LAPORAN PENDAHULUAN
GERIATRIC SYNDROME Untuk Memenuhi Tugas C linical linical Studies 2
Disusun Oleh: Riska Paska Kristina 135070218113025 REGULER 2
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
A. DEFINISI SINDROM GERIATRI GERIATRI Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecac atan. Tampilan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis. Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif,
depresi, inkontinensia, inkontinensia ,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.Sindrom geriatrik mungkin memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda,dan memerlukan intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi (Panita et al., 2011). Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara lain adalah:
“the O complex”
:
fall,
o
confusion,
o
incontinence,
o
o
iatrogenic disorders,
o
impaired homeostasis
“the big three” : o
intelectual failure,
instability,
o
incontinence
o
“the 14 I”
:
Immobility,
o
Impaction,
o
Instability,
o
Iatrogenic,
o
o
Intelectual Impairment,
Insomnia,
o
Incontinence,
o
Isolation,
o
Impotence,
o
Immunodefficiency,
o
Infection,
o
Inanition,
o
o
Impairment of Vision,
o
Impairment of smelling,
o
Impairment of hearing,
Impecunity
o
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua. Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi. Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang biasa akibat proses menua. Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan
dan
pendengaran
berhubungan
dengan
kualitas
hidup,
meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul, dan mortalitas. Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular.
B.
KLASIFIKASI GERIATRIC SYNDROME 1. Klasifikasi Demensia Klasifikasi demensia vaskuler secara klinis menurut Kelompok Studi Fungsi Luhur PERDOSSI adalah: a. Demensia pasca stroke -
Demensia infark serebri
-
Demensia perdarahan intraserebral
b. Demensia vaskuler subkortikal -
Lesi iskemik substansia alba
-
Infark lakuner subkortikal
-
Infark non lakuner subkortikal
-
Demensia vaskuler tipe campuran (Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler)
Klasifikasi demensia (Sjahrir,1999) terbagi atas 2 dimensi: a.
b.
Menurut umur; terbagi atas: -
Demensia senilis onset > 65 tahun
-
Demensia presenilis < 65 tahun
Menurut level kortikal: -
Demensia kortikal
-
Demensia subkorti
2. Klasifikasi Inkontinensia a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel Pasien
delirium
mungkin
tidak
sadar
saat
mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak
pada
tempatnya.
Bila
delirium
teratasi
maka
inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan,
atau
obstruksi
anatomis
dapat
pula
menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu
inkontinensia
urin.
Konstipasi
juga
sering
menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang
menyebabkan
poliuria
dapat
memicu
terjadinya
inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini : D --> Delirium R --> Restriksi mobilitas, retensi urin I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi P --> Poliuria, pharmasi b. Inkontinensia Urin Persisten Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi : a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence) b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence) c. Inkontinensia
urin
luapan/overflow
(overflow
incontinence) d. Inkontinensia urin fungsional e. Inkontinensia Refleks f.
C.
Inkontinensia Total
TEORI PROSES MENUA 1. Teori – teori biologi 1. 1
Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory) Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies – spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai
contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel) 1. 2
Pemakaian dan rusak Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
1. 3
Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory) Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidaktahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
1. 4
Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory) Sistem imune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkab kerusakan organ tubuh.
1. 5
Teori stres Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan selsel tubuh lelah terpakai.
1. 6
Teori radikal bebas Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahanbahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
1. 7
Teori rantai silang Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
1. 8
Teori program Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-sel tersebut mati.
2. Teori kejiwaan sosial 2. 1
Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang
sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2. 2
Kepribadian berlanjut (continuity theory) Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
2. 3
Teori pembebasan (disengagement theory) Teori
ini
menyatakan
bahwa
dengan
bertambahnya
usia,
seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
Kehilangan peran
hambatan kontak sosial
Berkurangnya kontak komitmen
Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011) dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial 1. Teori Biologi 1. 1
Teori seluler Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel –sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika sel pada lansia dari tubuh dan dibiakkan di laboratrium, lalu diobrservasi, jumlah sel –sel yang akan membelah, jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)
1. 2
Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis) Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago, dan elastin pada kulit ) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system musculoskeletal (Azizah, 2011).
1. 3
Keracunan Oksigen Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan diri dari toksink tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan dari rigid, serta terjadi kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990). Membran sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel dalam berkomunikasi dengan lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah, 2011).
1. 4
Sistem Imun Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan
dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami
perubahan
tersebut
sebagai
selasing
dan
menghancurkannya (Azizah, 2011). 1. 5
Teori Menua Akibat Metabolisme Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004), pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat
pertumbuhan
dan
memperpanjang
umur.
Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. 2. Teori Psikologis 2. 1
Aktivitas atau Kegiatan ( Activity Theory ) Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah meraka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah, 2011).
2. 2
Kepribadian berlanjut (Continuity Theory ) Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal (Azizah, 2011).
2. 3
Teori Pembebasan (Disengagement Theory ) Teori
ini
menyatakan
bahwa
dengan
bertambahnya
usia,
seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah, 2011).
D. ETIOLOGI GERIATRIC SYNDROME Aging merupakan proses alamiah yang terjadi terus menerus dan dimulai sejak manusia dilahirkan. Terdapat banyak definisi proses menua, namun teori yang paling banyak dianut saat ini adalah teori radikal bebas dan teori telomer. 1. Teori radikal bebas menyatakan proses menua terjadi akibat akumulasi radikal bebas yang merusak DNA, protein, lipid, glikasi non-enzimatik, dan
turn over protein. Kerusakan di tingkat selular akhirnya menurunkan fungsi jaringan dan organ. 2. Teori
telomer
menyatakan
hilangnya
telomer
secara
progresif
menyebabkan proses menua. Telomer merupakan sekuens DNA yang terletak di ujung kromosom yang berfungsi mencegah pemendekan kromosom selama replikasi DNA. Telomer akan memendek setiap kali sel membelah. Bila telomer terlalu pendek maka sel berhenti membelah dan menyebabkan replicative senescence. Masalah umum pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada kondisi sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu karena dipengaruhi faktor genetik serta lingkungan. Proses menua mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ seperti sistem sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain itu terjadi pula perubahan komposisi tubuh, yaitu penurunan massa otot, peningkatan
massa
dan
sentralisasi
lemak,
serta
peningkatan
lemak
intramuskular. Perlu diingat bahwa perubahan fisik yang berhubungan dengan proses menua normal bukanlah penyakit. Individu yang menunjukkan karakteristik menua dikatakan mengalami usual aging , sedangkan individu yang tidak atau memiliki sedikit karakteristik menua disebut successful aging (SA). SA merupakan konsep multidimensi yang berkaitan dengan kondisi fisik, psikologis, dan fungsi sosial. Dimensi operasional SA yang paling sering dipakai adalah menurut Rowe dan Kahn yang meliputi tiga aspek, yaitu bebas dari penyakit dan hendaya, fungsi kognitif yang baik, dan tetap aktif di dalam kehidupan. SA berarti memerpanjang usia dan mengupayakan agar penyakit terkait usia terjadi di usia setua dan sedekat mungkin dengan kematian. Pemeliharaan fungsi fisik yang baik tercermin pada kemampuan untuk melakukan aktivitas harian, mulai dari hal sederhana seperti makan, berpakaian, dan naik tangga sampai kegiatan yang lebih kompleks seperti belanja dan menggunakan alat transportasi. Model SA biologis dapat dicapai dengan pencegahan primer seperti berhenti merokok, latihan jasmani, penggunaan vaksin yang tepat, dan penurunan kolesterol. Aspek sosial menekankan pada kemampuan usia lanjut untuk berinteraksi positif dengan sesama dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Fungsi sosial yang baik ditunjukkan dengan mempunyai pekerjaan yang mendapat penghasilan,
menghadiri kegiatan keagamaan, dan aktif pada kegiatan amal. Aspek sosial juga dapat menjadi faktor protektif terhadap kejadian mistreatment pada usia lanjut.
E.
MANIFESTASI KLINIS GERIATRIC SYNDROME Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai berikut: 1. Sindroma serebral Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30 mL/100gram jaringan otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena terjadi atrofi neuron. Normal pada dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit. Penurunan
aliran
darah
otak
hingga
23
mL/100
gram/menit
dapat
menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh darah otak. Gejala yang timbu l dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan refleks, tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah yang diperdarahi karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler ( drop attack , TIA). Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh sebab mekanik maupun akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak. Secara mekanik didapatkan bahwa pada lansia terbentuk osteofit pada vertebra sehingga menimbulkan jepitan pada arteri vertebralis yang menyuplai darah ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi berkelok-kelok dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan demikian gerakan leher dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah otak dan tiba-tiba terjatuh. Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami penurunan, sedikit perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan mengurangi aliran darah otak yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan vaskuler arteriosklerosis mengurangi perfusi otak yang menimbulkan infark lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi atau kardiovaskuler (gagal jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan aliran darah otak. Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan timbulnya angiopati. 2. Konfusio Akut dan Dementia Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadarah dan kewaspadaan
dan proses berpikir yang berakibat terjadinya disorientasi. Pada kebanyakan kasus konfusi akut atau delirium, tidak mungkin untuk mengidentifikasi atau memastikan penyebab tunggalnya. Lebih sering, mengidentifikasi denga faktor-faltor multipel yang mengakibatkan, membatu ataupun memperburuk konfusi.Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup
sehari-hari.
Perjalanannya
bertahap
dan
tidak
ada
gangguan
kesadaran. Biasanya dementia tidak didiagnosis karena dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive Impairment . Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi dementia. Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan Mini Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan patologi. Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer (50-60%), dementia multi infark (10-20%), dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan gangguan lain (5-10%). Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali dan mengatasi komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat pada keluarga. 3. Gangguan otonom Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin yang berakibat penurunan fungsi otonom.Beberapa gangguannya adalah hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus besar. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit.Hal ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh.Biasanya tidak menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson, CVD, diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau jatuh.Penatalaksanaannya adalah
meninggikan
kepala
waktu
tidur.Terapi
farmakologis
dapat
menggunakan
hormon
mineralokortikoid,
simpatomimetik,
atau
vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison, kafein, pindolol. Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan mengalami hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia adalah suhu inti tubuh > 40,6oC, disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium, koma).Sementara itu hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di bawah 35oC. 4. Inkontinensia Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma medula spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat akut di saat timbul penyakit atau yang kronik/lama. Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output, Restricted mobility, Stool impaction. Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over active bladder ), aktivitas detrusor yang menurun ( overflow ), kegagalan uretra (stress type), atau obstruksi uretra. Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder training, pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang digunakan dapat meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe urgensi/stres, α-adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin) untuk tipe stres atau urgensi, estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), α -arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap. 5. Jatuh Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak 30% lansia ≥ 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi
stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat, kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik,
antihipertensi,
antidepresan
trisiklik,
sedatif,
antipsikotik,
hipoglikemk, alkohol), proses penyakit (aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack , penurunan CBF). Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur (terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan keseimbangan (tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh adalah pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh. 6. Kelainan tulang dan patah tulang Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria > 80 tahun menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan tulang yang timbul dapat berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis, dan keganasan tulang. Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3 jenis yang terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur pergelangan tangan (colles), dan kolumna vertebralis (crush, multipel, atau baji). 7. Dekubitus Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit, menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi darah setempat.Ulkus dekubitus terjadi terutama pada tonjolan tulang.Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak subkutan berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler pada kulit berkurang. Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan kelembaban. Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya
ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengurangi gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus dekubitus adalah sepsis.
F.
PENATALAKSANAAN GERIATRIC SYNDROME Dalam merawat dan menatalaksana pasien geriatri tercakup dua komponen penting yakni pendekatan tim dan P3G yang merupakan bagian comprehensive
geriatric
management
(CGM).Diperlukan
instrumen
diagnostik yang bersifat multidisiplin untuk mengumpulkan data medik, psikososial, kemampuan fungsional, dan keterbatasan pasien usia lanjut. Pendekatan multidimensi berusaha untuk menguraikan berbagai masalah pada pasien geriatri, mengidentifikasi semua aset pasien, mengidentifikasi jenis pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan rencana asuhan yang berorientasi pada kepentingan pasien. Pendekatan paripurna pasien geriatri berbeda dengan pengkajian medik standar dalam tiga hal, yaitu fokus pada pasien usia lanjut yang memiliki masalah kompleks; mencakup status fungsional dan kualitas hidup; memerlukan tim yang bersifat interdisiplin (Soedjono, 2007). Berikut beberapa penatalaksanaan secara umum sindrom geriatrik, diantaranya : 1. Pemberian asupan diet protein, vitamin C,D,E, & mineral yang cukup. Orang usia lanjut umumnya mengonsumsi protein kurang dari angka kecukupan gizi (AKG). Penelitian multisenter di 15 propinsi di Indonesia mendapatkan bahwa 47% usia lanjut mengonsumsi protein kurang dari 80% AKG. Proporsi protein yang adekuat merupakan faktor penting; bukan dalam jumlah besar pada sekali makan. Hal penting lainnya adalah kualitas protein yang baik, yaitu protein sebaiknya mengandung asam amino esensial. Leusin adalah asam amino esensial dengan kemampuan anabolisme protein tertinggi sehingga dapat mencegah sarkopenia. Leusin dikonversi menjadi hydroxy-methyl-butyrate (HMB). Suplementasi HMB meningkatkan sintesis protein dan mencegah proteolisis (Setiati et al, 2013) 2. Pengaturan olah raga secara teratur. Perlu pemantauan rutin kemampuan dasar seperti berjalan, keseimbangan, fungsi kognitif. Aktivitas fisik dapat menghambat penurunan massa dan fungsi otot dengan memicu
peningkatan massa dan kapasitas metabolik otot sehingga memengaruhi energy expenditure, metabolise glukosa, dan cadangan protein tubuh. Resistance training merupakan bentuk latihan yang paling efektif untuk mencegah sarkopenia dan dapat ditoleransi dengan baik pada orang tua. Kombinasi resistance training dengan intervensi nutrisi berupa asupan protein yang cukup dengan kandungan leusin, khususnya HMB yang adekuat, merupakan intervensi terbaik untuk memelihara kesehatan otot orang usia lanjut (Setiati et al, 2013) 3. Pencegahan infeksi dengan vaksin 4. Antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres misalnya pembedahan elektif dan reconditioning cepat setelah mengalami stres dengan renutrisi dan fisioterapi individual (Setiati et al, 2011) 5. Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obatobatan yang digunakan sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari dikarenakan oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis, obat diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta resep, dan untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru. Karena itu diusulkan prinsip pemberian obat yang benar pada pasien geriatri dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap, jangan memberikan obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama, kenali obat yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-lahan, obati sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hati-hati mengguakan obat baru (Setiati dkk., 2006). Penatalaksanaan Resiko Jatuh: a. Perhatikan penggunaan alat bantu melihat (kacamata) dan alat bantu dengar (earphone) b. Evaluasi dan ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman c. Evaluasi kemampuan kognitif d. Beri lansia alat bantu berjalan seperti hand rails, walkers, dsb Penatalaksanaan Gangguan Tidur: a. Tingkatkan aktifitas rutin setiap hari
b. Ciptakan lingkungan yang nyaman c. Kurangi konsumsi kopi d. Berikan benzodiazepine seperti Temazepam (7,5-15 mg) e. Anti depresan seperti Trazadone untuk insomnia kronik
G. PENCEGAHAN GERIATRIC SYNDROME Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan yaitu: peningkatan ( promotif ), pencegahan ( preventif ), diagnosis dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan. 1. Promosi (Promotif ) Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan klien.Upaya promotif di lakukan untuk membantu mengubah gaya hidup mereka dan bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal serta mendukung pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang perilaku hidup mereka. Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut : a. Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah, meningkatkan penggunaan alat pengaman dan mengurangi kejadian keracunan makanan atau zat kimia. b. Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk mengurangi
terpapar
dengan
bahan-bahan
kimia
dan
meningkatkan pengunaan sistem keamanan kerja. c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk, bertujuan untuk mengurangi pengunaan semprotan bahan-bahan kimia, mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan pengolahan rumah tangga terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi kontaminasi makanan dan obat-obatan. d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang bertujuan
untuk
mengurangi
kebersihan gigi dan mulut. 2. Pencegahan (Preventif )
karies
gigi
serta
memelihara
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah: program imunisasi, konseling, berhenti merokok dan minum beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan sekitar rumah, manajemen stres, penggunaan medikasi yang tepat. b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening: pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain. c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala penyakit dan cacat, mencegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta perawatan dengan perawatan di rumah sakit,pasien rawat jalan dan perawatan jangka panjang. 3. Diagnosis dini dan Pengobatan a. Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas profesional dan petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan melakukan tes dini, skrining kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia,
memanfaatkan
Buku
Kesehatan
Pribadi
(BKP),
serta
penandatangan kontrak kesehatan. b. Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang terjadi meliputi sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, urogenital, hormonal, saraf dan integumen.
DAFTAR PUSTAKA Panita L , Kittisak S, Suvanee S, Wilawan H. 2011. Prevalence and recognition of geriatri syndromes in an outpatient clinic at a tertiary care hospital of Thailand. Medicine Department; Medicine Outpatient Department, Faculty of Medicine, Srinagarind Hospital, Khon Kaen University, Khon Kaen 40002, Thailand. Asian Biomedicine.5(4): 493-497.
Pranarka, Kris. 2011. Simposium geriatric syndromes:revisited. Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 . Jakarta: Prima Medika
Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T. Prevalensi geriatric giant dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang dirawat di Indonesia: penelitian multisenter. In Rizka A (editor). Comprehensive prevention & management for the elderly: interprofessional geriatric care. Jakarta: Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2013:183. Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Yudho MN, Purwoko Y, et al. Profile of nutrient intake in urban metropolitan and urban non-metropolitan Indonesia elderly population and factors associated with energy intake: multi-centre study. In press. 2013. Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S, Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative disease in elderly: update in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2011:69-75. Setiati S, Santoso B, Istanti R. Estimating the annual cost of overactive bladder in Indonesia. Indones J Intern Med. 2006:38(4):189-92. Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia. hlm. 13351340. John EC, Vincent AC. Vision impairment and hearing loss among community dwelling older American: implications for health and functioning. Am J of Pub Health. 2004;94(5):823-9. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical geriatris. 6th ed. New York, NY:McGraw-Hill.
Stanley M, Patricia GB.2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2 . Jakarta: EGC
Sullivan DH, Johnson LE. Nutrition and aging. In: Halter JB, Ouslander JG. Tinetti ME. Studenski S, High KP, Astana S (editors). Hazzard’s geriatric medicine and gerontology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2009.p.439-57. Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary, exerciserelated, and therapeutic interventions to prevent and treat sarkopenia in adult patients: an update. Clinical Interventions in Aging. 2010(5):259-70. JKI 9. Cocsco TD, Prina AM, Parales J, Stephan BCM, Brayne C. Lay perspectives of successful ageing: a systematic review and meta-ethnography. BMJ Open 2013;3:200-70. Marina L, Ionas L. Active aging and successful ageing as explicative models of positive evolutions to elderly people. Scientific Annals of the ‘Al. I. Cuza’ University. Sociology & Social Work. 2012;5:79-91. Kanning M, Schlicht. A bio-psycho-social model of successful aging through the variable “physical activity”. Eur Rev Aging Phys Act. 2008;5:79-87.