1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan mensyarahi hadis sudah ada sejak Rasulullah hidup. Hal ini karena hadis yang disampaikan oleh Rasulullah selalu menimbulkan pertanyaan untuk para sahabat. Untuk menindaklanjuti pertanyaan tersebut, maka Rasulullah memberikan penjelasan terhadap hadis yang disampaikan. Kegiatan syarah hampir sama dengan tafsir, namun tafsir lebih kepada Al-Qur’an. Al-Qur’an. Syarah merupakan interpretasi dari sebuah hadis atau sebuah kitab agar lebih mudah dipahami makna dan tujuannya. Di bawah ini akan dibahas secara sederhana tentang praktik syarah hadis tentang niat. B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian niat? 2. Bagaimana cara mentakhrij mentakhrij hadis hadis tentang niat? 3. Bagaimana cara mensyarahi hadis tentang niat?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian niat. 2. Untuk mengetahui cara mentakhrij hadis tentang niat. 3. Untuk mengetahui cara mensyarahi hadis tentang niat.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NIAT
Niat berarti suatu maksud atau keinginan hati. Niat, kemauan dan tujuan merupakan rangkaian yang terajut dalam satu pengertian, yaitu suatu kondisi dan sifat hati yang menghubungkan 2 hal yaitu ilmu dan amal. Ilmu atau pengetahuan mendahului karena dia merupakan hasil dari pengetahuan. Setiap aktivitas tidak bisa tidak pasti memuat tiga unsur pokok yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan, karena dia tidak menginginkan apa yang dia tidak tahu. 1 Walaupun orang mengetahui namun tidak ada keinginan untuk melakukan aktivitas juga tidak akan terjadi, dan ketika orang dengan pengetahuannya melakukan sesuatu, maka dia pasti punya tujuan tertentu. 2 Rasulullah SAW. Bersabda :
: . : . ) ( Artinya : “Dari Umar r.a. berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW. Bersabda : Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu ada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap manusia itu apa yang diniatkan. Maka barangsiapa niat hijrah itu kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu (diterima) oleh Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya untuk memperoleh kekayaan dunia
1
Dr. Juwariyah, M. Ag., Hadis Tarbawi (Yogyakarta : Teras, 2010), 9. Ibid, 9.
2
3
atau wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya akan sampai sesuai niat hijrah yang ia tuju. (H.R. Bukhari Muslim) 3
B. TAKHRIJ HADIS TENTANG NIAT
Untuk melakukan pentakhrijan hadis dengan metode klasik, akan memakan waktu yang lama. Untuk itu, kita melakukan takhrij hadis menggunakan metode modern (komputerisasi hadis) dengan maktabah syamilah. Pada hadis “
”,
pentakhrijan hadis, maka kita masukkan kata “ dan “
” sebagai
agar lebih cepat dalam
” yaitu matannya
awal sanad. Kita pilih salah satu dari hasil pencarian,
kemudian takhrij hadis. Ini adalah beberapa hasilnya: 1.
,
Kitab Shahih Bukhari ; no. 1; juz. 1; hal. 6 ; Bab.
Sub Bab.
;
;
Pengarang. ; Penerbit.
: : :
: :
« : »
Hadis ini adalah Hadis shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.4 Hadis ini dibanding hadis-hadis yang lain adalah hadis yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadis ahad , 3
Dr. Juwariyah, M. Ag., Hadis Tarbawi (Yogyakarta : Teras, 2010), 12-13. Ibnu Daqiqil ‘Ied, Syarah Hadits Arba’in an-Nawawi (Yayasan Ar-Riyan), juz 1, 24.
4
4
karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.5
C. SYARAH HADIS TENTANG NIAT 1.
Asbab al-Wurud6
Berkata An-Nawawi dalam Syarh Muslim (13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois).” Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
, ,
Artinya : ”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapk an sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois. ”(HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal (16/126) dan 5
Ibnu Daqiqil ‘Ied, Syarah Hadits Arba’in an-Nawawi (Yayasan Ar-Riyan), juz 1, 25. Nn., ,Penjelasan Hadis Tentang Niat (Melafazhkan Niat, Madzhab Syafi’iyyah?)‛, dalam http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/10/penjelasan-hadits-tentang-niat.html, diakses pada 6
tanggal 10 Agustus 2017.
5
Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih.” Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim.” Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (22/218) : “…, karena sesungguhnya sebab keluarnya hadits ini adalah bahwa seorang lelaki berhijrah dari Mekkah ke Medinah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois, maka Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam berkhutbah di atas mimbar dan men yebutkan hadits ini.” Adapun Al-Hafidz Ibnu Hajar, maka beliau berkata dalam Fathul Bary (1/10) : ”Akan tetapi tidak ada di dalamnya (yakni hadits Ibnu Mas’ud di atas) yang menunjukkan bahwa hadist Al A’mal (hadits ‘Umar) diucapkan (oleh Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam) dengan sebab hal tersebut, dan saya tidak melihat sedikitpun pada jalan jalan hadits tersebut (hadits Ibnu Mas’ud) ada yang tegas menunjukkan tentang hal tersebut.” Berkata Ibnu Rajab : “Dan telah masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah sebab sabda Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam (“barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi” ) dan hal ini disebutkan oleh kebanyakan al-muta`akhkhirun (para ulama belakangan) dalam karangan-karangan mereka. Akan tetapi saya tidak melihat hal itu ada asalnya dengan sanad yang shohih, wallahu a’lam.” Lihat Jami’ul ‘U lum wal Hikam (1/74-75) Dan hal ini lebih diperjelas dengan perkataan Imam Al-‘Iraqy dalam Thorhut Tatsrib (2/25-26) : “Tidak ada seorangpun dari penyusun kitab tentang shahabat – sepanjang apa yang saya lihat dari kitab-kitab itu-yang menyebutkan lelaki yang mereka katakan bernama Muhajir Ummu Qois ini. Adapun Ummu Qois yang disebutkan, maka Abul Khoththob bin Dihyah menyebutkan bahwa namanya adalah Qilah .”
6
Sebagai kesimpulan bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah kuat dan shohih, hanya saja kalau dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab keluarnya hadits tentang niat ini maka ini adalah perkara yang tidak diterima karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan akan hal tersebut, wallahu a’lam.
2.
Hubungan dengan Fiqih Ibnu Qayyim berkata, “Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya.
Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.” Nabi Muhammad SAW. telah menyampaikan dua kalimat yang
sangat dalam maknanya, yaitu, “Sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang memperoleh apa yang diniatkan.” Apa yang disabdakan oleh Rasulullah tadi mencakup iman, ibadah, dakwah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan tindakan apapun. Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan, bahwa mengucapkan niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.7 Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan diatas. Semua amal qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri kedalam air tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah. Imam Nawawi menjelaskan, niat itu disyariatkan untuk beberapa
hal berikut. 7
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari (Maktabah Darussalam : Riyadh,1997) diterjemah Ghazirah Abdi Ummah, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari (Pustaka Azzam : Jakarta, 2002), vol.1, 19.
7
a. Untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk dimasjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk I’tikaf. Nabi Muhammad SAW. mengisyaratkan hal ini ketika seorang laki-laki berperang karena riya’, karena fanatisme golongan dan berperang karena keberanian. Siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka Rasulullah menjawab :
Artinya : “Barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Allah adalah yang paling tinggi, maka dia dijalan Allah. (HR. Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi no. 123 (Fat‒hul Bari I/222) dan Muslim dalam Kitabul Imarah no. 1904, Tirmidzi no. 1646, Abu Dawud no. 2517, Ibnu Majah no. 2783 dan an- Nasa’I VI/23 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) b. Untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya, seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dzuhur ataukah shalat sunnah (ataukah diniatkan untuk shalat Ashar)? Yang membedakannya adalah niat. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk nadzar atau yang lainnya? Jadi yang penting untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat.
3.
Penjelasan ( Syarah) 8
Setiap pekerjaan harus didasari dengan niat. Al Khauyi mengatakan, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu bermacam-
8
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari (Maktabah Darussalam : Riyadh,1997) diterjemah Ghazirah Abdi Ummah, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari (Pustaka Azzam : Jakarta, 2002), vol.1, 18-21.
8
macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancaman-Nya. a.
Sebagian riwayat menggunakan lafadz “an-niy yat” dalam bentuk mufrad (tunggal) dengan alasan, bahwa tempat niat dalam hati, sedangkan hati itu satu, maka kata niyyat disebutkan dalam bentuk tunggal. Berbeda dengan perbuatan yang sangat tergantung kepada hal-hal yang bersifat lahiriah yang jumlahnya sangat banyak dan beragam, sehingga dalam hadis tersebut‒kata ‘amal menggunakan lafadz jama’ (plural) yaitu “al -a’maalu”. Selain itu niat hanya akan kembali kepada Dzat Yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
b. Lafadz “in-namal a’maalu bin-niyyaat” mengandung arti hashr (pembatasan) menurut para muhaqqiq (peneliti). c.
Setiap perbuatan pasti membutuhkan pelaku, maka kalimat “al a’maalu bin-niyyaat” secara lengkap adalah “al-a’maalu ash shaadiratu minal mukallafyn” berasal dari orang-orang mukallaf (orang yang dikenai beban syari’at). Dengan demikian apakah perbuatan orang kafir termasuk dalam kategori ini? Jawabnya, tidak termasuk, karena maksud perbuatan dalam hadis ini adalah ibadah, sehingga orang kafir tidak termasuk dalam hadis ini, meskipun mereka diperintahkan untuk melaksanakan dan akan mendapat hukuman apabila meninggalkannya.
d.
“Bin-niyyat ” (dengan niat). Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai), dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Imam Nawawi mengatakan, bahwa niat berarti maksud, yaitu keinginan yang ada dalam hati. Tetapi, Syeikh Al-Karmani menambahkan, bahwa keinginan hati adalah melebihi maksud.
e.
“Al” dalam lafadz “an-niyyat” diakhiri dengan dhamir (kata ganti), yaitu “al -a’maalu bin-niyyaatihaa” (amal perbuatan
9
adalah tergantung niatnya). Dengan demikian, kita dapat membedakan apakah niat shalat atau bukan, shalat fardhu atau sunnah, dzuhur atau ashar , diqashar atau tidak dan seterusnya. Pada hadis ini, kalimat “in-namal a’maalu bin-niyyaat” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “in-namal a’maalu bin-niyyaat” ada perbedaan pendapat para ulama’ tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat. 9 f.
“wa in-namaa likulli-mriim maa nawa” (dan balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan). Imam Qurtubi berkata, “Kalimat ini menguatkan bahwa suatu
perbuatan harus disertai dengan niat dan keikhlasan yang mendalam.” Sedangkan ulama lain berkata, “Kalimat ini membahas permasalahan yang berbeda dengan kalimat pertama “in-namal a’maalu bin-niyyaat ” karena kalimat pertama menjelaskan bahwa suatu perbuatan harus disertai dengan niat. Adapun kalimat kedua “wa in-namaa likulli-mriim maa nawa” mempunyai arti bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang diniatkan. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “ Kalimat kedua memiliki arti bahwa barangsiapa yang berniat,
maka
akan mendapatkan pahala,
baik niat
itu
dilaksanakan ataupun tidak sebab alasan syari’at , dan setiap perbuatan yang tidak diniatkan tidak akan mendapatkan pahala.” Maksud tidak diniatkan disini adalah tidak ada niat baik secara khusus ataupun umum. Tapi jika seseorang hanya berniat secara
9
Ibnu Daqiqil ‘Ied, Syarah Hadits Arba’in an-Nawawi (Yayasan Ar-Riyan), juz 1, 26.
10
umum, maka para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini. 10
g.
Ibnu Salam berkata, “Kalimat pertama (innamal a’maalu bin-
niyyaat ) menjelaskan apa yang termasuk dalam kategori perbuatan, sedangkan kalimat kedua (wa innamaa likulli-mriim maa nawaa) menjelaskan tentang akibat dari suatu perbuatan. 11 Kalimat “wa in-namaa likulli-mriim maa nawa”, oleh Khathabi dijelaskan, bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang mengqadha shalat tanpa niat, maka tidak sah shalatnya. 12 Dari uraian diatas kita dapat mengambil intisari, bahwa semua perbuatan membutuhkan niat, dan bukan hanya meninggalkan (tidak melakukan perbuatan tertentu) saja yang perlu niat. Wallahu a’lam.13 h.
“faman-kaanat hijrotuhu ila dunyaa”
(Barangsiapa yang
berhijrah untuk mengharapkan dunia). Kalimat seperti ini hampir terdapat dalam semua kitab hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan menghapus sebagian matan hadis, yaitu ( faman-kaanat hijrotuhu ilallaahi wa rasuulihi). Imam Khaththabi berkata, “Hadis ini terdapat dalam riwayat kami dan kitab hadis para sahabat kami, tetapi baris hadis ( faman-kaanat hijrotuhu ilallaahi wa rasuulihi) hilang (makhruuman) dan tidak tercantum dalam hadis tersebut, saya tidak mengetahui sebab kelalaian ini? Karena Imam Bukhari telah menyebutkan secara
10
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari (Maktabah Darussalam : Riyadh,1997) diterjemah Ghazirah Abdi Ummah, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari (Pustaka Azzam : Jakarta, 2002), vol.1, 21. 11 Ibid, 22. 12 Ibnu Daqiqil ‘Ied, Syarah Hadits Arba’in an-Nawawi (Yayasan Ar-Riyan), juz 1, 26. 13 Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari (Maktabah Darussalam : Riyadh,1997) diterjemah Ghazirah Abdi Ummah, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari (Pustaka Azzam : Jakarta, 2002), vol.1, 23.
11
lengkap dari jalur selain Humaidi, dan Humaidi juga telah meriwayatkan kepada kami secara lengkap.14 Ibnu At-Tin menukil perkataan Khaththabi secara ringkas, dan ia
memahami dari perkataan makhruuman (hilang) adalah maqthuu’an (terputus) sanadnya, kemudian Ibnu At-Tin mengatakan bahwa hal itu dikarenakan Imam Bukhari tidak pernah bertemu dengan Humaidi, sehingga tampak aneh dari perkataan Bukhari “hadda-tsanaa alhumaidi” (Humaidi telah menceritakan kepada kami) yang disebutkan berulang-kali dalam kitab ini ( Fathul Baari). Tetapi banyak orang yang mengatakan dari biografi Imam Bukhari, bahwa Humaidi adalah salah satu guru Imam Bukhari dalam bidang fikih dan hadis. 15 Ibnu Arabi berkata tentang guru Imam Bukhari, “Tidak ada alasan
bagi Bukhari untuk menghilangkan riwayat dari Humaidi, karena Humaidi adalah salah satu guru beliau dalam bidang hadis, dan riwayat ini telah disebutkan dalam kitab musnadnya secara lengkap.” Dia mengatakan, “Beberapa orang mengatakan, mungkin saja Imam Bu khari dibacakan atau diriwayatkan beberapa hadis riwayat Humaidi secara lengkap, tetapi sebagian baris hadis hilang dari hafalan Imam Bukhari.” Imam Dawudi berkata, “Hilangnya sebagian matan hadis tersebut
berasal dari Imam Bukhari, karena riwayat tersebut dapat ditemukan secara lengkap dari para gurunya.”” 16 Akan tetapi apabila hilangnya dari Bukhari, maka jawabannya sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id Al-Hafidz,
“Bahwa sebaik-baik jawaban adalah, dimungkinkan
Imam Bukhari memulai penulisan kitab ini dengan mengikuti pengarang pengarang lain yang memulainya dengan metode penulisan khutbah, yang mencakup maksud dari penulisan kitab ini, seakan-akan beliau memulainya dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah.
14
Ibid, 23-24. Ibid, 24. 16 Ibid, 24. 15
12
Seandainya beliau mempunyai niat mencari dunia atau maksud-maksud yang lain, maka hanya itu yang akan beliau dapatkan.”17 Disamping itu, sudah menjadi kebiasaan para pengarang kitab untuk mengumpulkan istilah madzhab yang dianutnya dalam isi khutbah kitab, maka Imam Bukhari berpendapat, bahwa meringkas sebuah hadis dan meriwayatkan dengan maknanya, mendahulukan yang samar daripada yang jelas, menguatkan isnad dengan sighah (bentuk) sama’ (mendengar) daripada yang lainnya adalah diperbolehkan, sebagaimana yang kita lihat dalam periwayatan hadis ini baik dari segi sanad maupun matannya.18 i.
“hijratuhu” (hijrahnya). Hijrah berarti meninggalkan, dan hijrah kepada suatu empat berarti pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut syari’at , hijrah berarti meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Dalam islam hijrah mempunyai dua pengertian. Pertama, pindah dari tempat yang menakutkan ke tempat yang tenang, seperti hijrah ke Negeri Habasyah dan hijrah yang pertama kali dari Makkah ke Madinah. Kedua, hijrah dari negeri Kafir ke negeri Iman, seperti hijrahnya kaum muslimin ke Madinah setelah Rasulullah menetap di sana. Hijrah pada saat itu khusus berpindah ke Madinah, sampai dibukanya kota Makkah ( Fathu Makkah). Setelah itu hijrah tidak dikhususkan lagi, melainkan mempunyai makna umu, yaitu berpindah dari negeri kafir bagi siapa yang memiliki kemampuan.19
j.
“ila dunyaa” (mengharapkan dunia). Lafadz “dunyaa” dibaca dengan dhammah, sedang menurut Ibnu Quthaibah dibaca kasrah “diinaa”. Kata dunyaa berasal dari kata “ad -dunuwwu” yang berarti dekat, dinamakan demikian karena dunia lebih dulu daripada akhirat, atau karena dunia sangat dekat dengan kehancuran atau kebinasaan. Namun dalam hal ini ada
17
Ibid, 24-25. Ibid, 25. 19 Ibid, 26-27. 18
13
perbedaan pendapat mengenai hakikat dunia. Sebagian orang mengatakan , bahwa hakikat dunia adalah apa yang ada di atas bumi berupa udara dan angkasa, dan sebagian lain mengatakan, bahwa dunia adalah setiap makhluk yang diciptakan, tapi perbedaan yang lebih kuat adalah semua apa yang ada diatas bumi berupa udara dan angkasa sebelum datang hari kiamat. Adapun bila disebutkan salah satu bagian dari dunia tanpa disebutkan secara keseluruhan adalah termasuk bentuk majaz (kiasan).20 k.
“Yushiibuhaa”
(mengharapkan)
“aw‒imroatin”
(atau
atau
perempuan).
mendapatkannya,
Disebutkannya
kata
perempuan secara khusus setelah kata umum (dunia) adalah untuk menekankan bahwa bahaya fitnah yang di timbulkan oleh perempuan sangat besar. Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa sebab munculnya hadis ni adalah cerita seorang muslim yang ikut berhijrah dengan maksud ingin mengawini seorang perempuan sehingga ia disebut Muhajir Ummu Qailah. Ibnu Dihyah meriwayatkan, bahwa nama perempuan itu adalah Qailah.21 l.
“fahijratuhu ila maa haajara ilaihi” (maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan). Fungsi kata ganti (dhamir ) dalam kalimat “fahijratuhu” adalah untuk mencakup semuanya, baik perempuan atau lainnya, adapun kata ganti (dhamir ) pada kalimat yang dihilangkan “faman-kaanat hijratuhu ilallaahi wa rasuulihi fahijratuhu ilallaahi wa rasuulihi” adalah untuk mengingatkan kebesaran Allah dan Rasul-Nya, berbeda dengan perkataan “dunya” (dunia) dan mar’ah (wanita), karena
20
Ibid, 27. Ibid, 27.
21
14
konteksnya adalah menghimbau agar manusia selalu berhati-hati dan menjauhinya. 22 Imam Al-Karmani berkata, “Kalimat ila maa haajara ilaihi
berhubungan dengan lafadz al-hijrah, maka khabar (predikatnya) dihilangkan dan di-taqdirkan dengan kalimat qabihah (buruk) atau ghairu shahihah (tidak benar), atau dimungkinkan yang menjadi predikat adalah lafadz “ fahijratuhu” dan kalimat “ila maa haajara ilaihi” adalah sebagai predikat dari subjek (mubtada) kalimat “man-kaanat ”. Pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling kuat, karena pendapat yang pertama menunjukkan bahwa setiap hijrah itu secara mutlak adalah tercela, padahal tidak demikian. Kecuali terjadi panduan dalam niat seperti seseorang yang niat hijrah untuk menjauhi kekufuran dan mengawini seorang wanita, maka hal inibukan sesuatu yang tercela dan tidak sah. Akan tetapi, hijrah seperti ini kurang sempurna dibandingkan dengan orang yang berhijrah dengan niat yang tulus. Seseorang berhijrah disertai dengan niat untuk menikahi seorang perempuan, maka ia tidak akan mendapatkan pahala seperti orang yang hanya berniat hijrah. Atau seorang yang mempunyai keinginan menikah saja tanpa melakukan hijrah kepada Allah, maka orang itu tetap mendapatkan pahala apabila pernikahan yang dilakukannya untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena pernikahan adalah anjuran agama islam. Imam Ghazali menggaris
bawahi
apabila
keinginan
untuk
memperoleh dunia lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya antara keinginan untuk mendapatkan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, ia tetap tidak mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka
Abu Ja’far bin Jarir Ath -Thabari telah
menukil perkataan ulama’ salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur 22
Ibid, 28.
15
adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya. Wallahu a’lam.23 Kesimpulan dalam hadis ini, adalah larangan untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum mengetahui hukumnya secara jelas, karena suatu pekerjaan yang tidak didasari niat, maka pekerjaan itu akan sia-sia, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan tidak mengetahui hukumnya secara jelas, maka niatnya tidak sah.akan tetapi orang yang lalai tidak termasuk dalam hukum ini, karena setiap perbuatan harus dikerjakan dengan kesadaran diri, sedangkan orang yang lalai tidak mempunyai maksud. 24
23
Ibid, 29. Ibid, 29.
24
16
BAB III KESIMPULAN
1. Niat berarti suatu maksud atau keinginan hati. Niat, kemauan dan tujuan merupakan rangkaian yang terajut dalam satu pengertian, yaitu suatu kondisi dan sifat hati yang menghubungkan 2 hal yaitu ilmu dan amal. 2.
Hadis ini adalah hadis yang telah disepakati keshahihannya oleh para ulama’.Hadis tentang niat ini dibanding hadis-hadis yang lain adalah hadis yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadis ahad , karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.
3.
Hadis tentang niat ini memang muncul karena adanya seorang laki-laki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah, karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.
4. Niat disyari’atkan untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat) dan untuk membedakan antara ibadah satu dengan ibadah yang lain. 5.
Larangan untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum mengetahui hukumnya secara jelas, karena suatu pekerjaan yang tidak didasari niat, maka pekerjaan itu akan sia-sia, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan tidak mengetahui hukumnya secara jelas, maka niatn ya tidak sah.
17
DAFTAR PUSTAKA
Juwariyah (M. Ag.), Dr., Hadis Tarbawi, Yogyakarta : Teras , 2010. Al Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari , vol.1 Maktabah Darussalam : Riyadh,1997, diterjemah Ghazirah Abdi Ummah, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, vol.1, Pustaka Azzam : Jakarta, 2002. ‘Ied, Ibnu Daqiqil, Syarah Hadits Arba’in an-Nawawi, , juz 1, Yayasan Ar-Riyan. Nn., , Penjelasan Hadis Tentang Niat (Melafazhkan Niat, Madzhab Syafi’iyyah?), http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/10/penjelasan-hadits-tentangniat.html, diakses pada tanggal 10 Agustus 2017.