BAB I PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang timbul dan berkembang dalam setiap suku memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda sehingga setiap daerah memiliki minimal satu kebudayaan yang dapat dibanggakan, salah satunya adalah kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa dalam hal ini Jawa Tengah mempunyai ragam kebudayaan, salah satunya adalah wayang. Wayang merupakan salah satu hasil kebudayaan dan warisan yang memiliki nilai tinggi. Seperti kita ketahui bahwa wayang mempunyai arti harfiah bayangan yang dalam perkembangannya pengertian dapat berarti pertunjukan panggung atau teater. Sebagai salah satu bentuk dan hasil kebudayaan yang bernilai tinggi maka wayang banyak menyimpan nilai-nilai seperti nilai religius, nilai ilmu pengetahuan atau filsafat dan nilai seni. Bagi masyarakat Jawa pagelaran wayang yang hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu seperti hari perayaan keagamaan dan acara-acara slametan (upacara yang ditandai dengan sajian bermacam-macam makanan yang ditentukan menurut kebudayaan Jawa), dan untuk merayakan peristiwa penting, misalnya kelahiran, sunatan, perkawinan itu, tidak hanya sebagai hiburan akan tetapi pada perkembangannya, ceritacerita atau lakon yang dipentaskan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang sedang dialami oleh masyarakat. Di dalam wayang juga terkandung simbol-simbol tertentu. Bahkan sering kali pementasan wayang ini menyindir bahkan mengkritik para tokoh masyarakat, politikus, dan pemimpin negara yang perilakunya dianggap ‘menyimpang' dari harapan masyarakatnya. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu tiada rasa jera untuk senantiasa membicarakan wayang dari masa ke masa, baik dalam kesempatan diskusi, seminar, kongres, terbitan buku, majalah, koran dan sebagainya. Ini dilakukan karena pengetahuan wayang yang demikian luas menarik untuk dibicarakan dan
memberikan kontribusi terhadap kehidupan masyarakat, baik di Indonesia maupun mancanegara. Nilai-nilai kehidupan yang tergambar dalam wayang terbukti dapat dipergunakan sebagai renungan dan referensi hidup berbangsa dan bernegara. I.
2 Perumusan Masalah 1. Bagaimana kedudukan wayang dalam masyarakat Indonesia? 2. Bagaimana simbolisme cerita wayang dalam kehidupan manusia? 3. Apa saja nilai yang terkandung dalam pertunjukan seni wayang? I. 3 Tujuan Penulisan Tulisan tentang “Wayang sebagai Salah Satu Aspek Budaya Bangsa” merupakan sebuah hal yang sangat berguna bagi generasi muda. Mereka akan lebih menyadari bahwa kemajuan teknologi tidaka akan menghalangi keberadaan wayang di Indonesia, sehingga kebudayaan ini tidak ditinggalkan oleh generasi muda. I. 4 Manfaat Penulis berharap agar tulisan ini bisa bermanfaat untuk setiap pembaca dengan mengenalkan pengetahuan baru atau menambah pengetahuan bagi seseorang yang sudah mengenal wayan terlebih dahulu.
Setiap pembaca
sekiranya menyadari bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang bisa dibanggakan. Para pembaca sekiranya juga ikut melestarikan kebudayaan wayang ini agar tidak diakui oleh bangsa lain sebagai kebudaannya.
BAB II ISI II.1 KEDUDUKAN WAYANG DALAM MASYARAKAT II.1.1 Wayang sebagai Budaya Nasional Masyarakat jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat. Sebagai salah satu bentuk kebudayaan, maka wayang menduduki tempat yang terhormat dan menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional. Selain identik dengan budaya Jawa, wayang kulit kini juga sudah menjadi budaya nasional dan merupakan ciri khas Bangsa Indonesia. Tidak hanya tampil dalam pagelaran, wayang kulit kini juga banyak digunakan sebagai pajangan dan produk kerajinan tangan lainnya. Memang wayang kulit selama ini identik dengan tokoh-tokoh pewayangan, seperti Gatot Kaca, Semar beserta anak-anaknya atau Arjuna. Wayang kulit selalu dikonotasikan barang-barang budaya yang selalu digunakan dalam pagelaran semalam suntuk dengan lakonnya masing-masing. II.1.2 Wayang dan Kehidupan Wayang dalam pengertian “bayang-bayang” memberikan gambaran bahwa di dalamnya terkandung lukisan tentang berbagai aspek kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan; meski dalam pengertian harfiah wayang merupakan bayangan yang dihasilkan oleh “boneka-boneka wayang” dalam seni pertunjukan. Wayang dalam pengertian “hyang”, “dewa”, “roh”, atau “sukma” memberikan gambaran bahwa wayang merupakan perkembangan dari upacara pemujaan roh nenek moyang bangsa Indonesia pada masa lampau.
Benang merah dari tradisi ini tampak pada upacara ruwatan, yakni wayang sebagai sarana pembebasan malapetaka bagi seseorang/ kelompok orang yang terkena sukerta/ noda gaib. Wayang bagi orang jawa merupakan sibolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan. Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu. Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia jawa dengan manusia lain. Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu
lahir,
pembersihan
desa
mengambil
cerita
"Murwa
Kala/Ruwatan". II.1.3 Wayang sebagai Sarana Pendidikan Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bila dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilainilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentukbentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata
sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat lokal genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya. Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. II.1.4 Hubungan Politik dengan Wayang Bagaimana hubungan antara ideologi-politik dan wayang? Wayang oleh kekuasaan dipandang sebagai salah satu hasil budaya, sekaligus sebagai media yang memiliki kekuatan untuk menyampaikan hal-hal yang terkait dengan kepentingan ideologi-politik. Wayang dipandang sebagai mitos, yakni cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos
manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya dan dapat menanggapi daya-daya kekuatan alam. Dalam konsep Jawa tentang organisasi negara, raja atau ratu lah yang menjadi eksponen mikrokosmos dari Negara. Religi masyarakat Jawa memandang bahwa alam semesta merupakan satu kesatuan yang serasi dan harmonis, tidak lepas satu dengan yang lain dan selalu berhubungan. Alam semesta terdiri dari dua eksponen, yakni mikrokosmos dan makrokosmos, yang dalam kehidupannya terjadi kelabilan. Kelabilan yang terjadi di dalam makrokosmos sebagai akibat yang ditimbulkan oleh makrokosmos, atau sebaliknya. Keteraturan di dalam makrokosmos dan mikrokosmos adalah terkoordinasi dan apabila masing-masing berusaha keras ke arah kesatuan dan keseimbangan, maka hidup akan tentram dan harmonis. Mulder mengatakan bahwa usaha keteraturan dapat dilakukan dengan baik bila semua orang menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Orang-orang harus mengetahui tempat dan tugas masing-masing, harus menghormati kedudukan yang lebih tinggi, harus berikap baik dan bertanggungjawab kepada mereka yang berkedudukan lebih rendah. Wayang dari masa ke masa dipergunakan oleh penguasa maupun partai politik sebagai media untuk mengarahkan masyarakat agar mengikuti nilai-nilai yang diamanatkan dalam suatu pergelaran wayang. Di dalam wayang juga sarat akan “sign” (tanda) dalam hal ini simbol. Simbol-simbol ini dimanfaatkan oleh penguasa dan partai politik untuk mempengaruhi dan mengarahkan masyarakat agar mengikuti “pedoman” yang telah dirancang/ dikonsep di dalam sebuah pertunjukan wayang. Sebagai contoh, yakni: Ketika presiden Soeharto berkuasa, nilai-nilai Pancasila disebarluaskan dalam berbagai media pendidikan, baik formal, informal, dan non formal. Wayang dan macapat juga merupakan media seni tradisi yang memiliki fungsi untuk menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila itu. Bagaimana presiden Soeharto memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila melalui wayang? Lahirnya lakon wayang yang berjudul Semar mBabar Jatidiri (Jawa)/ Sang Hyang Wiragajati (Sunda) merupakan wujud dari sebuah kepentingan ideologipolitik yang tertuang di dalam wayang.
Pada tanggal 21 Januari 1995, para dalang, seperti: dalang wayang kulit purwa/ Jawa, wayang golek/ Sunda, wayang parwa/ Bali, dan wayang Betawi menghadap presiden Soeharto di Istana Negara. Dalam pertemuan itu presiden Soeharto memberikan sambutan dan petunjuk kepada para dalang. Wayang dan seni pedalangan dipandang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila, agar nilai-nilai ini benar-benar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan nyata oleh seluruh masyarakat Indonesia. Ketika itu pula presiden Soeharto memberi pekerjaan rumah kepada para dalang, beserta pengurus PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) dan SENAWANGI (Sekretariat Nasional Perwayangan Indonesia) untuk menggubah sebuah lakon wayang yang dapat menguraikan tentang jatidiri bangsa yang berintikan pada nilai pengendalian diri. Presiden Soeharto ketika itu juga memberikan petunjuk agar para dalang dapat mengetengahkan lakon wayang yang peran utamanya adalah Semar. Semar merupakan simbol rakyat/ kawula yang memiliki kekuatan dan kearifan; ia seorang panakawan/ abdi Negara Amarta yang selalu berorientasi pada keutamaan, kebenaran, dan keadilan. Setelah para dalang beserta pengurus PEPADI dan SENAWANGI mendapat pekerjaan rumah presiden Soeharto, kemudian mereka kembali ke penginapannya di TMII. Ketua PEPADI Pusat juga sebagai General Manajer TMII dan Kepala Rumah Tangga Kepresidenan memberikan fasilitas pertemuan para dalang se-Indonesia tahun 1995 itu. PEPADI dan SENAWANGI kemudian rapat untuk membicarakan pekerjaan rumah presiden Soeharto. Ketika itu diputuskan untuk membentuk tim-8 (Solichin, Ekocipto, Rusman Hadikusumo, H. Anom Soeroto, H. Panut Darmoko, Sugito Purbotjarito, Timbul Hadi Prayitno, dan B. Subono). Tim-8 ini bertugas menggubah lakon wayang yang menampilkan tokoh Semar. Tim tersebut mengujicobakan beberapa judul lakon, antara lain Semar mBangun Jiwa (Semar membangun jiwa) dan Semar mBabar Jatidiri (Semar menguraikan jatidiri) dan roses pemanggungan lakon ini dilkukan secara bertahap. Pertama kali ditampilkan oleh KI H. Anom Soeroto dalam rangka
Dies Natalis UI ke-45 menyusul kemudian Ki Timbul Hadi Prayitno mementaskan lakon ini di Museum Purna Bhakti Pertiwi TMII yang disaksikan sendiri oleh presiden Soeharto. PEPADI Pusat memandang bahwa lakon “Semar mBabar Jatidiri” merupakan rintisan yang akan terus dikembangkan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu untuk lebih meluaskan jangkauan
khalayak,
lakon
dalam
gaya
Surakarta
tersebut
akan
dikembangkan terus dalam bentuk gaya lainya, yakni gaya Yogyakarta, Banyumas, Jawa-Timuran, Bali, dan lain-lain. Lakon tersebut secara resmi disyahkan pada tanggal 17 Agustus 1995 oleh Ketua Umum PEPADI Pusat. Lakon tersebut telah dibukukan dengan judul “Semar mBabar Jatidiri”. Dalam penerbitan ini tidak hanya lakon wayang tersebut (gaya Surakarta), tetapi juga lakon wayang Golek Sunda yang diberi judul “Sang Hyang Wiragajati”. Buku lakon ke-2 ini digubah oleh H. Ruswandi Zarkasih, H. Tjetjep Supriadi, Barnas Somantri, Atik Sopandi, Erwin K. Padmawinata, dan Tutun Hatta Saputra. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa peran yang paling besar dalam menggubah lakon “Semar mBabar Jatidiri” yakni PEPADI, yang sebenarnya erat hubungannya dengan kekuasaan, meskipun organisasi ini secara struktur resmi kenegaraan tidak ada, dalam hal ini PEPADI dilingkupi oleh kekuasaan. PEPADI memiliki kekuasaan untuk menata dan membina para dalang. Ideologi-politik telah terimplementasikan ke dalam bentuk lakon wayang, Semar mBabar Jatidiri. Ideologi Pancasila beserta P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam wayang dapat terlihat dengan jelas namun ada pula yang tersamar (dalam bentuk sign system). Di dalam lakon Semar mBabar Jatidiri disebutkan bahwa kerajaan Yawastina memiliki dasar Negara/ kerajaan, yakni: pancaprasedya (lima kehendak) lima dasar yang merupakan inti sari budaya yang sungguhsungguh menjadi segala sumber hukum negara utama (pancaprasedya lire gegebengan limang prakara sari pathining budaya kang nyata dadya angger ugering praja utama). Ini menunjukkan bahwa Ideologi Pancasila telah masuk ke dalam wayang melalui narasi (janturan) kerajaan Yawastina/
Astina yang mendambakan negara yang bersifat panjang (terkenal), punjung (berwibawa), pasir (mempunyai samodra yang luas), wukir (berbukit dan bergunung-gunung), loh (subur tanahnya), jinawi (barang-barang murah), gemah (ramai), ripah (perdagangan lancar), karta (tentram), raharja (tidak punya musuh). Gambaran negara/ kerajaan Yawastina dalam lakon wayang merupakan ideologi yang diharapkan berpengaruh pada pemikiran manusia dalam kehidupan nyata, sehingga nantinya akan tercipta suatu keadaan negara/ kerajaan sesuai dengan yang digambarkan di dalam lakon tersebut. Sebenarnya dalam lakon Semar mBabar Jatidiri inti permasalahan terdapat pada tokoh Semar. Ia meinggalkan kerajaan Yawastina/ Astina, karena seisi negara/ kerajaan dalam keadaan kacau dan para penyelenggara negara telah melupakannya; oleh karena itu para petinggi negara Yawastina mencari Semar. Para petinggi Negara Yawastina berhasil menemui Semar, yang kemudian diberi wejangan tentang Pancasila dan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dalam konteks ini, rupanya pemerintah ingin mempertegas tentang pentingnya Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, meskipun di dalam wayang sesungguhnya secara implisit dan eksplisit mengungkapkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pasca 1995 terjadi krisis politik, ekonomi, hukum, dan budaya yang mempengaruhi masyarakat harus melakukan reformasi. Presiden Soeharto rupanya ingin menguji sejauh mana kesetiaan masyarakat Indonesia melalui wayang. Pola pemikiran masyarakat Indonesia dibentuk dan diarahkan kepada suatu rumusan bahwa krisis/ kekacauan hampir di segala bidang ini sebagai kesalahan bersama, seperti terlukis dalam ungkapan: tiji tibeh/ mati siji mati kabeh (mati satu mati semua); jika ada salah satu yang mati dalam suatu tragedi maka harus mati semuanya. Pada masa berikutnya dipentaskan sebuah lakon wayang yang berjudul Rama Tambak, dimaksudkan agar pemerintah dapat membuat tanggul untuk menyeberang lautan dan selamat dari ancaman bahaya/ kekacauan. Ada beberapa interpretasi mengenai lakon yang berorientasi pada tokoh Semar tersebut, yakni: tokoh Semar ada kaitannya dengan pak Harto sebagai pemegang Supersemar (dari presiden Soekarno) pada tahun 1966.
“Supersemar” itu sendiri dpat dimaknai Semar yang bersifat super atau “Surat Perintah Sebelas Maret”. Ini dapat dirumuskan bahwa “Semar yang super” tersebut tiada lain adalah “pemegang Supersemar” itu sendiri. Di dalam wayang, Semar bertugas mengantar ksatria utama dengan aman dari segala bahaya sampai ke tujuannya. Jika ksatria berada dalam kesulitan, Semar memberi nasehat; jika ia terlalu agresif dan emosi , ia direm oleh Semar dan ditarik kembali dari langkah-langkah yang kurang dipikirkan. Jika ksatria itu sedih Semar menjadikannya senang dengan lelucon-lelucon. Jika ksatria dalam kesendirian dan kesepian maka Semar menemainya. Pada masa sebelumnya, ketika Presiden Soekarno berkuasa, ia sering menanggap Ki Gito Sewaka, seorang dalang kenamaan di era 60-an, untuk mempergelarkan wayang di istana negara. Tokoh Gathutkaca lah yang menjadi idola sang Presiden. Watak ksatria, keberanian, kegagahan, kelincahan, kesaktian, dan kepandaian Gathutkaca menjadi acuan spirit Presiden Soekarno pada saat itu. Pada masa yang sama berkembang “wayang suluh” yang digubah oleh departemen penerangan; wayang ini berfungsi sebagai media penyuluhan atau penerangan pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa wacana kekuasaan “orde baru” dalam pertunjukan wayang, pada masa berikutnya bergeser menjadi wacana “reformasi” dalam segala unsur dan bentuknya. Pada masa ini kreativitas di bidang pedalangan dan perwayangan dilakukan di semua unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dengan berorientasi pada wacana reformasi itu. Pada era reformasi wayang menjadi media untuk berkampanye, melegitimasi, serta menyampaikan pesan-pesan partai politik tertentu, misalnya: dalam rangka ulang tahun “Partai Amanat Nasional” (PAN), Ki Joko Hadiwijoyo (Joko Edan) dari Semarang menampilkan lakon wayang yang berorientasi pada keagungan matahari. “Partai Amanat Nasional” bersimbolkan matahari. Melalui penampilan tema lakon wahyu (anugerah Illahi) tersebut diharapan dapat memberikan pengaruh kepada partai dan khalayak luas, sehingga Indonesia dengan kepemimpinan PAN dapat menuju
masyarakat yang tentram, damai, sejahtera berkat matahari yang memberikan penerangan seluruh masyarakat Indonesia. II.1.5 Fungsi Wayang 1. Fungsi religius. Pada awalnya wayang diciptakan oleh manusia adalah sebagai alat pemenuhan kebutuhan religiusnya. Manusia zaman dahulu, mementaskan wayang (yang bentuknya tidak seperti kita kenal sekarang) untuk memuja dan mempertemukan mereka dengan roh-roh nenek moyang. Kepercayaan yang seperti demikian disebut Animisme. Lalu untuk zaman sekarang, wayang masih dikaitkan dengan nilai-nilai religius. Masih sering kali sebelum pementasan wayang ada sesajen tertentu yang harus dibuat. Contoh yang lebih nyata lagi dengan adanya upacara ruwatan dengan tujuan membuang sial yang mengharuskan adanya pertunjukan wayang. 2. Fungsi Pendidikan. Wayang digunakan juga oleh masyarakat sebagai media pendidikan. Dengan wayang transformasi nilai-nilai luhur budaya dapat berlangsung secara efektif. Banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa diambil dari cerita atau lakon yang ada dalam wayang. Transformasi ini bersumber dari dalang yang biasanya adalah orang penting di masyarakat, kepada masyarakat baik itu kalangan atas atau bawah. Pada masa Sunan Kalijaga pun wayang dijadikan media pendidikan dan wakwah. Melaluinya, ajaranajaran Islam disisipkan agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa waktu itu. 3. Fungsi penerangan dan kritik sosial. Dalam pertunjukan wayang, masyarakat bisa diinformasikan tentang peristiwa apa yang penting untuk diketahui oleh para dalang. Misalnya dengan mementaskan lakon-lakon tertentu yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Lalu juga bisa dijadikan sarana kritik sosial. Masyarakat bisa mengkiritik kebijakan pemimpin mereka tanpa resiko kemarahan pemimpin melalui wayang. Dengan lakon-lakon tertentu pula
atau fragmen wayang “goro-goro” dalang bisa bebas mengkritik kebijakan pemimpin. 4. Fungsi Hiburan. Wayang di sini murni merupakan hiburan bagi masyarakat. Tidak ditujukan untuk maksud-maksud religi tertentu. Tapi hanya untuk menghibur masyarakat yang gemar akan seni pertunjukan ini. Seperti pada acara khitanan, resepsi pernikahan, acara besar desa, yang dipentaskan untuk menghibur khalayak ramai. II.2 SIMBOLISME DALAM WAYANG II.2.1 Wayang dalam Fiksi Indonesia Wayang adalah salah satu mitos lama yang memegang peranan penting dalam masyarakat Jawa. Wayang dalam kebudayaan Jawa dianggap sebagai simbolisasi mencapai kesempurnaan hidup. Dalam serat Centini dijelaskan bahwa wayang berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia yang menggambarkan proses hidup dalam kurun waktu terbatas dari puturan hukum sebab akibat, yang dalam konsep Jawa disebut cakra manggilingan. Dalam sastra Indonesia mutahir, wayang menjadi sumber inspirasi dan eksplorasi estetis yang tidak jarang membuat wayang “bergeser” dari mitos lamanya. Beberapa pengarang Indonesia modern memanfaatkan wayang untuk warna estetika karya-karya mereka. J.B Mangun Wijaya memanfaatkan alur, aspek pertunjukan wayang dan tokoh-tokoh pewayangan dalam novelnya Durga Umayi dan Burung-burung Manyar. Putu Wijaya mengolah episode Barata
Yudha
(Mahabarata)
dalam
novel
Perang.
Umar
Kayam
memanfaatkan tokoh-tokoh Citraksi-Citraksi untuk cerpennya. Goenawan Muhhamad terinspirasi lakon Parikesit dalam sebuah puisi panjangnya, dan Seno Gumira Ajidarma dengan novel Kitab Omong Kosong menggugat mitos dalam lakon wayang Ramayana. Dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno Gumira mencoba mengukuhkan mitos wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba
membongkar, memberontak dan mendekontruksi mitos dan nilai-nilai tentang lakon Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat. Upaya pembongkaran ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur cerita. Kalau kitab Ramayana asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala Kanda, Ayodya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda, dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno justru memulai dari ide cerita Utara Kanda yang justru merupakan bagian akhir Ramayana yang tidak populer di Jawa. Pada bagian awal novel langsung tampak myth of freedom, dimana tokoh Rama yang dalam masyarakat Jawa dimitoskan sebagai simbol satriya utama yang selalu mengemban kebenaran, penegak keadilan dan terjaga dari segala perbuatan buruk, justru digambarkan sebagai tokoh raja yang kejam yang menaklukan beratus-ratus negara. Tokoh Rama yang dalam konsep Jawa dimitoskan sebagai titisan (awatara) Dewa Wisnu pemelihara dunia malahan dimunculkan sebagai raja haus kekuasaan dan melaksanakan upacara aswameda parwa (persembahan kuda), yakni melepaskan kuda yang telah diberi mantera dan setiap jengkal tanah yang dilalui kuda tersebut harus takluk atau ditaklukan. Kalau dalam pewayangan Jawa. perang Rama dan Rahwana merupakan lambang perlawanan antara yang benar dan yang jahat, maka dalam novel Kitab Omong Kosong menjadi kabur mana yang mewakili kebenaran dan yang mewakili kejahatan. Fokus utamanya bukan peperangan antara Rama dan Rahwana tetapi peperangan antara Rama dengan dirinya sendiri. Persoalan siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi kabur atau tidak didikotomi secara jelas dan ekstrim seperti dalam cerita-cerita wayang di masyarakat. Kalau dalam cerita pewayangan, kebaikan itu “diputihkan” dan kejahatan “dihitamkan”, sebagaimana putih tak pernah bisa bercampur dengan hitam, kebaikan senantiasa terpisah dari kejahatan dan kebaikan selalu menang melawan yang jahat. Justru dalam novel Kitab Omong Kosong dinyatakan bahwa dalam hidup putih dan hitam dapat bercampur, adakalanya yang jahat dapat demikian berkuasan dan yang baik bisa sangat menderita, demikian pula sebaliknya.
Pembongkaran mitos juga tampak dengan munculnya tokoh-tokoh utama yang tidak pernah disebut-sebut dalam cerita Ramayana yang justru tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan marginal atau rakyat kecil (kawula alit). Tokoh-tokoh baru tersebut ---Satya dan Maneka--- merupakan sepasang muda-mudi, yang satu seorang pemuda desa lugu yang desa dan sanak saudaranya musnakh akibat upacara persembahan kuda Rama. Maneka malahan berasal dari kalangan pelacur yang sejak kecil lahir di rumah bordil dan mencoba lari dari nasibnya yang malang. Kedua tokoh baru ini lebih mendominasi cerita dan tampil sebagai hero melebihi tokoh-tokoh pakem seperti Laksamana, Wibisina, Sugriwa, dan Rama. Munculnya tokoh Satya dan Maneka dalam novel ini merupakan upaya penghancuran mitos pewayangan Jawa yang mengagung-agungkan kebudayaan ksatria. Selama ini wayang dianggap sebagi symbol konsep manusia ideal Jawa yang menekankan tentang hidup ksatria (satriya pinandhita). Di pusat kebudayaan ksatria ini selalu dicitrakan cita-cita yang indah serta ‘halus” dan tampillah para ksatria yang gagah berani tanpa cela yang harus diteladani kawula alit (rakyat jelata). Dengan munculnya tokoh Satya dan Maneka yang berasal dari rakyat jelata yang malahan berhasil meneukan Kitab Omong Kosong sehingga dapat menyelamatkan kebudayaan dunia, maka runtuhlah mitos kebudayaan satriya. Para satriya tak lebih mulia dari rakyat jelata. Rama, Laksamana, Wibisana, Sugriwa, Anoman, tak lebih sakti, lebih luhur dan lebih baik dibanding dengan Satya anak petani dan Maneka yang seorang pelacur. Novel ini juga menjungkirbalikkan mitos kekuasaan dan konsep kepemimpinan Jawa. Dalam pewayangan Jawa semenjak kebudayaan Hindu masuk dan berkembang di Indonesia konsep kekuasaan selalu bertumpu pada raja (ksatriya). Menurut konsep Jawa yang disimbolkan melalui wayang, raja adalah “warenaning Allah”, proyeksi Tuhan, karena itu kekuasaanya bersifat mulak. Konsep ini dalam bahasa pedhalangan dikatakan sebagai “gung binathara bau dhenda anyakrawati, wenang wisesa ing sanagari, ber budi bawa leksana” (sebesar kekuasan dewa, pemelihara hokum dan penguasa
dunia, memegang kekuasaan tertinggi seluruh negara, meluap budi luhur mulia dan sifat adil terhadap sesama). Konsep kepemimpinan ini dibongkar habis-habisan dalam novel Kitab Omong Kosong. Dalam novel ini wajah cerita Ramayana menjadi sangat berbeda karena rakyat jelata seperti Satya dan Maneka justru menajdi semacam personifikasi rakyat yang tidak lagi tergantung dan bergantung pada raja bahkan mempunyai kekuatan yang jauh lebih dahsyat dibanding kekuatan para satriya. Upaya dimunculkannya mitos baru yakni kekuatan rakya jelata semakin kuat ketika di akhir cerita pengarang memunculkan tokoh Togog. Togog dalam wayang Jawa adalah seorang abdi yang terbuang dan tersia-sia. Kebalikan dari tokoh Semar yang merupakan punakawan (abdi) para kaum satriya yang sering dianggap titisan Dewa Ismaya sehingga mendapat posisi yang khusus dalam konsep Jawa, tokoh Togog justru nyaris tidak pernah diperbincangkan dan bahkan tidak pernah mendapatkan peranan besar. Togog merupakan bagian dari “kultur tertawa” yang membangun dunianya sendiri melawan dunia dari mereka yang “resmi berkuasa”. Lawan dari kultur tertawa adalah “kultur ketegangan”, kultur yang penuh formalitas, basa-basi, kepura-puraan serta kemunafikan. Dan dalam novel ini justru Togoglah penulis “Kitab Omong Kosong” yang dicari-cari dan diperebutkan kaum satriya. Pengambilan estetika wayang dan sekaligus pendekontruksiannya dalam sastra Indonesia mutahir seperti contoh di atas, merupakan bukti bahwa satrawan mutahir Indonesia (etnis Jawa) adalah manusia perbatasan yang sedang bertranformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-tradisi Jawa menuju ke dalam negara-bangsa Indonesia yang notabene merupakan ‘kampung halaman‘ dan budaya yang relatif baru. Hal ini merupakan sebuah proses panjang yang berat karena pada satu sisi menuntut mereka menata kembali keberadaan, kedudukan dan fungsi budaya dan sastra Jawa sebagai akar mereka, dan di sisi lain mereka “terpaksa” melakukan perantauan budaya ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia.
II.2.2 Makna Simbolik Dalang dan Wayang Peranan Dalang dan Wayang kulit dalam pergelaran wayang menurut Zoetmulder bahwa dalam Serat Centhini jilid IX teks yang berupa tembang Megatruh disebutkan simboliknya sebagai berikut: Janma tama karya lajem ing pandulu Sasmitaning Hyang sejati Dalang lan wayang dinunung Panganggone Hyang Mawarni Karyo Upameng pandulon Kelir gumelar wayang pinanngung Asnapun makluk ing widi Gedebog bantala wegung Balencong pandoming urip Gamelan gending ing lakon. Dalang dan wayang diberikan tempat yang sejati, yaitu sebagaimana cara menggambarkan bagaimana Tuhan bertindak . Orang Bijak membuat perumpamakan sebagai berikut.: Kelir itu jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makluk-makluk Tuhan. Batang pisang adalah Bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara per peristiwa. (1991:290-291). Pada uraian di atas jelas digambarkan bahwa perangkat pergelaran wayang kulit merupakan simbolik yang sangat jelas, namun dalang sebagai simbol Tuhan mestinya kurang tepat. Meski dalam sajian pergelaran, wayang menjadi hidup atau mati karena kehendak sang Dalang. Karena Tuhan tidak dapat personifikasikan dengan bentuk apapun serta hanya dapat diketahui melaui sifat-sifatnya. Adhikara memaknai lain, dalang simbolik dari jiwa, wayang sebagai raga dan Tuhan sebagai orang yang menanggapnya. Tuhan memang tidak terlihat, ia digambarkan sebagai orang yang nanggap wayang karena waktu pergelaran tidak dapat dilihat penonton. Boneka wayang hidup karena jiwa yang beujud Ki Dalang. Jika pergelaran telah selesai wayang ditinggalkan dalang (raga ditinggalkan), wayang dimasukkan kotak (peti) sebab sudah mati sedangkan dalang masih hidup.
II.2.3 Simbol Pewarnaan pada Wayang Warna-warna pada wajah (muka) boneka wayang yang disimping (diatur berjajar) seperti merah, hitam, kuning dan putih juga mempunyai makna simbolik. Keempat warna itu bagi orang jawa melambangkan nafsu amarah,
aluamah,
sufiah
dan
mutmainah.
Warna-warna
itu
tidak
mengandung satu makna saja tetapi mempunyai makna ganda. Warna merah pada muka Rahwana berbeda artinya dengan warna merah pada Baladewa. Demikian juga setiap daerah mempunyai penafsiran sendiri-sendiri sesuai dengan persepsinya. Susunan wayang simpingan di dalamnya terdapat unsur kanan-kiri, baik-buruk, halus-kasar. Pewarnaan muka wayang merupakan satu kesatuan. Simpingan kanan dan kiri sebagai lambang baik buruk tidaklah tepat karena di simpingan kanan juga terdapat beberapa wayang yang berkarakter jelek sedangkan di simpingan kiri juga ada beberapa tokoh wayang yang berkarakter baik. Demikian juga mengenai makna simpingan kanan dan simpingan kiri tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan (kiri) dan kebaikan (kanan). Simpingan kanan dan kiri merupakan makna symbol kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduannya saling mengisi dan melengkapi. Tidak dapat ditarik suatu garis yang tegas antara baik dan buruk atau jahat, karena keduannya untuk mencari kompromi atau keseimbangan dari dua kutub yang saling berlawanan. II.3 NILAI DALAM WAYANG II.3.1 Ajaran Moral dalam Wayang Ceritera dalam pertunjukan wayang kulit sejatinya menampilkan ajaran moral, dimana manusia hidup diharapkan dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Tamsil etika nilai-nilai dalam wayang biasanya disampaikan secara tegas misalnya jangan membunuh, jangan berdusta, jangan berkhianat, tidak boleh marah, tidak boleh munafik dan lain sebagainnya.
Hal lain yang ditampilkan dalam pergelaran wayang adalah soal dilema atau pilihan. Manusia hidup ternyata selalu dihadapkan dengan pilihan. Tetapi apapun pilihannya manusia toh harus memilih, meski pilihan atau keputusan yang diambilnya tidak pernah sempurna. Hal ini menunjukan bahwa manusia secara spikologis dan filosofis selalu dihadapkan dengan problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan sempurna. Kemudian manusia harus mampu berdiri di salah satu pihak, mau yang baik atau yang buruk misalnya; Jamadagni harus memilih membunuh istrinya atau membiarkan istrinya berdosa Rama Parasu harus memilih membunuh Ibunya atau
menentang
perintah
Ayahnya Harjunasasrabau
harus memilih
meninggalkan tahtahnya atau mencari Nirwana Wibisana harus memilih ikut angkara atau ikut kebenaran. Sri Rama Harus memilih, mengorbankan rakyatnya atau mengorbankan cintanya. Sesudah manusia berani menetapkan pilihannya maka barulah keputusan
dan
tindakan
manusia
itu
berarti
dan
bermakna
bagi
kehidupannya. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasarnya maka sebenarnya manusia tidak menjalani kemanusiaaanya atau eksistensinya. Jadi dengan demikian setiap tindakan manusia akan selalu didukung oleh suatu sikap etis. Ia tidak akan dapat lari dan melepas tangung jawab dari tindakantindakannya. Inilah salah satu ajaran wayang tentang bagaimana manusia harus bersikap. II.3.2 Asas Pancasila dalam Wayang Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi halhal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa Asas Kemanusiaan Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu
ajaran
untuk
mengagung-agungkan
norma-norma
kebenaran.
Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar. Kebenaran yang sejati mempunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun juga. Tokoh dalam dunia
pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan. Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan. Oleh karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada dipihak yang salah. Asas Persatuan Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu
Dasamuka
yang
merampas
Dewi
Sinta
isteri
Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya. Asas Kerakyatan / Kedaulatan rakyat Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong,
sehingga
oleh
para
ksatria
Semar
dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saatsaat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan
penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru. Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa. Asas Keadilan Sosial Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar. II.3.3 Penokohan Ramayana dalam Pembentukan Watak Wayang adalah sebuah karya seni yang penuh simbol dan nilai-nilai filosofi tentang kehidupan manusia. Ia banyak menampilkan aspek-aspek dan problem-problem kehidupan manusia baik sebagai individu maupun warga masyarakat luas. Wayang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang
universal dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada jamannya. Karakter setiap tokoh pewayangan merupakan lambang dari berbagai pewatakan yang ada dalam kehidupan manusia. Misal watak baik, buruk, kesetiaan dan lain-lain. Walaupun kita hidup pada era teknologi informasi namun sebenarnya wayang masih berperan dalam menjelaskan fenomena-fenomena modern, karena dalam ceritera wayang mengandung ajaran moral yang sifatnya universal dan berlaku sepanjang jaman. Bahwasanya wayang juga mengajarkan kita untuk mengekang hawa nafsu menahan dahaga , lapar dan agar “tapabrata” yang diartikan bukan untuk lari dari dunia nyata lalu hidup menyepi di pantai dan merendam diri di tempuran sungai. Tetapi dimaksudkan agar manusia tidak rakus, tidak menempatkan yang bersifat materiil di atas segala-galanya. Disisi lain wayang juga mengajarkan hemdaknya manusia dalam melangkah maju tanpa was-was sampai memasuki dirinya sendiri hingga pedalaman yang sedalam-dalamnya sehingga tidak mungkin lebih dalam lagi, sampai ke akar yang yang terakhir dan berjumpa dengan dirinya sendiri. Seperti dalam lakon “Dewa Ruci”. Wayang juga mengingatkan kepada kita bahwa sesuatu yang semula dianggap akan dapat membahagiakan hidupnya itu ternyata kalau dikejar dengan penuh nafsu sampai melampaui batas kemampuan justru akan menyebabkan malapetaka bagi pengejarnya “seperti dalam lakon Cupu manik Astagina”. Wayang juga mendemontrasikan hukum karma (ngunduh wohing penggawe, utang pati nyaur pati, utang lara nyaur lara) Siapa yang menanam akan memetik buahnya. Menanam kebajikan akan memetik kebajikan sedangkan menanam kejahatan akan memetik kejahatan. Seperti dalam lakon-lakon “baratayudha” dan juga mengajarkan memilah-milah mana yang buruk dan mana yang baik dan yang “salah akan seleh”. Suradiro jayanikanang rat, swuh brastha tekaping ulah darmastuti atau surodiro jayaningrat lebur dening pangastuti. (Betapaun sura sakti dan besar
kekuasaanya, tetapi bila untuk tujuan yang tidak benar, tidak adil dan angkara murka pasti akan sirna oleh budi luhur dan rahayu . Ada banyak tokoh dalam seri Ramayana. Karena berbagai keterbatasan tokoh yang dijadikan contoh terutama Dewi Shinta, Raden Gunawan Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta. Dewi Shinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Ia menjadi istri Rama setelah melalui sayembara. Raden Gunawan Wibisana adalah putra Dewi Sukesi dengan Resi Wisrawa. Ia terpaksa meninggalkan negara Alengka dan berpihak pada Rama karena tidak setuju dengan perbuatan kakaknya (Prabu Dasamuka raja Alengka) yang menculik Sinta. Raden Subali dan Sugriwa adalah putra Resi Gotama dan Dewi Windradi. Semula mereka berwajah tampan dengan nama Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi. Akibat perbuatannya sendiri (berebut sebuah cupu) mereka berubah wujud menjadi kera dan namanya pun ikut diganti. Patih Prahasta adalah putra Prabu Sumali dengan Dewi Danuwati. Prahasta adalah adik Dewi Sukesi dan pada waktu Dasamuka mendi raja ia diangkat menjadi patihnya. Kelima tokoh di atas memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang bisa diambil hikmahnya dalam kehidupan kita. Banyak nilai-nilai yang dapat diambil dan dipelajari. a) Nilai kesetiaan Nilai kesetiaan pada Dewi Shinta sangat jelas. Dia rela menderita dengan ikut Rama hidup di hutan. Juga ketika dalam cengkeraman Raja Dasamuka yang ingin memperistrinya, ia tak bergeming sedikit pun walaupun diiming-imingi berbagai hal. Selain kesetiaan hal ini juga menunjukkan kesucian hatinya. Nilai kesetiaan juga diperlihatkan oleh Patih Prahasta yang rela mati (dalam perang melawan Rama). Ia rela mati bukan membela Dasamuka yang angkara murka, tetapi karena kesetiaan pada negaranya dan ketidakrelaannya melihat prajurit Alengka banyak yang mati atau menderita karena perang melawan pasukan Rama. b) Nilai kepatuhan.
Kepatuhan memiliki nilai tinggi (dihargai dan dihormati) buat orang yang menjalankannya, karena menjadi tolok ukur tentang kehormatan, harga diri dan kepahlawanan seseorang. Dewi Shinta patuh ketika menerima nsehat ayahnya untuk mengadakan sayembara memilih suami. Raden Guwarsa dan Raden Guwarsi (Subali dan Sugriwa) mematuhi perintah ayahnya untuk bertapa memohon ampun pada Tuhan sebagai penebus perbuatannya. c) Nilai kepemilikan. Memiliki sesuatu itu (misal rumah, gelar, istri/suami) ada aturan atau undang-undangnya. Artinya siapapun yang memiliki sesuatu keberadaannya dilindungi undang-undang. Rama yang telah memiliki Shinta tidak dapat diganggu gugat. Shinta yang telah “dimiliki” Rama (sebagai suami) pun berusaha menjaga nilai kepemilikan tersebut. Prahasta yang merasa memiliki negara Alengka merelakan kematiannya karena membela negaranya. Ia mati demi harga dirinya dan harga diri negara, bukan membela Dasamuka yang angkara murka. d) Nilai kearifan dan kebijaksanaan. Arif berarti tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah sifat dan sikap yang dapat menempatkan suatu masalah pada proporsi yang benar menurut aturan yang berlaku. Karena itu rasa moral yang tinggi seharusnya melandasi semua pikiran dan tingkah laku pemimpin. Dasamuka adalah raja yang tidak arif dan bijaksana sehingga membawa kehancuran bagi rakyat dan negaranya. Wibisana
adalah
tokoh
yang
arif
dan
bijaksana
serta
luas
pengetahuannya. Wibisana selalu menghargai pendapat orang lain baik penguasa maupun rakyat kecil, selalu dapat menimbang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. e) Nilai ksatria.
Sifat satria adalah sifat yang selalu membela kebenaran, tidak takut menghadapi kesulitan serta bersedia mengakui kekurangan atau kesalahannya.
Atas
dasar
hal
tersebut
Wibisana
berani
mengesampingkan nilai “berbakti” pada kakaknya. Ia dengan berani tidak henti-hentinya menasehati Dasamuka agar mengembalikan Shinta pada Rama, walaupun akibatnya ia diusir oleh kakaknya. Wibisana rela meninggalkan kemewahannya di Alengka sebagai konskuensi dari tindakannya. Hal ini juga mencerminkan sikap keteguhan hatinya. f) Nilai pengendalian diri. Pengendalian
diri
adalah
sikap
batin
manusia
dalam
usaha mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaaskan pamrihnya untuk mendapatkan keselarasan hidup. Sugriwa dan Subali adalah gambaran manusia yang kurang bisa mengendalikan diri. Sekalipun mengetahui ibunya telah menjadi tugu, mereka belum sadar akan perbuatannya dan tetap berebut sebuah cupu, penyebab malapetaka keluarga Resi Gotama. g) Nilai ketekunan dan keuletan. Ketekunan dan keuletan diartikan sebagai sikap tidak menyerah pada berbagai rintangan atau hambatan yang dihadapi demi mencapai cita-cita atau tujuan (terlepas dari baik atau buruk tujuan tersebut). Subali dan Sugriwa dengan sekuat tenaga berusaha memiliki cupu, juga dengan tekun dan ulet melaksanakan tapa yang berat sebagai penebus perbuatannya. h) Nilai etika. Berdasarkan etika seseorang harus dapat membedakan hal yang buruk dan baik, hal yang benar dan hal yang salah. Prahasta adalah gambaran orang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Ia penasehat Prabu Dasamuka sekalipun nasehatnya tidak pernah diperhatikan. Ia menghadapi “buah simalakama” tetapi tetap harus memilih. Akhirnya ia memilih menjadi senapati Alengka bukan karena membela Dasamuka tetapi membela negaranya.
Dari uraian di atas jelas terkandung nilai-nilai pendidikan, baik pendidikan yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia maupun manusia dengan lingkungan alam. Yang baik adalah manusia bisa menjaga keharmonisan hubungan tersebut.
BAB III PENUTUP III.1 KESIMPULAN 1. Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu wahana terpenting untuk menyampaikan berita dan ajaran yang bersifat kebudayaan kepada masyarakat Jawa khususnya. Melalui cara ini mereka belajar membedakan nilai-nilai positif dan negatif. 2. Nilai-nilai Pancasila tersebar luas melalui wayang, baik digambarkan secara implisit maupun eksplisit. 3. Di dalam wayang terkandung simbol-simbol kehidupan yang dapat dipergunakan sebagai media komunikasi dan media pendidikan. 4. Pagelaran wayang kulit syarat dengan nilai-nilai dan petuah hidup bagi manusia. Wayang kulit merupakan refleksi budaya Jawa dalam pengertian sebagai pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan orang Jawa. Sebagai suatu kebudayaan, dalam wayang terkandung ajaran-ajaran bagaimana hidup itu harus dijalani. Melalui cerita wayang masyarakat Jawa memperoleh gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya. 5. Wayang sebagai kehidupan rohani masyarakat Jawa berisi nilai-nilai luhur yang dapat membantu manusia dalam melangsungkan, mempertahankan hidupnya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya, yakni
dapat membentuk dirinya menjadi manusia dan dapat menciptakan suatu kehidupan yang lebih baik.
III.2 SARAN Penulis menyarankan semua elemen saling memberikan kontribusi yang nyata dalam pelestarian seni wayang di Indonesia karena wayang adalah seni tradisional Indonesia dan pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga. Pemerintah juga harus membuat wayang go internasional dengan cara membuat pertunjukan wayang di luar negeri dan menggunakan bahasa asing. Dengan cara tersebut, niscaya nama negara Indonesia semakin harum dalam dunia internasional. III.3 UCAPAN TERIMA KASIH 1) Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi kami inspirasi dan kesehatan sehingga bisa menyelesaikan makalah ini. 2) Bapak Darmoko dan Bapak Prasetyo, selaku dosen pembimbing. 3) Teman-teman satu kelompok. 4) Teman-teman MPK Seni Wayang. 5) Semua pihak yang telah membantu dalam penyelaesaian makalah ini. III.4 DAFTAR PUSTAKA Darmoko, 1999, Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: FSUI.
http://ki-bambangasmara.com/detail_karawitan.php?xxx=41 (15 Oktober 2008) http://ki-bambangasmara.com/detail_karawitan.php?xxx=42 (15 Oktober 2008) http://ki-bambangasmara.com/detail_karawitan.php?xxx=43 (15 Oktober 2008) Prasetyo Muharam, Dimas. “Fungsi Wayang.” Wayang, So What Gitu Lho!. http://dimasprasetyo.multiply.com/ (15 Oktober 2008)