BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Gangguan muskuloskeletal adalah suatu kondisi yang mempengaruhi sistem muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan atau saraf pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak nyaman, kebas pada bagian yang terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya mulai dari ringan sampai kondisi berat, kronis dan lemah. Gangguan
muskuloskeletal
merupakan
salah
satu
masalah
utama
kesehatan diseluruh dunia dengan prevalensi 35 – 50% (Lindgren dkk, 2010). Pada Nord Pada Nord – Trøndelag Trøndelag County di Norwegia terdapat 45% dari populasi orang dewasa melaporkan nyeri musculoskeletal kronis selama setahun terakhir (Hoff dkk, 2008). Gangguan muskuluskeletal diantaranya fraktur, dislokasi, sprain, strain dan sindrom compartemen. Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masingmasing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Sprain atau keseleo merupakan cedera umum yang dapat menyerang siapa saja, tetapi lebih mungkin terjadi pada individu yang terlibat dengan olahraga, aktivitas berulang, dan kegiatan dengan resiko tinggi untuk kecelakaan. Sprain biasanya terjadi pada jari-jari, pergelangan kaki, dan lutut. Bila kekurangan ligamen mayor, sendi menjadi tidak stabil dan mungkin diperlukan perbaikan bedah.
1
Strain atau regangan adalah berlebihan peregangan otot, lapisan fasia nya, atau tendon. Kebanyakan strain terjadi pada kelompok otot besar termasuk punggung bawah, betis dan paha belakang. Strain juga dapat diklasifikasikan sebagai tingkat pertama (otot ringan atau sedikit menarik), tingkat kedua (sedang atau otot robek pada tingkat menengah) dan tingkat ketiga (robek parah atau pecah). 1.2 RUMUSSAN MASALAH
Berdasarkan data-data di atas bagaimana konsep kegawatdaruratan pada truma thorak ? 1. Bagaimana penilaian awal trauma musculoskeletal? 2. Bagaimana trauma musculoskeletal yang mengancam jiwa? 3. Apa saja trauma yang mengancam musculoskeletal? 4. Bagaimana penatalaksanaan trauma musculoskeletal? 5. Apa definisi kompartement syndrome? 6. Apa penyebab kompartement syndrome? 7. Bagaimana penatalaksanaan kompartement syndrome?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui penilaian awal trauma musculoskeletal 2. Untuk mengetahui trauma musculoskeletal yang mengancam jiwa 3. Untuk mengetahui apa saja trauma yang mengancam musculoskeletal 4. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma musculoskeletal 5. Untuk mengetahui definisi kompartement syndrome 6. Untuk mengetahui penyebab kompartement syndrome 7. Untuk mengetahui penatalaksanaan kompartement s yndrome
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 PENILAIAN AWAL TRAUMA MUSCULOSKELETAL
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ). Penilaian awal meliputi: 1. Persiapan 2. Triase 3. Primary survey (ABCDE) 4. Resusitasi 5.
Secondary survey
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus. 1. Persiapan a. Fase Pra-Rumah Sakit 1) Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan 2) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut dari tempat kejadian. 3) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita. b. Fase Rumah Sakit 1) Perencanaan sebelum penderita tiba 2) Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah dijangkau
3
3) Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau 4) Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. 5) Pemakaian alat-alat proteksi diri 2. Triage Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase : a. Multiple Casualties Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan
rumah
sakit.
Penderita
dengan
masalah
yang
mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu. b. Mass Casualties Jumlah
penderita
dan
beratnya
trauma
melampaui
kemampuan rumah sakit. Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu. 3. Primary Survey a. Airway dengan kontrol servikal 1) Penilaian a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi) b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi 2) Pengelolaan airway a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
4
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi. 3) Fiksasi leher 4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula. 5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi 1) Penilaian a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya. d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor e) Auskultasi thoraks bilateral 2) Pengelolaan a) Pemberian
oksigen
konsentrasi
tinggi
(
nonrebreather mask 11-12 liter/menit) b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask c) Menghilangkan tension pneumothorax d) Menutup open pneumothorax e) Memasang pulse oxymeter 3) Evaluasi c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan 1) Penilaian a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal b) Mengetahui sumber perdarahan internal
5
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. e) Periksa tekanan darah 2) Pengelolaan a) Penekanan
langsung
pada
sumber
perdarahan
eksternal b) Kenali
perdarahan
internal,
kebutuhan
untuk
intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah. c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA). d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat. e) Pasang
PSAG/bidai
pneumatik
untuk
kontrol
perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa. f) Cegah hipotermia 3) Evaluasi d. Disability 1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS 2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi 3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation. e. Exposure/Environment 1) Buka pakaian penderita
6
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat. 4. Resusitasi a. Re-evaluasi ABCDE b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat (lihat tabel 2) c. Evaluasi resusitasi cairan 1) Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3, tabel 3 dan tabel 4 ) 2) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-tanda syok 3) Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal. 4) Respon cepat a) Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance b) Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah c) Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan d) Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan 5) Respon Sementara a) Pemberian
cairan
tetap
dilanjutkan,
ditambah
dengan pemberian darah b) Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif c) Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ). 6) Tanpa respon a) Konsultasikan pada ahli bedah b) Perlu tindakan operatif sangat segera
7
c) Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard d) Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 ) 2.2 TRAUMA MUSCULOSKELETAL YANG MENGANCAM JIWA
1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan a. Trauma Fraktur
pelvis
yang
disertai
perdarahan
seringkali
disebabkan fraktur sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek system, arteri iliakainterna (trauma komprresi anterior-posterior). Pada tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan yang mengenai
sisi
lateral
pelvis
dan
cenderung
menyebabkan
hemipelvis rotasi ke dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan system vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis mendesak ke arah sistem urogenital bawah,sehingga menyebabkan trauma uretra atau buli-buli. b. Pemeriksaan Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan resusitasi. Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau hematom yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-tanda trauma pelvicring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka daerah pelvix (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding prostate (prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring diperiksa dengan manipulasi manuual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah dengan ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai ( biasanya rotasi eksternal ) tanpa
8
adanya fraktur pada ekstremitas tersebut. Bila penderita sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang pemeriksaan klinis. c. Pengelolaan Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan eksternal counter pressure. Teknik sederhana
dapat
dilakukan
untuk
stabilisasi
pelvissebelum
penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat ditambah denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG. Cara-cara sementara inidapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan tampon untuk menghentikan perdarahan. 2. Perdarahan Besar Arterial a. Trauma Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan di dalam jaringan lunak. b. Pemeriksaan Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yangmembesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskuler.
9
c. Pengelolaan Pengelolaan
perdarahan
besar
arteri
berupa
tekanan
langsung dan resusitasi cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic
secara
bijaksana
mungkin
akan
menolong
menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular ditempat perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali pembuluh darahnya terletak disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan penunjang yang lain baru dikerjakan jika penderita telah teresusitasi dan hemodinamik normal. 3. Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik ) a. Trauma Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini terjadi akibatcrush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan pelepasan mioglobin. b. Pemeriksaan Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan
positif
Rabdomiolisis
bila
diperiksa
dapat
untuk
menyebabkan
adanya
hemoglobin.
hipovodemi,
asidosis
metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC (Disseminated intravascular coagulation). c. Pengelolaan Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat dicegah dengan pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan isis tubulus dan aliranurine. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine 100ml/jam sampai bebasdari mioglobin uria.
10
2.3 TRAUMA YANG MENGANCAM MUSCULOSKELETAL
1. Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi a. Trauma Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar.Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi. b. Pemeriksaan Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstermitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa kerusakaan luas otot serta kontaminasi.Jika terdapat luka terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan atau masuk kedalam sendi, dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan luka terbuka padasendi adalah dengan eksplorasi bedah dan pembersihan luka. c. Pengelolaan Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan imobilisasi. Penderita segera diresusitasi secara
adekuat
dan
hemodinamik
sedapat
mungkinstabil.
Profilaksis tetanus segera diberikan. 2. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatic a. Riwayat dan pemeriksaan Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus ekstremitas.Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pilsasi melemah dan ankle/brachial index abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan nadi tidak teraba.
11
b. Pengelolaan Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif terhadap keadaan tanpa oksigen.Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran darah padaekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai. Iskemia
menimbulkan
nyeri
hebat
dan
konsisten.Amputasi
traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang menimbulkan kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan,
trauma
saraf
dankerusakan
otot
mungkin
memerlukan amputasi.Penderita dengan trauma multipel yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi gawatdarurat bukan kandidat untuk reimplantasi.Anggota yang teramputasi dicuci dengan larutan isotonic dan dibungkus kasasteril dan dibasahi lautan penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL ) dan dibungkus kantong plastik. Kantong plastik ini dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu dikirimkan bersama penderita. 3. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi a. Trauma Fraktur atau/dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan persendian. Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara cepat. b. Pemeriksaan Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan trauma musculoskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan neurologis yang progresif harus dicatat. Pada pemeriksaan
biasanya
akan
didapatkan
deformitas
dari
musculoskeletal. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama
12
penderita. Setiap saraf perifer yang besar diperiksa fungssi motorik dan sensorik perlu diperiksa secara sistematik. c. Pengelolaan Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di reavaluasi dan ekstremitas dipasang bidai. 4. Trauma Ekstremitas Yang Lain a. Kontusio dan Laserasi Secara
umum
laserasi
memerlukan
debridemen
dan
penutupan luka. Jika laserasimeluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk membersihkan luka danmemeriksa struktur-struktur di bawahnya yang rusak. Kontusio umumnya dikenal
karena
ada
nyeri
dan
penurunan
fungsi.
Palpasi
menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Kontusio diobati dengan kistirahat dan pemakaian kompresdingin pada fase awal. b. Trauma Sendi Trauma
sendi
bukan
dislokasi
(sendi
masih
dalam
konfigurasi anatomi normal tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak mengancam muskuloskeletal, walaupun dapat menurunkan fungsi musculoskeletal. Biasanya ditemukan adanya gaya abnormal terhadap sebagian contoh tekanan terhadap bagian anterior yang mendorong kebelakang,tekanan terhadap bagian lateral tungkai yang menimbulkan regangan valgus pada lutut atau dengan lengan ekstensi sehingga menimbulkan trauma hiperfleksi siku. c. Fraktur Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Krepitasi dan gerakan abnormal ditempat fraktur kadang-kadang dilakukan untuk memastikn diagnosis, tetapi hal ini dapat menambah
sangat
nyeri
kerusakan
jaringan
lunak.
13
Pembengkakan,nyeri tekan dan deformitas biasanya cukup untuk membuat
diagnosis
fraktur.
Mempertimbangkan
status
hemodinamik pasien, foto rontgen harus mencakup sendiatas dan bawah tulang yang fraktur,untuk menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.
2.4 PENATALAKSANAAN TRAUMA MUSCULOSKELETAL
1. Penilaian Cedera : a. Penilaian awal – ABC b. Sejarah : c. Keluhan utama d. Mekanisme cedera e. Tanda dan gejala f.
Fokus penilaian fisik 1) Pengamatan/observasi 2) Inspeksi 3) Palpasi 4) 5 P : Pain, Pallor, Pulselesness, Parestesia, Paralysis
2. Intervensi : a. R = Istirahat / mengimobilisasikan b. I = Es c. C = Kompresi d. E = Elevation e. S = Dukungan 3. Indikasi Splinting : a. Pencegahan cedera lebih lanjut b. Mengurangi Nyeri c. Mengurangi pembengkakan d. Menstabilkan fraktur atau dislokasi e. Meringankan gangguan fungsi neurologis atau kejang otot f.
Mengurangi darah dan kehilangan cairan ke jaringan
14
4. Poin Kunci Imobilisasi / Splinting : a. Imobilisasi dilakukan di sendi bagian atas dan di bagian bawah dari cedera b. Menilai Status neurovaskular cedera di daerah distal sebelum aplikasi belat dan setelah aplikasi belat c. Jika angulation di situs fraktur tanpa kompromi neurovaskular, imobilisasi dikerjakan d. Minimalkan gerakan ekstremitas selama belat e. Pembelatan yang aman untuk memberikan dukungan dan kompresi f.
Menilai kembali / memonitor status neurovaskular setiap 5-10 menit
2.5 DEFINISI KOMPARTEMENT SYNDROME
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan
interstitial
dalam
sebuah
ruangan
terbatas
yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal) Sindroma
kompartemen
merupakan
suatu
kondisi
dimana
terjadi
penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi menjadi akut, subakut dan kronik.
2.6 PENYEBAB KOMPARTEMENT SYNDROME
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain: 1. Penurunan volume kompartemen
15
Kondisi ini disebabkan oleh: a. Penutupan defek fascia b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas 2. Peningkatan tekanan eksternal a. Balutan yang terlalu ketat b. Berbaring di atas lengan c. Gips 3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain: a. Pendarahan atau Trauma vaskuler b. Peningkatan permeabilitas kapiler c. Penggunaan otot yang berlebihan d. Luka bakar e. Operasi f.
Gigitan ular
g. Obstruksi vena Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.
2.7 PENATALAKSANAAN KOMPARTEMENT SYNDROME
Penanganan kompartemen secara umum meliputi: 1. Terapi Medikal/non bedah Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi: a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia. b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
16
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen. d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah. e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol
dapat
mengurangi
tekanan
kompartemen.
Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas. 2. Terapi Bedah Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena
lebih
aman
dan
lebih
efektif,
sedangkan
insisi
tunggal
membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
17
BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN
Trauma
muskuloskletal
biasanya
menyebabkan
disfungsi
struktur
disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan
yang
paling
sering
terjadi
akibat
trauma
muskuloskletal
adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi. Kontusio merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh. Sprain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada ligament (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi, yang memberikan stabilitas sendi. Strain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur muskulo-tendinous (otot dan tendon) sedangkan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
3.2 SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan kita tentang konsep trauma musculoskeletal. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi. Terima Kasih.
18
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Junaidi, Iskandar. 2011. Pedoman Pertolongan Pertama Yang Harus Dilakukan Saat Gawat Dan Darurat Medis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
19