’ yang berupa perbuatan yang dapat dijangkau manusia untuk merealisir kewajiban tersebut. Jadi, hal itu menjadi wajib bukan didasarkan kepada nash tertentu, akan tetapi mengikuti pada kewajiban yang asal.
24
2. Lafazh Nahyi
Pengertian Lafazh Nahyi An-Nahyu (nahi) ialah tuntutan dari Allah SWT kepada manusia yang mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Para ulama berpendapat bahwa nahi merupakan larangan, baik yang harus ditinggalkan (yang haram), atau yang sebaiknya ditinggalkan (yang makruh). Yang menentukan apakah nahi tersebut menunjukkan hukum haram atau makruh sesuai dengan yang dikehendaki syara’ , yaitu qarinah-qarinah yang menjelaskan. Sighat nahi, sebagaimana juga dengan amr , tidak menunjukkan bilangan dari suatu larangan, apakah berlaku sekali, berulang kali atau bahkan selama-lamanya. Sighat nahi juga tidak dibatasi oleh waktu. Sebagian ulama ushul fiqh berpendapat bahwa nahi berlaku sepanjang masa sejak diungkapkannya untuk yang pertama kali, kecuali jika terdapat qayd . Jadi, perbuatan yang dilarang tersebut harus sesegera mungkin untuk ditinggalkan, karena tidak hanya mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang.
Dalil-dalil Nahi Larangan (nahi) dalam beribadah menyebabkan batalnya ibadah tersebut ditunjukkan oleh dalil bahwa menjalankan ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sedangkan menjadi mustahil untuk mendekati Allah apabila dengan suatu cara yang dilarang oleh-Nya. Selain itu, ibadah adalah perintah agama yang datang langsung dari perintah Allah, maka jika Allah melarang suatu perbuatan itu berarti perbuatan tersebut bukan merupakan ibadah dan menjadi ibadah untuk meninggalkannya. Bila perbuatan yang dilarang itu dikerjakan, berarti sama saja dengan mengerjakan suatu perbuatan yang bukan merupakan termasuk dalam
ibadah menurut kacamata syara’. Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa larangan (nahi) dalam
mua’malah tidak menimbulkan batalnya aq ad, selama larangan tersebut tidak menyangkut syarat dan rukun mua’malah yang telah ditetapkan oleh syara’, ialah:
25
a) Hukum wadh’i yang menetapkan sah atau tidaknya suatu aqad dalam
mua’malah yang dimana sangat tergantung pada syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi, selama terpenuhinya seluruh syarat dan rukun yang ada, maka aqad tersebut menjadi sah. b) Aqad dan sejenisnya termasuk dalam kategori adat kebiasaan manusia yang bertujuan untuk mendekatkan diri manusia dan kehidupan mereka kepada dunia, bukan kepada Allah (taqarrub ilallah). Oleh karena itu,
larangan syara’ dalam bermua’malah pada waktu tertentu tidaklah mempengaruhi hasil dari mua’malah tersebut. c) Larangan tidak dapat membatalkan suatu perbuatan, baik dalam ibadah maupun dalam mua’malah. Hal ini dikarenakan bahwa suatu larangan tidak berhubungan dengan sah atau tidaknya suatu perbuatan, tetapi hanya mengandung beberapa maksud dan tujuan. Sedangkan maksud dan tujuan tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan mua’malah.
C. Lafazh Muthlaq Dan Muqayyad 1. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Pengertian Muthlaq Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu batasan yang akan mengurangi jangkauan maknanya secara keseluruhan.[34] Contohnya:
“ Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada-
[34] Shiddiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011. Hal. 186.
26
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” [QS an Nisa’ (4):92]
“ fatahriiru roqobah” yang berarti “memerdekakan seorang hamba sahaya”. Pada kata roqobah yang dimaksud adalah hamba sahaya (budak) secara mutlak, tidak terbatas pada satu atau lebih maupun mukmin atau kafir.
Pengertian Muqayyad Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu yang telah dibatasi baik oleh sifat, syarat dan ghoyah (tujuan). Mengambil contoh di atas, lanjutan ayatnya adalah “fatahriiru roqobah mu’minah” yang berarti “hamba sahaya
yang mukmin”. Kata hamba sahaya tidak lagi mutlak karena telah dibatasi oleh kata mukmin. 2. Hukum Muqayyad dan Mutlaq
Pada dasarnya, hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakkannya. Sebagai contoh adalah kafarat zhihar (perkataan suami kepada istrinya yang menyamakan istrinya dengan ibunya) yaitu memerdekakan hamba sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau dia tidak mampu maka harus member makan 60 orang miskin sebagaimana yang tertuang dalam QS al Mujaadalah (58):3-4.
“orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ”
“ Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak
27
Kuasa (wajiblah atasnya) memberi
Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. ” Sedangkan untuk lafazh mutlaq tidak boleh lagi dikatakan mutlaq jika telah ada yang membatasinya. Seperti contoh lafazh mutlaq di atas bahwa ketika telah ada keterangan yang dimerdekakan adalah hamba sahay yang mukmin, maka tidak boleh dinyatakan cukup hamba sahaya, baik mukmin maupun kafir. Adapun lafazh muqayyad dapat dihapuskan hokum mmuqayyad-nya apabila dihapuskan batasannya yang biasanya karena dihadapkan kepada dalil lain. Sebagai contoh, keharaman menikahi anak tiri dengan alasan, pertama, anak tiri dalam peliharaan bapak tirinya dan kedua, ibu yang dinikahi oleh bapak tirinya telah dicampuri. Alasan kedua meupakan batasannya, maka apabila bapak tiri belum mencampuri ibunya, diperbolehkan menikahi anak t irinya. Dalam dalil syara’ sering ditemui dalil yang memiliki hukum ganda, di satu tempat menunjukkan mutlaq dan di tempat lain menunjukkan muqayyad. Maka, apakah harus dihukumi dengan mutlaq atau muqayyad atau bahkan masing-masing berdiri sendiri. Untuk menjawabnya, terdapat empat kaidah dalam hal ini, yaitu: 1. Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama. Contoh:
“Haram bagi kamu makan bangkai dan darah…” [QS al Ma’idah (5):3], dan
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkanbagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir…” [QS al An’am (6):145] Dari kedua ayat di atas didapat bahwa terdapat keharaman atas memakan darah (mutlaq), yaitu darah yang mengalir (muqayyad ), sehingga hati atau limpa (yang tidak mengalir) menjadi halal. 2. Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.
28
Sebagai contoh, antara kafarat membunuh dengan tidak sengaja dengan kafarat zhihar adalah sama, yaitu memerdekakan hamba sahaya. Namun, untuk kafarat zhihar tidak dijelaskan apakah hamba sahaya mukmin atau tidak sedangkan untuk kafarat membunuh tanpa sengaja dijelaskan hamba sahaya mukmin. Maka, menurut ulama Syafi’iyah hamba sahaya untuk kafarat zhihar juga harus mukmin, sedangkan menurut ulama Hanafiyah cukup hamba sahaya, baik mukmin maupun non-mukmin. 3. Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya. Contoh:
“Hai orang -orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, …” [QS al Ma’idah (5):6), dan
“Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” [QS an Nisaa’ (4):43] Sama-sama membasuh tangan saat berwudhu maupun saat bertayamum, namun untuk wudhu harus membasuh hingga siku. Pengamalan secara masing-masing karena tidak saling membatasi. 4. Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda. Kafarat memotong tangan bagi pencuri adalah mutlaq. Sedangkan membasuh tangan hingga siku saat berwudhu adalah muqayyad . Karena sebab dan hukumnya berbeda, maka masing-masing ditempatkan pada posisinya mas ingmasing.
29
D. Lafazh Musytarak Dan Mu-awwal 1. Pengertian Musytarak dan Mu-awwal
Pengertian Musytarak Pengertian Musytarak menurut Muchlis Usman, yang merujuk kepada Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i, yaitu lafazh yang mempunyai dua makna atau lebih. Lawannya adalah muradif atau lafazh yang memiliki satu makna.[35]
Pengertian Musytarak Muawwal adalah lafazh yang dikeluarkan dari makna dhohir -nya pada makna lain yang mengkhendakinya berdasarkan bukti yang menunjukkan demikian, serta memungkinkan adanya rajih. [36]
2. Penggunaan Lafal Musytarak
Jumhur ulama dari golongan Syafi’i memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikhendaki atau berbagai makna. Sebagai contoh:
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia.” [QS al Hajj (22):18] Terdapat dua makna sujud, yaitu menghadapkan wajah ke tanah dan kepatuhan (inqiyad ). Penggunaan kedua makna (musytarak ) ini diperbolehkan sesuai dengan porsinya.
3. Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan Mu-awwal
Kaidah-kaidah ayng berkaitan dengan muawwal adalah sebagai berikut: 1. Masalah Furu’iyah dan Takwil [35] Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 1996. hal.64. [36] Ibid , hal. 67.
30
Jumhur ulama sepakat bahwa masalah furu’iyah dapat ditakwilkan. 2. Masalah Aqoid , Ushuluddin, atau Ketuhanan dan Takwil Dalam kaidah masalah yang esensi ini, para ulama berbeda pendapat dalam penakwilan, antara lain: a. Golongan Musyabbahah tidak mengkhendaki adanyatakwil pada masalah aqoid . Contoh:
“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka…” [QS al Fath (48):10] Menurut golongan ini, pada ayat tersebut selain makna yang tertulis maka tidak diperbolehkan. b. Golongan Salaf ( Hanbaliyyah) memperbolehkan adanaya takwil pada masalah esensi namun pada akhirnya penakwilan itu diserahkan kepada Allah.
Contoh: Bagi mazhab salaf, kata “tangan” dalam QS Al -Fath ayat 10 tetap diartikan tangan, namun kriterianya apakah seperti tangan manusia ataukah tangan khusus dimiliki Allah, semuanya diserahkan kepada Allah. c. Golongan Mutakallimin memperbolehkan adanya takwil pada masalah esensi. Contoh: Makna kata yadun (tangan) di atas adalah kekuasaan, yakni kekuasaan Allah di atas kekuasaan-kekuasaan mereka.
KESIMPULAN
Kaidah bahasa hukum merupakan istilah lain dari qawaa’ id al lughah al ahkaam. Kaidah bahasa atau kaidah lughawiyyah merupakan istilah lain bagi kaidah ushuliyyah atau kaidah istinbathiyah. Kaidah ushuliyyah adalah kaidahkaidah yang berkaitan dengan metode penggalian hukum dengan memperhatikan unsur kebahasaan, baik ushlub-ushlub-nya maupun tarkib-nya.. Ia adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum, yang umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasan. Metode perolehan kaidah ushuliyyah dapat kita bagi menjadi tiga, yaitu metode mutakallilim, Ahnaf dan konvergensi. Perbedaan metode perolehan
31
menjadi batasan adanya aliran-aliran dalam ushul fiqh. Metode mutakallimin adalah metode yang dilakukan secara deduktif, sedanagkan metode Ahnaf ( Hanafiyah) ditempuh melalui sistem penyusuran kaidah-kaidah dan bahasan bahasan ushuliyah
yang telah diyakininya bahwa para imamnya telah
menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyyah tersebut. Metode Ahnaf bercorak induktif. Metode campuran biasa disebut juga dengan metode konvergensi atau thariqat al jam’an. Yaitu metode penggabungan antara metode mutakallimin dan metode hanafiyah, yakni dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan aplikasinya terhadap masalah fiqh far’iyyah dan relevansinya terhadap kaidah-kaidah tersebut. Dalam mempergunakan kaidah-kaidah Ushuliyyah tidak yang terikat kepada unsur kebahasaan, maka perlu diketahui pula tentang Kaidah Peletakkan Lafazh untuk mendapatkan Makna. Misalnya sebuah lafazh dapat dilihat apakah
bersifat ‘Amm (umum) atau Khas (khusus), apakah termasuk Amr (perintah) atau Nahyi (larangan), apakah maknanya mutlaq atau terbatas, apakah memiliki lebih dari satu makna atau sudah memiliki makna khusus.
32