Tugas Individu Mata Kuliah : Perubahan Sosial
DINAMIKA PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA, KAJIAN DAN KONSEP TEORI ANTROPOLOGI
Oleh : ANDI MUHAMMAD YUSUF K. E 511 05 027
JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2009 1
PENDAHULUAN Lingkup Perubahan Sosial Budaya Kehidupan manusia bermasyarakat terwujud dalam berbagai tindakan sosial, yaitu antara tindakan para pelaku dalam kegiatan-kegiatan sosial dengan sesama mereka atau dalam kebersamaan, untuk kepentingan pemenuhan berbagai kebutuhan untuk hidup mereka. Tindakan-tindakan sosial para pelaku selalu dilakukan secara spontan dan selalu diselimuti oleh unsur-unsur emosi dan perasaan; sehingga dibedakan dari tindakan-tindakan formal atau rasional yang berlaku dalam kegiatan-kegiatan korporasi atau birokrasi. Tindakan-tindakan sosial, yang menghasilkan adanya hubungan-hubungan sosial antara warga masyarakat, terwujud dalam berbagai kegiatan pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pelaku tersebut selalu berpedoman pada normanorma dan peranan-peranan serta serta nilai-nilai yang ada dalam pranata sosial yang bersangkutan. Selanjutnya, nilai-nilai, norma-norma, dan peranan- peranan yang ada dalam pranata sosial tersebut berpedoman pada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Perubahan sosial atau perubahan dari norma-norma, peranan- peranan sosial, dan pranata-pranata sosial yang berlaku dalam kehidupan sosial sebuah masyarakat dapat terjadi karena adanya perubahan dalam lingkungan hidup masyarakat tersebut, karena perubahan dalam jumlah dan komposisi penduduk yang menjadi warga masyarakat tersebut, karena adanya peminjaman sesuatu unsur kebudayaan lain dan karena adanaya penemuan (discovery) dan penciptaan (invention) dalam kehidupan ekonomi, teknologi, keyakinan, dan berbagai aspek kehidupan lainnya dari masyarakat tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungan hidup dari masyarakat dan begitu juga perubahan demografinya, menyebabkan bahwa pedoman-pedoman yang ada dalam kebudayaan masyarakat tersebut tidak lagi dapat digunakan atau kurang efektif penggunaannya dalam mengatur kehidupan dan dalam menghadapi lingkungan hidup dari masyarakat tersebut. Karena itu, nilai- nilai, normanorma, dan peranan-peranan yang secara keseluruhan merupakan sistem, yang digunakan untuk upaya-upaya pemenuhan kebutuhan bagi hidup mereka harus dirubah, yang perubahanperubahannya disesuaikan dengan lingkungan yang telah berubah tersebut. Perubahanperubahan tersebut telah menghasilkan adanya perubahan-perubahan kebudayaan dan 2
kebudayaan yang berubah tersebut, sebagai pedoman acuan kehidupan sosial, telah menghasilkan adanya perubahan sosial. Dalam kasus pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan dari luar, tejadi penemuan dan penciptaan, prosesnya selalu dimulai secara individual oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Unsur- unsur kebudayaan yang diambil dari luar, yang ditemukan, atau yang diciptakan biasanya dimulai dengan penggunaannya secara individual oleh yang bersangkutan karena dirasakan sebagai menguntungkan. Dengan demikian maka perubahan yang terjadi terwujud pada tingkat individual dan tidak pada tingkat kehidupan sosial dari masyarakat tersebut. Perubahan yang terjadi pada tingkat kehidupan sosial atau perubahan sosial, baru akan terjadi pada waktu keuntungan yang dirasakan secara individual tersebut dikomunikasikannya dengan para warga lainnya tersebut juga merasakan keuntungan yang diperoleh karena menggunakan unsur-unsur kebudayaan baru di dalam kehidupan mereka. Unsur-unsur kebudayaan baru tersebut diakomodasikan didalam norma-norma, perananperanan para pelaku, dan diberi muatan nilai-nilai sesuai kebudayaan yang ada. Dengan demikian terjadilah perubahan di dalam kehidupan sosial dari masyarakat tersebut, yang acuannya adalah perubahan kebudayaan, yang terwujud sebagai corak atau pola-pola kehidupan sosial yang berbeda dari pada yang telah ada sebelumnya. Bila diperhatukan mengenai proses-proses terjadinya perubahan sosial, maka terlihat adanya dua cara: yaitu; 1. Terpaksa berubah karena terjadinya perubahan dalam lingkungan (termasuk perubahan demografi), yang dalam keadaan perubahan tersebut para warga masyarakat tidak mempunyai alternatif lainnya selain menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya, karena lingkungan itulah tempat mereka hidup dan yang menghidupi mereka. 2. Terjadi secara sukarela, bertahap dari yang sederhana menjadi kompleks. Dilakukan oleh individu-individu warga masyarakat yang bersangkutan karena perubahan sosial dan budaya tersebut dirasakan sebagai menguntungkan bagi kehidupan mereka.
3
Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian,
sistem kemasyarakatan,
bahasa,
kesenian,
sistem
pengetahuan,
serta
religi/keyakinan. 1.
Peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata, alat produksi, dan transportasi. Sebagai contoh, pada zaman nenek moyang kita memasak makanan dengan cara membakarnya, sekarang di zaman modern memasak makanan menggunakan alat modern seperti oven atau membeli makanan yang diawetkan. 2.
Mata pencaharian dan sistem ekonomi meliputi pertanian, peternakan, dan
sistem produksi. Sebagai contoh, kaum laki-laki bekerja dengan cara berburu atau pekerjaan lainnya, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Sekarang kaum perempuan dapat juga bekerja dan mata pencaharian untuk kaum laki-laki tidak hanya berburu saja, tetapi sudah beragam jenisnya. 3.
Sistem kemasyarakatan mencakup sistem kekerabatan, organisasi politik,
sistem hukum, dan sistem perkawinan. Sebagai contohnya, pada masa kehidupan belum begitu kompleks orang-orang yang ada ikatan darah atau keluarga selalu hidup bersama dalam satu rumah. Saat ini ikatan masyarakat tidak hanya berdasarkan hubungan kekerabatan, tetapi juga karena profesi, dan hobi yang sama. 4.
Bahasa dahulu disampaikan secara lisan. Sekarang bahasa dapat disampaikan
melalui beragam media, seperti tulisan, sandi, dan sebagainya. 5.
Kesenian mencakup seni rupa, seni suara, dan seni tari. Sebagai contoh, orang
Jawa menganggap bahwa sebuah rumah yang indah jika bernuansa gelap, sekarang masyarakat Jawa banyak menyukai rumah yang bernuansa terang ataupun pastel.
4
6.
Sistem pengetahuan berkaitan dengan teknologi. Dahulu kala sistem
pengetahuan hanya berpedoman pada alam atau peristiwa alam. Sekarang ini sistem pengetahuan terus berkembang seiring berkembangnya teknologi. 7.
Religi atau sistem kepercayaan dahulu kala berwujud sistem keyakinan dan
gagasan tentang dewa, roh halus, dan sebagainya. Oleh karena itu, segala kegiatan manusia dikaitkan dengan kepercayaan berdasarkan getaran jiwa. Namun, sekarang aktivitas manusia banyak yang dikaitkan dengan akal dan logika. Perubahan di berbagai bidang sering disebut sebagai perubahan sosial dan perubahan budaya karena proses berlangsungnya dapat terjadi secara bersamaan. Meskipun demikian perubahan sosial dan budaya sebenarnya terdapat perbedaan. Ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial dapat diartikan sebagai sebuah transformasi budaya dan institusi sosial yang merupakan hasil dari proses yang berlangsung terus-menerus dan memberikan kesan positif atau negatif. Perubahan sosial juga diartikan sebagai perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lain. Faktor Pendorong Perubahan Terjadinya sebuah perubahan tidak selalu berjalan dengan lancar, meskipun perubahan tersebut diharapkan dan direncanakan. Terdapat faktor yang mendorong sehingga mendukung perubahan, tetapi juga ada faktor penghambat sehingga perubahan tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Faktor pendorong merupakan alasan yang mendukung terjadinya perubahan. Menurut Soerjono Soekanto ada sembilan faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, yaitu: 1. Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain. Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil perpaduannya.
Hal ini dapat mendorong terjadinya
perubahan dan tentu akan memperkaya kebudayaan yang ada. 2. Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, 5
rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak. 3. Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju. Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri. 4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya. Untuk itu, toleransi dapat diberikan agar semakin tercipta hal-hal baru yang kreatif. 5. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat. Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya. 6. Penduduk yang heterogen. Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan sosial. 7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya. 8. Orientasi ke masa depan Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesusikan dengan perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. 6
9. Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup. Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Usaha-usaha ini merupakan faktor terjadinya perubahan. Banyak faktor yang menghambat sebuah proses perubahan. Menurut Soerjono Soekanto, ada delapan buah faktor yang menghalangi terjadinya perubahan sosial, yaitu: 1.
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
2.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
3.
Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung
konservatif. 4.
Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested
interest). 5.
Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan menimbulkan
perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat. 6.
Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat.
7.
Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
8.
Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah.
7
PROSES PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA Pola-pola Perubahan: Beberapa Pandangan Antropologi Dalam kalangan antroplogi ada tiga pola yang dianggap sangat penting antara lain Evolusi, Difusi, dan Akulturasi. Landasannya adalah penemuan atau Inovasi. Penemuan paling menentukan dalam pertumbuhan kebudayaan dalam arti penemuan sesuatu secara etimologi menerima sesuatau yang baru. Menurut Kroeber, kebutuhan dan kebetulan kecil sekali peranannya dalam menghasilkan penemuan. Sumber terbesarnya adalah permainan dorongan hati (impulse). Penemuan di bidang ilmu dan kesenian adalah hasil peningkatan penelitian pancaindera dan aktivitas rasa keindahan orang dewasa, yang menyerupai permainan dalam kehidupan anak kecil atau binatang mamalia. Bahasan lebih rinci mengenai penemuan, dikemukakan oleh Barnett. Ia membicarakan penemuan sebagai sesuatu yang lumrah di kalangan manusia. Setiap individu pada dasarnya adalah penemu, meskipun kecenderungan dan kemampuan individu untuk menyimpang dari batas-batas normal penyimpangan yang dapat diterima adalah berbeda bahan yang digunakan oleh penemu atau tercipta berasal dari dua sumber, yakni kebudayaannya sendiri dan aspekaspek pengalamannya sendiri yang tak dibuat-buat seperti sifat dan cirri-ciri pisik dan mentalnya sendiri. Jadi baik faktor internal maupun eksternal membantu menerangkan perbedaan di kalangan individu berkenaan dengan aktivitas penemuan. Barnett sendiri memberikan tekanan khusus pada aspek psikologi dari penemuan dan memperlakukan suasana kebudayaan sebagai kerangka tempat berlakunya faktor psikologis. Hal penting untuk tujuan bahasan kita adalah pendapat Barnett, bahwa penemuan adalah dasar bagi perubahan kebudayaan. Penemuan Baru/ Invention Istilah penemuan (baru) mengacu pada penemuan cara kerja, alat, atau prinsip baru oleh seorang individu, yang kemudian diterima (conventional) oleh orang-orang lain, sehingga hal tersebut menjadi milik bersama masyarakat (Haviland, 1988: 253). Istilah 8
"penemuan" (invention), pada prinsipnya, dapat dibagi menjadi dua ketegori, yaitu: penemuan primer (primary invention) dan penemuan sekunder (seondary invention). Penemuan primer adalah penemuan yang biasanya diperoleh secara kebetulan dan baru pertama kalinya, sedangkan penemuan sekunder adalah proses perbaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui melalui pengalaman. Penemuan primer lebih asli sifatnya, karena langsung dari sumbernya, sedangkan penemuan sekunder cenderung mangalami perubahan, perbaikan dan penyesuaian dengan lingkungannya, sehingga keasliannya tidak terjamin lagi. Sebagai contoh penemuan alat penetak (kapak bermata batu di beberapa suku Papua) pada zaman batu, yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi alat-alat pemotong yang terbuat dari bahan lainnya, seperti tulang binatang dan besi. Penyempurnaan bentuk dan fungsinya dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat pemakainya. Contoh lain, adalah penemuan proses pembakaran tanah liat dari lembek menjadi keras dan seterusnya. Sangat memungkinkan, bahwa pada zaman dahulu kala pernah terjadi pembakaran tanah liat secara tidak disengaja, yang digunakan sebagai wadah untuk memasak sesuatu. Perlu saya jelaskan di sini, bahwa tidak semua kejadian secara kebetulan itu dapat dianggap sebagai suatu penemuan (invention), selama penemunya tidak mengetahui manfaat atau fungsi dari penemuannya tersebut.
Kira-kira 25.000 tahun yang lalu, orang menemukan adanya
penerapan sistem pembakaran tanah liat yang dilakukan oleh manusia purba, karena beberapa artefak patung-patung kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, dapat ditemukan. Akan tetapi, apakah penemuan yang sama dapat terjadi di beberapa tempat, seperti di Timur Tengah, jawabannya adalah tidak, karena penggunaan wadah seperti itu belum mengakar di sana.
Nanti sekitar tahun 7.000 dan tahun 6.500 sebelum masehi, barulah penerapan
pembakaran tanah liat di Timur Tengah mulai dikenal melalui pembuatan wadah-wadah dan bejana memasak yang tebuat dari tanah liat --- yang murah, awet, dan mudah dibuat --ditemukan. Sebuah penemuan, seperti halnya dengan alat pentak dan tembikar di atas dapat berubah dari penemuan primer menjadi sekunder. Banyak bukti yang dapat kita temukan dari perubahan bentuk penggunaan tanah liat menjadi bentuk kentongan untuk menyimpan air, kendi untuk menyimpan air minum, belanga untuk memasak, piring tanah untuk makan dan sebagainya, yang mengalami perubahan bentuk sesuai dengan fungsinya. Kegiatan pembuatan 9
grabah di Banyumulek di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, merupakan salah satu bukti riel perubahan tersebut. Kendi atau kentongan yang dulunya difungsikan sebagai alat memasak atau wadah penyimpanan air, saat ini dijadikan sebagai cendera mata khas Lombok dengan sentuhan-sentuhan seni assesorisnya. Kendi atau kentongan tersebut dibungkus dengan menggunakan anyaman rotan kecil atau kadang-kadang diukir dan dibuat menyerupai guci yang berasal dari negeri cina. Selain perubahan bentuk dan fungsi di atas, perubahan dan efesiensi proses pembuatannya pun juga ikut terjadi. Barang tembikar, misalnya, yang dibuat oleh masyarakat purba dengan menggunakan tangan dan/atau alat sederhana lainnya, sejalan dengan perkembangan waktu mengalami perubahan yaitu dengan menggunakan alat-alat tepat guna. Para pengrajin gerabah waktu lampau melakukan pekerjaannya dengan mengaduk-aduk atau menginjak-injak tanah liat untuk membuat adonan, saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengaduk yang menggunakan mesin atau dinamo pemutar. Para pengrajin tembikar pada waktu silam membuat tembikarnya dengan tanpa wadah dan harus berputar dari salah satu ke sisi lain, ketika membuat tembikarnya, kini dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah meja putar, sehingga pembuatnya tidak perlu lagi mengelilingi tembikar buatannya. Perlu juga saya kemukakan di sini, bahwa tidak tertutup kemungkinan proses perubahan dari penemuan primer ke penemuan sekunder dapat menimbulkan penemuan baru lainnya. Pembuatan tungku pembakaran tanah liat di Timur Tengah, misalnya, yang juga diterapkan ke dalam proses-proses lainnya, seperti pembakaran batu cadas menjadi kapur, peleburan biji tambang (ore) menjadi logam dan lain sebagainya, merupakan salah satu bukti penemuan lain tersebut. Ketika, misalnya, pembakaran tanah liat di Timur Tengah manusia dikagetkan oleh temuan baru berupa kapur atau biji logam, maka ia berusaha membuat percobaan-percobaan khusus dengan membakar batu cadas dan tanah tambang yang dianggap mengandung logam. Penemuan primer dapat mengakibatkan perubahan kebudayaan yang cepat dan merangsang penemuan-penemuan lain, seperti tergambar dalam contoh di atas.
Hal ini
disebakan oleh adanya sifat dinamis yang dimiliki kebudayaan, yang memungkinkan terjadinya penemuan-penemuan. Darwin, misalnya, dengan teori evolusinya menemukan sebuah bukti, yang menurutnya dapat membuktikan, bahwa manusia itu dalam perkembangan 10
evolusi fisiknya berasal dari kera. Temuan ini akhirnya menjadi kontrovesial hingga saat ini, karena temuan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai, pola kebutuhan dan tujuan-tujuan masyarakat. Oleh karena itu, tidak salah apabila Benedict (1934) mengatakan, bahwa peluang penemuan untuk diterima (oleh masyarakat) sangat kecil, kalau penemuan tersebut tidak berhasil menyesuaikan diri dengan pola kebutuhan, nilai dan tujuan-tujuan yang sudah mapan di dalam masyarakat. Faktor lain yang dapat menghambat penerimaan sebuah temua adalah kebiasaan (habit) masyarakat penerimanya. Dengan demikian, manusia pada umumnya akan tetap berpegang pada kebiasaannya dan cenderung enggang menerima sesuatu yang baru, yang menurutnya tidak terlalu adapatif dalam menghadapi lingkungannya. Jadi, peluang besar sebuah penemuan untuk dapat diterima, apabila penemuan tersebut lebih baik daripada apa yang digantikannya. Selain itu, prestise dan status si penemu juga menentukan diterima atau kurang berterimanya suatu temuan. Apabila temuan itu didapat oleh orang-orang yang berprestise atau berpengaruh, maka temuan tersebut cenderung cepat diterima, dibandingkan dengan penemu biasa atau orang-orang yang tidak berpengaruh atau ahli dalam bidangnya. Evolusi Pemikiran evolusi kuno menurut garis lurus ini mengalami kemunduran di awala abad 20. Pemikiran ini mendapat serangan hamper disemua perkara. Sebagian besar kritikan itu menyangkut perbedaan antara teori dan pengetahuan yang terhimpun mengenai masyarakat primitif. Jika tak seluruhnya, kebanyakan teori evolusi ini didsarkan atas data yang tak memadai dan tak cermat, dan teoritisinya sendiri umumnya tidak melakukan penielitian lapangan yang intensif. Begitu pula, teori evolusi kuno cenderung meremehkan peranan kebudayaan pinjaman, dan antropolog baru cenderung melihat pinjaman kebudayaan ini sangat penting artinya. Pemikiran evolusi menurut garis lurus memperkuat sikap etnosentrisme dan menjurus kearah penghinaan kebudayaan masyarakat yang “kurang maju” Pemikiran evolusi baru, yang muncul setelah yang lama hancur karena serangan kritik mematikan itu, mengurangi mitos perkembangan kebudayaan menurut garis lurus. Pemikiran evolusi baru ini merupakan upaya untuk mentesiskan pemikiran ahli evolusi kuno dan pemikiran ahli difusi dan fungsional, yang muncul kemudian. Pemikiran ahli difusi, menekankan sifat mobilitas berbagai unsur kebudayaan dan mencoba mengetahui bagaimana 11
cara berbagai unsur yang membentuk satu kebudayaan tertentu menyatu bersama. Pemikiran ahli teori fungsional menekankan pada saling ketergantungan unsur kebudayaan, hubungan masing-masing unsur menjadi satu keseluruhan yang penuh makna. Seperti pandangan fungsionalisme sosiologis, pandangan ini pun ternyata tak mampu menerangkan masalah perubahan secara memadai. Pemikiran evolusionisme baru, mencakup berbagai ide. Beberapa ahli antropolog kontemporer, menyamakan evolusi dengan perubahan. Sedangkan yang lain membanyangkan evolusi sebagai pertumbuhan, perkambangan atau kemajuan. Wolf membangayangkan evolusi dalam arti perkembangan kumulatif baik kuantitatif maupun kualitatif. Aspek kuantitatif secara tersirat menyatakan tingkatan evolusi menurut skala numeric. Dengan demikian, kebudayaan dapat dibedakan tingkatannya, umpamanya menurut jumlah energi yang digunakan atau menurut cirri demografis, atau menurut intensitas komunikasi. Aspek kualitatif berarti kemunculan-kemunculan komponen kebudayaan baru, yang memasukkan dan menyatukan komponen yang ada menurut cara baru. Sebagian besar penemuan merupakan penyatuan bagian-bagian yang telah ada sebelumnya menurut cara baru. Negara adalah sebuah penemuan sosial yang menghasilkan perubahan kualitatif dalam organisasi kebudayaan. Perubahan kualitatif utamanya adalah terjadinya perubahan dari bagian-bagian kebudayaan yang sebelumnya tidak terspesialisasi menjadi kebudayaan yang berfungsi atas dasar bagian-bagian yang terspesialisasi. Artinya, perubahan dari masyarakat pemburu dan pengumpul makanan ke bentuk masyarakat yang lebih rumpil. Kebudayaan adalah proses yang bersifat simbolis, berkelanjutan, kumulatif, dan maju (progresif). Kebudayaan adalah proses simbolis dalam arti bahwa manusia adalah simbol binatang (terutama binatang yang meggunakan bahasa). Berkelanjutan karena sifat simbolis kebudayaan memungkinkannya dapat dengan mudah diteruskan dari seorang individu ke individu yang lain dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akumulatif dalam arti unsur bar uterus-menerus ditambahkan kepada kebudayaan yang ada. Kebudayaan bersifat progresif dalam arti mencapai control yang semakin meningkat terhadap alam dan semakin menjamin kehidupan yang semakin baik bagi manusia. Dengan kata lain kebudayaan adalah fenomena yang menghasilkan sendiri, mencakup kehidupan individu dan karena itu dapat menjelaskan seluruh perilaku manusia 12
Difusi Meskipun minat terhadap evolusi hidup kembali, pendekatan lebih umum atas perubahan kebudayaan dipusatkan pada proses difusi atau akulturasi. Kedua hal ini akan dibahas berikut ini. Jika dalam teori evolusi menjelaskan perubahan atau perkembangan kebudayaan dari bawah ke atas, maka difusi menjelaskan “perkembangan kebudayaan secara mendatar”. Ide pokok dari teori difusionisme dalam antropologi mengatakan bahwa “terdapat transmisi atau peralihan atau pergeseran atau perpindahan dari suatu kebudayaan apakah sifatnya material, atau sebaliknya dari suatu kebudayaan ke-kebudayaan yang lain, dari orang ke orang, dari suatu tempat ke tempat yang lain”. Berbeda sekali dengan asumsi evolusi bahwa “dinamika atau perkembangan kebudayaan itu dari bawah ke atas secara pelan-pelan”. Terdapat pendugaan-pendugaan atau perposisi atau asumsi-asumsi pokok dalam difusi yang bersifat ekstrim. Dalam difusi ada yang menganut aliran ekstrim dan ada yang sedikit moderat. Aliran ekstrim mengatakan bahwa “umat manusia itu tidak berdaya cipta”, jadi sesuatu itu, budaya maupun sosial, hanya diciptakan sekali saja kemudian ditransmisikan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain yang biasa melampaui pola secara global. Ini bisa disebabkan oleh suatu transmisi antara produk-produk yang stabil yang dibawah oleh masyarakat-masyarakat yang berperadaban yang tinggi. Evolusi klasik mengasumsikan bahwa manusia itu punya kreasi untuk menciptakan sesuatu yang sama dengan yang diciptakan oleh generasi berikutnya melalui peningkatan disetiap tempat yang berbeda-beda. Jadi walaupun berbeda tempat tetapi bisa sama yang diciptakan misalnya perahu, di mana-mana namun tempatnya berbeda, dan dianggap suatu kebetulan, tetapi sebetulnya merupakan suatu perkembangan dari bawah ke atas, tetapi masing-masing punya daya menciptakan seperti itu. Bukan karena adanya perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain. Kita telah membahas difusi sebagai proses yang menyebarkan penemuan (inovasi) keseluruh lapisan satu masyarakat atau kadalam suatu bagian atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Menurut pendekatan antropologi, difusi mengacu pada penyebaran unsurunsur atau ciri-ciri satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Tetapi beberapa antropolog 13
memperdebatkan hal ini. Malinowski menyatakan, difusi takkan dapat dipelajari kecuali bila kita mengambil system organanisasi atau institusi sebagai unit-unit yang disebarkan ketimpang cirri-ciri atau kompleks cirri-ciri kebudayaan. Defenisi yang lebih umum menegaskan bahwa difusi adalah penyebaran aspek tertentu dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Teori difusi muncul sebagai alternative bagi teori evolusi. Teoritisi difusi kuno telah membuat pernyataan yang sama berlebih-lebihannyadengan yang dibuat teoritisi evolusi kuno. Akulturasi Akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain Atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan, yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Sebagaimana difusi, tak ada defenisi akulturasi yang memuaskan setiap antropolog. Defenisi diatas serupa dengan defenisi antropolog klasik Redfield, Linton, dan herkovits akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan sejak dua kelompok yang berbeda kebudayaannya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli salah satu atau kedua kelompok itu menurut defenisi ini, akulturasi hanyalah satu aspek saja dari perubahan kebudayaan. Sedangkan difusi hanyalah satu aspek dari akulturasi. Begitu pila, difusi selalu terjadi dalam akulturasi, tetapi tak dapat terjadi tanpa berkelanjutanya kontak langsung yang di perlukan bagi akulturasi. Defenisi yang menjadi standar dalam perubahan kebudayaan adalah yang dirumuskan tahun 1945. Akulturasi didefenisikan sebagai “perubahan kebudayaan yang dimulai dengan berhubungannya dua sistem kebudayaan atau lebih masing-masing otonom yang menjadi unit analisis adalah setiap kebudayaan yang dimiliki masyarakat tertentu. Individu anggota masyarakat itu jelas adalah pendukung kebudayaan, dan karena itu menjadi perantara yang menyebarkan kebudayaannya kepada individuyang berasal dari masyrakat lain. Dalam analisis akulturasi, individu yang mengubah kebiasaan berperilaku dan keyakinan asing, namun dikatakan adapt masyarakatnyalah yang mengalami akulturasi. Menurut Haviland (1988: 263), bahwa proses akulturasi mendapat perhatian khusus dari para antropolog. Akulturasi terjadi bila kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dan intensif, dengan timbulnya 14
kemudian perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabelnya yang banyak itu, termasuk tingkat perbedaan kebudayaan, keadaan, intensitas, frekuensi, dan semangat persaudaraan dalam hubungan-nya, maka terjadi dua kubu yaitu yang dominan dan yang tunduk, serta kemungkinan ada atau tidaknya saling pengaruh secara timbal balik dari kedua kebudayaan atau lebih yang melakukan kontak. Perlu saya jelaskan di sini, bahwa istilah akulturasi dan difusi kebudayaan merupakan dua bentuk pemakaian istilah yang bertolak belakang. Akulturasi menurut Koentjaraningrat (2003: 7) adalah proses dimana para individu warga suatu masyarakat dihadapkan dengan pengaruh kebudayaan lain dan asing. Dalam proses itu sebagian mengambil alih secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu dan sebagian
pula
berusaha
menolak
pengaruh
itu.
Sedangkan
difusi
kebudayaan
(Koentjaraningrat, 2003: 41), di pihak lain, adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan di muka bumi. Kalau persebaran itu merupakan akibat pengaruh suku bangsa yang satu pada suku bangsa yang lain, proses difusi itu disebut difusi meransang (stimulus diffusion) yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan akibat pengaruh gagasan yang menimbulkan unsur-unsur itu. Akibatnya, sebuah kebudayaan dapat mengambil anasir dari kebudayaan lain tanpa melalui akulturasi sama sekali Sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur (Haviland, 1988: 263). Percampuran atau asimilasi unsur-unsur budaya (cultural assimilations) dapat terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan baru. Inkorporasi (incorporation) terjadi kalau sebuah kebudayaan kehilangan otonominya, tetapi tetap mempunyai identitas sebagai subkultur, seperti kasta, kelas atau kelompok. etnis, seperti yang terjadi di beberapa daerah taklukan, yang umumnya menjadi budak dari penguasanya. Ekstinksi (extinction) atau kepunahan adalah gejala di mana sebuah kebudayaan kehilangan orang-orang yang menjadi anggotanya, sehingga tidak berfungsi lagi, dan kepunahan anggotanya karena mati atau bergabung dengan kebudayaan lain. Dalam adaptasi dapat tumbuh sebuah struktur baru dalam keseimbangan yang dinamis. Perlu juga saya jelskan di sini, bahwa perubahan sebuah kebudayaan dapat berjalan terus, akan tetapi bentuk pertumbuhan bersama biasanya agak lamban.
15
Haviland (1988: 264) memberikan contoh masyarakat Indian di bagian utara New England pasca terjadinya invasi dan kolonialisasi oleh orang-orang Inggris. Dari luar memang tampak, bahwa orang-orang Indian umumya berperilaku mirip dengan para kolonisnya, yang juga hidup bersama-sama dengan mereka. Mereka, misalnya, senang memakai pakaian gaya Eropa, menggunakan alat-alat besi dan bukan alat-alat batu lagi, bertempur dengan menggunakan senapan atau senjata api dan tidak lagi menggunakan busur dan anak panah, menekankan cara patrilineal dalam warisan harta benda mengakui adanya perbedaan kedudukan (laki-laki dan perempuan), umumnya lancar mengunakan salah satu bahasa Eropa (Perancis), dan bahkan memeluk agama Kristen (Katolik). Kebiasaan-kebiasaan sesuai adatsitiadat orang Indian, seperti; berburu, menangkap ikan, menanam jagung, buncis, dan gambas, menggunakan kano dan sepatu salju, serta menghisap rokok sudah lama dijadikan kebiasaan kaum kolonis, sehingga hal tersebut tidak lagi menjadi ciri khas orang Indian. Dengan demikian, perbedaan antara orang Indian dan bukan Indian hampir tidak terlihat lagi, meskipun mereka tetap memelihara inti nilai-nilai (value cores) dan tradisi (customs) khusus sebagai milik mereka sendiri, dan inilah yang akan menjadi ciri pembeda satu-satunya bagi mereka. Menurut Smith (1990: 1), bahwa istilah akulturasi telah digunakan sejak abad ke-19 untuk menggambarkan proses akomodasi dan perubahan yang terjadi di dalam kontak budaya. Akan tetapi, selama tahun 1930-an penggunaannya semakin meningkat, terutama oleh para antopolog Amerika Serikat yang tertarik di dalam studi perubahan kebudayaan dan perubahan sosial, serta pada problematika kerancuan sosial dan kemunduran budaya. Mereka mendefinisikan akulturasi sebagai “fenomena-fenomena yang dihasilkan ketika sekelompok manusia yang berasal dari latar kebudayaan berbeda berada dalam kontak langsung, yang mengakibatkan perubahan secara sufisien dari kedua belah pihak. Memulai dari sebuah pola dasar kebudayaan (culutral baseline) pre-kontak, studi akulturasi kemudian berusaha mempelajari, menggambar-kan dan menganalisa proses perubahan. Dalam aplikasinya, mereka lebih mengkonsentrasikan diri pada kontak antara masyarakat industri dengan masyarakat bersahaja (native population), dengan menekankan pengaruh satu arah dari yang lama hingga selanjutnya, seperti yang terimplikasi di dalam antropologi terapan (Applied Anthropology). Mereka dibesarkan oleh terpaan kritikan, karena keterbukaannya pada proses 16
pengembangan dan latar belakang kelompok kebudayaan dominan dan perubahan yang muncul di dalamnya sebagai hasil dari situasi politik baru, ekonomi dan bentuk sosial. Studi khusus dalam perspektif akultarasi termasuk di dalamnya mekanisme perubahan dan resistensi dalam melakukan perubahan, dan kreasi tipologi dari hasil sebuah perubahan, seperti: Asimilasi, reinter-pretasi, sinkeretisme, revitalisasi dan sebagainya. Studi akulturasi akhir-akhir ini cenderung menghindari pem-bahasan yang berkenaan dengan pola kebudayaaan (cultural pattern) dan latar belakang analisis struktur dominasi sosial, ekonomi dan politik atau interaksi etnik dan strategi penggunaan elemen kebudayaan (cultural elements) dalam kontak kebudayaan yang sedang berlangsung.
PERUBAHAN DAN FENOMENA SOSIAL Logis sekali kalau contoh-contoh penerimaan per-ubahan paling besar bila unsur perubahan itu merupakan akibat dari kebutuhan di dalam masyarakat itu sendiri. Ini dapat merupakan usaha suatu masyarakat, untuk beradaptasi secara ekonomis dengan revolusi teknologi yang melanda seluruh dunia, meskipun dampak perubahan itu mungkin terasa dalam masyarakat seluruhnya. Perubahan peranan wanita di Afrika, atau sebenamya juga di Amerika Serikat, dapat dianggap sebagai contoh perubahan seperti itu.
Akan tetapi,
perubahan sering dipaksakan dari luar kebudayaan, biasanya oleh kolonialisme melalui penaklukan. Perubahan kebudayaan selain terjadi karena adanya mekanisme perubahan seperti yang telah dijelaskan di atas, bisa juga terjadi karena adanya perubahan secara paksa. Bentukbentuk perubahan kebudayaan secara paksa adalah kolonialisme. Penaklukan, pemberontakan dan revolusi. Kolonilasme dan penaklukan biasanya ditandai oleh kemenangan militer negara penjajah/penakluk dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ke tangan kolonial/penakluk. Penduduk asli yang ditaklukkan tidak mampu menolak perubahan yang dipaksakan. Kegiatan-kegiatan tradisional di bidang ekonomi, politik, agama, sosial dibatasi 17
dan dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung mengisolasikan individu dan merusak integrasi sosialnya. Perubahan kebudayaan secara paksa melalui kolonialisme dan penaklukan terjadi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Politik kolonilalisme dikembangkan oleh negara-negara, seperti Belanda, Portugal, Inggris, Perancis, Spanyol dan Amerika serikat. Tidak mengherankan jika unsur-unsur budaya negara penjajah sampai sekarang masih ditemukan dan diterapkan di negara-negara bekas jajahan. Unsurunsur bahasa, agama, system politik negara kolonial dapat ditemukan di negara bekas jajahannya. Apabila kolonialisme dan penaklukan merupakan bentuk perubahan kebudayaan secara paksa yang berasal dari luar, maka pemberontakan dan revolusi dapat timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemberontakan dan revolusi muncul karena kondisi-kondisi yang dianggap kurang menguntungkan bagi sebagian besar masyarakat. Kondisi yang dimaksud bisa berupa ketidakadilan dalam distribusi (kekayaan/material dan kekuasaan), munculnya perasaan benci pada kelompok yang dianggap sebagai penindas dan hilangnya kepercayaan penguasa. Menurut Haviland (1988: 268) terdapat lima kondisi sebagai pencetus timbulnya pemberontakan dan revolusi, yaitu: (1) hilangnya kewibawaan pejabat-pejabat yang kedudukan-nya mantap, sering sebagai kegagalan politik luar negeri, kesulitan keuangan, pemecatan menteri yang popular, atau perubahan kebijakan yang popular, (2) Bahaya terhadap kemajuan ekonomi yang baru dicapai. Di Perancis dan Rusia, golongan penduduk (golongan profesi dan pekerja di kota-kota) yang nasib ekonominya mengalami perbaikan sebelumnya, tertimpa oleh kesulitan-kesulitan yang tidak terduga-duga, seperti tajamnya kenaikan pangan dan pengangguran, (3) Ketidaktegasan pemerintah, seperti kebijaksanaan yang tidak konsisten. Pemerintah yang demikian itu kelihatannya seperti dikendalikan dan tidak mengendalikan peristiwa, (4) Hilangnya dukungan dari kelas cendekiawan. Kehilangan seperti itu oleh pemerintah-pemerintah prarevolusi di Perencis dan Rusia menyebab-kan pemerintah kehilangan dukungan falsafahnya, yang menyebabkan mereka kehilangan popularitas di lingkungan cendekiawan, (5) Pemimpin atau kelompok pemimpin yang memiliki kharisma cukup besar untuk menggerakkan sebagian besar rakyat, melawan pemerintah.
18
Kelima kondisi di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menganalisis perubahan kebudayaan melalui pemberontakan dan revolusi yang terjadi di Indonesia pada tahun 19971998 (masa reformasi).
Pada saat itu Presiden Soeharto, kabinet serta kroninya sudah
kehilangan kewibawaan di mata rakyatnya, karena dianggap gagal membenahi persoalan ekonomi politik yang terjadi. Tingkat inflasi yang tinggi, korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sengsara. Rakyat semakin tidak percaya dengan rezim orde baru. Kalangan cendekiawan dan akademisi mulai mencabut dukungannya serta menuntut untuk segera mundur. Munculnya pemimpin-pemimpin informal yang kharismatik, seperti Amin Rais, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Hamengkubuwono X yang memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan rakyat. Dimotori oleh gerakan mahasiswa dan didukung oleh pemimpin karismatik, akhirnya terjadilah perubahan besar-besaran di Indonesia yang diawali dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998. Salah satu produk sampingan kolonialisme adalah tumbuhnya antropologi terapan dan digunakannya teknik dan pengetahuan antropologi untuk keperluan "praktis”.
Dengan
demikian, tidak salah bila antropologi Inggris sering dipandang sebagai "hamba" politik kolonial negara tersebut, karena mereka umumnya dipaksa menyediakan informasi yang berguna untuk tetap mempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonial di daerah jajahannya. Di Amerika Serikat, para ahli antropologi dari abad-19 sangat mendambakan kegunaan disiplin mereka, dan tidak jarang mereka turun tangan membantu orang-orang Indian Amerika, tempat mereka bekerja. Awal abad ini, karya Franz Boas, yang hampir seorang diri melatih satu generasi ahli antropologi di Amerika Serikat, telah membantu pemerintah untuk mengubah politik imigrasi negara tersebut.
Dalam tahun 1930-an para ahli antropologi
menanggapi sejumlah studi yang dilakukan di lingkungan industri dan lembaga-lembaga lainnya, untuk tujuan-tujuan terapan.
Timbulnya Perang Dunia II timbullah pekerjaan-
pekerjaan khusus di bidang administrasi kolonial di luar perbatasan nenua Amerika, khususnya di daerah Pasifik, yang dikerjakan oleh pegawai-pegawai yang telah mendapat latihan di bidang antropologi. Timbulnya kebangkitan orang-orang Jepang untuk melawan tentara sekutu juga disebabkan oleh pengaruh dari para ahli antropologi dalam menentukan struktur pendudukan Amerika Serikat. Eksperimen-eksperimen Amerika Utara yang dimaksudkan untuk memadu 19
kebudayaan kolonial dengan struktur pribumi dengan kekacauan yang sekecil mungkin, juga telah berhasil. Meskipun banyak di antara studi itu diakui memang untuk kepentingan sandi militer, akan tetapi itu semua juga bermanfaat untuk program pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, seperti yang tercermin dalam beberapa kepustakaan awal tentang hubungan antara bangsa-bangsa Eropa dengan kelompok-kelompok penduduk asli, tidak mengandung pengertian antropologis dan sering tidak ada perikemanusiaan samasekali. Pertemuan antara kolonialis dengan penduduk pribumi di beberapa tempat sering mengakibatkan kematian besar-besaran, kesengsaraan yang memilukan, dan keruntuhan komunitas atau yang lebih dikenal sebagai "kerusakan kebudayaan" (culture crash). Keruntuhan tradisi komunitas seperti di atas yang ditandai dengan terjadinya khaos atau ketidakstabilan sosial dan kecemasan setiap individu, sering diikuti dengan terjadinya pendudukan kolonial. Ini samasekali tidak berarti, bahwa masyarakat tradisional itu tidak mengenal bentrokan sebelum berhubungan dengan peradaban lain, tetapi berarti bahwa pertentangan-pertentangan tersebut dapat diatasi melalui lembaga-lembaga kebudayaanya. Kebudayaan asli pada awal-awal terjadinya pendudu-kan umumnya berantakan, karena lembaga-lembaga tradisional yang diciptakan untuk mengatasi ketegangan atau pertentangan diantara masyarakat pendukung sebuah kebudayaan tidak diperbolehkan oleh para penguasa kolonial untuk menangani perubahan baru yang cepat dan tidak pada tempatnya dalam konteks sistem tradisional itu. Perubahan yang terlalu cepat dalam sistem nilai, misalnya, menyebabkan bagian-bagian lain dari kebudayaan menjadi ketinggalan. Kadang-kadang penduduk pribumi memperlihatkan kekuatan dan daya tahan yang besar dalam menghadapi dominasi Eropa, dimana mereka menemukan dan melakukan caracara yang kreatif dan cerdik untuk mengkounternya. Penduduk yang dimaksud orang-orang Trobriand yang berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Para misionaris suatu ketika memperkenalkan sebuah permainan tradisional Inggris bernama “cricket” kepada masyarakat Trobriand yang menjadi daerah jajahan negaranya. Akan tetapi, semua penduduk berusaha dan sepakat untuk membendung masuknya permainan Inggris secara utuh dengan menjadikannya sebagai suatu pertandingan yang benar-benar bersifat Trobriand.
Tidak
"primitif" dan juga tidak terlalu sesuai dengan bentuk aslinya di Inggris. Cricket ala Trobriand 20
yang kreatif ini disejajarkan dengan kegiatan-kegiatan yang khas, yang tetap mempertahankan pentingnya pandangan-pandangan pokok dalam kebudayaan pribumi itu. Semua orang yang berkepentingan dengan permainan itu kelihatan gembira dan bangga, dan para pemainnya sama semangatnya untuk memamerkan siapakah diantara mereka itu mampu mencetak nilai. Mulai dari mengecat mukanya sebagai tanda persiapan untuk bermain, nyanyian tim yang membawakan lagu-lagu yang bernada "kasar", tari-tarian rombongan yang saling memberi semangat, tidak dapat diragukan lagi, bahwa setiap pemain bermain demi kepentingannya sendiri, demi kemasyhuran timnya, dan demi ratusan gadis-gadis cantik yang biasanya menonton pertandingan itu. Kasus-kasus akulturasi yang paling ekstrim biasanya terjadi sebagai akibat dari kemenangan militer dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ke tangan para penakluk, yang tidak mengetahui apa-apa tentang kebudayaan yang mereka kuasai. Rakyat pribumi, yang tidak mampu menolak perubahan-perubahan yang dipaksakan, karena kegiatankegiatan tradisional mereka di bidan sosial, agama dan ekonomi juga turut dibatasi, sehingga mereka dengan terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung mengisolasikan individu dan mengoyak-koyak integrasi sosialnya. Sistem perbudakan di Amerika Serikat pada masa kolonialnya, merupakan contoh yang paling terkenal, yang memberi penjelasan tentang masalah hubungan antar-ras yang dahulu dikemas dalam istilah "inferioritas rasial." Perlu juga saya kemukakan di sini, bahwa sistem perbudakan yang terjadi di Amerika pada awalnya tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga hingga ke negara-negara bagian, seperti di daerah-daerah perkebunan di Kepulauan Karibia dan di daerah-daerah pantai Amerika Selatan hingga ke bagian tenggara Amerika Serikat. Masaah-masalah rasial yang diwarisi Amerika Serikat dari zaman perbudakan itu juga terdapat di daerah-daerah Amerika yang pernah menjalankan praktek-praktek perbudakan.
21
PENUTUP Masyarakat manusia di manapun tempatnya pasti mendambakan kemajuan dan peningkatan kesejahteraan yang optimal. Kondisi masyarakat secara obyektif merupakan hasil tali temali antara lingkungan alam, lingkungan sosial serta karakteristik individu. Ketigatiganya selalu berhubungan antara satu sama lain sehingga membentuk sebuah bangunan masyarakat yang dapat dilihat sebagai sebuah realitas sosial. Perjalanan panjang dalam rentangan periode kesejarahan telah mengajak masyarakat manusia menelusuri hakikat kehidupan dan tata cara kehidupan yang berkembang pesat. Kemampuan akal budi sebagai instrumen unggulan manusia telah melahirkan beraneka ragam karya cipta melesat melampaui aspek-aspek material dilingkungan luarnya. Dengan demikian, senjata pamungkas tersebut rupanya berperan besar menafsirkan realitas sosial yang selama ini dipandang sebagai kenyataan alamiah yang steril dari kemungkinan intervensi kekuatan manusia. Kiranya semenjak diakuinya kemampuan akal mengungkap kekuatan alam, secara perlahan-lahan kalangan pemikir mulai melirik masyarakat sebagai obyek yang mampu dipahami gejalagejalanya lalu dikendalikan dan disusun rekayasa sosial berdasarkan pemahaman menyeluruh tentang kondisi obyektif msayarakat tersebut. Lahirnya ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi manandai bahwa masyarakat sebagai kenyataan kini dipahami seperti sebuah benda yang bisa “diutak-atik”. Begitu pula tentang perubahan sosial, terlepas dari berbagai definisi perubahan sosial, pada hakikatnya telah mampu mengungkap hukum-hukum dan antisipasi proses-proses sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap peradaban manusia. Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk peradaban manusia akibat adanya ekskalasi perubahan alam, biologis maupun kondisi fisik maka pada dasarnya perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai dari kelompok terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan dalam masyarakat. Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki 22
manfaat
untuk
memahami
kehidupan
manusia
dalam
kaitan
dengan
lingkungan
kebudayaannya. Kehidupan manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola belajarnya akan berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Bahwa manusia akan menjumpai lingkungan komunitas masyarakat: manusia akan belajar dari lingkungan komunitasnya sehingga mencakup peran serta masyarakat, kelompok-kelompok belajar sepanjang hidup, birokrasi yang mendukung, sumber informasi yang luas dan beragam dll. Dengan begitu kehidupan manusia tidak dapat dilepas dari peran ketiga lingkungan sistem aktivitas belajar dan mencermati dirinya, terbentuknya kesadaran, pengalaman yang menggelitas dan keberanian untuk mulai menapak menggunakan potensi yang dimilikinya. Analogi dengan pemikiran itu, apa yang dapat dinyatakan dengan lengkap, perubahan sosial adalah suatu proses yang luas, lengkap yang mencakup suatu tatanan kehidupan manusia. Perubahan sosial tidak hanya dilihat sebagai serpihan atau kepingan dari peristiwa sekelompok manusia tetapi fenomena itu menjadi saksi adanya suatu proses perubahan empiris dari kehidupan umat manusia. Perubahan sosial akan mempengaruhi segala aktivitas maupun orientasi pendidikan yang berlangsung. Intervensi kekuatan proses tersebut juga mencakup semua proses yang terjadi di berbagai sektor masyarakat. Baik dari tingkat basis keluarga sampai interaksi antar pranata sosial. Sebagai bagian dari pranata sosial, tentunya pendidikan akan ikut terjaring dalam hukum-hukum perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Sebaliknya, pendidikan sebagai wadah pengembangan kualitas manusia dan segala pengetahuan tentunya menjadi agen penting yang ikut menentukan perubahan sosial masyarakat ke depan.
23
REFERENSI Fattah, Sanusi. 2008. Ilmu pengetahuan sosial : untuk SMP/MTs kelas IX. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Hanafi Abdillah, Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Jakarta Jalaluddin Rakhmat. 2004. Rekayasa Sosial. Jakarta Jean P Baudrillard, 2004. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana. Yogyaklarta Koentjaraningrat. 1975. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I.:Erlangga. Jakarta Sjaifuddin Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Prenada Media. Jakarta Sjafri Sairin, 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia:
Perspektif Antropologi.
Pustaka Belajar. Yogyakarta. Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta Soelaeman, Munandar.2005 Ilmu Budaya Dasar. Refika Aditama. Bandung Suparlan, Parsudi. Pengentasan Kemiskinan Melalui Perubahan Sosial dan Kebikjaksanaan Sosial. Makalah. Jakarta 24
____________. 1986 "Kebudayaan dan Pembangunan", dlm Media Ikatan Kekerabatan Antropologi, No. 11, hal. 2-19. Sukmayani, Ratna. 2008. Ilmu pengetahuan sosial 3: untuk SMP/MTs kelas IX. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. http://www.pdf-search-engine.com/teori-perubahan-sosial-menurut-ahli-pdf.html http://aramdhon.staff.uns.ac.id/files/2009/05/template-bab-i.pdf http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/gmhumaniora/250 http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_antropologi/bab4dinamika_kebudayaan.pdf
25