MAKALAH EKONOMI INTERNASIONAL “HAMBATAN POLITIK EKONOMI PERDAGANGAN”
DISUSUN OLEH ABID MULIKHIN
(155020107111032)
MUHAMMAD KEN ARIEF AR-ROFI
(155020100111008 (1550201 00111008))
M. SALAHUDIN AL AYYUBIE
(155020100111024 (1550201 00111024))
ZIYAT BASALAMA
(155020100111002 (1550201 00111002))
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
1. Apa Alasan Hambatan Perdagangan? “satu dollar satu suara” telah digunakan sebagai toal ukur kemakmuran sehingga
efek tariff bagi suatu Negara dan dunia secara netto atau efek hambatan perdagangan lainnya dihitung dengan menjumlahkan nilai dollar dari efek-efek ini terhadap kelompok-kelompok perorangan, menimbang seluruh dollar keuntungan atau kerugian secara sama, tanpa memandang siapa yang memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Dengan pengukuran seperti ini, hambatan perdagangan dapat dibenarkan dalam keadaan-keadaan tertentu. Misalnya, agrumentasi penerimaan pemerintah bagi Negara yang baru berdiri dengan mengenakan tariff dan bea ekspor adalah sahih apabila Negara yang masih mudah ini tidak mempunyai cara lain untuk meningkatkan penermannya, untuk mencukupi barang-barang barang-baran g dan jasa-jasa umum public ( goods) yang diperlukan. Ada juga tariff yang optimal secara nasional, yang merupakan piranti yang lebih baik dibandingkan dengan piranti kebijakan maupun dalam rangk memanfaatkan kekuatan monopsony nasional atas harga-harga dunia. Hambatan perdagangan ternyata lebih baik daripada tidak melakukan apapun dalam situasi pilihan terbik kedua, meskipun dalam kebanyakan kasus beberapa kebijakan lain biasanya lebih sesuai dibandingkan dengan hambatan perdagangan. Kebanyakan proteksi industry di Negara-negara berkembang terdiri dari proteksi yang sangat tinggi dan pemborosan sumber daya dengan adanya prosedur untuk mendapatkan lisensi impor dan lisensi valuta asing. Salah satu alasan yang mungkin menyebabkan terjadinya penyimpangan antara praktek dan teori ekonomi adalah bahwa para pembuat kebijakan tidak dapat mengamati secara tepat efek hambatan perdagangan. Meskipun demikian, “kebodohan’ seperti ini hanya menjelaskan sebagian kecil dari penyimpangan p enyimpangan ini. memang, mungkin sekali bahwa dalam banyak hal, perusahaan dan para pekerja dalam indsutri ekspor tidak menyadari adanya kemungkinan bahwa hambatan impor yang tinggi akan merugikan pendapatan mereka karena akan mempersulit ekspor. Para konsumen dan indsutri yang merupakan pembeli pada waktu-waktu tertentu, barangkali tidak menyadari adanya efek hambatan impor atas biaya-biaya mereka. 2. Tujuan Para Pembuat Kebijakan Para pakar politik dan ekonomi membentuk dan menguji model-model tentang apa yang sedang diupayakan untuk dimaksimumkan oleh para pembuat kebijakan.
Penelitian mereka ditujukan terutama pada tingkah laku para pejabat terpilih dan para calon, meskipun kini semakin banyak tulisan yang membahas tingkah laku dari para pejabat tersebut. Perhaotna yang diberikan kepada para pembuat kebijakan dan bukan kepada pendapat masyarakat itu sesuai dengan penelitian mengenai kebijakan perdagangan, karena adanya kenyataan yang menunjukan bahwa kebijakan perdaganan adalah kebijakan yang tidak dibentuk atas dasar pendapat masyarakat. Para pemilih tidak memberikan suara mereka untk menyetujui atau menolak. Perumusan kebijakan perdagangan diserahkan kepada para Aggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih dan paar Kepala Negara, atau kepada para Pejabat yang ditunjuk dan diberikan pengarahan untuk menafsirkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh para wakil rakyat tersebut. Tujuan dari para pejabat yang ditunjukkan dapat saja berbeda dengan tujuan dari para pejabat hasil pemilihan atau calon yang akan dipilih, meskipun tidak akan banyak berbeda dalam suatu birokrasi pemerintahan yang dijalankan oleh pejabat yang dipilih. Studi-studi mengenai birokrasi dan pengaturan perekonomian oleh para pejabat yang ditunjuk mengungkapkan adanya berbagai tujuan dari para pejabat yang ditunjuk.
3. Berbagai Penyimpangan Kekuatan Penekan Jelas bahwa tujuan para pejabat terpilih bukanlah memaksimumkan kepentingan nasional. Tujuan tersebut berbeda dalam analisis yang lazim dilakukan dan berlainan dengan yang mungkin disimpulkan orang mengenai aturan satu orang satu suara seperti biasanya suatu demokrasi melalui pemilihan. Baik teori maupun beberapa bukti yang disajikan berikut ini sepakat bahwa para pejabat tersebut dapat memaksimumkan jumlah pemberi suara dari mereka yang mendapat keuntungan perdagangan karena kedudukan pejabat yang bersangkutan. Apabila hal ini benar, perdagangan bebas akan merupakan kebijakan yang lebih berlaku secara umum. Kebanyakan, tariff meguntungkan sejulah kecil perusahaan yang menyaigi impor dan para pekerjanya, serta merugikan sejumlah besar konsumen barang yang bersangkutan. Untuk memperjelas, kekuatan-kekuatan yang menginginkan proteksi dapat berkumpul bersama dan membuat usul-usul mengenai pembatasan perdaganan bagi banyak industry yang akan menguntukan sejumlah besar pemberi suara dan menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi mayoritas, karena sebagian besar hambatan perdagangantidak lahir melalui usaha kelompok mayoritas.
Tujuan memaksimumkan kesempatan untuk terpilih kembali menjauhkan kebijakan dari analisis ekonomi dengan pola demokratis “satu orang, satu suara” dan diganti dengan “satu dollar, satu suara”. Setiap pejabat mengetahui bahwa agar ia
terpilih kembali, ia harus mendekati setiap orang dengan pertanyaan. “ bagaimana caranya saya dapat memaksimumkan jumlah suara dan dukungn kampanye darimereka dengan isu ini yang merupakan kunciperasaan mereka terhadap pemilihan?“. ia memahami bahwa apabila banyak orang akan terkena akibat oleh tindakannya, misalnya suatu peraturan perdagangan, maka orang-orang tersebut tidak akan memilihnya kembali atas dasar peraturan perdaganan tersebut. Ia tetap akan dapat mempertahankan suara mereka dengan mengabaikan hal-hal yang tidak penting, asalkan dapat menarik perhatian mereka tentang beberapa persoalan lainnya. Dalam hubungannya dengan peraturan perdagangan, ia dapat memihak kepada mereka yang paling berkepentingan atas peraturan tersebut, sekalipun jumlah suara mereka lebih kecil dan mempunyai taruhan dollar yang lebih sedikit daripada lawan mereka.
Dengan demikian, satu penyimpangan di dalam pengaruh atau kekutan penekan yang dirasakan oleh para pejabat terpilih adalah suatu penyimpangan (bias) kea rah membantu para pemberi suarayang nasibnya secara perorangan di dalam isu tersebut sama besarnya dengan pangsa oendapatan atau keterkaitan emosi mereka secara keseluruhan.
Penyimpangan ini, berpijak pada kenyataan bahwa orang memilih calon dan bukan memilih kebijakan yang secara langsungcenderung meciptakan peraturan perdagangan yang menguntungkan kelompok-kelompok produsen . Karena itu tidak sulit untk memahami mengapa pada umumnya orang lebih menspesialisasikan diri di bidang produksi daripada di bidang konsumsi. Apabila hambatan impor akan menaikkan harga semua mobil dengan 10 persen, maka pekerja pabrik mobil akan mengetahui bahwa penghasilannya akan lebih besar. Hambatan ini akan mengakibatkan tambahan harga 10 pesen di atas produksi darimana ia menerima penghasilannya. Tentu saja, hal ini berarti bahwa harga sebuah mobil akan 10 persen lebih tinggi, tetapi biaya untuk memiliki mobil hanya naik misalnya 6 persen dari pengeluaran tahunannya. Dengan demikian, hambatan impor hanya akan mengakibatkan kenaikan biaya hidupnya sebesar 1,10 X 0,006 = 0,6 persen, sementara bagiannya dari hasil industry obil meningkat sebesar 10 persen. Bagi para konsumen yang tidak bekerja di industry mobil,
hambatan ini berarti suatu kerugian pendapatan nyata sebesar 0,6 persen. Tetapi sebagai konsumen yang dalam banyak hal berbeda tidak mungkin memberikan suara, energy, dan uang kita untuk berjuang menentang setiap kepentingan produsen. Oleh karena itu, dalam memberikan suara dan dalam perundingan-perundingan tidak medukung para produsen.
Di dalam perdebatan mengenai kebijaka perdagangan, ada kecendrungan untk lebih berpihak kepada para produsen yang menyaingi impr daripada kea rah para produsen pengekspor, meskipun ada beberapa pengecualian yang akan diungkapkan di bawah ini. Kebanyakan perdebatan mengenai perdagangan berkisar pada pengurangan impor, dan kerugian tidak langsung bagi produsen pengekspor yang disebabkan oleh pembatasan impor sering terbagi ke berbagai industry ekspor yang berbeda. Dalam suatu perdebatan mengenai pembatasan impor, para pembuat undang-undang akan melihat bahwa lebih banyak suara yang dipertaruhkan di antara para pemilihnya di dalam industry ekspor dan barang konsumen yang dilayani oleh perdagangan yang lebih bebas.
Penyimpangan
terhadap
kelompok
produsen
diperkuat
oleh
adanya
penyimpangan sumbangan keuangan pribadi dalam perundingan. Biaya untuk mengorganisir diri biasaynya lebih besar untuk kelompok-kelompok yang besar
daripada untk kelompok-kelompok yang lebih kecil dan terkonsentrasi. Sebagaimana diketahui, siapa yang pernah mencoba mencari dukungan dari banyak orang tentang isu yang dipertaruhkan secara perorangan maka bias saja timbul masalah baik dalam pendekatannya
maupun
dalam mengusahakan
agarorang-orang tersebut
mau
mendukung suatu tujuan yang sama. Orang yang merasa kecil atau usahanya secara perorangan tidak akan banyak membawa hasil, akan cenderung bertindak sebagai pengikut arus, karena upaya perudingan bagaimana pun akan berhasil atau gagal tanpa kehadiran mereka, dan di samping itu mereka sibuk dan seterusnya.
Merupakan bagian yang penting di dalam keanggotaan dan sumberdaya kelompok sebagai keseluruhan, mengetahui bahwa keikut-sertaannya memang dapat membantu keberhasilan kelompok untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah, sama seperti satu anggota penting dari kartel semacam OPEC mengetahui bahwa peran-sertanya di dalam persetujuan untuk
membatasi keluaran ada pengaruhnya terhadap harga kartel. Dengan demikian, kelompokkelompok yang lebih terkonsentrasi lebih banyak mengeluarkan dollar dan waktu dalam perundingan untuk memenangkan suatu persoalan, daripada kelompok-kelompok yang lebih renggang hubungannya. Karena mengetahui ada penyimpangan-penyimpangan seperti ini, para pejabat sering merasa berkepentingan untuk memberi sokongan kepada kelompok-kelompok yang kecil, bahkan banyak kelompok-kelompok seperti ini hanya mengorbankan uang yang lebih kecil dalam banyak hal menyebabkan para pejabat lebih mendukung proteksi impor karena hambatan impor merugikan lebih banyak orang daripada membantu, dan mengakibatkan kerugian bagi negara dalam dollar secara netto. Penyimpangan sistem politik ke arah proteksionisme cenderung lebih kuat, dan tentu saja, para produsen pengekspor menjadi semakin kurang terorganisasikan dan semakin renggang, karena yang diperjuangkannya berada dalam perdagangan yang lebih bebas. Sejauh ini kita baru membahas desakan kepada satu orang wakil rakyat yang terpilih. Namun, di dalam kongres atau parlemen ada banyak wakil rakyat dam masing-masing berpihak kepada phak-pihak yang berlainan. Untuk memperoleh mayoritas yang diperlukan, suatu kelompok penekan harus mempunyai kekuatan yang terkonsentrasi di beberapa bidang tertentu tetapi tidak di bidang lainnya. Konsentrasi dalam waktu perserikatan formal atau sejumlah kecil perusahaan besar dapat membantu menyelesaikan masalah “ pengikut arus “ dan persoalan informasi tadi. Di pihak lain, tidak banyak gunanya apanbila semua pendukung terpusat di suatu distrik pemilihan tertentu. Sebaiknya para anggota kelompok penekan harus tersebar di distrik-distrik pemilihan dalam unit yang cukup besar untuk memperoleh suara yang kuat di setiap distrik. Rumus yang terbaik untuk mencari dukungan barangkali adalah konsentrasi organisasi ditambah dengan penyebaran geografis atau penyebaran pemilih.
DUA BUKTI TENTANG ADANYA PENYIMPANGAN DALAM PERUNDINGAN PERDAGANGAN
Teori mengenai dampak kepentingan kelompok yang mempengaruhi kebijakan perdagangan untuk sebagian didukung oleh pola hambatan perdagangan dan sebagian lainnya oleh peraturabb-peraturan yang dibuat bagi perdagangan multilateral di antara negara
1.
Kenaikan tarif. Cara yang paling cepat untuk melihat penyimpangan perundingan
yang mengunutungkan kepentingan produsen adalah tentang terus berlangsungnya “ gerakan menaik “ di dalam struktur tarif. Seperti kita catat dalam Apendiks D, tarif dan hambatan impor
lain cenderung lebih tinggi atas barang jadi yang dijual kepada konsumen daripada atas barang setengah jadi yang dijual kepada industri, meskipun ada berbagai pengecualian. Kecenderungan ini tampaknya sebagai akibat dari organisasi politik yang kurang memihak kepentingan konsumen yang tersebar. Oleh karena tingginya biaya untuk membentuk perunding yang terorganisir, sebagaimanan biaya yang hanya sebagian dapat diatasi oleh kelompok konsumen yang dipimpin oleh Ralph Nader, konsumen cenderung kalah oleh kaum proteksionis dalam industri barang-barang konsumen lebih banyak. Apabila hal ini menyangkut barang setengah jadi, maka ceritanya akan lain. Para pembeli barang-barang setengah jadi itu adalah perusahaan dan mereka dapat melakukan perundingan dengan bantuan organisasi perdagangan, demikian, perjuangan untuk mengenakan tarif atas barang-barang setengah jadi kurang mendukung proteksi. 2.
Aturan
liberalisasi
perdagangan
internasional.
Negara-negara
yang
menandatangani GATT pada awal pasca perang telah beberapa kali mengadakan pertemuan untuk menentukan tindakan-tindakan lanjutan yang menuju ke arah perdagangan bebas. Dua langkah besar yang ditempuh memerlukan waktu lama. Perundingan Kennedy Round berlangsung dari tahun 1962 sampai tahun 1967 dan menghasilkan penurunan tarif yang cukup besar di semua negara besar yang bukan sosialis. Perundingan Tokyo Round memakan waktu 5 tahun, dari awal perundingan di tahun 1973-1979, berhasil menurunkan tarif maupun langkah-langkah yang berarti ke arah penurunan hambatan-hambatan bukan tarif.
Dalam semua perundingan internasional mengenai hambatan perdagangan terdapat penduan yang terinci mengenai apa yang dimaksud dengan keseimbangan yang adil tentang konsesi-konsesi oleh semua negara yang terlibat. Konsesi adalah setiap persetujuan untuk menurunkan pungutan impor, dan dengan demikian memungkinkan lebih banyak impor. Setiap konsesi yang diberikan oleh negara yang membebaskan impor, pengaruh atas nilai impor yang diperkirakan harus diimbangi dengan perluasan ekspor negara tersebut yang kira-kira seimbang dengan penurunan terif bea masuk di luar negeri.
PENJELASAN POLA PROTEKSI : AMERIKA SERIKAT DAN KANADA
Dengan informasi yang rinci tentang sejauh mana perbedaan proteksi antar berbagai industri, anda dapat mengkajinya dengan teori yang berbeda. Meskipun demikian, teori tersebut dapat dikurangi menjadi hanya tinggal beberapa. Marilah kita lihat 5 teori yang tumpang tindih dan peramalan tentang pengaruh dari masing-masing teori tersebut. 1. Teori “ kerugian Impor “ atau “ Kelemahan komparatif “, menegaskan anggapan umum bahwa proteksi akan lebih besar, pada saat lebih banyak kerugian yang dibebaskan oleh persaingan impor terhadap industri dalam negeri. Besarnya kerugian impor akan memobilisasikan industri dalam negeri penghasil barang yang menyaingi impor ke dlam tindakan bersama agar impor dipersulit. Kerugian impor yang besar juga akan mempertinggi simpati masyarakat bagi para pekerja indusri yang sedang menghadapi kesulitan, terutama apabila industri itu mempekerjakan karyawan yang akan mendapat kesukaran untuk mencari kerja pada sektor baru. Secara umum, teori menyatakan bahwa suatu industri yang tergelincir ke dalam kerugian komparatif dengan prospek yang suram akan berkampanye dengan penuh semangat, dan cenderung, untuk memperoleh proteksi. 2.
Hipotesis yang sangat populer dan sangat kuat adalah kelompok penekan atau penyimpangan persetujuan yang merupakan argumentasi yang telah diperkenalkan di muka. Apa pun yang membuat para produsen dalam negeri dari suatu produk terorganisasikan lebih baik, dan oposisi merekan lebih lemah, maka kan meningkatkan proteksi yang secara politik mampu mereka tanggung.
3. Hipotesa yang merupakan saingan cara kerja demokrasi adalah sesuatu yang disebut model mesin jumlah (menghitung suara). Model ini menentang model kelompok penekan dengan meramalkan bahwa kepentingan mayoritas akan berhasil. Industry mana pun memiliki lebih banyak suara dalam memperoleh proteksi yang lebih banyak. Karena itu, meodel ini meramalkan bahwa semakin banyak pekerja yang ada di suatu industry, semakin bnayak proteksi yang dikenakan terhada perluasan tingkat impor tertentu. Model mesin jumlah juga membahayakan bahwa proteksi secara negative berhubungan dengan konsentrasi geografis dari suatu industry, karena hal itu berarti bahwa beberapa wilayah pemilihan yang relative sedikit akan memperhatikankeinginan industry terhadap suatu proteksi. Hasil empiris memperlihatkan adanya dukungan terhadap argumentasi dasar mesin jumlah, yaitu bahwa semakin banyak pemilih, semakin menggembirakan.
4. Hipotesis tawar-menawar international menyatakan bahwa bagi suatu industry yang terancam lebih baik memiliki pesaing dari luar negeri, dari negara negara yang mempunyai pengaruh politik sedikit saja di ibukota negara pegimpor. Karena negara negara berkebang dari dunia ketiga dalam perundingan di Otawa dan Washington kurang efektif dibanding negara-negara industry besar, proteksi seharusnya dihubungkan secara negative pada pangsa persaingan impor industry yang datang dari negara berkembang. 5. Model status quo merupakan hasil yang sederha mengenai politik ekonomi kelompok penekan. Ada beberapa kesulitan yang harus diatasi oleh setiap kelompok dalam rangka mempengaruhi secara efektif bagian masyarakat lainnya. Kesulitannya untuk mengorganisasikan adalah sedemikian besarnya sehingga kelompok penekan utama yang memperoleh proteksi adalah yang telah memilikinya di masa lalu.
Kesimpulan yang dapat diperoleh merupakan penemuan yang tentative yang mendekati kepastian dari beberapa literature baru tentang mengapa negara-negara industry memproteksi industrinya. Variabel yang sama dapat digunakan sebagai petunjuk pola proteksi dimasa yang akan datang, walaupun tidak selalu tepat. Kecenderungan untuk memproteksi hasil ertanian yang dapat diimpor atau untuk menggunakan pajak bag hasil pertanian dapat dihapus dengan argumentasi kerugian impor. Kecenderungan sector pertanian untuk beralih dari sector yang dikenakan pajak ke sector yang dilindungi, sesuai dengan alur penalaran kelompok penekan. Meskipun demikian, hal jelas berlawanan karena model mesin jumlah dari negara yang demokratis meramalkan bahwa petani seharusnya menikmati kekuatan yang lebih awal ketika mereka masih mempunyai pangsa besar dalam perekonomian dan akan kehilangan kemudian pada saat pangsa mereka menurun. MEMBERIKAN
PENAFSIRAN
BARU
TERHADAP
SEJARAH
HAMBATAN
PERDAGANGAN
Ketergantungan kebijakan perdagangan pada kekuatan organisasi kelompok-kelompok yang berbeda memungkinkan kita dapat menjelaskan beberapa di antara gerakan yang lebih luas dai kebijakan perdangangan. Kita dapat menjelaskan masalah ini dari dasar kekuatan , yaitu bahwa proteksionisme terorganisasikan dengan lebih baik daripada para pedagang bebas.. Dari gambar 13.2 dan 13.3 memberikan gambaran kasar mengenai pasang surut hambatan impor, dengan menggambarkan secara grafis singkat bea masuk rata-rata sejak awal abad ke-19 di
amerika serikat dan inggris, dan sejak konfederasi 1967 dalam kasus kanada. Data ini gagal untuk menemukan kenyataan bahwa bea antar industry berbeda seklai, banyak barang yang masuk bebas bead an banyak barang lainnya yang dikenakan bea yang tinggi sekali. Data ini juga urang mencerminkan pentingnya arti hambatan bukan tarif sejak tahun 1930-an, dan dengan demikian melebihkan kecenderungan perang kea rah perdagangan yang lebih bebas. Angka-angka yang ditunjukkan dalam gambar 13.3 juga melebihkan proteksioneisme Inggris dengan memasukkan bea bea yang meningkatkan penerimaan yang dipungut dari barang barang impor utama yang dalam hal itu tidak ada industry dalam negeri yang dilindungi, terutama the dan tembakau.
Gambar 13.2 rata-rata bea impor, Amerika Serikat, 1792-1978
Gambar 13.3 bea impor rata-rata, Inggris 1796-1979 dan Kanada (1868-1975)
1. Apabila kepentingan ekspor sudah diorganisasikan, maka kebijakannya cenderung mengarah pada perdagangan yang lebih bebas. John Stuart Mill pernah mengatakan bahwa “
suatu maksud jarang menghasilkan, kecuali apabila ada kepentingan seseorang terikat di dalamnya.” Perumusan ini cocok dengan dengan sejarah perdagangan bebas, apabila orang
mengubahnya dan dibaca sebagai kepentingan orang-orang yang “terorganisasikan dengan baik”. Hal yang sama dapat ditegaskan dengan mencatat kecenderungan yang lebih bebas dari
dua kejadian historis dimana para pengekspor relative terorganisasikan dengan baik. Salah satunya adalah Amerika Serikat antara tahun 1830 dan meletusnya Perang Saudara dalam tahun 1861. Pada waktu itu pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sangat tergantung pada perkembangan ekspor kapas dari Selatan, karena ekspor yang semakin meningkat ini diperkuat pula oleh dukungan yang diberikan Kongres kepada para pengekspor kapas. Para pemilik budak diwakili dengan jumlah yang banyak karena mereka tersebar luas ke beberapa negara bagian dan Undang-undang Dasar menetapkan alokasi kursi di dalam Perwakilan Rakyat sesuai dengan jumlah penduduk ditambah dengan tigaperlima jumlah budak sehingga ada tambahan suara dalam Perwakilan Rakyat yang diberikan kepada pemilik budak. Para pemilik budak menggunakan kekuatan Kongres untuk selalu mengupayakan terselenggaranya perdagangan Internasional yang lebih bebas, tetapi karena satu dan lain hal mereka tidak merasakan adanya pertentangan antara perdagangan bebas dan perbudakan. Keinginan kelompok mereka tidak selalu disetujui, seperti dibuktikan dengan kenaikan tarif yang sangat tajam sebelum tahun 1830, Namun para pemilik budak mendapatkan pengurangan tariff, khususnya dalam tahun
1830-an. Untuk sebagian karena alasan inilah maka tingkat bea impor dari tahun 1830-an. Untuk sebagian karena alasan inilah maka tingkat bea impor dari tahun 1830-an sampai tahun 1861 lebih rendah, sebagaimana hal ini tampak dalam gambar 13.2 Perang saudara mematahkan kekuatan organisasi yang membela kepentingan ekspor Amerika Serikat bagian Selatan. Namun, kekalahan dalam Perang Saudara membuat wakil wakil dari Selatan tidak dihargai dalam pandangan orang Utara, yang terbukti dengan dukungan seumlah besar penduduk bagian tengah ke kubu partai Republik yang berarti mereka mendukung para calon yang bersikap proteksionis, sehingga merugikan kepentingan ekonomi orang-orang Selatan, selain banyaknya kesempatan yang dilewatkan orang-orang Utara untuk bersekutu dengan penduduk bagian Selatan dalam melawan kaum industrialis yang yang proteksionis mengenai isyu perdagangan. Berbagai akibatnya antara lain bea-bea impor pada zaman Perang Saudara yang tinggi tetap dipertahankan selama pertengahan abad. Kasus lainnya adalah keberhasilan Inggris dalam hal menjalankan kebijakan perdagangan bebas pada abad ke 19. Ketika itu kaum indsutrialis Inggris sebagai “bengkel dunia” menentang pembatasan perdagangan. Mereka mengamati dengan tepat bahwa sebagian
besar di antara mereka dapat mengekspor dengan lebih menguntungkan apabila mereka bebas dari biaya tinggi sebagai akibat bea impor atas makanan dan barang-barang lain. Bea impor gandum yang tinggi pada waktu berlakunya Corn Laws dan bea impor gula yang tinggi yang berasal dari daerah bukan jajahan dan hasil tanaman tropis lainnya meningkatkan upaya nyata yang harus dibayar para industrialis kepada para pekerja mereka. Bea-bea ini secara langsung meningkatkan biaya hidup kaum industrialis dan menurunkan kemampuan mitra dagang Inggris untuk membeli barang-barang ekspor Inggris. Dengan meningkatnya resiko dalam perdagangan bebas mungkin tidak cukup menghasilkan barang-barang ekspor. Meskipun demikian, kepentingan mereka dilayani oleh dua kekuatan yang saling berkaitan. Pertama adalah semakin mendesaknya himbauan intelektual
agar
laissez-faire atas
segala
macam
larangan
pemerintah
terhadap
perekonomiannya. Kedua adalah organisasi yang tumbuh sebagai akibat meningkatnya kepentingan produsen yang sama dengan tujuan-tujuan politik. 2. Kebijakan yang cenderung diarahkan pada perdagangan bebas di negra-negara yang impornya tidak kompetitif atau yang merupakan bagi industry-industri penting . Apabila
impor yang dilakukan suatu negara hampir tidak menyaingi industry setempat, maka mudah bagi system politik untuk mengembangkan konsensus bahwa impor tersebut merupakan
sesuatu yang setiap orang dapat membelinya semurah mungkin. Proteksionisme akan kurang mendapat dukungan apabila tidak ada yang dilindungi. Demikian pula, suatu barang yang dijadikan bahan utama dalam industry yang jauh lebih besar daripada industry yang menyaingi impor cenderung diimpor tanpa dikenakan bea atau hanya dikenakan bea yang ringan, meskipun ada pengecualian. Suatu bukti mengenai proteksi dengan tarif rendah yang dikenakan atas bahan masukan merupakan struktur tarif yang cenderung meningkat, sebagaimana dikemukakan dalam Apendiks D. Gambran yang lebih jelas mengenai pola ini diperlihatk an oleh reaksi lima negara eropa Barat terhadap gandum murah di Amerika Serikat tahun 1870-an. Hal ini terjadi karena penurunan biaya angkutan kereta api dan kapal laut serta dibukanya areal pertanian baru di daerah padang rumput di Kanada dan bagian Barat Tengah (Midwest) Amerika Serikat, harga gandum di eropa turun lebih cepat di bandingkan dengan harga barang lainnya selama 10 tahun. Melimpahnya gandum di Amerika menyambut Inggris dan Denmark ikut dalam perdagangan bebas, akan tetapi Perancis, Jerman dan Italy berbalik kembali kearah proteksionisme. Kepentingan benua Eropa yang besar terhadap padi-padian memberikan reaksi yang berbeda. Kelompok aristocrat Prusia di kerajaan Jerman menanggapi hal ini dengan membentuk persekutuan proteksionis. Dengan demikian, persaingan impor tampaknya penting dalam menentukan tanggapan suatu negara terhadap gejolak penawaran impor. 3. Keadaan depresi dan persaingan impor yang melonjak secara tiba-tiba cenderung meningkatkan proteksionisme. Pola ini telah berulang kali terjadi. Hal ini terjadi di Amerika
Serikat setelah berakhirnya perang tahun 1812 pada saat terjadinya depresi perdagangan umum barang-barang industry dan timbulnya barang-barang Inggris yang murah, Gambar 13.2 dan 13.3 mengilustrasikan peralihan kearah proteksionisme di Amerika Utara dan Inggris yang kemudian diiikuti oleh hampir semua negara, yaitu ketika harga-harga jatuh pada tahun 1930an. Keterkaitan antara proteksionisme dan kombinasi depresi dengan kenaikan impor dapat dilihat secara sebaliknya pada awal masa setelah perang di Amerika Serikat dan Kanada. Gambar 13.2 dan 13.3 menunjukkan kecenderungan Amerika Serikat dan Kanada kearah bea yang lebih rendah selama tahun 1940-an dan 1950-an, suatu kecenderungan yang merupakan kebalikan dari dipertahankannya bea-bea yang lebih tinggi oleh Inggris, yang mana deficit perdagangannya tetap merupakan persoalan penyesuaian pasca perang yang kronis.
Untuk menjelaskan depresi dan gejolak impor tidaklah sulit apabila penggangguran tinggi dan impor merugikan lapangan kerja dan kelancaran perusahaan, maka reaksi yang alamiah adalah mempertahankan lapangan kerja dan pendapatan di dalam negeri. Hal tersebut terjadi karena apabila pengangguran tinggi dan impor mengancam lapangan kerja mengakibatkan biaya pengalihan akan semakin tinggi. Hal ini tentu tidak berarti bahwa proteksi merupakan cara yang paling cocok untuk mempertahankan lapangan kerja dan pendapatan terancam. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan seperti ini proteksi kelihatannya lebih baik daripada alternative lain yang layak secara politik dan cepat, yaitu tidak melakukan apa-apa. Setiap kebijakan makroekonomi berupaya untk mencapai kesempatan kerja penuh dalam seluruh perekonomian mungkin akan mempunyai efek samping yang menguntungkan, karena mengurangi alasan untuk membebani negara dengan hambatan perdagangan yang tinggi.
Peranan politik dari analisis perdagangan
Perkembangan teori tentang perilaku politik menunjukkan kebijakan perdagangan berbeda dari aturan satu dollar satu suara yaitu alat analisis ekonomi yang lazim mengenai kebijakan
perdagangan.
Kenyataan
ini
cenderung
menciptakan
hambatan-hambatan
perdagangan internasional yang lebih tinggi daripada yang dapat dibenarkan oleh dorongan untuk
memaksimumkan
kesejahteraan
ekonomi
secara
agregat,
bahkan
setelah
mempertimbangkan argumentasi terbaik kedua bagi hambatan perdagangan. Hal ini tidak berarti bahwa analisis ekonomi yang lazim terlalu naif atau tidak relevan. Penggunaan analisis ekonomi tentang kebijakan perdagangann oleh para pakar ekonomi untuk memberikan pengertian pada orang-orang yang memiliki tata nilai yang berbeda, secara diamdiam sambil menunjukkan suatu tata nilai baru. Analisis dasar mengenai kebijakan perdagangan dapat digunakan oleh kelompok manapun yang mempunyai tata nilai tertentu, yaitu tata nilai yang melekat pada kepentingan kelompok produsen dan konsumen yang berbeda. Apabila kita menolak tolok ukur satu dollar satu suara, yang menghasilkan kesimpulan mengenai keuntungan dan kerugian “nasional netto” maka kita masih dapat
menemukan bahwa tolok ukur tersebut masih sangat bermanfaat bagi kelompok yang berbeda, untuk digabungkan dengan pembelaan kita terhadap kepentingan tertentu.
kelompok-kelompok
Sementara itu, kesimpulan mengenai efek kesejahteraan nasional dan dunia secara netto dapat ditafsirkan sebagai suatu cara bagi pakar ekonomi perdagangan untuk menyarankan bahwa tata nilai tersebut merupakan rangkaian yang cocok secara subyektif untuk diterapkan pada pembahasan
mengenai
kebijakan
perdagangan.
Dengan memilih
serangkaian
pertimbangan yang memberikan nilai yang sama bagi setiap dollar yang dipertaruhkan dalam perdagangan, tanpa memandang siapa yang memperoleh manfaat atau kerugian dari dollar tersebut. Analisis ekonomi yang lazim sebenarnya menantang orang-orang yang menolak analisis tersebut karena;
Menunjukkan tata nilai mereka sendiri
Menjelaskan mengapa taruhan dollar beberapa kelompok seharusnya diberi bobot yang lebih berat dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan dibandingkan yang lebih berat dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan dibangdingkan dengan kelompok lainnya, dan
Menjelaskan mengapa keinginan mereka untuk lebih baik dilaksanakan dengan cara lain
Apabuila hal ini tercapai, maka analisis ekonomi mengenai kebijakan perdagangan telah memberikan sumbangan yang besar kepada pengambilan keputusan masyarakat.
Studi Kasus : Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Non Tarif di Pasar Uni Eropa Terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia.
Udang segar atau beku merupakan komoditas ekspor utama dari sektor pertanian dengan rata-rata ekspor tahun 2002 hingga 2006 yaitu US$ 0,86 miliar per tahun dari rata-rata ekspor sektor pertanian sebesar US$ 2,77 miliar per tahun. kecenderungan pertumbuhan ekspor udang segar atau beku sebesar 3,05% yang menunjukkan adanya peningkatan ekspor dan memberikan kontribusi sebesar 1,48% dalam ekspor non migas. Rendahnya nilai tersebut bukan berarti komoditas udang tidak berpeluang ekspor tinggi akan tetapi menunjukkan fakta perlunya pengembangan ekspor komoditas udang. Peningkatan konsumsi produk perikanan didukung dengan adanya perubahan pola makan dari red meat kepada white meat pada masyarakat dunia, yang berarti membuka peluang terhadap peningkatan ekspor komoditas perikanan. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama hasil perikanan Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (UE).
Berdasarkan Gambar 1 dan 2 di atas dapat dilihat bahwa selain Jepang dan Amerika Serikat, Uni Eropa juga merupakan pasar potensial bagi ekspor komoditas udang sebagai salah satu komoditas utama ekspor hasil perikanan. Peningkatan ekspor udang ke UE selama kurun waktu lima tahun yaitu pada tahun 2002 sebesar 16.140 ton menjadi 31.016 ton pada tahun 2006. Selain itu, dapat dilihat pula pada garis trend ekspor udang ke tiga negara tujuan, adanya kecenderungan ekspor udang meningkat ke Amerika Serikat dan Uni Eropa, sedangkan Jepang mengalami penurunan volume impor udang dari Indonesia. Uni Eropa yang merupakan pasar potensial bagi ekspor hasil perikanan Indonesia memilki kebijakan atau peraturan dengan standar tersendiri yang cukup tinggi, baik dalam hal tarif maupun jaminan kualitas dan keamanan produk pangan, termasuk di dalamnya produk perikanan.
Uni Eropa merupakan pasar alternatif dalam meningkatkan ekspor hasil perikanan Indonesia, setelah Jepang dan Amerika Serikat sebagai pasar potensial. Potensi pasar terus berkembang seiring dengan bertambahnya negara anggota Uni Eropa dari 6 negara pada tahun 1950 menjadi 27 negara pada tahun 2007. Masingmasing negara anggota berpotensi menjadi negara tujuan ekspor. Kegiatan perda gangan internasional di era globalisasi ini dihadapkan pada adanya hambatan tarif dan non tarif yang membuat kesulitan bagi negara eksportir, terutama negara berkembang untuk memasukkan produk dagangannya ke negara importir yang notabene merupakan negara maju dengan persyaratan yang begitu ketat. Dikemukakan oleh Nugroho (2007) dalam kaitannya dengan preferensi pasar global, ada masalah dalam pasar global dalam memenuhi standar internasional, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS), technical barrier to trade (TBT), serta tarif dan harga. Hal inilah yang dialami Indonesia dalam memenuhi permintaan impor komoditas udang oleh pasar Uni Eropa sebagai negara tujuan ekspor. Oleh sebab itu, para eksportir, dalam hal ini pengusaha perikanan Indonesia berkewajiban mempelajari dengan seksama setiap kendala atau hambatan-hambatan yang diadakan oleh Uni Eropa untuk setiap komoditas yang diimpor negara tersebut. Tarif yang dikenakan oleh pihak importir merupakan salah satu aspek yang turut mempengaruhi proses jual beli antar negara. Secara umum, tarif yang diberlakukan oleh tiap-tiap negara adalah berdasarkan persetujuan Most Favoured Nation (MFN) sebesar 12% pada berbagai komoditas.
Kemudian dengan diberlakukannya skema Generalized System Preferences (GSP) di Uni Eropa semakin menguntungkan negara penerima GSP, salah satunya Indonesia sebagai pengsuplai produk perikanan yang dikenakan tarif bea masuk untuk komoditas udang sebesar 4-7 % pada tahun 2006. Bea masuk yang diberlakukan tentunya mempengaruhi harga dari komoditas udang di pasar Uni Eropa. Isu hambatan non tarif yang pernah terjadi yaitu ketika Komisi Eropa mengeluarkan peraturan (directive) baru yang mewajibkan kepada semua negara pengekspor ikan budidaya ke Uni Eropa untuk menyampaikan program pengendalian dan monitoring residu hormon dan antibiotik, hal ini tentunya menghambat ekspor udang tambak ke Uni Eropa (Dahuri, 2002). Uni Eropa memperketat masuknya udang asal Indonesia pada tahun 2004 dikarenakan sebagian udang Indonesia dicurigai mengandung bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Persoalan ini, menurut Sumpeno (Dirjen Pemasaran dan Peningkatan Kelembagaan Perikanan, DKP) dalam wawancaranya dengan redaksi Tempo (2004), bermula pada saat laboratorium penguji UE menemukan bakteri tertentu pada udang kedua eksportir asal Jawa Timur. Menurut Sumpeno, pada dasarnya semua produk ekspor Indonesia sudah melewati laboratorium penguji di dalam negeri. Namun kemungkinan udang tersebut dapat lolos karena jenis bakterinya selama ini belum pernah dikenali laboratorium penguji Tanah Air. Kemudian, pada tahun 2005 European Anti-Fraud Office (OLAF) telah melakukan kunjungan ke Indonesia dalam rangka verifikasi adanya penyalahgunaan Sertifikat Keterangan Asal (SKA) Form A dari Indonesia untuk produk udang diimpor dari China dan direekspor ke UE. Produk tersebut memanfaatkan fasilitas GSP yang diberikan kepada produk impor dari Indonesia. Produk udang China dilarang diimpor ke UE. Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh OLAF bekerjasama dengan Departemen Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Ditjen Bea dan Cukai pada bulan Juni-Juli 2005 dalam kegiatan monitoring bersama ditemukan bahwa beberapa perusahaan udang Indonesia melakukan reekspor terhadap produk udang yang diimpor dari China ke UE (Departemen Perindustrian, 2005). Ketika hambatan tarif sudah mulai berkurang, pemerintah Indonesia dan pengusaha perikanan berjuang menjawab tantangan dari Uni Eropa (UE) terkait dengan standar mutu dan keamanan hasil perikanan. Sebagai contoh, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan sebagai Competent Authority Indonesia mengeluarkan peraturan yang ekuivalen dengan peraturan UE, diantaranya Kepmen Perikanan KEP21/MEN/2004 tentang sistem kontrol kualitas produk perikanan yang ditujukan untuk pasar Uni Eropa serta berbagai kebijakan
lainnya.
Diharapkan
ekuivalen
kebijakan
ini
mampu
membawa
Indonesia
mengembangkan ekspor hasil perikanannya ke Uni Eropa.
Dalam dunia perdagangan internasional, Indonesia dihadapkan pada isu hambatan tarif maupun non tarif yang diberlakukan oleh pasar Uni Eropa. Kebijakan perdagangan Uni Eropa yang dapat menjadi hambatan tarif berupa kebijakan tarif bea masuk dan adanya perlakuan yang berbeda bagi negara importir (diskriminasi tarif). Hambatan non tarif yang dianggap cukup mempengaruhi kinerja perdagangan internasional terkait dengan Technical Barrier to Trade (TBT) agreement yang meliputi tiga area kebijakan yaitu regulasi teknis yang bersifat wajib (mandatory technical regulation), standar yang bersifat voluntir (voluntary standards), dan kajian keselarasan (conformance assesment) kemudian Sanitary and Phytosanitary (SPS) agreement yang menguraikan disiplin dan batas-batas tindakan yang perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, binatang, dan tumbuhan dari wabah penyakit, dan kontaminan dari negara asing (Nugroho, 2007). TBT dan SPS agreement ini berlaku untuk produk pangan, yang di dalamnya termasuk kategorial komoditas dan produk perikanan (udang). Untuk itulah perlu dideskripsikan kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang berpotensi menjadi restriksi perdagangan bagi ekspor Indonesia, khususnya untuk ekspor komoditas perikanan (udang). Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa tentunya ditindaklanjuti oleh Indonesia yaitu berupa respon kebijakan atau
peraturan
perdagangan
agar
tetap
mampu
mempertahankan
bahkan
mengembangkan pasar udang di Uni Eropa. Performa ekspor Indonesia sebelum dan setelah kebijakan dapat dilihat dari seberapa besar pengaruh kebijakan hambatan perdagangan Uni Eropa terhadap ekspor komoditas udang Indonesia dengan menggunakan analisis regresi berganda. Data time series yang telah terkumpul dapat pula meramalkan volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa beberapa tahun mendatang. Peubah-peubah lain yang mempengaruhi performa ekspor udang Indonesia di Uni Eropa dikelompokkan sebagai cateris paribus. Karena konsep cateris paribus ini, kerangka pendekatan studi ini dikatakan bersifat parsial (Silalahi, 1994). Selain itu, analisis kebijakan perdagangan juga menggunakan pendekatan keseimbangan parsial. Artinya, analisis menitikberatkan pada dampak kebijakan yang ditetapkan pada suatu wilayah pasar tertentu, tanpa secara eksplisit memperhitungkan konsekuensikonsekuensi terhadap pasar lainnya. Krugman dan Obstfeld (1991) diacu Silalahi (1994) menyatakan bahwa pendekatan keseimbangan parsial ini cukup memadai dan
lebih sederhana dibandingkan dengan pendekatan keseimbangan yang utuh. Karena dalam banyak kasus, kebijakan-kebijakan untuk satu sektor dapat dipahami dengan baik tanpa memerinci dampak kebijakan tersebut kepada bagian-bagian lain dari perekonomian. Perkembangan Ekspor Komoditas Udang ke Uni Eropa Salah satu pasar potensial ekspor udang Indonesia adalah Uni Eropa. Pada Tabel 9 diperlihatkan kontribusi ekspor udang Indonesia bagi impor udang Uni Eropa. Volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa sebesar 7.324 ton pada tahun 1992 meningkat menjadi 31.016 ton pada tahun 2006.
Kesimpulan
Tarif Uni Eropa yang cukup tinggi berkisar diantara 0-21% diantara negara-negara potensial lainnya mengalami perubahan terutama bagi negara berkembang dengan diterapkannya skema GSP yang diberlakukan juga bagi negara Indonesia untuk komoditas perikanan, diantaranya adalah udang yang mendapatkan tarif 4%-7%. Kebijakan non tarif yang dirasakan mulai memberatkan pemerintah dan pengusaha perikanan yaitu terkait standar mutu dan pangan dengan dikeluarkannya EC No 178/2002, EC No 852/2004, EC No 853/2004, EC No 854/2004, EC No 882/2004, serta EC No 2073/2005 dengan basis perlindungan konsumen tingkat tinggi. Pemerintah Indonesia berusaha mengekuivalenkan peraturan yang berlaku di Uni Eropa dengan membuat peraturan yang setara agar diterapkan oleh pemerintah
maupun stake holder yang terkait. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI PER 01/MEN/2007, Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan RI PER 01/MEN/2007, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan PER 03A/DJ-P2HP/2007, dan peraturan-peraturan lainnya. Dari hasil analisis regresi didapatkan model dugaan yang paling baik yaitu model linier dengan persamaan Qt = 28.460,3 + 4.469,21Dt – 5.002,7Tt + 0,62298Qt-2. Hal ini menunjukkan bahwa tarif bea masuk yang
dilakukan oleh Uni Eropa berpengaruh negatif terhadap volume ekspor udang Indonesia dengan taraf kepercayaan 60% dan kebijakan non tarif yang terkait dengan standar mutu dan pangan berpengaruh positif dengan taraf kepercayaan 75%. Metode peramalan yang paling tepat digunakan untuk meramalkan volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa yaitu metode trend kuadratik dengan persamaan Ft = 4.981 + 349,34t + 93,81t2 . Berdasarkan hasil peramalan, volume ekspor komoditas udang Indonesia ke Uni Eropa terus mengalami peningkatan.