Bab I Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang
Kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas) merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari laporan keuangan. Liabilitas adalah utang entitas masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya penyelesaiann ya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas yang mengandung manfaat ekonomi. Entitas hampir semua memiliki kewajiban (liabilitas) untuk mendanai kegiatannya. Jarang sekali entitas hanya menggunakan ekuitas dalam mendanai entitas. Bahkan untuk beberapa entitas dengan skala besar jumlah utang melebihi modal entitas. Entitas dengan utang yang tinggi tidak dapat diartikan sesuatu yang tidak baik. Jumlah liabilitas tinggi, namun entitas memiliki kemampuan membayar pokok utang dan bunganya akan menghasilkan manfaat bagi entitas dan pemegang saham. Penggunaan liabilitas untuk mendanai entitas harus dipertimbangkan dengan baik sehingga tetap memberikan manfaat bagi entitas. Liabilitas yang terkait dengan operasi biasanya tidak ada bunga. Liabilitas operasional ini biasanya diperoleh perusahaan karena penundaan pembayaran pemba yaran kepada pemasok, pemerintah, p emerintah, karyawan, atau ata u pihak lain. Entitas Ent itas akan memperoleh keuntungan karena dapat menunda pembayaran dan menggunakan dana tersebut untuk investasi atau aktivitas lain. Liabilitas dengan bunga juga mampu menghasilkan manfaat untuk entitas jika bunga pinjaman lebih rendah dibandingkan imbal hasil dari investasi yang didanai dari pinjaman tersebut. Liabilitas dibagi atas dua jenis, yaitu liabilitas jangka panjang dan liabilitas jangka pendek. Dimana, dalam PSAK 1 (revisi 2009) mengharuskan entitas untuk menyajikan liabilitas jangka pendek terpisah dari liabilitas jangka panjang. Namun, untuk industri perbankan atau keuangan, entitas dapat menyajikannya berdasarkan urutan likuiditas, likuiditas , tanpa memisahkan liabilitas jangka pendek dan jangka panjang. Istilah ekuitas berasal dari kata equity atau equity of ownership yang berarti kekayaan bersih perusahaan. Secara sederhana, ia diformulasikan sebagai total aktiva dikurangi total pasiva. Pada dasarnya ekuitas berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan. Ekuitas akan berkurang terutama dengan adanya penarikan kembali penyertaan oleh pemilik, pembagian keuntungan atau karena kerugian. Ekuitas terdiri dari modal disetor, saham, laba ditahan, cadangan laba, dan modal lainnya. Dalam praktiknya, sering kali terjadi pelanggaran terhadap penerapan standar yang berlaku terhadap kedua hal tersebut, salah satu contoh kasus yang pernah terjadi yaitu pada kasus PT. Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut terkait dengan permasalahan 1
restrukturisasi hutang dan adanya perbedaan metode pencatatan dengan standar yang berlaku. Dalam kasus ini juga melibatkan tuntutan terhadap Kantor Akuntan Publik (KAP) Justinus Aditya Sidharta selaku KAP yang memeriksa perusahaan tersebut, dan berakhir dengan pembekuan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama 2 tahun oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. 1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah ad alah sebagai berikut: berikut : 1.
Apa yang dimaksud dengan kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas)?
2.
Bagaimana penggolongan dari kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas)?
3.
Bagaimana standar pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan terhadap kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas) yang berlaku?
1.3.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetauhi apa yang dimaksud dengan kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas)
2.
Untuk mengetahui bagaimana penggolongan dari kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas)
3.
Untuk mengetahui standar pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan terhadap kewajiban (liabilitas) dan modal (ekuitas) yang berlaku.
2
BAB II Pembahasan 2.1. Liabilitas
Menurut FASB kewajiban diartikan sebagai pengorbanan manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk menstransfer aset atau menyediakan/menyerahkan jasa kepada kesatuan lain datang sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu. Statement of Financial Concepts No. 3 mendefinisikan utang sebagai pengorbanan
manfaat ekonomis yang mungkin terjadi di masa yang akan datang yang timbul dari kewajiban yang ada dari suatu entitas tertentu untuk mentransfer aktiva atau memberikan jasa ke entitas lainnya di masa yang akan datang sebagai akibat transaksi atau kejadian di masa lalu. Sedangkan menurut Kerangka Dasar Pengukuran dan Pengungkapan Laporan Keuangan (KDP2LK) liabilitas adalah utang entitas masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas yang mengandung manfaat ekonomi. Terdapat beberapa pengertian lain selain dari FASB yaitu seperti pengertian menurut IASC, AASB, dan APB No. 4, tetapi pada umumnya dijelaskan bahwa kewajiban memiliki tiga karakteristik utama yang terdiri atas pengorbanan manfaat ekonomik masa datang, keharusan sekarang untuk menstransfer aset, dan timbul sebagai akibat transaksi masa lalu. 1. Menjadi pengorbanan sumber ekonomik yang cukup pasti di masa depan ( probable probable future sacrifices of economic benefits).
2. Menjadi kewajiban saat ini atau periode ini present ( present obligation) untuk menyerahkan kas, barang, atau jasa di masa datang. 3. Terjadi karena transaksi masa lalu. Liabilitas dapat diketahui nilainya dengan pasti, namun ada beberapa jenis liabilitas yang nilainya diukur dengan estimasi, liabilitas jenis ini diistilahkan sebagai provisi. Sejak PSAK 1 (revisi 2009) Penyajian Laporan Keuangan , istilah kewajiban ini diganti dengan liabilitas. Kewajiban dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal kredit, dan biasanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu liabilitas jangka pendek dan liabilitas jangka panjang.
3
2.1.1. Liabilitas Jangka Pendek
PSAK 1 (revisi 2009) menjelaskan klasifikasi liabilitas jangka pendek jika memenuhi kriteria: 1. Entitas mengharapkan akan menyelesaikan liabilitas tersebut dalam siklus operasi normalnya; 2. Entitas memiliki liabilitas tersebut untuk tujuan diperdagangkan; 3. Liabilitas tersebut jatuh tempo untuk diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan; atau 4. Entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian liabilitas selama sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan. Berdasarkan ketentuan diatas, liabilitas jangka pendek dapat diartikan sebagai liabilitas entitas kini, yang timbul akibat peristiwa masa lalu, yang penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas yang akan diselesaikan dalam jangka waktu satu siklus operasi atau 12 bulan mana yang lebih panjang dan untuk tujuan diperdagangkan. Kriteria khusus untuk liabilitas jangka pendek adalah jangka waktu penyelesaian 12 bulan atau satu siklus operasi. Siklus operasi adalah siklus dari pembelian bahan baku sampai dengan diperolehnya kas dari hasil penjualan produk yang dihasilkan. PSAK 1 (revisi 2009) menjelaskan item-item minimum dari liabilitas jangka pendek yang harus disajikan dalam laporan posisi keuangan. Menurut PSAK 1 (revisi 2009), jika entitas memiliki liabilitas tersebut dalam jumlah material maka entitas harus menyajikan sebagai unsur yang terpisah. Item minimum yang diharuskan menurut PSAK 1 (revisi 2009) untuk liabilitas jangka pendek adalah: 1. Utang dagang dan terutang lainnya; 2. Provisi; 3. Liabilitas keuangan jangka pendek (tidak termasuk jumlah yang disajikan dalam provisi); 4. Liabilitas dan aset pajak kini; sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46 (revisi 2013) Akuntansi Pajak Penghasilan; 5. Liabilitas dan aset pajak tangguhan; sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 46 (revisi 2013); 6. Liabilitas yang termasuk dalam kelompok yang dilepaskan yang diklasifikasikan sebagai yang dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58 (revisi 2010) Aset Lancar yang Tersedia untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan.
4
Liabilitas jangka pendek lainnya dapat berupa liabilitas yang tidak diselesaikan dalam siklus operasi normal, tetapi jatuh tempo dan diselesaikan dalam waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan atau dimiliki untuk tujuan diperdagangkan. Misalnya, liabilitas keuangan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk diperdagangkan sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2013), cerukan bank, bagian jangka pendek dari liabilitas keuangan jangka panjang, dividen terutang, pajak penghasilan terutang, dan utang nonusaha lainnya. Entitas mengklasifikasikan liabilitas keuangan tersebut sebagai liabilitas jangka pendek jika liabiliitas tersebut jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan. Entitas dapat menyajikan komponen yang lebih rinci dari item tersebut. Pertimbangan untuk menyajikan suatu komponen liabilitas jangka pendek dalam satu line sendiri atau digabungkan diserahkan kepada manajemen dengan mempertimbangkan kebutuhan informasi pengguna laporan keuangan. Jika suatu informasi detail diperlukan oleh pengguna laporan keuangan, maka entitas sebaiknya menyajikan dalam komponen yang terpisah. Dapat juga entitas menyajikan dalam kelompok minimal sesuai dengan PSAK 1 (revisi 2009) dan melengkapinya dengan rincian dalam catatan atas laporan keuangan. PSAK 1 (revisi 2009) hanya menjelaskan tentang bagaimana menyajikan liabilitas dalam laporan keuangan. Pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan liabilitas jangka pendek dan jangka panjang diatur lebih lanjut dalam PSAK Instrumen Keuangan yaitu PSAK 50 (revisi 2013) Penyajian Instrumen Keuangan; PSAK 55 (revisi 2013) Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan ; dan PSAK 60 (revisi 2013) Pengungkapan Instrumen Keuangan. Untuk liabilitas diestimasi atau sekarang dikenal dengan istilah provisi diatur
dalam PSAK 57 (revisi 2009) Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi . 2.1.2. Jenis dan Klasifikasi Liabilitas Jangka Pendek
PSAK 1 (revisi 2009) tidak membahas secara khusus klasifikasi dan jenis liabilitas jangka pendek. Bentuk usaha entitas akan menentukan jenis dan klasifikasi liabilitas yang dimiliki sebuah entitas. Klasifikasi dapat dilihat dalam berbagai perspektif dan sudut pandang. PSAK 1 (revisi 2009) han ya memberikan aturan umum dalam penyajian item dalam laporan keuangan didasarkan pada relevansi informasi tersebut bagi pengguna laporan keuangan. Jika informasi tersebut dianggap relevan maka sebaiknya diklasifikasikan secara terpisah.
Materialitas
juga
menjadi
pertimbangan
apakah
suatu
liabilitas
perlu
diklasifikasikan tersendiri atau digabung. Berdasarkan nilainya, liabilitas dapat dikategorikan menjadi liabilitas yang nilainya pasti dan liabilitas yang nilainya tidak dapat ditentukan sehingga harus diestimasi. Liabilitas 5
yang nilainya pasti, merupakan bentuk liabilitas yang telah jelas berapa jumlah dibayarkan kepada pihak lain. Liabilitas yang nilainya tidak pasti, jumlahnya diestimasi oleh entitas berdasarkan informasi yang tersedia. Menurut PSAK 57 (revisi 2009) disebut sebagai provisi. Liabilitas juga dapat diklasifikasikan berdasarkan asal terjadinya. Liabilitas dapat terjadi sebagai konsekuensi kegiatan operasi perusahaan dan liabilitas yang berdasarkan kontrak formal. Liabilitas yang terjadi sebagai konsekuensi operasi misalnya utang dagang, utang pajak, beban yang masih harus dibayar, pendapatan diterima di muka. Liabilitas berdasarkan kontrak formal misalnya wesel bayar, utang bank, atau liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam dua belas bulan. Berikut beberapa jenis liabilitas jangka pendek:
Utang usaha, adalah utang terkait dengan kegiatan utama entitas. Untuk entitas yang
bergerak di bidang perdagangan, utang usaha disebut sebagai utang dagang. Utang dagang timbul saat entitas melakukan pembelian kepada pemasok secara kredit.
Wesel bayar, atau sering disebut sebagai notes payable atau promissory notes
merupakan janji dari pihak penarik wesel untuk membayarkan sejumlah nilai tertentu di masa mendatang. Wesel bayar ditarik untuk pelunasan utang dagang, pembayaran suatu transaksi atau ditarik untuk mendapatkan uang tunai. Pihak penarik wesel akan menunjuk bank untuk melakukan penyelesaian pembayaran yang akan diambil dari rekening penarik / penerbit wesel. Akuntansi untuk wesel bayar tidak berbeda dengan akuntansi untuk utang bank, perbedaan yang mendasarinya hanyalah dokumen transaksinya. Dokumen transaksi wesel adalah surat wesel atau promissory notes, sedangkan bukti transaksi utang bank adalah dokumen kredit bank. Bunga atas wesel bayar biasanya dihitung berdasarkan nilai nominal yang tertera dalam wesel. Jika dalam penerbitan wesel bayar, pihak penerbit mengeluarkan biaya transaksi maka biaya transaksi tersebut akan diperhitungkan menambah biaya bunga sehingga bunga efektif wesel akan menurun.
Utang bank jangka pendek , adalah utang suatu entitas kepada bank dengan jangka
waktu satu tahun atau kurang. Utang bank jangka pendek ditarik oleh entitas untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Utang bank jangka pendek ditarik oleh entitas pada saat membutuhkan untuk jangka waktu tertentu dan akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian kredit. Utang bank jangka pendek ada bunganya, bunga dapat dibayarkan pada saat jatuh tempo, selama periode tertentu, bunga dipotong didepan dari jumlah utang yang ditarik atau kombinasi. 6
Liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo , liabilitas jangka panjang yang
akan dilunasi periode berikutnya diklasifikasikan menjadi liabilitas jangka pendek, kecuali: 1). Dilunasi dengan akumulasi dana yang tidak diklasifikasikan sebagai aset lancar; 2). Dibiayai kembali atau dilunasi dengan penerbitan liabilitas jangka panjang yang baru; 3). Dikonversi menjadi saham. Liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan tetap diklasifikasikan dalam jangka pendek.
Liabilitas jangka pendek yang didanai kembali, liabilitas keuangan yang dibiayai
kembali yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan setelah periode pelaporan diklasifikasikan sebagai liabilitas jangka pendek, jika entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk membiayai kembali. Pelanggaran perjanjian utang yang mengakibatkan kreditur meminta percepatan pembayaran, maka liabilitas tersebut disajikan sebagai liabilitas jangka pendek, meskipun kreditur mengizinkan penundaan pembayaran selama 12 bulan setelah tanggal pelaporan tetapi persetujuan tersebut diperoleh setelah tanggal pelaporan
Utang dividen, adalah dividen yang telah diumumkan namun belum dibayarkan.Utang
dividen diakui pada saat pengumuman dividen dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Utang dividen yang diakui hanyalah dividen tunai atau dividen yang diberikan dalam bentuk aset. Dividen saham tidak dicatat oleh penerima dan tidak ada pengakuan utang. Dividen saham akan dicatat dengan mereklasifikasikan saldo laba ke modal / agio saham.
Uang muka pelanggan (deposit), adalah uang yang dibayarkan pelanggan sebagai
deposit dan akan diberikan kembali kepada pelanggan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Pendapatan diterima dimuka, adalah pendapatan yang telah diterima secara tunai
namun pendapatannya belum diperoleh. Ini merupakan liabilitas karena entitas sudah menerima kas atas barang yang belum diserahkan atau jasa yang belum diselesaikan.
Utang PPN / PPnBM, PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai
yang diciptakan oleh perusahaan. Pajak ini dikenakan atas setiap konsumsi barang atau jasa didaerah pabean. Menurut UU PPN, saat terutang PPN adalah pada saat penyerahan barang atau jasa, kecuali jika kas diterima terlebih dahulu sebelum penyerahan barang atau jasa, maka saat terutang pajak adalah saat penerimaan kas. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas 7
penjualan barang mewah. Pajak ini hanya dikenakan pada importer dan produsen barang mewah, tidak dapat dikreditkan, serta dicatat oleh pembeli sebagai penambah nilai persediaan.
Utang pajak penghasilan, entitas pada saat membayar gaji karyawan, akan memotong
PPh 21 atau mencatat utang PPh 21.
Utang gaji, adalah beban gaji yang telah terjadi namun belum dibayarkan.
Utang pajak pihak ketiga , entitas diwajibkan dalam peraturan untuk melakukan
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh pihak lain. Pajak yang dipotong diantaranya adalah PPh 21 atas gaji yang diterima pekerja, PPh 26 atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri, PPh 23 atas jasa, sewa, bunga royalty. a. Kewajiban Diestimasi (Provisi) Dan Kewajiban Kontijensi 1. Kewajiban diestimasi (Provisi)
PSAK 57 (revisi 2009) mendefinisikan kewajiban diestimasi (provisi) adalah sebagai liabilitas kini yang waktu dan jumlahnya belum pasti. Kewajiban diestimasi (provisi) diakui dalam laporan keuangan, pengukurannya dengan cara melakukan estimasi. Kewajiban diestimasi dapat dibedakan dari kewajiban lain, seperti utang dagang dan akrual, karena pada kewajiban diestimasi terdapat ketidakpastian mengenai waktu atau jumlah yang harus dikeluarkan pada masa datang untuk menyelesaikan kewajiban diestimasi tersebut. Provisi diakui jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
Perusahaan memiliki kewajiban kini (baik bersifat hukum maupun bersifat konstruktif) sebagai akibat peristiwa masa lalu;
Besar kemungkinan ( probable) penyelesaian kewajiban tersebut mengakibatkan arus keluar sumber daya; dan
Estimasi yang andal mengenai jumlah kewajiban tersebut dapat dibuat.
Adapun pengukuran kewajiban diestimasi (provisi) adalah sebagai berikut: Estimasi terbaik , Jumlah yang diakui sebagai provisi adalah hasil estimasi
terbaik pengeluaran yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban kini pada akhir periode pelaporan. (par 36) Risiko dan ketidakpastian, Jumlah yang diakui sebagai provisi adalah hasil
estimasi terbaik pengeluaran yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban kini pada akhir periode pelaporan. (par 42)
8
Nilai kini, Jika dampak nilai waktu uang cukup material, maka jumlah provisi
adalah
nilai
kini
dari
perkiraan
pengeluaran
yang
diperlukan
untuk
menyelesaikan kewajiban. (par 45) Peristiwa masa depan, Peristiwa masa depan yang dapat mempengaruhi jumlah
yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu kewajiban harus tercermin dalam jumlah provisi jika ada bukti obyektif bahwa peristiwa itu akan terjadi. (PSAK 57 par 48) Rencana pelepasan aset, Keuntungan sehubungan dengan rencana pelepasan
aset tidak boleh dipertimbangkan dalam menghitung suatu provisi (PSAK 57 par 51)
Untuk setiap jenis kewajiban diestimasi, entitas harus mengungkapkan:
Nilai tercatat pada awal dan akhir periode; Kewajiban diestimasi tambahan yang dibuat dalam periode bersangkutan, termasuk peningkatan jumlah pada kewajiban diestimasi yang ada;
Jumlah yang digunakan, yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada kewajiban diestimasi selama periode bersangkutan;
Jumlah yang belum digunakan yang dibatalkan selama periode bersangkutan; dan
Peningkatan, selama periode yang bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul karena
berlalunya
waktu
dan
dampak
dari
setiap
perubahan
tingkat
diskonto.ormasi komparatif tidak diharuskan. Bentuk provisi yang terjadi dalam bisnis dan disajikan dalam laporan keuangan antara lain, tuntutan hukum yang menimbulkan kerugian bagi entitas, garansi produk atau premi produk kewajiban pengelolaan lingkungan, kontrak yang memberatkan, dan restrukturisasi usaha yang menjanjikan suatu kewajiban di masa mendatang. 2. Kewajiban Kontijensi
Liabilitas kontijensi yang tidak memenuhi kriteria sebagai provisi diklasifikasikan sebagai liablitas kontijensi. Kontijensi adalah suatu keadaan yang masih diliputi ketidakpastian mengenai kemungkinan diperolehnya laba atau rugi oleh suatu perusahaan, yang baru akan terselesaikan dengan terjadi atau tidak terjadinya satu atau lebih peristiwa dimasa yang akan datang. Kewajiban kontinjensi adalah:
Kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu, dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah; atau 9
Kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu, tetapi tidak diakui
Karena:
Tidak terdapat kemungkinan besar (not probable ) pemerintah mengeluarkan sumber daya yang mengandung manfaat ekonomis untuk menyelesaikan kewajibannya; atau
Jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal.
Liabilitas kontinjensi menurut PSAK 57 (revisi 2009) terdiri dari dua kelompok, yaitu
liabilitas
potensial
dan
liabilitas
kini.
Keuntungan
kontinjensi
(gain
contingencies) adalah klaim atau hak untuk menerima aktiva (atau memiliki kewajiban
yang menurun) yang keberadaannya tidak pasti tetapi pada akhirnya akan menjadi sah. Jenis keuntungan kontinjensi yang khas adalah:
Penerimaan yang mungkin atas uang dari hadiah, sumbangan, bonus, dan lain sebagainya.
Kemungkinan pengembalian dana dari pemerintah atas kelebihan pajak
Penundaan kasus pengadilan yang hasilnya mungkin menguntungkan
Kerugian pajak yang dikompensasi ke depan
Kerugian kontingensi (loss contiengencies) adalah situasi yang melibatkan ketidakpastian atas kemungkinan terjadinya kerugian.Kewajiban yang terjadi sebagai akibat dari kerugian kontinjensi menurut defenisinya disebut sebagai kewajiban kontinjen. Kewajiban kontijen (contiegencies liabilities) adalah kewajiban yang bergantung pada terjadinya atau tidak terjadinya satu atau lebih kejadian di masa depan untuk mengkonfirmasi jumlah hutang, pihak yang dibayar, tangal pembayaran, atau keberadaannya. Apabila terdapat kerugian kontinjensi, maka kemungkinan bahwa kejadian di masa depan akan menguatkan terjadinya kewajiban dapat berkisar dari sangat mungkin hingga kurang mungkin. Banyak peristiwa masa lalu yang dapat menimbulkan kewajiban kini. Walaupun demikian, dalam beberapa peristiwa yang jarang terjadi, misalnya dalam tuntutan hukum, dapat timbul perbedaan pendapat mengenai apakah peristiwa tertentu sudah terjadi atau apakah peristiwa tersebut menimbulkan kewajiban kini. Jika demikian halnya, perusahaan menentukan apakah kewajiban kini telah ada pada tanggal neraca dengan mempertimbangkan semua bukti yang tersedia, termasuk misalnya pendapat ahli. Bukti yang dipertimbangkan mencakup, antara lain, bukti tambahan yang diperoleh dari peristiwa setelah tanggal neraca. Atas dasar bukti tersebut, apabila besar 10
kemungkinan bahwa kewajiban kini belum ada pada tanggal neraca, pemerintah mengungkapkan adanya kewajiban kontingensi. Pengungkapan tidak diperlukan jika kemungkinan arus keluar sumber daya kecil. Kewajiban kontingensi dapat berkembang ke arah yang tidak diperkirakan semula. Oleh karena itu, kewajiban kontingensi harus terus-menerus dikaji ulang untuk menentukan apakah tingkat kemungkinan arus keluar sumber daya bertambah besar ( probable). Apabila kemungkinan itu terjadi, maka manajemen akan mengakui kewajiban diestimasi dalam laporan keuangan periode saat perubahan tingkat kemungkinan tersebut terjadi, kecuali nilainya tidak dapat diestimasikan secara andal. Pengukuran besaran kewajiban kontingensi tidak dapat diukur secara eksak. Untuk itu diperlukan pertimbangan profesional oleh pihak yang berkompeten. Penyajian dan Pengungkapan Kewajiban kontingensi tidak disajikan pada neraca , namun demikian perusahaan harus mengungkapkan kewajiban kontingensi pada Catatan atas Laporan Keuangan untuk setiap jenis kewajiban kontingensi pada tanggal neraca. Pengungkapan tersebut dapat meliputi:
Karakteristik kewajiban kontingensi;
Estimasi dari dampak finansial yang diukur;
Indikasi tentang ketidakpastian yang terkait dengan jumlah atau waktu arus keluar sumber daya;
Kemungkinan penggantian oleh pihak ketiga.
Aset kontinjensi adalah aset potensial yang timbul dari peristiwamasa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali entitas. Berdasarkan PSAK 57 par 31, entitas tidak diperkenankan mengakui aset kontinjensi 3. Restrukturisasi
Restrukturisasi
adalah
program
yang
direncanakan
dan
dikendalikan
oleh
manajemen dan secara material mengubah:
Lingkup kegiatan usaha suatu entitas; atau
Cara mengelola usaha tersebut.
Contoh:
Penjualan atau penghentian suatu lini usaha;
Penutupan lokasi usaha dalam suatu negara atau kawasan ke negara atau kawasan lain; 11
Perubahan dalam struktur manajemen, misalnya menghilangkan satu lapis manajemen; dan
Reorganisasi mendasar yang memiliki dampak signifi kan pada karakteristik dan fokus operasi entitas.
Kewajiban konstruktif untuk melakukan restrukturisasi muncul hanya jika entitas memiliki rencana formal yang rinci dan menciptakan ekpektasi yang valid pada pihak pihak yang terkena dampak restrukturisasi (PSAK 57 par 72). Provisi restrukturisasi hanya mencakup pengeluaran langsung yang timbul dari restrukturisasi, yaitu yang memenuhi kedua persyaratan antara lain benar-benar harus dikeluarkan dalam rangka restrukturisasi, dan tidak terkait dengan aktivitas yang masih berlangsung pada entitas. Untuk setiap jenis provisi, entitas harus mengungkapkan:
Nilai tercatat pada awal dan akhir periode; Provisi tambahan yang dibuat dalam periode bersangkutan, termasuk peningkatan jumlah pada provisi yang ada;
Jumlah yang digunakan, yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada provisi selama periode bersangkutan;
Jumlah yang belum digunakan yang dibatalkan selama periode bersangkutan; dan
Peningkatan, selama periode yang bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul karena berlalunya waktu dan dampak dari setiap perubahan tingkat diskonto.
Entitas juga harus mengungkapkan pula:
Uraian singkat mengenai karakteristik kewajiban dan perkiraan saat arus keluar sumber daya terjadi;
Indikasi mengenai ketidakpastian saat atau jumlah arus keluar tersebut jika diperlukan dalam rangka menyediakan informasi yang memadai, entitas harus mengungkap kan asumsi utama yang mendasari prakiraan peristiwa masa depan;
Jumlah estimasi penggantian yang akan diterima dengan menyebutkan jumlah aset yang telah diakui untuk estimasi penggantian tersebut.
2.1.3. Liabilitas Jangka Panjang
Liabilitas jangka panjang terdiri atas perkiraan aliran sumber daya keluar perusahaan akibat kewajiban yang tidak dapat diselesaikan dalam kurun waktu 1 tahun atau siklus operasi perusahaan. Utang obligasi, wesel bayar jangka panjang, utang hipotek, kewajiban pensiun, dan kewajiban sewa adalah contoh liabilitas jangka panjang. a. Penerbitan Obligasi
Penerbitan obligasi ke publik emiten harus 12
Menetapkan penjamin emisi.
Mendapatkan persetujuan regulasi atas penerbitan obligasi, menjalani proses audit, dan menerbitkan prospektus.
Memiliki sertifikat obligasi tercetak.
Harga jual atas penerbitan obligasi ditetapkan oleh:
Mekanisme permintaan dan penawaran
Resiko relatif
Kondisi pasar
Keadaan ekonomi
Nilai obligasi pada present value dari arus kas masa depan yang diharapkan, yang terdiri atas bunga dan nilai nominal /principal . Jumlah bunga yang dibayarkan kepada pemegang obligasi setiap periode : × Jumlah bunga yang dicatat sebagai beban oleh emiten : × () b. Metode Suku Bunga Efektif
Obligasi diterbitkan dengan diskon – jumlah yang dibayar saat jatuh tempo lebih besar daripada harga penerbitan obligasi. Obligasi diterbitkan dengan premium – perusahaan menjual obligasi dengan harga lebih tinggi daripada nilai nominal yang dibayarkan saat jatuh tempo. Penyesuaian terhadap beban bunga obligasi dicatat melalui proses yang disebut amortisasi dengan menggunakan metode suku bunga efektif. Dengan menggunakan metode suku bunga efektif, beban bunga periodik dicatat pada persentase konstan atas nilai buku obligasi.
1. Obligasi Dijual Di Antara Tanggal Pembayaran Bunga
Pembeli obligasi akan membayar kepada penjual obligasi bunga akrual sejak tanggal terakhir pembayaran kupon sampai tanggal obligasi dijual. Pada tanggal pembayaran 13
kupon selanjutnya, pembeli obligasi akan mendapatkan pembayaran kupon secara penuh. c. Penerbitan Wesel Bayar
Perlakuan akuntansi untuk utang obligasi dan wesel bayar relatif sama, yaitu wesel bayar dinilai sebesar nilai kini dari arus kas pembayaran di masa depan (baik pokok maupun bunga). 1. Wesel Bayar Tidak Diterbitkan pada Nilai Nominal Wesel Tanpa Bunga ( Zero-I nterest-B eari ng Notes)
Perusahaan penerbit mencatat perbedaan antara nilai nominal dengan present value (harga jual) sebagai diskon yang diamortisasi sebagai beban bunga selama umur
wesel.
Wesel dengan Bunga ( I nterest-B earing Notes)
Akuntansi pada wesel bayar dengan kupon/bunga serupa dengan akuntansi pada obligasi. Jika terdapat diskon atau premium, maka jumlah tersebut diamortisasi selama umur wesel bayar dengan menggunakan metode suku bunga efektif. 2. Situasi Wesel Khusus Wesel Yang Diterbitkan Untuk Properti, Barang, Dan Jasa
Ketika melakukan penukaran instrumen liabilitas dengan properti, barang, atau jasa di dalam transaksi tawar-menawar, maka suku bunga tercantum dianggap wajar, kecuali:
Tidak dicantumkan suku bunga, atau
Suku bunga tercantum tidak masuk akal, atau
Nilai
nominal berbeda secara material dengan harga kas saat transaksi untuk item
serupa atau dari nilai wajar instrumen liabilitas saat transaksi. Pemilihan Suku Bunga
Jika perusahaan tidak dapat menentukan nilai wajar atas properti, barang, jasa, atau hak lainnya, dan belum ada pasar tersedia untuk wesel tersebut, maka perusahaan harus memperkirakan suku bunga yang dapat digunakan (imputation) di dalam menggunakan metode suku bunga efektif.Pemilihan suku bunga dipengaruhi oleh:
Suku bunga berlaku untuk instrumen sejenis.
Faktor seperti perjanjian pengikat, jaminan, jadwal pembayaran, dan suku bunga utama.
14
3. Wesel Bayar Mortgage
Wesel bayar mortgage merupakan wesel dengan jaminan dokumen yang menjanjikan hak untuk properti sebagai pengaman pinjaman. Bentuk paling umum untuk wesel bayar. e. Pelunasan Kewajiban Jangka Panjang 1. Pelunasan dengan Kas sebelum Jatuh Tempo
Harga reakuisisi > Nilai buku bersih = Rugi
Harga reakuisisi < Nilai buku bersih = Untung
Pada saat reakuisisi, premium atau diskon harus diamortisasi sampai tanggal rekuisisi.
2. Pelunasan dengan Pertukaran Aset atau Sekuritas
Kreditur harus mencatat aset non-kas atau bunga ekuitas yang diterima pada nilai wajar.
Debitur mengakui keuntungan sebesar kelebihan nilai buku terutang terhadap nilai wajar aset atau ekuitas yang ditransfer.
3. Pelunasan dengan Persyaratan Modifikasi
Kreditur dapat menawarkan satu atau kombinasi dari kombinasi berikut:
Pengurangan suku bunga nominal.
Perpanjangan jatuh tempo pembayaran nilai nominal utang.
Pengurangan nilai nominal utang.
Pengurangan atau penangguhan accrued interest .
f. Opsi Nilai Wajar
Perusahaan dapat memilih mencatat pada nilai wajar pada akun untuk sebagian besar aset dan liabilitas keuangan, termasuk obligasi dan weset bayar.IASB yakin bahwa pengukuran instrumen keuangan pada nilai wajar memberikan informasi yang lebih relevan dan dapat dipahami daripada biaya amortisasi.Ketika perusahaan mencatat pada nilai wajar, maka laba/rugi yang belum direalisasi dilaporkan sebagai bagian dari laba bersih. g. Pembiayaan Di Luar Neraca
Pembiayaan di luar neraca merepresentasikan pinjaman yang tidak dicatat.Tujuannya untuk meningkatkan rasio keuangan tertentu seperti rasio hutang terhadap ekuitas.Jenis jenisnnya antara lain:
Anak Perusahaan yang Tidak Terkonsolidasi 15
Entitas dengan Tujuan Khusus
Sewa Guna Usaha Operasi
2.1.4. Pengakuan dan Pengukuran Liabilitas a. Pengakuan
Kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat transaksi yang sebelumnya terjadi. Kewajiban dapat diakui atas dasar kriteria pengakuan yaitu definisi, keterukuran, keterandalan, dan keberpautan. Kam (hlm 119-120) mengajukan empat kaidah pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu ketersediaan dasar hukum, keterterapan konsep dasar konservatisme, ketertentuan substansi ekonomik transaksi, dan keterukuran nilai kewajiban. Keempat kaidah tersebut dapat memberikan petunjuk tentang adanya bukti teknis untuk mengakui kewajiban. b. Pengukuran
Penentuan kos kewajiban pada saat terjadinya paralel dengan pengukuran aset, dan pengukur yang paling objektif untuk menentukan kos kewajiban pada saat terjadinya adalah dengan penghargaan sepakatan dalam transaksi-transaksi dan bukan jumlah rupiah pengorbanan ekonomik masa datang. Penghargaan suau kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau nilai sekarang kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya. Dasar pengukuran kewajiban yang paling objektif adalah kos tunai atau kos tunai implisit. Karena kewajiban merupakan cerminan dari aset, maka pengukurannya juga mengikuti pengukuran aset. Nilai nominal atau jatuh tempo obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbit maupun bagi kreditor.Dasar pengukuran demikian tidak tepat.Utang obligasi diukur dan diakui atas dasar jumlah rupiah yang diterima dalam penerbitan obligasi, sedangkan diskun dan premium obligasi merupakan jumlah rupiah penyesuaian bunga nominal untuk mendapatkan bunga efektif. Kewajiban dapat bersifat moneter dan nonmeneter.Kewajiban moneter adalah kewajiban yang pengorbanan sumber ekonomik masa datangnya berupa kas dengan jumlah rupiah dan saat saat yang pasti.Kewajiban moneter ini dikukur atas dasar nilai diskunan pembayaran kas masa datang (jangka panjang) dan atas dasar nilai nominal (jangka pendek).Kewajiban nonmeneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan jasa dengan jumlah dan saat yang cukup pasti yang biasanya timbul karena penerimaan pembayaran dimuka untuk barang dan jasa tersebut.kewajiban nonmeneter diukur atas 16
dasar pembayaran tersebut yang menunjukkan harga yang disepakati untuk barang dan jasa. c. Penyajian dan pengungkapan
Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca berdasarkan urutan kelancarannya sejalan dengan aset. PSAK No. 1 menggariskan bahwa aset lancar disajikan menurut urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo. Ini berarti kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka panjang. Hal ini
dimaksudkan
untuk
memudahkan
pembaca
untuk
mengevaluasi
likuiditas
perusahaan.PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria sebagai kewajiban jangka pendek diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. Kriteria tersebut adalah (a) diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan, atau (b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca. Dalam praktek, kewajiban lancar biasanya dicatat dalam catatan akuntansi dan dilaporkan dalam laporan keuangan pada nilai penuh jatuh temponya. Karena singkatnya periode waktu yang terlibat, yang sering kali kurang dari satu tahun. Maka perbedaan antara nilai sekarang kewajiban lancar dan nilai jatuh temponya biasanya tidak besar. Akun kewajiban lancar biasanya disajikan sebagai klasifikasi pertama dalam kelompok kewajiban dan ekuitas pemegang saham di neraca. Dalam kelompok kewajiban lancar akun-akun itu dapat dicantumkan menurut jatuh temponya, dalam jumlah yang menurun, atau menurut prefensi likuiditasnya. Perusahaan yang mempunyai banyak terbitan hutang jangka panjang dalam jumlah besar seringkali hanya melaporkan satu akun dalam neraca dan mendukungnya dengan komentar serta skedul dalam catatan yang menyertainya. Pengungkapan catatan umumnya berisi dari kewajiban, tanggal jatuh tempo, suku bunga, provisi penarikan, pembatasan yang dilakukan oleh kreditor, dan aktiva yang disepakati atau digadaikan sebagai jaminan. 2.2. Ekuitas
Istilah ekuitas berasal dari kata equity atau equity of ownership yang berarti kekayaan bersih perusahaan. Secara sederhana, ia diformulasikan sebagai total aktiva dikurangi total pasiva. Ekuitas merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yaitu selisih antara aktiva dan kewajiban yang ada, dan dengan demikian tidak merupakan ukuran nilai jual perusahaan tersebut. Pada dasarnya ekuitas berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan. 17
Ekuitas akan berkurang terutama dengan adanya penarikan kembali penyertaan oleh pemilik, pembagian keuntungan atau karena kerugian. 2.2.1.Struktur Organisasi Perusahaan
Berdasarkan kepemilikan, struktur organisasi perusahaan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
Perusahaan Perseorangan, adalah perusahaan yang dimiliki oleh perseorangan.
Perusahaan Persekutuan, adalah perusahaan yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang membentuk persekutuan. Perusahaan Perseroan Terbatas, adalah perusahaan yang dimiliki oleh lebih dari dua
orang atau badan hukum, melalui penerbitan surat saham. 2.2.2.Perusahaan Terbatas (PT)
Ada dua macam PT, yaittu PT Tertutup dan PT Terbuka. PT Tertutup adalah perseroan yang tidak menerbitkan saham untuk publik. Sementara PT terbuka, adalah perseroan yang menerbitkan saham di pasar modal sehingga publik dapat membelinya. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, syarat formal pembentukan PT yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
Pendiri minimal terdiri atas 2 orang atau lebih
Akta notaris yang berbahasa Indonesia
Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali dalam rangka peleburan
Akta pendirian harus disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI)
Modal dasar minimal Rp 50.000.000 dan modal disetor minimal 25% dari modal dasar
Minimal harus memiliki 1 orang direktur dan 1 orang komisaris.
Pemegang saham harus WNI atau Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, kecuali yang merupakan Penanaman Modal Asing.
2.2.3.Karakteristik Saham
a. Hak pembagian proporsional :
Atas laba dan kerugian.
Dalam manajemen (hak voting ).
Atas aset saat likuidasi.
Atas penerbitan saham baru untuk kelas saham yang sama the preemptive right .
b. Memiliki resiko kerugian terbesar. c. Memperoleh keuntungan atas keberhasilan perusahaan. 18
d. Tidak ada jaminan memperoleh dividen dan aset atas pembubaran perusahaan. 2.2.4.Prosedur Penerbitan Saham
Terdapat beberapa tahapan dalam prosedur penerbitan saham sebagai berikut:
Tahap Persiapan: Persetujuan RUPS dan menunjuk penjamin emisi (underwriter )
Tahap Pengajuan dan Pernyataan Pendaftaran: Otorisasi BAPEPAM-LK
Tahap Penawaran/Penjualan Saham
Tahap Pencatatan Saham Di Bursa Efek Semua biaya langsung yang terkait atas penerbitan saham (biaya penjamin emisi,
akuntansi, biaya hukum, percetakan, pajak, dsb.) mengurangi pendapatan atas penjualan saham. 2.2.5.Saham Biasa a. Penerbitan Dengan Nilai Nominal
Saham dapat diterbitkan dengan nilai nominal ( par value) tertentu untuk setiap lembarnya.Penentuan besar kecilnya nilai nominal ini bergantung pada masing-masing perusahaan. Apabila harga saham perdana atau harga penerbitan saham lebih tinggi daripada nilai nominal, maka perusahaan akan mencatat timbulnya agio saham (share premium). b. Penerbitan Tanpa Nilai Nominal
Di beberapa negara, saham dapat diterbitkan tanpa nilai nominal, dengan alasan agar: 1. Perusahaan terhindar dari liabilitas kontinjensi 2. Perusahaan maupun investor terhindar dari kebingungan antara mencatat nilai nominal atau nilai wajar pasar. Di beberapa negara, saham tanpa nilai nominal tetap harus memiliki nilai yang ditetapkan ( stated value) yang berfungsi seperti nilai nominal. c. Penerbitan dengan Sekuritas Lain
Dari segi pancatatan akuntansi, terdapat dua cara untuk mengakui dana yang diterima, yaitu metode proporsional dan metode inkremental. d. Penerbitan Secara Non-Tunai
Secara umum dalam transaksi seperti ini, perusahaan perlu mencatat saham yang diterbitkan sebesar nilai wajar barang atau jasa yang diterima, atau jika nilai wajar barang atau jasa tidak dapat diukur secara andal, maka sebesar nilai wajar saham yang diterbitkan. 2.2.6.Pembelian kembali Saham
Alasan perusahaan membeli kembali saham beredarnya sendiri : 19
Meningkatkan earnings per share dan return on equity .
Menyediakan saham untuk kontrak kompensasi pegawai atau untuk memenuhi kebutuhan merger potensial.
Menggagalkan usaha pengambilalihan atau untuk mengurangi jumlah pemegang saham.
Mempengaruhi harga pasar dengan meningkatkan permintaan harga stabil atau meningkat.
2.2.7.Saham Treasuri
Reakuisisi saham yang telah dibeli kemudian ditarik (retirement ) atau dijual kembali di masa depan. Jika saham tidak ditarik dari peredaran, maka disebut saham treasuri.Saham treasuri tidak digolongkan ke dalam aset dan mengurangi nilai aset bersih. Kepemilikan saham treasuri tidak memberikan hak-hak pemegang saham. Jika entitas memperoleh kembali instrumen ekuitasnya, maka instrumen tersebut (saham treasuri) dikurangkan dari ekuitas. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari pembelian, penjualan, penerbitan, atau pembatalan instrumen ekuitas entitas tersebut tidak diakui dalam laba rugi. Saham treasuri tersebut dapat diperoleh dan dimiliki oleh entitas yang bersangkutan atau oleh anggota lain dalam kelompok usaha yang dikonsolidasi. Imbalan yang dibayarkan atau diterima diakui secara langsung di ekuitas. Nilai saham treasuri yang dimiliki diungkapkan secara terpisah, dalam Iaporan posisi keuangan atau catatan atas laporan keuangan, sesuai dengan PSAK 1 (revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan. Entitas mengungkapkan sesuai dengan PSAK 7 (revisi 2010): Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi jika saham treasuri diperoleh oleh pihak-pihak berelasi. 2.2.8.Saham Preferen
Saham preferen ( preferred stock ) merupakan jenis saham yang diterbitkan oleh perusahaan dengan karakteristik atau fitur tertentu, yaitu: 1. Preferensi saat pembagian dividen 2. Preferensi saat pembagian aset, dalam proses likuidasi perusahaan 3. Dapat dikonversikan (convertible) menjadi saham biasa atau sekuritas lainnya 4. Dapat ditarik kembali (callable), sebagai eksekusi hak opsi bagi perusahaan 5. Tidak memiliki hak suara 6. Sifat dividen dapat kumulatif, artinya dividen yang tidak dibagikan dapat diakumulasikan ke periode berikutnya 7. Partisipatif, yaitu kemungkinan mendapatkan dividen tambahan setelah pengalokasian dividen untuk pemegang saham biasa 20
8. Dapat dijual kepada pihak perusahaan yang menerbitkan saham (redeemable). 2.2.9.Kebijakan Dividen
Alasan distribusi dividen tidak dimaksimalkan berdasarkan jumlah laba ditahan yang tersedia:
Memelihara persetujuan dengan kreditur.
Memenuhi persyaratan regulasi negara / UU PT.
Membiayai pertumbuhan dan ekspansi.
Mempengaruhi arus kas / likuiditas.
Berjaga terhadap kemungkinan kerugian dan masalah likuiditas.
Terdapat beberapa jenis dividen, antara lain 1. Dividen kas 2. Dividen property 3. Dividen likuidasi 4. Dividen saham. Semua dividen selain dividen sahammengurangi total ekuitasperusahaan. Ketika perusahaan mengumumkan dividen saham, perusahaan tidak membayarkan sejumlah aset atau mengakui kewajiban, tetapi hanya menerbitkan saham tambahan ke masing-masing pemegang saham. 2.3. Kasus PT . Great River Internasional Tbk
PT Great River International Tbk. (GRI) didirikan di Indonesia berdasarkan Akta Notaris Warda Sungkar Alurmei, SH No. 75 tanggal 22 Juli 1976 yang telah diubah dengan Akta Notaris Abdul Latief SH No. 117 tanggal 23 Nopember 1976. Akta Pendirian ini disahkan
oleh
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
dalam
Surat
Keputusan
No.Y.A.5/3/5.Th.78 tanggal 15 Februari 1978 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 21 Tambahan No. 124 tanggal 11 Maret 1980. Anggaran Dasar Perusahaan telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Akta Notaris Imas Fatimah, SH No. 2 tanggal 2 Desember 2003 antara lain mengenai peningkatan modal disetor dan ditempatkan melalui pembagian saham bonus. Perubahan Anggaran Dasar tersebut belum disetujui oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2.3.1. Bidang Usaha
Sesuai dengan pasal 3 anggaran dasar Perusahaan, kegiatan Perusahaan antara lain meliputi industri pakaian jadi dan perdagangan.
21
2.3.2. Sejarah Singkat Perseroan
1976
: Didirikan oleh Sukanta Tanudjaja dan Sunjoto Tanudjaja dengan nama PT Great River Garments Industries, dengan karyawan 150 orang
1977/78 : Memperoleh lisensi pertama berupa pakaian pria dan pakaian dalam wanita 1987
: Berturut-turut setiap tahun memperoleh lisensi merek-merek international terkemuka
1989
: Saham Perseroan tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya
1991
: Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asi amoney Menjalin kerjasama dengan Tomen Co. dari Jepang mendirikan perusahaan patungan PT GT Utama Garments
1992
: Berganti nama menjadi PT Great River Industries Menjalin kerjasama dengan Mitsui Corp.dan Itabashi Co. dari Jepang, mendirikan perusahaan patungan PT Great Iphock International, memproduksi knitwear Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang, mendirikan perusahaan patungan PT Gunze Indonesia, memproduksi benang jahit
1993
: Melaksanakan right issue yang pertama Mendirikan anak perusahaan, PT Inti Fasindo Internasional untuk menangani usaha distribusi dan retail
1994
: Menjalin kerjasama dengan Toyobo Co.dari Jepang mendirikan perusahaan patungan PT Toyobo Knitting Indonesia, memproduksi knit, dyeing & finishing Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang mendirikan perusahaan patungan PT Gunze Sock Indonesia, memproduksi kaus kaki
1995
: Menjalin kerjasama dengan van Laack GmbH, dari Jerman mendirikan perusahaan patungan Great River/ van Laack International, memproduksi pakaian pria Lisensi yang ditangani oleh Perseroan mencapai lebih dari 30 merek internasional, terdiri dari pakaian dalam, kemeja, pakaian kasual, pakaian anak-anak, household
1996
: Melaksanakan right issue yang kedua Berganti nama menjadi PT Great River International
1997
: Meraih sertifikasi ISO 9002 untuk quality management dan diperbarui tahun 1999 Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asiamoney
untuk kedua kali 2000
: Meraih kualifikasi “Kecelakaan Kerja Nihil” (Zero Accidents) dari Departemen Tenaga Kerja Usaha ekspor Perseroan mencapai 69% dari total nilai penjualan 22
2001
: Menyelesaikan restrukturisasi tahap I dengan Termsheet melalui Prakarsa Jakarta Nilai penjualan ditargetkan meningkat 9,6%, dengan usaha ekspor mencapai 65% dari total penjualan Fasilitas Produksi
2.3.3. Kendala-Kendala Internal
1. Kepastian hukum, kondisi sosial, politik, keamanan kurang kondusif 2. Kurangnya kenyamanan dan ketenangan berusaha 3. Kenaikan UMR, TDL, BBM secara berturut-turut berdampak pada meningkatnya biaya operasional 4. Daya beli pasar domestik masih lemah. 2.3.4. Kendala-Kendala Eksternal
1. Sistem kuota 2. Menurunnya perekonomian dunia berpengaruh terhadap eksport 3. Dampak pasca tragedi ‘911’ 4. Tariff & non-tariff barriers 5. Proteksi dari negara industri seperti Uni Eropa (ISO, Eco-labeling, ILAC, CSM-2000) dan Amerika Serikat (WRAP) 2.3.5. Potensi Pertumbuhan Perusahaan
1. Great River merupakan perusahaan pakaian jadi terkemuka di Indonesia, meliputi produksi, distribusi dan retail 2. Memiliki 6000 konsumen ritel dan 71 unit toko milik sendiri 3. Tetap konsisten pada bisnis inti (core bisnis) 4. Aliansi strategis dengan Dept Store nasional dan internasional 5. Negara tujuan ekspor melebihi 20 negara 6. kapasitas produksi mencapai 44 juta potong per tahun 7. Ekspansi melalui “ Direct Selling” dengan 67,500 Fashion Dealers 8. Strategi operasional melalui usaha patungan 2.3.6. Keadaan Perseroaan Saat Ini
Kegiatan operasional Perseroan berjalan normal, pabrik masih berproduksi
Kondisi karyawan terkendali. Seluruh karyawan baik dari pabrik, kantor pusat, maupun kantor cabang, masuk seperti biasa
Listrik di Gedung Plaza GRI Kantor Pusat dimatikan, sehingga kegiatan di kantor pusat terhambat
Perseroan belum mampu untuk melakukan pembayaran terhadap kewajiban yang harus dibayarkan 23
2.3.7. Latar Belakang Permasalahan
Perseroan mengalami kekurangan modal kerja
Tidak tercapainya target penjualan domestic karena masuknya barang berharga murah dari China dan Vietnam, sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan stok di tokotoko
Penjualan ekspor mengalami tekanan harga jual sehingga margin keuntungan turun, karena persaingan yang berat
Biaya operasional yang tinggi dan meningkat secara signifikan setiap tahun (kenaikan UMP dan biaya TDL, telpon dan bahan bakar)
Secara umum, perseroan tidak cukup fleksibel menghadapi perubahan dan tantangan yang terjadi di pasar dengan tingkat persaingan yang semakin ketat
2.3.8. Kondisi Hutang Perseroan
Perseroan memiliki hutang obligasi senilai Rp 300 Miliar. Penggunaan dana hasil obligasi tersebut adalah :
74% untuk melunasi hutang bank jangka panjang perseroan
26% untuk pembelian aset seperti penambahan mesin jahit dan modal kerja Perseroan
Perseroan memiliki total kewajiban sebesar lebih dari Rp 300 Miliar (Hutang Bank, Hutang Usaha, dan Kewajiban lainnya) 2.3.9. Kronologis Kasus
PT Great River International merupakan perusahaan pakaian jadi berkualitas tinggi dan terkemuka di Indonesia. PT Great River International Didirikan oleh Sukanta Tanudjaja dan Sunjoto Tanudjaja pada tahun 1976 dengan nama PT. Great River Garments Industries. Kemudian pada tahun 1996 Berganti nama menjadi PT Great River International. Pada awalnya, PT Great River International mengalami perkembangan yang sangat pesat hal ini ditandai dengan diperolehnya beberapa kali penghargaan dari majalah Asiamoney dan berhasil lulus sertifikasi ISO 9002 untuk quality management. Namun mulai tahun 2002, PT.Great River International mulai mengalami kesulitan keuangan dengan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga. Permohonan PKPU tersebut diajukan sehubungan dengan permohonan pailit yang diajukan oleh Citibank atas utang senilai US $10 juta yang berasal dari US $ 2 juta dari Revolving Credit Agreement pada 16 Februari 1994 dan US $ 8 juta dari Revolving Credit Agreement-Domestic Trade Payable Onshore tanggal 16 November 1995..
24
PT Great River International memperkirakan jumlah kewajibannya yang telah dan akan jatuh tempo, di luar utangnya kepada Citibank, adalah sebesar US $179.291.292. Sedangkan total aset yang dimiliki diperkirakan sebesar Rp1.674.716.315.355. Perusahaan garmen PT Great River International Tbk membukukan laba bersih sebesar Rp 1,023 trilyun per September 2002, melonjak dari periode yang sama tahun sebelumnya yang masih membukukan rugi bersih Rp 11,298 milyar. Demikian dikemukakan Dirut Great River Sunjoto Tanudjaja dalam laporan keuangan kepada Bursa Efek Jakarta (BEJ). Lonjakan laba bersih itu lebih disebabkan adanya pendapatan pos luar biasa dari hasilrestrukturisasi utang sebesar Rp 1,277 trilyun. Dari total utang sebesar 172,5 juta dollar AS,Great River memperoleh potongan utang (hair cut) sebesar 85 persen atau untuk setiap dollarutangnya, perseroan hanya membayar 15 sen. Oleh karena itu, pos-pos yang tadinya untukmembayar utang, karena ada koreksi pembukuan, berubah menjadi keuntungan. Secara langsung, pendapatan dari pos luar biasa tersebut tidak mempengaruhi aliran dana tunai (cash flow) perusahaan, tetapi mengubah struktur keuangan perseroan menjadi positif. Sebagaimana dialami berbagai emiten lainnya, perusahaan garmen ini mengalami kesulitan keuangan semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Melonjaknya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah membuat nilai utang perseroan melejit ke atas. Proses restrukturisasi yang sudah dirintis manajemen selama 4 tahun, sejak tahun 1998 tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan penandatanganan scheme buy back (skema pembelian kembali) utang pada bulan Agustus 2002. Pada tahun 2005, salah satu pemegang saham PT. Great River International Tbk mengajukan diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk menindaklanjuti hasil audit investigasi Akuntan Publik Amir Abadi Jusuf dan Mawar. Dalam RUPLSB tersebut, akan dimintakan persetujuan pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap hasil audit investigasi terhadap perseroan yang dilakukan oleh KAP Amir Abadi Jusuf & Mawar pada November 2005. Selain itu, RUPLSB juga akan meminta persetujuan soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh utang menjadi saham perseroan. Termasuk pula persetujuan soal penambahan modal sehubungan dengan konversi sebagian atau seluruh utang perseroan menjadi saham perseroan. Akuntan publik Justinus Aditya Sidharta diindikasi melakukan kesalahan dalam mengaudit laporan keuangan PT. Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan 25
arus kas dan gagal dalam membayar utang. Berdasarkan investigasi tersebut Bapepam menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28 November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Great River tahun 2003. Dalam konteks skandal keuangan di atas, muncullah pertanyaan apakah trik-trik rekayasa tersebut mampu terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan tersebut atau sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan praktik kejahatan tersebut. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu mendeteksi trik rekayasa laporan keuangan maka yang menjadi inti permasalahannya adalah kompetensi atau keahlian auditor tersebut. Namun jika yang terjadi justru akuntan publik ikut mengamankan praktik rekayasa tersebut, seperti yang terungkap juga pada skandal yang menimpa Enron, Andersen, Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip 2002 dalam Christiawan 2003:83) maka inti permasalahannya adalah independensi auditor tersebut. Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik. Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahankesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari.Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan, maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam mengaudit.Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil audit dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Supriyono, 1988). Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus 26
dipertahankan oleh audito “. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan audited . Selama izinnya dibekukan, Justinus dilarang memberikan jasa atestasi (pernyataan pendapat atau pertimbangan akuntan publik) termasuk audit umum, review, audit kerja dan audit khusus. Dia juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang Kantor Akuntan Publik (KAP).Namun yang bersangkutan tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan serta wajib memenuhi ketentuan untuk mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas Surat Keputusan Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SKBPPAP/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa AP dikenakan sanksi pembekuan izin apabila AP yang bersangkutan mendapat sanksi pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP. Menurut Fuad Rahmany, Ketua Bapepam-LK, pihaknya sedang melakukan penyidikan terhadap AP yang memeriksa laporan keuangan Great River. Kalau ditemukan unsur pidana dalam penyidikan itu, maka AP tersebut bisa dijadikan sebagai tersangka. “Kita
sedang proses penyidikan terhadap AP yang bersangkutan. Kalau memang nanti ditemukan ada unsur pidana, maka dia akan kita laporkan juga Kejaksaan,” ujar Fuad.
Seperti diketahui, sejak Agustus lalu, Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Great River tahun buku 2003.Fuad menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River.Sayangnya, dia tidak bersedia menjelaskan secara detail praktek konspirasi dalam penyajian laporan keuangan emiten berkode saham GRIV itu. Fuad juga menjelaskan tugas akuntan adalah hanya memberikan opini atas laporan perusahaan. Akuntan, menurutnya, tidak boleh melakukan segala macam rekayasa dalam tugasnya.“Dia bisa dikenakan sanksi berat untuk rekayasa itu,” katanya untuk menghindari sanksi pajak. Menanggapi tudingan itu,
Kantor akuntan publik Johan Malonda & Rekan membantah telah melakukan konspirasi dalam mengaudit laporan keuangan tahunan Great River. Deputy Managing Director Johan 27
Malonda, Justinus A. Sidharta, menyatakan, selama mengaudit buku Great River, pihaknya tidak menemukan adanya penggelembungan account penjualan atau penyimpangan dana obligasi. Namun dia mengakui metode pencatatan akuntansi yang diterapkan Great River berbeda dengan ketentuan yang ada.“K ami mengaudit berdasarkan data yang diberikan klien,” kata Justinus.
Menurut Justinus, Great River banyak menerima order pembuatan pakaian dari luar negeri dengan bahan baku dari pihak pemesan. Jadi Great River hanya mengeluarkan ongkos operasi pembuatan pakaian. Tapi saat pesanan dikirimkan ke luar negeri, nilai ekspornya dicantumkan dengan menjumlahkan harga bahan baku, aksesori, ongkos kerja, dan laba perusahaan. Justinus menyatakan model pencatatan seperti itu bertujuan menghindari dugaan dumping dan sanksi perpajakan. Sebab, katanya, saldo laba bersih tak berbeda dengan yang diterima perusahaan. Dia menduga hal itulah yang menjadi pemicu dugaan adanya penggelembungan nilai penjualan. Sehingga diinterpretasikan sebagai menyembunyikan informasi secara sengaja. Johan Malonda & Rekan mulai menjadi auditor Great River sejak 2001.Saat itu perusahaan masih kesulitan membayar utang US$ 150 Juta kepada Deutsche Bank. Pada 2002, Great River mendapat potongan pokok utang 85 persen dan sisa utang dibayar menggunakan pinjaman dari Bank Danamon. Setahun kemudian Great River menerbitkan obligasi Rp 300 miliar untuk membayar pinjaman tersebut.“Kami hanya tahu
kondisi perusahaan pada rentang 2001-2003,” kata Justinus. Sebelumnya Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah melimpahkan kasus penyajian laporan keuangan konsolidasi Great River ke Kejaksaan Agung pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam laporan tersebut, empat anggota direksi perusahaan tekstil itu ditetapkan menjadi tersangka, termasuk pemiliknya, Sunjoto Tanudjaja. Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto, Amir Jusuf, dan Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang, dan aset hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River mengalami kesulitan arus kas dan gagal membayar utang. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terdapat indikasi penipuan dalam penyajian laporan keuangan. Pasalnya, Bapepam menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement penyajian account penjualan dan piutang dalam laporan tersebut. Kelebihan itu berupa penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi yang tanpa pembuktian. Akibatnya, Great River kesulitan arus kas. Perusahaan tidak mampu membayar utang Rp 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai Rp 300 miliar. 28
2.3.10. Identifikasi Kasus PT Grear River International Tbk
1. Tahun 2002 PT. Great River International mulai mengalami kesulitan keuangan dengan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga. 2. Selain itu, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga akan meminta persetujuan soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh utang menjadi saham perseroan. 3. Bapepam menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan PT. Great River International Tbk khususnya dalam penyajian laporan keuangan pada tahun 2003 untuk penerbitan obligasi perseroan yang gagal bayar . 4. Adanya metode pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang ada. Terdapat keterkaitan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan dengan kesulitan perusahaan dalam membayar utangnya. Sehingga mengakibatkan perusahaan tidak mampu membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai 300 miliar. 5. Terhitung sejak tanggal 28 November 2006, Mentri Keuangan RI telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama 2 tahun, sanksi tersebut diberikan karena Justinus terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan audit atas laporan keuangan konsolidasi PT Great River International Tbk tahun 2003. 2.3.11. Pembahasan Kasus PT. Great River International Tbk
1. PT. Great River melakukan restrukturisasi hutang pada tahun 2002. Restrukturisasi hutang merupakan suatu proses untuk merestruktur hutang bermasalah dengan tujuan untuk memperbaiki posisi keuangan debitur, (Darmadji, 2001:69). Menurut IAI dalam PSAK No.54 (1999:1), restrukturisasi hutang bermasalah terjadi jika berdasarkan pertimbangan ekonomi atau hukum, kreditur memberikan konsesi khusus kepada debitur yaitu konsesi yang tidak akan diberikan dalam keadaan tidak terdapat kesulitan keuangan di pihak debitur. Konsesi ini dapat berasal dari perjanjian antara kreditur dan debitur, atau dari keputusan pengadilan, atau dari peraturan hukum. Restrukturisasi hutang bermasalah dapat terjadi sebelum, pada, atau sesudah tanggal jatuh tempo hutang yang tercantum dalam perjanjian, dan akan terdapat rentang waktu diantara saat perjanjian, keputusan pengadilan, dan sebagainya. Dengan tanggal efektif persyaratan baru atau terjadinya peristiwa lain yang merupakan pelaksanaan restrukturisasi, yang dimaksud dengan ini yaitu tanggal efektif pelaksanaan merupakan saat restrukturisasi. 29
2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga akan meminta persetujuan soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh utang menjadi saham perseroan. Menur ut PSAK No. 54 “ Restrukturisasi hutang bermasalah dapat berupa penyelesaian sebagian hutang dengan pengalihan aset debitur atau pemberian saham (atau keduanya) kepada kreditur dan modifikasi persyaratan hutang yang masih tersisa”.
3. Berdasarkan investigasi yang dilakukan, Bapepam telah menemukan adanya: a) Overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember 2003; dan b) Penambahan aktiva tetap perseroan, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana hasil emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga perusahaan tekstil tersebut mengalami kelebihan pendapatan (overstatement ) yang seharusnya justru merugi. 4. Overstatement dalam arti lain penggelembungan atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember 2003 telah diakukan dalam pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang mengakibatkan perusahaan tidak mampu membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai 300 miliar. PT. Great River International Tbk, jelas melakukan pelanggaran terhadap laporan keuangan konsolidasinya. Sesuai dengan PSAK No.4 menyebutkan “Laporan keuangan kons olidasi disusun dengan
menggunakan kebijakan akuntansi yang sama untuk transaksi, peristiwa dan keadaan yang sama atau sejenis. Apabila tidak mungkin digunakan kebijakan akuntansi yang sama dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, maka harus diungkapkan penggunaan kebijakan akuntansi yang berbeda tersebut dan proporsi unsur yang terkait dengan kebijakan akuntansi tersebut terhadap unsur sejenis dalam laporan keuangan konsolidasi.”
5. Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas Surat Keputusan Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-BPPAP/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa Akuntan Publik dikenakan sanksi pembekuan izin apabila Akuntan Publik yang bersangkutan mendapat sanksi pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP. 30
Kasus PT Great River International, Tbk di atas, yang melibatkan akuntan publik Justinus Aditya Sidharta, dianggap telah menyalahi aturan mengenai kode etik profesi akuntan, terutama yang berkaitan dengan integritas dan objektivitas. Akuntan publik Justinus Aditya Sidharta dianggap telah melakukan tindak kebohongan publik, dimana dia tidak melaporkan kondisi keuangan PT Great River International, Tbk secara jujur. Menurut pengertiannya, integritas dapat berarti kepatuhan terhadap nilai-nilai moral, prinsip-prinsip, serta nilai-nilai lainnya yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya. Pelanggaran integritas berarti seseorang telah melanggar aturan-aturan yang telah disepakati secara umum. Sedangkan objektivitas merupakan pernyataan jujur dan apa adanya terhadap suatu hal. Pelanggaran objektivitas menunjukkan bahwa seseorang telah berani melakukan tindak kebohongan / kecurangan dalam melakukan suatu hal. Kedua nilai ini, bersama dengan independensi, merupakan nilai dasar yang harus dimiliki oleh seorang akuntan publik agar seorang akuntan publik dapat menghasilkan suatu laporan yang sifatnya akurat dan dapat dipercaya. Tanpa adanya nilai-nilai dasar tersebut, seorang akuntan publik tidak ada bedanya dengan seorang penjahat yang tidak bermoral. Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor“. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan audited . Salah satu hal yang ditekankan pasca skandal ini adalah perlunya etika profesi. Selama ini bukan berarti etika profesi tidak penting bahkan sejak awal profesi akuntan sudah memiliki dan terus menerus memperbaiki Kode Etik Professinya baik di USA maupun di Indonesia. Etika adalah aturan tentang baik dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota profesi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama ini dijadikan penopang untuk menegakkan praktik yang sehat yang bebas dari kecurangan tampaknya tidak cukup kuat menghadapi sifat sifat “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang dimiliki setiap pelaku pasar modal, dan
manajemen yang bermoral rendah yang hanya ingin mementingkan keuntungan ekonomis pribadinya. 31
Profesi akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era globalisasi untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair , oleh karena itu kesiapan yang menyangkut profesionalisme mensyaratkan hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi yaitu: keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Dalam kenyataannya, banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam prakteknya mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka sendiri. Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat.Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.
32