BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Trauma adalah penyebab kematian terbanyak pada dekade 3 kehidupan diseluruh kota besar didunia dan diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma toraks di Amerika. Sedangkan insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan 12 penderita per seribu populasi per hari dan kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25% . Dan hanya 10-15% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian. Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam. Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma toraks lebih tinggi (15.7%) dari pada yang tidak disertai trauma toraks (12.8%) Pengelolaan trauma toraks, apapun jenis dan penyebabnya tetap harus menganut kaidah klasik dari pengelolaan trauma pada umumnya yakni pengelolaan jalan nafas, pemberian ventilasi dan kontrol hemodinamik .
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan data-data di atas bagaimana konsep kegawatdaruratan pada truma thorak ? 1. Apa definisi trauma thorax? 2. Apa saja jenis-jenis trauma thorax? 3. Bagaimana pemeriksaan primary survey pada trauma thorax? 4. Bagaimana pemeriksaan secondary survey pada trauma thorax?
1
5. Bagaimana penatalaksanaan trauma thorax?
1.3 Tujuan 1. Tujuan umum Untuk mengetahui bagaimana konsep kegawatdaruratan pada trauma thorak. 2. Tujuan khusus a. Definisi trauma thorax b. Jenis-jenis trauma thorax c. Pemeriksaan primary survey pada trauma thorax d. Pemeriksaan secondary survey pada trauma thorax e. Penatalaksanaan trauma thorax
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Trauma Thorax Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan (Suzanne & Smetzler, 2001) Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala-gejala umum dan rancu (Brunner & Suddarth, 2002).
2.2 Jenis-Jenis Trauma Thorax Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul. 1. Trauma tembus (tajam) a. Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma b. Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru c. Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi 2. Trauma tumpul a. Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
3
b. Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries. c. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru. d. Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi Berdasarkan mekanismenya terdiri dari : 1. Akselerasi Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang
menerima
gaya
perusak
dari
trauma
tersebut.
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru. 2. Deselerasi Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut. 3. Torsio dan rotasi Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tibatiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau porosnya.
4
4. Blast injury Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.
2.3 Pemeriksaan Primary Survey Pada Trauma Thorax Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation. 1. Open Pneumothorax Dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa, sehingga ada hubungan udara luar dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada yang mengisap pada setiap s etiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini lebih besar daripada 1/3 diameter trachea, maka pada inspirasi, udara lebih mudah melewati lubang pada dinding dada dibandingkan melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat. Dengan demikian maka pada open pneumothorax, usaha pertama adalah menutup lubang pada dinding dada ini, sehingga open pneumothorax menjadi close pneumothorax (tertutup). Harus segera ditambahkan bahwa Apabila selain lubang pada dinding dada, juga ada lubang pada paru, maka usaha menutup lubang ini dapat mengakibatkan terjadinya tension pneumothorax. Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah: a. Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3 sisinya, sedangkan pada sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus dilapisi zalf/sofratulle pada sisi dalamnya supaya kedap udara) b. Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka harus sering dilakukan evaluasi paru. Apabila ternyata timbul tanda tension pneumothorax, maka kasa harus dibuka pada luka yang sangat besar, maka dapat dipakai palastik infuse yang digunting sesuai ukuran.
5
2. Tension Pneumothorax Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita
dengan
kerusakan
pada
pleura
viseral.
pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari
Tension
penumotoraks
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
6
3. Hematothorax massif Hematothorax massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Jika pada awalnya awaln ya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus di sadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. 4. Flail Chest Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan
7
gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan
benar-benar
optimal.
Terapi
definitif
ditujukan
untuk
mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati
8
dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi. 5. Temponade Jantung Tamponade jantung adalah kompresi jantung disebabkan oleh darah atau cairan yang terakumulasi di ruang antara miokardium (otot jantung) dan pericardium (lapisan luar jantung). Ini merupakan keadaan darurat medis,dengan meningkatnya produksi cairan sehingga akan menekan jantung lebihkuat dan proses pengisian tidak normal. Jika tidak diobati, ventrikel
akan
Etiologinya
terganggu,
mengakibatkan
bermacam-macam
yang
paling
shock
dan
kematian.
sering
adalah
maligna,
perikarditis, uremia dan trauma, perdarahan ke dalam ruang pericardial akibattrauma, operasi, atau infeksi, pemasangan pacu jantung, tuberculosis, dan penggunaan antikoagulan. Patofisiologi Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi pericardium menyebabkan hambatan serius aliran darah ke jantung ( gangguandiastolik ventrikel ). Penyebab tersering adalah neoplasma, dan uremi. Neoplasma menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal pada otot jantung. Sehingga terjadi hiperplasia sel yang tidak terkontrol, yang menyebabakan
pembentukan
massa
(tumor).
Hal
ini
yang
dapatmengakibatnya ruang pada kantong jantung (perikardium) terdesak sehingga terjadi pergesekan antara kantong jantung (perikardium) dengan lapisan paling luar jantung (epikardium). Pergesekan ini dapat men yebabkan terjadinya peradangan pada perikarditis sehingga terjadi penumpukan cairan pada pericardium yang dapat menyebakan tamponade jantung. Uremia juga dapat menyebabkan tamponade jantung. Dimana orang yang mengalami uremia,
didalam
darahnya
terdapat
toksik
metabolik
yang
dapat
menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi terjadi pada perikardium). Manifestasi klinis dari tamponade jantung adalah takikardi, peningkatan volume intravascular, peningkatan tekanan vena jugularis.
9
2.4 Pemeriksaan Secondary Survey Pada Trauma Thorax Pemeriksaan secondary survey merupakan suatau kegiatan mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe) biasanya dilakukan setelah pemeriksaan primer (primary survey) dan setelah memulai resusitasi. Pemeriksaan sekunder dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin tidak diidentifikasi sebagai masalah yang mengancam jiwa (masalah-masalah yang tidak mengharuskan untuk dilakukan perawatan atau penanganan segera agar korban selamat, tetapi mungkin mengancam jiwa jika tidak ditangani) dan juga untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut. 1. Fraktur Iga Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki
fungsi
untuk
memberikan
perlindungan
terhadap
organ
didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulangrawan yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulangcosta. Fraktur
costa
akan
menimbulkan
rasa
nyeri,
yang
mengganggu
prosesrespirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai. Diperlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut..Dari keduabelas pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang
mengalami
fraktur
oleh
karena
sangat
labil.
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :
10
a. Disebabkan trauma 1) Trauma tumpul Penyebab mengakibatkan
trauma adanya
tumpul
fraktur
costa
yang
sering
antara
lain
:
Kecelakaan lalulintas,kecelakaan pada pejalan kaki ,jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian. 2) Trauma Tembus Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa luka tusuk dan luka tembak b. Disebabkan bukan trauma Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur, seperti pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping ataupun dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma costa, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa. Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai intercostalis, pleura visceralis, paru maupun
jantung,
sehingga
dapat
mengakibatkan
timbulnya
hematotoraks, pneumotoraks ataupun laserasi jantung. 2. Kontusio Paru Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia
11
bermakna (PaO2 < 65 mmHg at au 8,6 kPa kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu. 3. Ruptur Aorta Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum. Hanya kira-kira 15% dari penderita trauma toraks dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila didapatkan: a. Mediastinum yang melebar b. Fraktur iga 1 dan 2 c. Trakea terdorong ke kanan d. Gambaran aorta kabur e. Penekanan bronkus utama kiri f. Gambaran pipa lambung (ngt) pada esofagus yang terdorong ke kanan. Ruptur aorta disebabkan kekuatan deselerasi yang besar ketika terjadi benturan dan kemudian kekuatan tersebut didistribusikan secara tidak merata di sepanjang aorta, mengingat pelekatan aorta pada struktur interna. Trauma akselerasi-deselerasi vertikal seperti jatuh dapat menyebabkan robeknya aorta asendens dengan tamponade perikardial akut. Mekanisme yang menyebabkan ruptur adalah:
12
a. Shear forces dalam hubungannyadengan segmen mobile arkus aorta dan aorta torakalis desendens (mis titik fiksasi padaligamentum arteriosum) b. Kompresi aorta dan pembuluh darah besar lainnya padakolumna vertebralis c. Hiperekstensi
intraluminal
yang
cukup
besar
selama
momentubrukan. 4. Ruptur Diagfragma Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya disertai trauma lain, trauma thorak dan abdomen, dibawah ini merupakan organorgan yang paling sering terkena bersamaan dengan ruptur diafragma : (1) fraktur pelvis 40%, (2) ruptur lien 25%,, (3) ruptur hepar 25%, (4) ruptur aorta pars thorakalis 5-10%. Beberapa
ahli
membagi
ruptur
diafragma
berdasarkan
waktu
mendiagnosisnya menjadi : a. Early diagnosis 1) Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hanpir 50% pasien ruptur diafragma tidak terdiagnosis dalam 24 jam pertama 2) Gejala yang mencul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan 3) Pemeriksaan fisik yang menudukung : adanya suara bising usus di dinding thorak dan perkusi yang redup di dinding thorak yang terkena b. Delayed diagnosis Bila tidak terdiagnosa dalam 4 jam pertama, biasanya diagnosa akan
muncul
beberapa
bulan
bahkan
tahun
kemudian
Sekitar 80-90% ruptur diafragma terjadi akibat kecelakaan sepeda motor. Mekanisme terjadinya ruptur berhubungan dengan perbedaan tekanan yang timbul antara rongga pleura dan rongga peritoneum. Trauma dari sisi lateral menyebabkan ruptur diafragma 3 kali lebih sering dibandingkan trauma dari sisi lainnya oleh karena langsung dapat menyebabkan robekan diafragma pada sisi ipsilateral. Trauma
13
dari arah depan menyebabkan peningkatan tekan intra abdomen yang mendadak sehingga menyebabkan robekan radier yang panjang pada
sisi
posterolateral
diafragma
yang
secara
embriologis
merupakan bagian terlemah. 75 % ruptur diafragma terjadi disisi kiri, dan pada beberapa kasus terjadi pada sisi kanan yang biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat dan biasanya menyebabkan gangguan hemodinamik, hal ini disebabkan oleh karena letak hepar disebelah kanan yang sekaligus menjadi suatu proteksi. Pada trauma kendaraan bermotor arah trauma menentukan lokasi injuri di kanada dan Amerika Serikat biasanya yang terkena adalah sisi kiri khususnya pada pasien yang menyetir mobil, sedangkan pada penumpang biasanya yang terkena sisi kanan. Pada trauma tumpul biasanya menyebabkan robekan radier pada mediastinum dengan ukuran 5 – 15 cm, paling sering pada sisi posterolateral, sebaliknya trauma tembus menyebabkan robekan linear yang kecil dengan ukuran kurang dari 2 cm dan bertahuntahun kemudian menimbulkan pelebaran robekan dan terjadi herniasi. Berikut ini mekanisme terjadinya ruptur diafragma : (1) robekan dari membran yang mengalami tarikan (stretching ), (2) avulsi diafragma dari titik insersinya, (3) tekanan mendadak pada organ viscera yang diteruskan ke diafragma. 5. Perforasi Eosofagus Ruptur esofagus (Boerhaave syndrome) atau perforasi esofagus adalah pecahnya dinding esofagus karena muntah-muntah. 90 % penyebab ruptur esofagus adalah iatrogenik, yang biasanya diakibatkan oleh instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau pembedahan.
Dan
10%nya
disebabkan
oleh
muntah-muntah.
Ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan intraesophageal dan tekanan negatif intrathoracic. Penyebab lain dari ruptur esofagus meliputi meliputi trauma tajam, pil esofagitis, Barrett’s ulkus,
14
infeksi ulkus pada pasien dengan AIDS, dan pelebaran striktur esofagus. Sebagian besar kasus ruptur esofagus, terjadi pada bagian posterolateral kiri dan meluas sampai beberapa sentimeter ke arah distal esofagus. Keadaan ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan berakibat fatal fat al pada ketiadaan terapi. Kadang-kadang gejala non spesifik dapat
menyebabkan
keterlambatan
dalam
diagnosis
dan
dapat
memberikan hasil yang buruk. Penyakit esofagus yang sudah ada sebelumnya bukan merupakan prasyarat untuk ruptur esofagus, tapi memberikan kontribusi pada peningkatan angka kematian ruptur esofagus tersebut. Ruptur esofagus yang disebabkan oleh trauma akibat benda tajam masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Amerika Serikat dan dunia, meskipun berbagai pendidikan dan peraturan telah diberikan sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya kasus ini. Penyebab
ruptur
esofagus
umumnya
disebabkan
oleh
trauma
tajam/tembus, antara lain: a. Kerusakan iatrogenic dari struktur esofagus atau trauma dari luar b. Peningkatan tekanan intraesofagus disertai muntah hebat c. Penyakit esofagus seperti esofagitis korosif, esophageal ulcer dan neoplasma. Letak ruptur tergantung dari kasus ruptur esofagus. Ruptur esofagus biasanya terjadi terja di di pharing atau esefagus bagian bawah tepat di dinding posterolateral di atas diafragma. Gejala ruptur esofagus juga berupa nyeri dada yang hebat pada saat menelan atau bernapas. Udara yang masuk ke mediastinum dapat menuju ke leher dan dapat menyebabkan emfisema subkutaneus atau ke dalam
rongga
pleura
dan
dapat
menyebabkan
pneumothorak.
Ruptur esofagus juga bisa disebabkan oleh varises esofagus. Varises esofagus bisa menyebabkan hematemesis. Pada kasus ini hematemesis dapat berakibat fatal untuk penderita.
15
2.5 Penatalaksanaan Trauma Thorax 1. Bullow Drainage / WSD Pada trauma toraks, WSD dapat berarti: a. Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock. b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya. c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik. 2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya : a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang. Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien. b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter. c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan : 1) Penetapan slang. Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi. 2) Pergantian posisi badan. Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil
16
mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera. d. Mendorong berkembangnya paru-paru. a. Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang. b. Latihan napas dalam. c. Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem. d. Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi. e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction. Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan. f.
Suction harus berjalan efektif Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi. 1) Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah. 2) Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang terle ntang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal mis al : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage. 1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat. 2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage. 3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
17
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril. 5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja dirisendiri, dengan memakai sarung tangan. 6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll. h. Dinyatakan berhasil, bila : 1) Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi. 2) Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage 3) Tidak ada pus dari selang WSD.
18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Trauma thorax dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa sehingga ada hubungan udara luar dan dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup, Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap
pada
setiap
inspirasi/sucking
chost
woundl
Menghadapi pasien dengan trauma toraks, triase pertama adalah evaluasi terhadap fungsi kardio-pulmoner secara sangat cermat dan teliti. Bila telah dapat ditegakkan “Assesment” kardio kardio pulmoner dan telah dilaksanakan tindakan penanggulangan kegawat daruratan medis utama, perlu dilakukan “Assesment” kerangka dan rongga toraks secara seksama.
3.2 Saran Diharapkan mahasiswa menguasai teknik pemeriksaan fisik karena penguasaan ilmu dan teknik pemeriksaan fisik dada akan sangat menunjang kualitas hasil pertolongan yang diberikan.
19
DAFTAR PUSTAKA Brunner & Suddarth.2002. Keperawatan Keperawatan Medikal Bedah volume volume 2.Jakarta:EGC 2. Jakarta:EGC Kartikawati,Dewi. 2010. Dasar 2010. Dasar Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Salemba Medika
20