BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
REFARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
OKTOBER 2017
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
KOAGULOPATI
DISUSUN OLEH: ANDI AZIZAH NOOR 111 2016 2086
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2017
A. DEFINISI
Koagulopati adalah kelainan darah yang menyebabkan darah terlalu cepat (hiperkoagulabilitas) yang cenderung menyebabkan thrombosis atau terlalu lambat mengalami
koagulasi
(hipokoagulabilitas)
yang
cenderung
menyebabkan
perdarahan. Kondisi ini sangat penting untuk diperhatikan selama perioperatif oleh dokter anestesi karena sangat berkaitan dengan persiapan preoperasi dan pasca operasi serta pemilihan teknik anestesi.
B. ETIOLOGI
Kalau dilihat dari etiologinya koagulopati dibagi menjadi koagulopati didapat
(acquired
coagulopathy)
coagulopathy). Koagulopati
dan
didapat
koagulopati
bisa
terjadi
congenital
(congenital
dikarenakan
pengobatan
antikoagulan dengan heparin, warfarin atau thrombin inhibitor seperti bivalirudin. Pemakaian suplemen yang mengandung bawang (garlic), gingko, ginseng juga bisa menyebabkan koagulopati. Koagulopati didapat yang tidak berkaitan dengan pengobatan antikoagulan yang penting diantaranya adalah koagulopati yang berkaitan dengan penyakit hati kronik, dimana pada kondisi seperti ini bisa terjadi defisiensi semua protein faktor koagulasi (terutama factor I, II, V, VII, IX, X). Penyakit hati kronik juga menyebabkan hipertensi porta yang berkaitan dengan varises esophagus dan splenomegali (dengan trombosit sequestrasi). Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak yang diperlukan dalam pembentukan protein faktor koagulasi yang dihasilkan dihepar (factor II, VII, IX, dan X). Defisiensi vitamin K disebabkan karena intake yang buruk dan malabsorbsi, kondisi seperti ini sering muncul bersamaan dengan penyakit hati kronik terutama sirosis bilier. Koagulopati didapat bisa juga terjadi pada kasus sepsis yang mengalami DIC (Disseminated intravascular coagulation), perdarahan yang banyak, pemberian tranfusi yang
massif, kondisi hipotermia dan asidosis. Serta pemakain HESS dengan dosis lebih dari 20 cc/KgBB. Koagulopati congenital disebabkan adanya kelainan congenital dari proses koagulasi seperti Hemofilia A ( defisiensi factor VIII) dan hemophilia B (defisiensi factor IX) yang tidak terlalu sering dijumpai
C. MEKANISME HEMOSTASIS NORMAL
Mekanisme hemostasis dan pembekuan darah melibatkan suatu rangkaian proses yang cepat. Proses-proses ini mencakup peran dari 4 komponen yakni 1) pembuluh darah, 2) platelet, dan 3) faktor pembekuan. Proses tersebut secara garis besar dibagi menjadi empat tahap yakni 1) vasokonstriksi, 2) pembentukan plug trombosit, 3) pembentukan bekuan darah, dan 4) penguraian bekuan darah. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut:
1. Vasokonstriksi Jika pembuluh darah terpotong, trombosit pada sisi yang rusak melepas serotonin dan tromboksan A2 (prostaglandin), yang menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Hal ini pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang.
2. Plug trombosit Trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak, membentuk plug trombosit. Trombosit melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Jika kerusakan pembuluh darah sedikit, maka plug trombosit
mampu menghentikan
perdarahan. Jika kerusakannya besar, maka plug trombosit dapat mengurangi perdarahan, sampai proses pembekuan terbentuk.
3. Pembentukan bekuan darah Mekanisme ekstrinsik pembekuan darah dimulai dari faktor eksternal pembuluh darah itu sendiri. Tromboplastin (membran lipoprotein) yang dilepas oleh sel-sel jaringan yang rusak mengaktivasi protrombin (protein plasma) dengan bantuan ion kalsium membentuk trombin. Trombin mengubah fibrinogen yang dapat larut, menjadi fibrin yang tidak dapat larut. Benang benang fibrin membentuk bekuan, atau jaring-jaring fibrin, yang menangkap sel darah merah dan trombosit serta menutup aliran darah yang melalui pembuluh yang rusak. Mekanisme intrinsik untuk pembekuan darah berlangsung dalam cara yang lebih sederhana daripada cara yang dijelaskan di atas. Mekanisme ini melibatkan 13 faktor pembekuan yang hanya ditemukan dalam plasma darah. Setiap faktor protein (ditunjukkan dengan angka romawi) berada dalam kondisi tidak aktif; jika salah satu diaktivasi, maka aktivitas enzimatiknya akan mengkativasi faktor selanjutnya dalam rangkaian, dengan demikan akan terjadi suatu rangkaian reaksi (cascade of reaction) untuk membentuk bekuan.
Tabel 1. Faktor-faktor pembekuan darah Faktor No.
Nama
Asal dan Fungsi
I
Fibrinogen
Protein plasma yang disintesis dalam hati; diubah menjadi fibrin.
II
Protrombin
Protein plasma yang disintesis dalam hati; diubah menjadi trombin.
III
Tromboplastin Lipoprotein yang dilepas jaringan rusak; mengaktivasi faktor VII untuk pembentukan trombin.
IV
Ion kalsium
Ion anorganik dalam plasma, didapat dari makanan dan tulang; diperlukan dalam seluruh tahap pembekuan darah.
V
VI
Proakselerin
Protein plasma yang disintesis dalam hati; diperlukan
(faktor labil)
untuk mekanisme ekstrinsik dan intrinsik.
(Nomor
tida Fungsinya dipercaya sama dengan fungsi faktor V
dipakai lagi) VII
Prokonvertin
Protein plasma(globulin)
yang disintesis dalam hati;
(sel akselerato diperlukan dalam mekanisme intrinsik. konversi seru protrombin) VIII
Faktor
Protein plasma (enzim) yang disintesis dalam hati
antihemolitik
(memerlukan vitamin K); berfungsi dalam mekanisme ekstrinsik.
IX
Plasma
Protein plasma yang disintesis dalam hati (memerlukan
tromboplastin
vitamin K); berfungsi dalam mekanisme intrinsik.
(faktor Christmas) X
Faktor Stuart- Protein plasma yang disintesis dalam hati (memerlukan Power
vitamin K); berfungsi dalam mekanisme ekstrinsik dan intrinsik.
XI
Antesenden
Protein plasma yang disintesis dalam hati; berfungsi
tromboplastin
dalam mekanisme intrinsik.
plasma XII
XIII
Faktor
Protein plasma yang disintesis dalam hati; berfungsi
Hageman
dalam mekanisme intrinsik
Faktor
Protein yang ditemukan dalam plasma dan trombosit;
penstabil
hubungan silang filamen-filamen fibrin.
fibrin
Gambar 1. Bentuk Y kaskade koagulasi
Pengaktifan pembentukan bekuan berlangsung melalui dua jalur terpisah, yang disebut jalur intinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik menjadi aktif apabila protein plasma berikatan dengan subendotel yang terpajan akibat kerusakan pembuluh darah. Trombosit dan protein yang disebut faktor von Willebrand (vWf) berikatan dengan subendotel yang terpajan tersebut, dan trombosit kemudian mengikat fibrinogen. Jalur ekstrinsik diaktifkan oleh faktor jaringan (TF atau faktor III) yang merupakan suatu protein yang terikat-membran yang terpajan pada permukaan sel stelah trauma. Trauma juga mengaktifkan perubahan faktor VII menjadi VIIa, dan faktor jaringan serta faktor VIIa membentuk suatu kompleks yang memutuskan faktor X menjadi faktor Xa. Jalur intrinsik dan ekstrinsik bertemu pada pengaktifan proteolitik faktor X
menjadi Xa. Faktor XII, XI, IX, VII, X, dan trombin adalah protease serin. Akibatnya trombin memutuskan fibrinogen menjadi fibrin, dan terbentuk bekuan “lunak” awal. Faktor XIIIa adalah suatu transglutamanidase. Faktor VIII dan V adalah kofaktor yang masing-masing membentuk kompleks dengan permukaan endotel dan faktor Ixa dan Xa. Reaksi yang diberi tanda “PL, Ca” berlangsung melalui kofaktor yang terikat ke fosfolipid (PL) di permukaan sel dalam suatu kompleks koordinasi-Ca2+. Pembekuan darah terdiri dari suatu urutan atau jenjang reaksi zimogen diubah menjadi protease dan kofaktor aktif melalui pemutusan satu atau lebih ikatan peptida mereka. Jenjang pembekuan darah. Pengaktifan pembekuan darah terjadi melalui jenjang proenzim yang secara berurutan mengaktifkan satu sama lain melalui pemutusan proteolitik. Misalnya, faktor IXa, yang merupakan suatu protease serin, mengaktifkan faktor IX, yang juga merupakan suatu protease serin, dengan memutuskan faktor IX menjadi faktor IXa. Pengaktifan yang cepat dan percepatan yang sangat besar dari kecepatan pembentukan bekuan terjadi karena, di setiap tahapan jenjang, 1 molekul enzim membentuk banyak molekul enzim aktif yang mengkatalisis tahapan jenjang selanjutnya. Jenjang ini berakhir pada pemutusan protrombin menjadi trombin, yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan faktor XIII menjadi faktor XIIIa. Fibrin berkumpul untuk membentuk “bekuan lunak”, yang kemudian mengalami
ikatan
silang
oleh
faktor
XIIIa.
Faktor
XIIIa
adalah
transglutaminidase yang menghasilkan ikatan peptida antara bagian glutamil dari glutamin pada satu monomer fibrin dan residu lisin pada monomer lainnya. Jalinan serat fibrin ini menangkap gumpalan trombosit dan sel lain, membentuk trombus atau bekuan darah yang menyumbat kebocoran jaringan vaskular. Dalam beberapa langkah kunci dalam jenjang pembekuan darah, protease terikat ke kompleks yang melekat ke permukaan trombosit yang telah berkumpul di tempat cedera. Faktor VII, IX, X, dan protrombin memiliki sebuah ranah dimana 1 atau lebih residu glutamat mengalami karboksilasi
menjadi ɤ-karboksilaglutamat. Ca2+ membentuk kompleks koordinasi dengan fosfolipid membran trombosit yang bermuatan negatif dan ɤ-karboksilat faktor pembekuan darah. Kofaktor protein misalnya faktor jaringan, faktor VIII dan faktor V terbenam sebagian di membran dan berfungsi sebagai “jaring” untuk menyusun kompleks enzim-kofaktor di permukaan trombosit. Misalnya, faktor VIIIa di membran membentuk kompleks dengan faktor IXa, yang melekat ke membran melalui khelasi Ca2+.
4. Penguraian bekuan darah Segera setelah terbentuk, bekuan akan beretraksi (menyusut) akibat kerja protein kontraktil dalam trombosit. Jaring-jaring fibrin dikontraksi untuk menarik permukaan yang terpotong agar saling mendekat dan untuk menyediakan kerangka kerja untuk perbaikan jaringan. Bersamaan dengan retraksi bekuan, suatu cairan yang disebut serum keluar dari bekuan. Serumadalah plasma darah tanpa fibrinogen dan tanpa faktor lain yang terlibat dalam mekanisme pembekuan. Secara detail, penguraian bekuan darah dijelaskan dalam paragraf selanjutnya. Apabila bagian jaringan vaskular yang rusak telah diperbaiki, bekuan darah tidak lagi dibutuhkan dan dilisiskan oleh plasmin, suatu protease serin yang mampu memutuskan fibrin dalam bekuan darah. Plasmin dibentuk dari prekusor inaktifnya, plasminogen, oleh aktivator plasminogen jaringan (TPA). Aktivator plasminogen jaringan mengikat plasminogen dan fibrin, sehingga plasmin dibebaskan secara langsung pada bekuan. Faktor VIII, adalah suatu kofaktor protein, atau protein modulator, dan bukan suatu enzim. Di dalam darah faktor VIII bersirkulasi dalam bentuk berikatan dengan faktor von wllebrand (vWf). Sewaktu trombin memutuskan dan mengaktifkan faktor VIII, faktor von Willebrand terlepas dan berikatan dengan permukaan endotel yang robek tempat faktor ini mengaktifkan agregasi trombosit. Faktor VIIIa membentuk suatu kompleks dengan faktor IXa dan
Ca2+ -fosfolipid (PL, Ca), yang menempati tempat pembentukan bekuan ke pembuluh yang cedera. Hemofilia A, atau hemofilia klasik, adalah defisiensi faktor VIII.
D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi kelainan hemostasis bisa berupa perdarahan ke dalam kulit atau jaringan dan juga dapat dengan gejala darah keluar dari tubuh. Perdarahan ke dalam kulit atau jaringan, dapat terlihat sebagai ptekia, ekimosis, purpura, hematoma dan hemartrosis. Sedangkan perdarahan yang disertai keluarnya darah dari tubuh bisa berupa epistaksis, perdarahan gusi, hemoptisi, hematemesis, melena, hematuri, metroragia. Ada
kalanya
kelainan
hemostasis
primer
maupun
sekunder
tidak
memperlihatkan gejala klinis perdarahan, sehingga sering seorang penderita baru diketahui mengidap kelainan hemostasis setelah tubuh komplikasi perdarahan akibat trauma atau suatu tindakan atau setelah suatu pemeriksaan penyaring hemostasis. Pada umumnya gejala klinik, perdarahan erat hubungannya dengan jenis dan derajat kelainan uji biologik hemostasis. Misalnya petekie terjadi karena kelainan trombosit atau pembuluh darah, sedangkan hemtoma terjadi karen faktor koagulasi.
E. DIAGNOSIS BANDING
Riwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik sangat penting, sebab banyak kondisi yang berbeda dapat memiliki hasil pemeriksaan laboratorium yang hampir sama. Sebagai contoh, tahap akhir pada gagal hati dan penyakit intravaskular diseminata dimana keduanya memiliki gejala trombositopenia dan perubahan yang hampir sama pada tes koagulasi, namun penanganan dan prognosis keduanya sangat berbeda. Pemeriksaan apus darah tepi adalah sebuah pemeriksaan yang
penting dalam banyak kasus untuk memastikan rendahnya jumlah dari perhitungan platelet dan ada atau tidaknya kriteria diagnostik lain seperti perpecahan dari sel darah merah, kelaianan pada morfologi platelet, atau bukti dari adanya displasia atau defisiensi hematinik. Jika penyebab dasarnya sudah dipastikan tidak merespon terhadap agen terapeutik yang bertujuan untuk memodifikasi respon koagulasi (contoh: pengobatan dengan antagonis vitamin K, heparinoid, atau penghambat faktor langsung Xa atau IIa), dokter perlu
mengevaluasi perjalanan dari pendarahan
tersebut yang mungkin dapat ditemukan adanya peteki dan pendarahan mukosa pada kelaianan platelet, kebocoran yang merata pada permukaan yang deepitelisasi, dan pendarahan yang cepat dari pembuluh darah besar yang rusak. Diagnosis laboratorium meliputi pengukuran kadar factor yang sesuai : factor VIII untuk hemophilia A atau factor IX untuk hemophilia B. karena factor – factor VIII dan IX merupakan bagian jalur intrinsic koagulasi, maka PTT memanjang, sedangkan PT, yang tidak melalui jalur intrinsic tetap normal. Waktu perdarahan, pemeriksaan fungsi trombosit biasanya normal, tetapi dapat terjadi perdarahan, pemeriksaan fungsi trombosit biasanya normal, tetapi dapat terjadi perdarahan yang lambat karena stabilisasi fibrin yang tidak adekuat. Jumlah trombosit normal.
F. PENATALAKSANAAN
Prinsip pertama penanganan jangan mengkoreksi
koagulopati pada perawatan intensif adalah
hasil abnormal pada pemeriksaan laboratorium dengan
produk darah kecuali jika terdapat adanya masalah pendarahan klinis atau dibutuhkannya prosedur operasi ataupun keduanya.
Perdarahan hebat
Kurangnya bukti yang baik disebabkan karena digunakannya komponen darah untuk menangani pendarahan utamanya. Pada beberapa dekade silam, saat komponen darah diberikan pada pasien perawatan internsif, manfaatnya tidak pernah dikaji pada uji klinis acak. Belakangan, sudah mulai terdapat pembatasan penggunaan komponen darah oleh karena kekhawatiran adanya infeksi yang ditularkan melalui transfusi (HIV, hepatitis, dan varian baru dari penyakit Creutzfeldt – Jakob) dan keterbatasan dalam suplai darah. Tidak terdapat uji klinis acak, uji terkontrol, studi retrospektif dari korban militer sehingga kemudian dilakukan studi serupa pada korban sipil yang menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dengan transfusi 1U plasma beku segar berisi sel darah merah. Hal tersebut telah menyebabkan pemberian yang lebih awal dari peningkatan jumlah unit dari plasma beku segar. Namun, studi ini dikritik, terutama untuk kelemahan metodologis yang mencakup bias survival (contoh: pasien yang tidak bertahan hidup tidak ditransfusi dengan plasma segar beku) dan heterogenitas antara studi. Meskipun kurangnya bukti bahwa pendarahan paska operasi dan pendarahan gastrointestinal atau obstetrik berhubungan dengan perubahan hemostatik yang terjadi serupa pada koagulopati traumatic akut, penggunaan awal dari transfusi plasma segar beku dengan sel darah merah yang berasio 1:1 atau 1:2 telah dipakai luas. Peningkatan dari pemakaian plasma ini bukanlah tidak beresiko karena terdapat peningkatan cedera paru akut akibat transfusi yang merupakan resiko terjadinya sindrom gangguan pernafasan akut (acute respiratory distress syndrome / ARDS). Sebuah studi pada pasien trauma yang memerlukan sebuah transfusi yang tidak masif (<10U dari packed red cell dalam 12 jam), pemberian lebih dari 6 Unit plasma beku segar, dibandingan dengan tidak dilakukan transfusi telah dihubungkan dengan peningkatan faktor 12 pada angka ARDS dan peningkatan pada faktor 6 pada sindrom kegagalan multiple organ.
Ratio transfusi antara plasma segar beku dengan sel darah merah pada penanganan pendarahan hebat masih belum diketahui dengan jelas. Pertanyaan ini masih dievaluasi dalam pragmatis Amerika Utara (North American Pragmatic), yaitu sebuah studi acak tentang ratio optimal dari platelet dan plasma (uji klinis.gov
number,
NCT01545232).
Penelitian
multisenter
acak
ini
membandingkan efek dari berbagai ratio dari produk darah yang diberikan pada pasien trauma yang diperkirakan akan memerlukan transfusi dalam jumlah banyak (>10U packed red cells dalam 24 jam) yang diperkirkan akan meninggal antara 24 jam hingga 30 hari. Untuk sementara, terdapat perbedaan antara amerika utara dan Eropa dalam pemakaian komponen darah untuk menunjang hemostasis. Walaupun di Amerika Utara terdapat peningkatan pemakaian plasma segar beku pada pasien dengan pendarahan hebat, beberapa praktisi Eropa tidak menggunakan plasma segar beku karena mereka lebih mengandalkan pemakaian dari konsentrat faktor pembekuan pada basis dari elastometry rotasional-intervensi terarah dengan konsentrat kompleks dari prothrombin, faktor XIII dan fibrinogen. Sebaliknya, praktisi lainnya meyakini bahwa penanganan pad a pendarahan hebat harus dimulai dengan pemberian fibrinogen dengan asam tranexamic, sebuah derivate sintetik dari asam amino lysine yang berperan sebagai agen anti fibrinolitik dengan menghambat plasminogen secara kompetitif dengan sel darah merah dan pemakaian cairan IV sebagai terapi dasar yang diperlukan. Fibrinogen adalah sebuah molekul pembentuk fibrin yang merupakan ligan untuk agregasi platelet, dan pada pasien yang mengalami pendarahan hebat, fibrin sangat dibutuhkan dibandingkan dengan protein hemostatik lainnya. Pada pasien dengan pendarahan hebat, kebutuhan akan fibrin ini menunjukkan adanya peningkatan pemakaian, kehilangan, dan pengenceran darah, serta adanya fibrinogenolysis. Oleh karena itu, walaupun tidak ditemukan adanya bukti-bukti pada uji acak yang terkontrol, panduan penanganan pada pendarahan traumatic menjelaskan bahwa tingkat pemicu dari suplemen fibrinogen seharusnya berkisar antara 1,5 hingga 2,0 g / L dibandingkan dengan 1,0 g/L.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti apakah dengan pemberian awal suplementasi fibrinogen dan konsentrat dari prothrombin kompleks ataukah dengan pemakaian dari plasma segar beku yang dapat memberikan perbaikan klinis pada pasien dengan pendarahan hebat. Uji acak terkontrol yang berikutnya sebaiknya membahas tentang manfaat dan keamanannya secara keseluruhan, termasuk tentang angka insiden terjadinya tromboembolism vena yang didapatkan dari perawatan rumah sakit (hospital-acquired venous thromboembolism). Penggunaan dari rekombinan faktor VIIa telah terbukti menurunkan angka pemakaian sel darah merah pada pendarahan tapi tidak menurunkan angka mortalitas sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Data dari uji placebo terkontrol menunjukkan bahwa
penggunaan dari rekombinan faktor VIIa
meningkatkan resiko terjadinya thrombosis arterial secara signifikan . Asam
tranexamic
sebaiknya
diberikan
pada
semua
pasien
dengan
pendarahan hebat akibat trauma. Rekomendasi ini didukung oleh adanya uji acak yang terkontrol oleh Clinical Randomization of an Antofibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH-2), yang dimana 20,000 pasien trauma dengan pendarahan atau dengan resiko terjadinya pendarahan hebat diberikan asam tranexamic secara acak atau placebo. Pasien yang diberikan asam tranexamic dalam 3 jam setelah terjadinya cedera menunjukkan adanya penurunan angka kematian akibat pendarahan sebanyak 1/3 dari jumlah total pasiennya. Setelah dilakukan analisis kedua dari data-data yang ada, investigator dari CRASH-2 merekomendasikan agar diberikannya asam tranexamic sesegera mungkin setelah terjadinya cedera karena hal tersebut akan berhenti memberikan manfaat. Tampaknya hal tersebut berhubungan dengan peningkatan mortalitas jika diberikannya lebih dari 3 jam setelah cedera terjadi. Bukti-bukti kuat
tentang pemberian asam tranexamic dapat menurunkan
angka kebutuhan dari transfuse darah pada operasi ternyata sudah ada sejak lama, walaupun efek dari asam tranexamic pada kejadian thromboemboli dan mortalitas pada pasien-pasien tersebut masih belum pasti.
DAFTAR PUSTAKA 1. Guyton, Hall.2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta:EGC. 2. Hartanto, Huriawati(Ed).dkk.2010. Patofisoogi.Jakarta:EGC. 3. Kosasi E.N., A.N. Kosasih.2015.Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik .Tangerang:Karisma 4. Kumar, Robins, Cortran.2010. Buku Ajar Patologi.Jakarta:EGC. 5. Manjoer,
Arief(Ed).2012. Kapita
Selekta
Kedokteran.Jakarta:Fakultas
Kedokteran UI. 6. Saputra,
Lyndon(Ed).2014. Kapita
Klinik .Tangerang:Binapura Aksara.
Selekta
Kedokteran