] BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering.
Konstipasi merupakan merupakan keluhan
saluran cerna terbanyak pada usia lanjut; terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun mengeluh konstipasi . Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya konstipasi pada lansia seperti kurangnya gerakan fisik, makanan yang kurang sekali mengandung serat, kurang minum, akibat pemberian obat-obat tertentu dan lain-lain. Akibatnya, pengosongan isi usus menjadi sulit terjadi atau isi usus menjadi tertahan. Pada konstipasi, kotoran di dalam usus menjadi keras dan kering, dan pada keadaan yang berat dapat terjadi akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus disertai rasa sakit pada daerah perut. Anamnesis merupakan hal yang terpenting untuk mengungkapkan etiologi dan factor-faktor risiko penyebab konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisik pada umumnya tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan banyak informasi yang berguna. Pemeriksaan pemeriksaan lain yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3 sampai 6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusatpusat pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
1
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan masalah konstipasi?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum : Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan masalah konstipasi. 2. Tujuan Khusus : a. Mengetahui definisi konstipasi. b. Mengetahui epidemiologi konstipasi. c. Mengetahui etiologi konstipasi. d. Mengetahui patofisiologi konstipasi. e. Mengetahui manifestasi klinis dari konstipasi. f.
Mengetahui penatalaksanaan lansia dengan konstipasi.
g. Mengetahui WOC dari lansia dengan konstipasi.
D. Manfaat
1. Mengetahui perjalanan penyakit yang terjadi sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat. 2. Menambah pengetahuan sebagai referensi dalam memberikan asuhan keperawatan. 3. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan konstipasi
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang tidak normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarkan feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang keras dan kering (Wilkinson, 2006). Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000). Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005). Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi (Cheskin dkk, 1990).
B. Epidemiologi
Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak,
3
wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar (NIDDK, 2000).
C. Etiologi
Konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot. Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut: 1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik, golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar. 2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati diabetic. 3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme. 4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner. 5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon. 6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah parut
D. Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB. Defekasi
dimulai
dari
gerakan
peristaltik
usus
besar
yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
4
meregangkan ampula rektum yang diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter
anus
eksterna
diperintahkan
untuk
relaksasi,
dan
rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para simpatis terlibat dalam proses ini. Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.
E. Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB 1. Mengejan keras saat BAB 2. Massa feses yang keras dan sulit keluar
5
3. Perasaan tidak tuntas saat BAB 4. Sakit pada daerah rectum saat BAB 5. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB 6. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam 7. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses 8. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
F. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik a. Cairan Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil. b. Serat Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit (transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacangkacangan.
Serat
akan
memfasilitasi
gerakan
usus
dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala
6
kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat. c. Bowel training Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam. d. Latihan jasmani Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus. e. Evaluasi penggunaan obat Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan, obat
Parkinson
merupakan
obat
yang
potensial
menimbulkan
7
konstipasi.
Obat
yang
mengandung
zat
besi
juga
cenderung
menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan konstipasi. 2. Tatalaksana farmakologik a. Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative) Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium
dan
isophagula
husk,
dan
senyawa
sintetik
seperti
metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan. b. Pelembut tinja Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya
tidak
dapat
menolong
konstipasi
yang
kronik,
penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus dicegah. c. Pencahar stimulant Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut.
Senna
meningkatkan
peristaltik
di
kolon
distal
dan
menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam
8
setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali seminggu. d. Pencahar hiperosmolar Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi
bentuk
laktat,
aetat,
dan
asam
dengan
melepaskan
karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria. e. Enema Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin membutuhkan
9
enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap water ) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun ( soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
10
BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian
a. Biodata Pasien b. Keluhan Utama c. Riwayat Kesehatan d. Riwayat kesehatan Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare encer. e. Riwayat / Kondisi Psikososial f.
Pemeriksaan Fisik
g. Pola Kebiasaan Sehari-hari h. Analisa data Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit. 2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan penurunan respon terhadap dorongan defekasi b. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
11
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Perencanaan NOC NIC No Dx 1
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x7 jam, pasien dengan Konstipasi diharapkan dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Pola BAB dalam batas normal
Feses lunak
Cairan dan serat adekuat
Aktivitas adekuat
Hidrasi adekuat
NIC
NIC
Manajemen konstipasi
2
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x7 jam, pasien dengan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh diharapkan dapat teratasi dengan kriteria hasil : NOC - Nutritional Status (status
Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi Monitor tanda-tanda bowel/peritonitis
ruptur
Jelaskan penyebab rasionalisasi tindakan pasien
dan pada
Konsultasikan dengan dokter tentang peningkatan dan penurunan bising usus Kolaburasi jika ada tanda dan gejala konstipasi yang menetap Jelaskan pada pasien manfaat diet (cairan dan serat) terhadap eliminasi Jelaskan pada klien konsekuensi menggunakan laxative dalam waktu yang lama Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi serat dan cairan Dorong peningkatan yang optimal
aktivitas
Sediakan privacy dan keamanan selama BAB NIC - Nutrition Management
Catat status nutrisi pasien pada penerimaan,catat turgor kulit.BB,Intergritas mukosa oral,kemampuan menelan,riwayat mual/muntah/diare
12
nutrisi) :
3
Intake nutrisi meningkat sesuai dengan diit Intake makanan dan cairan meningkat sesuai dengan diet
Pastikan pola diet biasa pasien Awasi masukan dan pengeluaran nutrisi dan BAB secara periodik Selidiki adanya anoreksia
Menunjukkan perubahan prilaku/pola hidup untuk menigkatkan/mempertahankan BB.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x7 jam, pasien Nyeri akut diharapkan dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
Tidak mengalami gangguan tidur
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi nyeri Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……... Tingkatkan istirahat Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
13
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus, FKUI, Jakarta. Doengus ME, Moorhouse MF, GE Isster AC, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, EGC. NIDDK (National Istitute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease). 2001, Understanding Adult Obesity. \ Herdman, T Heatrher, PhD, RN, Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC Moorhead, Sue PhD, RN dkk. 2004. Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. United State of America : Mosby Elsevier Moorhead, Sue PhD, RN dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC) United State of America : Mosby Elsevier Perry, P. d. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC. Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Edisi 7), Jakarta : EGC
14