Laporan Pendahuluan Fraktur Humerus
A. DEFINISI
Fraktur humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas : 1. Fraktur Collum Humerus 2. Fraktur Batang Humerus 3. Fraktur Suprakondiler Humerus 4. Fraktur Interkondiler Humerus B. ANATOMI
Humerus atau tulang pangkal lengan ada sepasang dan berbentuk tulang panjang dan terletak pada brachium. Humerus berartikulasi dengan scapula di proksimal dan dengan radius ulna di distal. Humerus dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu proksimal humeri, shaft humeri dan distal humeri. Proksimal humeri
Pada proksimal humeri, terdapat caput humeri yang setengah bulat dan dilapisi oleh tulang rawan. Caput humeri merupakan bagian humerus yang berartikulasi dengan kavitas glenoidalis yang merupakan bagian scapula. Arah caput humeri serong mediosuperior dan sedikit posterior. Caput humeri dipisahkan dengan struktur di bawahnya oleh collum anatomicum. Didapatkan dua tonjolan tulang yang disebut tuberculum majus dan tuberculum minor. Tuberculum majus mengarah ke lateral dan melanjutkan diri ke distal sebagai crista tuberculi majoris. Tuberculum minor mengarah ke anterior dan melanjutkan diri sebagai crista tuberculi minoris. Di antara kedua tuberculum serta crista tuberculi dibentuk sulcus intertubercularis yang dilapisi tulang rawan dan dilalui tendon caput longum m. bicipitis. Shaft humeri
Shaft humeri memiliki penampang melintang berbentuk segitiga. Permukaan shaft humeri dapat dibagi menjadi facies anterior medialis, facies an terior lateralis dan facies posterior. Pertemuan facies anterior medialis dengan facies posterior membentuk margo medialis. Margo medialis ke arah distal makin menonjol dan tajam sebagai crista supracondilaris medialis.
Pertemuan facies anterior lateralis dengan facies posterior membentuk margo lateralis. Margo lateralis ini juga ke arah distal makin menonjol dan tajam sebagai crista supracondilaris lateralis. Dipertengahan sedikit proksimal facies anterior lateralis didapatkan tuberositas deltoidea. Di posterior dari tuberositas deltoidea dan di facies posterior humeri didapatkan sulcus nervi radialis (sulcus spiralis) yang berjalan superomedial ke inferolateral. Foramen nutricium didapatkan dekat margo medialis dan merupakan lubang masuk ke canalis nutricium yang mengarah ke distal. Distal humeri
Distal humeri lebih tipis dan lebar dibandingkan dengan shaft humeri. Margo medialis yang melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris medialis berakhir sebagai epicondilus medialis. Demikian pula margo lateralis yang melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris lateralis
berakhir
sebagai
epicondilus
lateralis.
Epicondilus
medialis
lebih
menonjol
dibandingkan epicondilus lateralis serta di permukaan p osterior epicondilus medialis didapatkan sulcus nervi ulnaris. Diantara kedua epicondilus didapatkan struktur yang dilapisi tulang rawan untuk artikulasi dengan tulang-tulang antebrachii. Struktur ini mempunyai sumbu yang sedikit serong terhadap sumbu panjang shaft humeri. Struktur ini disebut trochlea humeri di medial dan capitulum humeri di lateral. Trochlea humeri dilapisi oleh tulang rawan yang melingkar dari permukaan anterior sampai permukaan posterior dan berartikulasi dengan ulna. Di proksimal trochlea baik di permukaan anterior maupun di permukaan posterior didapatkan lekukan sehingga tulang menjadi sangat tipis. Dipermukaan anterior disebut fossa coronoidea dan di permukaan posterior disebut fossa olecrani. Capitulum humeri lebih kecil dibandingkan trochlea humeri, dilapisi tulang rawan setengah bulatan dan tidak mencapai permukaan posterior. Capitulum humeri berartikulasi dengan radius. Di permukaan anterior ante rior capitulum humeri didapatkan fossa radialis. Otot-otot yang berhubungan dengan pergerakan dari tulang humerus meliputi mm. biceps brachii, coracobrachialis, brachialis dan triceps brachii. Selain itu humerus juga sebagai tempat insersi mm. latissimus dorsi, deltoideus, pectoralis mayor, teres mayor, teres minor, subscapularis dan tendon insersio mm. supraspinatus dan infraspinatus.
M. Latissimus Dorsi
Otot ini besar dan berbentuk segitia. Batas posterior trigonum lumbale dibentuk oleh m. latissimus dorsi. Bersama m. teres mayor, otot ini membentuk plica axillaris posterior, serta ikut membentuk dinding posterior fossa axillaris. Otot ini berorigo pada processi spinosi vertebrae thoracales VII – sacrales V dan crista iliaca. Dan berinsersi pada sulcus intertubercularis humeri. Otot ini berfungsi untuk ekstensi, adduksi dan end orotasi pada artikulasi humeri. M. Deltoideus
Otot yang tebal dan letaknya superficial ini berorigo di tepi anterior dan permukaan superior sepertiga bagian lateral clavicula, tepi lateral permukaan superior acromion, serta tepi inferior spina scapulae. Insersi pada tuberositas deltoidea humeri. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris. Otot ini berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri, bagian anterior untuk fleksi dan endorotasi artikulasi humeri, sedang bagian posterior untuk ekstensi dan eksorotasi artikulasi humeri. M. Supraspinatus
Bagian medial fossa supraspinatus merupakan origo otot ini dan insersinya di tuberculum majus humeri. Otot ini mendapat inervasi dari n. suprascapularis. Otot ini berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri. Otot ini bersama mm. infraspinatus, teres minor et subscapularis membentuk rotator cuff, yang berfungsi mempertahankan caput humeri tetap pada tempatnya dan mencegahnya tertarik oleh m. deltoideus menuju acromion. M. Infraspinatus
Mm. deltoideus et trapezius berada di superficial dari sebagian otot ini. Origonya di dua pertiga bagian medial fossa infraspinatus dan permukaan inferior spina scapulae. Tendo insersinya juga menyatu dengan capsul artikulasi humeri dan berinsersi pada tuberculum majus humeri. Otot ini diinervasi oleh n. suprascapularis. Otot ini berfungsi untuk eksorotasi artikulasi humeri. Bagian superior untuk abduksi dan bagian inferior untuk adduksi artikulasi humeri. M. Subscapularis
Otot ini membentuk dinding posterior fossa axillaris. Origonya di fossa subscapularis. Tendo insersinya berjalan di anterior dan melekat pada capsula artikulasi humeri serta tuberculum minor humeri. Otot ini diinervasi oleh n. subscapularis. Otot ini berfungsi untuk endorotasi artikulasi humeri.
M. Teres Minor
Otot ini mungkin sulit dipisahkan dengan m. infraspinatus. Otot ini berorigo pada tepi lateral fossa infraspinata dan tendo insersinya mula-mula melekat pada capsula articularis humeri, kemudian melekat pada tuberculum minor humeri. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris. Otot ini berfungsi untuk eksorotasi artikulasi humeri. M. Teres Mayor
Otot ini berorigo di facies dorsalis scapulae dekat angulus inferior. Berinsersi di labium medial sulcus intertubercularis humeri di inferior dari tempat insersi m. subscapularis. Inervasi otot ini berasal dari n. subscapularis. Bersama m. latissimus dorsi, otot ini berfungsi untuk adduksi artikulasi. M. Biceps Brachii
Otot yang berorigo di scapula ini, memiliki dua caput yaitu caput longum et brevis. Caput brevis berorigo bersama dengan m. coracobrachialis di processus coracoideus. Sedang caput longum berorigo di tuberositas supraglenoidalis. Ketika melalui sulcus intertubercularis humeri, tendo origonya di fiksasi oleh ligamentum transversum humeri. Insersi otot ini pada tuberositas radii. Sebagian tendo insersinya, sebagai lacertus fibrous, berinsersi di fascia antebrachii dan ulna. Fungsi caput longum m. biceps brachii untuk fleksi artikulasi humeri et cubiti, sedangkan caput brevisnya untuk supinasi artikulasi radioulnaris. M. Coracobrachialis
Otot ini berorigo di processus coracoideus. Otot ini ditembuw oleh n. musculocutaneus dan insersi di sepertiga distal medial humeri. Otot ini berfungsi untuk fleksi dan adduksi artikulasi humeri. M. Brachialis
Otot ini berorigo di dua pertiga distal fascia anteromedial et anterolateral humeri dan insersi pada capsula artikulasi cubiti, processus coronoideus et tuberositas ulna. Otot ini berfungsi untuk fleksi artikulasi cubiti. M. Triceps Brachii
Otot ini berada di regio brachii dorsalis. Otot ini memiliki tiga caput dan tersusun dalam dua lapisan. Caput longum et lateralis menempati lapisan superficial, sedang caput medial menempati lapisan profundus. Caput longumnya berorigo pada tuberositas infraglenoidalis.
Dalam perjalanannya ke inferior, caput ini memisahkan hiatus axillaris medialis dari hiatus axillaris lateralis. Origo lateral et medial dipisahkan oleh sulcus n. radialis humeri. Caput lateral berorigo di facies posterior humeri di superior dari sulcus ini, sedang caput medial berorigo di inferiornya. Insersinya di bagian posterior permukaan superior olecranon, fascia antebrachii dan capsula articularis cubiti. Inervasi otot ini berasal dari n. radialis. Fungsi dari caput longum m. triceps brachii untuk ekstensi dan adduksi artikulasi humeri, sedangkan caput lateral et medial untuk ekstensi artikulasi cubiti. Persarafan yang berjalan pada regio brachii adalah saraf axillaris, medianus dan ulnaris. N. Axillaris (C5-C6)
Awalnya saraf ini berjalan sejajar dengan n. radialis. Setinggi inferior m. subscapularis memisahkan diri dari n. radialis dan berada di lateralnya, kemudian berjalan ke posterior bersama a. circumflexa humeri posterior melewati hiatus axillaris lateralis. Selanjutnya saraf ini berjalan di inferior dari tepi inferior m. teres minor dan menginervasinya. Ketika mencapai sisi posteromedial collum chirurgicum humeri, n axillaris member cabang n. cutaneus brachii lateralis untuk menginervasi kulit di superficial m. deltoideus. Akhirnya melanjutkan diri ke anterior sekeliling sisi lateral collum chirurgicum humeri untuk menginervasi m. deltoideus. N. Musculocutaneus (C5-C7)
Merupakan cabang fasciculus lateralis pleksus brachialis. M. coracobrachialis ditembus oleh saraf ini. N. musculocutaneus menginervasi otototot fleksor regio brachii (mm. biceps brachii et brachialis), kulit sisi lateral region antebrachii dan arilkulasi cubiti. Selanjutnya saraf ini muncul di lateral dari m. biceps brachii sebagai n. cutaneus antebrachii lateralis. N. Medianus (C5-T1)
Di sisi anterolateral dari a. axillaris, saraf ini terbentuk dari pertemuan radiks lateralisnya yang merupakan cabang fasciculus lateralis plexus brachialis dan radiks medialis, yang merupakan cabang fasciculus medialis plexus brachialis. Selanjutnya berjalan bersama a. axillaris dan lanjutannya, yaitu a. brachialis. Saraf ini menyilang di anterior a. brachialis untuk berada di medial dari arteri ini di dalam fossa cubiti. N. medianus bersama a. brachialis berjalan di permukaan anterior m. brachialis menuju fossa cubiti. N. Radialis (C5-T1)
Cabang terbesar dari pleksus brachialis ini awalnya berjalan di posterior dari a. axillaris dan di anterior dari m. subscapularis. Saraf ini menginervasi kulit di sisi posterior regio brachii,
antebrachii et manus, otot-otot ekstensor region brachii et antebrachii, artikulasi cubiti dan beberapa artikulasi di regio manus. N. Ulnaris (C7-T1)
Saraf ini berjalan ke inferior di posteromedial dari a. brachialis, jadi sejajar dengan n. medianus. Kira-kira di pertengahan region brachii, n. ulnaris menjauhi a. brachialis dan n. medianus untuk berjalan ke poter oinferior menembus septum intermusculare medial bersama a. collateralis ulnaris proksimal menuju sisi medial m. triceps brachii. Akhirnya berada di sisi posterior epicondylus medialis humeri. Vaskularisasi regio brachii dijelaskan pada bagian berikut: Arteri brachialis merupakan lanjutan a. axillaris, dimulai dari tepi inferior m. teres mayor. Arteri ini melanjutkan diri ke fossa cubiti dan di sini berakhir sebagai dua cabang terminal, yaitu aa. Ulnaris et radialis. Cabang-cabangnya yang berada di regio ini adalah aa. Profunda brachii, collaterales ulnares proksimal et distalis. Arteri profunda brachii berjalan ke posterior bersama n. radialis. Di sini lateral regio brachii arteri ini berakhir sebagai dua cabang terminalnya, yaitu a. collateralis radialis, yang berjalan ke anterior bersama n. radialis dan a. collateralis media, yang menuju sisi posterior epicondylus lateralis humeri. Arteri collateralis ulnaris proksimalis berawal dipertengahan regio brachii dan berjalan bersama n. ulnaris menuju sisi posterior epicondylus medialis humeri. Arteri collateralis ulnaris distalis awalnya sedikit di superior dari artikulasi cubiti dan berjalan di posterior dari n. medianus, kemudian cabang-cabangnya menuju sisi anterior dan posterior epicondylus medialis humeri. Vena brachialis mengikuti arterinya dan kira-kira di dua pertiga proksimal regio ini v. basilica berjalan superficial terhadap a. brachialis.
Gambar 2.1.. (a) Anterior and (b) Posterior Humerus. (c) Humerus dengan tiga saraf utama yaitu n. axillaris, n. radialis dan n. ulnaris.
Gambar 2.2. Anterior dan Posterior Humerus. Tempat insersi otot-otot berhubungan dengan pergerakan humerus.
C. ETIOLOGI
Umumnya fraktur yang terjadi, dapat disebabkan beberapa keadaan berikut: 1. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim. 2. Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh. 3. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis. Penyebab Fraktur adalah : 1. Kekerasan langsung : Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2. Kekerasan tidak langsung : Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3. Kekerasan akibat tarikan otot : Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa twisting, bending dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. Kebanyakan fraktur shaft humerus terjadi akibat trauma langsung, meskipun fraktur spiral sepertiga tengah dari shaft kadang-kadang dihasilkan dari aktifitas otot-otot yang kuat seperti melempar bola. Pada fraktur humerus kontraksi otot, seperti otot-otot rotator cuff, deltoideus, pectoralis mayor, teres mayor, latissimus dorsi, biceps, korakobrakialis dan triceps akan mempengaruhi posisi fragmen patahan tulang yang mengakibatkan fraktur mengalami angulasi maupun rotasi. Di bagian posterior tengah melintas nervus Radialis langsung melingkari periostum diafisis humerus dari proksimal ke distal sehingga mudah terganggu akibat patah tulang humerus bagian tengah. D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur penyembuhan tulang: 1. Faktor intrinsic Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan (fatigue fracture), dan kepadatan atau kekerasan tulang. 2. Faktor ektrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. Jenis fraktur berdasarkan kekuatan yang mengenainya: Kompresif: fraktur proksimal dan distal humerus Bending: fraktur transversa shaft humerus Torsional: fraktur spiral shaft humerus Torsional dan bending: fraktur oblik, kadang diikuti dengan fragmen ”butterfly”.
E. KLASIFIKASI
Berikut klasifikasi fraktur diafisis humerus menurut Ortopaedics Trauma Association (OTA):
Tipe A: fraktur sederhana (simple fracture)
A1: spiral
A2: oblik (>30°)
A3: transversa (<30°)
Tipe B: fraktur baji (wedge fracture)
B1: spiral wedge
B2: bending wedge
B3: fragmented wedge
Tipe C: fraktur kompleks (complex fracture)
C1: Spiral
C2: Segmental
C3: Ireguler (significant comminution)
Gambar 2.3. Tipe A = fraktur sederhana. A1 = fraktur spiral (.1 pada sepertiga proksimal, .2 pada sepertiga tengah, dan .3 pada sepertiga distal), A2 = fraktur oblik, A3 = fraktur transversa.
Gambar 2.4. Tipe B = fraktur baji (wedge fracture). B1 = fraktur baji spiral (spiral wedge fracture), B2 = bending wedge fracture, A3 = fragmented wedge fracture.
Gambar 2.5. Tipe C = complex fracture. C1 = fraktur spiral kompleks, C2 = fraktur segmental kompleks, A3 = fraktur ireguler. Berdasarkan arah pergeserannya, fraktur humerus dibagi menjadi; 1. Fraktur sepertiga proksimal humerus Fraktur yang mengenai proksimal metafisis sampai insersi m. pectoralis mayor diklasifikasikan sebagai fraktur leher humerus. Fraktur di atas insersi pectoralis mayor menyebabkan fragmen proksimal abduksi dan eksorotasi rotator cuff serta distal fragmen bergeser ke arah medial. Fraktur antara insersi m. pectoralis mayor dan deltoid umumnya terlihat adduksi pada akhir distal dari proksimal fragmen dengan pergeseran lateral dan proksimal dari distal fragmen. 2. Fraktur sepertiga tengah dan distal humerus Jika fraktur terjadi di distal dari insersi deltoid pada sepertiga tengah korpus humerus, pergeseran ke medial dari fragmen distal dan abduksi dari fragmen proksimal akan terjadi. Gambar 2.6. Lokasi fraktur dan arah pergeseran fragmen. (dari kiri ke kanan) Fraktur diatas insersi pectoralis mayor, fraktur antara insersi pectoralis mayor dan deltoid, fraktur di bawah insersi deltoid.
Secara ringkas dapat penjelasan posisi fragmen fraktur dapat dilihat pada table 2.1 berikut: Tabel 2.1. Tabel posisi fragmen fraktur. Lokasi fraktur
Fragmen proksimal
Diatas insersi pectoralis mayor
Abduksi, eksorotasi oleh rotator cuff
Antara pectoralis mayor dan tuberositas deltoideus Distal tuberositas deltoideus
Medial oleh pectoralis, teres mayor dan latissimus dorsi
Abduksi oleh deltoideus
Fragmen distal Medial, proksimal oleh deltoideus dan pectoralis mayor
Lateral, proksimal oleh deltoideus Medial, proksimal oleh biceps dan triceps brachii
F. GAMBARAN KLINIS
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat. Nyeri berkurang jika fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. 4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya. 5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera. 6. Pada pemeriksaan harus diperhatikan keutuhan faal nervus radialis dan arteri brakialis. Saat pemeriksaan apakah ia dapat melakukan dorsofleksi pergelangan tangan atau ekstensi jari-jari tangan. G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur (transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu pada perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur patologis harus diingat. CT-scan, bone-scan dan MRI jarang diindikasikan, kecuali pada kasus dengan kemungkinan fraktur patologis. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks. H. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat ditangani secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi, pemendekan serta rotasi fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai 300 masih dapat ditoleransi, ditinjau dari
segi fungsi dan kosmetik. Hanya pada patah tulang terbuka dan non-union perlu reposisi terbuka diikuti dengan fiksasi interna. Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping imobilisasi; beban pada lengan dengan cast biasanya cukup untuk menarik fragmen ke garis tengah. Hanging cast dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan siku fleksi 90° dan bagian lengan bawah digantung dengan sling disekitar leher pasien. Cast (pembalut) dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan pembalut pendek ( short cast ) dari bahu hingga siku atau functional polypropylene brace selama ± 6 minggu. Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal. Latihan pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi aktif ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral mengalami union sekitar 6 minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu. Sekali mengalami union, hanya sling (gendongan) yang dibutuhkan hingga fraktur mengalami konsolidasi. Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien harus dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus dilakukan operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh. Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi konservatif:
Hanging cast Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan pada fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi relatif karena berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada saat penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan atau setengah diangkat sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas. Seringkali diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma. Lebih dari 96% telah dilaporkan mengalami union.
Coaptation splint Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih kecil daripada hanging arm cast . Lengan bawah digantung dengan collar dan cuff . Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut fraktur shaft humerus dengan pemendekan minimal dan untuk jenis fraktur oblik pendek dan transversa yang dapat bergeser dengan
penggunaan hanging arm cast . Kerugian coaptation splint meliputi iritasi aksilla, bulkiness dan berpotensial slippage. Splint seringkali diganti dengan fuctional brace pada 1-2 minggu pasca trauma.
Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing) Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak dapat ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi pilihan. Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang minimal atau fraktur yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan reduksi. Latihan pasif pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2 minggu pasca trauma.
Shoulder spica cast Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan abduksi dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi kesulitan aplikasi cast , berat cast dan bulkiness, iritasi kulit, ketidaknyamanan dan kesusahan memposisikan ektremitas atas.
Functional bracing Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan mempertahankan aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada sendi yang berdekatan. Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu pasca trauma setelah pasien diberikan hanging arm cast atau coaptation splint dan bengkak berkurang. Kontraindikasi metode ini meliputi cedera
massif
jaringan
lunak,
pasien
yang
tidak
dapat
dipercaya
dan
ketidakmampuan untuk mempertahankan asseptabilitas reduksi. Collar dan cuff dapat digunakan untuk menopang lengan bawah; aplikasi sling dapat menghasilkan angulasi varus (kearah midline). 2. Tindakan operatif Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman, membosankan dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan hal ini kadang-kadang cukup dianggap menyusahkan. Hal penting yang perlu diingat bahwa tingkat komplikasi setelah internal fiksasi pada humerus tinggi dan sebagian besar fraktur humerus mengalami union tanpa tindakan operatif. Meskipun
demikian,
pembedahan, diantaranya:
ada
beberapa
indikasi
untuk
dilakukan
tindakan
Cedera multiple berat
Fraktur terbuka
Fraktur segmental
Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
Fraktur patologis
Siku melayang ( floating elbow) – pada fraktur lengan bawah (antebrachi) dan humerus tidak stabil bersamaan
Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi Non-union
Fiksasi dapat berhasil dengan; 1. Kompresi plate and screws 2. Interlocking intramedullary nail atau pin semifleksibel 3. External Fixation Plating menjadikan reduksi dan fiksasi lebih baik dan memiliki keuntungan tambahan bahwa tidak dapat mengganggu fungsi bahu dan siku. Biar bagaimanapun, ini membutuhkan diseksi luas dan perlindungan pada saraf radialis. Plating umumnya diindikasikan pada fraktur humerus dengan kanal medulla yang kecil, fraktur proksimal dan distal shaft humerus, fraktur humerus dengan ekstensi intraartikuler, fraktur yang memerlukan eksplorasi untuk evaluasi dan perawatan yang berhubungan dengan lesi neurovaskuler, serta humerus non-union. Interlocking intramedullary nail diindikasi pada fraktur segmental dimana penempatan plate akan memerlukan diseksi jaringan lunak, fraktur humerus pada tulang osteopenic, serta pada fraktur humrus patologis. Antegrade nailing terbentuk dari paku pengunci yang kaku (rigid interlocking nail ) yang dimasukkan kedalam rotator cuff dibawah control (petunjuk) fluoroskopi. Pada cara ini, dibutuhkan diseksi minimal namun memiliki kerugian, yaitu menyebabkan masalah pada rotator cuff pada beberapa kasus yang berarti. Jika hal ini terjadi, atau apabila nail keluar dan fraktur belum mengalami union, penggantian nailing dan bone grafting mungkin diperlukan; atau dapat diganti dengan external fixator .
Retrograde nailing dengan multiple flexible rods dapat menghindari masalah tersebut, tapi penggunaannya lebih sulit, secara luas kurang aplikatif dan kurang aman dalam mengontrol rotasi dari sisi yang fraktur. External fixation mungkin merupakan pilihan terbaik pada fraktur terbuka dan fraktur segmental energy tinggi. External fixation ini juga prosedur penyelamatan yang paling berguna setelah intermedullary nailing gagal. Indikasi umumnya pada fraktur humerus dengan non-union infeksi, defek atau kehilangan tulang, dengan luka bakar, serta pada luka terbuka dengan cedera jaringan lunak yang luas.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi Awal
Cedera vaskuler Jika ada tanda-tanda insufisiensi vaskuler pada ekstremitas, kerusakan arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi akan memperlihatkan tingkat cedera. Hal ini merupakan kegawatdaruratan, yang memerlukan eksplorasi dan perbaikan langsung ataupun cangkok ( grafting ) vaskuler. Pada keadan ini internal fixation dianjurkan.
Cedera saraf Radial
nerve
palsy
(wrist
drop
dan
paralisis
otot-otot
ekstensor
metacarpophalangeal) dapat terjadi pada fraktur shaft humerus, terutama fraktur oblik pada sepertiga tengah dan distal tulang humerus. Pada cedera yang tertutup, saraf ini sangat jarang terpotong, jadi tidak diperlukan operasi segera. Pergelangan tangan dan telapak tangan harus secara teratur digerakkan dari pergerakan pasif putaran penuh hingga mempertahankan (preserve) pergerakan sendi sampai saraf pulih. Jika tidak ada tanda-tanda perbaikkan dalam 12 minggu, saraf harus dieksplorasi. Pada lesi komplit, jahitan saraf kadang tidak memuaskan, tetapi fungsi dapat kembali dengan baik dengan pemindahan tendon. Jika fungsi saraf masih ada sebelum manipulasi lalu kemudian cacat setelah dilakukan manipulasi, hal ini dapat diasumsikan bahwa saraf sudah mengalami robekan dan dibutuhkan operasi eksplorasi.
Infeksi
Infeksi luka pasca trauma sering menyebabkan osteitis kronik. Osteitis tidak mencegah fraktur mengalami union, namun union akan berjalan lambat dan kejadian fraktur berulang meningkat. Jika ada tanda-tanda infeksi akut dan pembentukan pus, jaringan lunak disekitar fraktur harus dibuka dan didrainase. Pilihan antibiotic harus disesuaikan dengan hasil sensitivitas bakteri. External fixation sangat berguna pada kasus ini, namun jika intramedullary nail sudah terlanjur digunakan dan terfiksasi stabil, nail tidak perlu dilepas.
Komplikasi Lanjut
Delayed Union and Non-Union Fraktur
transversa
kadang
membutuhkan
waktu
beberapa
bulan untuk
menyambung kembali, terutama jika traksi digunakan berlebihan (penggunaan hanging cast jangan terlalu berat). Penggunaan teknik yang sederhana mungkin dapat menyelesaikan masalah, sejauh ada tanda-tanda pembentukkan kalus (callus) cukup baik dengan penanganan tanpa operasi, tetapi ingat untuk tetap membiarkan bahu tetap bergerak. Tingkat non-union dengan pengobatan konservatif pada fraktur energi rendah kurang dari 3%. Fraktur energi tinggi segmental dan fraktur terbuka lebih cenderung mengalami baik delayed union dan non-union. Intermedullary nailing menyebabkan delayed union, tetapi jika fiksasi rigid dapat dipertahankan tingkat non-union dapat tetap dibawah 10%.
Joint stiffness Joint stiffness sering terjadi. Hal ini dapat dikurangi dengan aktivitas lebih awal, namun fraktur transversa (dimana abduksi bahu nyeri disarankan) dapat membatasi pergerakan bahu untuk beberapa minggu. Tambahan, pada anak-anak, fraktur humerus jarang terjadi. Pada anak-anak di bawah 3 tahun kemungkinan kekerasan pada anak perlu difikirkan. Fraktur dirawat dengan bandage sederhana pada lengan hingga ke badan untuk 2-3 minggu. Pada anak yang lebih tua memerlukan plaster splint pendek.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian a. Anamnesis. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan . Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. 1) Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS) d an diagnose medis. Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur humerus adalah nyeri yang bersifat menusuk. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien, perawat dapat menggunakan metode PQRST. Provoking Incedent : Hal yang menjadi faktor presipitas nyeri adalah trauma pada lengan atas. Quality Of Plain: Klien yang merasakan nyeri yang menusuk. Region, Radiation, Relief : Nyeri terjadi dilengan atas. Nyeri dapat redah dengan imobilitas atau istirahat. Nyeri tidak dapat menjalar atau menyebar. Severity (Scale) of Plain: secara subjektif, klien merasakan nyeri dengan skala 2-4 pada rentang 0-4. Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. 2) Riwayat penyakit sekarang. pengumpaln data dilakukan untuk menentukan penyebab fraktur yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Pengkajian yang di dapat adalah adanya riwayat trauma pada lengan. klien datang dengan lengan yang sakit tergantung tidak berdaya pada sis tubuh dan di sangga oleh lengan yang sehat. 3) Riwayat penyakit dahulu. pada pengkajian ini, perawat dapat menemukan kemungkinan penyebab fraktur dan mendapat petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit- penyakit tertentu, seperti kanker tulang dan penyakit paget, menyebabkan fanktor patologis sehingga tulang sulit menyambung. 4) Riwayat penyakit keluarga. penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik. 5) Riwayat penyakit psikososial spiritual. kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam keluarga dan masyarakat , serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalamk masyarakat. Dalam tahap pengkajian, perawat juga perlu mengetahui pola-pola fungsi kesehatan sebagai berikut. 6) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa takut akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus menjalanin penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, juga dilaksanakan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat steroid
yang dapat menganggu metabolisme kalsium, pengonsumsian alcohol yang dapat menganggu keseimbangan klien, dan apakah klien melakukan olahgara atau tidak. 7) Pola hubungan dan peran. Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap. 8) Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah timbulnya ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri. 9) Pola sensori dan kognitif . Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan pada indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu, juga timbul nyeri akibat fraktur. 10) Pola penanggulangan stes. Pada klien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditembuh klien dapat tidak efektif. 11) Pola tata nilai dan keyakinan. klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien. b. Pemeriksaan Fisik. ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan umum (status general) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (local). 1) Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda – tanda yang perlu dicatat adalah sebagai berikut. a) Kesadaran klien : Apatis, spoor, koma, gelisa, compos mentis yang bergantung pada keadaan klien. b) Kesakitan, Keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat dan pada kasus frakltur biasanya akut. c) Tanda- tanda vital tidak normal karena ada ganguan local, baik fungsi maupun bentuk. 2) B1 (Breating). Pada pemeriksaan sistem pernapasan , didapatkan bahwa klien fraktur humerus tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan taktilfremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara napas tambahan. 3) B2 ( Blood). Inspeksi tidak ada iktus jantung, pada palpasi : Nadi mengkat, iktus tidak teraba, Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur. 4) B3 ( Brain) a) Tingkat kesadaran biasanya komposmentis. Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada sakit kepala. Leher : Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflex menelan ada. Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada perubahan fungsi dan bentuk, Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema. Mata: Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi pendarahan). Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping hidung. Mulut dan Faring:Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. b) Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien. Biasanya tidak mengalami perubahan
5) B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputiwarna, jumlah dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Biasanya klien pada fraktur humerus tiidak mengalami kelainan pada sistem ini. 6) B5 (Bowel) Inspeksi abdoen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi : Turgor baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak terabah. Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi : Peristaltik usus nomal 20 kali/menit. Inguinal – genitalia – anus : Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe. a) Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium dan protein. kurangnya paparan sinar matahari merupakan faktor predisposisi masalah musculoskeletal terutama pada lansia. Selain itu, obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. b) Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami gangguan pola eliminasi, tetapi perlu juga dikaji frekuensi, kosistensi, warna, dan bau feses pada pola eliminasi alvi. Pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlahnya. Pada kedua pola tersebut juga dikaji adanya kesulitan atau tidak. 7) B6 (Bone). Adanya fraktur pada humerus akan menganggu secara lokal, baik fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah. a) Look. Pada sistem integumenterdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan. Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal). Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada lengan bagian distal fraktur humerus. Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-tanda trauma jaringan lunak sampai kerusakan intergritas kulit. Fraktur oblik, spiral, dan bergeser mengakibatkan pemendekan batang humerus. kaji adanya tanda-tanda cedera dan kemungkinan keterlibatan berkas neurovascular (saraf dan pembuluh darah) lengan, seperti bengkak/edema.Lumpuh pergelangan tangan merupakan petunjuk adanya cedera saraf radialis. Pengkajian neurovascular awal sangat penting untuk membedakan antara trauma akibat cedera dan komplikasi akibat penanganan. Klien tidak mampu menggerakan lengan dan kekuatan otot lengan menurun dalam melakukan pergerakan. Pada keadaan tertentu, klien fraktur humerus sering mengalami sindrom kompartemen pada fase awal setelah patah tulang. Perawat perlu mengkaji apakah ada pembengkakan pada lengan atas menganggu sirkulasi darah kebagian bawahnya. Otot, lemak, saraf, dan pembuluh darah terjebak dalam sindrom kompartemen sehingga memerlukan perhatian perawat secara serius agar organ di bawah lengan atas tidak menjadi nekrosis. Tanda khas sindrom kompartemen pada fraktur humerus adalah perfusi yang tidak baik pada bagian distal, seperti jari-jari tangan, lengan bawah pada sisi fraktur bengkak, adanya keluhan nyeri pada lengan, dan timbul bula yang banyak menyelimuti bagian bawah fraktur humerus. b) Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah lengan atas. c) Move. Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan dengan menggerakkan ekstermitas, kemudian perawat mencatat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan dimulai dari titik 0 (posisi netral), atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. Hasil pemeriksaan yang didapat adalah adanya gangguan/ keterbatasan gerak lengan dan bahu.Pada waktu akan
palpasi, posisi klien diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). pada dasarnya, hal ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah baik pemeriksa maupun klien. 8) Pola aktivitas. Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. semua bentu k aktivitas klien menjadi berkurang dan klien memerlukan banyak bantuanorang lain. hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien, terutama pekerjaan klien karena beberapa pekerjaan berisiko terjadinya fraktur. 9) Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur merasakan nyeri dan geraknya terbatas sehingga dapat menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. selain itu, dilakukan pengkajian lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan penggunaan obat tidur.
2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder. b.
Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
c. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka operasi pada lengan atas. d. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan penurunan kekuatan lengan atas. e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
3. Rencana Keperawatan a.
Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf, cedera
neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder. Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi,
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi. Intervensi:
1) Kaji nyeri denganskala 0-4. Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera. 2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas. Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas. 3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus. Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih, dan berbaring lama. 4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya efektif dalam mengurangi nyeri. 5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase. Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2 padajaringan terpenuhi dan nyeri berkurang. 6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Rasional: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang menyenakan. 7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil. Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan meningkatkan kenyamanan. 8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan berapa lama nyeri akan berlangsung. Rasional: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi nyeri. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. 9) Pantau keadaan pemasangan gips. Rasional: gips harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa disangga) karena berat gips dapat digunakan sebagai traksi terus-menerus pada aksis panjang lengan. Klien dinasihati untuk tidur dalam posisi tegak sehingga traksi dari berat gips dapat dipertahankan secara konstan. 10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic. Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
b.
Dx: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri
sekunder akibat pergerakan fragmen tulang. Tujuan: klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya. Kriteria hasil: klien dapat ikut seta dalam program latihan, tidak mengalami kontraktur sendi,
kekuatan otot bertambah, dan klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas. Intervensi:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas. 2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas. Rasional :imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas. 3) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit. Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan. 4) Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi. Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai kemampuan. 5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien. Rasional: kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dan tim fisisoterapi.
c.
Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka operasi pada
lengan atas. Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan. Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan pencegahan/mengurangi factor
risiko
infeksi,
dan
menunjukan/mendemonstrasikan
teknik-teknik
untuk
meningkatkan
lingkungan yang aman. Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari. Rasional :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul secara sekunder akibat adanya luka pasca operasi. 2) Lakukan perawatan luka secara steril. Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi kuman. 3) Pantau/batasi kunjungan. Rasional :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain. 4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program latihan. 5) Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan merangsang pengembalian system imun. 6) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
7) Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat pathogen dan infeksi yang terjadi.
d. Dx: Risiko cedera berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik Tujuan: cedera tidak terjadi Criteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam mencegah cedera Intervensi:
1) Pertahankan imobilisasi pada lengan atas R: meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulanng dan jaringan lunak sekitarnya 2) Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan sirkkullasi perifer R: Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai secara dini adanya gangguan sirkulasi pada bagian distal lengan atas 3) Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut agar posisi tetap netral R: mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan keamanan 4) Evaluasi bebat terhadap resolusi edema R: bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi 5) Evaluasi tanda/gejalah perluasan cedera jaringan (peradangan local/sistemik, seperti peningkatan nyeri, edema, dan demam) R: menilai perkembangan masalah klien
e.
Dx: Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan penurunan
kekuatan lengan atas. Tujuan: perawatan diri klien dapat terpenuhi Criteria Hasil: klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri,
mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, dan mengidentifikasi individu yang dapat memmbantu Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL. R: memantau dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan individual. 2) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
R: hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien karena klien dalam keadaan cemas dan membutuhkan bantuan orang lain. 3)
Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berikan klien motivasi dan izinkan ia melakukan tugas, kemudianb beri umpan balik positif atas uasaha yang telah dilakukan. R: klien memerlukan empati dan perawatan yang konsisten. Intervensi tersebut dapat meningkatkan harga diri, memandirikan klien, dan menganjurkan klien untuk terus mencoba.
4)
Rencanakan tindakan untuk mengurangi pergerakan pada sisi lengan yang sakit, seperti tempatkan makanan dan peralatan dalam suatu tempat yang belawanan dengan sisi yang sakit. R: klien akan lebih mudah mengambil peralatan yang diperlukan karena lebih dekat dengan lengan yang sehat.
5) Identifikasi kebiasaan BAB. Ajurkan minum dan tingkatkann latiahan. R: meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi.
f.
Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status ekonomi,
dan perubahan fungsi peran. Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
Criteria hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang. Intervensi:
1)
Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan bila klien menunjukan perilaku merusak R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.
2) Hindari konfrontasi. R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan. 3)
Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat. R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara membberikan informasi tentang keadaan klien, menekankann penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan balik yang positif. 5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang diharapkan. R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas. 6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan. 7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat. R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas, dan perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien untuk melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan terisolasi.
4. Evaluasi Hasil
asuhan
keperawatan
yang
diharapkan
adalah
nyeri
teratasi,
terpenuhinya
pergerakan/mobilitas fisik, terhindar dari cedera, infeksi pascaoperasi, dan ansietas berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone : Jakarta. Hal 380-395. Hermansyah, MD; Fraktur Shaft Humerus (.ppt) (online) (http://www.google.com//fraktur-shaft-humerus-hermansyah-MD.pdf.)
2009.
King Maurice; 1987; Fracture of the Shaft of the Humerus In: Primary Surgery Volume Two: Trauma; Oxford University Press; UK; p. 233-235
Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo; 2002; Anatomi Bagian I, Penerbit Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; Surabaya Anonymous. Fraktur Patah Tulang (http://perawatpskiatri.blogspot.com/search/label).
(online).
2009.
Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC : Jakarta. Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya Medika: Jakarta. Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran J ilid II. Medika Aesculapius FKUI : Jakarta Kenneth J, dkk. 2002. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In Chapter 43: Orthopedic; In: Handbook of Fracture second edition. W olters Klunser Company : New York. Bernard Bloch. 1996. Fraktur dan Dislokasi. Yayasan essentica Medica : Yogyakarta p. 1028-1030 Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the Upper Limbs; In: Clinical Anatomy Eleventh Edition (e-book); Blackwell Publishing; Oxford University; p 169-170 Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture – Shaft fracture In: AZ of Emergency Radiology (e-book); UK; Cambridge University Press; p 110-111.