DASAR HUKUM DAN PRINSIP BANK SYARIAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Perbankan Syariah Disusun Oleh
:
Program Studi Semester
KELOMPOK BANK MUAMALAH
: :
Cut Maulinda Hardiansyah Indah Ramadhani Najmah Nurul Syahdira Nur Qomariah Qodrina Utami Rina Fitriani Rizka Ayu ananda Putri Siti Hafsah Siti Sundari Perbankan Syariah 4 unggulan unggulan
Dosen Pengampu Mata Kuliah Ahmad Fauzul Hakim Hasibuan, S.E.I, M.E.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM'IYAH MAHMUDIYAH TANJUNG PURA – LANGKAT 2016/2017
BAB II PEMBAHASAN A. DASAR HUKUM PERBANKAN SYARIAH 1. Dasar Hukum Perbankan Syariah
Kata Hukum (al-hukm) secara bahasa bermakna menetapkan atau memutuskan sesuatu, sedangkan pengertian hukum secara terminologi berarti menetapkan hukum terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia (Burhanuddin Susanto, 2008:7) dalam perihal ini berarti penetapan hukum yang berkaitan dengan Perbankan. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pengertian Bank adalah berupa badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak (Pasal 1 Angka 2). Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 1 angka 1). 1 Ekonomi
syari’ah
adalah,
“perbuatan
atau
kegiatan usaha kegiatan
yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah” (lihat Penjelasan (lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i UndangUndang No. 3 Tahun 2006). Prinsip dasar syari’ah yang membedakan ekonomi syari’ah syari’ah dengan ekonomi konvensional adalah ridha,(kebebasan berkontrak), ta’awun, bebas riba, bebas gharar, bebas tadlis, bebas tadlis, bebas maisir, objek yang halal dan amanah. Bank syariah terdiri dari dua kata, yaitu (a) bank, dan (b) syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi suatu perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Kata syariah dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian
1
Baharuddin Susanto. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Indonesia . (Yogyakarta: UII Pres,2008), hal.17.
2
berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan/ atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam. Penggabungan kedua kata dimaksud, menjadi “banksyariah”. Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam. Selain itu, bank syariah biasa disebut Islamic banking atau interest fee banking, yaitu suatu system perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir ), dan ketidak pastian atau ketidak jelasan ( gharar ). 2 Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan beragam produk perbankan. Sanya saja bedanya dengan bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat islami, termasuk dalam memberikan pelayanan terhadap nasabahnya. Berikut ini jenis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut: Alwadi’ah (Simpanan), Pembiayaan dengan bagi hasil, Bai’al-Murabahah, Bai’assalam, Bai’ Al-istihna’, Al- Ijarah (Leasing), Al-Wakalah (Amanat), Al-Kafalah (Garansi), Al-Hawalah, Ar-Rahn. 3 Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya: a) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan b) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan c) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia 2 3
Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syariah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 1. Kamsir. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. (Jakarta: Grafindo Persada,2002), hal.
179-180.
3
d) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia e) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama f) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama g) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah Berikut ini adalah penjelasan umum atas UU nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur, berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan pada perekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional. Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi
masyarakat
dalam
perekonomian
nasional
tersebut
adalah
pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian
4
dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, BankSyariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal. Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat. Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
5
meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir,gharar, haram, dan zalim. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaia sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak. Untuk menerapkan substansi undang-undang perbankan syariah ini, maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan, apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi Bank Syariah, dan yang tidak kalah
penting
diharapkan
dapat
memobilisasi
6
dana
dari
negara
lain
yangmensyaratkan pengaturan terhadap Bank Syariah dalam undang-undang tersendiri.
4
2. Urgensi Undang-Undang Perbankan Syariah
Bank syariah merupakan salah satu intrumen yang digunakan untuk menegakkan aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh karenanya,
keberadaannya
harus
dipandang
dalam
konteks
keseluruhan
keberadaan masyarakat (manusia), serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
5
Namun disisi lain tujuan ekonomi syariah ternyata mempunyai kesamaan dengan tujuan hukum. Menurut Gustav Radbruch, hukum mempunyai tujuan untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian Hukum. Sedangkan menurut Prof. Subekti, Hukum mempunyai tujuan untuk untuk mengabdi pada tujuan negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan melalui penyelenggaraan keadilan dan ketertiban. Sehingga adanya hukum dalam perbankan syariah merupakan perwujudan dari tujuan negara Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka diketahui bahwa tujuan ekonomi syariah dan tujuan hokum mempunyai satu persamaan yaitu hendak mewujudkan suatu keadilan dan kesejahteraan didalam masyarakat. 3. Perbankan Syariah dalam Undang-undang
Sebelum Undang-undang Perbankan Syariah ditetapkan, jumlah bank syariah dan unit usaha syariah belum sebanyak seperti sekarang. Bahkan ketika sudah difasilitasi oleh Undang-undang tentang Perbankan tahun 1992 dan perubahannya Undang-undang tahun 1998, jumlah usaha syariah belum berkembang. Setelah
4 5
Undang-undang no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, hal. 37-39. Dwi Suwiknyo. Jasa-Jasa Perbankan Syariah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hal.
1-2.
7
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan, perkembangan usaha syariah semakin berkembang. 6 Melihat produk hukum yang sudah ada telah lengkap untuk mengatur bisnis didalam perbankan. Bahkan perundang-undangan tersebut layaknya sebuah jalan tol yang penuh dengan rambu-rambu untuk mengatur bisnis perbankan. Perundang-undangan tersebut sebagai jaminan masyarakat bahwa mereka tidak akan dirugikan atas praktek-praktek bisnis perbankan di Indonesia. Namun kenyataan prakteknya tidak seperti yang dikehendaki oleh undang-undang. Banyak masyarakat yang dirugikan oleh para banker di dalam menjalani mitra bisnis dengan perbankan. Tidak hanya nasabah yang memperoleh kredit (nasabah debitur) yang dirugikan, tetapi juga para penyimpan dana (nasabah kegoncangan pada bank tempat mereka menyimpan dana. Sehingga nasabah kreditur tidak mempunyai kesempatan untuk mengamankan atau menarik dana mereka karena tidak mempunyai pengetahuan akan kegoncangan pada bank yang telah dipercayainya untuk mengelola uang. Kasus ini pernah muncul misalnya pada Bank Duta, Bank Bali, dan BII. Dasar hukum pertama kali tentang bank di Indonesia adalah UU No. 14/1967, namun peraturan tersebut lebih bersifat konvensional, dimana operasional bank diharuskan menerapkan sistem bunga yang bagi umat Islam dianggap riba/haram. Baru kemudian setelah dikeluarkannya UU No.7/1992 tentang Perbankan, istilah bagi hasil ( profit sharing ) mulai dikenal terdapat pada: a. Pasal 1 ayat 12 yang berbunyi: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagihan hasil keuntungan”.
6
Sri Indah Nikensari. Perbankan Syariah (prinsip, sejarah & aplikasinya). (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hal. 81.
8
b. Pasal 6, usaha bank umum meliputi a s.d 1 dan berbunyi: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah”. c. Pasal 13, usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi a s.d c yang berbunyi: Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.7 Perbankan
Islam
memberikan
layanan
bebas-bunga
kepada
para
nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga (riba). Pelarangan inilah yang membedakan sistem perbankan Islam dengan sistem perbankan konvensional. Secara teknis, riba adalah tambahan pada jumlah pokok pinjaman sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan jumlah pinjamannya. Meskipun sebelumnya terjadi perdebatan mengenai apakah riba ada kaitannya dengan bunga (interest ) atau tidak, namun sekarang nampaknya ada konsensus di kalangan ulama bahwa istilah riba meliputi segala bentuk bunga. 8 Ekonomi Islam berpijak pada landasan hukum yang pasti mempunyai manfaat untuk mengatur masalah kemasyaratan, sehingga hukum harus mampu menjawab masalah segenap masalah manusia, baik masalah yang besar sampai sesuatu masalah yang belum dianggap masalah. Hukum digunakan untuk mengelola kehidupan manusia dari berbagai sektor ekonomi, sosial, politik dan budaya yang didasarkan atas kemaslahatan. Manusia dalam melakukan ekonominya memerlukan landasan hukum yang pasti guna menjaga keteraturan hidup bermasyarakat. Manusia sering melegitimasi tindakan-tindakan yang didasarkan pada hukum yang dibuat sendiri sehingga unsur subyektif yang merupakan personifikasi dari vested interest 7
Ahmad Hasan Ridwan. Manajemen Baitul Mal wa Tamwil. (Bandung: CV.Pustaka Setia,2013), hal. 18-19. 8 Mervyn K.Lewis & Latifa M. Algoud, Perbankan Syariah ( Prinsip, Praktik, dan Prospek). (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 11.
9
mampu menggiring pada penafsiran baru atas pemberlakuan hukum yang ada. Dengan kenyataan ini maka diperlukan hukum yang tegas guna mengontrol kerentanan manusia untuk bersikap apologistik dalam mengambil kesimpulan. Islam mengatur masyarakat lewat hukumhukum Allah yang menjamin manusia selamat di dunia dan akhirat. Sumber hukum yang diakui sebagai landasan hukum ekonomi Islam terdiri dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijtihad, Qiyas, dan sumber hukum yang lain: Urf, Istihsan, Istishlah, dan Mashlaha Al-Mursalah. (Heri Sudarsono, 2002:25) Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah. Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah: a) Transaksi yang tidak mengandung riba. b) Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengancara jual beli (murabahah). c) Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijar ah). d) Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah). e) Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).
4. Perbankan Syariah dalam Peraturan Pemerintah
Sekurang-kurangnya terdapat tiga Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU No.7/1992 antara lain: PP No.70/1992 tentang Bank Umum, PP No.71/1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat dan PP No.71/1992 tentang Bank Berdasarkan
10
Prinsip Bagi Hasil. Disebutkan pula dalam pasal 5 ayat (3) PP No.70/1992 bahwa: “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha Bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil”. Kemudian dalam pasal 6 ayat (2) PP No.71/1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat dibutuhkan bahwa: “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.” Ketentuan ini memberi kesempatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun PP No.72/1992 lebih banyak
mengatur ketentuan-ketentuan yang
lebih bersifat teknis bagi penyelenggaraan operasional bank syariah, yang mencakup atas pelayanan dan jasa perbankan syariah dalam kegiatan usaha bank syariah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 5.
9
Perbankan Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia
PBI yang lahir setelah 1 november 2004 harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004. Karena PBI tidak termasuk dalam hierarki hukum nasional. Oleh karena itu, proses kelahirannya, PBI harus ada perintah dari peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam pasal 7, yaitu UUD, Perpu, UU, PP, dan Perpres (pasal 7 ayat4 UU No. 10 Tahun 2004). Dalam UU Perbankan Syariah banyak pasal-pasal yang memerintahkan “ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu diatur dalam PBI.” Terdapat 21 ketentuan dalam UU Perbankan Syariah yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam PBI. Beberapa peraturan Bank Indonesia dalam perbankan syariah: • PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
9
Ahmad Hasan Ridwan. Op.Cit , hal.19.
11
• PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah • PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
6. Posisi dan Ruang Lingkup Hukum Ekonomi Syariah
Secara garis besar sistematika hukum Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1 Hukum i’tiqadiyyah (aqidah). Hukum ini mengatur hubungan rohaniyah manusia dengan yang maha kuasa dalam masalah keimanan dan ketaqwaan. 2 Hukum khuluqiyah (akhlak). Hukum ini mengatur hubungan manusia dengan manusia dan makhluk lain dalam hubungan beragama, bermasyarakat, dan bernegara. Tercakup dalam hukum khuluqiyah ini adalah hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang merupakan tonggak dalam rangka menuju akhlak dengan sesama makhluk. 3 Hukum ‘amaliyah (syariah). Hukum ini mengatur hubungan hidup lahiriyah antara manusia dengan makhluk lain, dengan Tuhan-nya selain bersifat rohani, dan dengan alam sekitarnya. Di samping pengelompokan tersebut, dilihat dari substansinya para ulama juga mengelompokkan hukum Islam pada dua kategori besar, yaitu Ibadah dan Muamalah. Ibadah yang di maksud disini adalah ibadah dalam arti khusus/sempit, artinya hubungan manusia dengan Tuhannya, sepertishalat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah pokok lainnya.
10
10
Fathurrahman Djamil. Hukum Ekonomi Islam : Sejarah , Teori, dan Konsep. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 19-20.
12
7. Dewan Syariah Nasional (DSN)
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana, pegadaian syariah dan pasar modal syariah. Kemudian DSN ini membentuk dewan syariah yang melaksanakan keputusan DSN yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS).
11
Fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah melaksanakan tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat. Di samping itu, lembaga ini juga bertugas antara lain, untuk menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip- prinsip hukum Islam (syari’ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syariah, serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya. Pedoman inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk fatwa. Dari segi kekuatan hukum, fatwa ini bersifat mengikat bagi seluruh lembaga keuangan yang menerapkan prinsip syariah sebagai landasan dan standar operasionalnya.
12
Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun.
Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa-fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan beserta produk dan jasa keuangan syariah. Sejak awal didirikan pada tahun 1999 hingga tahun 2001, secara umum fatwa-fatwa tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian, pertama, kelompok fatwa untuk kegiatan transaksi yang 11
Ahmad Supriydi. Bank Syariah: Studi Perbankan Syariah dengan Pendekatan Hukum. (Yogyakarta: Idea Press,2011), hal. 33. 12 Nur Hidayah. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional atas Apsek Hukum Islam Perbankan Syariah di Indonesia. (Jakarta: Jurnal Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Syarif, 2014), hal. 13.
13
dilakukan oleh perbankan syariah, baik dalam penghimpunan dana, penyaluran dana (pembiayaan) maupun jasa-jasa perbankan. Kedua, kelompok fatwa untuk kegiatan akuntansi pada perbankan syariah. Ketiga, kelompok fatwa untuk investasi syariah. Dalam hal ini penulis hanya akan mengkaji fatwa DSN dalam hal kegiatan transaksi yang dilakukan oleh perbankan syariah. 13 DSN
merupakan
satu-satunya
badan
yang
mempunyai
kewenangan
mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. 14 Salah satu tujuan fatwa DSN adalah melindungi operasional institusi keuangan syariah agar berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN terfokus pada bidang ekonomi syariah. Keberadaan fatwa DSN menjadi signifikan dalam pembangunan hokum ekonomi syariah di Indonesia. Kemudian, fatwa-fatwa DSN juga menggambarkan hajat masyarakat akan landasan hukum dan tindakan dalam melakukan syariah. 15 2. PRINSIP PERBANKAN SYARIAH 1. Pengertian Prinsip Syariah
Syariah adalah hukum Islam. Syariah mengatur semua aspek kehidupan umat yang terdiri atas bukan saja menyangkut keimanan dan ibadah, tetapi juga aspekaspek ekonomi, politik, perkawinan, warisan, social dan budaya masyarakat. Dengan kata lain, bukan saja mengatur hubungan antara manusia dan Allah, tapi
13
Ma’ruf Amin, “Kata Pengantar ”, Himpunan Fatwa Dewan S yariah Nasional untuk Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia-Bank Indonesia, 2001), h. v. 14 15
Ahmad Supriyadi, op.cit ., hal. 34. Juhaya S. Pradja. Ekonomi Syariah. (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 207-208.
14
juga hubungan antara manusia dan manusia lainnya, serta hubungan antara manusia dan alam. 16 Hukum Islam atau Syariah yang mengatur mengenai interaksi manusia disebut fiqh al-mu’amalah. Antara lain fiqh al-muamalah mengatur mengenai transaksi-transaksi (jasa-jasa atau produk-produk) keuangan. Transaksi-transaksi keuangan yang dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan syariah tidak hanya berupa transaksi-transaksi perbankan, tetapi juga yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan nonbank, seperti multifinance company. Fokus pada perbankan syariah adalah berdasarkan prinsip syariah. UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah memberikan definisi “prinsip syariah” yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Prinsip syariah yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 UU Perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Pengertian prinsip syariah pada Pasal 1 angka 12 UU Perbankan Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Persamaan makna pada kedua definisi tersebut yaitu berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum Islam. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka perbankan syariah merupakan usaha perbankan yang menjalankan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum Islam dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
16
Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Syariah: Produk-produk dan aspek-aspek Hukumnya. (Jakarta: Kencana,2014), hal. 124.
15
tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pelaksanaan ajaran agama Islam dalam kehidupan.17 Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.
18
2. Posisi Prinsip Syariah Perbankan sebagai Hukum Positif
Pasal 24 ayat (1) huruf a, pasal 24 ayat (2) huruf a, dan pasal 25 huruf a Undang-undang No.21 tentang Perbankan Syariah menentukan dengan tegas bahwa bank syariah dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Artinya, akad syariah yang dibuat antara bank dan nasabah tidak boleh berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan prinsip syariah. Sehubungan dengan itu, maka bank dan calon nasabah yang memasuki suatu akad syariah harus mengetahui betul apa saja yang menjadi prinsip-prinsip (asasasas) umum dari syariah islam dan prinsip-prinsip (asas-asas) khusus yang berlaku bagi suatu jenis akad transaksi sayriah tertentu. Prinsip-prinsip (asas-asas) syariah adalah berdasarkan sumber-sumber dari hukum islam. Sumber-sumber hukum islam ada lima yang terdiri atas sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Sumber hukum yang primer adalah Al-Quran dan al-Hadits, dan sumber hukum yang sekunder adalah ijma’ yaitu
17
Dian Ediana Rae, “Arah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah” Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 6 Nomor 1 , April 2008 18 Undang-undang no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, hal. 37.
16
konsesus para ulama, qiyas yaitu penalaran (reasoning) secara analogis, dan ijtihad yaitu penalaran hukum secara mandiri ( Tariq Ashraf,,t.th.), 3. Asas Pengembangan Produk Syariah
Bagi produk keuangan syariah berlaku maxim atau adagium atau asas yang menyatakan bahwa, suatu transaksi dianggap tidak bertentangan/sesuai dengan prinsip syariah sampai dinyatakan secara tegas dilarang oleh ketentuan syariah. Asas tersebut pada dasarnya merupakan kaidah fikih yang menentukan, “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Seperti dikutip oleh Ebrahim dan Tan ( Ebrahim & Tan, 2001: 314-337), Ibn Taymiyah r.a., seorang ilmuwan islam terkemuka mengemukakan, “in mu’amalat (business transactions) all activities are permissible unless forbidden by revelation (Qur’an) or the practice of Prophet Muhammad SAW.”
4. Norma Dasar Perbankan Syariah
Dalam Operasionalnya, bank syariah mengikuti aturan-aturan dan normanorma islam, yaitu: 1) Bebas dari Bunga (riba): 2) Bebas dari kegiatan spekulatif yang
non produktif seperti perjudian
(masyir) 3) Bebas dari hal-hal yang meragukan atau tidak jelas (gharar) 4) Bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil ): dan 5) Hanya membiayai kegiatan usaha yang halal.
19
19
Ascarya, Diana Yumanita. Bank Syariah: Gambaran Umum. ( Jakarta: PPSK BI, 2005), hal. 4.
17
5. Prinsip-prinsip Perbankan Syariah
Menurut Dwi Suwiknyo, suatu lembaga keuangan (dalam hal ini bank) harus beroperasi secara ketat berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Prinsip ini sangat berbeda dengan prinsip yang dianut oleh lembaga keuangan non syariah. Adapun prinsip-prinsip yang dirujuk adalah: a) Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jenis transaksi; b) Menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangan berdasarkan pada kewajaran dan keuntungan yang halal; c) Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya; d) Larangan menjalankan monopoli; dan e) Bekerjasama dalam membangun masyarakat, melalui aktifitas bisnis dan perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam. 20
20
Dwi Suwiknyo, Jasa-jasa Perbankan Syariah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hal. 3
18
BAB II PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (Syariah). Periodisasi perkembangan hokum dalam perbankan syariah juga menjadi salah satu factor menonjolnya aset perbankan syariah dalam ekonomi syariah dibandingkan dengan produk ekonomi syariah lain. Untuk mencapai akselerasi perekonomian syariah Indonesia, seharusnya keberhasilan hukum dalam mengembangkan perbankan syariah dapat menjadi contoh produk ekonomi syariah lain untuk berkembang. Hal ini dikarenakan hokum dapat memberikan keuntungan yang besar secara langsung maupun tidak langsung bagi seluruh pihak dalam ekonomi syariah. Hukum dalam ekonomi syariah juga dapat berperan sebagai alat untuk memenuhi, melindungi dan memajukan hak setiap rakyat Indonesia atas kesejahteraan dan keadilan melalui perekonomian syariah. Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah/ policy maker untuk dapat membuat peraturan. B. Kritik dan Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ascarya, Diana Yumanita. 2005. Bank Syariah: Gambaran Umum. Jakarta: PPSK BI. Amin, Ma’ruf. 2001. “Kata Pengantar ”, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional untuk Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia-Bank Indonesia. Ali, Zainuddin. 2010. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: SinarGrafika.Susanto, Burhanuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Djamil, Fathurrahman.2013. Hukum Ekonomi Islam : Sejarah , Teori, dan Konsep. Jakarta: Sinar Grafika. Hidayah, Nur . Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional atas Apsek Hukum Islam Perbankan Syariah di Indonesia. 2014. Jakarta: Jurnal Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Syarif. Kamsir. 2002. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Grafindo Persada. K.Lewis & Latifa M, Mervyn. 2005. Perbankan Syariah ( Prinsip, Praktik, dan Prospek). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Nikensari, Sri Indah. 2012. Perbankan Syariah (prinsip, sejarah & aplikasinya). Semarang: Pustaka Rizki Putra. Rae, Dian Ediana. 2008. “Arah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah” Buletin HukumPerbankan dan Kebanksentralan Volume 6 Nomor 1. Ridwan, Ahmad Hasan. 2013. Manajemen Baitul Mal wa Tamwil. Bandung: CV.Pustaka Setia. S. Pradja, Juhaya. 2012. Ekonomi Syariah. Bandung: Pustaka Setia, 2012. Sjahdeini, Sutan Remy. 2014. Perbankan Syariah: Produk-produk dan aspekaspek Hukumnya. Jakarta: Kencana,2014.
20
Supriydi, Ahmad. 2011. Bank Syariah: Studi Perbankan Syariah dengan Pendekatan Hukum. Yogyakarta: Idea Press. Suwiknyo,
Dwi. 2010. Jasa-Jasa Perbankan Syariah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Undang-undang no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
21