BAB I ILUSTRASI KASUS
I.1 Identitas Pasien Nama
: Tn. A
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Umur
: 26 Tahun
Alamat
: Ps. Muara Aman
Agama
: Islam
Tgl dtg
: 2 April 2014
Jenis Pembiayaan
: Jamkesmas
I.2 Anamnesis Keluhan Utama Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 minggu sebelum datang ke poli umum Puskesmas Muara Aman.
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu sebelum datang berobat ke Puskesmas Muara Aman. Sesak dirasakan hilang timbul dan bertambah berat jika pasien batuk. Sesak timbul perlahan dan tidak menetap. Keluhan sesak disertai dengan napas berbunyi dan terbangun malam hari karena sesak disangkal pasien. Pasien mengeluh nyeri dada yang tidak menjalar ke bagian lain. Penderita masih dapat tidur dengan 1 bantal. Keluhan tidak disertai adanya bengkak di kelopak mata, bengkak di kaki ataupun di perut. Selain itu juga pasien mengeluh batuk sejak lebih dari 1 tahun, batuk disertai dahak berwarna putih kehijauan dan dirasakan setiap hari. Pasien mengaku pernah batuk disertai darah. Keluhan Sering berkeringat saat malam dan napsu makan berkurang diakui pasien. Pasien juga mengeluh berat badannya semakin menurun.
Demam dirasakan oleh pasien hilang timbul dan tidak terlalu tinggi. Buang air besar dan buang air kecil diakui pasien tidak ada keluhan. Riwayat tansfusi dan pemakaian jarum suntik disangkal pasien. Pasien menyangkal adanya mual, muntah. pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada dada. Pasien mengaku sebagai perokok aktif.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat pengobkatan paru sebelumnya diakui pasien 1,5 tahun yang lalu namun hanya berlangsung 3 bulan pengobatan. Os mengaku tidak meneruskan pengobatan karena alasan masalah keluarga sehingga tidak dapat memperhatikan dan meneruskan pengobatan penyakit parunya. Riwayat asma, kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung maupun penyakit kuning disangkal pasien.
Riwayat Keluarga Riwayat keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit serupa dengan pasien disangkal. Namun pasien mengaku adanya keluhan serupa pada teman dilingkungan kerjanya.
Riwayat Alergi Riwayat alergi obat dan makanan disangkal pasien
I.3 Pemeriksaan Fisik (diperiksa tgl 2 April 2014) Keadaan umum
: Tampak sesak kesadaran Compos Mentis, GCS E4M6V5 Tampak Sakit sedang
Berat Badan
: 47 kg
Tinggi Badan
: 160 cm
BMI
: 18,36 (status gizi kurang)
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 88x/menit
Suhu
: 36,7oC
Pernafasan
: 28x/menit
Kepala Rambut
: Hitam, tidak mudah dicabut.
Mata
: sclera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bula isokor, RCL +/+, RCTL +/+
Hidung
: Pernapasan cuping hidung (-), Epistaksis (-), secret (-)
Telinga
: Gangguan pendengaran (-), Perdarahan dari liang telinga (-)
Mulut
: Bibir kering (-), Perdarahan gusi (-), Hipertrofi gusi (-), karies
dentis
(+)
Leher Tekanan vena jugularis (JVP)
: 5 – 2 cmH2O
Kelenjar Tiroid
: Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfe
: Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Getah Bening Submandibula, Leher, Supraklavikula, Ketiak dan Paha tidak ada pembesaran.
Thorax Paru-Paru Inspeksi
: simetris hemitorak kanan-kiri, depan-belakang saat statis dan dinamis, dan tidak ada kelainan kulit
Palpasi
: Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil simetris kanan dan kiri.
Perkusi
: Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan, depan-belakang. Peranjakan paru (+)
Auskultasi : Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi +/+ basah kasar, Wheezing -/-,
Jantung Inspeksi
: Ictus cordis terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba.
Perkusi
: Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra Batas jantung kiri ICS VI line midclavicula sinistra Batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen Inspeksi
: Datar, tidak membuncit dan tidak ada luka
Auskultasi : Bising usus (+) normal Perkusi
: Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting dullness (-), ketok CVA (-)
Palpasi
:Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas di seluruh 4 kuadran abdomen, Pembesaran hepar, lien, ginjal, kandung kemih tidak teraba,Undulasi (-) : Akral hangat, CRT <2”, edema -/-.
Ekstremitas
I.4 Pemeriksaan Penunjang (diperiksa tgl 2 April 2014) Hasil sputum BTA
Sewaktu
: +++ (positif tiga)
Pagi
: tidak dilakukan
Sewaktu
: tidak dilakukan
I.5 Diagnosa Kerja TB paru putus obat (Drop Out)
I.6 Diagnosa Banding
Pneumonia
Bronkhitis Kronis
Ca Paru
I.7 Tata Laksana OAT kategori II Curcuma 2x1 tablet Ambroxol 3x1 tablet Diet tinggi kalori dan tinggi protein Edukasi tentang penyakit TB paru dan lama Pengobatan Edukasi untuk control sebelum obat habis untuk mengambil obat I.8 Prognosis Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad functionam
: ad bonam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi dan Epidemiologi Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif 6,8,9. Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian4. Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM3. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam ) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk6.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul6. Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia6. Latar belakang penulisan sari pustaka ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, cara penularan, patogenesis, klasifikasi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, DOTS, pencegahan, cara pencatatan dan pelaporan Tuberkulosis paru.
II.2 ETIOLOGI Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)11.
Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis11.
II.3 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru11.
Gambar 2. Penyebaran bakteri Tuberkulosis11.
Saat Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri y ang berbentukglobular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri Tuberkulosis ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri Tuberkulosis akan menjadi dormant (istirahat). Bentukbentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen11. Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel
bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi Tuberkulosis10. Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi Tuberkulosis10. II.4. Patogenesis II.4.1 Tuberkulosis Primer Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas, atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3. Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier3. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3: 1)
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant
3)
Berkomplikasi dan menyebar secara : a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6. b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB, typhobachillosis Landouzy6. Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.
2.3.B. Tuberkulosis Pasca Primer ( Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (Tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru3. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 310 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat3. Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi3: 1)
Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2)
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.
3)
Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lamalama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan firbroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena adanya hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat menjadi3: a)
Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura,
b)
Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma,
c)
Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk seperti bintang yang disebut stellate shape.
II.5 Klasifikasi American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2: 1)
Kelas 0
: Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan) 2)
Kelas 1
: Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung
pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun dan penderita infeksi HIV. 3)
Kelas 2
: Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi dan bakteriologi negatif. 4)
Kelas 3
: Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai. Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3, seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3 sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai. 5)
Kelas 4
: TB tidak aktif secara klinis.
Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan tidak ada bukti klinis. 6)
Kelas 5
:
Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada salah satu kelas sebelumnya.
Klasifikasi Tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil Tahan Asam / BTA), TB paru dibagi atas6:
1)
TB paru BTA (+), adalah : a)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif,
b)
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan
kelainan
radiologi
menunjukkan
gambaran
tuberkulosis aktif. c)
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
2)
TB paru BTA (-), adalah : a)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis
dan
kelainan
radologi
menunjukkan
Tuberkulosis aktif. b)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. Tuberkulosis positif.
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya yaitu6: 1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang dari satu bulan. 2) Kasus pengobatan ulang : a)
Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
b)
Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal, ditandai dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapatkan obat anti tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.
c)
Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
3) Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik. 4) Kasus Bekas TB : a)
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
b)
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik.
Klasifikasi Tuberkulosis ekstraparu6: Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain. Tbc Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif. tbc Gambar 3. Skema klasifikasi Tuberkulosis6.
TB paru
TB paru BTA (+)
TB TB paru BTA (-) TB ekstraparu
Kasus baru Kasus kambuh Tipe penderita TB paru
Kasus Drop Out Kasus gagal pengobatan
Kasus kronik
II.6 Gejala Klinis II.6.1 Gejala Respiratori Gejala respiratori yaitu3: 1) Batuk / Batuk Darah Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut adalah batuk darah (hemoptisis). Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang hebat (aneurisma Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik. 2) Sesak Napas Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 3) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya.
2.5.B Gejala Sistemik Gejala sistemik yaitu3: 1) Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadangkadand panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari serangan demam influenza. 2) Malaise Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan hilang timbul secara tidak teratur.
2.5.C GejalaTuberkulosis ekstrapulmonal Gejala Tuberkulosis ekstrapulmonal yaitu4: 1) Pleuritis dengan Efusi Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M. tuberculosis.
Setelah
infeksi
primer
perifer,
rongga
pleura
dapat
terkontaminasi dengan organisme yang diangkut melalui aliran limfe ke pleura dan kemudian melintasi permukaan paru ke hilus. Efusi pleura terjadi, kadangkala massif, biasanya dengan nyeri pleura yang amat sangat. Efusi terjadi plaing sering unilateral, tetapi tidak selalu. Efusi bersifat eksudatif, dan gambaran cairan pleura yang paling khas adalah konsentrasi protein yang lebih dari 3,0 g/dL. Biopsi jarum pada pleura parietal dapat mengungkap adanya granuloma, yang menguatkan diagnosis pleuritis tuberkulosis.Respons
terhadap kemoterapi baik. Pengeluaran seluruh cairan pleura tidak diperlukan. Pada kasus yang jarang diperlukan dekortikasi secara bedah. Fistula bronkopleura dan empiema tuberculosis merupakan penyulit yang sangat berbahaya pada tuberculosis yang tidak diobati akibat terjadinya ruptur lesi paru ke salam rongga pleura. Diagnosis biasanya tidak sukar, dan basil tahan asam biasanya dengan mudah tampak pada eksudat pleura. Pengobatan terdiri dari drainase secara bedah dan kemoterapi yang adekuat.
2) Peritonitis dan Perikarditis tuberkulosis Perikardium dan peritoneum dapat menjadi tempat tuberkulosis. Perikarditis kadang terjadi bersama dengan pleuritis. Yang lebih sering, perikardium terinfeksi akibat drainase dari kelenjar limfe yang terinfeksi. Terjadilah efusi eksudatif, dan pasien datang dengan demam dan nyeri perikardial. Bisa didapati bising gesek (friction rub). Diagnosis perikarditis tuberkulosis sering sukar dan kadang-kadang memerlukan torakotomi untuk melakukan biopsi perikardial. Peritonitis tuberkulosis disebabkan penyebaran secara hematogen pada peritoneum atau jalan masuk basilus dari sumber organ kemih kelamin atau limfatik abdomen. Diagnosisnya seringkali sukar. Mungkin diperlukan biopsi secara bedah untuk menegakkan diagnosis.
3) Tuberkulosis Meningeal Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis. Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol. Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi manifestasi utamanya.
4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis superficial menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala utama. Dengan cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang menyebabkan bronchitis tuberculosis. Batuk dan hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis dan bronchitis yang luas biasanya sangat infeksius.
5) Tuberkulosis Tulang Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang, biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis. Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.
6) Tuberkulosis Genitourinarius Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak diperlukan. Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organism lewat tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan asam.
7) Adenitis Tuberkulosis Gambar 4. Limfadenitis Tuberkulosis
Scrofula merupakan limfadenitis tuberkulosis kronik pada kelenjar limfe leher. Beberapa kelenjar leher munkin terkena tetapi tempat yang paling sering adalah segitiga anterior leher tepat dibawah mandibula. Pembesaran kelenjar tuberkulosis biasanya kenyal dan tidak nyeri tekan. Dengan perkembangan penyakit pembesaran kelenjar ini menjadi lebih keras dan kasar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan biopsi secara bedah.
8) Tuberkulosis pada AIDS Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan M. tuberculosis
dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberculosis adalah 5 hingga 10 persen pertahun. Limfosit dan monosit, yaitu sel-sel pertahanan primer yang dikerahkan untuk infeksi tuberkulosis, dihancurkan oleh HIV. Reaktivasi uji kulit tuberkulin dapat tidak ada pada individu yang terinfeksi HIV yang masih sehat dan bebas gejala klinis AIDS, sekalipun begitu banyak dua pertiga persen pasien yang terinfeksi HIV dengan tuberkulosis memiliki uji kulit tuberkulin positif. Jumlah limfosit T CD4 pada pasien tuberkulosis seropositif-HIV yang khas berada dalam rentang 150-200 sel per milimeter kubik. Hampir separuh pasien AIDS dengan tuberkulosis memiliki bentuk ekstrapulmonal, dengan limfadenitis tuberkulosa yang menonjol, biasanya di leher anterior. Hampir setengah pasien ditemukan gambaran rontgen yang atipik, dengan infiltrat halus yang difus, infiltrat pneumonik, adenopati hilus, dan infiltrat perihilus, serta seringkali tampak efusi pleura.
9) Tuberkulosis Saluran Makanan Lambung sangat resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Hal yang jarang, yang biasanya terjadi bersama dengan penyakit paru yang berkavitas luas dan kecacatan berat, organism yang tertelan mencapai ileum terminalis, dan sekum sehingga timbul ileitis tuberkulosa. Diare kronik dan terbentuknya fistula merupakan manifestasi utama, dan penyakit ini sulit dibedakan dari penyakit Crohn.
10) Tuberkulosis Milier Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran hematogen yang luas. Cenderung lebih fulminan pada anak daripada orang dewasa. Yang klasik, tuberkulosis milier timbul setelah penyebaran hematogen sewaktu infeksi primer, dan pasien datang tanpa adanya riwayat tuberkulosis sebelumnya. Lesi timbul serempak diseluruh tubuh. Pasien menjadi sakit sebelum terdapat
perubahan radiografik, yang memakan waktu 4 hingga 6 minggu untuk dapat dikenali. Temuan radiologi yang khas adalah nodul-nodul halus, tersebar secara uniformis, dan lembut pada kedua lapangan paru. Temuan ini sering dapat diketahui pertama kali pada foto toraks lateral, atau foto toraks posteroanterior yang penyinarannya dikurangi. Diagnosisnya sulit, dan sputum yang dibatukkan jarang mengandung organisme.
II.7 Pemeriksaan Fisik Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum6. Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess6.
II.8 Pemeriksaan Penunjang Gambar 5. Pemeriksaan Tuberkulosis paru
II.8.1 Pemeriksaan Bakteriologi 1)
Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan. Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refles batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage)3.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (3) Kuman berbentuk batang yang ramping (diameter kurang dari 0,5 µm), kadang melengkung, sering bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada specimen klinis sebagai pasangan atau kelompok beberapa organism yang terletak bersisian4.
Gambar 6. Sputum BTA
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah : a)
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa,
b)
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus),
c)
Pemeriksaan dengan biakan (kultur),
d)
Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar ultraviolet walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik3. Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan ini membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak, basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali4. Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negative. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa3. Sementara medium biakan agar adalah Middle Brook6. Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA3.
2)
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan
biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari : a)
Cairan serebrospinal sebaiknya dianalisis untuk mengetahui kadar protein dan glukosa (dibandingkan dengan total serum simultan protein dan glukosa). Jumlah sel darah putih juga harus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi serum protein), limfositosis, dan glukosa yang rendah adalah khas meningitis tuberkulosis2.
b)
Bilasan lambung sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya3. Sekitar 50 ml isi lambung harus diaspirasi pada pag hari, setelah pasien
menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih baik jika pasien masih di tempat tidur. c)
Cairan pleura, peritoneum, dan perikardial dapat dianalisis untuk mengetahui kadar protein dan glukosa (dibandingkan dengan total serum simultan protein dan glukosa). Sel dan diferensial jumlah harus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi serum protein), limfositosis, dan glukosa yang rendah biasanya ditemukan pada infeksi tuberkulosis.
d)
Bilasan urin biasanya menunjukkan hasil negatif dan karenanya tidak efektif untuk dilakukan2.
II.8.2 Pemeriksaan Radiologi Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum selalu negatif3. Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior. Gambaran yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah : 1)
Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta segmen superior lobus bawah paru ditemukan berupa bercak-bercak seperti awan / nodular6.
2)
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal,
3)
Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru3.
4)
Efusi pleura unilateral atau bilateral.
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah6:
1)
Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,
2)
Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi, 3)
Schwarte atau penebalan pleura.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah bayangan hitam radio-ulsen di pinggir paru atau pleura (pneumotoraks) dan atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru Berdasarkan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut3: 1)
Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya, tidak melebihi satu lobus paru.
2)
Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.
3)
Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebih keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Gambar 7. Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru
II.8.3 Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux) Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita)3. Teknik standar tes Mantoux adalah dengan menyuntikkan tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U. tuberkulin secara intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dipegang dengan permukaan miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat9. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit
ditekuk. Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritem yang bernilai9. Hasil tes mantoux ini dibagi dalam3: 1)
Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif
2)
Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan
3)
Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif
4)
Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat
5)
Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous ± 5 mm, dinilai positif.
Gambar 8. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)12
Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi
Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak dijumpai daripada positif palsu3. Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni3: 1)
Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.
2)
Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),
3)
Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air, poliomielitis,
4)
Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.
5)
Pemberian kortikosteroid yang lama,
6)
Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan.
II.8.4 Pemeriksaan Penunjang Lain
1)
Pemeriksaan Histopatologi Jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu6: a)
Biopsi aspirasi dengan jarum halum (BJH) kelenjar getah bening (KGB),
b)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum Abram, Cope dan Veen Silverman),
c)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan bronkoskopi,
d)
Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai tuberkulosis.
e)
Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan di kirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur, serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi6.
2)
Pemeriksaan Darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifk untuk tuberkulosis. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi3.
II.9 Penatalaksanaan Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan6. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT1.
II.9.1 Obat Anti Tuberkulosis Obat yang dipakai : 1)
Jenis obat utama (lini 1) yang digunaka adalah : INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.
2)
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) Kanamisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon, Etionamid,
Sikloserin,
Protionamid,
Viomisin,
Amikasin, Norfloksasin, Levofloksasin, Klofazimin3. Kemasan : 1)
Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.
Kapreomisin,
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT
Berat Badan
Dosis Obat (mg) Rifampisin
INH
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
(R)
(H)
(Z)
(E)
(S)
< 40
300
150
750
750
Sesuai BB
40-60
450
300
1000
1000
750
>60
600
450
1500
1500
1000
2)
Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
International union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada berikut1:
Tabel 2. Dosis OAT KDT Tahap Intensif
Berat
tiap hari selama 56 hari
Badan
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30-37
2 tablet
2 tablet
38-54
3 tablet
3 tablet
55-70
4 tablet
4 tablet
>71
5 tablet
5 tablet
Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB1: a)
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b)
Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c)
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat
menjadi
sederhana
dan
meningkatkan
kepatuhan pasien. d)
Peningkatan
kepatuhan
tenaga
kesehatan
terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar.
II.9.2 Paduan obat Anti Tuberkulosis Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi6: 1)
Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru). Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3atau 2RHZE/6HE. Pengobatan fase inisial resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama dua bulan. Kemudian diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE, maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan setiap hari atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan. Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.
2)
Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi minimal. Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3 atau 6RHE
3)
Pasien TB paru kasus kambuh.
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan. 4)
Pasien TB paru kasus gagal pengobatan. Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE. Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
5)
Pasien TB kasus putus obat. Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB : RHZES/1RHZE/5R3H3E3. Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria berikut : a)
Berobat < 4 bulan Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif, TB aktif pengobatan diteruskan.
b)
Berobat ≥ 4 bulan Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
6)
Pasien TB paru kasus kronik. a)
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon,
betalaktam,
makrolid,
dan
lain-lain.
Pengobatan minimal selama 18 bulan. b)
Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c)
Pertimbangkan
pembedahan
untuk
meningkatkan
kemungkinan penyembuhan. d)
Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.
Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi1: 1)
Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
2)
a)
Pasien baru TB paru BTA positif.
b)
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c)
Pasien TB ekstra paru
Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: a)
Pasien kambuh
b)
Pasien gagal
c)
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif Berat
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan
Selama 56 hari 30-37
3 kali seminggu
tiap hari
2 tab 4KDT
Selama 28 hari 2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin
RH (150/150) + E(400) selama 20 minggu 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
inj. 38-54
3 tab 4KDT
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin
3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol
inj 55-70
4 tab 4KDT
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin
4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
inj. >71
5 tab 4KDT
5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin
5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol
inj.
II.9.3 Efek samping obat dan penatalaksanaannya Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala1. Tabel 4. Efek samping ringan OAT
Efek Samping Tidak ada nafsu
Penyebab Rifampisin
makan, mual, sakit
Penatalaksanaan Semua OAT diminum malam sebelum tidur
perut Nyeri Sendi
Pirasinamid
Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa
INH
Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg
terbakar di kaki Warna kemerahan
per hari Rifampisin
pada air seni (urine)
Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien
Tabel 5. Efek samping berat OAT Efek Samping
Penyebab
Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan
Semua jenis
Ikuti petunjuk penatalaksanaan
kulit
OAT
dibawah *).
Tuli
Streptomisin
Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.
Gangguan
Streptomisin
keseimbangan
Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol
. Ikterus tanpa penyebab
Hampir semua
Hentikan semua OAT sampai
lain
OAT
ikterus menghilang.
Bingung dan muntah-
Hampir semua
Hentikan semua OAT, segera
muntah (permulaan
OAT
lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan
Rifampisin
Hentikan Rifampisin.
ikterus karena obat)
(syok) Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”1:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatalgatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
II.9.4 Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus dibagi menjadi1: 1)
Kehamilan dan menyusui Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
Pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Tidak ada indikasi penguguran pada pasien TB dengan kehamilan. Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
2)
Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi nonhormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
3)
Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
4)
Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan (rekomendasi WHO) adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
5)
Hepatitis Imbas Obat Dikenal sebagai kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaannya : a)
Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
b)
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali OAT stop
c)
Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 OAT stop
d)
SGOT, SGPT > 5 kali OAT stop
e)
SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan : a)
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
b)
Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normalkembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampaidengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratoriumsaat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin,desensitisasi sampai dengan dosis
penuh
(sesuai
berat
badan).
Sehingga
paduan
obatmenjadi RHES3. c)
6)
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
7)
Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula darah tdak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.
8)
Pasien TB Milier Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan
untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40 mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.
9)
Pasien Efusi Pleura TB Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan
dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.
10)
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: a)
Untuk TB paru: a.
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
b.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
c. b)
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir
Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
11)
Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan
Prinsip-prinsip
Universal
Precaution
(Kewaspadaan
Keamanan Universal). Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu unit pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
12)
Tuberkulosis pada organ lain Paduan OAT untuk pengobatan tuberculosis di berbagai organ tubuh
sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya lama pengobatan untuk TB tulang, TB sendi, dan TB kelenjar adalah 9-12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2HRZE/7-10RH
II.9.5 Evaluasi Pengobatan
1)
Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis6.
2)
Evaluasi bakteriologi Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk
mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasiliti biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi6.
3)
Evaluasi radiologis Evaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan
evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir pengobatan6.
4)
Evaluasi efek samping secara klinis6. a)
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan darah lengkap.
b)
Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit peyerta atau efek samping pengobatan.
c)
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
d)
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
e)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diuji keseimbangan dan audiometric (bila ada keluhan)
f)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penangan efek samping obat sesuai pedoman.
5)
Kriteria sembuh6: a)
BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
b)
Pada
foto
toraks,
gambaran
radiologi
serial
tetap
sama/perbaikan. c)
Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan negatif.
6)
Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh)6.
II.10 DIRECTLY OBESERVED TREATMEN SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulagan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS yang juga telah dianut oleh
negara kita. Karena itu
pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar
tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan bak. DOTS memiliki komponen, yaitu6: 1)
Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional,
2)
Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Obsered Therapy),
3)
Pengadaan OAT secara berkesinambungan,
4)
Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar.
II.10.1 Strategi stop TB oleh WHO
1)
Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu.
2)
Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, Multi Drug Resistance (MDR)-TB, dengan aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan.
3)
Konstribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum.
4)
Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non pemerintah dengan pendekatan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standarts of TB care.
5)
Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.
6)
Memunkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik, dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program6.
II.10.2 Tujuan DOTS 1)
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi.
2)
Mencegah putus berobat.
3)
Mengatasi efek samping obat jika timbul.
4)
Mencegah resistensi
II.10.3 Langkah Pelaksanaan DOT Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang pengawasan menelan obat (PMO) dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang DOT6.
II.10.4 Persyaratan PMO 1)
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2)
Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3)
Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4)
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien1.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga6.
II.10.5 Tugas PMO 1)
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
2)
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3)
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
4)
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala
mencurigakan
TB
untuk
segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. 5)
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (UPK)1.
II.10.6 Informasi penting oleh PMO 1)
TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
2)
TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
3)
Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
4)
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
5)
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6)
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK1.
II.11 Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan cara : 1)
Terapi pencegahan.
2)
Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan Terapi pencegahan4: Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.
II.12 Penyuluhan Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat
dilakukan secara6:
1)
Perorangan/Individu Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lainlain.
2)
Kelompok Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, dan lainlain. Cara memberikan penyuluhan : a)
Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada.
b)
Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannyasebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya.
c)
Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelasd.
d)
Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perludengan alat peraga (brosur, leaflet dan lain-lain)
II.13 Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi & tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula6. Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu6 : 1)
Kartu pengobatan TB (01)
2)
Kartu identitas penderita TB (TB02)
3)
Register laboratorium TB (TB04)
4)
Formulir permohonan pemeriksaan dahak (TB05)
5)
Daftar tersangka penderita TB (TB06)
6)
Formulir pindah penderita TB (TB09)
7)
Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara
pengisisan
formulir
sesuai
dengan
buku
pedoman
penanggulangan TB Nasional (P2TB). Untuk pembuatan laporan, data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03) dan direkap ke dalam formulir rekapan yang ada di tingkat kabupaten/kota6.
DAFTAR PUSTAKA 1. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. 2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161. 2000; p:1376–1395. 3. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. 4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999. 5. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476. Jakarta: Media Aesculapius, 2001. 6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006. 7. Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis Paru. Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009. 8. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007. 9. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005. 10. http://www.emedicine.medscape.com 11. http://www.medicastore.com 12. http://www.scribd.com