WHISTLE BLOWER ETIKA BISNIS
KP C Sonia Desandy Dohar – Dohar – 3101808 3101808 Richard A - 3102844 Yehezkiel K - 3102051 Christian Renhard Prayogo – Prayogo – 3102917 3102917 I Putu Suryawan - 3102028 Juliet Budiman - 3103124 Ria Monita - 3103883 Yulius - 3103858 Lisa Kurniawan Handoko – Handoko – 3103911 3103911
Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya Surabaya 2011
Kasus
Buah Pengakuan Agus Condro Jakarta, (ANTARA News) - Pengakuan Agus Condro seperti gelegar petir tanpa hujan. Pria asal Batang, Jawa Tengah, itu mempertaruhkan jabatannya sebagai anggota DPR dengan menuding sejumlah rekan sejawatnya menerima dana ratusan juta rupiah. Tidak tanggung-tanggung, dia menegaskan bahwa uang yang tidak sedikit itu mengalir sebagai bentuk suap agar Miranda Swaray Goeltom lolos menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI). Agus mempertaruhkan jabatannya sebagai wakil rakyat dengan mengaku menerima sebagian uang tersebut, yaitu sebesar Rp500 juta. "Ya, saya akui menerima uang sebesar Rp500 juta yang terdiri atas 10 lembar travel cek dari Dudhie M. Murod, bersama empat rekan lainnya," kata Agus. Menurut dia, uang sebesar Rp500 juta diberikan sekitar dua hingga tiga minggu setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Swaray Gultom. "Dari 10 lembar travel cek, masing masing senilai 50 juta yang dimasukan dalam satu amplop warna putih. Uang tersebut diberikan Dudhie M. Murod saat berada di ruang kerja Emir Moeis," katanya. Ia mengatakan, keempat anggota Fraksi PDIP DPR RI yang saat itu menerima amplop warna putih, yaitu Matheos Pormes, Willem Tutuarima, Budi Ningsih, dan Emir Moeis. Agus mengaku tidak mengetahui nama anggota DPR lain yang ikut menerima. "Yang jelas, saat itu yang memilih Miranda Gultom ada 41 orang dari 50 anggota Komisi IX DPR RI," katanya. Namun, kata Agus, ada salah satu anggota DPR RI Komisi IX yang juga anggota Fraksi PDIP yang saat itu sedang pergi ke luar negeri, yakni Daniel Budi Setiawan. "Karena pergi, Daniel diganti dengan Budi Ningsih yang saat itu menjabat anggota Komisi VII," katanya. Pengakuan Agus itu berbuntut panjang. Paling tidak, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tempat jangkar politik Agus dikaitkan, berang. Petinggi dan politisi partai berlambang kepala banteng itu berlomba-lomba membantah pengakuan Agus. Bahkan, Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengancam akan menindak anggotanya yang terbukti menerima uang. Kemarahan PDIP ini wajar. Maklum, tidak berselang lama dari awal pengakuan, Agus juga membeberkan bahwa sejumlah politisi PDIP, termasuk dirinya, sempat berkumpul di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Sungguh mengejutkan, Agus mengaku pertemuan itu dihadiri oleh Miranda Swaray Goeltom. Menurut Agus, pertemuan itu diprakarsai oleh politisi PDIP Panda Nababan dan diikuti oleh
sedikitnya sepuluh politisi PDIP. Agus juga memastikan Miranda hadir dalam pertemuan itu, meski agak terlambat. Namun dia tidak bersedia merinci lebih lanjut substansi pembicaraan dalam pertemuan itu, dengan alasan dirinya akan meramunya dalam bentuk laporan kronologi yang akan disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom berkali-kali menolak memberikan tanggapan atas pengakuan Agus Condro. "Saya tidak ada tanggapan karena saya memang tidak tahu. Lebih baik ditanyakan kepada mereka yang memberikan pernyataan," kata Miranda saat ditemui di Kantor Bank Indonesia. Agus terlanjur nekad, dan akhirnya dia kehilangan jatah kursi di DPR.
Terbukti Agus pernah sesumbar bahwa kasus yang dilaporkannya tidaklah sulit untuk diusut. Ketika menyerahkan buku tabungan miliknya kepada petugas KPK, Agus merasa yakin bahwa KPK tidak akan mengalami halangan berarti dalam mengungkap kasus tersebut. Dia mengaku menerima uang Rp500 juta dalam bentuk sepuluh lembar cek perjalanan. Ia mencairkan cek tersebut 11 Juni 2004 di Bank International Indonesia (BII) Cabang Pekalongan. Pada hari yang sama, Agus membuka rekening untuk menampung uang yang dari cek yang dicairkan. Dari buku tabungannya, menurut Agus, KPK bisa dengan mudah mengusut siapa saja yang menerima uang dalam bentuk cek. KPK dapat melacak penerima cek dengan mengkonfimasi bank penerbit cek. "Buku tabungan itu adalah pintu masuk penyelidikan lebih lanjut," kata Agus. Reaksi KPK pada awalnya terkesan lamban. Ketua KPK Antasari Azhar mengakui lembaga yang dipimpinnnya tidak bisa reaktif dengan pengakuan seseorang. KPK juga harus berhatihati menyikapi, meski kasus itu menarik perhatian publik. Namun demikian, KPK berjanji tidak akan membiarkan kasus itu hanya menjadi "tumpukan" aduan tak tersentuh. "Kita peduli dan profesional, itu kan ungkapan seseorang. Kita lihat nanti perkembangannya," kata Antasari. Janji KPK bukan sekedar pepesan kosong. Tanpa sepengetahuan publik, KPK menjalin kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Masyarakat kembali dikejutkan dengan laporan PPATK yang menyatakan bahwa lembaga i tu menemukan transaksi berupa pembelian dan pencairan sekira 400 cek perjalanan yang diduga terkait dengan laporan Agus Condro.
Berdasarkan informasi, ratusan cek perjalanan temuan PPATK itu masing-masing bernilai Rp50 juta, sehingga nilai totalnya sekira Rp20 miliar. Ratusan cek perjalanan itu dibeli dalam periode yang sama, sedangkan pencairannya dilakukan tidak bersamaan. Informasi yang sama menyebutkan, pencairan itu dilakukan oleh sejumlah orang, termasuk Agus Condro dan beberapa anggota DPR yang lain. KPK tidak membuang percuma laporan tersebut. Tak berselang lama setelah laporan diterima, KPK meningkatkan pengusutan kasus itu ke tahap penyelidikan. Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan, lembaga yang dipimpinnya akan menelusuri seluruh rangkaian kejadian terkait 400 cek perjalanan tersebut. Hal itu berarti KPK akan menyelidiki segala sesuatu tentang pemberi, penerima, dan motif pemberian. "Jika terindikasi pidana maka akan dilanjutkan penyidikan," ujar Antasari menambahkan. Hingga kini, KPK belum mengumumkan nama 41 anggota DPR yang diduga menerima uang tersebut. KPK juga belum membuka kasus itu secara blak-blakan, sehingga publik hanya bisa bertanya,Apa benar ratusan cek perjalanan itu terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI?" Jika benar, siapa yang menyediakan dana, pihak BI atau sponsor dari luar bank sentral? Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai dana yang diduga mengalir ke DPR untuk pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) berasal dari luar bank sentral itu. Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Adnan Topan Husodo menyatakan KPK harus bisa mengungkap asal dana itu. Adnan curiga dana dalam bentuk cek perjalanan atas nama Miranda berasal dari pihak luar yang bertindak sebagai sponsor karena memiliki kepentingan tertentu."KPK harus bisa mengungkap siapa yang mensponsori uang itu," katanya. Adnan menambahkan, dana dari luar BI itu bisa saja berasal dari kelompok bisnis tertentu yang hendak memetik keuntungan. "Kita menduga terkait dengan kelompok bisnis keuangan di Indonesia, tapi kita belum bisa sampaikan ciri dari kelompok bisnis mana," kata Adnan menambahkan. Dia menganggap praktik seperti itu sudah biasa terjadi di Indonesia. Kelompok bisnis seringkali membina hubungan baik dengan pejabat publik atas dasar kepentingan tertentu. "Selama ini pejabat publik di Indonesia hanya sekedar peliharaan dari kelompok bisnis sehingga mungkin terjadi distorsi kebijakan," kata Adnan. Kecurigaan ICW itu menambah panjang daftar pekerjaan KPK. Selain harus menindaklanjuti pengakuan Agus Condro yang terbukti tidak sekedar fitnah, KPK juga harus mengungkap asal dan motif aliran dana dalam bentuk cek perjalanan itu.(*)
Analisis
Kasus Agus Condro termasuk whistle blower karena melaporkan suatu tindakan suap kepada pihak yang berwenang tapi dia juga menerima suap tersebut, sehingga dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Kasus ini termasuk eksternal whistle blower karena agus condro sebagai anggota partai politik dan juga sebagai anggota DPR dari fraksi PDIP melaporkan tindakan suap kepada pihak KPK.
Dalam kasus ini tidakan yang dilakukan Agus Condro termasuk Whistle Blowing dalam institusi / organisasi dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O karena tujuan Agus Condro melaporkan kasus tersebut ke KPK adalah untuk menghapuskan tindakan suap dalam proses pemilihan deputi gubernur senior BI dan tidak ada kecurangan dalam pemilihan.disamping itu dalam kasus ini tidak ada motif balas dendam yang dilakukan oleh Agus Condro. Kasus ini tidak termasuk whistle blower yang adil karena dalam kasus Agus Condro hanya memenuhi kriteria yang pertama saja, yaitu organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas.
Teori Whistle blower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. Tipe – tipe tipe whistle blower:
Internal whistle blower yaitu seorang pekerja atau karyawan didalam suatu perusahaan atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada didalam perusahaan tersebut. External whistle blower adalah pihak pekerja atau karyawan didalam suatu perusahaan atau organisasi yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak diluar institusi, organisasi atau perusahaan tersebut. Biasanya tipe ini melaporkan segala tindakan melanggar hukum kepada media, penegak hukum, ataupun pengacara, bahkan agen-agen pengawas praktik korupsi ataupun institusi pemerintahan lainnya.
Whistle Blowing dalam institusi / organisasi dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O jika termotivasi oleh identifikasi perasaan yang kuat terhadap nilai dan misi yang dimiliki perusahaan, dengan kepedulian terhadap kesuksesan perusahaan itu sendiri. Sedangkan tindakan whistle blowing yang bersifat ”pembalasan dendam” dikategorikan sebagai perilaku menyimpang tipe D karena ada usaha untuk menyebabkan suatu bahaya. Tiga kriteria atas whistle blowing yang adil berdasarkan De George (1986). Pertama organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan ketiga, apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik.