BAB I PENDAHULUAN
Salah satu problema laten pencapaian amanat UUD 1945 adalah pembangunan hukum nasional, karena tidak adanya perencanaan hukum yang yang memada memadaii dan dan rentan rentan terha terhadap dap peng pengaru aruh h inter interven vensi si piha pihak k luar luar dengan dengan alasan alasan globalisa globalisasi. si. Menurut Menurut
Qodri Qodri Azizy, Azizy, tidak adanya adanya hukum
nasiona nasionall merupa merupakan kan salah salah satu problem problematik atika a pembang pembanguna unan n hukum hukum di Indonesia, dan pada hakekatnya problematika itu telah mulai ada sejak awal awal-a -awa wall
keme kemerd rdek ekaa aan n
Repu Republ blik ik
Indo Indone nesi sia. a. 1
Setela Setelah h
Prok Proklam lamasi asi
Kemerdekan pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memasuki suas suasan ana a peru peruba baha han n sosi sosial al dan dan poli politi tik k yang yang sang sangat at besa besar. r. Seba Sebaga gaii pela pelaks ksan anaa aan n
makn akna
prok prokla lama masi si
kem kemerde erdeka kaan an 2
itu, itu,
peme pemeri rint ntah ah
mengemban tanggung jawab yang berat untuk membangunan tatanan Indonesi Indonesia a merdeka. merdeka.3 Lazim Lazimny nya a pada pada setiap setiap perub perubah ahan an yang yang terleb terlebih ih 1
A. Qodri Azizy, 2004, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta, Penerbit Renaisan, Renaisan, hlm. 20-21. 2
Kata proklamasi berasal dari kata Yunani, proclamatio, proclamatio, yang berarti pengumuman kepada seluruh rakyat, terutama hal-hal yang berhubungan dengan ketatanegaraan. Lihat dalam S. Toto Pandoyo, 1992, Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Jogjakarta, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 27. Menurut Muhammad Yamin, suatu proklamasi kemerdekaan merupakan source of source atau dasar dari segala dasar ketertiban baru atau atau merupaka merupakan n sumber sumber dari dari segela segela sumber sumber sesuatu, sesuatu, terutama tatanan hukum. Sesaat Sesaat setelah setelah muncul suatu negara negara baru terdapat terdapat pula suatu suatu tatanan tatanan hukum baru baru yang pada prins prinsipn ipnya ya terle terlepas pas dari dari tatana tatanan n hukum hukum yang yang ada pada pada waktu waktu itu dan tatana tatanan n hukum hukum sebelumnya. Periksa lebih lanjut dalam Muhammad Yamin, 1983, Proklamasi Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan V, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm. 24-25. 3
Orisinal Orisinalitas itas makna makna kemerdek kemerdekaan aan dapat dapat dilacak dilacak menurut menurut pendapa pendapatt para para the founding founding fathers. fathers. Menurut Menurut Soekarno Soekarno,, kemerdek kemerdekaan aan adalah adalah politieke onafthankelijkheid, onafthankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan ialah satu jembatan, satu jembatan emas...., di seberan seberangnya gnya jembatan jembatan itulah itulah kita akan menyempu menyempurnak rnakan an kita punya punya masyara masyarakat.” kat.” Periksa: Soekarno, “Mencapai Indonesia Merdeka”, dalam Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamid Hamidii (Edito (Editor), r), 2004, 2004, Memerd Memerdeka ekakak kakan an Indone Indonesia sia Kemba Kembali li (Perj (Perjala alana nan n Bangsa Bangsa dari dari Soekarno ke Megawati), Jogjakarta, Jogjakarta, Penerbit IRCiSoD, hlm. xvi. Menurut Muhammad Yamin, Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu alat hukum internasional untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia, bahwa bangsa Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan, dan kebahagiaan masyarakat. Lihat dalam Muhammad Yamin, tanpa tahun, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, tanpa penerbit, hlm. 19 dan 23. Sedang Sedangkan kan Mohamm Mohammad ad Hatta Hatta memakn memaknai ai kemerd kemerdeka ekaan an itu lebih lebih bersif bersifat at ekonom ekonomisispragmatis, yaitu kemerdekaan bangsa itu merupakan syarat untuk mencapai kemakmuran
dahulu akan terkena implikasi adalah hukum, baik pada aspek positif maupun lembaga hukum, karena fungsi hukum memberi bentuk terhadap setiap perubahan yang terjadi. 4 Namun proses penyesuaian hukum di masa transisi dari era kolonial menuju Indonesia merdeka tidak dapat berlangsung sesuai dengan kelaziman. Lamanya masa penjajahan Belanda 5 tampaknya tidak hanya berdampak pada persoalan sosial, ekonomi, dan politik bagi kepulauan
Nusantara,
tetapi
juga
telah
memapankan
warisan
kebudayaan 6 Barat dalam kehidupan masyarakat pribumi. Meskipun rakyat. Karena kesejahteraan dan kemakmuran rakyat itu adalah cita-cita dan tujuan perjuangan revolusi selama ini. Periksa: Mohammad Hatta, 1982, Kumpulan Karangan (Jilid IV), Jakarta, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, hlm. 245 dan 251. 4
Hal ini selaras dengan pandangan Ratna Lukito yang menyatakan bahwa hukum mencerminkan sejarah pembentukan suatu bangsa, karena dari sistem hukum kita bisa menangkap suasana intelektual, sosial, ekonomi, dan politik sebuah masyarakat pada masa yang berbeda-beda serta gagasan dan ideologi tertentu yang menjadi bagian dari tradisi tertentu. Lihat dalam Ratna Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Cetakan I, Jakarta, Penerbit Pustaka Alfabhet, hlm. 1. Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama (welfare rechtsstaat ). Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Di samping itu, hukum juga merupakan suatu mekanisme pengendalian sosial agar segala sesuatunya berjalan tertib. Lihat dalam Soerjono Soekanto, 2004, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Raja Grafindo Persada, hlm. 69. 5
Setelah bersatu dan membentuk negara federasi di daratan Eropa di bawah Protestanisme, Belanda mulai mengembangkan ambisi koloninya dan mula membuat sengketa dengan Spanyol, Portugis, dan Inggris di luar negeri. Di bawah komando Cornelis de Houtman mendaratlah sebuah armada Belanda (1596) di Banten yang terdiri dari para pedagang. Untuk mencegah persaingan yang ketat antarmereka sendiri, mereka sepakat membentuk Vareenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang bersifat sebagai suatu perseroan. Pada tataran yang abstrak, ekspansi ini merupakan akibat dari sistem merkantil di satu pihak dan tumbuhnya ide negara Bangsa ( Nationalstaat ) dari abad ke-15 hingga ke19. Lebih lanjut, negara bangsa memerlukan suatu negara yang mandiri dan mensyaratkan terutama basis ekonomi yang mantap lewat ekspansi dan eksploitasi di luar negeri. Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat Onghokham, “Kata Pengantar”, dalam Gesick (Editor), 1989, Pusat, Simbol, dan Hirarki Kekuasaan, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm. xiv. 6
Kebudayaan antara lain bermakna sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Lihat dalam Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 5. Pada sisi lain, kebudayaan berfungsi sebagai paradigma, karena menentukan bentuk dan sudut penglihatan seseorang, dan sekaligus mempengaruhi arah dan jenis pilihan yang diambilnya, berdasarkan preferensi nilai yang dianut dalam kebudayaan yang bersangkutan. Lihat dalam Ignas Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, Penerbit
menanamkan warisan kebudayaan Barat itu boleh jadi bukan agenda utama rezim kolonial7, tetapi sistem pemerintahan8, peradilan9, dan perumusan kebijakan kolonial telah mewariskan nilai-nilai yang diimpor dari Barat dan membuatnya berbeda dari nilai-nilai dan sikap hidup pribumi yang telah lama ditanamkan dalam masyarakat yang terjajah. Salah satu hasil pewarisan budaya kolonial itu adalah pengalihan doktrin
LP3ES, hlm. 185. Dalam hal ini, menarik disimak argumen Subekti bahwa hukum merupakan sebagian dari kebudayaan suatu bangsa. Sudah menjadi kenyataan bahwa setiap bangsa mempunyai kebudayaannya sendiri dan juga mempunyai hukumnya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan dan hukum bangsa lain. Periksa: Subekti, 1987, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 5. 7
Ketika pada akhir abad ke-16 Belanda sampai di Nusantara, negeri itu sendiri tengah melakukan revolusi menetang Spanyol yang kejam dan merebut kemerdekaan. Pada awalnya provinsi bagian utara saja yang mendapatkan kemerdekaan penuh, sementara bagian selatan di bawah penjajahan Spanyol dan kemudian jatuh ke Austria selama lebih dari seabad (sejak 1648 seluruh provinsi tidak lagi diperintah oleh Spanyol). Dalam latar belakang tersebut, terutama sekali dalam fase pertama penjajahannya di Indonesia, Belanda tidak meletakkan penyeraban kebudayaan, termasuk tradisi hukum sebagai misi utama dalam kedatangannya tersebut. Periksa: Ratna Lukito, 2008, Tradisi Hukum Indonesia, Jogjakarta, Penerbit Teras, hlm. 194-195. 8
Sistem pemerintahan pertama kali diatur menurut Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie 1854, semacam konstitusi Hindia Belanda. Sistem pemerintahan dapat digambarkan bercorak sentralistik dan otokratik di mana kekuasaan puncak di Gubernur Jenderal, yang didampingi sebuah lembaga konsultatif bernama Raad van Indie. Secara umum hierarkie pemerintahan adalah Gewest, Afdeeling, Onder Afdeeling, serta Regenstchap, District, Subdistrict, dan terakhir Desa, dengan pejabatnya masing-masing Resident, Assisten Resident, Controleur, Regent (Bupati), Wedono (Demang, Punggawa), Asisten Wedono, dan Lurah. Lihat dalam Samodera Wibawa, op.cit., hlm. 45-47. Di luar Pulau Jawa, Regent (Bupati) seringkali berasal dari seorang raja kecil yang pada awalnya berdaulat penuh tetapi kemudian mengingatkan diri di bawah kedaulatan Hindia Belanda. Lihat dalam Ide Anak Agung Gde Agung, 1993, Kenangan Masa Lampau, Zaman Kolonial Hindia Belanda, dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm. 3, 4, 71, dan 133. Ada pula bagian wilayah Hindia Belanda yang bersifat kerajaan dan karena itu dibiarkan untuk mengurus dirinya sendiri, yang dikenal sebagai daerah swapraja atau selfbestuurande landschappen yang menjadi bagian struktur pemerintahan menurut suatu perjanjian seperti di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta. Lihat dalam Soehino, 1985, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 6. Periksa juga mengenai daerah swapraja antara lain dalam: Suyamto, 1988, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, Penerbit Bina Aksara, hlm. 15; The Lian Gie, 1992, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Jilid 1, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 39; Hanif Nurcholish, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan Daerah, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara, hlm. 56; Ni;matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Jogjakarta: Penerbit UII Press, hlm. 286; dan Suryo Sakti Hadiwijaya, 2009, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta: Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan, Jogjakarta: Penerbit Pinus Book Publisher.
modernisme 10 ke dalam logika pembentukan negara. 11 Kebijakan kolonial dibalik itu telah meletakkan dasar-dasar bagi diterimanya hukum modern sebagai landasan pembangunan hukum. 12 Demikianlah, dengan lahirnya negara bangsa pasca Proklamasi Kemerdekaan, modernisme menjadi panduan bagi bangsa Indonesia. Dengan bantuan seluruh aparatnya, pembangunan negara Indonesia harus mampu mewujudkan cita-cita 9
Organisasi peradilan masa Hindia Belanda bercorak majemuk sebagai akibat divisiasi penduduk ke dalam golongan Indonesia (asli), Eropa, Cina, dan “timur asing” yang masing-masing terutama tunduk pada hkum Erop, hukum Indonesia, atau gabungan kedua hukum itu ditambah ketentuan-ketentuan khusus. Untuk menerapkan hukum itu, ada 2 (dua) hierarki pengadilan: untuk orang yang tunduk kepada hukum Eropa 3 jenis pengadilan yang dipimpin oleh Hoggerechtschof (Mahkamah Agung), untuk orang tunduk kepada hukum Indonesia 3 jenis pengadilan lainnya, yang tertinggi adalah landraad, meskipun putusan pengadilan ini dapat dimintakan banding kepada pengadilan banding golongan Eropa, raad van justitie. Kemajemukan juga ada pada badan penuntut. Di sisi Eropa terdapat penuntut di bawah pimpinan Procureur Generaal (Jaksa Agung) dan tenaga pelaksananya adalah para penuntut (offivieren van justitie) yang sarjana hukum. Sementara itu, jaksa dalam pengadilan Indonesia adalah bagian dari pamong praja yang berperan dalam pengusutan tetapi penuntutan ada pada asisten residen. Lebih lanjut soal ini lihat Daniel S. Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta, Penerbit LP3ES, hlm. 34-35. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan S. 1941-44, diundangkan Herzeine Indlans Reglement (H.I.R.), sebagai hukum acara pidana, yang kemudian membentuk openbaar ministerie atau penuntut umum terpisah dari pamongpraja dan berada di bawah Officier van Justitie dan Procureur Generaal. Menurut R. Subekti, pembentukan badan penuntut umum yang mandiri ini merupakan hadiah dari pemerintah Belanda untuk orang bumiputera berhubungan dengan kegoncangan (Perang Dunia II yang baru pecah) di negara Belanda. Lebih lanjut uraian soal ini, periksa: R. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Penerbit Binacipta, hlm. 4. Namun seperti dikatakan oleh R. Soepomo, “walaupun dikatakan telah dibentuk badan penunut umum yang berdiri sendiri, namun dalam praktiknya di Jawa dan Madura, hanya di kota-kota besar seperti Jakarta (Batavia), Semarang, dan Surabaya ada penuntut umum yang sarjana hukum, di luar itu para penuntut masih merupakan jabatan rangkap dengan pamongpraja.” Periksa: R. Soepomo, 1991, Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang dunia II, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, hlm. 168. Lihat juga mengenai hal ini dalam Wirjono Prodjodikoro, 1986, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta, Penerbit Sumur Bandung, hlm. 12. 10
Modernisme merupakan suatu paradigma yang lahir dari terbentuknya kesadaran baru di Eropa pada abad ke-17 yang terutama didasarkan kepada analisis Isaac Newton (1642) dan Rene Descartes (1596-1650). Analisis itu sendiri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (i) subyektivisme-antroposentrik, yang merefleksikan modus khas kesadaran bahwa manusia merupakan pusat dunia. (ii) dualisme, yang merepresentasikan adanya pembagian realitas menjadi subyek dan obyek, manusia dan alam, dengan menempatkan superioritas subyek dan obyek; (iii) mekanistik-determantistik, yang mengasumsikan bahwa jagat raya merupakan mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan statis; (iv) redusiosnik-atomistik, yang memandang alam semesta sebagai mesin yang mata tanpa simbolik dan kualitatif tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis; dan (iv) instrumentalisme, artinya kebenaran suatu pengetahuan atau sains diukur dari sejauh mana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan material dan praktis. Pencirian ini disarikan dari sejumlah kepustkaan antara lain: Sudarminta, 1991, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistemik
modernitas dalam semua aspek kehidupan bangsa, termasuk aspek hukumnya. 13 Seperti kata Peter Fitzpatrick, dalam konteks ini diterima argumen “law as a main factor for regulating and coordinating all of complex system toward modern society .”14 Konsep hukum semacam itu
menganggap hukum sebagai
hierarki penataan proporsisi normatif yang otonom, seragam, dan eksklusif; suatu watak positivisme hukum15 warisan pendidikan tinggi Filsafat Alfred North Whitebead, Jakarta, Penerbit Pustaka Filsafat Kanisius, hlm. 29; Husain Haryanto, 2003, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitebead, Jakarta, Penerbit Teraju, hlm. 44; F. Budi Hardiman, 2004, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzche , Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 39; K.T. Gallagher, 1994, Epistimologi-Filsafat Pengetahuan, Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 16; dan Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Jogjakarta, Penerbit Pustaka Pelajar, hlm. 745. 11
Tradisi ini berakar dari sejarah keberlakuan tradisi hukum di Barat yang mengarah kepada sekularisasi hukum, rasionalisasi, antifedoalisme, pemisahan berbagai lembaga pemerintahan, serta statisme dan nasionalisme, yang kebanyakan mencapai titik kulminasinya pada abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat: John Henry Merryman, 1985, The Civil Law Tradition, California, Standford University Press, hlm. 14-18. 12
Kebijakan itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan de bewuste rechtspolitiek . Kebijakan untuk membina tata hukum kolonial secara sadar ini berefek di satu pihak mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak akan ikut mengupayakan diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh lapisan penduduk yang bermukim dan/atau berusaha di daerah jajahan. Kebijakan yang disebut de bewuste rechtspolitiek tersebut khususnya yang bertalian dengan langkah-langkah tindakan yang diambil para politisi eksponennya di bidang perundang-undangan, pemerintahan, dan pengadilan. Lihat, Daniel S. Lev, op.cit., hlm. 440. 13
Seperti diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwuwono IX, bahwa kemerdekaan itu tidak cukup hanya diucapkan dengan kata-kata melainkan harus diwujudkan dengan perbuatan. Perbuatan-perbuatan itu untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya ingin dan mau, tetapi juga dapat dan tahan memiliki kemerdekaan. Lihat dalam Mohamad Roem, 1982, Tahta Untuk Rakyat (Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX), Jakarta, Penerbit Gramedia, hlm. 66. 14
Peter Fitzpatrick, 1992, The Mythology of Modern Law, London & New York, Routledge, hlm. 111. 15
Menurut E. Soemaryono, positivisme hukum mempunyai pengertian sebagai: (i) aliran pemikiran dalam teori hukum yang membahas konsep-konsep hukum secara ekslusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan sedang berlaku saat ini; dan (ii) sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk normanorma yang dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen di dalam sebuah negara. Periksa lebih lanjut dalam E. Soemaryono, 2002, Etika Hukum: Relevansi Teori
kolonial yang nampaknya berlanjut dalam era-era berikutnya. 16 Dengan menjadikan negara sebagai raison d’etre hukum, maka ada hubungan yang essensial antara hukum dengan negara sehingga mencirikan watak sentralisme hukum. 17 Akibatnya, sesuai dengan doktrin hukum modern, daerah teritorial sebuah nation-state dijadikan sebagai salah satu bahan
Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 183. Sebagai suatu aliran hukum, positivisme mencoba memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Lihat dalam Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 113, 16
Pada masa penjajahan, sebuah sekolah tinggi hukum (dinamakan Rechtshogeschool) didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda (1924) dengan tujuan yang amat sadar untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas sebagai rechtsambtenaren yang cakap, yang dengan demikian dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah sebagai hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri. Di sekolah tinggi ini matakuliah-matakuliah diberikan dengan tujuan utama agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai hukum perundang-undangan -- yang harus dipahami menurut tradisi reine Rechtslehre Kelsenian, yang memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang tertutup, yang dalam penggunaannya harus dipandang tak ada hubungannya yang logis dengan kenyataan-kenyataan empirik yang dialami orang di lapangan. Nyata bahwa program pendidikan hukum pada masa itu, di Rechtshogeschool itu, amat menonjolkan pula kemahiran berlogika deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis. Tradisi mempelajari hukum dari perspektif doktrin kaum positivis ini ternyata tidaklah berhenti dengan ditutupnya Rechtshogeschool yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena pecahnya perang di kawasan Pasifik pada tahun 1941. Tradisi itu telah diteruskan ketika sekolah tinggi hukum itu dibuka kembali oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1947 di Jakarta, sekalipun kini sudah berstatus sebagai sebuah fakultas di dalam organisasi sebuah universitas yang pada waktu itu dinamakan Nood Universiteit van Indonesie. Sementara itu, di Jogjakarta, pada waktu yang hampir bersamaan, diprakarsai oleh Pemerintah Republik Indonesia, sejumlah yuris Indonesia -- kebanyakan dari mereka adalah rechtsambtenaren yang pada waktu yang lalu bekerja di badan-badan pemerintahan dan badan-badan pengadilan kolonial -- mencoba mendirikan sebuah sekolah tinggi hukum, yang beberapa tahun kemudian menjelma menjadi sebuah fakultas, dinaungkan di bawah atap sebuah universitas negeri yang kini terkenal dengan nama Universitas Gajah Mada. Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, periksa: Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalah, Jakarta, Penerbit ELSAM dan HuMa, hlm. 323 dst. 17
Yaitu sebuah gambaran dimana alat-alat perlengkapan negara (dan ajaranajaran mereka) menempati titik sentral dari kehidupan hukum dan memiliki kedudukan pengawasan yang hierarkis terhadap penata norma lain yang lebih rendah kedudukannya, seperti misalnya keluarga, korporasi, jaringan bisnis. Kebiasaan bahwa semua fenomena hukum senantiasa dikaitkan dengan negara oleh Griffiths dianggap “sebenarnya tidak mutlak” ...secara empiris tidak beralasan bahwa negara mempunyai tuntutan yang lebih dari bagian-bagian lain dari sistem untuk menjadi pusat dari seluruh fenomena hukum. Lihat, Marc Galanter, “Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat serta Hukum Rakyat:” dalam T.O. Ihromi (Editor), 1993, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Penerbit Yayasan
rujukan bagi hukum. 18 Yang bisa disebut hukum hanyalah negara, akibatnya hukum negara harus menguasai satuan apapun, kelompok etnis atau wilayah geografis, karena gagasan yang menyatu dengan konsep modernitas adalah sentralisasi hukum. Dalam tertib berpikir demikian, lembaga-lembaga negara menduduki posisi sentral dalam kehidupan hukum dan berada dalam hubungan kontrol hierarkis dengan tataran normatif lainnya. 19 Pembuatan dan penerapan hukum, dengan demikian, menjadi tanggung jawab negara dan bekerja atas nama kekuasaan negara yang terpusat. 20 Dengan kata lain, tidak ada saingan bagi kedaulatan negara atas hukum. Arah pembangunan hukum semacam itu terimplementasikan secara sistematis, ketika terjadi transfer atau penyerahan kekuasaan kenegaraan dari tangan Presiden Soekarno ke tangan Presiden Soeharto pada tahun 1967. Transfer kekuasaan itu menengarai berakhirnya pemerintahan lama yang sangat terobsesi revolusi, dan di
lain pihak
menengarai bermulanya suatu pemerintahan baru yang lebih bersetuju untuk mengikrarkan pembangunan ekonomi melalui cara-cara yang lebih
Obor Indonesia, hlm. 94-138. 18
Analisis ini mirip situasi pada era keberlakuan Corpus Juris Civilis (Kode Justisian) yang terjadi tahun 529 dan 565 M di bawah kekuasaan imperium Romawi. Lihat lebih lanjut dalam Alan Watson, 1991, The Law Making of the Civil Law, Cambrigde dan London, Harvard University Press, hlm. 122. 19
Kelompok kelembagaan normatif ini diidentifikasikan sebagai sistem hukum nasional, yang terdiri dari lembaga-lembaga yang berkaitan dengan negara. Faham ini mengajukan suatu gugusan ajaran normatif, dan ajaran tersebut diakui sebagai norma yang mencakup dan menguasai semua lembaga lainnya yang ada dalam masyarakat dan menundukkan semuanya kepada seperangkat aturan yang bersifat umum. Lihat dalam Bernard L. Tanya, 2006, Hukum dalam Ruang Sosial, Surabaya, Penerbit C.V. Srikandi, hlm. 19. 20
Dalam studi antropologis, posisi demikian mengandalkan hukum sebagai alat perubahan sosial, suatu politik yang pengandaian hubungan-hubungan sosial sangat rentan terhadap kontrol hukum sebagai sistem yang terkendali. Lihat dalam Sally Falk-Moore, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi Otonom sebagai Suatu Topik Studi yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi, 1993, Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm. 148-149.
damai dan berketenteraman dengan menempatkan Pancasila 21 sebagai ideologi 22 utama.23
Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto
(1966-1998) adalah rezim pertama di era nasional yang mencoba memusatkan institusi negara
dan aparat pemerintahan secara efektif
karena telah disatukan berdasarkan satu ideologi negara nasional yang terpusat dan berasal dari cetak biru konstitusional tanah air. 24 Orde Baru juga melakukan sistematisasi mengenai teori hukum nasional. Sebagai refleksi dari positivisme negara, hukum nasional dianggap sebagai “ekspresi rasa keadilan terbaik dari seluruh bangsa,” 25, 21
Kata Pancasila, menurut Muhammad Yamin berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lima batu karang atau lima prinsip moral. Perkataan Pancasila terdapat dalam buku Negara Kertagama karya Empu Prapanca, seorang penulis dan penyair istana, sebagai sebuah catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478 M). Akan tetapi term Pancasila diberi muatan dan makna baru oleh Soekarno. Menurut Muhammad Yamin, Pancasila adalah hasil galian Soekarno yang mendalam dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila adalah warisan sosio historis Indonesia yang kemudian dirumuskan dalam lima prinsip. Lihat: Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar..., hlm. 437 dan 448. Bandingkan pendapat senada dari Syafii Maarif, 1996, Islam Dan Masalah Kenegaraan Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante , Jakarta, Penerbit LP3ES, hlm. 144. 22
Ideologi dipahami sebagai nilai-nilai dan cita-cita luhur. Lihat Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1988, halaman 366 – 367. 23
Sebagai ideologi, Pancasila dapat dipahami sebagai konsekwensi dari pandangan hidup bangsa, falsafah bangsa, dan berupa seperangkat tata nilai yang dicita-citakan untuk direalisir. Pancasila digunakan untuk memberikan stabilitas arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak menuju tujuan masyarakat berbangsa. Padmo Wahjono, 1991, Masalah-Masalah Aktual Ketatanegaraan, Jakarta: Yayasan Wisma Djokosutono, hlm. 25. Pembahasan Pancasila sebagai ideologi dalam beberapa sudut pandang dapat dikaji dalam pustaka berikut: Subandi Al Marsudi, 2003, Pancasila dan UUD `45 Dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 66; Kumpulan Karangan Drijarkara, 1980, Drijarkara Tentang Negara dan Bangsa , Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 53; Mubyarto, 1991, “Ideologi Pancasila dalam Kehidupan Ekonomi”, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta, Penerbit BP-7 Pusat, hlm. 239; dan M Sastrapratedja, 1991, “Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya”, dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi, Jakarta: BP-7 Pusat, hlm. 142 – 143. 24
Dalam beberapa hal rezim ini mirip dengan kekuasaan Gubernur Jenderal Deandels di awal abad ke-19. Walaupun dalam banyak hal berbeda, dua rezim ini satu sama lain serupa, terutama antusianismenya terhadap sentralisasi negara. Periksa lebih lanjut dalam Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, op.cit., hlm. 281. 25
Rumusan ini disarikan dari sejumlah pendapat pakar yang terdapat dalam pustaka berikut: C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung, Penerbit Alumni, 84-85; Moh. Koesnoe, “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional”, Hukum Nasional, No. 70 Tahun 1995, hlm. 80-118;
sebagai semacam pelaksanaan tipe ideal negara ala Weber.26 Lahirlah argumen
bahwa
hukum
merupakan
sarana
pembangunan
yang
memperkuat dan mendukung pemerintah. Karena melekat tunggal kepada negara sebagai satu-satunya agen pembangunan hukum, maka “hukum” dimaknai tunggal sebagai hukum yang datang dari negara, sehingga keberadaan nilai-nilai normatif di luar konstruksi ini hanya merupakan ajaran moral tanpa sanksi. 27 Dengan konfigurasi politik yang nondemokratis 28, Orde Baru, kecuali untuk aturan-aturan hukum dalam bidang ekonomi, semua produk hukum cenderung mempunyai karakter yang bersifat represif. Peran eksekutif sangat dominan dalam pembentukan produk hukum dan birokrasinya sangat menentukan. Keputusan-keputusan bidang legislasi diwarnai oleh visi politik pemerintah. 29 Roeslan Saleh, “Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional”, Hukum Nasional, No. 42 Tahun 1995, hlm. 49-51 dan 83-84; dan Satjipto Rahardjo, “Transformasi Nilai-Nilai dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum Nasional, Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1996, hlm. 12-18. 26
Definisi Weber mengatakan bahwa negara kuat dan modern yang diimpikan oleh pemerintah adalah negara di mana pemerintah mampu mempengaruhi masyarakat, mengatur hubungan sosial, mengendalikan berbagai sumber alam, dan menggunakannya dengan cara-cara yang sudah ditentukan. Lihat dalam Hans Kelsen, 2002, Intoduction to the Problem of Legal Philosophy (translated by Bonnie Litschewski Paulson), New York, Oxford University Press, hlm. 99-100. 27
Konstruksi ini mirip dengan pendapat Samuel Puffendorf (1632-1694) mengenai debat tentang kebiasaan versus hukum positif. Dikatakan antara lain, “ the natural law just only has the real legal vallidity if it integrated into positive legislation for the souvergnty bodies...” Lihat dalam Hendrik Jan van Eikema Hommes, 1989, Major Trend int History of Legal Philosphy, Amsterdam, North Holland Publishing Company, hlm. 116. 28
Menurut pendapat penulis, Orde Baru mempunyai tradisi untuk melaksanakan bermacam-macam hajat demokrasi seperti pembentukan lembaga perwakilan, sistem kepartaian, dan pemilihan umum, tetapi semua itu tidak bersifat demokrasi dalam arti sesungguhnya. Tetapi, tradisi semacam itu, dalam kondisi dan pemahaman tertentu, menunjukkan Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto bukanlah rezim junta militer atau mempunyai karakter otoriter semacam tradisi komunis. Jadi, di sini digunakan istilah “non demokratis”. Sekalipun demikian, dominasi watak represif membuat penulis tidak menolak tesis yang digunakan oleh Moh. Mahfud M.D., untuk dihubungkan dengan karakter produk hukum yang memakai istilah “represif.” Lihat dalam Moh. Mahfud M.D., 2010, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan IV, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 362-363. 29
Ibid., hlm. 363.
Tetapi, situasi dan mekanisme pengambilan keputusan hukum mulai bergeser saat Indonesia dihantam oleh krisis ekonomi, yang menyebabkan legitimasi politik Orde Baru mulai goyah. Di penghjung Desember 1997, perekonomian Indonesia terpuruk ke dalam jurang krisis, yang terjad tidak lama setelah Bank Dunia ( Wolrd Bank ) mengeluarkan laporan tahunan berisi pujian terhadap prestasi ekonomi
dengan
pertumbuhan rata-rata 7,7% (1991-1994), 8,2% (1995), dan 7,8 % (1996). Gambaran itu seketika runtuh ketika depresiasi baht Thailand menjalar ke Indonesia dan menghantam sendi-sendiri perekonomian nasional. Dunia perbankan nyaris bangkrut dan rupiah menukik tajam menembus Rp 14.800,00 per dolar AS. Indonesia didera krisis yang tergolong paling parah. Dalam waktu sekejap pembangunan ekonomi spektakuler dua dekade sebelumnya ambruk diterpa krisis. 30 Pada 1998,
ekonomi
Indonesia mengalami kontraksi sebesar 14%. Krisis
ekonomi
menempatkan
Indonesia
menjadi
“pasien”
lembaga-lembaga kreditor internasional seperti Indonesia Monetery Fund (IMF) dan Bank Dunia 31, yang tergabung dalam Consultative Group on
30
Ketika Presiden Soeharto mulai mengkonsolidasi kekuasaan, perekonomian Indonesia memang mewarisi situasi yang buruk. Inflasi mencapai 3 digit pada 1962-1966, pabrik-pabrik beroperasi hanya dengan kapasitas sekitar 30-40%, sektor publik kelebihan staf hingga 30-40%, sementara utang dan defisit negara meroket. Lebih dari itu, saat itu, produksi beras tidak bertambah, tetapi jumlah penduduk meningkat 10 juta. Sejak hari-hari pertama hingga akhir 1972, arah kebijakan ekonomi yang menjadi visi Presiden Soeharto (yang sejak 1968 menjadi presiden penuh) dengan dukungan teknokrat dan tentara, menghasilkan prestasi yang besar, seperti pertumbuhan nasional yang mengagumkan, pengendalian tingkat inflasi, peningkatan jumlah tabungan masyarakat, serta arus investasi. Dunia perekonomian menjadi lebih stabil dan pada saat yang sama menjadi lebih liberal. Lihat dalam Rizal Mallarangeng, 2003, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, Jakarta, Penerbit Kepustaan Populer Gramedia dan Freedom Institute, hlm. 59. 31
Berbeda dengan pemerintahan Presiden Soekarno yang menganggap modal asing sebagai cermin imperialisme dan kapitalisme, pemerintahan Presiden Soeharto menggap modal asing sebagai elemen ekonomi yang berguna bagi pembangunan dan bukan lagi sebagai senjata politik dari kaum imperalis-kapitalis. Untuk melancarkan gagasan ini, maka langkah paling awal dari Presiden Soeharto adalah mengirim kawat kepada IMF dan Bank Dunia, bahwa Indonesia ingin memperbarui keanggotaannya. Lihat dalam Soemitro Djojohadikusumo, 1985, Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan, Jakarta, Penerbit LP3ES, hlm. 7.
Indonesia (CGI).32 Mereka datang disertai dengan sejumlah agenda liberalisasi
sebagai
prasyarat
(conditionlities )
pencairan
pinjaman.
Lembaga IMF, misalnya, mendesak Pemerintah Indonesia agar segera menjalankan
program-program
liberalisasi
dan
deregulasi
sektor
keuangan, privatisasi aset negara, dan pengetatan fiskal dengan mencabut subsidi publik di sektor pangan, pendidikan, dan kesehatan. 33 Sebagai bagian dari paket kebijakan Konsensus Washington, IMF dengan dukungan Bank Dunia dan Asia Development Bank (ADB), merancang serangkaian program reformasi, seperti reformasi sektor enegeri dan ketenagalistrikan, reformasi sektor sumber daya air, reformasi sektor perkebunan dan kehutanan, reformasi sektor sumber daya mineral, dan seterusnya.34 32
Awal mula CGI sebenarnya berkaitan dengan IGGI ( Intergovernmental Group on Indonesia) yang merupakan konsursium dengan keanggotaan negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Prancis, Jerman Barat, Inggris, Australia, dan negaranegara Barat lain untuk membantu pembangunan ekonomi Indonesia melalui pemberian dana setiap tahun dengan bunga rendah. Konsursium ini dibentuk setelah serangkaian pertemuan sebagai rehabilitasi ekonomi Orde Baru di Tokyo (September 1967) dan di Paris (Desember 1967). Pada tahap pertama IGGI menyetujui pinjaman sebesar $167,3 juta, dan pada tahun kedua dan ketiga, masing-masing $361,2 juta dan $507,7 juta. Selain memberikan bantuan pertemuan di Tokyo dan Paris juga menelurkan kesepakatan bagi penjadwalan kembali pembayaran hutang Indonesia. Hingga lebih dari 20 tahun kemudian, IGGI memainkan peran vital sebagai medium bagi Indonesai untuk memperoleh dana-dana publik dengan tingkat yang jauh di bawah harga pasar, yang kemudian digunakan untuk memperluas berbagai program pembangunan serta memperkuat neraca pembayaran. Lihat hal ini dalam Rizal Mallarangeng, op.cit., hlm. 51. Tetapi, pada tahun 1991, Presiden Soeharto membubarkan IGGI, karena menilai ketua konsursium ini, Menteri Pembangunan dan Kerjasama Belanda J.P. Pronk, berkomentar terlalu jauh soal dalam negeri Indonesia. Selanjutnya, dibentuk Consultative Group on Indonesia (CGI) yang dipimpin oleh Bank Dunia, yang struktur keanggotaannya sama dengan IGGI. Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, lihat: Zulkarnain Djamin, 1995, Sumber Luar Negeri Bagi Pembangunan Indonesia Sejak IGGI hingga CGI Serta Permasalahannya, Jakarta, UI Press. 33
Pada bulan April 1998, beberapa minggu sebelum berhentinya Presiden Soeharto, IMF menyodorkan matrik kebijakan berisi 117 langkah perbaikan struktural di berbagai sektor, termasuk fiskal (17), moneter (18), restrukturisasi perbankan (24), penanaman modal dan deregulasi (15), privatisasi BUMN (13), jaring pengaman sosial (2), perdagangan luar negeri (15), lingkungan hidup (6), dan sektor lain (7). Lihat dalam Lepi L. Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF, dan Saran”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999, hlm. 1-25. 34
Rincian langkah dan jadwal reformasi ekonomi dan kelembagaan yang merupakan prasyarat bagi pencairan dana bantuan sebesar $ 260 juta sebagai bagian dari
Tetapi prasyarat pemberian pinjaman oleh IMF tersebut dituding telah menjadi intervensi atas kedaulatan pemerintah negara-negara berkembang 35 dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan ekonomi nasionalnya sehingga menimbulkan dampak sosial yang negatif. 36 Sejak bulan
31
Oktober
1997,
Pemerintah
Indonesia
dan
IMF
telah
menandatangani sejumlah Letter of Intent (LoI), yang berisi program yang mencakup pemotongan subsidi (minyak dan beras), meningkatkan pendapatan pajak, menjual aset-aset pemerintah, dan merestrukturisasi hutang
swasta
pada
negara
sebagaimana
schedules
renegoisasi
pembayaran hutang. Program ini cukup kontroversial di Indonesia karena semakin memperparah kemiskinan bagi penduduk yang tidak mampu. Tidak dapat disangkal bahwa beberapa persyaratan perolehan pinjaman dari IMF seringkali bukan hanya terlampau berat atau terlalu rinci, tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang besar, antara lain seperti dilaksanakannya likuidasi 16 bank pada 1 November 1997. 37 Ada juga sejumlah kebijakan negara yang dilaksanakan demi kondisonalitas IMF seperti pembentukan undang-undang kepailitan 38, penyelesaian kasus
paket bantuan sebesar $ 5 miliar yang akan dicairkan dalam jangka waktu 3 tahun. Lihat Kompas, 24 Januari 2000. 35
Bersama-sama dengan Bank Dunia, prasyarat pemberian pinjaman IMF tersebut dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural atau Structural Andjusment Program (SAPs), yang sampai dengan akhir 1970-an diberlakukan bagi 70 negara berkembang. Bahkan, dewasa ini tidak kurang dari 90 negara berkembang yang melaksanakannya. Lihat: Walden Bello, “Structural Adjustment and the Crisis of the World Bank and IMF”, makalah dalam Seminar WALHI, Jakarta, 1 Desember 1999, hlm. 1. 36
Sri Tua Arief, “Negara-Negara Berkembang: Hutang Luar Negeri dan Kebijaksanaan Bank Dunia/IMF”, makalah Kelompok Kerja Pengkajian Kebijaksanaan Pengembangan Masyarakat, Jogjakarta, 30 Juli 1994, hlm. 1. 37
Likuidasi ke-16 bank tersebut berdasarkan pengumuman Menteri Keuangan No. Peng86/MK/1997. Ke-16 bank yang dicabut izinnya adalah Bank Harapan Sentosa, Bank Sejahtera Umum, Bank Adromeda, Bank Pasific, Bank Astria Raya, Bank Guna Internasional, Bank Dwipa Semesta, Bank Kosagraha Semesta, Bank Industri, Bank Jakarta, Bank Citrahasta Dhanamanunggal, South East Asia Bank, Bank Mataram Danartha, Bank Pinaesaan, Bank Anrico, dan Bank Umum Majapahit Jaya. Lihat dalam “Izin Usaha 16 Bank Dicabut, Terjadi ‘Rush’ BI Siap”, http://www.indomedia.com.
Bank Bali39, perubahan undang-undang bank sentral 40, revisi RAPBN 2001/2002, kenaikan bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik (2003), sampai kepada hal-hal mikro seperti urusan distribusi beras dan minyak goreng, serta divestasi Bank Central Asia dan Bank Niaga (2002). Dengan demikian, kesan bahwa negara, yang semestinya mempunyai kedaulatan penuh dalam pembentukan hukum dan kebijakan publik menjadi hilang,
38
Pada waktu terjadinya kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sektor swasta tidak mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya. Para debitor swasta tersebut mempunyai hutang yang meningkat sampai 4 kali lipat dibandingkan ketika mereka meminjam dari kreditur asing. Akibatnya terjadi kebangkrutan perusahaan-perusahaan domestik yang tidak mampu membayar hutang kepada para kreditur asing yang umumnya dalam bentuk dolar AS. Kemampuan sektor swasta untuk mendatangkan hutang luar negeri itu bukan merupakan hal yang sekali terjadi, tetapi dirunut sejak 1980-an, ketika saat itu kondisi sektor perbankan dan moneter tidak menguntungkan. Sebagai upaya otoritas moneter untuk memerangi inflasi, maka peredaran uang pun dikurangi dengan cara absorpsi rupiah, yang menyebabkan kenaikan suku bunga. Dengan bunga domestik yang tinggi, sektor swasta berpaling kepada kredit luar negeri yang jauh lebih murah. Soal ini, periksa lebih lanjut, A. Tony Prasetiantono, “Ambivalensi Utang Swasta”, Kompas, Jumat, 4 Juli 1994, hlm. 4. Mengatasi persoalan tersebut, dalam LoI tanggal 10 April 1998, IMF mensyaratkan adanya amandemen UU Kepailitan sebagai salah satu syarat memperoleh pinjaman. Hanya 12 hari seteleh LoI ditandatangani, pada 22 April 1998, ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 yang mengubah Faillisement Verodening S. 1905-217 jo S. 1906-348, yang kemudian menjadi UU No. 4 Tahun 2008. Dengan menyimak ketentuan Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang ini semata-mata melindungi kepentingan kreditor asing, karena tidak mempertimbangkan apakah debitor dalam keadaan solven atau insolven untuk dapat dinyatakan pailit. Lihat dalam Siti Anisah,2008, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitur dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Jojakarta, Penerbit Total Media, hlm. 41-43. Karena tidak mencerminkan kebutuhan Indonesia dan cenderung menuruti keinginan IMF untuk mengamankan para kreditor asing, berbagai kelemahan substansi Undang-Undang tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang Indonesia sampai akhirnya Pengadilan Niaga memberikan putusan-putusan yang kacau, tidak konsisten, dan dalam beberapa kasus benar-benar salah, serta terutama sekali merugikan kreditor asing. Analisis soal ini, periksa: Hermayulis, “Kelemahan-Kelemahan Pengadilan Niaga dalam Menghasilkan Putusan yang Berkualitas”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 4, Jakarta, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003, hlm. 42. 39
Uraian soal ini, lihat A. Tony Prasetiantono, 2005, Rambu-Rambu yang Diabaikan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hlm.338-342. 40
Kebijakan ini sebenarnya sudah tercantum dalam butir 22 LoI yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan IMF tanggal 15 Januari 1998. Bahkan Presiden Soeharto saat itu sudah menetapkan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1998 yang menyebutkan tugas penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter diserahkan kepada Bank Indonesia, sesuatu yang bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 1998, karena otoritas tersebut harus dilaksanakan Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Kemudian komitmen itu
tergadaikan dengan adanya pelaksanaan persyaratan pinjaman dari pihak asing semacam IMF. Semenjak krisis ekonomi terjadi pada Juni 1997, respon Indonesia selanjutnya yang memilih menjadi pasien IMF bukanlah sesuatu yang khas, karena Filipina, Thailand, dan Korea Selatan juga melakukan kebijakan serupa. Hanya Malaysia yang tegas menolak intervensi IMF dalam reformasi ekonomi, sementara Singapura dan Hong Kong, dengan cadangan devisi yang besar, mampu melakukan proses pemulihan relatif mandiri. Dalam periode 1998-2003, Thailand dan Korea Selatan dapat dikatakan telah selesai melalui krisis ekonomi dan bahkan melunasi hutang IMF lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Sementara itu Malaysia
yang menolak kehadiran
IMF
juga telah relatif
mampu
memulihkan kondisi perekonomiannya, sementara hingga kini Indonesia dan Filipina masih melakukan proses pemulihan tersebut. Bahkan, bagaimana negara harus bersikap terhadap IMF menjelang selesainya komitmen LoI di Indonesia memicu perdebatan. Bahkan, bagaimana negara harus bersikap terhadap IMF menjelang selesainya komitmen LoI di Indonesia memicu perdebatan. 41 telah dicantumkan dalam Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998. Kemudian, Presiden Soeharto juga menetapkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1998 untuk membentuk tim perubahan undang-undang bank sentral. Lihat soal ini dalam M. Dawam Rahardjo, dkk, 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo, hlm. 34-35. Pada waktu mengumumkan susunan kabinet Reformasi Pembangunan, Presiden Habibie, yang baru saja menggantikan Presiden Soeharto yang menyatakan berhenti sehari sebelumnya, menegaskan bahwa Gubernur Bank Indonesia terpisah dari formasi kabinet, karena Bank Indonesia harus independen. Kemudian disusun UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia untuk menggantikan UU No. 13 Tahun 1968. Untuk menyusun UU tersebut, Presiden Habibie mengundang mantan Gubernur Bank Sentral Jerman, Helmut Schlesinger. Lihat dalam Maqdir Ismail, 2009, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum, Jogjakarta, Penerbit Navila Idea, hlm. 98-99.
41
Berdasarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002, Presiden diberi mandat untuk tidak memperpanjang kerjasama dengan IMF pada akhir tahun 2003, yang berarti tidak akan ada lagi LoI yang harus ditandatangani pemerintah dengan IMF. Tetapi Presiden Megawati memutuskan mengambil opsi Post Program Monitoring (PPM), sebagai exit strategy atau cara keluar dari program kerjasama dengan IMF. Atas keputusan ini pemerintah harus mencicil hutang kepada IMF hingga tahun 2010 atau bila dihitung dengan
Fokus tulisan ini adalah mendeskripsikan bagaimana pengaruh IMF, sebagai representasi lembaga keuangan internasional yang bersifat global, melakukan terhadap pembangunan hukum di Indonesia. 42 Sebagai lembaga internasional, maka IMF merupakan cermin kapitalisme dengan ideologi liberalisme, yang mencoba “memasarkan” penetrasinya ke negara berkembang melalui persyaratan pemberian pinjaman, khususnya di Indonesia.
Keberadaan Undang-Undang Minyak dan Gas 43 akan
dijadikan studi kasus untuk menggambarkan bagaimana intervensi itu dilakukan dan akibat-akibat pemberlakuan hukumnya, untuk kemudian dicoba diajukan pemikiran mengenai potensi tanggung jawab hukum atas peran IMF dalam melakukan intervensi di Indonesia. 44
BAB II RUMUSAN MASALAH DAN KERANGKA KONSEPTUAL batas quota, pemerintah akan mencicil hingga tahun 2007. 42
Pembahasan persoalan ini menarik, mengingat dalam tradisi Amerika Serikat misalnya, faktor penentu dalam memastikan kebijakan keluarnya suatu undang-undang adalah ditentukan oleh kelompok kepentingan yang terorganisasi. “ The dominant framework for understanding public policymaking in the United States is interest group pluralism. According to the pluralist view, the best way to explain and predict policy outcomes is to focus on the manyorganized groups jostling to advance their interests through government action.” Lihat dalam Matthew P. Stephenson dan Howell E. Jakcson, “Lobbyst As Imperfect Agents: Implication for Public Policy in A Pluralist System”, Harvard Journal on Legislation, Vol. 47 No. 33, 2010, hlm. 1. 43
Undang-Undang ini bagian dari reformasi energi, yang tercantum dalam butir kesepakatan huruf F dalam LoI, 20 Januari 2000. Dikutip di sini antara lain: The draft oil and gas law that was presented to the previous parlement will be reviewed and resubmitted with a view its passage during 2000. This law will provide for the establishment of a special purpose agency to allocate acreage and supervise exploration and production contract. 44
Menyusul Bank Dunia, IMF mengaku salah dalam memberikan terapi kepada negara-negara Asia yang terkena krisis, khususnya Indonesia. Kesalahan grand policy IMF terhadap Indonesia ada 2 (dua) yaitu pertama, pilihan kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang ketat, tetapi tidak memberi ruang gerak kepada perekonomian untuk tumbuh. Kedua, kebijakan moneter ketat (suku bunga tinggi) justru telah “membunuh” sektor perbankan dan sektor riil sekaligus. Diskusi lebih lanjut lihat, A. Tony Prasetiantono, 2005, Rambu-Rambu yang Diabaikan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hlm. 373- 379.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah globalisasi dalam bentuk pemenuhan persyaratan pinjaman terhadap IMF menghilangkan kedaulatan negara dalam membangun sistem hukum Indonesia?; dan 2. Bagaimanakah peluang hukum Indonesia untuk meminta tanggung jawab IMF atas dampak negatif pemberlakuan persyaratan-persyaratan untuk memperoleh pinjaman? B. Kerangka Konseptual 1. Globalisasi: Bermacam Sudut Pandang
Untuk
memahami sejauh
mana
efek globalisasi terhadap
pembangunan hukum nasional, maka pertama-tama yang harus dipahami adalah definisi globalisasi itu sendiri. Dalam berbagai literatur, ada begitu banyak definisi karena konsep ini sering dimaknai secara berbeda oleh tiap-tiap pengkaji. Menurut Nanang Indra Kurniawan, globalisasi merupakan “konstruksi struktural dan kultural yang menjamin bekerjanya integrasi pasar kapital, barang, dan jasa di seluruh dunia.” 45 Menurut Armin von Bogdandy, globalisasi, yang mempunyai kesamaan arti dengan integrasi internasional, merupakan “ a number of highly disparate observations whose regular common denominator is the determination of a profound transformationof the traditional nation-state.”46
Sementara
menegaskan bahwa
itu,
Ronaldo
“globalization
is
a
Porto universal
Macedo
Júnior
phenomenon,
45
Nanang Indra Kurniawan, 2008, Globalisasi dan Negara Kesejahteraan: Perspektif Institusionalisme, Jogjakarta, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, hlm. 29. 46
Armin von Bogdandy, “Globalization and Europe:How to Square Democracy, Globalization, and International Law”, The European Journal of International Law Vol. 15 no.5, 2004, hlm. 886.
inclusive and homogenizing, and ignore the strong economic dualism and socio-economic exclusion to which it is related” .47 Diuraikan lebih lanjut bahwa, ” two concepts have often been associated with globalization. The first one is a “portmanteau-word”, bearing multiple meanings and highlycontroversial: post-modernism. Without getting into another very complex debate, postmodernism may be defined as a new sensibility towards the world. It is in fact the creation ofa new "way of life", style of sociability, consumption standard and theoretical conception ofthe world. Usually such a concept has been used to describe cultural and aesthetic differences of a globalized world. The second concept is "post-industrial society", which
hasbeen
employed
to
describe
social
and
economic
transformations of a globalized world. There is however a large area of semantic intersection covered by the concepts of globalization, postmodernism and post industrial society, whose definition would require an analytical effort...”.48
Oleh karena itu, “Globalization, thus
understood, is not an unavoidable stage of a historical process, but rather a new phase of world capitalism, marked by the transformation of the pre-existing institutional (economic and political) arrangements, habits, culture and theoretical conceptions of the world.” 49
Jadi,
globalisasi sering dipadankan dengan post-modernism and post industrial society . Globalisasi pada akhirnya dimaknai sebagai relasi ekonomi dalam tata dunia ekonomi tunggal (to economic relations with-in a single world economy ) dan umumnya ditunjukkan dengan
47
Ronaldo Porto Macedo Júnior, 1984, The Second Industrial Divide Possibilities for Prosperity, New York, Basic Books, hlm. 13. 48
Ibid., hlm. 24-25.
49
Ibid., hlm. 30.
istilah-istilah lain seperti international, supra-national, transnasional, regional, diasporic, dan sub-national. 50 Dari
bermacam-macam
definisi
di atas,
maka
globalisasi
mengandung makna sebagai integrasi ekonomi yang terjadi melalui proses ekonomi dan politik. Globalisasi tidak hanya melalui proses pasar yang murni a la invisible hand. Artinya, globalisasi juga melalui proses politik. Globalisasi terbentuk karena 2 pilar, yaitu integrasi ekonomi (melalui logika pasar) dan integrasi politik (melalui logika politik). Hal yang terakhir mengkonfirmasikan bahwa proses dan logika politik menentukan aliran kapital, barang, dan jasa yang lintas negara. Perjanjian internasional dan bilateral contohnya, telah berkontribusi besar terhadap pembukaan pasar dan integrasi ekonomi di banyak negara. Organisasi-organisasi internasional seperti Uni Eropa, World Trade Organization (WTO), Bank Dunia, IMF, dan sebagainya, telah menciptakan batasan-batasan tentang apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan negara dan pelaku-pelaku pasar melalui hukum atau undang-undang pengaturan pasar, yang jelas mempengaruhi pergerakan ekonomi lintas batas. Tetapi
logika
pasar
dan
logika
politik
dapat
mengalami
pergeseran subyek karena dapat terjadi bahwa pelaku logika pasar menggunakan logika politik, sedangkan pelaku logika politik (dalam hal ini negara) Menurut Henry Kisisingger 51, globalisasi adalah nama lain dari dominasi Amerika Serikat. Dominasi ini bukan hanya menyebarkan pengaruh kepada negara berkembang, akan tetapi juga negara maju, seperti umumnya anggota Uni Eropa dan Jepang. 52
50
William Twining, 2009, General Jurisprudence: Understanding Law From a Global Perspective, Cambridge, Cambridge University Press, hlm. 20. 51
Lihat dalam Sri-Edi Swasono, Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi , Orasi Ilmiah Reuni Akbar FE-UNDIP 2002, Penerbit Universitas Indonesia (UI -Press).
2. Hukum dan Ekonomi: Jalinan Interelasinya
Sebagai
suatu ilmu pengetahuan 53,
hukum dan ekonomi
pada
umumnya berbicara mengenai penerapan prinsip-prinsip ekonomi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Pengertian ini dinilai oleh George A. Hay sebagai “too general to be of much help in deciding what get counted and what does not.” 54 3. Profil International Monetery Fund 4. Kapasitas Kebijakan
52
Dikatakan oleh R. Daniel Kalemen dan Eric C. Sibbit, “We asses our argument using studies of legal development in the European Union (EU) and Japan...these alternative are legal styles that supplanted by American legal style.” Lihat dalam R. Daniel Kalemen dan Eric C. Sibbit, “The Globalization of American Law”, International Organization, Vol. 58, No. 1 (Winter, 2004), hlm. 105. 53
Pada awalnya, kajian hukum dan ekonomi diabdikan untuk membahas kasus sehubungan dengan penerapan Undang-Undang Antimonopoli, tetapi dalam tradisi di Amerika Serikat, justru masalah tersebut semakin lama dikembangkan dalam perspektif ekonomi dan nampak juga dari kenyataan, sedikitnya kajian putusan Mahkamah Agung Federal dalam perkara-perkara tersebut. Ketika masalah itu berkembang luas dan mengglobal, justru menemukan momentumnya pada deka 1960-an. Perkembangan awal tersebut ditandai dengan karya klasik Ronald Coase (pemenang Nobel Ekonomi Tahun 1991, tetapi untuk karyanya yang berujudul “the Nature of the Firm, 1937)) yang berjudul The Problem of Social Cost. Sebuah jurnal, yaitu The Journal of Law and Economic yang terbit pertama kali pada 1958 juga didominasi oleh tulisan mengenai antimonopoli. Barulah, ketika Richard Posner menerbitkan buku Economic Anylisis of Law, kajian hukum dan ekonomi berkembang sebagai ilmu pengetahuan atau semacam “gerakan” tersendiri. Diskusi lebih lanjut lihat dalam George A. Hay, “The Past, Present, and Future of Law and Economic”, Journal Center of Law and Ecomoic, Juni, 1995, hlm. 2-4. Soal prinsip dan landasan pemikiran Posner, lihat dalam karyanya yang berjudul, Economic Anylisis of Law, 1992, Boston, Little, Brown, and Company, hlm. 3-13. 54
Ibid., hlm. 1.