LAPORAN KASUS LUKA BAKAR
I. IDENTITAS PASIEN Nama
:
Ny.S
Umur
:
65 tahun
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Status Pernikahan
:
Sudah menikah
Alamat
:
Daya
Jaminan
:
Jamkesmas
Tanggal MRS
:
30 Maret 2014
RM
:
657254
II. ANAMNESIS Keluhan Utama
: Luka Bakar
Anamnesis terpimpin: Dialami sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah sakit akibat terkena air panas, nyeri (+). Riwayat pingsan (-), nyeri kepala (-) sesak (-) mual (-), muntah (-). Mekanisme Trauma : Pasien sedang memasak air di kompor, ketika pasien hendak menuangkan air yang telah mendidih ke dalam termos, tiba- tiba pasien menyambar panci yang berisi air panas tersebut hingga tumpah dan percikan air panasnya mengenai tubuh pasien. Pasien belum pernah berobat ke RS sebelumnya dengan keluhan yang sama.
III. PEMERIKSAAN FISIS Status Generalis Sakit sedang/ Gizi cukup/ Sadar (GCS15 E4M6V5) BB = 42 kg TB = 150 cm
1
Status Vitalis TD
:
120/70 mmHg
N
:
72 x/menit, regular, kuat angkat
P
:
20 x/menit, spontan, tipe thoracoabdominal
S
:
36,8oC per aksilla
Status Lokalis Regio Facialis 1. Inspeksi
:
Tampak luka bakar grade II A-II B 5% , hiperemis (+) udem (+) hematom (-)
2. Palpasi
:
Nyeri tekan (+)
Regio Extrimitas superior dextra et sinistra 1. Inspeksi
:
Tampak luka bakar grade II A-II B 10% , udem (+) bulla (+)
2. Palpasi
:
Nyeri tekan (+)
Regio Thorax anterior et posterior 1. Inspeksi
:
Tampak luka bakar grade II A-II B 18% , hiperemis (+), udem (+), bulla (+)
2. Palpasi
:
Nyeri tekan (+)
Foto Klinis 31 Maret 2014
2
Gambar 1. Foto klinis tanggal 31 Maret 2014 1 April 2014
Gambar 2. Foto klinis tanggal 1 April 2014 IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium tanggal 30/3/2014 Tes
Hasil
Tes
Hasil
WBC
15.6
PT/APTT
14,1 control 10,7 / 32,1 control 25,4
RBC
4.55
GDS
152
HGB
12.5
Ureum
12
HCT
38.7
Creatinine
0,6
PLT
439
SGOT
31
Na
141
SGPT
14
K
3,8
Albumin
4,1
Cl
109
CT/BT
6’30” / 2’00”
3
V. RESUME Seorang wanita umur 65 thn masuk Rumah sakit dengan keluhan Luka Bakar yang dialami sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah sakit akibat terkena air panas. Nyeri (+) kemerahan (+). Mekanisme Trauma : Pasien sedang memasak air di kompor, ketika pasien hendak menuangkan air yang telah mendidih ke dalam termos, tiba- tiba pasien menyambar panci yang berisi air panas tersebut hingga tumpah dan percikan air panasnya mengenai tubuh pasien.Pasien belum pernah berobat ke RS sebelumnya dengan keluhan yang sama. Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis Sakit sedang/ Gizi cukup/ Sadar (GCS15 E4M6V5). Status vitalis TD: 120/70 mmHg, Nadi: 72 x/menit, regular, kuat angkat Pernapasan: 20 x/menit, spontan, tipe thoracoabdominal, Suhu: 36,8oC per aksilla. Status Lokalis : Regio Facialis Inspeksi : Tampak luka bakar grade II A-II B 5% , hiperemis (+) udem (+) hematom(-) Palpasi: Nyeri tekan (+). Regio Extrimitas superior dextra et sinistra. Inspeksi: Tampak luka bakar grade II A-II B 10% , udem (+) bulla (+) , Palpasi : Nyeri tekan (+). Regio Thorax anterior et posterior Inspeksi : Tampak luka bakar grade II A-II B 18% , hiperemis (+) udem (+) bulla (+) Palpasi: Nyeri tekan (+).
VI. DIAGNOSIS KERJA - Luka bakar Grade II A- II B 33% , - Post Debridement hari 1
VII. PENATALAKSANAAN IVFD RL 28 tpm , Ceftriaxon 500 mg /12jam / IV Ketorolac ½ amp/8jam/ IV Ranitidin ½ amp/8jam / IV GV/rawat luka/hari
4
LUKA BAKAR
I.
PENDAHULUAN Luka bakar atau combusio adalah suatu bentuk kerusakan dan kehilangan jaringan disebabkan kontak dengan sumber suhu yang sangat tinggi seperti kobaran api di tubuh (flame), jilitan api ke tubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat serangan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) dan suhu yang sangat rendah Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi Prinsip yang dimaksud adalah kewaspadaan yang tinggi akan terjadinya gangguan jalan napas pada trauma inhalasi, serta mempertahankan hemodinamik dalam batas normal melalui resusitasi cairan. Dokter penolong juga harus waspada dalam melaksanakan tindakan untuk mencegah dan mengobati penyulit trauma termal, seperti misalnya rhabfomiolisis dan gangguan irama jantung yang sering terjadi pada trauma listrik. Kontrol suhu tubuh dan menyingkirkan penderita dari lingkungan yang berbahaya juga merupakan prinsip utama pengelolaan trauma termal. (1,2,3,4)
II.
EPIDEMIOLOGI Dari laporan American Burn Association 2012 dikatakan bahwa angka morbiditas 96,1% lebih banyak terjadi pada wanita (69%). Berdasarkan tempat kejadian, 69 % di rumah tangga dan 9% di tempat kerja, 7% di jalan raya, 5% di rekreasi atau olahraga 10% dan lain-lain.(5) Menurut surat kabar Tribun pada tanggal 8 Februari 2012, pada Simposium Indonesia Burn and Wound Care Meeting yang diselengarakan Universitas Padjadjaran di Bandung dilaporkan data terakhir yang dikeluarkan unit luka bakar RSCM Januari 1998 - Mei 2001 menunjukkan bahwa 60%
5
karena kecelakaan rumah tangga, 20% karena kecelakaan kerja, dan 20% sisanya karena sebab-sebab lain. Dan angka kematian akibat luka bakar pun di Indonesia masih tinggi, sekitar 40%, terutama diakibatkan luka bakar berat.(6)
III.
ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan dalam homeostasis. Kulit merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat. Kulit sangat kompleks, elastis, dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.(7,8) Epidermis merupakan lapisan luar kulit yang utamanya disusun oleh selsel epitel. Sel –sel yang terdapat dalam epidermis antara lain: keratinosit (sel terbanyak pada lapisan epidermis), melanosit, sel merkel dan sel Langerhans. Epidermis terdiri dari lima lapisan yang paling dalam yaitu stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum dan stratum corneum. (7,8) Dermis merupakan lapisan yang kaya akan serabut saraf, pembuluh darah dan pembuluh darah limfe. Selain itu, dermis juga tersusun atas kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan folikel rambut. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papillaris dan lapisan retikularis, sekitar 80% dari dermis adalah lapisan retikularis. (7,8)
6
Gambar 3: Anatomi kulit (Dikutip dari : Benjamin C. Wedro. First Aid for Burns. http://www.medicinenet.com)
Fungsi kulit adalah sebagai berikut : 1) Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi, misalnya zat-zat kimiawi terutama yang bersifat iritan, misalnya lisol, karbol, asam, dan alkali. Gangguan yang bersifat panas, misalnya radiasi, sengatan sinar ultra violet; gangguan infeksi luar terutama kuman/bakteri maupun jamur. 2) Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antar sel menembus sel-sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar. 3) Fungsi ekskresi, kelenjar kulit mengeluarkan zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, Urea, asam urat, dan amonia. Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan ini selalu meminyaki kulit jua menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering.
7
4) Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan–badan ruffinidermis dan sukutis. 5) Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh darah kulit. 6) Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan-tangan dendrit. Sedangkan ke lapisan kulit di bawahnya dibawa oleh sel melanofag. 7) Fungsi Kreatinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai sel utama yaitu keratinosit, sel langerhans, melanosis. 8) Fungsi pembentukan vitamin D, dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.(2,7)
IV.
ETIOLOGI Luka bakar pada kulit bisa disebabkan karena panas, dingin, ataupun zat kimia.Ketika kulit terkena panas, maka kedalaman luka dipengaruhi oleh derajat panas , durasi kontak panas pada kulit dan ketebalan kulit..(1,4,7,10) 1. Luka Bakar Termal (Thermal Burns) Luka bakar termal disebabkan oleh air panas(scald), jilitan api ke tubuh (flash), koboran api ke tubuh (flame) dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya (misalnya plastik logam panas dan lainlain). 2. Luka Bakar Zat Kimia( Chemical Burns) Luka bakar kimia biasanya disebabaka oleh asam kuat atau alkali yang biasa digunakan bidang industri, militer, ataupun bahan pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga. 3. Luka Bakar Listrik(Electrical Burns) Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang
8
memiliki resistensi paling rendah; dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun ground. 4. Luka Bakar Radiasi (Radiation Exposure) Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe luka bakar ini sering disebabkan oleh penggunaaan radioaktif untuk keperluan terapeutik dalam kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.
Gambar 4: Tipe luka bakar (Dikutip dari : Mayo clinic staff. Burns First Aids. http: // www.nlm.nih.gov/medlineplus)
V.
PATOFISIOLOGI Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut mengalami destruksi, sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan oedem dan
9
menimbulkan bula yang banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat evaporasi yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga. Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurrang. Pembengkakkan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang terhisap. Oedem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak bewarna gelap akibat jelaga. Dapat juga keracunan gas CO dan gas beracun lainnya. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bisa lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. Setelah 12 – 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini di tandai dengan meningkatnya diuresis 3
Respon Lokal Terdapat 3 zona luka bakar menurut Jackson 1947 yaitu: (1) 1. Zona Koagulasi Merupakan daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber panas dan terjadi nekrosis dan kerusakan jaringan yang irevisibel disebabkan oleh koagulasi constituent proteins.
10
2. Zona Stasis Zona stasis berada sekitar zona koagulasi, di mana zona ini mengalami kerusakan endotel pembuluh darah, trombosit, leukosit sehingga penurunan perfusi jaringan diikuti perubahan permeabilitas kapiler(kebocoran vaskuler) dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selam 12-24 jam pasca cedera, dan mungkin berkakhir dengan nekrosis jaringan. 3. Zona Hiperemia Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable. Proses penyembuhan berawal dari zona ini kecuali jika terjadi sepsi berat dan hipoperfusi yang berkepanjangan.
Gambar 5: Zona luka bakar Jackson 1947 dan efeknya terhadap resusitasi adekuat dan inadekuat. (Dikutip dari : Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2)
Respon Sistemik Perlepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut berupa: (1) 1. Gangguan Kardiovaskuler, berupa peningkatan permeabilitas vaskuler yang menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskuler ke interstitial. Terjadi vasokontriksi di pembuluh darah splanchnic dan perifer. Kontratilitas
11
miokardium menurun, kemungkinan adanya tumor necrosis factor-α (TNF-α). Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ. 2. Gangguan respirasi, mediator inflamasi menyebabkan bronkokontriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul Respiratory Distress Syndrome (RDS). 3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3 kali lipat. Hal ini disertai dengan dengan adanya hipoperfusi splanchnic menyababkan dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan katabolisme dan mempertahankan integritas saluran pencernaan. 4. Gangguan imunologis, terdapat penurunan sistem imun yang mempengaruhi sistem imun humoral dan seluler.
Gambar 6:Respon sistemik terjadi setelah luka bakar (Dikutip dari : Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2)
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat dan cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan Mutli-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan
12
akibat gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan perfusi (sirkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.(1)
VI.
KLASIFIKASI Berdasarkan American Burn Association luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman, luas permukaan, dan derajat ringan luka bakar. .(1,4,7) I. Berdasarkan kedalamannya. 1. Luka bakar derajat I(superficial burns) Luka bakar derajat ini terbatas hanya sampai lapisan epidermis. Gejalanya
berupa kemerahan pada kulit akibat vasodilatasi dari
dermis, nyeri, hangat pada perabaan dan pengisian kapilernya cepat. Pada derajat ini, fungsi kulit masih utuh. Contoh luka bakar derajat I adalah bila kulit terpapar oleh sinar matahari terlalu lama, atau tersiram air panas. Proses penyembuhan terjadi sekitar 5-7 hari. Luka bakar
derajat
ini
tidak
menghasilkan
jaringan
parut,
dan
pengobatannya bertujuan agar pasien merasa nayaman dengan mengoleskan soothing salves dengan atau tanpa gel lidah buaya. .(1,2,4) 2. Luka bakar derajat II (partial thickness burns) Luka bakar derajat II merupakan luka bakar yang kedalamanya mencapai dermis. Bila luka bakar ini mengenai sebagian permukaan dermis, luka bakar ini dikenali sebagai superficial partial thickeness burns atau luka bakar derajat II A. Luka bakar derajat II A ini tampak eritema, nyeri, pucat jika ditekan, dan ditandai adanya bulla berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh darah karena permeabilitas dindingya meningkat. Luka ini mereepitelisasi dari struktur epidermis yang tersisa pada rete ridge, folikel rambut dan kelenjar keringat dalam 7-14 hari secara spontan. Setelah penyembuhan, luka bakar ini dapat memiliki sedikit perubahan warna kulit dalam jangka waltu yang lama. .(1,2,4,7,10)
Luka bakar derajat II yang mengenai sebagian bagian reticular dermis (deep partial thickeness) , luka bakar ini dikenali sebagai deep partial thickeness burns atau luka bakar derajat II B. Luka bakar
13
derajat II B ini tampak lebih pucat, tetapi masih nyeri jika ditusuk degan jarum (pin prick test). Luka ini sembuh dalam 14-35 hari dengan
reepitelisasi dari folikel rambut, keratinosit dan kelenjar
keringat, seringkali parut muncul sebagai akibat dari hilangnya dermis. (1,2, 4,7,10)
3. Luka bakar derajat III (full-thickess burns) Kedalaman luka bakar ini mencapai seluruh dermis dan epidermis sampai ke lemak subkutan. Luka bakar ini ditandai dengan eskar yang keras, tidak nyeri, dan warnanya hitam, putih, atau merah ceri. Tidak ada sisa epidermis maupun dermis sehingga luka harus sembuh dengan reepitelisasi dari tepi luka. Full-thickness burns memerlukan eksisi dengan skin grafting. (1,2, 4,7,10) 4. Luka bakar derjat IV Luka bakar derajat ini bisa meluas hingga mencapai organ dibawah kulit seperti otot dan tulang. (1,2, 4,7,10)
Gambar 7: Derajat luka bakar berdasarkan kedalaman (Dikutip dari : 2. David, S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Dalam)
14
II. Berdasarkan luas permukaan luka bakar. Luas luka tubuh dinyatakan sebagai persentase terhadap luas permukaan tubuh atau Total Body Surface Area (TBSA). Untuk menghitung secara cepat dipakai Rules of Nine atau Rules of Walles dari Walles. Perhitungan cara ini hanya dapat diterapkan pada orang dewasa, karena anak-anak mempunyai proporsi tubuh yang berbeda. Pada anakanak dipakai modifikasi Rule of Nines menurut Lund and Browder, yaitu ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun. (1,2, 4,7,10)
Gambar 8: Wallence Rule of Nines (Dikutip dari : Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2)
Gambar 9: Lund and Browder (Dikutip dari : Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2)
15
III. Berdasarkan derajat ringan luka bakar
menurut American Burn
Association: (1,4,7,10) 1. Luka Bakar Ringan a. Luka bakar derajat II < 5% b. Luka bakar derajat II 10% pada anak c. Luka bakar derajat II < 2%(1,3.6, 8) 2. Luka Bakar Sedang a. Luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa b. Luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak c. Luka bakar derajat III < 10%(1,3.6, 8) 3. Luka Bakar Berat a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak c. Luka bakar derajat III 10% atau lebih d. Luka
bakar
mengenai
tangan,
telinga,
mata,
kaki,
dan
genitalia/perineum. e. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain. (1,4,7,10)
VII. KRITERIA PERAWATAN Kriteria perawatan luka bakar menurut American Burn Association yang digunakan untuk pasien yang harus diadministrasi dan dirawat khusus di unit luka bakar adalah seperti berikut: (1,4,7,10) I.
Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka bakar derajat III) dengan >10 % dari TBSA pada pasien berumur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 50 tahun.
II.
Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka bakar derajat III) dengan >20 % dari TBSA pada kelompok usia lainnya.
III.
Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka bakar derajat III) yang melibatkan wajah, tangan, kaki, alat kelamin, perineum, atau sendi utama.
16
IV.
Full-thickness burns (luka bakar derajat III) lebih >5 persen TBSA pada semua kelompok usia.
V. VI.
Luka bakar listrik, termasuk cedera petir. Luka bakar pada pasien dengan riwayat gangguan medis sebelumnya yang bisa mempersulit manajemen, memperpanjang periode pemulihan, atau mempengaruhi kematian.
VII. VIII.
Luka bakar kimia.
IX.
Trauma inhalasi Setiap luka bakar dengan trauma lain (misalnya, patah tulang) di mana luka bakar tersebut menimbulkan risiko terbesar dari morbiditas dan mortalitas.
X.
Luka bakar pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit tanpa unit perawatan anak yang berkualitas maupun peralatannya.
XI.
Luka bakar pada pasien yang membutuhkan rehabilitasi khusus seperti sosial, emosional, termasuk kasus yang melibatkan keganasan pada anak. (1,4,7,10)
VIII. PENATALAKSANAAN 1. Prehospital Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar di tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan diri sendiri. Bahan yang meleleh atau menempel pada kulit tidak bisa dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiriamkan ke atas luka dalam waktu 15 menit sejak kejadian, namun air dingin tidak dapat diberikan untuk mencegah terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi. (1,2,4,7,10) 2. Resusitasi jalan nafas Bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Sebelum dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan dengan menggunakan face
17
mask. Intubasi bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas
pemeliharaan
jalan
napas
(penghisapan
sekret)
dan
broncoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih menjadi perdebatan karena
dianggap
terlalu
agresif
dan
morbiditasnya
lebih
besar
dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan akan lama menggunakan ETT yaitu lebih dari 2 minggu pada luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi. Kemudian dilakukan pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotracheal. Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik disaluran napas dengan cara uap air menurunkan suhu yang meningkat pada proses inflamasi dan mencairkan sekret yang kental sehingga lebih mudah dikeluarkan. Pada cedera inhalasi perlu dilakukan pemantauan gejala dan distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak, gelisah,takipneu, pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu pernapasan dan stridor. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial dan foto thorax. (1,2,4,7,10)
3. Resusitasi cairan Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah: 1. Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan 2. Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan. 3. Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival seluruh sel 4. Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis. (1,4,7,10)
18
I.
Jenis cairan Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan hipertonik dan koloid: (1,4,7,10) Larutan kristaloid Larutan ini terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah Ringer Laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya
dalam plasma atau memiliki osmolalitas hampir sama
dengan plasma. Pada keadaan normal, cairan ini tidak hanya dipertahankan di ruang intravaskular karena cairan ini banyak keluar ke ruang interstisial. Pemberian 1 L Ringer Laktat (RL) akan meningkatkan volume intravaskuer 300 ml. (1,4,7,10) Larutan hipertonik Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid. Larutan garam hiperonik tersedia dalam beberapa konsentrasi, yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5 %, 7,5% dan 10%. Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga cairan akan berpindah dari intraseluler ke ekstraseluler. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler. (1,4,7,10)
Larutan koloid Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES) dan Dextran. Molekul koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi membran kapiler, oleh karena itu sebagian akan tetap dipertahankan didalam ruang intravaskuler. Pada luka bakar dan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga molekul akan berpindah ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk edema interstisium yang ada. (1,3.6, 8) HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substitued amilopectin sintetik, HES berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T ½ dalam plasma selama 5 hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek samping koagulopati namun umumnya tidak menyebabkan masalah
19
klinis. HES dapat memperbaiki permeabilitas kapiler dengan cara menutup
celah
interseluler
pada
lapisan
endotel
sehingga
menghentikan kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian terakhir mengemukakan bahwa HES memiliki efek antiinflamasi dengan menurunkan lipid protein complex yang dihasilkan oleh endotel, hal ini diikuti oleh perbaikan permeabilitas kapiler. Efek anti inflamasi diharapkan dapat mencegah terjadinya SIRS. (1,4,7,10)
II.
Dasar pemilihan Cairan Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oksigen, PH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi praktis dan efisien. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang berpendapat bahwa kristaloid adalah cairan yang paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu. Sebagian pendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan
yang
memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan ciran di kompartemen interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid. (1,4,7,10)
III.
Penentuan jumlah cairan Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1 L cairan kristaloid akan meningkatkan volume intravaskuler 300 ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac output dan memperbaiki transpor oksigen.(1,4,7,10)
20
Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama Resusitasi
syok menggunakan Ringer laktat
atau ringer asetat,
menggunakan beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar > 25-30% atau dijumpai keterlambatan > 2 jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak 3[25%(70%xBBkg)]ml. 70% adalah volume total cairan tubuh, sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh dapat menimbulkan gejala klinik sidrom syok. (1,4,7,10) Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas < 2530%, tanpa atau dijumpai keterlambatan < 2 jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan rumus baxter 3-4 ml/kgBB/% LB. (1,4,7,10) Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak terlalu luas tanpa keterlambatan. (1,4,7,10)
Pemberian cairan menurut formula Parkland adalah sebagai berikut: (1,4,7,10) 1.
Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak dan orang tua, kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml ditambah 1% dari kebutuhan.
2.
Penggunaan
zat vasoaktif (dopamin dan dobutamin) dengan dosis 3
mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5% jumlah tetesan dibagi rata dalam 24 jam. 3.
Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral (minimal 6-12cm H20) sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5- 1ml /kg BB/jam maka jumlah cairan ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya.
4.
Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan sedimen).
5.
Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan lambung melaui pipa nasogastrik. Jika , 200ml tidak ada gangguan
21
pasase lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400 ml gangguan berat. (1,4,7,10)
Penatalaksanaan 24 jam kedua 1.
Pemberian cairan yang menggunakan glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam. Jenis cairan yang dapat diberikan adalah glukosa 5% atau 10% 15002000 ml. Batasan ringer laktat dapat memperberat edema interstisial.
2.
Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi uin <1-2 ml/kgBB/jam,berikan vasoaktif samapi 5 mg/kgBB
3.
Pemantauan analisa gas darah, elektrolit(1,4,7,10)
Penatalaksanaan setelah 48 jam 4.
Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintanance
5.
Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4 ml/kgBB), hemoglobin dan hematokrit. (1,4,7,10)
Rumus Baxter: Pada dewasa: 1.
Hari I: 3-4 ml x kgBB x % luas luka bakar
2.
Hari II: Koloid: 200-2000 cc + glukosa 5%
Pemberian cairan ½ volume pada 8 jam pertama dan ½ volume diberikan 16 jam berikutnya. Pada anak: Hari I: RL: dex 5% = 17:3 (2cc x kgBB x % luas luka bakar) + keb. faal
22
Kebutuhan Faal: <1 thn
= kgBB X 100cc
1 – 5 thn
= kgBB X 75cc
5-15 thn
= kgBB X 50cc
Hari II: sesuai kebutuhan faal
Formula Parkland: (1,4,7,10) Hari I (24jam pertama): 8 jam pertama: [0,5 x (4 cc x kgBB x % TBSA )] / 8 jam =cc/jam 16 jam kedua: [0,5 X (4 cc x kg BB x % TBSA)] / 16 jam = cc/jam
Penambahan cairan rumatan pada anak : 4 cc/kgBB/jam dalam 10 kg pertama 2 cc/kg BB/jam dalam 10 kg kedua (11-20kg) 1 cc/kgBB/jam untuk tiap >20kg
Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml ditambah 1% dari kebutuhan.Pengawasan kecukupan cairan yang diberikan dapat dilihat dari produksi urin yaitu pada dewasa 0,5-1,0 cc/kg/jam dan pada anak 1,0-1,5 cc/kg/jam. (1,4,7,10)
4. Perawatan luka Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme bernapas dan resusitasi cairan dilakukan. Tindakan meliputi debridement secara alami, mekanik (nekrotomi) atau tindakan bedah (eksisi), pencucian luka, wound dressing dan pemberian antibiotik topikal . Tujuan perawatan luka adalah untuk menutup luka dengan mengupaya proses reepiteliasasi, mencegah infeksi, mengurangi jaringan parut dan kontraktur dan untuk menyamankan pasien. Debridement diusahakan sedini mungkin
23
untuk membuang jaringan mati dengan jalan eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan setelah keadaan penderita stabil, karena merupakan tindakan yang cukup berat. Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif sedangkan untuk ukuran besar(>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapisan epidermis diatasnya. (1,4,7,10) Pengangkatan keropeng (eskar) atau eskarotomi dilakukan juga pada luka bakar derajat III
yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh sebab
pengerutan keropeng(eskar) da pembengkakan yang terus berlangsung dapat mengakibatkan penjepitan (compartment syndrome) yang membahayakan sirkulasi sehingga bahgian distal iskemik dan nekrosis(mati). Tanda dini penjepitan (compartment syndrome) berupa nyeri kemudian kehilangan daya rasa (sensibilitas) menjadi kebas pada ujung-ujung distal. Keaadan ini harus cepat ditolong dengan membuat irisan memanjang yang membuka keropeng sampai penjepitan bebas. (1,4,7,10) Pencucian luka dilakukan dengan hidroterapi yaitu memandikan pasien atau dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa lembab steril dengan atau tanpa krim pelembap. Perawatan luka tertutup dengan occlusive dressing untuk mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle (antibiotik dalam bentuk sediaan kasa) berfungsi sebagai penutup luka yang memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka. (1,4,7,10)
5. Eksisi dan graft Luka bakar derajat IIB dan III tidak dapat mengalami penyembuhan spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang sudah mati ini akan menjadi fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan grafting saat ini dilakukan sebagian besar ahli bedah karena memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement serial. Setelah dilakukan eksisi, luka harus ditutup melalui skin graft (pencakokan kulit) dengan menggunakan biological dressing. Terdapat 3 bahan biological dressing yaitu homografts (kulit mayat dan penutup luka sementara), xenografts/heterografts (kulit binatang seperti babi dan penutup luka sementara) dan autografts (kulit pasien sendiri dan
24
penutup luka permanen). Idealnya luka ditutup dengan kulit pasien sendiri (autograft). Terdapat 2 tipe primer autografts kulit yaitu split-thickness skin grafts (STSG) dan full-thickness skin grafts (FTSG). Pada luka bakar 20-30% biasanya dapat dilakukan dalam satu kali operasi dengan penutupan oleh STSG diambil dari bagian tubuh pasien. (1,4,7,10) 6. Lain-lain Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Dalam3-5 hari pertana populasi kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif nonpatogen.Sedangkan hari 5-10 adalah bakteri Gram negative patogen. Dalam 13 hari pertama pasca cedera, luka masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazine 1%, silver nitrate dan mafenide (sulfamylon) dan xerofom/bacitracin. Antasida diberikan untuk pencegahan tukak beban (tukak stress/stress ulcer), antipiretik bila suhu tinggi dan analgetik bila nyeri. (1,4,7,10) Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan keseimbnagan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu sebanyak 2500-3000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi. Kalau perlu makanan diberikan melalui enteral atau ditambah dengan nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi enteral dini melalui nasaogastik dalam 24 jam pertama pasca cedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukosa usus. Pemberian enteral dilakukan dengan aman bila Gastric Residual Volume (GRV) <150 ml/jam yang menandakan pasase saluran cerna baik. (1,4,7,10) Penderita yang sudah mulai stabil keadaannya perlu fisioterapi untuk memperlancarkan peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi. Kalau perlu sendi diistirahatkan dalam posisi fungsional degan bidai.Penderita luka bakar luas harus dipantau terus menerus.
Keberhasilan pemberian cairan dapat
dilihat dari diuresis normal yaitu 1ml/kgBB/jam. Yang penting juga adalah sirkulasi normal atau tidak dengan menilai produksi urin,analisa gas darah, elektrolit, hemoglobin dan hematokrit. (1,4,7,10)
25
IX.
KOMPLIKASI Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan grafting.Kompilkasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan MODS.Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa, motilitas usus menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal menurun. Skin graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut pada kulit berupa jaringan parut hipertrofik., keloid dan kontraktur.Kontraktur kulit dapat menganggu fungsi dan menyebabkan kekeauan sendi. Kekakuan sendi memerlukan program fisioterapi yang intensif dan kontraktur memerlukan tindakan bedah. (1,4,7,10)
X.
PROGNOSIS Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor ini dapat sembuh 5-10 hari tanpa adanya jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mugkin dapat menimbulkan luka parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan dapat diperlukan untuk membuang jaringan parut. (1,4,7,10)
26
PEMBAHASAN KASUS \ Pasien dengan riwayat luka bakar pada daerah wajah, ekstremitas atas kiri dan kanan, dan daerah dada dan punggung dialami sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit yang disebabkan tersiram air panas. Pasien mengeluh adanya nyeri dan kemerahan pada daerah tempat luka bakar tersebut. Pasien belum pernah berobat ke RS sebelumnya dengan keluhan yang sama. Kemudian dari pemeriksaan fisik yang bermakna, pasien tampak sakit sedang, gizi cukup, compos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 72 x/menit, pernapasan 20x/menit, suhu 36.8°C (axilla). Dari pemeriksaan tempat luka, didapatkan pada daerah wajah tampak luka bakar bakar grade II A-II B 5% , kemerahan dan udem tapi tidak terdapat hematom, ketika di tekan akan terasa nyeri. Pada daerah Extremitas atas kiri dan kanan, tampak luka bakar grade II A-II B 10% , terdapat udem dan bulla, ketika di tekan akan terasa nyeri. Pada daerah dada dan punggung, tampak luka bakar grade II A-II B 18% , kemerahan, udem dan adanya bulla, ditekan terasa nyeri. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, terdapat peningkatan dari jumlah leukosit (sel darah putih) yaitu 15.600 yang dalam keadaan normal berjumlah 4.000-10.000. Resusitasi cairan dalam rangka mengatasi resiko terjadinya syok harus dilakukan sejak dari awal masuk rumah sakit dengan pemberian cairan berupa Ringer Laktat mengikuti Rumus Baxter yaitu : Hari I: 4 ml x kgBB x % luas luka bakar = 4 x 42 x 33 = 5544 ml/24 jam
27
Berdasarkan Formula Parkland maka pemberiannya : Hari I (24jam pertama): 8 jam pertama: [0,5 x (4 cc x kgBB x % TBSA )] / 8 jam =cc/jam = (0,5 x 4 x 42 x 33) /8 = 346 cc/jam 16 jam kedua: [0,5 X (4 cc x kg BB x % TBSA)] / 16 jam = cc/jam = (0,5 x 4 x 42 x 33) / 16 = 173 cc/jam
Resusitasi cairan yang telah diberikan pada pasien yaitu 5500 mL kristaloid dengan pemberian 8 jam pertama 540cc/ jam dan 16 jam kedua diberikan 173 cc/jam. Produksi urin sebanyak 40 cc/jam menunjukkan produksi urin yang cukup.
28
DAFTAR PUSTAKA 1.
Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. p 66-88 2. David, S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Dalam : Surabaya Plastic Surgery. 3. James M Becker. Essentials of Surgery. Edisi 1. Saunders Elsevier. Philadelphia. p 118-129 4. Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12. McGraw-Hill Companies. New York. p 245-259 5. Jerome FX Naradzay. http: // www. emedicine. com/ med/ Burns, Thermal. November 2006 6. Mayo clinic staff. Burns First Aids. http: // www.nlm.nih.gov/medlineplus. Januari 2008 7. Benjamin C. Wedro. First Aid for Burns. http://www.medicinenet.com. Agustus 2008 8. James H. Holmes., David M. heimbach. 2005. Burns, in : Schwartz’s Principles of Surgery. 18th ed. McGraw-Hill. New York. p.189-216 9. St. John Ambulance. First aid: First on the Scene: Activity Book, Chapter 19. http://en.wikipedia.org/wiki/Burn_%28injury%29. Agustus 2007 10. Mayo clinic staff. Burns First Aids. http: // www.mayo.clinic.com. Januari 2006
29