OSTEOPOROSIS Siska Handayani* (3425111429) *Corresponding author: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun, Jakarta Timur. Indonesia. Tel.: +62 21 4894909 E-mail address:
[email protected]
MAKALAH FISIOLOGI HEWAN OSTEOPOROSIS
BIOLOGI REGULER 2011 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
1
DAFTAR ISI Daftar Isi………………………………………………………………………………………. 2. BAB I Pendahuluan……………………………………………………………………..….… 3 Latar Belakang…………………………………………………………………….….. 3 Tujuan ……………………………………………………………………………..…. 5 BAB II Isi………………………………………………………………………………….…. 6 Anatomi Tulang ……………………………………………………………………..... 6 Histologi Tulang ……………………………………………………………………… 8 Definisi Osteoporosis …………………………………………………………………. 12 Klasifikasi Osteoporosis ………………………………………………………………. 14 Penyebab Osteoporosis ………………………………………………………………... 16 Patogenesis Osteoporosis …………………………………………………………...… 18 Mencegah Osteoporosis ………………………………………………………………. 26 BAB III. Penutup ……………………………………………………………………………... 30 Kesimpulan …………………………………………………………………………… 30 Saran ………………………………………………………………………………..… 30 Daftar Pustaka ………………………………………………………………………… 31
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah usia lanjut dan osteoporosis semakin menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup. Keadaan ini menyebabkan peningkatan penyakit menua yang menyertainya, antara lain osteoporosis (keropos tulang). Osteoporosis kini telah menjadi salah satu penyebab penderitaan dan cacat pada kaum lanjut usia. Bila tidak ditangani, osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang, cacat tubuh, bahkan timbul komplikasi hingga menyebabkan kematian. Resiko patah tulang bertambah seiring meningkatnya usia. Pada usia 80 tahun, satu dari tiga wanita dan satu dari lima pria beresiko mengalami patah tulang panggul atau tulang belakang. Sementara, mulai usia 50 tahun kemungkinan mengalami patah tulang bagi wanita adalah 40% sedangkan pada pria 13%. (Tandra, 2009) Menurut hasil analisa data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah Osteoporosis di Indonesia telah mencapai pada tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Itulah sebabnya kecenderungan Osteoporosis di Indonesia 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negeri Belanda. Lima provinsi dengan resiko Osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), D.I. Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42), dan Kalimantan Timur (10,5%). (DepKes RI, 2004) Di Indonesia data yang pasti mengenai jumlah osteoporosis belum ditemukan. Data retrospektif osteoporosis yang dikumpulkan di UPT Makmal Terpadu Imunoendokrinologi, FKUI dari 1690 kasus osteoporosis, ternyata yagn pernah mengalami patah tulang femur dan radius sebanyak 249 kasus (14,7%).2 Demikian pula angka kejadian pada fraktur hip, tulang
3
belakang dan wrist di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2001-2005, meliputi 49 dari total 83 kasus fraktur hip pada wanita usia >60 tahun. Terdapat 8 dari 36 kasus fraktur tulang belakang dan terdapat 53 dari 173 kasus fraktur wrist. Dimana sebagian besar terjadi pada wanita >60 tahun dan disebabkan oleh kecelakaan rumah tangga. (Management of Osteopor, 2002) Osteoporosis seharusnya dapat dicegah dan diobati. Cara yang paling tepat mencegah osteoporosis adalah dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang intinya mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi dengan unsure kaya serat, rendah lemak dan kaya kalsium (1.000-1.200 mg kalsium per hari), berolahraga secara teratur, tidak merokok, dan tidak mengkonsumsi alcohol. Merokok dan mengkonsumsi alcohol yang tinggi dapat meningkatkan resiko osteoporosis 3 kali lipat. (DepKes, 2004)
Kelalaian atau ketidakwaspadaan mengakibatkan banyak kasus patah tulang bermunculan. Biaya kesehatan untuk masalah yang berkaitan dengan osteoporosis sangatlah besar, 20 miliar Dollar per tahun untuk 250juta penduduk Amerika Serikat dan 940 Poundsterling untuk 60juta penduduk Inggris. Angka-angka ini terus meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah penderita sebesar 10% per tahun. (Gomez, 2006) Jumlah usia lanjut di Indonesia, diperkirakan akan naik 414% dalam kurun waktu 1990-2025, sedangkan perempuan menopause yang tahun 2005 diperhitungkan 15,5 juta akan naik menjadi 24 juta pada tahun 2015. Angka ini menunjukkan besarnya populasi yang terancam osteoporosis. (www.medicastore.com, 2007)
4
1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana anatomi tulang? b. Bagaimana histologi dari tulang? c. Apakah definisi dari osteoporosis? d. Bagaimana klasifikasi osteoporosis? e. Apa saja penyebab osteoporosis? f. Bagaimana pathogenesis osteoporosis? g. Bagaimana cara untuk mencegah osteoporosis?
1.3 Tujuan a. Untuk mengetahui anatomi tulang b. Untuk mengetahui histologi dari tulang c. Untuk mengetahui definisi dari osteoporosis d. Untuk mengetahui klasifikasi osteoporosis e. Untuk mengetahui penyebab osteoporosis f. Untuk mengetahui patogenesis osteoporosis g. Untuk mengatahui cara untuk mencegah osteoporosis
5
BAB II ISI
2.1 Anatomi Tulang Diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersususn dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar didekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoetik. Sumsum merah terdapat juga dibagian epifisis dan diafis tulang. Pada orang dewasa, aktifitas hematopoietik menjadi terbatas hanya pada sternum dan krista iliaka, walaupun tulang-tulang yang lain masih berpotensi untuk aktif lagi bila diperlukan. Sumsum kuning yang terdapat pada diafisis tulang orang dewasa terutama terdiri dari sel-sel lemak. Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa. Bagian epifisis langsung perbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. a. Periosteum Periosteum merupakan lapisan pertama dan selaput terluar tulang yang tipis. Periosteum mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang), jaringan ikat dan pembuluh darah. Periosteum merupakan tempat melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang dan berperan dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak. b.
Tulang kompak (korteks) Tulang kompak merupakan lapisan kedua pada tulang yang memiliki tekstur halus
dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium Carbonat) sehingga tulang menjadi padat. Tulang
kompak
paling
banyak
ditemukan
pada
tulang
kaki
dan
tulang tangan. Delapan puluh persen tulang di tubuh dibentuk oleh tulang kompak. Sel tulang kompak berada di lakuna dan menerima nutrisi dari kanalikulus yang bercabang di seluruh tulang kompak dan disalurkan melalui kanal havers yang mengandung pembuluh darah. Di 6
sekeliling tiap kanal havers, kolagen tersusun dalam lapisan konsentris dan membentuk silinder yang disebut osteon (sistem Havers) atau disebut juga tulang keras. Setiap sistem Havers terdiri dari saluran Havers, yaitu suatu saluran yang sejajar dengan sumbu tulang. Disekeliling sistem havers terdapat lamella-lamella yang konsentris dan berlapis-lapis. Pada lamella terdapat rongga-rongga yang disebut lakuna. Di dalam lakuna terdapat osteosit. Dari lakuna keluar saluran-saluran kecil yang menuju ke segala arah disebut kanalikuli yang berhubungan dengan lakuna lain. Di antara sistem havers terdapat lamella interestial yang lamella-lamellanya tidak berkaitan dengan sistem havers. Pembuluh darah dari periosteum menembus tulang kompak melalui saluran volkman yang berhubungan dengan pembuluh darah saluran havers. Kedua saluran ini arahnya saling tegak lurus. c.
Tulang Spongiosa Pada lapisan ketiga disebut dengan tulang spongiosa, berada di dalam korteks dan
membentuk sisa 20% tulang di tubuh. Tulang spongiosa memiliki banyak rongga. Rongga tersebut diisi oleh sumsum merah yang dapat memproduksi sel-sel darah. Tulang spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut trabekula.Trabekula terdiri dari spikulum / lempeng, dan sel-sel terletak di permukaan lempeng. Nutrien berdifusi dari cairan ekstrasel tulang ke dalam trabekula. Lebih dari 90 % protein dalam matriks tulang tersusun atas kolagen tipe I. d.
Sumsum Tulang (Bone Marrow) Lapisan terakhir tulang yang paling dalam adalah sumsum tulang. Sumsum tulang
wujudnya seperti jelly yang kental dan dilindungi oleh tulang spongiosa. Sumsum tulang berfungsi memproduksi sel-sel darah yang ada dalam tubuh.
7
Gambar 1. Sistem kanalis Havers (Sumber: http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html)
2.2 Histologi Tulang Tulang terdiri dari komponen matriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari komponen organik dan anorganik. Sedangkan sel tulang terdiri dari sel osteoprogenitor, osteoblas, osteoklas, dan osteoid. a. Matriks Anorganik Merupakan 50% dari berat kering matriks. Terdiri dari mineral kalsium, fosfat, bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium, natrium. Kalsium dan fosfat membentuk Kristal hidrosiapatit dengan komponen Ca10(PO4)6(OH)2. Ion permukaan hidrosiapatit berhidrasi dan selapis air dan ion terbentuk di sekitar kristal. Lapisan ini, yaitu lapisan hidrasi membantu pertukaran ion antara kristal dan cairan tubuh. b. Matriks Organik Matriks organik mengandung kolagen tipe I, glikosaminoglikan sulfat, asam hialuronat, glikoprotein osteokalsin dan osteoponin yang berikatan erat dengan kristal kalsium selama mineralisasi tulang dan sialoprotein yang mengikat osteoblas pada matriks ekstraselular melalui integrin protein membrane plasma. c. Osteoprogenitor Merupakan embryonic mesenchymal cells, sehingga menjaga kemampuan mitotik (sangat berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi Osteoblas). Berada pada bagian dalam periosteum, lapisan canal harvest, dan di dalam endosteum (Junquiera, 2007). 8
d. Osteoblas. Berasal dari sel mesenkimal, berada di permukaan tulang,dan merupakan sel yang bertanggung jawab dalam proses formasi (pembentukan) tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks organik (osteoid) (Setiyohadi, 2007). Ketika sedang aktif menyintesis osteoid, osteoblas mensekresikan sejumlah besar alkali fosfatase yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari alkali fosfatase akan memasuki aliran darah. Dengan demikian, maka kadar alkali fosfatase dalam darah merupakan indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang (Carter, 2005). Selain itu, osteoblas juga berperan memulai proses resorpsi tulang dengan cara membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi melalui berbagai proteinase netral yang dihasilkannya. (Junquiera, 2007). e.Osteosit Adalah osteoblas matur, terletak di lakuna, memiliki juluran sitoplasma yang berperan dalam transmisi signal dan stimuli dari satu sel dengan sel lainnya dan juga dengan bone lining cells di permukaan tulang. Osteosit mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan fosfat dalam tulang dan darah. Setelah osetoblas menyintesis osteoid, osteoblas akan langsung berubah menjadi osteosit dan terbenam dalam osteoid yang disintesisnya (Setiyohadi, 2007). f. Osteoklas Adalah sel-sel besar berinti banyak yang termasuk dalam turunan sel makrofag mononukleus-monosit. Sel ini bertanggung jawab terhadap proses resorpsi tulang dengan menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang memecahkan matriks tulang dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah. (Carter, 2005).
9
Gambar 2. Osteoblas, Osteosit, Osteoklas (Sumber: http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html)
Remodelling Tulang Selama kehidupan proses resorpsis dan formasi tulang terus berlangsung. Pada awalnya pembentukan tulang lebih cepat dibanding dengan resorpsi, yangmenghasilkan tulang mejadi besar, berat dan padat. Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak massa tulang tercapai, maka proses remodeling tulang akan dilanjutkan pada permukaan endosteal. Osteoklas akan melakukan resorpsi tulang, sehingga meninggalkan rongga yang disebut lacuna Howship pada tulang trabekular atau cutting cone pada tulang kortikal. Setelah resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang pada rongga yang ditinggalkan osteoklas, membentuk matriks tulang yang disebut osetoid, dilanjutkan dengan mineralisasi primer dan mineralisasi sekunder sehingga tulang menjadi keras.
10
Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya akan terjadi bila didahului dengan proses resorpsi tulang. Sehingga urutan proses yang terjadi pada remodeling adalah aktifasiresorpsi-formasi (ARF).
Gambar 3. Remodelling Tulang (Sumber: http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html)
Regulasi Osteoblas dan Osteoklas Osetoblas berasal dari stromal stem cell , untuk diferensiasi dan maturasi osteoblas dibutuhkan
faktor
pertumbuhan
local
seperti fibroblast
growth
factor (FGF), bone
morphogenetic proteins (BMPs) dan Wnt proteins. Selain itu juga dibutuhkan faktor transkripsi yaitu Core binding factor 1 (Cbfa) atau Runx2 dan Osterix (Osx). Sedangkan
osteoklas,
berasal
dari
sel
hemopoetik/fagosit
mononuclear.
Diferensiasinya di fase awal membutuhkan factor transkripsi PU-1, dan MiTf yang akan merubah sel progenitor menjadi sel-sel seri myeloid. Selanjutnya dengan rangsangan M-CSF, sel-sel ini berubah menjadi sel-sel monositik yang berproliferasi mengekspresikan reseptor RANK. Selanjutnya, dengan adanya RANK ligand (RANKL) sel ini berdiferensiasi menjadi osteoklas. Setelah melalui proses resorpsi, osteoklas akan mengalami apoptosis dengan pengaruh estrogen. Membran plasma osteoblas kaya akan fosfatase alkali dan memiliki reseptor untuk hormon paratiroid dan prostaglandin. Selain itu osteoblas juga mengekspresikan reseptor 11
estrogen dan vitamin D, CSF-1, dan reseptor anti nuclear factor kB ligand (RANKL) dan osteoprotegrin (OPG). Perlekatan OPG pada RANKL akan menghambat perlekatan RANKL terhadap RANK di permukaan osteoklas, sehingga akan menghambat maturasi osteoklas dan resorpsi tulang. Ekspresi OPG di sel stromal dan osteoblas akan ditingkatkan oleh TGF β.
Gambar 4. Regulasi Osteoblas dan Osteoklas (Sumber: http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html)
2.3 Definisi Osteoporosis Osteoporosis
berasal
dari
kata osteo dan porous, osteo
artinya
tulang,
dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009). Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma, Itali, 1992, Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan resiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006). 12
Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007)
Gambar 5. Perbedaan Desnsitas Tulang Normal dan Osteoporosis (Sumber : http://www.diversifiedhealth./)
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Dan fraktur osteoporosis dapat terjadi pada tiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada tempat yang berhubungan dengan osteoporosisdisebabkan oleh kelainan ini. Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Ini semua dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang.
Densitas mineral tulang Risiko terjatuh dan akibat kecelakaan (trauma) sulit untuk diukur dan diperkirakan. Definisi WHO mengenai osteoporosis menjelaskan hanya spesifik pada tulang yang merupakan risiko terjadinya fraktur. Ini dipengaruhi oleh densitas tulang. Kelompok kerja WHO menggunakan teknik ini untuk melakukan penggolongan: 1. Normal : densitas tulang kurang dari 1 standar deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (T>-1) 2. Osteopenia : densitas tulang antara 1 standar deviasi dan 2,5 standar deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (-2,5
3. Osteoporosis : densitas tulang lebih dari 2,5 standar deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (T<-2,5)
T-skor Z-skor Pengukuran densitas tulang biasanya dinyatakan dengan T-skor, dimana angka dari standar deviasi densitas tulang pasien bervariasi dari rata-rata densitas tulang pada subyek normal dengan jenis kelamin yang sama. Pengukuran lain dari densitas tulang adalah Z-skor, dimana angka dari standar deviasi densitas tulang pasien bervariasi dari rata-rata densitas tulang pada subyek dengan umur yang sama. Meskipun berbagai kriteria densitometrik digunakan untuk mendefinisikan osteoporosis, kriteria yang diajukan oleh WHO, yang berdasarkan pengukuran masa tulang, umumnya paling banyak diterima dan digunakan. (Management of Osteopor, 2002)
2.4 Klasifikasi Osteoporosis 1. Osteoporosis primer: dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Dihubungkan dengan faktor resiko meliputi merokok, aktifitas, pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah. (Kaltenborn, 1992). a. Tipe I (post manopausal): Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun). Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’ fraktur, dan berkurangnya gigi geligi (Riggs & Melton,1986). Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut. Dimana jaringan terabekular lebih responsif terhadap defisiensi estrogen (Kaltenborn, 1992). b. Tipe II (senile): Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge (Riggs & Melton,1986). Hilangnya massa tulang 14
kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut. 2. Osteoporosis sekunder: dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi ekses kortikosteroid, hipertirodisme, multipel mieloma, malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetik, dan obat-obatan. (Kaltenborn, 1992) 3. Osteoporosis idiopatik, idiopatik= belum diketahui penyebabnya dan ditemukan pada:
a.
Usia kanak-kanak (juvenil)
b.
Usia remaja (adolesen)
c.
Wanita pra-menopouse
d.
Pria usia pertengahan
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Osteoporosis Tipe I dengan Tipe II Karakteristik Tipe I Tipe II Umur (tahun) 50-75 >70 Perempuan: Laki-laki 6:1 2:1 Tipe kerusakan tulang Terutama trabekular Trabekular dan kortikal Bone turnover Tinggi Rendah Lokasi fraktur terbanyak Vertebra, radius distal Vertebra, kolum femoris Fungsi PTH Menurun Meningkat Efek estrogen Terutama skeletal Terutama ekstraskeletal Etiologi utama Defisiensi estrogen Penuaan, defisiensi estrogen (Sumber : http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html)
15
Sumber: HTA Indonesia_2005_Penggunaan Bone Densitometry pada Osteoporosis_hlm 1/27
2.5 Penyebab Osteoporosis Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam. Osteoporosis
senilis terjadi
karena
kekurangan kalsium yang
berhubungan
denganusia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang 16
berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan ini. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. Mekanisme Terjadinya Osteoporosis Sekitar 99% Ca disimpan dalam jaringan lunak sedangkan hanya sekitar 1% yang berada dalam plasma. Kalsium yang berada di dalam plasma inilah yang natinya diperlukan untuk pembentukan tulang. Bila intake kalsium dari makanan kurang maka kalsium dari tulang ini akan diabsorpsi ke dalam darah sehingga tulang berkurang kekokohannya. Bukan hanya itu, PTH juga akan meningkat karena efek umpan balik terhadap kalsium yang meningkatkan mobilisasi Ca dari tulang agar kembali diserap oleh usus. Normalnya, bila terjadi peningkatan PTH maka akan disertai oleh kenaikan 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berasal dari vitamin D yang berfungsi untuk meningkatkan penyerapan kalsium di usus. Namun bila asupan vitamin D tidak mencukupi maka 1,25 dihiroksikolekalsiferol ini juga akan berkurang sehingga penyerapan kalsium di usus akan terganggu. Jumlah kalsium yang sdikit dalam plasma akan memacu terjadinya absorpsi kalsium pada tulang yang akan mengakibatkan kerapuhan pada tulang atau yang biasa disebut dengan osteoporosis. Berkurangnya hormone estrogen pada wanita yang postmenopause juga nantinya akan memacu terjadinya osteoporosis. Estrogen memiliki fungsi untuk memacu terjadinya remodeling tulang dengan cara menempel pada reseptor di tulang. (Gordon M. Wardlaw, 2007)
17
Gambar 6. Osteoporosis (Sumber: Gordon M. Wardlaw, 2007)
2.6 Patogenesis Osteoporosis Dalam keadaan normal, pada tulang kerangka tulang kerangka akan terjadi suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan terjadi secara seimbang, yaitu proses resorbsi dan proses pembentukan tulang (remodeling). Setiap perubahan dalam keseimbangan ini, misalnya apabila proses resorbsi lebih besar daripada proses pembentukan tulang, maka akan terjadi pengurangan massa tulang dan keadaan inilah yang kita jumpai pada osteoporosis. Dalam massa pertumbuhan tulang, sesudah terjadi penutupan epifisis, pertumbuhan tulang akan sampai pada periode yang disebut dengan peride konsolidasi. Pada periode ini terjadi proses penambahan kepadatan tulang atau penurunan porositas tulang pada bagian korteks. Proses konsolidasi secara maksimal akan dicapai pada usia kuarang lebih antara 3045 tahun untuk tulang bagian korteks dan mungkin keadaan serupa akan terjadi lebih dini pada tulang bagian trabekula. Sesudah manusia mencapai umur antara 45-50 tahun, baik wanita maupun pria akan mengalami proses penipisan tulang bagian korteks sebesar 0,3-0,5% setiap tahun, sedangkan tulang bagian trabekula akan mengalami proses serupa pada usia lebih muda. Pada wanita, proses berkurangnya massa tulang tersebut pada awalnya sama dengan pria, akan tetapi pada wanita sesudah menopause, proses ini akan berlangsung lebiuh cepat. Pada pria seusia wanita menopause massa tulang akan menurun berkisar antara 20-30%, sedang pada wanita
18
penurunan massa tulang berkisar antara 40-50%. Pengurangan massa tulang ini berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama. Dengan teknik pemeriksaan tertentu dapat dibuktikan bahwa penurunan massa tulang tersebut lebih cepat terjadi pada bagian-bagian tubuh seperti berikut: metacarpal, kolum femoris serta korpus vertebra, sedang pada bagian tubuh yang lain, misalnya: tulang paha bagian tengah, tibia dan panggul, mengalami proses tersebut secara lambat. Pada osteoporosis, terjadi proses pengurangan massa tulang dengan mengikuti pola yang sama dan berakhir dengan terjadinya penipisan bagian korteks serta pelebaran lumen, sehingga secara anatomis tulang tersebut tampak normal. Titik kritis proses ini akan tercapai apabila massa tulang yang hilang tersebut sudah sedemikian berat sehingga tulang yang bersangkutan sangat peka terhadap trauma mekanis dan akan mengakibatkan terjadinya fraktur. Saat-saat inilah merupakan masalah bagi para klinisi. Bagian-bagian tubuh yang sering mengalami fraktur pada kasus osteoporosis adalah vertebra, paha bagian prosimal dan radius bagian distal. Osteoporosis dapat terjadi oleh karena berbagai sebab, akan tetapi yang paling sering dan paling banyak dijuumpai adalah osteoporosis oleh karena bertambahnya usia. Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang). Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa tulang. Ada beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan meningkatkan aktivitasnya yaitu: 1. Defisiensi estrogen Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut, mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF - ), merupakan sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan sekresi Transforming Growth Factor (TGF- ), yang merupakan satu-satunya faktor pertumbuhan(growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk 19
melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak langsung maupun secara langsung juga berpengaruh pada sel osteoklas.
Efek estrogen pada sel osteoblas Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas. Seperti dikemukakan diatas bahwasanya sel osteoblas memiliki reseptor estrogen alpha dan betha (ER dan ER ) di dalam sitosol. Dalam diferensiasinya sel osteoblas mengekspresikan reseptor betha (ER) 10 kali lipat dari reseptor estrogen alpha (ER).
Efek estrogen pada sel osteoklas Dengan defisiensi estrogen ini akan terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF- yang lebih lanjut akan diproduksi M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L menginduksi aktivitas JNK1 dan osteoclastogenic activator protein-1, faktor transkripsi cFos dan c-Jun.11 Estrogen juga merangsang ekpresi dari OPG dan TGF- oleh sel osteoblas dan sel stroma, yang selanjutnya berfungsi menghambat penyerapan tulang dan mempercepat/merangsang apoptosis sel osteoklas (lihat gambar 7)
Gambar 7. Efek estrogen dan sitokin terhadap pengaturan pembentukan osteoklas, aktivitas, dan proses apoptosisnya. Efek estrogen sebagai stimulasi ditandai dengan E(+), sedangkan efek inhibisi dengan tanda E(-) (Sumber : Jurnal Osteoporosis Patogenesis, 20 Diagnosis dan Penanganan, 2009)
Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung estrogen mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas. Dalam deferensiasi dan aktivasinya estrogen menekan ekspresi RANK-L, MCSF dari sel stroma osteoblas, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara RANK-L dan RANK, dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi dengan RANK. Begitu juga secara tidak langsung estrogen menghambat produksi sitokin-sitokin yang merangsang diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-, IL-11 dan IL-7. Terhadap apoptosis sel osteoklas, secara tidak langsung estrogen merangsang osteoblas untuk memproduksi TGF- , yang selanjutnya TGF- ini menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis.Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel osteoklas dewasa.
2. Faktor Sitokin Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui suatu jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-stimulator. Diantara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adalah: IL-1, IL3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF), Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18, dan interferon- , merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis. Interleukin-6 merupakan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian,oleh karena meningkatnya IL-6 terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa penyakit, antaranya berpengaruh pada remodeling tulang dan terjadinya penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik. Sebetulnya tahun 1998 telah dikemukakan
adanya
hubungan
antara
sitokin,
estrogen,
dan
osteoporosis
pascamenopause. Bagaimana mekanisme secara pasti hubungan penurunan estrogen dengan peningkatan sitokin ini belum diketahui secara jelas. Tetapi ini diduga erat hubungannya dengan interaksi dari reseptor estrogen (ER = Estrogen Receptor) dengan faktor 21
transkripsi, modulasi dari aktivitas nitrik-oksid (NO), efek antioksidan, aksi plasma membran, dan perubahan dalam fungsi sel imun. Maka pada studi klinis dan eksperimental ditemukan ada hubungannya antara penurunan massa tulang dengan peningkatan sitokin proinflamasi ini. Kemudian ditemukan lagi bahwa, terjadinya diferensiasi turunan sel monosit menjadi sel osteoklas dewasa/matang dirangsang oleh: tumor necrosis factorrelated factor yang disebut: RANK-L atau dengan nama lain: OPGL atau ODF (Osteoclast Diferentiation Factors). Bahkan dikatakan bahwa RANK-L memegang peran yang sangat esensial dalam pembentukan sel osteoklas dan lebih lanjut akan menyebabkan penyerapan tulang. Melalui studi genetic dan biokemis RANK-L mengatur diferensiasi osteoklas, dengan mengaktifkan reseptor RANK, melalui peran dari faktor transkripsi: cJun.
3. Pembebanan Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan remodeling akibat respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang terjadi dalam suatu unit yang dikenal dengan bone remodeling unit, yang merupakan keseimbangan dinamik antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan pembentukan tulang oleh osteoblas. Remodeling ini dimulai dari perubahan permukaan tulang yang pasif (quiescent) menjadi perubahan permukaan tulang yang mengalami resorpsi. Disini sebetulnya sel osteosit memegang peranan penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan mengirimkan sinyal local kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di permukaan tulang melalui sistem kanalikuler. Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan termineralisasi dalam matriks tulang dengan morfologi stellate, dengan tonjolan dendritic yang merupakan penonjolan plasma membran dan berfungsi sebagai sistem syaraf. Sel osteosit jumlahnya 10 kali dari jumlah sel osteoblas. Osteosit melalui penonjolan plasma membran (panjang 5 - 30 m) dalam kanalikuli dapat berkomunikasi dengan osteoblas. Selanjutnya osteoblas berkomunikasi dengan sel dalam sumsum tulang dengan memproyeksikan selnya ke sel endotil di sinusoid, dengan demikian lokasi strategis osteosit menjadikan sel ini sebagai kandidat sel mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau mengurangi massa tulang selama adaptasi fungsi skeletal. 22
Osteosit juga mempunyai kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang dihasilkan akibat pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon, oleh karena itu gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang (gambar 8).
Gambar 8. Sel osteosit yang terletak dalam lakuna dari matrik tulang yang mengalami mineralisasi dan berfungsi sebagai sel mekanosensori. (Sumber : Osteoporosis Patogenesis, Diagnosis dan Penanganan, 2009)
Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres mekanik dan strain atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan tulang yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga memperkuat tulang dan menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan tulang. Dengan demikian pembebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran, bentuk, dan kekuatan jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan tulang dan arsitektur tulang. Tulang melakukan adaptasi mekanik yaitu proses seluler yang memerlukan sistem biologis yang dapat mengindera pembebanan mekanik. Informasi pembebanan ini harus dikomunikasikan ke sel efektor yang akan membuat tulang baru dan merusak tulang yang tua. (I Ketut Siki Kawiyana, 2009)
a. Patogenesis Osteoporosis Tipe 1 Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabecular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Pertanda 23
resorpsi
tulang
dan
formasi
tulang,
keduanya
meningkat
menunjukkan
adanya
peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuclear, seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang berperan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut, sehingga aktivitas osteoklas meningkat. Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan 1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorbsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat.
Diagram 1. Patogenesis Osteoporosis Tipe I (Sumber: http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html)
24
b. Patogenesis Osteoporosis Tipe II Pada dekade kedelapan dan sembilan kehidupan, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, di mana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang, dan peningkatan risiko fraktur yang independen terhadap BMD. Penyebab penurunan fungsi osteoblast pada orang tua, diduga karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua karena asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim. Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki maupun perempuan. Demikian juga kadar testosterone pada laki-laki. Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan progesterone mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabecular pada laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita. Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause.
25
Diagram 2. Patogenesis Osteoporosis Tipe II (Sumber: http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html)
2.7 Mencegah Osteoporosis
Pencegahan penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan pada usia muda maupun masa reproduksi. Berikut ini hal-hal yang dapat mencegah osteoporosis, yaitu:
Asupan kalsium cukup Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup. Minum 2 gelas susu dan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumya tidak mendapatkan cukup kalsium. Sebaiknya konsumsi kalsium setiap hari. Dosis yang dianjurkan untuk usia produktif adalah 1000 mg kalsium per hari, sedangkan untuk lansia 1200 mg per hari. Kebutuhan kalsium dapat terpenuhi dari makanan sehari-hari yang kaya kalsium seperti ikan teri, brokoli, tempe, tahu, keju dan kacang-kacangan.
26
Paparan sinar matahari Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang. Berjemurlah dibawah sinar matahari selama 20-30 menit, 3x/minggu. Sebaiknya berjemur dilakukan pada pagi hari sebelum jam 9 dan sore hari sesudah jam 4. Sinar matahari membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang (Ernawati, 2008).
Melakukan olahraga dengan beban Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga dapat berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang. Olahraga beban misalnya senam aerobik, berjalan dan menaiki tangga. Olahraga yang teratur merupakan upaya pencegahan yang penting. Tinggalkan gaya hidup santai, mulailah berolahraga beban yang ringan, kemudian tingkatkan intensitasnya. Yang penting adalah melakukannya dengan teratur dan benar. Latihan fisik atau olahraga untuk penderita osteoporosis berbeda dengan olahraga untuk mencegah osteoporosis. Latihan yang tidak boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis adalah sebagai berikut: • Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi benturan dan pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan menambah risiko patah tulang punggung karena ruas tulang punggung yang lemah tidak mampu menahan beban tersebut. Hindari latihan berupa lompatan, senam aerobik dan joging. • Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan membungkuk kedepn dengan punggung melengkung. Hal ini berbahaya karena dapat mengakibatkan cedera ruas tulang belakang. Juga tidak boleh melakukan sit up, meraih jari kaki, dan lain-lain. • Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan menggerakkan kaki kesamping atau menyilangkan dengan badan, juga meningkatkan risiko patah tulang, karena tulang panggul dalam kondisi lemah.
27
Berikut ini latihan olahraga yang boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis : • Jalan kaki secara teratur, karena memungkinkan sekitar 4,5 km/jam selama 50 menit, lima kali dalam seminggu. Ini diperlukan untuk mempertahankan kekuatan tulang. Jalan kaki lebih cepat (6 km/jam) akan bermanfaat untuk jantung dan paru-paru. • Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan mengangkat ”dumbble” kecil untuk menguatkan pinggul, paha, punggung, lengan dan bahu. • Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kesigapan. • Latihan untuk melengkungkan punggung ke belakang, dapat dilakukan dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa penahan. Hal ini dapat menguatkan otot-otot yang menahan punggung agar tetap tegak, mengurangi kemungkinan bengkok, sekaligus memperkuat punggung. Untuk pencegahan osteoporosis, latihan fisik yang dianjurkan adalah latihan fisik yang bersifat pembebanan, terutama pada daerah yang mempunyai risiko tinggi terjadi osteoporosis dan patah tulang. Jangan lakukan senam segera sesudah makan. Beri waktu kirakira 1 jam perut kosong sebelum mulai dan sesudah senam. Dianjurkan untuk berlatih senam tiga kali seminggu, minimal 20 menit dan maksimal 60 menit. Sebaiknya senam dikombinasikan dengan olahraga jalan secara bergantian, misalnya hari pertama senam, hari kedua jalan kaki, hari ketiga senam, hari keempat jalan kaki, hari kelima senam, hari keenam dan hari ketujuh istirahat. Jalan kaki merupakan olahraga yang paling mudah, murah dan aman, serta sangat bermanfaat. Gerakannya sangat mudah dilakukan, melangkahkan salah satu kaki kedepan kaki yang lain secara bergantian. Lakukanlah jalan kaki 2030 menit, paling sedikit tiga kali seminggu.dianjurkan berjalan lebih cepat dari biasa, disertai ayunan lengan. Setiap latihan fisik harus diawali dengan pemanasan untuk: o Menyiapkan otot dan urat agar meregang secara perlahan dan mantap sehingga mencegah terjadinya cedera. o Meningkatkan denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh sedikit demi sedikit.
28
o Menyelaraskan koordinasi gerakan tubuh dengan keseimbangan gerak dan o Menimbulkan rasa santai. Jika masih memungkinkan. Lakukan senam lantai kira-kira 10 menit. Latihan ini merupakan gabungan peregangan, penguatan dan koordinasi. Lakukan dengan lembut dan perlahan dalam posisi nyaman, rileks dan napas yang teratur. (Santoso, 2009).
Hindari rokok dan minuman beralkohol Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting dalam mengurangi faktor risiko terjadinya osteoporosis. Terlalu banyak minum alkohol juga bisa merusak tulang.
29
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan Hasil pembahasan makalah ini menyimpulkan bahwa osteoporosis merupakan salah satu penyakit pada tulang. Osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan resiko terjadinya patah tulang. Ada tiga jenis osteoporosis, yaitu osteoporosis primer (Tipe I (post manopausal), Tipe II (senile)), osteoporosis sekunder dan osteoporosis idiopatik. Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen, osteoporosis senilis terjadi
karena
kekurangan kalsium yang
berhubungan
dengan
usia dan
ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru, osteoporosis sekunder disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal dan obatobatan, osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Patogenesis untuk osteoporosis Tipe I dan Tipe II berbeda. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya osteoporosis diantaranya menghindari rokok dan minuman beralkohol, olahraga teratur, terkena paparan sinar matahari dan mendapat asupan kalsium yang cukup.
3.2 Saran Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan pembaca dapat lebih memahami mengenai osteoporosis, mengetahui cara pencegahan osteoporosis dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
30
DAFTAR PUSTAKA http://dokter-muslimah.blogspot.com/2013/07/osteoporosis.html. Diakses pada 8 Desember 2012 pukul 10.47. http://www.scribd.com/doc/61392189/Gizi-Makalah-Osteoporosis. Diakses pada 8 Desember 2013 pukul 11.02. Isbagio H, Setiyohadi B. Masalah dan Penanganan Osteoartritis Sendi Lutut. Cermin dunia Kedokteran 1995 Okt;104:8-10. Junaidi, I, 2007. Osteoporosis - Seri Kesehatan Populer. Cetakan Kedua, Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer. Junquiera, C. L. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kawiyana, I Ketut Siki. 2009. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis dan Penanganan Terkini. Dalam jurnal “J Peny Dalam, Volume 10 158 Nomor 2 Mei 2009”. Bali : FK UNUD / RSUP. Management of osteopor in canada, CMAJ. 2002 Clinical practice guidelines 4 the dx. Dalam jurnal “HTA Indonesia_2005_Penggunaan Bone Densitometry pada Osteoporosis_hlm 1/27”. Suryati, A, Nuraini, S. 2006. Faktor Spesifik Penyebab Penyakit Osteoporosis Pada Sekelompok Osteoporosis Di RSIJ, 2005. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.2, No.2, Juli 2006:107-126. Tandra H. 2009. Osteoporosis. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. www.mediastore.com. Diakses pada 8 Desember 2013 pukul 09.13. Wardlaw, Gordon M. dan Jeffrey S. Hampl.2007. Perspective in Nutrition.New York: Mc GrawHills Company.
31