LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN POST CRANIOTOMY ATAS INDIKASI MENINGIOMA DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
A. KONSEP DASAR CRANIOTOMY 1. Pengertian
Menurut Brown CV (2004), Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Menurut Hamilton M (2007), Craniotomy adalah operasi pengangkatan sebagian tengkorak. Menurut Chesnut RM (2006), Craniotomy adalah prosedur untuk menghapus luka di otak melalui lubang di tengkorak (kranium). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Craniotomy adalah operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya luka yang ada di otak. 2. Indikasi
Operasi Craniotomy dilakukan untuk pengangkatan tumor pada otak, untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh, darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah), untuk menguras abses otak, untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak. 3. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2000:65) gejala-gejala yang ditimbulkan pada klien dengan craniotomy dibagi menjadi 2 yaitu a. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF), seperti sakit kepala, nausea atau muntah proyektit, pusin, perubahan mental, kejang. b. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) 1) Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema.
2) Perubahan bicara, msalnya: aphasia 3) Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik. 4) Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis. 5) Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan
konstipasi. 6) Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness. 7) Perubahan dalam seksual. 4. Komplikasi Post Operasi Craniotomy a. Edema cerebral b. Syok Hipovolemik c. Hydrocephalus d. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral e. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis
post operasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini. f. Infeksi Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus auereus, organism garam positif stapylococus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptic dan antiseptic. g. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisiensi luka atau eviserasi. Dehisiensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan 5. Pemeriksaan Penunjang
Untuk membantu menentukan lokasi tumor yang tepat, sebuah deretan pengujian dilakukan. a. CT-Scan memberikan info spesifik menyangkut jumlah, ukuran, dan kepadatan jejas tumor, serta meluasnya edema serebral sekunder. b. MRI membantu mendiagnosis tumor. Ini dilakukan untuk mendeteksi jejas tumor yang kecil, alat ini juga membantu mendeteksi jejas yang kecil dan tumortumor didalam batang otak dan daerah hipofisis.
c. Biopsy stereotaktik bantuan computer (3 dimensi) dapat digunakan untuk
mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis. d. Angiografi serebral memberikan gambaran tentang pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral. e. Elektroensefalogram (EEG) untuk mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang. 6. Penatalaksanaan a. b. c. d. e.
Tujuan utama penatalaksanaan pada post craniotomy adalah Mengurangi komplikasi akibat pembedahan Mempercepat penyembuhan Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi. Mempertahankan konsep diri pasien Mempersiapkan klien pulang Tindakan keperawatan post operasi craniotomy: 1) Monitor kesadaran, tanda – tanda vital, CVP, intake dan out put 2) Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah) drainage. 3) Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati – hati 4) 5)
6)
7)
jangan sampai drain tercabut. Perawatan luka operasi secara steril Makanan Pada klien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan sesudah pembedahan, makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan baru diberikan jika perut tidak kembung, peristaltik usus normal, flatus positif, bowel movement positif Mobilisasi Klien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal anesthesia, infus IV, manipulasi operasi untuk mengetahui ada tidaknya retensio urine. B. KONSEP DASAR MENINGIOMA 1. Pengertian
Menurut Harvey Cushing (2007), meningioma adalah tumor jinak ekstraaksial atau tumor yang terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang lambat. Meningioma adalah jenis tumor yang berkembang pada meninges (atau membrane yang melapisi system saraf puasat yaitu otak dan tulang belakang). Lokasi tumor yang sering diantaranya pada area konveksitas kalvaria, basis frontal (olfactory groove), tuberculum sella, sphenoid wing atau di area fossa posterior. 2. Klasifikasi Meningioma
Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola pertumbuhan, dan histopatologi. WHO mengklasifikasikan meningioma berdasarkan derajat dan pertumbuhan sel dari hasil biopsy yang dilihat dari pemeriksaan mikroskopik. Berikut ini adalah klasifikasi meningioma: a. Berdasarkan derajat 1) Grade I: Meningioma tumbuh dengan lambat. Pada grade I, tumor tidak menimbulkan gejala, pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara periodic. 2) Grade II: Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka kekambuhan yang lebih tinggi juga. Pembedahan adalah penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan. 3) Grade III: Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma malignant atau meningioma anaplastik. Meningioma malignant terhitung kurang dari 1 % dari seluruh kejadian meningioma. b. Berdasarkan lokasi 1) Meningioma falx dan parasagital, falx adalah selaput yang terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri dan kanan. Falx cerebri mengandung pembuluh darah besar. Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx. 2) Meningioma Convexitas, tipe meningioma ini terdapat pada permukaan atas otak.
3) Meningioma Sphenoid, daerah sphenoidalis berlokasi pada daerah belakang
mata. 4) Meningioma Olfaktorius, tipe meningioma ini terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan antara otak dengan hidung. 5) Meningioma fossa posterior, tipe ini berkembang di permukaan bawah bagian belakang otak 6) Meningioma sellar merupakan meningioma di daerah sella tursika yang terletak di dasar otak, tepat di atas daerah ini terdapat saraf penglihatan, sehingga jika terdapat tumor, maka saraf tersebut akan terjepit, sehingga mengganggu penglihatan. 7) Meningioma suprasellar, terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitary. 8) Spinal meningioma, banyak terjadi pada wanita yang berumur antara 40 dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pda medulla spinbalis setingkat thorax dan dapat menekan spinal cord. Meningioma spinalis dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di sekeliling dinding dada, gangguan kencing, dan nyeri tungkai. 9) Meningioma Intraorbital, tipe ini berkembang pada atau di sekitar mata cavum orbita. 10) Meningioma Intraventrikular, terjadi pada ruangan yang berisi cairan di seluruh bagian otak 3. Etiologi
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma. Selain itu faktor resiko yang meningkatkan kejadian meningioma adalah a. Trauma Menurut penelitian oleh Philips (2002), resiko kejadian meningioma meningkat pada klien dengan resiko kejadian meningioma. Pada beberapa kasus ada hubungan langsung antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga disimpulkan bahwa penyebab timbulnya kanker tersebut adalah trauma. b. Kehamilan Meningioma, dapat timbul pada akhir kehamilan, hal ini dapat dijelaskan atas dasar adanya hidrasi otak yang meningkat pada saat akhir kehamilan. c. Radiasi Ionisasi
Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010). d. Genetik Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada klien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12 (Smith, 2011). e. Hormon Angka kejadian meningioma meningkat pada wanita karena adanya pengaruh hormon, atau penggunaan kontrasepsi. Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat menstruasi meningkat (Wiemels, 2010). Pada sekitar 2/3 kasus meningioma ditemukan reseptor progesterone.Tidak hanya progesteron, reseptor hormon lain juga ditemukan pada tumor ini termasuk estrogen, androgen, dopamine, dan reseptor untuk platelet derived growth factor. 4. Manifestasi Klinik
Meningioma tumbuhnya perlahan-lahan dan tanpa memberikan gejala-gejala dalam waktu yang lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Gejala-gejala umum, seperti juga pada tumor intracranial yang lain misalnya sakit kepala, muntah-muntah, perubahan mental atau gejala-gejala fokal seperti kejang-kejang, kelumpuhan, atau hemiplegia. Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor pada otak dan medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh terganggunya fungsi normal dari bagian khusus dari otak atau tekanan pada nervus atau pembuluh darah). Secara umum, meningioma tidak bisa didiagnosa pada gejala awal. Gejala umumnya seperti: a. Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau pada pagi hari. b. Perubahan mental c. Kejang d. Mual muntah
e. Perubahan visus, misalnya pandangan kabur. Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor, seperti: a. Meningioma falx dan parasagittal: nyeri tungkai b. Meningioma Convexitas: kejang, sakit kepala, deficit neurologis fokal, perubahan status mental c. Meningioma Sphenoid: kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan pandang, kebutaan, dan penglihatan ganda. d. Meningioma Olfactorius: kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus. e. Meningioma fossa posterior: nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasme otototot wajah, berkurangnya pendengaran, gangguan menelan, gangguan gaya berjalan, f. Meningioma suprasellar: pembengkakan diskus optikus, masalah visus g. Spinal meningioma: nyeri punggung, nyeri dada dan lengan h. Meningioma Intraorbital: penurunan visus, penonjolan bola mata i. Meningioma Intraventrikular: perubahan mental, sakit kepala, pusing
5. Patofisiologi
Meningioma adalah jenis tumor yang berkembang pada meninges (atau membrane yang melapisi system saraf puasat yaitu otak dan tulang belakang). Faktor resiko yang seperti radiasi, genetic, trauma, kehamilan dan hormone menyebabkan pertumbuhan sel-sel tumor meningkat, yang lama kelamaan akan menekan pada otak. Penekanan pada bagian otak tertentu dapat menyebabkan gangguan pada bagian otak yang tertekan, misalnya pada bagian sphenoidalis menyebabkan klien mengalami gangguan lapang pandang dan berkurangnya sensibilitas wajah. Pertumbuhan sel-sel tumor yang terus membesar, apabila berlangsung secara terus menerus dapat menyebabkan perubahan suplai darah, sehingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan otak. Akibatnya terjadi kehilangan fungsi secara akut dan dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Selain itu bertambahnya massa dalam otak dapat menyebabkan peningkatan TIK. Apabila peningkatan TIK berlangsung cepat menyebabkan mekanisme tubuh untuk mengkompensasi hal tersebut berkurang karena mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari ataupunn berbulan-bulan untuk menjadi efektif . Mekanisme kompensasi ini meliputi menurunkan volume darah intrakranial, menurunkan volume
CSS, menurunkan kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim otak. Kenaikan tekanan yang tidak diatasi akan mengakibatkan herniasi unkus serebellum. 6. Pathway (Terlampir) 7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto polos Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari meningioma pada foto polos. Diindikasikan untuk tumor pada meninx. Tampak erosi tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi dan lesi litik pada tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh darah meninx menggambarkan dilatasi arteri meninx yang mensuplai darah ke tumor. b. CT-Scan CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras memperlihatkan paling banyak meningioma. Tampak gambran isodense hingga hiperdense pada foto sebelum kontras, dan gambaran peningkatan densitas yang homogeny pada foto kontras. Tumor juga memberikan gambaran komponen cystic dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Udem peritumoral dapat terlihat dengan jelas. Perdarahan dan cairan intratumoral sampai akumulasi cairan dapat terlihat. c. MRI MRI merupakan pencitraan yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi meningioma. MRI memperlihatkan lesi berupa massa, dengan gejala tergantung pada lokasi tumor berada. d. Biopsi stereotaktik Dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis. e. Angiografi Serebral Memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral. f. Elektroensefalogram (EEG) Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi, pembedahan, radiotherapi, dan radiasi. a. Pembedahan Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan terapi utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar memberikan hasil yang lebih baik. Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater sekitar tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah (Modha & Gutin, 2005). b. Radiotherapi c. Chemotherapy Pada kemoterapi dapat menggunakan powerfull drugs, bisa menggunakan satu atau dikombinasikan. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk membunuh sel tumor pada klien. Diberikan secara oral, IV, atau bisa juga secara shunt. Tindakan ini diberikan dalam siklus, satu siklus terdiri dari treatment intensif dalam waktu yang singkat, diikuti waktu istirahat dan pemulihan. Saat siklus dua sampai empat telah lengkap dilakukan, pasien dianjurkan untuk istirahat dan dilihat apakah tumor berespon terhadap terapi yang dilakukan ataukah tidak. (Febri : 2012) d. Angiografi preoperative Angiografi preoperative dapat menggambarkan suplai pembuluh darah terhadap tumor dan memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain itu, angiografi dapat memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma terutama malignan umumnya memiliki vaskularisasi yang tinggi, sehingga embolisasi preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan pertimbangan keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi (Levacic et al; 2012).
C. PROSES KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Biodata klien
Berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, No. Medical Record, NamaSuami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, TanggalPengkajian. b. Keluhan utama : klien dengan meningioma biasanya mengeluh nyeri kepala, muntah, papiledema, penurunan tingkat kesadaran, penurunan penglihatan atau penglihatan double, ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia), hilangnya ketajaman atau diplopia. c. Riwayat penyakit dahulu Penyakit yang pernah di diderita pada masa lalu, seperti adakah riwayat jatuh, atau angota keluarga yang menderita meningioma. d. Pemeriksaan Fisik 1) Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII. 2) Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. 3) Blood Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). 4) Brain Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat tumor pada otak. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. 5) Bladder pada post craniotomy sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi. 6) Bowel Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. 7) Bone Pada klien dengan meningioma sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. 2. Diagnosa Keperawatan Menurut Nurarif (2013) diagnosa keeprawatan yang muncul adalah sebagai berikut: a. Pre operasi 1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK, edema serebri, hematoma. 2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan medulla oblongata. 3) Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya operasi b. Intra operasi 1) Perdarahan berhubungan dengan insisi pembedahan c. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan, efek anestesi, efek hormonal,
distensi kandung kemih/abdomen. 2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah. 3. Intervensi a. Pre operasi 1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK,
edema serebri, hematoma. Tujuan: perfusi jaringan baik Kriteria hasil: Tanda vital stabil (TD: 120/80-140/90 mmHg, Nadi:60-100 x/mnt, RR: 16-24x/mnt), tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (pupil edema, muntah proyektil, nyeri kepala ), orientasi baik. Intervensi: a) Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK. b) Monitor secara berkala tanda dan gejala peningkatan TIK. c) Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. d) Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. e) Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu. f) Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa. g) Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang. h) Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan. i) Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. j) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. k) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. l) Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik. 2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan medulla oblongata.
Tujuan : pola napas normal. Kriteria hasil: pola nafas efektif dibuktikan dengan status pernapasan, status ventilasi, dan pernapasan tidak terganggu), GDA dalam batas normal (pH: 7.35-7.45, PCO2: 35-45, HCO3: 21-26), tidak terjadi sianosis. Intervensi:
a) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan. b) Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi. c) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. d) Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar. e) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. f) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel. g) Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri h) Lakukan ronsen thoraks ulang. i) Berikan oksigen. j) Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi. 3) Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya operasi Tujuan : Ansietas dapat teratasi Kriteria Hasil : a) Pasien tampak siap untuk menjalankan operasi b) Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif c) Pasien mengetahui tujuan dilakukannya operasi Intervensi: a) Kaji tingkat kecemasan pasien b) Berikan informasi yang adekuat tentang prosedur operasi c) Ajarkan teknik relaksasi d) Berikan semangat dan motivai kepeda pasien b. Intra operasi 1) Perdarahan berhubungan dengan insisi pembedahan
Tujuan : perdarahan minimal atau tidak terjadi Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda syok akibat perdarahan yang berlebihan Intervensi : a) Siapkan kantong darah sesuai golongan darah pasien untuk transfusi klien b) Siapkan suction pump atau kassa untuk menekan perdarahan agar perdarahan tidak lebih banyak. c) Monitor keluaran darah/perdarahan.
c. Post Operasi 1) Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan, efek anestesi, efek hormonal,
distensi kandung kemih/abdomen. Tujuan : Nyeri berkurang Kriteria hasil : a) Nyeri hilang atau terkontrol (skala nyeri 1-0). b) Tampak rileks, mampu tidur atau istirahat dengan tepat. c) Ekspresi wajah menyeringai Intervensi : a) Kaji nyeri dengan PQRST, catat lokasi, karakteristik, beratnya skala (0b) c) d) e)
10). Kontrol lingkungan yang dapat berkontribusi terhadap nyeri seperti suhu, suara, dll. Ajarkan pasien teknik non farmakologis seperti nafas dalam. Berikan aktivitas hiburan. Kolaborasi dengan berikan analgesik sesuai indikasi.
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah.
Tujuan : tidak terjadi infeksi dan tidak adanya tanda-tanda infeksi, suhu tubuh dalam batas normal (36.5 0C-37.5 0C). Intervensi : a) Monitor tanda-tanda infeksi sistemik maupun lokal. b) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan. c) Pertahankan lingkungan aseptik dalam melakukan tindakan ganti balut luka post operasi craniotomy. d) Batasi pengunjung bila perlu. e) Dorong intake nutrisi yang cukup pada klien. f) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik. 4. Evaluasi a. Pre Operasi 1) Perfusi jaringan baik 2) Pola nafas efektif. 3) Ansietas berkurang. b. Intra Operasi 1) Perdarahan minimal c. Post Operasi
1) Nyeri berkurang 2) Tidak terjadi infeksi dan tidak adanya tanda-tanda infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical Care. Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma. Brown CV, Weng J, Oh D, et al. Does routine serial computed tomography of the head influence management of traumatic brain injury? A prospective evaluation. J Trauma. Nov 2004. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural hematomas. Neurosurgery. Mar 2006. Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry in pupillary size in severe head injury: relation to lesion type and location. Neurosurgery. May 1994. Guilburd JN, Sviri GE. Role of dural fenestrations in acute subdural hematoma. J Neurosurg. Aug 2001. Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. : Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia; 2003. Hal 393-4. Focusing
on
tumor
meningioma
http://www.abta.org/meningioma.pdf
[20
November
2010].
Availble
from:
Widjaja
D,
Fauziah
B.
Meningioma
Intrakranial.
2007.
Diunduh
dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09MeningiomaIntrakranial016.pdf/09 MeningiomaIntrakranial016.html
Patogenesis, histopatologi, dan klasifikasi meningioma[cited 2009 November 20]. Availble from: http://www.neuroonkologi.com/articles