TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEWASA DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
Dosen Pembimbing : Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes.
Disusun Oleh : Kelompok V AJ 2 – 2 – B20 B20 : Sofiyanti Normalinda B.
(131711123014) (131711123014)
Siska Nurul Fauziah
(131711123020) (131711123020)
Novy Loudoe
(131711123034) (131711123034)
Pahlevi Betsytifani
(131711123051) (131711123051)
Hasanudin
(131711123072)
Miftakhul Janah
(131711123075) (131711123075)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien Dewasa dengan Gangguan Sistem Perkemihan ” dengan tepat waktu. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Ibu Dr. Tintin Sukartini, S.Kp., M.Kes. selaku dosen selaku dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
2.
Teman-teman yang membantu penyelesaian makalah ini secara langsung maupun tidak langsung
yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Baik dalam penyajian materi, teknik penulisan, dan lain sebagainya. Kami sebagai penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini, serta kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.
Surabaya, 13 April 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1 : PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
3
C. TUJUAN PENULISAN
3
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN
4
B. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)
11
C. KONSEP BENIGNA PROSTAT PROSTAT HIPERPLASIA HIPERPLASIA (BPH)
34
D. KONSEP INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
58
BAB 3 : KASUS A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN
78
GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUP FATMAWATI B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN
98
BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUP FATMAWATI BAB 4 : SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN
123
B. SARAN
124
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR PUSTAKA
Alam, S., & Hadibroto, I. 2008. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Ilmiah, Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan, W.A., et al. 2013. Koda- Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Pennsylvania, United States of America. Doenges, M.E. 2000 . Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi ketiga).
Jakarta: EGC. Moeljono, F.L., Ramatillah D.L., Eff, A.R., 2014, Treatment of the Chronic Kidney Disease (CKD) Patient in the PGI Hospital Cikini Jakarta, International Journal of Pharmacy Teaching & Practices , 5;1105-1111.
Murphree, D.D. & Thelen, S.M., 2010. Chronic Kidney Disease in Primary Care . Journal of the American Board of Family Medicine, Vol. 23 No. 4. Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika. NKF (National Kidney Fondation). 2013. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 1-4, National Kidney Fondation. Inc, New York.
Schwinghammer, T.L., 2012a, Dyslipidemia, dalam Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., DiPiro, C.V., Pharmacotherapy Handbook, 8th edition, 356-413, McGraw-Hill, New York. Smeltzer, Suzanne & Bare, Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah “Brunner & Suddarth”. Ed.8. Jakarta: EGC
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem perkemihan merupakan sistem pengeluaran zat-zat metabolisme tubuh yang tidak berguna lagi bagi tubuh dan harus di keluarkan (dieliminasi) dari dalam tubuh karena dapat menjadi racun. Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesica urinaria dan uretra yang menyelenggarakan serangkaian proses untuk tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, dan urine. Apabila terjadi gangguan pada sistem perkemihan maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang sangat serius dan komplek. Gangguan yang terjadi pada sistem perkemihan antara lain seperti gagal ginjal kronik, benigna prostat hiperplasia (BPH) dan infeksi saluran perkemihan (ISK). Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau
yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan pada ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah, dengan ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi glomerulus yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009). Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin( Aulawi, 2014). Infeksi saluran kemih merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme di dalam saluran kemih manusia. Saluran kemih manusia merupakan organ-organ yang bekerja untuk mengumpul dan menyimpan urin serta organ yang mengeluarkan urin dari tubuh, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua (Sukandar, 2006).
Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti di Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing-masing 0,3%. Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan ke dua setelah penyakit batu saluran kemih, Secara umum diperkirakan hampir 50% pria Indonesia menderita BPH, jika dilihat dari 200 juta lebih rakyat Indonesia maka dapat di perkirakan sekitar 2,5 juta pria yang berumur lebih dari 60 tahun menderita BPH (Purnomo, 2008). Infeksi saluran kemih di Indonesia dan prevalensinya masih cukup tinggi, menurut perkiraan Departemen kesehatan RI, jumlah penderita ISK di Indonesia adalah 90-100 kasus per 100.000 penduduk pertahunnya atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun (Depkes, RI, 2014). Pasien dengan PGK memiliki berbagai macam komplikasi seiring dengan meningkatnya derajat (stage) PGK. Komplikasi tersebut antara lain dislipidemia, hiperkalemia, asidosis metabolik, anemia, dan gangguan tulang dan mineral (Walt et al., 2015). Selain itu, pasien dengan PGK juga memiliki beberapa kondisi komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, gagal jantung, obstruksi saluran kemih, dan lain sebagainya (KDOQI, 2002). Penyakit yang lebih dari satu pasti akan mengarah pada penggunaan beberapa obat yang sering disebut dengan polifarmasi (Nobili et al., 2011). Polifarmasi tersebut dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya drug related problems (DRPs) (Viktil et al., 2006). Mengingat akan hal itu, penulis membuat makalah mengenai 3 kasus tersebut dengan judul “Asuhan keperawatan pada pasien dewasa dengan kasus gangguan sistem perkemihan”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi fisiologi sistem perkemihan? 2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik (GGK)? 3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat hiperplasia (BPH)?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan infeksi saluran perkemihan (ISK)? 5. Bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik? 6. Bagaimana contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien benigna prostat hiperplasia ?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan anatomi fisiologi sistem perkemihan. 2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik (GGK). 3. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan benigna prostat hiperplasia (BPH).
4. Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan infeksi saluran perkemihan (ISK). 5. Menjelaskan contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik. 6. Menjelaskan contoh kasus asuhan keperawatan pada pasien benigna prostat hiperplasia .
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN 1. Definisi
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
2. Susunan Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan terdiri dari: dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.
a. Ginjal (Renal) Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke -3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.
Fungsi ginjal : 1) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun, 2) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan, 3) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan 4) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak. Fascia Renalis terdiri dari : 1) Fascia (fascia renalis), 2) Jaringan lemak peri renal, dan 3) kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat dengan erat pada permukaan luar ginjal Struktur Ginjal Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal.
Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.
Potongan membujur ginjal
Jaringan ginjal, warna biru menunjukkan satu tubulus
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari : Glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius.
Proses Pembentukan Urin Tahap pembentukan urin : 1) Proses Filtrasi di glomerulus Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus. 2) Proses Reabsorbsi Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat
bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis. 3) Proses sekresi. Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar. Pendarahan Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang menjadi arteria interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi arteriolae aferen glomerulus yang masuk ke gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut arteriolae eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferior. Persarafan Ginjal Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. b. Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari : 1) Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa) 2) Lapisan tengah lapisan otot polos 3) Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. c. Vesika Urinaria (Kandung Kemih) Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari: 1) Lapisan sebelah luar (peritoneum). 2) Tunika muskularis (lapisan berotot). 3) Tunika submukosa. 4) Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). d. Uretra Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari : 1) Urethra pars Prostatica 2) Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa) 3) Urethra pars spongiosa. Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai saluran ekskresi.
Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan: 1) Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria. Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup. 2) Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf. 3) Lapisan mukosa.
3. Urin (Air Kemih)
a. Sifat fisis air kemih, terdiri dari: 1) Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan dan faktor lainnya. 2) Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh. 3) Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diit obat-obatan dan sebagainya. 4) Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak. 5) Berat jenis 1,015-1,020. 6) Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diit (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam). b. Komposisi air kemih, terdiri dari: 1) Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air. 2) Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan kreatinin. 3) Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat. 4) Pagmen (bilirubin dan urobilin). 5) Toksin. 6) Hormon.
4. Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu : a. Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang batas (hal ini terjadi bila telah tertimbun 170-230 ml urin), keadaan ini akan mencetuskan tahap kedua. b. Adanya
refleks
saraf
(disebut
refleks
mikturisi)
yang
akan
mengosongkan kandung kemih. Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang) Sebagian besar pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di
pelajari “latih”. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis: impuls menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi mikturisi (normal: tidak nyeri). Ciri-ciri urin normal : a. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk. b. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan. c. Baunya tajam. d. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
B. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) 1. Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun) dengan defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan sehingga ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal (Price & Wilson, 2005). Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang progresif dimana laju filtrasi glomerulus < 60 ml/ min/ 1,73 m² dan atau kerusakan ginjal meliputi albuminuria persisten dengan ditemukannya kadar albumin urin >30 mg/ gram pada kreatinin urin ( Levey, 2005 & National Kidney Disease Education Program (NKDEP), 2011).
2. Tahapan Penyakit GGK National Kidney Foundation (2013) mengembangkan kriteria gagal ginjal
kronik sebagai berikut : a. Tahap 1: normal GFR ≥ 90 ml/ menit/ 1,73 m² dan albuminuria persist en b. Tahap 2: GFR antara 60-89 ml/ menit/ 1.73 m²
c. Tahap 3: GFR antara 30-59 ml/ menit/ 1,73 m² d. Tahap 4: GFR antara 15-29 ml/ menit/ 1,73 m² e. Tahap 5: GFR < 15 ml/ menit/ 1,73 m² atau stadium akhir penyakit gagal ginjal.
3. Etiologi National Kidney Foundation (2013) menyatakan, terdapat dua
penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik yaitu diabetes mellitus dan hipertensi. Kondisi lain yang dapat mempengaruhi terjadinya gagal ginjal adalah : a. Glomerulonefritis, sekelompok penyakit yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada unit penyaringan ginjal. b. Penyakit keturunan (herediter) , seperti penyakit ginjal polikistik, yang menyebabkan kista besar terbentuk dalam ginjal dan merusak jaringan disekitarnya. Malformasi yang terjadi pada bayi berkembang didalam Rahim ibunya. Misalnya, penyempitan dapat terjadi yang mencegah aliran normal urine dan menyebabkan urine mengalir kembali ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan dapat merusak ginjal. c. Lupus dan penyakit lainnya yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. d. Obstruksi yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor, atau kelenjar prostat membesar pada laki-laki. e. Infeksi saluran kencing berulang. Faktor risiko gagal ginjal kronik ( National Kidney Foundation 2013) yaitu pada penderita diabetes atau hipertensi, riwayat penyakit ginjal dalam keluarga, dan berumur > 50 tahun. Penyebab potensial penyakit gagal ginjal kronik (Murphree, sarah & Thelen, 2010) adalah: diabetes mellitus, hipertensi,
obat-obatan
yang
bersifat
nefrotoksik,
Systemic
lupus
erythematous (SLE), nefropati HIV, congestive heart failure (CHF),
sindrom genetic, sindrom hepatorenal, nefrolitiasis, Benign Prostastic Hypertrophy (BPH), dan glomerulonephritis .
4. Manifestasi Klinik
Pasien akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala, keparahan kondisi bergantung kepada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien (Baughman, DC, Hackley, JC, 2000) : a. Manifestasi Kardiovaskuler: hipertensi, gagal ginjal kongesif, edema pulmonal, perikarditis. b. Gejala- gejala dermatologis: xerosis, gatal-gatal hebat (pruritus): serangan uremik tidak umum karena pengobatan dini dan agresif. c. Gejala-gejala gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, cegukan, penurunan saliva dan haus. d. Gejala-gejala neuromuskular: perubahan tingkat kesadaran, kacau mental, tidak dapat berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang. e. Perubahan hematologis: kecenderungan perdarahan. f. Keletihan, letargik, sakit kepala, kelemahan umum, g. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernapasan menjadi kusmaul, dan terjadi koma.
5. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM (Wilson, 2005). Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide , prostaglandin dan glukagon.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis (Hendromartono, 2009). Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal (Wilson, 2005). Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).
6. WOC
7. Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain : a. Anemia Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi gangguan
pada
produksi
hormon
eritropoietin
yang
bertugas
mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa ( baal) pada kaki dan tangan. b. Osteodistrofi ginjal Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi, akan terjadi pengendapan garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatic) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan. c. Gagal jantung Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita PGK dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular hypertrophy /LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan
melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal). d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.
Selain
akibat
gangguan
sistem
endokrin
(yang
memproduksi hormon testosteron untuk merangsang hasrat seksual (libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab utama gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.
8. Penatalaksanaan
Menurut Renal Resource Centre (2010), terdapat tiga pilihan pengobatan bagi penderita gagal ginjal, yaitu: a. Dialisis (hemodialysis atau peritoneal dialysis) Dialisis menghilangkan produk-produk limbah dan kelebihan cairan dari darah menggunakan membran semipermeabel. Ini adalah pengobatan kronis dan tidak menyembuhkan gagal ginjal. Ada dua bentuk dialisis: hemodialisis dan peritoneal dialisis 1) Hemodialisis Hemodialisis dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Akses pengobatan sirkulasi melalui dua jarum. Darah mengalir berkali-kali melalui ginjal buatan. Ini terdiri dari ribuan serat berongga, terbuat dari membran semi-permeabel. Pengobatan biasanya dilakukan selama empat sampai enam jam setidaknya tiga kali per minggu. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah setelah pelatihan khusus dari durasi setidaknya enam sampai delapan minggu. 2) Peritoneal dialysis Perawatan ini dilakukan dengan menjalankan cairan melalui tabung ke dalam dan kemudian keluar dari rongga perut. S elaput rongga perut (peritoneum) bertindak sebagai membran semi-permeabel untuk memisahkan cairan yang mengalir dari dari rongga perut. Kotoran
keluar melalui membran dan masuk ke cairan, yang kemudian dikeringkan setelah sekitar enam jam "waktu tinggal". dengan peritoneal dialisis, tidak perlu menggunakan jarum untuk mengakses aliran darah, hal ini dilakukan setiap hari di rumah dan merupakan pengobatan kronis. dan tidak menyembuhkan gagal ginjal. Hal ini dapat dilakukan pada siang hari sebagai ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) atau pada malam hari sebagai dialisis peritoneal otomatis (APD). Pelatihan dialisis peritoneal membutuhkan waktu satu sampai dua minggu. b. Transplantasi ginjal Transplantasi ginjal adalah proses dimana ginjal dipindahkan dari donor hidup ataupun yang sudah meninggal, dan ditransplantasikan ke penerima yang cocok. Transplantasi kadang-kadang dapat terjadi sebelum dialysis dimulai (pre emptive) jika donor hidup tersedia. c. Perawatan konservatif Perawatan konservatif disebut sebagai manajemen medis atau perawatan penyakit ginjal stadium akhir. Ini memungkinkan penyakit berjalan secara alami dan berfokus pada mengobati gejala. Perawatan dialisis tidak digunakan. Pengobatan bergantung pada manajemen obat dan diit. seperti dialisis dan transplantasi, tim kesehatan juga akan mengngatasi masalah psikologis, emosional dan sosial yang berhubungan dengan penyakit ginjal. Perawatan konservatif bertujuan untuk menjaga fungsi ginjal selama mungkin tapi tidak dapat menghentikan penurunan fungsi ginjal. Ini tidak menggantikan fungsi ginjal.
9. Pemeriksaan Penunjang
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung. Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitr aan atau pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi : a. Ultrasonografi b. Computed Tomography (CT)
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) d. Isotope Scanning Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008). Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya hematuria atau proteinuria (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008). Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin
serum.
Penurunan
GFR
dapat
dihitung
dengan
mempergunakan rumus Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Willems et al., 2013). Pengukuran GFR dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus lain, salah satunya adalah CKD-EPI creatinine equation (National Kidney Foundation, 2015). Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C. Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga Cystatin C merupakan penanda endogen yang ideal (Yaswir & Maiyesi, 2012).
10. Konsep Teori Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Fokus pengkajian keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita gagal ginjal kronik menurut Doeges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) ada berbagai macam, meliputi : 1) Demografi Lingkungan yang tercemar, sumber air tinggi kalsium berisiko untuk gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis
kelamin lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit hitam. 2) Riwayat penyakit dahulu Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif. 3) Riwayat kesehatan keluarga Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat menderita penyakit gagal ginjal kronik. 4) Pola kesehatan fungsional a) Pemeliharaan kesehatan Personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen, kontrol tekanan darah dan gula darah tidak te ratur pada penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus. b) Pola nutrisi dan metabolik Kaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat, peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam karena sepsis dan dehidrasi. c) Pola eliminasi Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin. d) Pola aktivitas dan latihan Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi. e) Pola istirahat dan tidur Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen) f) Pola persepsi sensori dan kognitif Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot, perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala,
kram/nyeri kaki (memburuk pada malam hari), perilaku berhatihati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki gelisah”, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental, contoh
penurunan
lapang
perhatian,
ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau. g) Persepsi diri dan konsep diri Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian, kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran. h) Pola reproduksi dan seksual Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler. 5) Pengkajian fisik a) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang. b) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma. c) Pengukuran antropometri : beratbadan menurun, lingkar lengan atas (LILA) menurun. d) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah, disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur. e) Kepala •
Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema periorbital.
•
Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
•
Hidung : pernapasan cuping hidung
•
Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
f) Leher : pembesaran vena leher. g) Dada : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema
pulmoner, friction rub pericardial. h) Abdomen : nyeri area pinggang, asites. i) Genital : atropi testikuler, amenore. j) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan otot. k) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura), edema. 6) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges (2000) : a) Urine •
Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria).
•
Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
•
Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat)
•
•
Klirens kreatinin, mungkin menurun Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsobsi natrium.
•
Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat menunjukkan kerusakan glomerulus.
b) Darah •
Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb biasanya kurang dari 7-8 gr
•
Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti azotemia.
•
GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan
ginjal
untuk
mengeksresi hydrogen dan ammonia atau hasil akhir katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun. •
Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan)
•
Magnesium fosfat meningkat
•
Kalsium menurun
•
Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang asam amino esensial.
•
Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urin.
7) Pemeriksaan radiologi a) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan bladder/KUB): menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih, dan adanya obstruksi (batu). b) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler, masa c) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter dan retensi. d) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas. e) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk menentukan seljaringan untuk diagnosis hostologis. f) Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis ginjal (keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif). g) Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
h) Fotokaki,
tengkorak,
kolumna
spinal
dan
tangan,
dapat
menunjukkan demineralisasi, kalsifikasi. i) Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi ginjal, ukuran dan bentuk ginjal. j) CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal
(seperti
penyebararn tumor). k) Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur ginjal, luasnya lesi invasif ginjal b. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doeges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah : 1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diit berlebihan dan retensi cairan dan natrium. 2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diit dan penurunan membrane mukosa mulut. 3) Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti akumulasi toksin (urea, amonia) 4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis. 5) Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan kurangnya informasi. 6) Risiko
penurunan
curah
jantung
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi toksik, kalsifikasi jaringan lunak. 7) Risiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit dan gangguan turgor kulit, gangguan status metabolik. c. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doenges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah: 1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diit berlebihan dan retensi cairan dan natrium. Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan. Kriteria hasil : •
Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
•
Mempertahankan pembatasan diit dan cairan.
•
Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema.
•
Menunjukkan tanda-tanda vital normal.
•
Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.
•
Melaporkan adanya kemudahan dalam bernafas atau tidak terj adi nafas pendek.
•
Melakukan hygiene oral dengan sering.
•
Melaporkan penurunan rasa haus.
•
Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membrane mukosa mulut.
Intervensi: •
Kaji status cairan ✓
Timbang berat badan harian
✓
Keseimbangan masukan dan haluaran
✓
Turgor kulit dan adanya edema
✓
Distensi vena leher
✓
Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
Rasional: Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi. •
Batasi masukan cairan Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, haluaran urine dan respons terhadap terapi.
•
Identifikasi sumber potensial cairan ✓
Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan, oral dan intravena
✓
Makanan
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi •
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan. Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan.
•
Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan. Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diit.
•
Tingkatkan dan dorong hygiene oral dengan sering. Rasional : Hygiene oral mengurangi kekeringan membran mukosa mulut.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diit dan penurunan membrane mukosa mulut. Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat. Kriteria hasil : •
Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi
•
Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam pembatasan diit
•
Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak menimbulkan rasa kenyang
•
Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatsan diit dan hubungannya dengan kadar kreatinin dan urea
•
Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima
•
Melaporkan peningkatan nafsu makan
•
Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan yang cepat
•
Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema, kadar albumin plasma dapat diterima
Intervensi : •
Kaji status nutrisi ✓
Perubahan berat badan
✓
Pengukuran antropometrik
✓ Nilai
laboratorium (elektrolit serum, bun, kreatinin, protein,
transferin dan kadar besi). Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi. •
Kaji pola diit dan nutrisi pasien ✓
Riwayat diit
✓
Makanan kesukaan
✓
Hitung kalori.
Rasional : Pola diit sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu. •
Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi: ✓
Anoreksia, mual dan muntah
✓
Diit yang tidak menyenangkan bagi pasien
✓
Depresi
✓
Kurang memahami diit
Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diit. •
Sediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diit. Rasional : Mendorong peningkatan masukan diit.
•
Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi: telur, produk susu, daging. Rasional
:
Protein
lengkap
diberikan
untuk
mencapai
keseimbangan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
penyembuhan. •
Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium, diantara waktu makan. Rasional : Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan menyediakan kalori untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan penyembuhan jaringan.
•
Ubah jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera diberikan sebelum makan. Rasional : Ingesti medikasi sebelum makan menyebabkan anoreksia dan rasa kenyang.
•
Jelaskan rasional pembatasan diit dan hubungannya dengan penyakit ginjal dan peningkatan urea dan kadar kreatinin. Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diit, urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
•
Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium. Rasional : Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif terhadap pembatasan diit dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga yang dapat digunakan dirumah.
•
Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan. Rasional : Faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalam menimbulkan anoreksia
•
Timbang berat badan harian. Rasional : Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
•
Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat : ✓
Pembentukan edema
✓
Penyembuhan yang lambat
✓
Penurunan kadar albumin
Rasional
:
Masukan
protein
yang
tidak
adekuat
dapat
menyebabkan penurunan albumin dan protein lain, pembentukan
edema dan perlambatan penyembuhan. 3) Risiko
penurunan
curah
jantung
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung
(ketidakseimbangan
elektrolit,
hipoksia),
akumulasi
toksik(urea), kalsifikasi jaringan lunak(deposit Ca+ fosfat) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat dipertahankan Kriteria hasil : •
Tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan darah: 90/60130/90 mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur.
•
Akral hangat
•
Capillary refill kurang dari 3 detik
•
Nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 15-39 mg/dl)
Intervensi : •
Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan postural misalnya: duduk, berbaring dan berdiri. Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi dan edema.
•
Evaluasi bunyi jantung akan terjadi friction rub, tekanan darah, nadi perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental. Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
•
Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas. Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi jantung.
•
Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium. Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
4) Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti akumulasi toksin (urea, amonia) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan tingkat mental atau terjadi peningkatan tingkat mental Kriteria hasil : •
Tidak terjadi disorientasi terhadap orang, tempat dan waktu
•
Tidak mengalami gangguan kemampuan dalam mengambil keputusan
•
Tidak terjadi perubahan perilaku misalnya peka, menarik diri, depresi ataupun psikosis
•
Tidak terjadi gangguan lapang perhatian misalnya, penurunan kemampuan untuk mengemukakan pendapat
•
Nilai laboratorium dalam batas normal (ureum) 15-39 mg/dl, kreatinin 0,6-1,3 mg/dl)
Intervensi : •
Kaji luasnya gangguan kemampuan berfikir, memori dan orientasi serta perhatikan lapang pandang. Rasional : Memberikan perbandingan untuk mengevaluasi perkembangan atau perbaikan gangguan.
•
Pastikan dari orang terdekat tingkat mental pasien biasa. Rasional
:
Beberapa
perbaikan
dalam
mental,
mungkin
diharapkan dengan perbaikan kadar urea, kreatinin, elektrolit dan pH serum yang lebih normal. •
Berikan orang terdekat informasi tentang status pasien. Rasional : Dapat membantu menurunkan kekacauan dan meningkatkan kemungkinan komunikasi dapat dipahami.
•
Komunikasikan informasi dengan kalimat pendek dan sederhana. Rasional : Perbaikan peningkatan
atau
keseimbangan
dapat
mempengaruhi kognitif atau mental. •
Tingkatkan istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur.
Rasional : Gangguan tidur dapat menganggu kemampuan kognitif lebih lanjut. •
Awasi pemeriksaan labolatorium misalnya urea dan kreatinin. Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
•
Berikan tambahan O2 sesuai indikasi Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
5) Risiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit dan gangguan turgor kulit (edema, dehidrasi), gangguan status metabolic, sirkulasi (anemia dengan iskemia jaringan), neuropati perifer. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi integritas kulit Kriteria hasil : •
Pasien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah kerusakan atau cidera kulit
•
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
•
Tidak terjadi edema
•
Gejala neuropati perifer berkurang
Intervensi : •
Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya kemerahan, ekimosis, purpura. Rasional : Mengetahui adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi.
•
Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa. Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
•
Inspeksi area tubuh terhadap edema. Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak ata u robek.
•
Ubah posisi dengan sering menggerakkan pasien dengan perlahan, beri bantalan pada tonjolan tulang.
Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan peninggian aliran balik statis vena sebagai pembentukan edema. •
Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal. Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit.
•
Pertahankan kuku pendek Rasional : Menurunkan risiko cedera dermal.
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis. Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi. Kriteria hasil : •
Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
•
Berpartisipasi dalam program pengobatan.
•
Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi : •
Kaji faktor yang menyebabkan keletihan : ✓
Anemia
✓
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
✓
Retensi produk sampah
✓
Depresi
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan •
Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi. Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga diri.
•
Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat. Rasional : Mendorong latitan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
•
Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis. Rasional : Dianjurkan setelah dialysis, yang bagi banyak pasien sangat melelahkan.
7) Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan kurangnya informasi. Tujuan
:
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
pasien
menyatakan pemahaman tentang kondisi atau proses penyakit dan pengobatan. Kriteria hasil : •
Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
•
Berpartisipasi dalam program pengobatan.
•
Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi : •
Diskusikan tentang manifestasi klinik yang mungkin muncul pada pasien dan cara perawatannya. Rasional : Mengurangi kecemasan pasien dan membeikan pemahaman dalam perawatannya
•
Kaji ulang tentang tindakan untuk mencegah perdarahan dan informasikan pada pasien misalnya penggunaan sikat gigi yang halus, memakai alas kaki atau sandal jika berjalan-jalan, menghindari konstipasi, olah raga atau aktivitas yang berlebihan. Rasional : Menurunkan risiko cedera sehubungan dengan perubahan faktor pembekuan atau penurunan jumlah trombosit.
•
Kaji ulang pembatasan diit, termasuk fosfat (contoh : produk susu, unggas, jagung, kacang) dan magnesium (contoh : produk gandum, polong-polongan). Rasional : Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid untuk pergeseran kalsium dari tulang (osteodistrofi ginjal) dan akumulasi magnesium dapat mengganggu fungsi neurologis dan mental.
•
Diskusikan tentang terapi pengobatan yang diberikan. Rasional : Memberikan pemahaman tentang fungsi obat dan memotivasi pasien untuk menggunakannya
Identifikasi keadaan yang memerlukan evaluasi medik segera.
•
Rasional : Memberi penanganan segera tentang kondisi-kondisi yang memerlukan penanganan medik. d. Implementasi keperawatan Implementasi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan teknikal. e. Evaluasi keperawatan Evaluasi didasarkan pada rencana yang telah di laksanakan dalam upaya memodifikasi tindakan selanjutnya, berdasarkan tujuan umum dan tujuan khusus. Evaluasi merupakan kegiatan yang membendingkan antara hasil implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil sebahagian, perlu disusun rencana keparawatan yang baru. Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keparawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat didefinisikan oleh perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang objektif setelah
implementasi
keperawatan. A merupakan
analisis
perawat
setelah mengetahui respon subjektif dan objekstif keluarga yang dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
C. KONSEP BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) 1. Definisi Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002). Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat biasanya diiringi dengan bertambahnya usia pada laki laki, membesarnya prostat menyebabkan fungsi uretra pars prostatika menjadi terganggu, menimbulkan gangguan pada saluran keluar kandung kemih (Iskandar, 2009). Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin (Aulawi, 2014).
2. Tahapan Perkembangan BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi : Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total.
3. Etiologi
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya BPH (Muttaqin dan Sari, 2014), yaitu: a. Dihydrostestosteron adalah pembesaran pada epitel dan stroma kelenjar prostat yang disebabkan peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor andorogen.
b. Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen dimana terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron sehingga mengakibatkan pembesaran pada prostat. c. Interaksi antara stroma dan epitel. Peningkatan epidermal growth faktor atau fibroblast growth faktor dan penurunan transforming factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel. d. Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma dan epitel dari kelenjar prostat. e. Teori sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem s ehingga terjadi produksi berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga menyebabkan proliferasi sel sel prostat (Purnomo, 2008).
4. Manifestasi Klinik
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih. a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah 1) Gejala obstruksi meliputi: Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi). 2) Gejala iritasi meliputi: Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi). b. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan akibat hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis. c. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan ti dak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.
5. Patofisiologi
Kelenjar pertambahan
prostat usia,
akan
pada
mengalami
proses
hiperplasia
penuaan
seiring
menimbulkan
dengan
perubahan
keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen keadaan ini dapat menyebabkan pembesaran prostat, jika terjadi pembesaran prostat maka dapat meluas ke kandung kemih, sehingga akan mempersempit saluran uretra prostatica dan akhirnya akan menyumbat aliran urine. Penyempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada intravesikal. Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot detrusor dan kandung kemih akan bekerja lebih kuat saat memompa urine, penegangan yang terjadi secara terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli buli berupa: pembesaran pada otot detrusor, trabekulasi terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel kandung kemih. Tekanan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan aliran balik urine ke ureter dan bila terjadi terus menerus mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal (Muttaqin dan Sari, 2014). Salah satu upaya pengobatan pada penderita benigna prostat hiperplasi adalah pembedahan terbuka merupakan tindakan pembedahan pada perut bagian bawah, kelenjar prostat dibuka dan mengangkat kelenjar prostat yang mengalami pembesaran, untuk mencegah pembentukan pembekuan darah dialirkan cairan via selang melalui kandung kemih, selang biasanya
dibiarkan dalam kandung kemih sekitar 5 hari setelah operasi dan kemudian dikeluarkan jika tidak ada pendarahan (Iskandar, 2009).
6. W0C Hormon Estrogen dan Progesteron tidak seimbang
Faktor Usia
Polikerasi abnormal sel strem
Sel prostat umur panjang
Sel troma pertumbuhan berpacu
Produksi stroma dan epitel berlebih
Sel yang mati kurang
Prostat membesar (BPH)
Penyempitan lumen ureter prostatika
Resiko perdarahan
Obstruksi
Iritasi mukosa kandung kemih, terputusnya jaringan
Retensi urin
Pemasangan DC
Nyeri akut
Gate kontrol terbuka
Hidronefritis Gangguan eliminasi urin
Kurangnya informasi terhadap pembedahan
Ansietas Rangsangan syaraf diameter kecil
Hidroureter
Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal
TURP
Luka
Tempat masuknya mikroorganisme
Resiko Infeksi
7. Komplikasi
Komplikasi BPH (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2005) adalah: a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi b. Infeksi saluran kemih c. Involusi kontraksi kandung kemih d. Refluk kandung kemih e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat. f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis. h. Hernia atau hemoroid dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien harus mengedan.
8. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada semua penderita. Hal yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk,
2013). Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria untuk diagnosa BPH. Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat sangat berguna untuk rencana terapi pada pasien BPH (Terris dkk,2002). Roehrborn (2002) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat
menggunakan colok dubur adalah tidak akurat, sedangkan MRI dan CT dapat lebih tepat untuk mengukur volume prostat tetapi sayangnya pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2002). Digital rectal examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan untuk mengukur volume prostat, tetapi hasilnya underestimat dibandingkan dengan transrectal ultrasound (TRUS). b. Pemeriksaan Laboratorium Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi renal memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi. Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi (Cooperberg dkk, 2013). PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013). Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013). Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA (Gui-zhong dkk, 2011). Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran kemih. Dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Pencitraan Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi
misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post miksi merupakan pemeriksaan tambahan (Cooperberg dkk, 2013).
9. Penatalaksanaan
a. Observasi Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin : 1) Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi. 2) Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
b. Terapi medikamentosa Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH (Baradero dkk, 2007) adalah : 1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra 2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik) 3) Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT). Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya: 1) Penghambat adrenergenik alfa 2) Penghambat enzim 5 alfa reduktase 3) Fitofarmaka. c. Terapi bedah Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : 1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah : a) Prostatektomi suprapubik : salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. b) Prostatektomi perineal : suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. c) Prostatektomi retropubik : tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat,
yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. 2) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transuretral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya : a) Transurethral Prostatic Resection (TURP) Tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak te rtutup darah. b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. c) Terapi invasive minimal Terapi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent
uretra atau prostatcatt (Purnomo, 2011).
10. Konsep Teori Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan basic dari tahap berikutnya. Pengkajian perlu dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan data, mengidentifikasi evaluasi status dan kesehatan pasien. (Nursalam, 2001, hal. 17, dikutip dari Iyer, et. al, 1996). Pada pengkajian dilakukan pengumpulan data yang dari dua tipe yaitu data subjektif dan data objektif. Data subjektif adalah data yang didapat dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap situasi dan kejadian. Sedangkan data objektif adalah data yang didapat dari observasi dan diukur, (Nursalam, 2001, hal. 19, dikutip dari Iyer, et. al, 1996).
Pengumpulan data pada pengkajian pasien memiliki karakteristik yaitu lengkap, akurat, nyata dan relevan (Nursalam, 2001, hal. 23). Sumber data sangat penting dimana dalam pengkajian sumber data diperoleh dari pasien, yang menjadi data primer adalah orang terdekat misalnya suami, istri, orang tua, anak dan temannya, catatam pasien, riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksanaan diagnostik, cataan mesi dan anggota kesehatan lainnya, perawat lain dan kepustakaan (Nursalam, 2001, hal.24 – 25). Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian: komunikasi yang efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Teknik tersebut sangat bermanfaat bagi perawat dalam pendekatan pad pasien secara rasional, sistematika dalam pengumpulan data, merumuskan diagnosa keperawatan dan merencanakannya. Adapun data dasar pengkajian pada BPH adalah sebagai berikut : Sebelum Operasi (Pre Operasi) 1) Data Subyektif a) Pasien mengatakan nyeri saat berkemih b) Sulit kencing c) Frekuensi berkemih meningkat d) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi e) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda f) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih g) Pancaran urin melemah h) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik, merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah i) Pasien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan 2) Data Obyektif a) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri b) Terpasang kateter
Sesudah Operasi (Post Operasi) 1) Data Subyektif a) Pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi b) Pasien mengatakan tidak tahu tentang diit dan pengobatan setelah operasi 2) Data Obyektif a) Ekspresi tampak menahan nyeri b) Ada luka post operasi tertutup balutan c) Tampak lemah d) Terpasang selang irigasi, kateter, infus ▪
Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari yang dialami pasien.
▪
Pengkajian fisik :
1) Gangguan dalam berkemih seperti : Sering berkemih, terbangun pada malam hari untuk berkemih, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih, aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah berkemih, ada darah dalam urin, kandung kemih terasa penuh, nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut, urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih 2) Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik 3) Kaji status emosi : cemas, takut 4) Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau 5) Kaji tanda vital 6) Sirkulasi Tanda : Peninggian Tekanan Darah (efek pembesaran ginjal) 7) Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine; tetesan, keraguraguan pada berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih, nokturi, disuria, hematuria, riwayat batu (statis urinaria), konstipasi (prostrusi prostat ke dalam rektum). Tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah (distensi kandung, kemih), nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemorrhoid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan). 8) Makanan/ cairan Gejala : Anoreksia: mual, muntah, penurunan berat badan Nyeri/ kenyamanan Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam, kuat (pada prostatitis akut) nyeri punggung bawah 9) Seksualitas Gejala : Masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksual, penurunan kekuatan kontraksi ejakulasi Tanda : Pembesaran, nyeri tekan prostat 10) Penyuluhan/ pembelajaran Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal; penggunaan antibiotik uranaria atau agen antibiotik, penggunaan anti hipertendif atau anti depresan. (Doenges, 2000, hal. 671-672) ▪
Kaji pemeriksaan diagnostik :
1) Pemeriksaan radiografi 2) Urinalisa 3) Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urine ▪
Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan pasien dan keluarga tentang keadaan dan proses penyakit, pengobatan dan cara perawatan di rumah. Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi
darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat. Jenis pengobatan pada BPH antara lain : 1) Observasi (watchfull waiting ) Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia,
menghindari
obat-obat
dekongestan,
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur 2) Terapi medikamentosa a) Penghambat adrenergik
(prazosin, tetrazosin) : menghambat
reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. b) Penghambat enzim 5- -reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. 3) Terapi bedah Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu : a) Retensi urin berulang b) Hematuri c) Tanda penurunan fungsi ginjal d) Infeksi saluran kemih berulang e) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel f) Ada batu saluran kemih. 4) Tindakan Pembedahan a) Prostatektomi
Pendekatan
transuretral
merupakan
pendekatan
tertutup.
Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra. b) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ). Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya. c) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,2005). Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar. TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian. Terapi invasif minimal, seperti dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum transurethral. Pengelolaan pasien secara umum di Ruang Rawat : 1) Pre operasi a) Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT, AL). b) Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
c) Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Ronten thorax d) Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diit bubur kecap 2 hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya udara 2) Post operasi a) Irigasi/Spoling dengan Nacl •
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
•
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
•
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
•
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
•
Hari ke 4 post operasi diklem
•
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin dalam kateter bening)
b) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan serohemoragis < 50cc) c) Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral. d) Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi e) Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan betadin f) Anjurkan banyak minum (2-3l/hari) g) DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi h) Hecting Aff pada hari k-10 post operasi. i) Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi j) Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu
mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme. k) Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan l) Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol berkemih. m) Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan. n) Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik. b. Diagnosa dan intervensi keperawatan 1) Pre operasi a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi NOC : •
Pain level
•
Pain control
•
Comfort level
Kriteria hasil : •
Mampu mengontrol nyeri
•
Rasa nyeri berkurang
•
Mampu mengenal nyeri (skala, intensitas, frekuensi)
NIC : •
Kaji skala Nyeri
•
Observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan
•
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji pengalaman nyeri
•
Ciptakan lingkungan yang nyaman (suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan)
•
Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (managemen nyeri)
•
Kolaborasikan pemberian analgetik (anti nyeri)
b) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses bedah. NOC : •
Anxiety self
•
Control
•
Anxiety level
•
Coping
Kriteria hasil : •
Mampu mengidentifikasi cemas
•
Mampu mengontrol cemas
•
Vital sign dalam batas normal
•
Menunjukkan berkurangnya kecemasan
NIC : •
Gunakan pendekatan yang menenangkan
•
Jelaskan prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
•
Pahami perspektif pasien terhadap situasi stres
•
Motivasi keluarga untuk menemani
•
Identifikasi tingkat kecemasan
•
Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya
•
Intruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
c) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan factor biologi
NOC : •
Nutrisitional status
•
Nutrisitional status : food and Fluid intake
•
Nutrisitional status : Nutrien intake
•
Weight control
Kriteria hasil : •
Berat badan (BB) ideal sesuai tinggi badan
•
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
•
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
•
Peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
•
Tidak ada penurunan BB yang berarti
NIC : •
Kaji adanya alergi makanan
•
Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
•
Monitor intake dan output pasien
•
Informasikan pentingnya nutrisi bagi pasien
d) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih NOC : •
Urinary elimination
•
Urinary Contiunence
Kriteria hasil : •
Kandung kemih kosongkan secara penuh
•
Tidak ada residu urine > 100-200 cc
•
Intake cairan dalam rentang normal
•
Bebas dari ISK
•
Tidak ada spasme bladder
•
Balance cairan seimbang
NIC : •
Observasi output urine
•
Masukkan kateter kemih
•
Anjurkan pasien atau keluarga merekam output urine
2) Post operasi a) Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik NOC : •
Pain level
•
Pain control
•
Comfort level
Kriteria hasil : •
Mampu mengontrol nyeri
•
Rasa nyeri berkurang
•
Mampu mengenal nyeri (skala, intensitas, frekuensi)
NIC : •
Kaji skala nyeri
•
Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
•
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengkaji pengalaman nyeri
•
Ciptakan
lingkunganm
yang
nyaman
(suhu
ruangan,
pencahayaan dan kebisingan) •
Ajarkan pasien pengobatan non farmakologi (Managemen Nyeri)
•
Kolaborasikan pemberian analgetik (Anti nyeri)
b) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan NOC : •
Immune Status
•
Knowledge : Infection control
•
Risk control
Kriteria hasil :
•
Pasien bebas dari tanda-tanda infeksi
•
Mampu mencegah timbulnya infeksi
•
Jumlah leukosit dalam jumlah normal
•
Menunjukan perilaku hidup sehat
NIC : •
Monitor kerentanan terhadap infeksi
•
Batasi pengunjung
•
Pertahankan teknik asepsis
•
Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah
•
Berikan perawatan luka
•
Motivasi untuk istirahat
•
Motivasi masukan nutrisi yang cukup
•
Ajarkan cuci tangan
•
Jika terlihat tanda-tanda infeksi colaborasikan dengan dokter
c) Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya paparan informasi. NOC : •
Mampu menggambarkan diit yang dianjurkan
•
Mengetahui makanan-makanan yang boleh dikonsumsi
•
Mengetahui tujuan dari diit yang dianjurkan
•
Mampu memilih makanan-makanan yang dianjurkan dalam diit
NIC : •
Kaji pengetahuan tentang diit yang dianjurkan
•
Berikan penyuluhan diit pada pasien post operasi
d) Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi NOC : •
Self Care Status
•
Self Care: Dressing
•
Activity Tolerance
•
Fatigue level
•
Mobility : physiocal impaired
•
Ambulation
•
Activity Intolerance
Kriteria hasil : •
Mampu melakukan ADLs yang paling mendasar dari aktivitas perawatan diri
•
Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
•
Menyatakan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
NIC : •
Monitor vital sign
•
Ajarkan ambulasi
•
Ajarkan ROM
•
Ajarkan senam kegel
•
Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
•
Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu kebutuhan ADLs
•
Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
c. Implementasi keperawatan Implementasi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan ketrampilan interpersonal, intelektual dan tehnikal. d. Evaluasi keperawatan Evaluasi didasarkan pada rencana yang telah di laksanakan dalam upaya memodifikasi tindakan selanjutnya, berdasrkan tujuan umum dan tujuan khusus. Evaluasi merupakan kegiatan yang membendingkan antara hasil implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil sebahagian, perlu disusun rencana keparawatan yang baru. Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keparawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat didefinisikan oleh perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang objektif setelah
implementasi
keperawatan. A merupakan
analisis
perawat
setelah mengetahui respon subjektif dan objekstif keluarga yang dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
D. KONSEP INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) 1. Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi akibat berkembangbiaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal urine tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. ISK merupakan suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, vesika urinaria dan uretra. Infeksi saluran kemih dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan dari semua umur. Angka kejadiannya lebih tinggi pada perempuan dibandingan laki-laki (Sudoyo Aru, dkk. 2009). ISK merupakan faktor risiko yang penting pada terjadinya insufisiensi ginjal atau stadium terminal sakit ginjal. Infeksi saluran kemih terjadi secara asending oleh sistitis karena kuman berasal dari flora fekal yang menimbulkan koloni perineum lalu kuman masuk melalui uretra (Widagdo, 2012). ISK adalah istilah umum untuk menyatakan adanya pertumbuhan bakteri di dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih. Pertumbuhan bakteri yang mencapai > 100.000
unit koloni per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari, digunakan sebagai batasan diagnosa ISK (IDI, 2011).
2. Klasifikasi
Infeksi saluran kemih terdiri atas dua, yaitu ISK bagian atas dan ISK bagian bawah. a. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah pada perempuan dapat berupa sistitis dan Sindrom Uretra Akut (SUA). Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna. Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis. Sedangkan ISK bawah pada lakilaki dapat berupa sistitis, prostatitis, epididimitis, dan uretritis. b. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Atas meliputi Pielonefritis Akut dan Pielonefritis Kronis. Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronis sering diikuti pembentukkan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronis yang spesifik. ISK diklasifikasikan menjadi dua macam (Purnomo, 2012) : a. Infeksi saluran kemih non komplikata adalah ISK yang terjadi pada orang dewasa, termasuk episode sporadik, episode sporadik yang didapat dari komunitas, dalam hal ini sistitis akut dan pielonefritis akut pada individu yang sehat. Fakor risiko yang mendasari ISK jenis ini adalah faktor risiko yang tidak diketahui, infeksi berulang dan faktor risiko diluar traktus urogenitalis. ISK ini banyak diderita oleh wanita tanpa adanya kelainan struktural dan fungsional di dalam saluran kemih, maupun penyakit ginjal atau faktor lain yang dapat memperberat penyakit. Pada pria ISK non komplikata hanya terdapat pada sedikit kasus.
b. Infeksi saluran kemih komplikata adalah sebuah infeksi yang diasosiasikan dengan suatu kondisi, misalnya abnormalitas struktural atau fungsional saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar yang mengganggu dengan mekanisme pertahanan diri individu, yang meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi atau kegagalan terapi.
3. Etiologi
Mikroorganisme yang sering menyebabkan ISK antara lain Escherichia coli (merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari pasien
dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik), Proteus sp, Klebsiella sp , Enterobacter sp , Citrobacter sp . Infeksi yang disebabkan Pseudomonas sp
dan mikroorganisme lainnya seperti Staphylococcus jarang dijumpai kecuali pasca kateterisasi. Mikroorganisme lain yang kadang-kadang dijumpai sebagai penyebab ISK adalah Chlamydia dan Mycoplasma.
4. Faktor Risiko
Faktor – faktor yang mempengaruhi infeksi saluran kemih (Kasper, 2005): a. Jenis kelamin dan aktivitas seksual Secara anatomi, uretra perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm dan terletak di dekat anus. Hal ini menjadikannya lebih rentan untuk terkena kolonisasi bakteri basil gram negatif. Karenanya, perempuan lebih rentan terkena ISK. Berbeda dengan laki-laki yang struktur uretranya lebih panjang dan memiliki kelenjar prostat yang sekretnya mampu melawan bakteri, ISK pun lebih jarang ditemukan. Pada wanita yang aktif seksual, risiko infeksi juga meningkat. Ketika terjadi koitus, sejumlah besar bakteri dapat terdorong masuk ke vesika urinaria dan berhubungan
dengan
onset
sistitis.
Semakin
tinggi
frekuensi
berhubungan, makin tinggi risiko sistitis. Oleh karena itu, dikenal istilah honeymoon cystitis (Sobel, 2005).
Penggunaan spermisida atau kontrasepsi lain seperti diafragma dan kondom yang diberi spermisida juga dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih karena mengganggu keberadaan flora normal introital dan berhubungan dengan peningkatan kolonisasi E.coli di vagina. Pada lakilaki, faktor predisposisi bakteriuria adalah obstruksi uretra akibat hipertrofi prostat. Hal ini menyebabkan terganggunya pengosongan vesika urinaria yang berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi. Selain itu, laki-laki yang memiliki riwayat seks anal berisiko lebih tinggi untuk terkena sistitis, karena sama dengan pada wanita saat melakukan koitus atau hubungan seksual dapat terjadi introduksi bakteri-bakteri atau agen infeksi ke dalam vesika urinaria. Tidak dilakukannya sirkumsisi juga menjadi salah satu faktor risiko infeksi saluran kemih pada laki-laki. b. Usia Prevalensi
ISK
meningkat
secara
signifikan
pada
manula.
Bakteriuria meningkat dari 5-10% pada usia 70 ta hun menjadi 20% pada usia 80 tahun. Pada usia tua, seseorang akam mengalami penurunan sistem imun, hal ini akan memudahkan timbulnya ISK. Wanita yang telah menopause akan mengalami perubahan lapisan vagina dan penurunan estrogen, hal ini akan mempermudah timbulnya ISK. c. Obstruksi Penyebab obstruksi dapat beraneka ragam diantaranya yaitu tumor, striktur, batu, dan hipertrofi prostat. Hambatan pada aliran urin dapat menyebabkan hidronefrosis, pengosongan vesika urinaria yang tidak sempurna, sehingga meningkatkan risiko ISK. d. Disfungsi neurogenik vesika urinaria Gangguan pada inervasi vesika urinaria dapat berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Infeksi dapat diawali akibat penggunaan kateter atau keberadaan urin di dalam vesika urinaria yang terlalu lama. e. Vesicoureteral reflux Refluks urin dari vesika urinaria menuju ureter hingga pelvis renalis terjadi saat terdapat peningkatan tekanan di dalam vesika urinaria.
Tekanan yang seharusnya menutup akses vesika dan ureter justru menyebabkan naiknya urin. Adanya hubungan vesika urinaria dan ginjal melalui cairan ini meningkatkan risiko terjadinya ISK. f. Faktor virulensi bakteri Faktor virulensi bakteri mempengaruhi kemungkinan strain tertentu, begitu dimasukkan ke dalam kandung kemih, akan menyebabkan infeksi traktus urinarius. Hampir semua strain E.coli yang menyebabkan pielonefritis pada pasien dengan traktus urinarius normal secara anatomik mempunyai pilus tertentu yang memperantarai perlekatan pada bagian digaktosida dan glikosfingolipid yang adadi uroepitel. Strain yang menimbulkan hemolisin,
pielonefritis
mempunyai
juga
biasanya
aerobaktin
dan
merupakan
resisten
penghasil
terhadap
kerja
bakterisidal dari serum manusia. g. Faktor genetik Faktor genetik turut berperan dalam risiko terkena ISK. Jumlah dan tipe reseptor pada sel uroepitel tempat menempelnya bakteri ditentukan secara genetik.
5. Manifestasi Klinik
a. ISK Non Komplikata 1) Sistitis Nonkomplikata Sistitis adalah infeksi kandung kemih dengan sindroma klinis yang terdiri dari disuria, frekuensi, urgensi dan kadang adanya nyeri pada suprapubik. Tanda dan gejala : Gejala iritatif berupa disuria, frekuensi, urgensi, berkemih dengan jumlah urin yang sedikit, dan kadang disertai nyeri supra pubis. Sistitis ditandai dengan adanya leukosituria, bakteriuria, nitrit, atau leukosit esterase positif pada urinalisis. Bila dilakukan pemeriksaan kultur urin positif. 2) Pielonefritis Nonkomplikata
Pielonefritis akut adalah infeksi akut pada parenkim dan pelvis ginjal dengan sindroma klinis berupa demam, menggigil dan n yeri pinggang yang berhubungan dengan bakteriuria. Tanda dan gejala: Pielonefritis akut ditandai oleh menggigil, demam (>38oC), nyeri pada daerah pinggang yang diikuti dengan bakteriuria dan piuria yang merupakan kombinasi dari infeksi bakteri akut pada ginjal. b. ISK Komplikata Suatu ISK komplikata diikuti dengan gejala klinis seperti dysuria, urgensi, frekuensi, nyeri kolik, nyeri sudut kostoverteba, nyeri suprapubik dan demam. Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) dapat disebabkan oleh ISK tapi juga oleh gangguan urologi lainnya, seperti misalnya benign prostatic hyperplasia (BPH) atau transurethral resection of the prostate (TURP). Kondisi medis seperti diabetes mellitus
(10%) dan gagal ginjal seringkali ditemukan dalam sebuah ISK komplikata.
6. Patofisiologi
Pada individu normal, biasanya urin laki-laki maupun perempuan selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kemihnya. Utero distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious gram-positive dan gram negative. Hampir semua ISK disebabkan invasi
mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini, dipermudah refluks vesikoureter (Sudoyo, 2009). Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriema. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Staphylococcus aureus . Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis
(Staphylococcus aureus ) dikenal Nephritis Lohein. Beberapa penelitian
melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen (Sukandar, 2006).
7. WOC
Usia Lanjut, Pengosongan kandung kemih tidak efektif
Dstensi Kandung kemih
MIkoorganisme Pathogenik (E. Coli, P roteus, Klebsiella, Pseudomonas)
Berkoloniasi di vulva
Sistoskopik, Dekubitus terinfeksi, Kontaminasi Fekal
Perawatan Tidak Efektif
Resistensi kandung kemih ↓
Masuk ke V. Urinaria melalui uretra
Pertumbuhan bakteri ↑ Penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis & Ureter/ Hidronetrosis
ISK Gangguan Fungsi Ginjal Inflamasi pada uretra
Hospitalisasi
Obstruksi aliran urine
Secara Hematogen menyebar keseluruh saluran TU
Nyeri Akut
Kurang Pengetahuan
Perubahan Pola Eliminasi Urine
8. Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan mengenai infeksi saluran kemih (ISK) (Ikatan Dokter Indonesia, 2011) : a. Medikamentosa Penyebab tersering ISK adalah Eschericia colli. Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empiric selama 7-10 hari untuk indikasi infeksi akut. b. Bedah Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan. c. Suportif Selain pemberian antibiotik, penderita ISK mendapat asupan cairan yang cukup, perawatan hygiene daerah perineum dan periuretra, serta pencegahan konstipasi. d. Pemantauan terapi Pengobatan fase akut dimulai, gejala ISK umumnya menghilang, diperkirakan untuk mengganti antibiotik yang lain. Pemeriksaan kultur dan uji resistensi urin ulang dilakukan 3 hari setelah pengobatan fase akut dihentikan, dan bila memungkinkan setelah 1 bulan dan setiap 3 bulan. Jika ada ISK berikan antibiotic sesuai hasil uji kepekaan. e. Pendidikan kesehatan Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan perineum setelah defekasi dan berkemih.
9. Pemeriksaan Penunjang
Jenis-jenis pemeriksaan diagnostik pada infeksi saluran kemih (Wong, 2008) : a. Biopsi ginjal Pengambilan jaringan ginjal dengan teknik terbuka atau perkutan untuk pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksaan mikroskop cahaya, elektron, atau immunofluresen b. Pemeriksaan USG ginjal atau kandung kemih
Transmisi gelombang ultrasonic melalui parenkim ginjal, di sepanjang saluran ureter dan di daerah kandung kemih. c. Computed tomography (CT) Pemeriksaan dengan sinar-X pancaran sempit dan analisis computer akan menghasilkan rekontruksi area yang tepat. d. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk menentukan dua parameter penting ISK yaitu leukosit dan bakteri. Pemeriksaan rutin lainnya seperti deskripsi warna, berat jenis dan pH, konsentrasi glukosa, protein, keton, darah dan bilirubin tetap dilakukan. e. Pemeriksaan dipstik Pemeriksaan dengan dipstik merupakan salah satu alternatif pemeriksaan leukosit dan bakteri di urin dengan cepat. Untuk me ngetahui leukosituri, dipstik akan bereaksi dengan leucocyte esterase (suatu enzim yang terdapat dalam granul primer netrofil). Sedangkan untuk mengetahui bakteri, dipstik akan bereaksi dengan nitrit (yang merupakan hasil perubahan nitrat oleh enzym nitrate reductase pada bakteri). Penentuan nitrit sering memberikan hasilegatif palsu karena tidak semua bakteri patogen memiliki kemampuan mengubah nitrat atau kadar nitrat dalam urin menurun akibat obat diuretik. Kedua pemeriksaan ini memiliki angka sensitivitas 60-80% dan spesifisitas 70 – 98 %. Sedangkan nilai positive predictive value kurang dari 80 % dan negative predictive value
mencapai 95%. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik urin dan kultur urin. Pemeriksaan dipstik digunakan pada kasus skrining follow up . Apabila kedua hasil menunjukkan hasil negatif, maka urin tidak perlu dilakukan kultur. f. Pemeriksaan mikroskopik urin Meski konsep ini memperkenalkan mikrobiologi kuantitatif ke dalam diagnosa penyakit infeksi masih cukup penting, baru-baru ini tampak jelas bahwa tidak ada hitungan bakteri yang pasti dalam mengindikasikan
adanya bakteriuria yang bisa diterapkan pada semua jenis ISK dan dalam semua situasi. Berikut interpretasi urin yang secara klinis termasuk relevan : 1) ≥103 cfu/mL uropatogen dalam sebuah urin sampel tengahdalam acute unkomplikata cystitis pada wanita 2) ≥104 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU dalam acute unkomplikata pyelonephritis pada wanita 3) ≥105 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU pada wanita, atau ≥104 cfu/mL uropatogen dalam sebuah MSU pada pria, atau pada straight catheter urine pada wanita, dalam sebuah komplikata ISK. 4) spesimen pungsi aspirasi suprapubic, hitungan bakteri berapapun dikatakan bermakna. Bakteriuria asimptomatik didiagnosis jika dua kultur dari strain bakteri yang sama, diambil dalam rentang waktu ≥ 24 jam, menunjukkan bakteriuria ≥105 cfu/mL uropatogen.
10. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan yaitu : gagal ginjal akut, urosepsis, nekrosis papila ginjal, terbentuknya batu saluran kemih, supurasi atau pembentukan abses, dan granuloma (Purnomo, 2011).
11. Pencegahan
Sebagian kuman yang berbahaya hanya dapat hidup dalam tubuh manusia. Untuk melangsungkan kehidupannya, kuman tersebut harus pindah dari orang yang telah terkena infeksi kepada orang sehat yang belum kebal terhadap kuman tersebut. Kuman mempunyai banyak cara atau jalan agar dapat keluar dari orang yang terkena infeksi untuk pindah dan masuk ke dalam seseorang yang sehat. Kalau kita dapat memotong atau membendung jalan ini, kita dapat mencegah penyakit menular. Kadang kit a dapat mencegah kuman itu masuk maupun keluar tubuh kita. Kadang kita dapat pula mencegah kuman tersebut pindah ke orang lain (Irianto & Waluyo, 2004).
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum, yaitu pencegahan tingkat pertama ( primary prevention ) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention ) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi. Ketiga tingkatan pencegahan
tersebut
saling
berhubungan
erat
sehingga
dalam
pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih (Noor, 2006). Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang kembali, yaitu : a. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air kecil merupakan sebab terbesar dari infeksi saluran kemih. b. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air kecil bersihkanlah dari depan ke belakang. Hal ini akan mengurangi kemungkinan bakteri masuk ke saluran urin dari rektum. c. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari, karena bila tidak diganti bakteri akan berkembang biak secara cepat dalam pakaian dalam. d. Pakailah bahan katun sebagai bahan pakaian dalam, bahan katun dapat memperlancar sirkulasi udara. e. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara, dan dapat mendorong perkembangbiakan bakteri. f. Minum air yang banyak. g. Gunakan air yang mengalir untuk membersihkan diri selesai berkemih. h. Buang air kecil sesudah berhubungan, hal ini membantu menghindari saluran urin dari bakteri.
12. Konsep Teori Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Pengkajian yang dilaksanakan pada pasien dengan gangguan/ penyakit urogenital meliputi : 1) Identitas pasien, meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, alamat, dll.
2) Riwayat kesehatan meliputi berbagai gangguan/ penyakit yang lalu, berhubungan dengan atau yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang. 3) Riwayat kesehatan keluarga 4) Riwayat kesehatan pasien 5) Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/ gangguan yang berhubungan dengan gangguan/ penyakit yang dirasakan saat ini. 6) Bagaimana frekuensi miksinya, apakah terdapat : poliuri, oliguri, miksi keluar sedikit-sedikit tapi sering, urgency, nocturi, tempo berhentinya arus urin selama miksi, pasien mengalami keraguan/ kesukaran sewaktu melalui miksi, urine keluar secara menetes, incontinentia urine. 7) Adakah kelainan waktu miksi seperti : disuri, ada rasa panas, hematuri, piuri, lithuri 8) Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara umum 9) Apakah penyakit timbul setalah adanya penyakit yang lain 10) Apakah terdapat mual, muntah 11) Apakah terdapat oedem 12) Bagaimana keadaan urinnya (volume, warna, bau, berat jenis, jumlah urine selama 24 jam) 13) Adakah secret atau darah yang keluar 14) Adakah hambatan seksual 15) Bagaimana riwayat haid (menarche, abortus, pemakaian alat kontrsepsi) 16) Rasa nyeri (lokasi, identitas, saat timbulnya nyeri) 17) Riwayat persalinan 18) Riwaya perdarahan 19) Data fisik Inspeksi : Secara umum da secara khusus pada daerah genetalia Palpasi : Pada daerah abdomen, buli-buli, lipat paha Auskultasi : daerah abdomen
Perkusi : daerah abdomen, ginjal Keadaan umum pasien : a) Tingkat kesadaran b) Tinggi badan/ berat badan c) Tanda-tanda vital meliputi tensi, nadi, suhu, pernafasan 20) Data psikologis: a) Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit b) Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit c) Persepsi pasien terhadap pasien d) Penanggulangan masalah 21) Data sosial, budaya, spiritual a) Umum Hubungan dengan orang lain, kepercayaan yang dianut dan keaktifannya, kegiatan dan kebutuhan sehari-hari •
Nutrisi (kebiasaan makan, jenis makanan, makanan pantangan, kebiasaan minum, jenis minuman)
•
Eliminasi/ kebiasaan BAB dan BAK (konsistensi, warna, bau, jumlah)
•
Olahraga (jenis, teratur atau tidak)
•
Istarah/ tidur (waktu, lamanya)
•
Personal hygiene (mandi, gosok gigi, cuci rambut, ganti pakaian, kebersihan kuku, kebersihan genetalia)
•
Ketergantungan (rokok, makanan, minuman, obat)
b) Khusus Hal-hal yang berhubungan dengan panyakit yang diderita oleh pasien (keluarga dan lingkungannya). c) Data khusus meliputi : Hasil-hasil pemeriksaan, program medis (pengobatan, tindakan medis).
b. Diagnosa keperawatan 1) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit. 2) Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan akibat adanya infeksi. 3) Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya sehubungan dengan kuranganya informasi 4) Potensial terjadinya infeksi sekunder sehubungan dengan keluarnya cairan terus menerus dari kemaluan 5) Gangguan istrahat tidur sehubungan dengan nyeri yang hebat. 6) Perubahan pola eliminasi urine ; disuria, sehubungan dengan adanya akibat peradangan. c. Intervensi keperawatan 1) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit. Tujuan: Rasa nyaman pasien meningkat ditandai dengan : •
Rasa nyeri berkurang
•
Pasien tenang
•
Ekspresi wajah relaks
•
Pasien dapat menyebutkan penyebab dan cara mengatasi nyeri
Intervensi dan rasional : •
Beri penjelasan tentang penyebab rasa nyeri Rasional : Penjelasan tentang penyebab rasa nyeri dapat memberikan informasi positif kepada pasien dan keluarga sehingga dapat menurunkan kecemasan dan turut aktif dalam tindakan pengobatan
•
Mengatur posisi tidur yang menyenangkan Rasional : Akan mengurangi nyeri dan meningkatkan keinginan tidur pasien.
•
Mengajarkan
cara
mengurangi
rasa
nyeri
(relaksasi)
dan
memberikan kegiatan positif Rasional : Teknik relaksasi dapat megalihkan perhatian pasien dari perasaan nyeri sehingga pasien merasa nyaman
•
Memberikan kompres hangat pada daerah yang terasa nyeri dan Menganjurkan untuk meminum air hangat Rasional : Kompres hangat dapat meningkatkan vasodilatasi pembuluh darah
•
Massage daerah pinggang untuk mengurangi nyeri Rasional : Untuk mengurangi impuls nyeri melalui medulla spinalis sehingga nyeri yang dirasakan berkurang.
•
Ciptakan lingkungan terapiutik yang nyaman Rasional : Lingkungan terapeutik yang tenang dan nyaman dapat mengurangi stress sehingga hormone cortisol tidak disekresikan yang mana jika cortisol tersekresi maka akan meningkatkannyeri
•
Melaksanakn program terapi : Analgetik dan antibiotic Rasional : Analgetik dapat mengurangi nyeri dan antibiotic mengurangi dan menghilangkan factor penyebab.
2) Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan akibat adanya infeksi. Tujuan : •
Suhu tubuh pasien normal (36 – 37oc)
•
Pasien tenang
Intervensi dan rasional : •
Memonitor tanda-tanda vital Rasional : Untuk mengetahui tindakan selanjutnya
•
Beri penjelasan tentang penyebab peningkatan suhu tubuh Rasional : Penjelasan tentang penyebab rasa nyeri dapat memberikan informasi positif kepada pasien dan keluarga sehingga dapat menurunkan kecemasan dan turut aktif dalam tindakan pengobatan
•
Kaji peningkatan suhu tubuh melalui pemeriksaan laboratorium Rasional : Untuk mengetahui factor penyebab peningkatan suhu tubuh dan untuk menetapkan program terapi selanjutnya
•
Beri pasien banyak minum 3 – 4 liter sehari, tidak ada kontra indikasi
Rasional : Minum bayak akan merangsang peningkatan sekresi urin sehingga pada saat BAK bakteri akan terbawa oleh urin. •
Lakukan kompres dingin atau hangan pada tubuh sampai suhu normal Rasional
: Kompres hangat dapat meningkatkan vasodilatasi
pembuluh darah sedangkan kompres dingin meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah. •
Melaksanakan program terapi : Penatalaksanaan antipiretik sesuai indikasi Rasional : Antipiretik menurunkan demam
•
Monitor intake dan output cairan Rasional : Intake dan out put yang kurang dapat merangsang perkembangan bakteri dalam vesica urinaria
3) Kurang pengetahuan tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya sehubungan dengan kuranganya informasi Tujuan : Pengetahuan pasien tentang penyakitnya meningkat Intervensi dan rasional : •
Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit yang di derita Rasional :Untuk mengetahui kesiapan pasien dan keluarga serta untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita
•
Jelaskan
secara
singkat
tentang
penyakit,
perawatan
dan
pengobatan Rasional: Untuk menambah pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit, perawatan dan pengobatan sehingga dapat berpartisipasi dalam pengobatan 4) Potensial terjadinya infeksi sekunder sehubungan dengan keluarnya cairan terus menerus dari kemaluan Tujuan : •
Tidak terjadi infeksi sekunder
•
Tidak ditemukan tanda-tanda radang
Intervensi dan rasional : •
Kaji tanda-tanda radang Rasional : Untuk mengetahu adanya infeksi serta mempermudah dalam pemberian tindakan selanjutnya
•
Monitor suhu tubuh Rasional : Infeksi dapat menunjukan peningkatan suhu tubuh
•
Beri penjelasan tentang kebersihan diri/ genetalia Rasional : Mencegah penyebaran infeksi dan perkembangan debris bakteri
•
Bekerjalah dengan prinsip aseptic dan antiseptic Rasional : Untuk mencegah terjadinya infeksi nasokomial
•
Laksanakan program pengobatan Rasional : Untuk mengurangi penyebaran kuman penyakit
5) Gangguan istrahat tidur sehubungan dengan nyeri yang hebat. Tujuan : Kebutuhan istrahat tidur terpenuhi Intervensi dan rasional : •
Kaji waktu dan lamanya tidur Rasional : Mengetahui jumlah kebutuhan tidur pasien sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan daya tahan tubuh
•
Kaji kebiasaan tidur pasien Rasinal : Dapat membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan tidur pasien
•
Ciptakan lingkungan yang tenang Rasional : Meningkatkan istirahat pasien
•
Jelaskan pentingnya istrahat dan tidur bagi kesehatan Rasional : Untuk menambah pegetahuan pasien mengenai penyakit dan berpartisipasi dalm tindakan pengobatan
•
Anjurkan pasien untuk tidur pada saat – saat yang tenang Rasional : Mengurangi gangguan pada saat tidur, sehingga kebutuhan tidur terpenuhi
6) Perubahan pola eliminasi urine ; disuria, sehubungan dengan adanya akibat peradangan . Tujuan : •
Pola eliminasi urine kembali normal
•
Keluhan bak tidak ada lagi
Intervensi dan rasional : •
Kaji keluhan buang air kacil Rasional : Untuk mengetahui masalah eliminasi dan menentukan tindakan yang tepat
•
Jelaskan penyebab perubahan pola eliminasi Rasional : Mengurangi kecemasan pasien
•
Anjurkan pasien untuk minum cukup bila tidak ada kontra indikasi Rasional : Untuk rehidrasi cairan dan untuk pengeluaran bakteri dan mikroorganisme lainnya
•
Kosongkan kandung kemih tiap 2-3 jam Rasional : Mencegah perkembangan bakteri
•
Tampung urine 24 jam untuk pemeriksaan dan kaji pengeluaran urine (jumlah, waran, bau) Rasional : Untuk mengetahui agen penyebab gangguan ISK
•
Observasi sedini mungkun tanda-tanda gagal ginjal Rasional : Mencegah terjadinya komplikasi
d. Implementasi keperawatan Implementasi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan ketrampilan interpersonal, intelektual dan tehnikal. e. Evaluasi Keperawatan Evaluasi didasarkan pada rencana yang telah di laksanakan dalam upaya memodifikasi tindakan selanjutnya, berdasrkan tujuan umum dan tujuan khusus. Evaluasi merupakan kegiatan yang membendingkan antara hasil implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil sebahagian, perlu disusun rencana keparawatan yang baru. Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keparawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat didefinisikan oleh perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang objektif setelah
implementasi
keperawatan. A merupakan
analisis
perawat
setelah mengetahui respon subjektif dan objekstif keluarga yang dibandingkan dengan criteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
BAB 3 KASUS
A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUP FATMAWATI 1. Pengkajian
a) Identitas pasien Pasien dengan nama Tn. A (53 tahun 2 bulan) datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 9 juni 2014. Dilakukan pengkajian pada tanggal 12 juni 2014. Pasien mengeluh napas terasa sesak, pasien memiliki seorang istri dan dua orang anak. Agama pasien islam. Pasien saat ini sudah tidak bekerja. Saat ini pasien tinggal bersama istrinya. b) Anamnesis 1) Keluhan utama pada saat dirawat Pasien mengeluh sesak napas, sesak mulai terasa sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS), sesak terasa meskipun sedang beristirahat. Kaki dan tangan bengkak sejak dua minggu yang lalu. 2) Riwayat kesehatan yang lalu Pasien mengatakan pernah dirawat di RS Pertamina (didapatkan hasil bahwa terdapat cairan di paru-paru). Berdasarkan data pada status rekam medik, sebelumnya pasien pernah dilakukan punksi pleura 2 kali (di RS pertamina). Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes mellitus (DM) ada (pasien mengetahui gula darahnya tinggi pada tahun 2012, mengkonsumsi metformin 1x500 mg. pasien memiliki riwayat merokok, 1 batang setiap hari, tetapi sudah berhenti sejak 2 tahun yang lalu. Pasien mengatakan sebelumnya bekerja sebagai sopir, pernah menjadi sopir di perusahaan minuman bersoda, dan mengkonsumsi minuman bersoda tersebut setiap hari karena diperoleh dengan gratis dan terasa segar di badan. Pasien juga mengatakan bahwa tidak pernah minum minuman keras seperti alkohol.
3) Riwayat kesehatan keluarga Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit yang sama dengan pasien. Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit ginjal, dari keluarga. 4) Aktivitas/istirahat Pasien seorang sopir namun sudah pensiun. Saat ini tidak punya banyak kegiatan. Aktivitas sehari-hari terbatas karena napas terasa sesak apabila berjalan, meski hanya 5 menit. Pasien tidur malam mulai jam 19.00-23.00 (4 jam) kemudian terbangun dan kembali tertidur lagi jam 01.00-06.00 (5 jam). di RS pasien merasa sulit tidur karena napasnya sesak. Pasien kooperatif. Aktivitas di rumah sakit hanya berbaring atau duduk disekitar tempat tidur. 5) Sirkulasi Pasien mengatakan ujung jari tangan kiri terasa kesemutan. Saat dilakukan pengkajian tanda-tanda vital awal, tekanan darah 150/110 mmHg, nadi radialis 98 x/menit teraba kuat dan re gular, suhu 36,6 0C. Bentuk dada simetris, perkusi pekak pada ICS 5 dan 6, tidak teraba massa dan tidak ada nyeri tekan, auskultasi bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur/gallop. Ekstremitas suhu kaki dan tangan teraba hangat dan lembab (berkeringat), kulit kaki tampak kering dan pecah-pecah, warna kulit kaki agak cokelat kehitaman, pengisian kapiler < 3 detik. Warna wajah sedikit pucat, membran mukosa bibir cokelat, punggung kuku melengkung baik, konjungtiva agak pucat, sclera putih.
6) Integritas ego Pasien mengatakan tidak mau cuci darah, takut melihat pasien disebelahnya menjadi tidak sadarkan diri setelah di cuci darah. Untuk finansial tidak ada masalah karena sudah menggunakan kartu BPJS. Status emosi tampak tenang.
7) Eliminasi Pasien mengatakan BAB 3 x sehari (selama di RS), konsistensi lunak, warna kuning, jumlah sedikit, tidak ada riwayat hemoroid. BAK menggunakan folley catheter, warna urin kuning jernih, kateter sudah terpasang selama 3 hari. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan data; inspeksi abdomen tampak sedikit membuncit, auskultasi didapatkan bising usus 10 x/menit, pada perkusi hipertimpani dan pada palpasi tidak teraba massa, dan ada nyeri tekan pada daerah epigastrium 8) Makanan/ cairan Pasien memiliki BB saat dikaji 62 Kg, BB sebelum sakit 49 Kg. Tinggi badan (TB) 153 cm. Berat badan ideal pasien adalah 47,7 Kg (90% (153-100)). Index masa tubuh pasien adalah 26,9 (tapi pasien tidak bisa dikatakan obesitas, karena sedang mengalami edema). Maka kebutuhan energi basalnya adalah 1431 Kkal. Sementara kebutuhan kalori total pasien adalah 1860,3 Kkal. Pada saat di RS mendapat terapi Diit ginjal 1900 kkalori dan protein 6 gr/kgBB. Pemeriksaan laboratorium pasien menunjukkan nilai Hb 9,9 g/dl. Berdasarkan penampilan klinis, pasien tidak tampak kurus (saat ini edema), konjungtiva tampak pucat. Pasien makan nasi biasa dan lauk serta sayur. Habis ½ porsi, kadang habis 1 porsi. Tidak ada mual dan muntah. Ulu hati terasa nyeri. Tidak ada alergi makanan. Kemampuan mengunyah dan menelan masih baik, bentuk tubuh tegak. Turgor kulit elastis, kelembaban kering dan pecah-pecah pada kedua kaki di bagian bawah. Terdapat edema pada ekstremitas atas kanan dan kiri, edema derajat 2. Terdapat edema pada ekstremitas bawah kanan dan kiri, derajat 3. Edema periorbita kanan dan kiri. 9) Kebersihan/ hygiene Aktivitas sehari-hari dibantu oleh istrinya, mobilitas berjalan terbatas. Makan dapat dilakukan sendiri, mandi dan berpakaian dibantu istri (keluarga). Toileting dibantu keluarga, pasien menggunakan diaper, cara berpakaian sesuai, tidak tercium bau.
10) Neurosensori Pasien mengeluh kesemutan pada jari-jari tangan kiri dan jari-jari kaki kiri. Penglihatan normal, pendengaran dapat mendengar tapi kurang baik. Memori saat ini masih baik. 11) Nyeri/ ketidaknyamanan Pasien mengeluh nyeri di daerah ulu hati dengan skala 2-3, nyeri saat ditekan, frekuensi intermitten, tidak ada penjalaran ke area lain, faktor pencetus bila ada mual, cara mengatasi dioles minyak kayu putih dan dimasase lembut. Ekspresi saat menahan nyeri pasien tampak mengerutkan mata
dan menjaga area yang nyeri. Respon emosi
tenang dan merasa nyerinya akan hilang setelah minum sirup obat maag. 12) Pernapasan Pasien mengatakan napas terasa sesak, meskipun sedang beristirahat sesak tetap terasa. Pasien memiliki riwayat merokok 1 batang per hari, dan sudah berhenti merokok sejak 2 tahun yang lalu. Frekuensi pernafasan 30 x/menit. Bentuk dada simetris, tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi napas vesikuler, menurun pada bagian basal, tidak ada sianosis, tidak ada sputum, perkusi sonor, tidak teraba adanya masa. 13) Keamanan Pasien tidak ada riwayat alergi,ROM aktif, tonus otot 5555
5555
5555
5555
Saat ini pasien tidak mampu berjalan jauh karena merasa sesak. Nilai Braden scale: 18 (risiko sedang), Tingkat kecemasan: 18 (ringan)
14) Interaksi sosial Pasien memiliki seorang istri dan dua orang anak, kedua anak pasien sudah menikah dan tinggal terpisah. Saat ini peran dalam keluarga sebagai ayah, interaksi dengan keluarga baik. Namun selama dirawat
anak perempuannya belum menjenguk dikarenakan sedang hamil dan akan melahirkan. Bicara jelas dan dapat dimengerti dengan yang menerima informasi. c) Hasil lab. Tanggal 9/5/2017
9/5/2017
Jenis Pemeriksaan ₋Hematologi Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit ₋Kimia klinik SGOT SGPT -Fungsi ginjal Ureum darah Kreatinin darah ₋Diabetes Glukosa darah sewaktu Glukometer -Analisa gas darah pH PCO2 PO2 HCO3 O2 Saturasi BE -Elektrolit darah Natrium Kalium Klorida Calcium ion -Seroimunologi HBsAg Anti HCV
Nilai
Satuan
Nilai normal
8,8 28 5,8 306 3,24
g/dl % Ribu/ul Ribu/ul Juta/ul
11,7-15,5 33-45 5,0-10,0 150-440 3,80-2,0
37 1
U/l U/l
0-34 0-40
98 5,6
mg/dl mg/dl
20-40 0,6-1,5
77
mg/dl
70-140
89
mg/dl
7,328 26,4 128,9 13,5 98,4 -10,6
mmHg mmHg mmol/l
7,370-7,440 35,0-45,0 83,0-108,0 21,0-28,0
144 4,27 106 1,15
mmol/l mmol/l mmol/l mmol/l
135-147 3,10-5,10 95-108 1,5
Non reaktif Non reaktif
12/5/2017
13/5/2017
₋Hematologi Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit -Diabetes Glukosa puasa HBAIC ₋Hematologi Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit ₋Kimia klinik Fungsi ginjal Ureum darah Kreatinin
-Elektrolit darah Natrium Kalium Klorida Calcium ion ₋Asam urat darah ₋Fosfor ₋Magnesium 19/5/2017 Albumin ₋Kimia klinik Fungsi hati Protein urin kuantitatif
9,0 32 5,6 308 3,63
g/dl % Ribu/ul Ribu/ul Juta/ul
11,7-15,5 33-45 5,0-10,0 150-440 3,80-,20
53 5,8
mg/dl %
10,3 34 6,3 339 3,83
g/dl % Ribu/ul Ribu/ul Juta/ul
11,7-15,5 33-45 5,0-10,0 150-440 3,80-,20
133 7,4
mg/dl mg/d
20-40 0,6-1,5
143 5,00 116 1,12 10,9 4,70 2,40 2,80
mmol/l mmol/l mmol/l mmol/l mg/dl mg/dl mg/dl g/dl
135-147 3,10-5,10 95-108 1,5
5,288
mg24/ jam
< 150
13/5/2017
12/5/2017
13/5/2017 19/5/2017
3,40-4,80
Fungsi ginjal Kreatinin darah KGDH Jam 11.00 (Wib) Jam 16.00
6,4
mg/dl
0,6-1,5
89 114
mg/dl
70-140
Jam 06.00 Jam 06.00
90 104
19/5/2017
-Urinalisa Urobilinogen Protein urin Berat jenis Bilirubin Keton Nitrit pH Lekosit Darah/Hb Urin reduksi 19/5/2017 -Sedimen urin Eritrosit Lekosit Epitel Volume urin 24 jam Kreatinin urin CCT urin
0,2 Positif 2 1,020 Negatif Negatif Negatif 6,0 Positif 2 Positif 3 Negatif 35-40 Positif >50000 4400
ml
29,0 15,9
mg/dl ml/menit
97,0137,0
d) Hasil USG menyimpulkan bahwa : •
Hepar Ukuran dan bentuk normal, permukaan regular. Sistemik bilier tidak melebar, vena porta dan vena hepatica baik. Tampak ascites di perihepatik.
•
Ginjal kanan Ukuran dan bentuk normal, ekhogenitas parenkim ginjal meningkat. Sistem pelviokalises tak melebar. Tak ada batu/SOL.
•
Ginjal kiri Ukuran dan bentuk normal. Ekhogenitas Ekhogenitas parenkim ginjal meningkat. Tak ada batu /SOL.
•
Vesica urinaria
Ukuran dan bentuk normal, dinding menebal, tak ada batu. •
Aorta Kaliber normal, tak tampak pembesaran KGB pada aorta.
•
Kesan : ✓
Chronic kidney disease bilateral
✓ Ascites massif ✓ Efusi ✓
pleura pleura bilateral bilateral
Cystitis
e) Hasil Echokardiografi Echokardiografi •
Fungsi global sistolik LV menurun, menurun, EF 22%
•
Gangguan compliance, LVEDP LVEDP meningkat
•
Kontraktilitas RV menurun, efusi perikard tanpa tanda tamponade, efusi pleura bilateral.
GFR (CCT hitung) = (140-53) x 62 = 13,3 ml/menit/1,73 m2 72 x 6 CTR= 70 % f) Terapi medikasi Nama obat
Dosis
Waktu
Rute
1 tablet
2x
PO
Paracetamol
1000 mg
3x
PO
Captopril
12,5 mg
3x
PO
Tramadol
2 ampul
Bila perlu
IV
Ceftriaxone
2 gr
1x
IV
Furosemide
5 cc
Per 24 jam
IV
Bicnat
Balance cairan tanggal 12/5/2014 (jam 14.00-20.00) Intake : 1400 cc Output : 200 cc IWL : (15 x BB) / 8 jam → dalam 1 shift = 15 x 62 / 8 jam = 116,25 cc BC = I – I – O – O – IWL IWL = 1400 – 1400 – 200 – 200 – 116,25 116,25 = +1083,75 cc/jam
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan
1.
Penurunan curah jantung b.d ketidakseimbangan volume sirkulasi & penurunan kerja miokard. DS: Pasien mengatakan napas terasa sesak, sesak mulai terasa sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS), sesak terasa meskipun sedang beristirahat. DO: pernafasan 30 1. Frekuensi x/menit. Bentuk dada simetris, tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi napas vesikuler , menurun pada bagian basal, tidak ada sianosis, tidak ada sputum, perkusi sonor, tidak teraba adanya masa. 2. Perkusi pekak pada ICS 5 dan 6, tidak teraba massa dan tidak ada nyeri tekan, auskultasi bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur/gallop 3. Edema ekstremitas atas dan bawah, edema periorbita kanan dan kiri.
Tujuan
Intervensi
Umum Khusus Setelah dilakukan Pasien akan Mandiri : tindakan menunjukkan : 1.Auskultasi bunyi jantung dan paru. keperawatan 4 x 1.Tekanan darah Evaluasi adanya edema 24 jam penurunan dalam batas perifer/kongesti vascular dan keluhan curah jantung normal dyspnea. teratasi 2.Frekuensi 2.Kaji adanya derajat hipertensi, awasi jantung dalam TD. batas normal 3.Evaluasi bunyi jantung, TD, nadi 3. Nadi perifer perifer, pengisian vaskuler, suhu dan kuat, sensori. 4.CRT <3 detik. 4.Kaji tingkat aktivitas Kolaborasi : 1.Awasi pemeriksaan lab: elektrolit, BUN. Foto dada. 2.Berikan obat antihipertensi 3.Berikan oksigen sesuai indikasi
4. Tanda-tanda
2.
vital: Tekanan darah: 150/110 mmHg, RR: 30 x/menit, Nadi: 98 x/menit, CTR: 70 % 5. Hasil echokardiografi: Fungsi global sistolik LV menurun, EF 22%, gangguan compliance, LVEDP meningkat, kontraktilitas LV menurun, efusi perikard tanpa tanda tamponade, efusi pleura bilateral. Kelebihan volume cairan b.d perubahan mekanisme regulasi (gagal ginjal) dengan retensi air. DS: pasien mengatakan badan bengkak sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. DO: 1 . Hasil pengukuran balance cairan tgl 12/5/2014 : +1083,75 cc. Terdapat edema pada ekstremitas atas kanan dan kiri, derajat 2. 2 . Terdapat edema pada ekstremitas bawah kanan dan kiri, derajat 3. Edema periorbita kanan dan kiri, Ureum: 98 mg/dl, Kreatinin: 5,6
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 minggu volume cairan seimbang
Pasien akan menunjukkan: 1.Haluaran dan berat jenis urin seimbang. 2.Berat badan mendekati BB kering. 3.Tanda vital dalam batas normal. 4.Tidak ada edema Nilai laboratorium fungsi ginjal dan elektrolit
Mandiri : 1. Awasi denyut jantung dan tekanan darah. 2. Catat pemasukan dan pengeluaran akurat. Termasuk cairan tersembunyi seperti aditif antibiotik. 3. Rencanakan penggantian cairan pada pasien. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam. Contoh kebutuhan cairan dibekukan menjadi es. 4. Timbang berat badan setiap hari (sesuai kemampuan pasien 5. Auskultasi paru dan bunyi jantung Kolaborasi : 1.Awasi pemeriksaan laboratorium: elektrolit, HbHt. Dan foto dada.
3.
4.
mg/dl, BB sebelum sakit: 49 kg, BB saat sakit: 62 Kg, Terjadi peningkatan BB sebanyak 13 Kg. CCT hitung: 13,3 ml/menit/1,73 m2. Elektrolit darah: Natrium: 14,4 mmol/l, Kalium: 4,27 mmol/l, Klorida : 106 mmol/l Intoleransi aktivitas b.d penurunan energi metabolik. DS: Pasien mengatakan napas sesak, meskipun hanya berjalan 5 menit DO: 1. Saat beristirahat tekanan darah 150/110 mmHg, Nadi 98 x/menit, Respirasi 30 x/menit. Setelah beraktivitas (turun dari tempat tidur duduk di kursi) tekanan darah 160/110 mmHg, nadi 104xmenit, respirasi 34x/menit. 2. Pasien tampak lebih sering di tempat tidur dengan posisi terlentang/miring dengan 1-2 bantal
membaik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam pasien dapat mempertahankan aktivitas sesuai kemampuan
Pasien akan menunjukkan : 1.Tekanan darah normal selama aktivitas, 2.Tidak adanya sesak napas, kelemahan dan kelelahan.
Kerusakan integritas kulit b.d toksin Setelah dilakukan Pasien akan uremik tindakan menunjukkan: DS: Pasien mengatakan kulit terasa keperawatan 1.Mempertahan
2.Berikan, batasi cairan sesuai indikasi 3.Berikan obat sesuai indikasi: a. Diuretik (furosemide) b. Antihipertensif (captopril 12,5 mg) c. Pertahankan kateter tak menetap, sesuai indikasi Siapkan untuk dialisis. Mandiri : 1.Evaluasi adanya intoleransi aktivitas, perhatikan kemampuan tidur/istirahat dengan tepat. 2.Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan/ dibutuhkan. 3.Rencanakan periode istirahat yang adekuat. 4.Berikan bantuan dalam aktivitas sehari-hari. 5.Tingkatkan tingkat partisipasi sesuai toleransi pasien.
Mandiri : 1. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskularisasi.
5.
kencang DO: 1. turgor kulit elastis, kelembaban kering dan pecah-pecah pada kedua kaki di bagian bawah. 2. Terdapat edema pada ekstremitas atas kanan dan kiri, edema derajat 2. 3. Terdapat edema pada ekstremitas bawah kanan dan kiri, derajat 3. 4. Scrotum tampak edema dan mengkilap. Nilai Braden scale: 18 (risiko sedang). Ketidakpatuhan terhadap rencana terapi b.d Regimen pengobatan dialisis, penolakan dan kurang pengetahuan DS: Pasien mengatakan tidak mau cuci darah, takut kondisinya memburuk seperti pasien sebelumnya DO: 1. Pasien didiagnosis GGK stage 5, dan disarankan untuk menjalani hemodialisa. 2. Pasien tampak terlihat cemas (ringan)
selama 3 x 24 jam kan kulit utuh integritas kulit 2.Pasien/ membaik keluarga menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan/ cedera kulit.
2. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa. 3. Inspeksi area tergantung terhadap edema. 4. Berikan perawatan kulit, batasi penggunaan sabun, berikan salep, krim atau minyak alami. 5. Pertahankan linen kering, bebas kerutan, selidiki keluhan gatal. 6. Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar
Setelah dilakukan Pasien akan tindakan menunjukkan: keperawatan 1.Pengetahuan selama 2 x 24 jam akurat tentang kepatuhan penyakit dan meningkat pemahaman program terapi, 2.Berpartisipasi dalam membuat tujuan dan rencana pengobatan, 3.Membuat
Mandiri: 1. Yakinkan persepsi/pemahaman pasien/orang terdekat terhadap situasi dan konsekuensi perilaku. 2. Tentukan sistem nilai 3. Dengarkan dengan aktif pada keluhan/ pernyataan pasien. 4. Identifikasi perilaku yang mengindikasikan kegagalan untuk mengikuti program pengobatan 5. Kaji tingkat ansietas, kemampuan kontrol perasaan tidak berdaya 6. Tentukan arti psikologis perilaku 7. Evaluasi sistem pendukung yang digunakan oleh pasien
pilihan pada 8. Kaji perilaku pemberi perawatan tingkat kesehatan pasien kesiapan 9. Terima pilihan/ titik pandang pasien berdasarkan 10. Buat sistem pengawasan diri: informasi yang penimbangan BB dan pembatasan akurat. cairan.
3. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
Tanggal 13-05-17
Diagnosa
Implementasi
Evaluasi
Penurunan curah 1. Melakukan auskultasi bunyi jantung S: Pasien mengatakan sesak napas bila banyak jantung b.d dan paru-paru. Bunyi jantung I&II bergerak ketidakseimbangan normal, bunyi paru- paru vesikuler. O:Pasien tampak terengah-engah saat volume sirkulasi 2. Mengkaji tingkat aktivitas. (sesak bila bangun/merubah posisi dari tidur ke duduk dan penurunan terlalu banyak bergerak edema ekstremitas masih terjadi, TD: 120/80 kerja miokard 3. Memberikan obat antihipertensi mmHg, Nadi: 92 x/menit, Respirasi: 28 x/menit. A: Masalah belum teratasi P: 1. Observasi nilai laboratorium (elektrolit) 2. Kaji adanya derajat hipertensi Kelebihan volume 1. Mengobservasi tanda-tanda vital. TD: S: Pasien mengatakan bengkak-bengkak mulai cairan b.d 120/80 mmHg, Nadi: 92 x/menit, berkurang. perubahan Respirasi: 28 x/menit. O: Tanda-tanda vital dalam batas normal, edema mekanisme 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran grade 3 di ekstremitas bawah, dan grade 2 di regulasi (gagal Intake : 1400 cc ekstremitas atas. Edema periorbita hilang ginjal) dengan Outake : 200 cc timbul, retensi air. IWL : 116,25 A: Masalah belum teratasi Balance: +1083,75 cc P: 3. Menimbang berat badan harian.BB: 1. Awasi nilai elektrolit 62 Kg 2. Tetap ukur Intake & output (libatkan 4. Melakukan auskultasi paru dan bunyi keluarga) jantung. 3. Motivasi untuk dialisis 5. Bunyi paru-paru vesikuler, BJ I &II normal.
6. Membatasi cairan sesuai indikasi (IWL + jumlah urin output) Memberikan terapi diuretik (furosemide 5mg/jam) Intoleransi 1. Mengevaluasi adanya intoleransi S: Pasien mengatakan lebih suka tidur terlentang aktivitas b.d aktivitas atau miring saja. penurunan energi 2. Menganjurkan keluarga untuk O: Nafas tampak terengah-engah saat berubah metabolik. memberikan bantuan dalam aktivitas posisi dari tidur ke duduk. Keluarga tampak sehari-hari membantu pasien saat makan dan ketika pasien berpindah A: Masalah belum teratasi P: Tingkatkan partisipasi sesuai toleransi Pasien. Kerusakan 1. Melakukan inspeksi pada kulit pasien. S: Pasien mengatakan kulit di sekitar kemaluan integritas kulit b.d Kulit tangan tampak edema, tidak ada terasa perih. toksin uremik luka, kulit kaki, tampak mengkilap, O: Tampak scrotum edema, menggunakan kering dan pecah- pecah. pampers. Area tergantung tampak kering, 2. Menganjurkan keluarga untuk edema (+). melakukan perawatan kulit dengan A: Masalah belum teratasi lotion/minyak P: 1. Berikan perawatan kulit 2. Anjurkan menggunakan pakaian dari katun. 3. Sangga daerah yang menggantung 14-05-17 Penurunan curah 1. Melakukan auskultasi bunyi jantung S: Pasien mengatakan napas sesak, tapi sedikit jantung b.d dan paru- paru. Bunyi jantung I&II berkurang dibandingkan kemarin, batuk tidak ketidakseimbangan normal, bunyi paru-paru vesikuler. ada.. volume sirkulasi 2. Memberikan obat antihipertensi O: Hipertensi derajat 1. Takikardi, Respirasi 28 dan penurunan (captopril 12,5 mg) x/menit. kerja miokard A: Masalah teratasi sebagian
Kelebihan volume cairan b.d perubahan mekanisme regulasi (gagal ginjal) dengan retensi air.
Intoleransi aktivitas penurunan produksi metabolik
3. Mengkaji adanya derajat hipertensi. TD 140/100 mmHg. Nadi 102 x/menit 4. Mengukur JVP. JVP 4+5 CmH2O 1. Mengobservasi tanda-tanda vital, TD: 140/100 mmHg, Nadi: 102 x/menit, Respirasi: 28 x/menit. 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran Intake : 1250 cc Outake : 600 cc IWL : 116,25 cc Balance: +533,75 cc 3. Menimbang berat badan harian.BB: 60 Kg 4. Membatasi cairan sesuai indikasi (IWL + jumlah urin output) 5. Memberikan terapi diuretik (furosemide 5 mg/jam) 1. Mengidentifikasi faktor stress 2. Meningkatkan tingkat partisipasi sesuai kemampuan pasien 3. Menganjurkan keluarga memberi bantuan dalam melakukan aktivitas
P: 1. Awasi nilai lab elektrolit 2. Motivasi dialisis S: Pasien mengatakan senang berat badannya berkurang. O: Penurunan BB 1 Kg (pengeluaran cairan 716,25 cc). Edema ekstremitas bawah grade 3, edema ekstremitas atas grade 2. Edema pada scrotum berkurang. A: Masalah teratasi sebagian P: 1. Awasi nilai elektrolit 2. Tetap ukur intake & output (libatkan keluarga). 3. Beri reinforcement positif atas pencapaian pasien
S: Pasien mengatakan sekarang sudah bisa tidur dengan posisi miring O: Aktivitas masih dibantu keluarga. Napas energi masih tampak sesak bila banyak bergerak. A: Masalah teratasi sebagian P: Rencanakan periode istirahat adekuat Kerusakan 1. Menginspeksi kulit. Edema S: Pasien mengatakan kulit bokong terasa perih integritas kulit b.d ekstremitas atas berkurang, kaki O: Kulit bokong tampak merah (iritasi diaper), toksin uremik masih terlihat kering. edema scrotum berkurang, tampak scrotum 2. Menganjurkan keluarga untuk kemerahan. Kulit kaki masih kering. berpartisipasi dalam perawatan kulit A: Masalah teratasi sebagian b.d
pasien. Menggunakan lotion atau minyak alami. 3. Melembabkan daerah kulit yang kering dengan melakukan kompres menggunakan air (losion/minyak sedang habis persediannya) Ketidakpatuhan 1. Mendengarkan dengan aktif keluhan terhadap rencana pasien terapi b.d regimen 2. Mengkaji tingkat ansietas. Ansietas pengobatan, ringan. penolakan 3. Meyakinkan persepsi/pemahaman pasien/orang terdekat terhadap situasi dan konsekuensi perilaku.
15-05-17
Penurunan curah 1. Mengauskultasi bunyi jantung dan jantung b.d paru-paru. Bunyi jantung I&II ketidakseimbangan normal, bunyi paru-paru vesikuler. volume sirkulasi 2. Memberikan obat antihipertensi dan penurunan (captopril 12,5 mg) kerja miokard 3. Mengkaji adanya derajat hipertensi. TD 120/80 mmHg. Kelebihan volume 1. Mengobservasi tanda-tanda vital, TD: cairan b.d 120/80 mmHg, Nadi: 95 x/menit, perubahan Respirasi: 26 x/menit. mekanisme 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran regulasi (gagal Intake : 700 cc
P: Anjurkan keluarga untuk menjaga kebersihan daerah bokong, jangan menggunakan bedak dengan jumlah banyak.
S: Pasien mengatakan saya tidak mau cuci darah, takut seperti pasien yang sebelumnya (kondisi memburuk). O: Pasien dan keluarga mendengarkan dan berpartisipasi aktif saat diberi penjelasan. Pasien tampak cemas ringan A: Masalah belum teratasi P: 1. Tentukan arti psikologis perilaku 2. Buat sistem pengawasan diri. S: Pasien mengatakan rasa sesak berkurang berkurang, batuk tidak ada. O: Tekanan darah dalam batas normal, nadi perifer kuat, respirasi 26 x/menit. A: Masalah teratasi sebagian P: Anjurkan pasien agar mau menggunakan oksigen apabila sesak. S: Pasien mengatakan saya senang timbangan BB sudah berkurang, bengkak di badan sudah berkurang.
ginjal) dengan retensi air.
Intoleransi aktivitas penurunan produksi metabolik
Outake : 530 cc IWL : 116,25 cc Balance: +53,75 cc 3. Menimbang berat badan harian.BB: 57 Kg 4. Membatasi cairan sesuai indikasi (IWL + jumlah urin output) Memberikan terapi diuretik (furosemide 5 mg/jam). 1. Meningkatkan tingkat partisipasi b.d sesuai kemampuan pasien 2. Menganjurkan keluarga memberi energi bantuan dalam melakukan aktivitas seperti toileting.
O: Edema ekstremitas awah grade 2, edema periorbita hilang timbul, edema scrotum grade 1. A: Masalah teratasi sebagian P: 1. Awasi nilai lab elektrolit 2. Tetap ukur intake & outtake Libatkan keluarga.
S: Pasien mengatakan belum kuat untuk berjalan. O: Tampak aktivitas dilakukan hanya di sekitar tempat tidur. A: Masalah teratasi sebagian P: 1. Rencanakan periode istirahat adekuat 2. Beri kenyamanan (hindarkan pasien dari perasaan adanya nyeri). Kerusakan 1. Melakukan inspeksi kulit. Edema S: Pasien mengatakan merasa lebih nyaman integritas kulit b.d ekstremitas atas berkurang, kulit dengan kondisi kulitnya yang sekarang. toksin uremik kering/pecah-pecah berkurang.. O: Pecah-pecah di kaki berkurang, edema derajat 2. Melakukan perawatan kulit dengan 2 pada metatarsal. memberikan minyak alami dan pijatan A: Masalah teratasi sebagian ringan pada daerah kaki P : Pantau masukan cairan dan hidrasi. Ketidakpatuhan 1. Meyakinkan pasien terhadap rencana S: Pasien mengatakan saya sudah mendapatkan terhadap rencana terapi (cuci darah) yang akan gambaran tentang penyakit dan prosedur, terapi b.d regimen dilakukan, dengan cara melakukan akan saya pertimbangkan lagi. pengobatan, penjelasan mengenai : O: Ekspresi wajah tenang, mendengarkan aktif.. penolakan A: Masalah teratasi sebagian ✓ Kondisi penyakit saat ini
✓
Pengertian hemodialisa Akibat apabila tidak hemodialisa ✓ Keuntungan hemodialisa ✓ Prosedur hemodialisa 2. Memberikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk membuat keputusan/pilihan 1. Melakukan auskultasi bunyi jantung dan paru- paru. Bunyi jantung I&II normal, bunyi paru- paru vesikuler. 2. Memberikan obat antihipertensi (captopril 12,5 mg) 3. Mengkaji adanya derajat hipertensi. TD 120/80 mmHg. 4. Memberikan penguatan untuk prosedur hemodialisa 1. Mengobservasi tanda-tanda vital, TD: 130/80 mmHg, Nadi: 100 x/menit, Respirasi: 24 x/menit. 2. Mencatat pemasukan dan pengeluaran Intake: 840 cc Outake: 700 cc IWL : 116,25 cc Balance: 3,75 cc 3. Menimbang berat badan harian. BB: 56 Kg 4. Membatasi cairan sesuai indikasi (IWL + jumlah urin output)
P : Terima pilihan/titik pandang pasien
✓
16-05-17
Penurunan curah jantung b.d ketidakseimbangan volume sirkulasi dan penurunan kerja miokard
Kelebihan volume cairan b.d perubahan mekanisme regulasi (gagal ginjal) dengan retensi air.
S: Pasien mengatakan sesak sudah b erkurang. O: Tanda-tanda vital dalam batas normal, A: Masalah teratasi sebagian P: Awasi laboratorium elektrolit.
S: Pasien mengatakan badan terasa lebih ringan. O: Tanda-tanda vital dalam batas normal, penurunan BB 1 Kg (pengeluaran cairan 816,25 cc). Edema ekstremitas atas grade 1 dan bawah grade 2. A: Masalah teratasi sebagian P: Ganti kateter, awasi tanda-tanda infeksi
5. Memberikan terapi diuretik (furosemide 5 mg/jam) Memberikan anjuran kepada keluarga untuk memodifikasi cairan dengan cara dibekukan (es batu). Intoleransi 1. Meningkatkan tingkat partisipasi S: Pasien mengatakan sesak terasa bila berjalan aktivitas b.d sesuai kemampuan pasien beberapa langkah. penurunan 2. Menganjurkan keluarga memberi O: Tampak aktivitas hanya tiduran dan duduk di produksi energi bantuan dalam melakukan aktivitas kursi. Napas tampak cepat, frekuensi 22 metabolik sehari-hari. xmenit. A: Masalah teratasi sebagian P: Berikan penguatan dan dukungan untuk Kerusakan 1. Melakukan inspeksi kulit. Edema S: Pasien mengatakan kenapa kaki sebelah kiri integritas kulit b.d ekstremitas atas berkurang, kulit betis lebih bengkak dibandingkan yang sebelah toksin uremik sudah tidak terlalu kering. kanan. 2. Melakukan perawatan kulit dengan O: Edema ekstremitas bawah grade 2, kulit memberikan minyak alami pada pecah-pecah berkurang, keluarga kedua betis kaki. berpartisipasi dalam perawatan kulit. A: Masalah teratasi sebagian. P: Anjurkan pasien dan keluarga untuk selalu menjaga dan memperhatikan kelembaban kulit. Ketidakpatuhan 1. Mengevaluasi tingkat ansietas. Skala S: Pasien mengatakan saya mau di cuci darah. terhadap rencana cemas: 18 O: Ekspresi wajah tenang, tingkat kecemasan terapi b.d regimen 2. Memberikan umpan balik positif ringan. pengobatan, terhadap upaya keterlibatan pasien A: Masalah teratasi sebagian. penolakan dalam terapi P: Berikan reinforcement positif atas keputusan pasien.
B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUP FATMAWATI 1. Pengkajian
a) Identitas Pasien : Nama
: Tn. D
Tanggal lahir
: 05-02-1949
Jenis Kelamin
: Laki-laki
No. RM
: 139.73.51
Umur
: 67 tahun
Tanggal masuk
: 27 Mei 2013
Tanggal pengkajian : 27 Mei 2013 Suku bangsa
: Jawa
Dx. medis
: Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
b) Keluhan utama ketika pasien datang Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 3 minggu SMRS c) Riwayat penyakit sekarang Pasien datang dengan keluhan sulit BAK. Tiga minggu SMRS, pasien mengeluh sulit BAK. Pasien harus mengejan saat BAK dan terasa tidak tuntas. Urin masih menetes setelah BAK. Pasien lalu memeriksakan diri ke rumah sakit pada tanggal 20 Mei 2013 dan dipasang selang kateter. Pasien kembali kontrol pada tanggal 27 Mei 2013. Saat itu, selang di lepas. Namun, sore harinya, kateter kembali dipasang karena pasien tidak dapat BAK. Dokter memberikan terapi Terazosin yang diminum 2 kali per hari. Saat ini, pasien masih terpasang kateter. Pasien mengatakan saat ini tidak ada keluhan nyeri saat berkemih. Riwayat hipertensi (-), DM (), riwayat batuk darah (+) saat pasien berusia 12 tahun. Saat ini, keluhan batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), sesak (-), nyeri dada (-), demam (-), mual (-), muntah (-). Hasil pemeriksaan TD : 120/80 mmHg, N:84 x/ menit, RR: 20 x/ menit, T: 360C.
d) Riwayat penyakit sebelumnya Pada usia 12 tahun, pasien sempat mengalami batuk darah. Pada tahun 1972, pasien sempat mengalami sulit BAK. Jika BAK, terasa sulit dan harus mengejan. Saat itu, pasien meminum obat yang diberikan oleh temannya (pasien mengatakan tidak ingat dengan nama obat). Keesokan harinya, pasien dapat BAK dengan lancar. e) Pemeriksaan Fisik 1) KU/ tingkat kesadaran : KU sedang/ kesadaran CM 2) BB/ TB : 65 Kg/ 170 cm 3) IMT : 22,5 4) TTV : •
•
TD : 120/80 mmHg Nadi : 84 x/menit
•
RR : 20 x/menit
•
Suhu : 360 C
5) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada gangguan penglihatan. Reaksi pupil baik. Pasien menggunakan alat bantu penglihatan (kacamata). 6) Hidung : Tidak ada keluhan flu, tidak ada sumbatan, tidak ada gangguan penciuman, nafas cuping hidung (-). 7) Telinga : Tidak ada cairan abnormal yang keluar dari lubang telinga. Telinga simetris. Pasien tidak menggunakan alat bantu dengar. 8) Mulut : Sebagian gigi sudah tanggal, pasien menggunakan gigi palsu, tidak ada bau mulut, tidak ada sariawan, kebiasaan membersihkan gigi dan mulut 2x/hari.
9) Leher : Tidak terlihat peningkatan JVP, tidak ada keluhan sakit menelan, tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid. 10) Dada •
Paru-paru ✓
Inspeksi : dada terlihat simetris, tidak ada penggunaan otot bantu nafas
✓
Palpasi : lapang kanan dan kiri dada pasien sama
✓
Perkusi : sonor
✓
Auskultasi : bronkhial (+), bronkovesikuler (+), vesikuler (+), Rh -/-, Whezing -/-, mengi -/-,
•
Jantung : BJ1 dan BJ 2 normal , murmur (-) gallops (-)
11) Abdomen •
Inspeksi : tidak ada perbesaran
•
Auskultasi : BU (+)
•
Palpasi : tidak ada masaa, lembek
•
Perkusi : dullnes
12) Ektrimitas : akral hangat, bengkak/ edema ekstrimitas (saat pengkajian) tidak ada f) Pengkajian dengan pendekatan sistem tubuh 1) Aktivitas/ Istirahat Pasien merupakan pensiunan PPD sejak tahun 2003. Saat itu pasien bekerja di bagian teknisi. Pasien mengatakan, saat ini pasien memiliki sebuah counter pulsa yang dikelola oleh anaknya. Sesekali pasien mengunjungi counter pulsa. Pasien mengatakan tidak memiliki hobi khusus. Selam dirawat di rumah sakit pasien mengatakan tidak memiliki perasaan bosan. Pasien selalu membuat suasana santai. Pasien mengatakan meskipun saat ini terpasang kateter, pasien tetap dapat beraktivitas seperti biasanya. Pasien tidak merasa terganggu meskipun terpasang kateter. Biasanya pasien menggantungkan urine bag di bagian pinggang dan menutupinya dengan sarung jika hendak
pergi ke sekitar rumah. Pasien mengatakan s aat di rumah, r umah, tidur tidak tentu. Terkadang pasien tidur pukul 10 malam atau lebih dan bangun jam 4.30 pagi. Hasil pemeriksaan menunjukkan pasien merasakan segar saat terbangun. kesadaran baik dan status mental CM (compos mentis) dengan GCS 15. Penilaian kekuatan otot : Kanan Kiri Tangan5555 5555 Kaki
5555 5555
Rentang gerak pasien normal, tidak ditemukan deformitas pada ekstremitas, tidak terdapat tremor, dan tonus otot baik. 2) Sirkulasi Pasien mengatakan tidak ada rasa kesemutan atau baal pada kaki. Riwayat
hipertensi
(-),
masalah
jantung
(-),
riwayat
batuk/hemoptisis(+) saat pasien berusia 12 tahun, riwayat ri wayat DM tipe 2 (-), CRT < 3”, 3”, tanda homans (-), warna lidah = merah muda ; konjungtiva = tidak anemis ; sklera = tidak ikterik, diaforesis tidak ada, turgor kulit : elastis, membran mukosa lembab, edema ekstrimitas : tidak ada, asites : tidak ada, distensi vena jugularis : tidak ada, pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada 3) Integritas Ego Pasien mengatakan tidak memikirkan penyakit yang sedang dideritanya saat ini. Namun, pasien mengatakan cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Pasien mengatakan ini merupakan pertama kalinya pasien melakukan operasi. Pasien mengatakan sebelumnya sudah pernah dijelaskan tentang prosdur yang akan dilakukan. Dokter mengatakan pasien akan menjalani prosedur pembedahan prostat namun tidak dijelaskan terkait anestesi dan efek yang akan dirasakan setelah operasi. Hasil pengamatan menunjukkan status Emosi pasien stabil dan kooperatif. Pasien nampak tenang namun merasa sedikit khawatir dengan tindakan
operasi yang akan dijalani. Beberapa kali pasien nampak menarik nafas panjang dan menanyakan pertanyaan terkait tindakan operasi yang akan dijalani. 4) Eliminasi Pasien mengatakan tidak ada keluhan diare . BAB lancar 1x/hari, BAB konsistensi padat. Saat ini, pasien terpasang kateter dengan produksi per 24jam 24jam 3000-3500 3000-3500 cc. Hasil pemeriksaan menunjuukan nyeri tekan tidak ada. Abdomen lunak, tidak ada massa, bising usus (+) 5) Makanan dan Cairan Diit biasa 3x/hari porsi, keluhan muntah dan mual (-), gangguan menelan (-), alergi terhadap makanan tertentu (-). Sebelum masuk rumah sakit, pasien makan 3x per hari. Alergi makanan (-), masalah menelan (-). Hasil pemeriksaan berat badan pasien 65 kg dengan tinggi badan 170 cm. Sehingga didapatkan IMT pasien 22,5 dan masih dalam batas normal. 6) Hygiene Aktifitas sehari-hari dilakukan secara mandiri. Saat ini pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa meskipun terpasang selang kateter. umum pasien bersih, tidak ada bau badan, pakaian sesuai dengan kondisi/keadaan, kutu rambut (-). 7) Neurosensori 7) Neurosensori Pasien mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala. Tidak merasa kebas dan tidak ada gangguan pendengaran. Hasil pemeriksaan menunjukkan status mental/ tingkat kesadaran pasien adalah compos mentis (CM). Pasien masih terorientasi waktu, tempat dan orang.
Pasien dapat dapat mengingat memori jangka panjang (riwa yat pasien masuk RS) dan riwayat jangka pendek. Reaksi pupil baik. Pasien menggunakan alat bantu penglihatan. Penggunaan alat bantu dengar tidak ada.
8) Nyeri/ 8) Nyeri/ Ketidaknyamanan Saat ini pasien mengatakan nyeri sudah tidak ada setelah dipasang kateter. Namun, saat selang kateter dilepas, pasien mengatakan nyeri saat BAK dengan skala 7 dari total 10. Saat dilakukan pengkajian, pasien tidak merasakan nyeri. Mengerutkan muka (-), penyempitan fokus (-). 9) Pernapasan Saat dilakukan pengkajian, pasien mengatakan tidak merasakan sesak. Pasien juga mengatakan tidak ada keluhan batuk ataupun sakit tenggorokan. Pasien memiliki riwayat perokok berat namun saat ini pasien sudah tidak merokok. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan didapatkan RR pasien adalah 20 kali/menit, nafas cuping hidung tidak ada. Penggunaan otot bantu nafas tidak ada. Paru kanan dan kiri simetris. Tidak ada sianosis. Auskultasi dilakukan dengan mendengarkan suara pernapasan diperoleh hasil suara nafas bronkhial bronkhial (+), bronkovesikuler bronkovesikuler (+), vesikuler (+), Rh -/-, Whezing -/-, mengi-/-. 10) Keamanaan Pasien dapat berakitivitas secara normal. Pasien masih mampu berjalanjalan dan tidak menggunakan menggunakan alat bantu. Alergi Alergi terhadap obat tidak ada. Pemeriksaan TTV khususnya suhu adalah 360C (afebris), tidak ada diaforesis. Tonus otot baik. Rentang gerak aktif, cara berjalan normal. 11) Seksualitas Sebelumnya pasien tidak pernah memiliki riwayat pembesaran prostat. Pasien terpasang chateter folley, dan kadang pasien menggantungkan urin bag di bagian pinggang saat akan beraktivitas. 12) Interaksi Sosial Pasien sudah menikah selama 43 tahun. Pasien memiliki lima orang anak yakni tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Namun, anak ketiga pasien meninggal dunia pada tahun 2003 karena kecelakaan motor. Saat ini pasien sudah memiliki lima orang cucu.
Bicara pasien jelas. Pasien selalu berkomunikasi baik dengan keluarga terutama istri. Istri pasien selalu menunggui pasien. Anak-anak pasien secara bergantian menjenguk pasien setiap harinya. Anak-anak pasien tidak menunggui pasien karena harus bekerja esok hari. 13) Penyuluhan dan pembelajaran Bahasa dominan pasien adalah bahasa Indonesia. Pasien mampu membaca dan menulis, tingkat pendidikan terakhir pasien adalah SMP. Pasien mengetahui tentang penyakit yang dialaminya saat ini. g) Pemeriksaan penunjang Data laboratorium Test
Hasil Pemeriksaan
Nilai normal
Hematologi Darah Rutin 12,10
5 – 10 ribu/mm 3
Netrofil
72,1
50 – 70 %
Limfosit
21,8
25 – 40%
Monosit
4,6
2 – 8%
Eosinofil
0,8
2 -4 %
Basofil
0,7
0 – 1%
Eritrosit
5,21
3,6 – 5,8 juta/ul
Hb
14,8
12 – 16 g/dl
Ht
44
35 – 47 fL
MCV/VER
84,5
80,0- 100,0 %
Leukosit Hitung Jenis
MCH/HER
33,5
26,0- 34,0 pg
MCHC/KHER
33,5
32,0-36,0 %
RDW - CV
12
11,5- 14,5 %
Trombosit
290
150 – ribu/mm3
GDS
173
< 200 mg/dl
SGOT
15
0-37 U/L
SGPT
16
0-40 U/L
440
Hemostasis Test
Hasil Pemeriksaan
Nilai normal
PT INR PT
10,7
10-14 detik
INR
0,90
Control
11,7
10-13,8 detik
APRR os
35,1
29-40 detik
Control
34,2
28,9-38,3 detik
APTT
Test
Hasil Pemeriksaan
Nilai normal
Elektrolit Na
137
135 – 145 mmol/L
K
4,50
3,5 – 5,5 mmol/L
Cl
101,0
98 – 109 mmol/l
Ureum
55
20 – 40 mg/dl
Creatinin
1,3
0,8 – 1,5 mg/dl
h) Laporan operasi 1) Pre operasi •
Pengkajian Pasien dijadwalkan operasi pada tanggal 28 Mei 2013. Pada pukul
24.00 tanggal 27 Mei 2013 atau 8 jam sebelum operasi pasien diminta untuk puasa. Pasien tidak diperbolehkan makan dan minum sampai tindakan operasi selesai. Sehari sebelum operasi atau tanggal 27 Mei 2013, pasien diberikan informasi terkait tindakan operasi TURP yang akan dijalani. Pasien juga diajarkan teknik nafas dalam untuk mengurangi ansietas. Pasien diantar ke ruang Instalasi Bedah Sentral (IBS) pada pukul 08.00 pagi pada tanggal 28 Mei 2013. Sebelumnya pasien diberikan premedikasi dan dilakukan pengecekan checklist pre op yang meliputi tidak menggunakan gigi palsu, pewarna kuku, maupun perhiasan. Tn. D diantar ke ruang IBS dengan menggunakan kursi roda. Sesampainya di ruang IBS, Tn. D dibantu untuk berganti baju pasien. pasien mengatakan sedikit cemas setelah diantar ke ruang operasi. Tn. D diingatkan kembali cara melakukan nafas dalam untuk mengurangi ansietas. 2) Intra operasi •
Pengkajian Pasien dibawa ke ruang operasi pada pukul 09.15 WIB. Pasien dipindahkan dari tempat tidur biasa ke tempat tidur operasi. Pasien berada pada posisi litotomi dengan anestesi spinal. Medikasi yang digunakan Bupivacain spinal 5% 12,5 gr dam fentanyl 25 mg. Pasien lalu terpasang O2 liter/menit. Pemantauan TTV pukul 09.30, TD : 140/90 N: 80. Pukul 09.35 operasi TURP dimulai. Alat sitoskopi dimasukkan dan dokter memantau besarnya ukuran prostat melalui sebuah monitor. Setelah alat mencapai prostat, secara perlahan-lahan jaringan prostat yang membesar mulai dikikis. Jaringan yang telah dikikis di keluarkan dengan menggunakan cairan irigasi dextrose 5%. TURP secara sistematis
dilakukan
dan didapat jaringan prostat sebanyak 30
gr. Setelah jaringan prostat selesai di kikis, pasien lalu dipasang kateter threeway dengan ukuran 24 fr. Traksi dilakukan dan
dipasang di bagian paha pasien. Irigasi langsung dilakukan dengan menggunakan cairan NaCl 0,9%. Tanda-tanda vital post op 124/62, N 60 kali per menit. Operasi selesai pada pukul 10.45. Setelah itu, pasien dibawa ke ruang pemulihan dengan instruksi pemantauan TTV post op dan irigasi non stop selama 24 jam. 3) Post Operasi •
Pengkajian Pada pukul 10.45 WIB, pasien diantar ke Recovery Room (RR) menggunakan tempat tidur. Kesadaran dalam kondisi CM, orientasi pasien terhadap waktu, tempat, dan orang baik. Pasien tidak mengeluh pusing, mual, dan nyeri pada area luka operasi. TTV pada pukul 10.45 WIB diperoleh hasil TD124/62 mmHg, N 60, SPO2 100%. Pasien terpasang kateter threeway dengan cairan irigasi Nacl 0,9% dengan tetesan lebih dari 30 tpm. Instruksi post op diantaranya bedrest selama 24 jam, pantau cairan irigasi jangan sampai habis, pantau tanda-tanda vital setiap 15 menit sekali pada 2 jam pertama pot operasi, anjurkan makan dan minum sedikit demi sedikit, berikan kaltopren supp 3x1 jika terasa nyeri. Pada pukul 11.00 pasien diantar ke ruang rawat anggrek tengah kanan. Sesampainya di ruangan, pasien diberikan posisi semi fowler. Mahasiswa menjelaskan terkait cairan irigasi yang harus diganti dan jangan sampai terputus. Mahasiswa melakukan pemantauan tanda- tanda vital setiap 15 menit pada 2 jam pertama post operasi. Saat dilakukan monitoring irigasi, terlihat urine pasien berwarna merah muda, tidak ada clot, dan lancar. Pasien mengatakan nyeri pada luka post op. Pasien mengatakan sudah mulai makan dan minum sedikit demi sedikit.
i) Daftar terapi medis Jenis Obat Pre Op Injeksi
Nama Obat
Dosis
Cara Kerja Obat
Ceftizoxim
2 x 1gr
Termasuk antibiotika belaktam golongan sefalosporin. Mekanisme kerja dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Indikasi untuk menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai penyakit pada paru-paru, kulit, tulang, sendi, perut, darah, dan saluran kencing
Post Op Injeksi
Ceftizoxim
2 x 1 gr
Injeksi
Vit K
3x1
Termasuk antibiotika belaktam golongan sefalosporin. Mekanisme kerja dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Indikasi untuk menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai penyakit pada paru-paru, kulit, tulang, sendi, perut, darah, dan saluran kencing Meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan darah yang berlangsung di hati. Digunakan untuk mencegah atau mengatasi perdarahan akibat defisiensi vitamin K
Injeksi
Vit C
1 x 400 mg
Injeksi
Transamin
3x1
Supositoria
Kaltrofen
3x1
Berfungsi sebagai antioksidan dan meningkatkan sistem imun tubuh Bekerja dengan menghambat fibrinolisi. Biasanya digunaka untuk mengatasi perdarahan pada kasus paru, THT, interna, dan bedah Memiliki efek analgesik dan antipiretik. Bertindak dengan cara menghambat produksi prostaglandin tubuh
Analisis Data Pre Op Data Pengkajian Ds: - Pasien mengatakan khawatir dengan prosedur operasi yang akan dilakukan - Pasien mengatakan tidak mengetahui prosedur yang akan dilakukan Do: - Pasien nampak tegang - Pasien nampak nervous
Masalah Keperawatan Ansietas
Ds: - Pasien mengatakan mendapatkan penjelasan bahwa pasien akan menjalani operasi TURP - Pasien tidak mengetahui prosedur operasi yang akan dijalani mengatakan belum mendapatkan - Pasien penjelasan tentang anestesi yang akan digunakan - Pasien mengatakan tidak mengetahui dampak yang terjadi setelah operasi
Kurang pengetahuan
Do: - Melaporkan masalah yang dihadapi - Pasien tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan
Post Op Data Pengkajian Ds: - Pasien mengeluhkan nyeri saat berkemih - Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang terpasang kateter - Pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakannya adalah 6 dari nilai maksimal 10 - Pasien mengatakan setelah minum obat, nyeri sedikit berkurang namun tidak hilang Do: - Pasien terlihat mengernyitkan wajah - Pasien nampak menarik nafas panjang beberapa kali Faktor risiko - Kurang pengetahuan - Prosedur pembedahan
Masalah Keperawatan Nyeri
Risiko perdarahan
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Dx. Keperawatan Ansietas
Kurang pengetahuan b.d tidak familiar dengan sumber informasi/ kurang informasi
Ds: - Pasien
Tujuan Setelah dilakukan asuhan kekeperatan selama 1 x 20 menit, Pasien akan menunjukkan cara koping adaptif terhadap stres
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x30 menit pasien dapat memahami tentang proses tidak penyakit dan
Intervensi Keperawatan Kriteria Evaluasi Rencana Tindakan - Pasien mengungkapkan 1. Diskusikan tentang perasaan ansietas, penyebab perasaan pasien saat ansietas, dan perilaku akibat sedang menghadapi ansietas masalah atau tekanan. - Pasien mampu 2. Identifikasi situasi mendemonstrasikan cara yang membuat pasien mengatasi ansietas secara ansietas positif 3. Ajarkan pasien - Tanda – tanda vital dalam teknik relaksasi batas normal : TD 100/70-120/90 mmHg RR 18-20 x/mnt Suhu 36-37 oC Nadi 60-100 x/mnt - Memahami tentang prosedur Mandiri operasi yang akan dijalani 1. Observasi tanda vital - Tanda – tanda vital dalam 2. Dorong pasien batas normal : menyatakan rasa takut TD 100/70-120/90 mmHg persaan dan perhatian. RR 18-20 x/mnt 3. Kaji ulang proses Suhu 36-37 oC penyakit,pengalaman Nadi 60-100 x/mnt pasien 4. Jelaskan terkait prosedur operasi yang akan dijalani
Rasional 1. Dengan mengenal ansietasnya, pasien akan lebih kooperatif terhadap tindakan keperawatan. 2. Menyamakan persepsi bahwa ansietas terjadi pada pasien 3. Membantu mengurangi ansietas
Mandiri 1. Mengetahui perkembangan lebih lanjut terkait kondisi pasien 2. Membantu pasien dalam menyelami perasaan. 3. Memberikan dasar pengetahuan dimana
mengetahui prognosisnya. prosedur operasi yang akan dijalani - Pasien mengatakan tidak mengetahui dampak yang terjadi setelah operasi
pasien dapat membuat pilihan informasi terapi. 4. Meningkatkan pengetahuan pasien.
Do: - Melaporkan masalah yang dihadapi. - Pasien tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Nyeri b.d spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x30
- Pasien mengatakan nyeri berkurang / hilang. - Ekspresi wajah pasien tenang. - Pasien akan
Mandiri 1. Observasi tanda vital 2. Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman 3. Tingkatkan tirah baring,
Mandiri 1. Mengetahui perkembangan lebih lanjut terkait kondisi pasien
Ds: - Pasien mengeluhkan nyeri saat berkemih - Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang terpasang kateter - Pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakannya adalah 6 dari nilai maksimal 10 - Pasien mengatakan setelah minum obat, nyeri sedikit berkurang namun tidak hilang
menit rasa nyeri yang dirasakan pasien dapat berkurang atau hilang
menunjukkan ketrampilan relaksasi. - Pasien akan tidur / istirahat dengan tepat. - Tanda – tanda vital dalam batas normal : TD 100/70-120/90 mmHg RR 18-20 x/mnt Suhu 36-37 oC Nadi 60-100 x/mnt
bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting 4. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman 5. Anjurkan pada pasien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TURP 6. Latih pasien teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri 7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Kolaborasi Berikan analgesik indikasi
2. Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat/relaksasi 3. Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri 4. Menurunkan iritasi meningeal, resultan ketidaknyamanan lebih lanjut 5. Mengurangi tekanan pada luka insisi 6. Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot yang meningkatkan reduksi sesuai nyeri atau rasa tidak nyaman 7. Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih
Do: - Pasien terlihat mengernyitkan wajah - Pasien nampak menarik nafas panjang beberapa kali Risiko perdarahan
dengan peningkatan spasme. Kolaborasi Diperlukan untuk menghilangkan nyeri yang berat dan tidak dapat ditolerir pasien Setelah
- Pasien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan. - Tanda – tanda vital dalam batas normal : TD 100/70-120/90 mmHg RR 18-20 x/mnt Suhu 36-37 oC Nadi 60-100 x/mnt - Urine lancar lewat kateter .
1. Jelaskan pada pasien 1. Menurunkan tentang sebab terjadi kecemasan pasien perdarahan setelah dan mengetahui pembedahan dan tanda – tanda – tanda tanda perdarahan . perdarahan 2. Irigasi aliran kateter jika 2. Gumpalan dapat menyumbat kateter, terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter menyebabkan 3. Pantau traksi kateter: peregangan dan catat waktu traksi di perdarahan kandung pasang dan kapan traksi kemih dilepas 3. Traksi kateter 4. Pantau urin : warna, menyebabkan jumlah, konsistensi pengembangan balon 5. Observasi tanda vital ke sisi fosa prostatik, 6. Anjurkan pasien untuk menurunkan tidak melakukan valsava perdarahan. manuver Umumnya dikendurkan 3 – 6 jam
Kolaborasi setelah pembedahan. 7. Sediakan diet makanan 4. Mengetahui adanya tinggi serat dan memberi perdarahan obat untuk memudahkan 5. Mengetahui defekasi . perkembangan kondisi pasien 6. Mencegah peningkatan tekanan intra abdomen 7. Mencegah konstipasi karena pembatasan aktivitas
3. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
Tgl/Jam Senin, 27 Mei 2013
Diagnosa Ansietas
Mandiri 1. Mendiskusikan tentang perasaan pasien saat sedang menghadapi masalah atau tekanan. 2. Mengidentifikasi situasi yang membuat pasien ansietas 3. Mengajarkan pasien teknik relaksasi
Kurang pengetahuan b.d tidak familiar dengan sumber informasi/ kurang informasi
Mandiri 1. Mengobservasi tanda vital 2. Mendorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian. 3. Menjelaskan terkait prosedur operasi yang akan dijalani Prosedur operasi TURP Anestesi yang akan
Jam 13.0013.15
Senin, 27 Mei 2013 Jam 13.1513.30
Implementasi
Ds: tidak mengetahui - Pasien prosedur operasi yang akan dijalani mengatakan tidak - Pasien
• •
Evaluasi S: - Pasien mengatakan ini pertama kalinya pasien melakukan operasi - Pasien mengatakan cemas karena akan operasi besok - Pasien mengatakan cemas berkurang setelah melakukan nafas dalam O: - TD 120/80 mmHg - Nadi 84 x/menit - RR 20 x/menit - Suhu 36,5 0C - Pasien dapat melakukan nafas dalam dengan benar - Ekspresi wajah tenang A: Masalah teratasi S: Pasien mengatakan memahami penjelasan yang diberikan O: TD 120/80 mmHg Nadi 80 x/menit RR 20 x/menit Suhu 36,5 0 C Pasien mengerti dengan penjelasan yang
Rabu, 29 Mei 2013 Jam 16.0016.20
mengetahui dampak yang terjadi setelah operasi Do: masalah yang - Melaporkan dihadapi - Pasien tidah dapat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Nyeri b.d spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP Ds: - Pasien mengeluhkan nyeri saat berkemih - Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang terpasang kateter - Pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakannya adalah 6 dari nilai maksimal 10 - Pasien mengatakan setelah minum obat, nyeri sedikit berkurang namun tidak hilang Do: - Pasien terlihat mengernyitkan wajah - Pasien nampak menarik nafas panjang beberapa kali
digunakan beserta efek anestesi yang akan dirasakan Efek post operasi Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah operasi seperti pemantauan cairan irigasi, meningkatkan intake cairan minimal 3 liter Mandiri 1. Mengobservasi tanda vital 2. Memberikan lingkungan yang tenang dan nyaman 3. Meningkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting 4. Membantu untuk menemukan posisi yang nyaman 5. Menganjurkan pada pasien untuk tidak duduk selama 12 jam post op TURP 6. Melatih pasien teknik relaksasi untuk mengurangi nyeri 7. Menjaga selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan
diberikan A: Masalah teratasi
• •
S: - Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang terpasang kateter - Pasien mengatakan nyeri jika akan BAK - Pasien mengatakan skala nyeri 6 dari 10 - Pasien mangatakan melakukan nafas dalam jika terasa nyeri O: - TD 130/90 mmHg - Nadi 84 x/menit - RR 20 x/menit - Suhu 36,5 0C - Pasien dapat melakukan teknik nafas dalam dengan baik - Ekspresi wajah meringis - Pasien berada pada - Posisi 30 derajat - Selang terfikasasi dengan kuat A: Masalah teratasi sebagian - Memberikan lingkungan yang nyaman
8. pada kandung kemih. Kolaborasi Memberikan analgesik sesuai indikasi -Kaltopren supp 3x1
Kamis, 30 Mei 2013 Jam 13.1513.25
Nyeri b.d spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP Ds: - Pasien mengeluhkan nyeri saat berkemih - Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang terpasang kateter - Pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakannya adalah 6 dari nilai maksimal 10 - Pasien mengatakan setelah minum obat, nyeri sedikit berkurang namun tidak hilang Do: - Pasien terlihat mengernyitkan wajah - Pasien nampak menarik nafas
Mandiri 1. Mengobservasi tanda vital 2. Membantu untuk menemukan posisi yang nyaman 3. Mengevaluasi skala nyeri pasien 4. Mengevaluasi teknik relaksasi nafas dalam 5. Mengendurkan traksi selang kateter 6. Memotivasi pasien untuk latihan duduk 7. Memotivasi pasien untuk menggerakkan kaki
- Membantu menemukan posisi yang nyaman - Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam - Menjaga fiksasi selang kateter P: - Evaluasi skala nyeri pasien - Evaluasi terknik nafas dalam - Observasi TTV S: - Pasien mengatakan nyeri masih ada namun berkurang - Pasien mengatakan masih nyeri jika BAK - Pasien mengatakan skala nyeri 4 dari 10 - Pasien mengatakan melakukan nafas dalam jika sedang merasa nyeri - Pasien mengatakan sebelumnya takut untuk duduk karena takut sakit O: - TD 120/80 mmHg - Nadi 80 x/menit - RR 20 x/menit - Suhu 36,3 0C - Pasien terlihat duduk secara bertahap - Pasien nampak menggerakkan kakinya (ke atas) secara berhgantian A: Masalah teratasi sebagian
panjang beberapa kali
Jumat, 31 Mei 2013 Jam 17.0017.15
Nyeri b.d spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP Ds: - Pasien mengeluhkan nyeri saat berkemih - Pasien mengatakan nyeri pada bagian yang terpasang kateter - Pasien mengatakan skala nyeri yang dirasakannya adalah 6 dari nilai maksimal 10 - Pasien mengatakan setelah minum obat, nyeri sedikit berkurang namun tidak hilang Do: - Pasien terlihat mengernyitkan wajah - Pasien nampak menarik nafas panjang beberapa kali
Mandiri 1. Mengobservasi tanda vital 2. Membantu untuk menemukan posisi yang nyaman 3. Mengevaluasi skala nyeri pasien 4. Memotivasi pasien untuk melakukan aktivitas bertahap 5. Melakukan discharge planning
- Skala nyeri berkurang - Membantu pasien menemukan posisi yang nyaman - Memotivasi pasien untuk beraktivitas secara bertahap P: - Evaluasi skala nyeri pasien - Observasi TTV - Lakukan discharge palnning S: - Pasien mengatakan skala nyeri 3 dari 10 - Pasien mengatakan setelah selang dilepas, masih terasa nyeri saat BAK - Pasien mengatakan sudah mulai latihan berjalan - Pasien mengatakan memahami tentang hal yang tidak boleh dilakukan setelah operasi TURP O: - TD 120/80 mmHg - Nadi 80 x/menit - RR 20 x/menit - Suhu 36,3 0C - Kateter sudah dilepas - Pasien memahami penjelasan yang diberikan A: Masalah teratasi
Rabu, 29 Mei 2013 Jam 16.2016.30
Risiko perdarahan
Mandiri 1. Menjelaskan pada pasien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan . 2. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas. 3. Pantau urin : warna, jumlah, konsistensi 4. Observasi tanda vital 5. Anjurkan pasien untuk tidak melakukan valsava manuver 6. Memberitahu keluarga agar cairan irigasi tidak terputus
S: - Pasien mengatakan memahami tentang penyebab terjadinya perdarahan
Kolaborasi 7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menyediakan diet makanan tinggi serat 8. Memberikan terapi medikasi sesuai indikasi - Vit K 2 x 1 - Kalnex 3 x 1
A: Masalah teratasi sebagian - Menjelaskan tentang tanda dan penyebab perdarahan - Memantau traksi kateter - Memantai urin - Menganjurkan agar tidak melakukan valsava manuver P: - Evaluasi tanda perdarahan - Melepas traksi kateter - Memantau urin
O: - TD 130/90 mmHg - Nadi 84 x/menit - RR 20 x/menit - Suhu 36,5 0C - Traksi terpasang dengan kuat - Traksi terpasang pukul 10.30 di ruang operasi - Urin murni/24 jam 3000 cc, warna merah - Tidak ada clot - Tidak ada distensi kandung kemih
Kamis, 30 Mei 2013 Jam 13.2513.55
Risiko perdarahan
Mandiri 1. Memantau tanda perdarahan 2. Memantau urin : warna, jumlah, konsistensi 3. Mengobservasi tanda vital 4. Menganjurkan pasien untuk tidak melakukan valsava manuver 5. Memberitahu keluarga agar cairan irigasi tidak terputus 6. Menganjurkan pasien untuk makan makanan tinggi serat seperti sayur dan buah Kolaborasi 7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menyediakan diet makanan tinggi serat 8. Memberikan terapi medikasi sesuai indikasi - Vit K 2 x 1 - Kalnex 3 x 1
S: - Pasien mengatakan BAK sudah tidak terlalu sakit - Pasien mengatakan sudah makan buah O: - TD 120/80 mmHg - Nadi 80 x/menit - RR 20 x/menit - Suhu 36,3 0C - Traksi sudah dilepas - Kateter terfikasasi di paha - Urin jernih namun sedikit berwarna merah - Urin murni/24 jam 2800cc. - Tidak ada clot - Tidak ada distensi kanung kemih A: Masalah teratasi sebagian - Memantau urin - Memantau irigasi kateter - Memantau tanda perdarahan P: - Evaluasi urin - Obbservasi tanda perdarahan - Lakukan bladder training - Lepas kateter jika respon (+) - Observasi TTV - Lakukan discharge palnning
Jumat, 31 Mei 2013 Jam 17.1517.30
Risiko perdarahan
Mandiri 1. Memantau tanda perdarahan 2. Memantau urin : warna, jumlah, konsistensi 3. Mengobservasi tanda vital 4. Mengevaluasi kemampuan berkemih pasien 5. Melakukan discharge planning Kolaborasi 6. Memberikan terapi medikasi sesuai indikasi - Vit K 2 x 1 - Kalnex 3 x 1
S: - Pasien mengatakan BAK sudah lancar, tidak terputus-putur, tidak perlu mengedan, dan terapas puas setelah berkemih - Pasien mengatakan warna urin jernih tidak ada darah - Pasien mengatakan memahami tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan setelah operasi TURP O: - TD 120/80 mmHg - Nadi 80 x/menit - RR 20 x/menit - Suhu 36,3 0C - Kateter sudah dilepas - Pasien dapat menjelaskan hal yang harus dilakukan - Minum minimal 8 gelas per hari - Makan tinggi serat - Hindari minum teh - Pasien dapat menjelaskan hal yang tidak boleh dilakukan - Berhubungan seksual - Mengangkat beban berat - Tidak mengendarai kendaraan A: Masalah teratasi
BAB 4 PENUTUP
A. SIMPULAN
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap-akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah) (Suzanne & Brenda, 2002). Cairan rumatan normal saline merupakan cairan yang paling tepat digunakan utnuk irigasi bladder karena bersifat isotonik sehingga tidak mudah diabsorbsi oleh area di sekitar prostat yang akan menyebabkan sindrom TUR. Pemantauan ballance cairan dilakukan untuk mengetahui adanya sindrom TURP yang disebabkan karena absorbsi cairan irigasi oleh area di sekitar prostat. Pemantauan warna dan konsistensi urine dilakukan untuk mengetahui adanya hematuria atau adanya urin dalam darah. Konsumsi air putih disarankan mencapai tiga liter per hari untuk mencapai urin output yang baik dan mengurangi risiko terjadinya hematuria. Kecepatan tetesan dipertahankan 500ml/jam atau diatas 30 tpm untuk mencegah penumpukan clot. Infeksi saluran kemih atau ISK merupakan istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum, yaitu pencegahan tingkat pertama ( primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus,
pencegahan tingkat kedua (secondary prevention ) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.